31
BAB III TAFSIR AT-THABARI DAN SAYYID QUTB A. AT-THABARI
1. Riwayat Hidup dan Karya-Karya At-Thabari Nama lengkap At-Thabari adalah Abu Ja’far Muhammad Ibn Jarir Ibn Yazid Ibn Katsir Ibn Ghalib At-Thabari . Beliau lahir pada tahun 224 H bertepatan dengan tahun 839 M di Amul1 tabaristan, Iran.2 Sebuah kota di Iran 12 mil sebelah selatan laut kaspia,3 sebagai orang thabaristan yang bercita-cita tinggi. Pada usia 12 tahun, beliau mengembara kebeberapa negeri, antara lain; Mesir, Syam dan Irak, kemudian menetap di Baghdad.4 Dan meninggal dunia di Baghdad pada tahun 310 H / 932 M. At-Thabari hidup pada masa Islam mencapai puncak kejayaan dalam kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Dalam dunia ilmu pengetahuan, ia terkenal tekun mendalami bidang-bidang yang dimilikinya, dan gigih menambah ilmu pengetahuan, sehingga dengan itu, banyak bidang ilmu yang dikuasainya. Di samping itu, ia mampu menuangkan ilmu-ilmu yang dikuasainya ke dalam bentuk tulisan. Kitab-kitab karangannya mencakup berbagai disiplin ilmu, seperti tafsir, hadis, fiqh, tauhid, ushul fiqih, dan ilmu bahasa arab, seperti nahwu, sorof, dan balaghoh, sejarah, mantiq, ilmu hisab, al-jabar, dan ilmu kedokteran. Dari sekian ilmu-ilmu yang dikuasainya yang paling populer ialah ilmu tafsir, fiqih dan sejarah. Banyak karya ilmiah berharga yang diwariskan oleh ulama besar ini. Yang paling populer ialah kitab Jamiul Bayan Fi Tafsir Al-Quran, ١
Amul adalah suatu tempat yang masyhar banyak ulama adalah salah satu daerah berkembangnya kebudayaan Islam pada waktu itu. ٢ Muhammad Husein AZ-Zhahabi, Tafsir Wal Mufassirun, Darl Fikr, Jilid I, Mesir, 1928, hlm. 205. ٣ J.J. Jansen, Diskarsus Tafsir Al-Quran Modern, Terj. Hairussalim, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1997, hlm. 19. ٤ Muhmud Basuni Faudah, Tafsir-Tafsir Al-Quran Perkenalan dengan Metodologi Tafsir, Penerbit Pustaka, Cet I, Bandung, 1987, hlm. 54.
32
dalam bidang tafsir, Kitab Tarikh Al-Umam Wa Al-Muluk dalam bidang sejarah, dan kitab Al-Fuqaha’ dalam bidang fiqih.5 Pada usia tujuh tahun At-Thabari sudah hafal Al-Quran setelah menempuh pendidikan dasar di kotanya, ia pindah ke Ray untuk melanjutkan pendidikannya dari ulama-ulama terkemuka. Kemudian berangkat lagi ke Baghdad untuk menemui Imam Ahmad bin Hambal, tetapi ketika ia sampai di sana, Ahmad bin Hambal telah meninggal, kemudian At-Thabari pergi ke Kuffah, dan di negeri itulah ia mendalami hadis dan ilmu yang berkaitan dengan kecerdasan dan kekuatan hafalannya hingga membuat kagum para ulama’ di negeri itu. Setelah dari Kuffah, AtThabari melanjutkan pendidikannya ke Baghdad untuk mendalami ilmuilmu Al-Quran dan fiqh Syafi’I dari ulama’ terkemuka di negeri itu. Untuk memperdalam pengetahuan di bidang fiqh, At-Thabari pergi ke Syam. Di sana ia tidak hanya mendalami bidang fiqh tetapi juga mempelajari pemikiran-pemikiran yang ada di sana pada saat itu. Setelah dari Syam, At-Thabari melanjutkan kembali perjalanannya ke Mesir. Di Mesir inilah ia dapat bertemu langsung dengan para ulama’ terkemuka yang bermazhab Syafi’I misalnya; Rabi’ bin Sulaiman dan AlMuzani. Dengan kedua ulama’ tersebut At-Thabari sering melakukan diskusi-diskusi ilmiah. Di negeri itu juga ia bertemu dengan Muhammad ibn Ishaq ibn Khuzaimah.6 Sepulang dari Mesir, At-Thabari pergi ke negeri kelahirannya. Kemudian ia pergi ke Baghdad, dan di negeri inilah ia menghabiskan sisa umurnya untuk mengajar dan mengarang kitab.7 Dalam bidang tafsir At-Thabari mempunyai aliran tersendiri yang dapat dilihat dalam tafsirnya, dalam bidang fiqh ia mempunyai mazhab
٥
H. Harun Nasution, Ensiklopedi Islam Indonesia, Djambatan, Jakarta, 1992, hlm. 363. Ibn Khuzaimah adalah seorang ulama’ yang mengarang kitab “Al-Sirah”, berdasarkan suatu riwayat dikatakan bahwa At-Thabari dalam menulis kitab “Tarikh Al-Umam Wa Al-Mulk” banyak merujuk pada kitab Al-Sirah. ٧ . Harun Nasution, loc.cit. ٦
33
sendiri, dan dalam bidang sejarah ia terkenal sebagai seorang sejarahwan terkemuka. Di antara karya-karya At-Thabari adalah sebagai berikut: 1. Jami’ul Bayan Fi Tafsiril Qur’an 2. Tarikhul Umam Wa Mulk Wa Akhbarukum 3. Al-Adabul Hamidah Wa Akhlakul Nafisah 4. Tarikhurrijal 5. Ikhtilaful Fuqaha’ 6. Tahzibul Atsar 7. Kitabul Basit Fi Fiqh 8. Al-Jami’ Fi Al-Qira’ah 9. Kitabut-Tabsir Fil Ushul.8
2. Latar Belakang Penafsiran At-Thabari At-Thabari adalah salah satu seorang mufassir yang hidup pada abad ke-3 H. oleh karena itu beliau tergolong mufassir mutaqoddimin. Yang dimaksud dengan zaman mutaqoddimin adalah zaman para penulis tafsir Al-Quran gelombang pertama, yang mulai memisahkan tafsir ayat Al-Quran diberikan oleh para sahabat, tabi’in dan tabi’it-tabi’in, sehingga tafsir itu menjadi ilmu berdiri sendiri.9 Periode ini dimulai dari akhir zaman tabi’in sampai akhir pemerintahan Abbasiyah, kira-kira tahun 150 H sampai 656 H atau 782 M sampai 1258 M yaitu abad II-IV H. Pada periode ketiga ini tafsir Al-Quran mulai dikumpulkan tersendiri dipisahkan dari hadis nabi atau riwayat sahabat yang lain yang tidak menyangkut soal penafsiran terhadap ayat Al-Quran. Dan penafsirannya diatur terurut sesuai dengan tertib dalam mushaf, dimulai dari surat Al-Fatihah sampai surat An-Nas.10
٨
Ibid, hlm. 636. Departemen Agama RI, Orientasi Pengembangan Ilmu Tafsir, Terj. Husni Rahiem, Jakarta, 1990, hlm. 23. ١٠ Ibid, hlm. 32. ٩
34
Pada periode mutaqoddimin, penulis penafsiran ayat-ayat AlQuran meliputi; penafsiran Al-Quran dengan Al-Quran, Al-Quran dengan Hadis Nabi, pendapat sahabat, pendapat tabi’in, pendapat tabi’it tabi’in, ijtihad dan istimbath. Jadi sama mufassir yang
menafsirkan Al-Quran dan menulis
tafsiran ayat-ayat Al-Quran dari sejak akhir abad II sampai abad VI H adalah termasuk mufassir mutaqaddimin.11 Dan salah satu dari mufassir yang hidup antara abad ke II-VI H adalah Ibnu Jarir At-Thabari tepatnya pada abad ke- III H. Dan diantara tafsir-tafsir bil matsar yang ada pada abad ke tiga hanya tafsir Jami’ul Bayan Fi Ta’wil Al-Quran karya Ibnu Jarir At-Thabari adalah yang pertama kali menulis kitab tafsir yang dengan mentarjihkan beberapa pendapat dan dengan memberi i’rab beberapa kalimat ayat.12 Dan berkembang luas serta menjadi pegangan pokok bagi semua ahli tafsir. Berdasarkan hal tersebut di atas maka yang menjadi latar belakang penafsiran Jami’ul Bayan Fi Ta’wil Al-Quran adalah; Al-Quran, Hadis Nabi SAW., riwayat para sahabat riwayat para tabi’in, riwayat para tabi’in-tabi’in, ahli kitab serta ijtihad dan istimbath mufassir. Sebagaimana penjelasan tersebut di atas, bahwa At-Thabari mempunyai salah satu guru yaitu Ibnu Taimiyyah yang dikenal dengan pendiriannya kepada ulama salaf yang menjadikan Al-Quran dan AlSunah sebagai rujukan dalam segala hal. Sehingga pendapat muridnya (At-Thabari) banyak dipengaruhi olehnya dalam menafsirkan ayat AlQuran. Sebagaimana pernyataan Ibnu Katsir “Apabila ada orang bertanya”, apakah metode yang terbaik dalam menafsirkan Al-Quran? Jawaban dari pertanyaan itu adalah bahwa metode penafsiran Al-Quran yang paling valid adalah menafsirkan Al-Quran, jika tidak memungkiri dengan Al-Quran maka dengan Al-Sunnah yang mempunyai kedudukan sebagai penjelasan Al-Quran. ١١ ١٢
Ibid, hlm. 34. Ibid, hlm. 34.
35
At-Thabari di dalam menafsirkan serta ayat, yakni setelah mengemukakan pendapat para mufassir tentang ayat, kemudian dia mendasarkan ayat tersebut kepada pendapat para sahabat, tabi’in dan ulama salaf dengan diriwayatkan secara lengkap tentang sanadnya, yakni termasuk tafsir bi al-matsur berasal dari mereka. Kemudian juga dia paparkan segala riwayat yang berkenaan dengan ayat Al-Quran. At-Thabari dalam menafsirkan ayat Al-Quran itu tidak lepas dari segi I’rab maupun yang lainnya, dan At-Thabari tidak ketinggalan pula selalu memberikan penilaian dan komentar terhadap riwayat-riwayat itu.memilih mana yang sahih dan mana yang lemah. Hal ini sebagai bukti bahwa beliau itu ahli dalam bidang ushul-hadis. Dan beliau sering pula ngutip pendapat para mufassir pendahulunya seperti tafsir Ibnu Katsir, Ibnu Abi Hatim, Tafsir Ibnu Abi Atiyyah dan sebagainya.13 At-Thabari sangat memperhatikan terhadap adanya riwayat-riwayat isra’iliyyat dalam kitab tafsirnya.14
3. Penafsiran At-Thabari Terhadap Surah Al-Kafirun Allah
Ta’ala
berfirman
untuk
mengingatkan
Nabi-Nya
(Muhammad) SAW., yang mana orang musyrik diantara kaumnya itu menyepakati untuk menyembah Allah sebagaimana dirinya juga mau menyembah Tuhan-tuhan mereka. Maka Allah menurunkan penjelas (ayat) untuk menjawab mereka (kaum musyrikin) mengenai hal tersebut; ﻗـل (Katakanlah) hai Muhammad kepada orang-orang musyrik yang meminta kamu untuk menyembah Tuhan-tuhan mereka, agar mereka mau menyembah Tuhanmu ( ﻳﺎﺍﻳﻬﺎﺍﻟﻜﺎﻓـﺮﻭﻥwahai orang-orang kafir) demi Allah (saya tidak akan menyembah apa yang kalian sembah) dari Tuhan-tuhan, dan berhala-berhala saat ini. (ﻻﺍﻋﺒﺪ ﻣﺎﺗﻌﺒﺪﻭﻥdan kamu bukan penyembah apa
١٣ ١٤
M. Husain Al-Zahbi, Al-Tafsir Al-Mufassirun, Juz I, Dar Al-Fikr, Baerut, tt, hlm. 245. M. Ali Al-Sabuni, AT-Tibyan Fi Um Al-Quran, Alam A-Kitab, Beirut, tt, hlm. 190.
36
yang Aku sembah) saat ini ( ﻭﻻﺍﻧـﺘﻢ ﻋـﺎﺑﺪDan Aku bukanlah penyembah) untuk yang akan datang (nanti) ( ﻣـﺎ ﻋـﺒﺪ ﰎApa yang engkau sembah) kemarin-kemarin ( ﻭﻻ ﺍﻧـﺘﻢ ﻋـﺎﺑﺪdari engkau bukanlah penyembah) untuk yang akan datang selamanya ( ﻣـﺎ ﺍﻋﺒﺪApa yang Aku sembah) saat ini dan yang akan datang. Dikatakan demikian karena firman Allah kepada Rasulullah SAW., mengenai kepribadian orang-orang musyrik yang sebenarnya telah diketahui bahwa mereka tidak akan beriman selamanya, dan mereka akan tetap mengerjakan apa yang dulu mereka kerjakan (menyembah berhala), maka Allah memerintahkan kepada Nabinya SAW., untuk tidak mengharapkan orang-orang yang tamak itu dan membaik-baik diri mereka sendiri (musyrikin), padahal yang demikian itu bukan tabiat kepribadian mereka selama-lamanya (tidak akan berubah). Dan Nabi Muhammad tidak mengharapkan keimanan mereka. Dan seandainya mereka beriman, mereka akan beruntung selamanya. Akan tetapi karena mereka seperti itu, maka mereka tidak beruntung dan tidak sukses. Sampai suatu saat mereka dibunuh pada perang badar dengan pedang (senjata) dan hancurlah sebagian dari mereka itu karena mereka masih dalam keadaan kafir. Disisi lain dari apa yang kita bahas, para ahli ta’wil mengatakan ada suatu atsar menerangkan sebagai berikut. Diantara orang yang mengatakan seperti itu, mengatakan: Muhammad bin Musa al-Harasyi menceritakan kepadaku, dia berkata; “Abu Khalaf menceritakan kepada kami, dia berkata; “Daud menceritakan kepada kami, dari Ikrimah dari Ibnu Abbas, sesungguhnya orang-orang Quraisy berjanji kepada Rasulullah SAW., akan memberikan kepadanya harta yang akan menjadikan dia orang yang terkaya di Mekah, dan menikahkannya dengan wanita-wanita yang dia inginkan, dan mereka akan memberikannya kekuasaan, dan mereka berkata kepadanya; Ini kuberikan kepadamu wahai Muhammad, dan berhentilah menjelek-
37
jelekkan Tuhan kami jangan menyebutnya itu suatu kejahatan. Namun jika kamu tidak mau melakukannya, kami masih memiliki satu tawaran lagi buat kamu, dan ini merupakan kebaikan yang menguntungkan untukmu dan untuk kami”. Nabi berkata (bertanya; apa itu?! mereka menjawab; “Engkau menyembah Tuhan kami yaitu Latta dan Uzza dan kami akan menyembah Tuhanmu”. Nabi berkata; “Tunggulah, hingga datang wahyu dari Tuhanku, maka datanglah wahyu dari Lauh Mahfuz (hai orang kafir) disebut”. Kemudian Allah menurunkan (Katakanlah wahai Muhammad, apakah kalian Aku perintahkan untuk menyembah kepada selain Allah. Hai orang-orang yang bodoh), Hingga firmannya (Sembahlah dan jadilah engkau termasuk orang-orang yang bersyukur). Ya’qub menceritakan kepadaku, Dia berkata; Ibnu Ulayah menceritakan kepada kami dari Muhammad bin Ishaq, dia berkata; Saiad bin Minan budaknya Al-Bahtari menceritakan kepadaku; dia berkata; AlWalid bin Al-Mughirah, Al-Ash bin Wail, Al-Muthalib dan Umayah bin Khalaf menemui Rasulullah, dan mereka berkata; Hai Muhammad, ayolah Muhammad, kami akan menyembah apa yang kamu sembah, dan sembahlah apa yang kami sembah dan kami akan bekerja sama denganmu dalam segala urusan. Jika engkau datang secara baik-baik diantara kami dan kami telah bersekutu denganmu, kami telah mengambil bagian kami, dan jika kami datang secara baik-baik engkau telah bersekutu kepada kami dengan urusan kami, dan engkau telah mengambil bagianmu, maka Allah menurunkan (Hai orang-orang kafir) hingga akhir atau selesai surat. Dan firman-Nya (untukmu agamamu dan untukku agamaku) Allah berfirman untuk mengingatkan Muhammad; untukmu agamamu maka jangan kamu tinggalkan selamanya, karena Agama itu telah dicap (ditetapkan) sebagai Agamamu, dan ditetapkan supaya engkau tidak akan melepaskannya (Agama) dan engkau akan mati dalam Agama itu, dan bagiku Agama yang Aku peluk. Saya tidak akan meninggalkannya selamalamanya. Karena Agama itu sejak dulu adalah Agama yang berasal dari Allah (Agama Allah), Aku tidak akan berpindah kepada selainnya.
38
Yunus menceritakan kepadaku, beliau berkata; Ibnu Wahab mengabarkan kepada kami, dia berkata; Ibnu Zaid mengomentari tentang firman Allah (untukmu Agamamu dan untukku Agamaku), dia berkata untuk orang-orang musyrik, dia berkata; orang-orang Yahudi tidak menyembah selain Allah dan tidak menyekutukan-Nya, hanya saja mereka mengingkari sebagian Nabi-Nabi Allah, dan apa yang datang dari Allah kepada mereka dan mereka mengingkari Rasul Allah dan apa yang datang bersamanya
(ajaran
Islam)
dari
Allah,
dan
mereka
membunuh
kebanyakkan dari Nabi dengan dhalim dan membuat permusuhan, dia (Ibnu Zaid) berkata; kecuali anggota keluarga yang mereka sisakan, sampai-sampai orang Yahudi keluar rumah dengan congkak atau sombong (meletakkan tangan di atas punggung) mereka berkata “Uzair anak Allah menyeru kepada mereka tetapi mereka tidak mau menyembahnya dan tidak melakukannya, sebagaimana yang dilakukan oleh orang Nasrani yang mengatakan “Al-Masih (Isa) itu anak Allah” dan mereka menyembahnya (Isa)”. Sebagian penduduk Arab ada yang mengatakan; pengulangan firman Allah (Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah) sebanyak dua kali, merupakan bentuk tauhid (penguatan) seperti dalam firman Allah yang lain (sesungguhnya dibalik kesusahan ada kemudahan; ﻓـﺎﻥ ﻣـﻊ ﺍﻟﻌﺴﺮﻳﺴـﺮﺍ ﺍﻥ ﻣﻊ ﺍﻟﻌﺴﺮﻳﺴﺮﺍ,) dan seperti firmannya (engkau akan melihat mereka jahim kemudian engkau akan benar-benar melihatnya dengan sebenar-benarnya penglihatan ﺍﻟﻴﻘﻲ
١٥
ﰒ ﻟﺘﺮﻭﻬﻧﺎ ﻋﲔ,)ﻟﺘﺮﻭﻥ ﺍﳉﺤﻴﻢ.15
Abu Ja’far Muhammad bin Jarir AT-Thobari, Jami’ul Bayan Fi Ta’wil AlQur’an,Dar Al-Fikr, Juz 30, Kairo, tt, hlm. 330-332.
39
B. SAYYID QUTB 1. Riwayat Hidup dan Karya-Karya Sayyid Qutb As-Syahid Qutb dilahirkan di Desa Musyah, propinsi Asyiyut, Mesir pada tanggal 21 sya’ban 1324 H / 9 Oktober 1906 M.16 Nama lengkapnya Sayyid bin Haji Qutb bin Ibrahim.17 Ayahnya seorang yang saleh, Ibunya bernama Fatimah juga muslimat yang taat beragama dan tekun mendalami Al-Quran. Qutb merupakan anak pertama dari empat bersaudara yaitu Muhammad, Hamidah, Aminah.18 Keluarga ini hidup sederhana sebagai seorang petani yang mengolah tanah pertaniannya dengan tekun. Ayahnya dikenal baik sebagai seorang yang belas kasih dan sayang pada sesama di desanya, kedua orang tuanya selalu menanamkan cita-cita dan senantiasa menggoreskan cinta terhadap ilmu pengetahuan dalam jiwa putra-putrinya.19 Awal pendidikan Qutb secara sederhana didesanya. Ia seorang anak yang cerdas pada usia sepuluh tahun Qutb sudah hafal Al-Quran20, meskipun di Mesir pada usia itu hafalan Al-Quran adalah salah satu yang umum
bagi anak-anak dari keluarga yang putra-putrinya ingin
melanjutkan pendidikan di Al-Azhar. Ini adalah salah satu bukti perhatian orang tuanya akan pendidikan anak-anaknya. Setelah pindah ke Halwan, daerah pinggiran Kairo ia melanjutkan pendidikan dengan masuk Taijhiziah Darul Ulul Kairo, yang sekarang menjadi Universitas Kairo. Di sini ia mendalami ilmu-ilmu modern dan kesustraan. Ia mulai kuliah di Darul Ulul tahun 1929 M dan memperoleh gelar sarjana muda dibidang pendidikan tahun 1933. Setelah lulus ia ١٦
Sayyid Qutb, Tafsir Fi Zhilal Al-Quran, Terjemahan As’ad Yasin, Abdul Azis Salim Basyarahil, Muchotob Hamzah, Gema Insani, Jakarta, Jilid I, 2000, hlm. 318. ١٧ Mahdi Fahulullah, Titik Temu Agama dan Politik, CV.Ramadhani, Solo, 1999, hlm. 28. ١٨ Ibid, hlm. 29. ١٩ Ibid, hlm. 28-29. ٢٠ Sayyid Qutb, loc.cit.
40
diangkat menjadi dosen di almamaternya. Beberapa tahun kemudian ia diangkat menjadi pengurus sekolah departemen pendidikan. Departemen ini kemudian mengirimnya ke Amerika Serikat untuk memperdalam pengetahuannya di bidang pendidikan. Selama dua tahun Qutb belajar diWinsons College di Washington dan di Coreely Colorado serta Stanford University di California selama di Amerika, Qutb banyak mengunjungi kota-kota besar, Di samping itu ia melawat pula ke Inggris, Swiss dan Italia, untuk beberapa minggu. Perjalanan ini dilakukannya pada musim semi sekitar tahun 1948 bersama rombongan delegasi Departemen pendidikan.21 Hasil studi dan pengalamannya itu meluas wawasan pemikirannya mengenai problem-problem sosial kemasyarakatan yang diditimbulkan oleh paham materialisme yang gersang akan paham keTuhanan. Ketika kembali ke Mesir, ia semakin yakin bahwa Islamlah yang sanggup menyelematkan manusia dari paham materialisme, sehingga terlepas dari cengkeraman dari materi yang tak pernah terpuaskan.22 Gerakan modern dalam Islam ada dua organisasi yang dominan dalam kancah politik dunia Islam abad ke-20. Aktivisme Islam kontemporer berutang budi kepada ideologi dan contoh oraganisatoris yang ditemukan dalam tubuh Al-Ihkwan Al-Muslimin dan jamaat Islam. Pendiri dan ideolog keduanya, Hasan Al-Banna dan Sayyid Qutb keduanya dari Al-Ihkwan Al-Muslimin, dan Maulana Abul Ala Maududi dari jama’at Islam. Hasan Al-Banna (1906-49) seorang guru dan mantan pengikut tokoh modernis Islam, Rasyid mendirikan Al-Ihkwan Al-Muslimin di Mesir pada tahun 1928, sementara maulana Abul Ala Maududi (19031979) seorang jurnalis, mengorganisasi jamaat Islam di India pada tahun 1941. Kedua gerakan ini muncul dan berkembang pada awal tahun 30-an dan 40-an. ٢١
Sayyid Qutb, Mengapa Saya Dihukum Mati, Terj. H. D. Ahmad Djauhar Tanwiri, Mizan, Bandung, 1987, hlm. 14. ٢٢ Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Cet. I, Jakarta, 1993, hlm. 145.
41
Ideologi Hasan Al-Banna dan Maulana Al-Maududi dipertajam oleh konteks sosial mereka, dengan ideologi revivalisme Islam di Mesir menjadi kian militan dan siap tempur pada akhir dekade 50-an dan 60-an. Ini adalah akibat konfrontasi tak terelakkan antara Al-Ihkwan Muslimin dengan pemerintah Mesir.23 Al-Ihkwan Al-Muslimin berniat mewujudkan umat manusia yang bertanah air muslim dan beriman kedalam kenyataan dan kebenaran baik dalam praktek maupun dalam alam kesadaran. Hal ini dikarenakan rasa ketidakpuasan atas konstitusi Mesir Islam sebagai agama
negara yang hanya menjadi simbol belaka. Mereka
menyusun undangan-undangan yang sepenuhnya berdasarkan ajaran Islam termasuk pada pelaksanaannya, mereka menginginkan warna Islam pada sebuah mesin kekuasaan. Masalah penting berikutnya dalam tujuan politik Al-Ikhwan AlMuslimin ialah menentang imperiaslisme, terutama pembebasan seluruh lembah Nil dari pengaruh asing. Prinsip ini memaksakan Al-Ikhwan AlMuslimin bermusuhan dengan Inggris. Begitulah, dengan tujuan dan prinsip-prinsipnya Al-Ikhwan AlMuslimin menjadi sebuah gerakan yang dianggap merespon kondisi saat itu di Mesir gerakan ini, disatu sisi menentang pengadopsian ide-ide barat oleh elit politik pada saat yang sama merasa kecewa dengan peran ulama’ yang mandul. Di dalam gerakan ini Qutb mengabdikan dirinya. Ia merasa tertarik dengan gerakan ini sekitar tahun 1951. Baru pada tahun 1953 Qutb sendiri menyatakan bahwa ia bergabung dengan gerakan Al-Ikhwan AlMuslimin.24 Ia terpilih sebagai anggota panitia pelaksana dan memimpin bagian dakwah. Selama tahun 1953 ia menghadiri konfrensi di Suriah dan Yordania. ٢٣
John L. Esposito, Ancaman Islam, Terj: Al-Wiyah Abdurrahman dan Misi, Mizan, Cet. I, Bandung, 1994, hlm. 140. ٢٤ Sayyid Qutb, Mengapa Saya… op.cit, hlm. 17.
42
Setelah Qutb menjadi anggota Al-Ikhwan Al-Muslimin, pada tahun 1954 ia dipercaya menjadi pimpinan redaksi harian Al-Ikhwan yang bernama Al-Ikhwan Al-Muslimin. Baru dua bulan berjalan harian ini dibredel oleh rezim Abdul Naseer. Pada tanggal 27 Oktober 1954 AlIkhwan dituduh melakukan kudeta, empat aktivisnya ditangkap dan dijatuhi hukumam gantung. Alasanya, anggota Al-Ikhwan mencoba melakukan pembunuhan terhadap presiden Abdul Naseer.25 Selain empat aktivis di atas, sekitar lima puluh aktivis Al-Ikhwan Al-Muslimin lainnya ditangkap, termasuk di dalamnya Sayyid Qutb. Mereka dipenjara tanpa proses peradilan.26 Pemikiran Qutb memberikan corak lain bagi gerakan Al-Ikhwan Al-Muslimin, pada dasarnya perjuangan yang dilakukan melalui gerakan ini bertujuan untuk membentuk negara Islam dengan cara damai, bukan dengan jalan kekerasan. Dalam mendarma baktikan hidupnya pada gerakan ini tidak sedikit yang dikembangkannya baik untuk Al-Ikhwan Al-Muslimin, terutama sekali untuk kemerdekaan bangsa Mesir yang pada waktu itu dikuasai oleh rezim absolut yang kolonial. Qutb keluar dari tahanan tahap pertama tahun 1964. Baru setahun ia menikmati kebebasan, ia ditangkap kembali bersama tiga orang saudaranya; Muhammad Qutb, Hamidah dan Aminah. Juga ikut ditahan kira-kira 20.000 orang lainnya, diantaranya 700 orang wanita. Qutb divonis mati pada tanggal 22 Agustus 1966 oleh Mahkamah Agung (peradilan Negeri di Kairo). Ia dituduh mengkoordinir komplotan untuk menggulingkan sistem pemerintahan dengan kekuatan. Pada hari senin, 13 Jumadil awal 1386 atau dengan Agustus 1966, ia dan dua orang temannya (Abdul Fatah Ismail dan Muhammad Yusuf
٢٥
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, op.cit., hlm. 145. Qutb divonis 15 tahun penjara dengan dipekerjakan sebagai pekerja kasar, tetapi ia hanya menjalani hukuman 10 tahun diLiman tanah beberapa mil dari kota Kairo. Sisanya sebagai grasi atas permohonan secara pribadi presiden Irak. Abdussalam. Arif kepada Gamal Abdul Naseer ketika berkunjung ke Kairo tahun 1954, Mahdi Fahulullah, op.cit, hlm. 35-36 ٢٦
43
Hawwasy) menyambut panggilan Rabbnya Syahid di tali tiang gantungan.27 Sayyid Qutb menulis lebih dari dua puluh buah buku, ia mulai mengembangkan bakat menulisnya dengan membuat buku untuk anakanak yang meriwayatkan pengalaman Nabi Muhammad SAW., dan ceritacerita lainnya dari sejarah Islam. Perhatiannya kemudian meluas dengan menulis cerita-cerita pendek, sajak-sajak, kritik, serta artikel untuk majalah.28 Buku-buku tersebut dapat kita klasifikasikan sebagai berikut: 1. Buku-buku sastranya bersifat mengkritik meliputi: a. Muhimmah Al-Syair Fi Al-Hayah ( 1932 ) b. Al-Tashwir Al-Fanm Fi Al-Quran ( 1945 ) c. Masyahid Al-Qiyamah Fi Al-Quran ( 1945 ) d. Al-Naqdu Al-Adabi : Ushuluhu Wa Manahijuhu e. Naqdu Kitabi Mustaqbali Al-Tsa Qafah Fi Misra 2. Buku-buku cerita: a. Thiflun min Al-Qaryah (1945) b. Al-Athyafu Al-Arba’ah c. Asywak d. Al-Maidah Al-Mashurah 3. Yang berhubungan dengan pendidikan dan pengajaran: a. Al-Qashash al-Din b. Al-Jadid fi Al-Lughah Al-Arabiah c. Al-Jadid fi Al-Mahfudzat d. Raudlat Al-Thifli
٢٧ ٢٨
Sayyid Qutb Tafsir Fi Dzilal Al-Quran, op.cit, hlm. 319. Ibid, hlm. 319.
44
4. Kumpulan-kumpulan buku Agama: a. Al-‘Adalah Al-Ijtimaiyah ( 1948 ) b. Ma’rakah Al-Islam Wa Ra’Samaliyah ( 1950 ) c. Al-Salaam Al-Alami Wa Al-Islam ( 1951) d. Nahwa Mujtama’in Islami ( 1952 ) e. Fi Zhilal Al-Quran ( 1953-2964 ) f.
Khashaish Al-Tashwir Al-Islami
g. Al-Islam Wa Musykilat Al-Hadlarah h. Dirasat Islamiyah i.
Hadza Al-Din
j.
Al-Mustaqbal li Hadza Al-Din
k. Ma’alim fi Al-Thariq ( 1965 ) Berikut ini tema syairnya yang dimuat dalam surat kabar harian dan majalah seperti Al-Risalah, Al-Liwa’ Al-Jadid, Al-Da’wah, Al-Harhah, Misra Al-Falal, Al-Muslimin dan Isytirakiyah: a. Al-Syathi’u Al-Majhul b. Hilmu Al-Fajri c. Qafilatul Al-Raqiq d. Nihayatu Al-Muthaf e. Hilmun Qadim f. Intahaina g. Fi Al-Shahra h. Min Bawakiri Al-Kifah Cerita-cerita: a. Min Al-A’maq b. Ila Al-Iskandariyah c. Suqu Al-Raqiq d. Tilmidzah e. Adzara’
45
f. Khathi’ah g. Um h. Ab Berbagai makalah: a. Nahnu Al-Sya’b b. Al-Kutlah Al-Islamiyah c. Ila Al-Ahzab Al-Mishriyah d. Madaris Lial-Suhti e. Difa’an Al-Fadhilah Berbagai pembahasan kritik mengenai hasil karya pengarangpengarang besar tentang sastra, syair dan cerita seperti: a. Khan Al-Khalili karya Najib Mahfudz b. Al-Malik Udib karya Taufiq Al-Hakim c. Hamazatu Al-Syayathin karya Abdul Hamid Jaudah Al-Sahar d. Wahyu Al-Arba’in Wa Sarah karya Abbas Mahmud Al-Aqqada e. Sair Mahmud Abu Al-Wafa’ f. Adabu Al-Rafi’I g. Da’watu Al-Kasyani Ila Mu’tamar Islami h. Madza Khasira Al-Alam bi inhithathi Al-Muslimin i. Baina Al-Falsafah Wa Al-Adab karya Al-Adham j. Difa’an ‘an Al-Balaghat karya Muhammad Hasan Al-Zayyad k. Min Mufaraqati Al-Tafkir karya Ismail Madzhar l. Al-tanasuq Al-Fanni Fi Al-Quran m. Hadzihi Hiya Al-Aghlal karya Abdullah Al-Qashimi.29 Sewaktu di dalam tahanan ia menulis karya terakhirnya: Ma’alim fi Ath-Thariq (1964), dalam buku ini, ia mengemukakan gagasannya tentang perlunya revolusi total, bukan semata-mata pada sikap individu. Namun ٢٩
Mahdi Fahlullah, op.cit, hlm. 39-41.
46
juga pada struktur negara. Selama periode inilah logika konsepsi awal negara Islamnya Sayyid Qutb mengemukakan. Buku ini pula yang dijadikan bukti utama dalam sidang yang menuduhnya bersekongkol hendak menumbangkan rezim Naseer.30
2.
Latar Belakang Penafsirannya Pada awalnya, Sayyid Qutb dalam menyusun pustaka Bara AlQuran adalah dengan tujuan sastra dan seni, dan metode (Manhaj) beliau di dalam melakukan studi adalah metode estetika dan perasaan atau sentuhan (dzauq). Setelah peluncuran episode pertama dari pustaka Baru Al-Quran yaitu Masyahid Al-Qiyamah Fi Al-Quran, maka perhatian-perhatian Sayyid Qutb pun berubah ke fase keislaman yang bersifat umum. Beliaupun mengkaji Al-Quran pada kali ini karena dorongan-dorongan yang bersifat pemikiran kemasyarakatan dan reformasi. Buah dari studi ini adalah buku pemikiran beliau yang pertama, Al-‘Adalah Al-Ijtama’iyah Fi Al-Islam (keadilan sosial dalam Islam), yang beliau tulis sebelum diutus ke Amerika, dan cetakan pertamanya terbit pada bulan April 1949. Sayyid Qutb sengaja memilih media keadilan sosial untuk ditulis serta menjelaskan metode Al-Quran di dalam menegakkan keadilan dan kaidah-kaidah dalam mewujudkannya karena Mesir ketika itu sedang melalui fase sosial yang sulit setelah perang Dunia II. Di dalam negara Mesir muncul fenomena-fenomena sosial yang terdistorsi serta kelaskelassosial yang saling berlawanan. Sementara itu mayoritas masyarakat Mesir hidup dalam kemelaratan dan berada dibawah tekanan kezhaliman sosial yang sengaja dibuat oleh para tokoh istana dan kaum feodal dari kalangan para bangsaw,an dan para tuan tanah. Tapi kelompok borjuis, para pengusaha dan keluarga istana dalam keadaan hidup yang berlebihan dan berfoya-foya dalam kemewahan dengan penuh kemaksiatan.
٣٠
Sayyid Qutb, Tafsir……op.cit, Jilid I, hlm. 320.
47
Oleh karena itu, beliau menulis bukunya untuk menjelaskan kepada masyarakat Mesir bahwa keadilan sosial yang mereka inginkan itu hanya ada di dalam Islam31. Ketika kembali ke Mesir, Sayyid Qutb mendapatkan pergolakan pemikiran yang lebih dahsyat lagi antara Islam dan Jahiliyah. Maka beliau ingin menyumbangkan pemikiran Islam untuk mengalahkan musuhnya dan menginginkan adanya kekuatan Islam yang besar untuk mendapatkan kemenangan dalam alam pemikiran dan kajian, dalam dunia da’wah dan informasi serta dalam dunia jihad dan pergerakan. Dalam fase ini Sayyid Qutb mempunyai kepedulian dalam pemikiran yang didapatkan dari inspirasi Al-Quran dan hidup dibawah naungan Al-Quran. Beliau ingin menampilkan isi Al-Quran seluruhnya serta ingin menjelaskan karateristik-karakteristik dan ciri-ciri yang ada di dalamnya.32 Pemikiran Sayyid Qutb tersebut disebarkan luaskan dalam majalah Al-Muslimin selama tujuh edisi berturut-turut. Dalam edisi ketujuh, Sayyid Qutb mengatakan untuk berhenti menulis Fi Zhilal Al-Quran dalam majalah, karena beliau akan menafsirkan Al-Quran secara utuh dalam sebuah kitab (tafsir) tersendiri, yang akan diterbitkan dalam juz-juz secara bersambung. Juz yang pertama muncul pada bulan Oktober 1952 yang diikuti dengan juz-juz lainnya.33 Maka ketika majalah Al-Muslimin terbit pada akhir tahun 1951 M, pimpinan redaksi majalah tersebut, Sa’id Ramadhan, minta kepada Sayyid Qutb untuk aktif dalam menyumbangkan tulisannya dalam setiap bulannya, dan diharapkan makalah tersebut dalam tema yang bersambung. Dan dari sini terbukalah keinginannya yang terpendam tersebut, yang kemudian beliau aktif menuangkan segala gejolak pemikiran Islamnya yang berinspirasi dari Al-Quran dengan tema yang membangkitkan semangat pemikiran dan pergerakan yang diberi tema; Fi Dzilal Al-Quran. ٣١
Shalah Abdul Fatah Al-Khahdi, Pengantar…., op.cit, hlm. 51-52 . Shalah Abdul Fatah Al-Khalidi, Tafsir Metodologi Pergerakan, Terj. Asmuni Solihan Zamakhsyari, Yayasan Bunga Karang, Jakarta, Cet. I, 1995, hlm. 18. ٣٣ Ibid, hlm. 18-19. ٣٢
48
3.
Penafsiran Sayyid Qutb Terhadap Surah Al-Kafirun Pada dasarnya orang Arab itu tidak ingkar atau dusta kepada Allah, akan tetapi mereka hanya tidak tahu pada hakekatnya yang mereka lakukan mengenai sifat dan diri Allah, Esa, Tinggi (Ahad dan Shomad). Mereka menyekutukan-Nya, mereka tidak mampu mengenal Allah dengan benar, dan mereka tidak menghamba (menyembah)-Nya dengan serius. Mereka menyekutukan Allah dengan berhala-berhala yang menjadikannya sebagai simbol para leluhur mereka yang mulia dan agung. Atau mereka menjadikan berhala-berhala itu sebagai simbol Malaikat… dan mereka menganggap bahwa Malaikat adalah anak perempuan Allah, dan bahwasanya diantara Dia dan surga sangat dekat, sehingga mereka bahkan melupakan bahwa ini semua hanyalah simbol dan malah menyembah Tuhan-Tuhan (baru) ini, dan dalam hal ini mereka menjadikan berhalaberhala itu untuk mendekatkan diri mereka kepada Allah sebagaimana yang telah diceritakan oleh Al-Quran tentang mereka dalam surat AzZumar.
Mereka
berkata,
“Kami
menyembahnya
hanyalah
untuk
mendekatkan diri kami kepada Allah”. Al-Quran telah menceritakan tentang mereka bahwa mereka mengakui Allah lah yang menciptakan langit dan bumi, menggerakan matahari dan bulan, dan dan menurunkan hujan dari langit sebagaimana yang dipaparkan dalam surat Al-Ankabut; “Dan apabila engkau tanyakan kepada mereka siapa yang menciptakan langit dan bumi dan siapa yang menggerakan matahari dan bulan, mereka akan menjawab Allah” … “Dan jika engkau menanyakan kepada mereka siapa yang menurunkan hujan dari langit dan menghidupkan bumi setelah mati, mereka akan menjawabkan” “… Bahkan dalam sumpah mereka menggunakan kalimat
( ﺘﺎﷲ ; ﻭﺍﷲdemi Allah ) dan dalam berdo’a mereka mengucapkan “ ”ﺍﻟﻠﻬﻡ. Akan tetapi karena keimanan mereka kepada Allah diiringi dengan kesyirikan, maka hal ini merusak diri mereka begitu juga taklid dan ritualritual yang merusak, mereka menjadikan Tuhan sebagai tempat menyajikan (sesaji) hasil pertanian dan binatang ternak, dan bahkan
49
menyajikan anak-anak mereka. Sampai-sampai untuk mendapatkan hasil yang baik ini kadang-kadang mereka rela mengorbankan anak-anaknya. Dalam hal ini Al-Quran berbicara tentang mereka dalam Al-An’am; “ Dan mereka menjadikan hasil pertanian dan binatang ternak untuk Allah. Mereka mengatakan ini untuk Allah-dengan simbolnya-dan ini adalah untuk Syuroka’ (yang menghubungkan dengan Allah; simbol-simbol tadi; Al-Latta Wal-Uzza) kami. Akibat adanya syuroka’ itu, maka persembahan itupun tidak sampai kepada Allah. Pada dasarnya persembahan itu bukanlah untuk Allah, tetapi itu adalah untuk syuroka’ mereka. Terserah apa yang mereka putuskan! Begitu juga kebanyakan diantara orang-orang musyrik tega membunuh anak-anaknya untuk persembahkan kepada syuroka’ agar do’a mereka dikabulkan, dan agar syuroka’ tersebut mau memberkati mereka dan Agama mereka, walaupun Allah membiarkan apa yang mereka lakukan, namun Allah marah atas apa yang mereka perbuat, mereka mengatakan; ini adalah binatang ternak dan hasil pertanian yang diharamkan, tidak boleh ada yang memakannya kecuali yang kami kehendaki-yaitu Tuhan simbol mereka-dan juga binatang ternak ini diharamkan punggungnya, mereka tidak menyebut Asma Allah dalam atau ketika menyembelih binatang ternak Allah akan memberikan balasan atas apa yang mereka lakukan, dan mereka berkata; Apa yang ada dalam perut binatang ternak ini baik untuk sesembahan kita, dan diharamkan untuk istri-istri kita, dan jika menjadi bangkai di dalamnya ada syuroka’. Allah akan memberikan balasan kepada mereka karena sesungguhnya Dia Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui, sungguh telah merugi orang-orang yang membunuh anak-anaknya yang masih lemah tanpa mereka sadari. Dan mereka yang mengharamkan rizki Allah dengan dalih untuk mendekatkan diri pada Allah. Sungguh mereka telah sesat dan mereka bukan termasuk orang-orang yang mendapatkan petunjuk”. Ketika Muhammad datang dan mengatakan bahwa sesungguhnya Agamanya (Muhammad) adalah Agama Ibrahim as., mereka mengatakan; Agama kami juga Agama Ibrahim, lalu apa untung kami meninggalkan
50
Agama kami dan mengikuti Muhammad?! Pada suatu ketika mereka berangkat untuk membujuk Rasulullah SAW., dengan membuat perjanjian antara mereka dan Nabi; mereka membujuk Nabi untuk menyembah Tuhan-Tuhan
mereka
dan
merekapun
akan
menyembah
Tuhan
Muhammad! Dan hendaknya Muhammad menghentikan mencela Tuhantuhan mereka dan ritual ibadah mereka. Dan kedua belah pihak wajib mentaati dan melaksanakan syarat-syarat ini. Mungkin keinginan untuk berkolaborasi dan mengelabui Nabi hanya angan-angan mereka belaka, pengakuan keimanan mereka kepada Allah diiringi dengan beribadah kepada Tuhan yang lain… mungkin hal ini memberikan rasa kepada mereka bahwa jarak antara mereka dan Muhammad dekat, mungkin
dapat dipahami demikian, seperti halnya
bagian kota diantara dua kota, keduanya dimungkinkan lebih sering bertemu ditengah-tengah jalan, dengan beberapa kompensasi kepribadian! Untuk memecahkan masalah yang masih samar (syubhah) ini, menghentikan jalan yang mengarah pada kerusakan dan memutuskan untuk mengklafikasikan atau membedakan antara ibadah yang satu dengan ibadah yang lain, metode dan metode, imajinasi dan imajinasi, langkah atau jalan dan langkah atau jalan …. Turunlah surat ini, dengan ketetapan ini. Dan dengan tauhid (penguatan) ini. Dan dengan ikror (pengulangan) ini. Untuk menolak segala komentar, dan menghentikan segala bentuk penawaran serta pada akhirnya membedakan antara tauhid dan syirk, dan memberikan petunjuk yang jelas, tawaran dan bantahan yang mereka kemukakan baik yang sedikit maupun yang banyak tidak diterima. “Katakanlah (hai Muhammad) wahai orang-orang kafir. Aku tidak akan menyembah apa yang kalian sembah. Dan kalian atau kamu bukanlah penyembah apa yang aku sembah, dan aku bukan penyembah apa yang
kamu sembah, dan engkau bukanlah
penyembah apa yang aku sembah. Untukmu Agamamu dan untukku Agamaku”.
51
Peniadaan setelah peniadaan (nafi ba’da nafi), ketetapan setelah ketetapan (jazm ba’da jazm) penguatan setelah penguatan (tauhid ba’da tauhid). Dengan berbagai uslub (tata bahasa nafi, jazm dan tauhid).
ﻗل
(katakanlah)… adalah perintah Tuhan sebagai sebuah solusi yang
diberikan kepada orang yang diberi wahyu di mana perintah tentang akidah (keyakinan atau kepercayaan) ini merupakan perintah Allah semata. Perintah itu bukan perintah Muhammad. Sesungguhnya Dialah Allah yang maha memerintah yang tidak bisa tidak ditolak perintah-Nya, dan Dialah sang hakim yang tidak bisa ditolak atau gugat keputusannya. “Katakanlah (hai Muhammad) wahai orang-orang kafir “… panggilan terhadap mereka dengan menunjukan hakekat mereka, mensifati dengan sifat mereka sendiri … sesungguhnya mereka tidak beragama, dan mereka juga bukan orang mu’min (orang yang beriman) akan tetapi mereka adalah orang-orang kafir. Maka jangan sampai terjadi kesepakatan antara kamu (Muhammad) dengan mereka. Inilah yang diwahyukan sebagai pembuka surat ini dan sekaligus untuk membuka pembicaraan dengan memfokuskan pada pemisahan apa yang diharapkan atau diiringikan tidak berkait! “Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah” “… ibadahku bukanlah
ibadahmu dan ma’budmu (orang yang diibadahi;
Tuhan) bukan ma’budku. “Dan kamu bukanlah penyembah apa yang aku sembah “ ibadahku bukanlah ibadah ibadahmu dan ma’budmu bukan ma’budku”. “Dan aku bukanlah penyembah apa yang aku sembah”. “… sebagai tauhid (penguat) ungkapan pertama dalam bentuk jumlah ismiyah dan ini menunjukkan akan sifat mereka yang tetap (tidak akan pernah berubah) dan berkesinambungan (terus menerus). “Dan kamu bukanlah penyembah apa yang aku sembah”. “… sebagai pengulangan untuk tauhid (menguatkan) ungkapan kedua. Sehingga tidak adalagi syubhah dan keraguan dan tidak ada lagi upaya untuk ragu-ragu setelah pentauhidan pengulangan ini.
52
Kemudian secara global menunjukkan hakekat pemisahan atau perbedaan yang tidak mungkin lagi untuk dipertemukan, perbedaan yang tidak diragukan lagi, pemisahan yang tidak dapat disambung lagi dan pembedaan yang tak dapat dicampur jadi satu lagi. “Untukmu agamamu dan untukku agamaku”. “Aku di sini dan kalian di sana tidak ada pembicaraan, tidak ada jembatan dan tidak ada jalan yang dapat mempersatukan, pemisahan atau perbedaan yang sempurna dan sangat jelas”. Bahwasanya pemisahan ini dilakukan agar jelas letak perbedaan sejelas-jelasnya yang tidak mungkin untuk dapat dipertemukan kembali. Perbedaan itu nyata dalam keyakinan, sifat asli, hakekat manhaj (cara atau metode) dan tabiat sebenarnya. Sesungguhnya tauhid adalah manhaj, dan syirik manhaj yang lain … keduanya tidak mungkin dapat dipersatukan … tauhid adalah sebuah manhaj yang dituju manusia-dengan seluruh keberadaannya-kepada Allah semata dan tidak menyekutukannya. Dan Allah membatasi arah yang akan ditempuh manusia dengan akidah dan syari’ah, kebenaran (kekerasan) dan keadilan, adab dan etika (akhlaq), dan sifat-sifat-Nya yang diterapkan dalam kehidupan. Dan inilah arah yang dicapai dan ditempuh oleh orang mu’min yaitu Allah. Allah semata yang tiada sekutu baginya. Pada segi lain seluruh aktivitas kehidupan ditopang dengan asas (pondasi) ini. Tanpa diselimuti dengan syirik baik ketika dalam keadaan terang-terangan maupun sembunyi… dan inilah yang menjadi benteng. Pembedaan atau pemisahan yang begitu jelas ini penting bagi Da’i (penyeru) dan penting bagi mad’uwin (orang-orang yang diseru)… Sesungguhnya sifat-sifat orang Jahiliyah mencemari sifat keimanan khususnya pada kelompok-kelompok yang mengerti atau mengetahui akan akidah atau keyakinan sebelumnya kemudian berpaling. Kelompok ini adalah kelompok yang paling a’sha (terburuk) yang keimanannya (kepercayaannya) merupakan sifat yang gelap berasal dari kebathilan,
53
kemurkaan dan keberpalingan (dhalim). Lebih buruk dari kelompokkelompok yang tidak mengerti masalah akidah sama sekali. Yang demikian itu
karena dia (kelompok tersebut) mengira dirinya diberi
petunjukdan ketika dia berakidah, kemudian berpaling dan menghindar. Bercampurnya
akidah-akidahnya
dan
amalan-amalannya
serta
bercampurnya antara yang benar dan yang salah dalam akidah kadangkadang penyeru-membujuk dengan angan-angan untuk menariknya, jika dalam seseorang satu sisi baik dia akan mengimbangi dengan memberi keburukan pada sisi lain… dan bujukan atau hasutan ini hanyalah pada akhirnya untuk mencari keuntungan. Sesungguhnya orang Jahiliyah itu tetap Jahiliyah dan orang Islam tetap. Dan perbedaan diantara keduanya jauh. Dan sabil (jalan) adalah keluar dari kejahiliahan dengan segala tendensinya apa yang ada menuju Islam. Yaitu meninggalkan kejahiliahan dengan segala apa yang ada di dalamnya dan hijrah menuju Islam dengan segala apa yang ada di dalamnya. Langkah pertama adalah membedakan seruan dan perasaan atau kesadaran dengan benar-benar memisahkan dari Jahiliyah; segi sifat, metode dan ritual (amal). Pemisahan yang tidak mungkin untuk dapat dipertemukan kembali. Pemisahan yang mustahil akan kerja sama kecuali apabila orang Jahiliyah berpindah menuju keislaman. Perbedaan sifat ini merupakan hal pokok atau dasar. Bagi mereka Agama mereka, baginya (Muhammad) agamanya, bagi mereka jalan mereka dan baginya (Muhammad) jalannya. Allah tidak membutuhkan mereka untuk masuk Islam ini adalah kebebasan, ini adalah pemisahan dan ini adalah solusi… Allah tidak membutuhkan tawaran mereka yang akan memeluk Islam dengan syarat mereka, mereka sebelumnya mengetahui akidah, dan waktu itu telah berlaku lama (hati mereka mati dan kebanyakan diantara mereka adalah orang-orang
fasik)
….
Bahwasanya
tidak
ada
tali
yang
bisa
menghubungkan, tidak bisa dipertemukan, tidak ada istilah,… dan ini
54
adalah dakwah Islam, dakwah terhadap kaum Jahiliyah. Dan pemisahan dari kaum Jahiliyah (untukmu agamamu dan untukku agamaku)… ini adalah agamaku; tauhid yang tulus yang mengandung sifat-Nya, kebesaran-Nya, akidah-Nya dan syari’at-Nya. Semua dari Allah … Tidak ada syirik … segalanya … Untuk setiap perikehidupan dan kelakuan atau perbuatan. Tanpa adanya pemisahan ini, maka kebathilan, penipuan, percampuradukan akan tetap ada… dan dakwah Islam tidak berpegangan pada asas yang lemah ini. Sesungguhnya dakwah Islam hanya berpegang pada solusi yang tepat, jelas dan berani… Dan ini adalah langkah dakwah yang pertama; bagimu agamamu dan bagiku agamaku.34
٣٤
3990-3993
Sayyid Qutb, Fi Dzilalil Qur’an, Juz 30, Jilid 6, Dar Asy-Syuruq, Kairo, 1992, hlm.