PENDAPAT SAYYID SABIQ TENTANG IKRAR WAKAF TIDAK MEMERLUKAN QABUL
SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S1) Dalam Ilmu Syari’ah
Oleh: M. FAIZIN NIM: 2104149
JURUSAN AHWAL SYAHSIYAH FAKULTAS SYARI’AH IAIN WALISONGO SEMARANG 2010
PERSETUJUAN PEMBIMBING Lamp : 5 (lima) eksemplar Hal : Naskah Skripsi a.n. Sdr. M. Faizin
Kepada Yth Dekan Fakultas Syari'ah IAIN Walisongo Di Semarang
Assalamua’alaikum Wr.Wb. Setelah saya meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya, bersama ini saya kirimkan naskah skripsi saudara: Nama
:
M. Faizin
Nomor Induk
: 2104149
Jurusan
: AS
Judul Skripsi
: PENDAPAT SAYYID SABIQ TENTANG IKRAR WAKAF TIDAK MEMERLUKAN QABUL
Selanjutnya saya mohon agar skripsi saudara tersebut dapat segera dimunaqasyahkan Atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
Semarang,
Juni 2010
Pembimbing I,
Pembimbing II,
Dr. Ali Imron M.Ag NIP. 19730730 200312 1 003
Moh. Khasan, M.Ag NIP. 19741212 200312 1 004
ii
iii
MOTTO
ن ﻲ ٍء َﻓِﺈ ﱠ ْ ﺷ َ ن َوﻣَﺎ ﺗُﻨ ِﻔﻘُﻮ ْا ﻣِﻦ َ ﺤﺒﱡﻮ ِ ﺣﺘﱠﻰ ﺗُﻨ ِﻔﻘُﻮ ْا ِﻣﻤﱠﺎ ُﺗ َ ﻦ َﺗﻨَﺎﻟُﻮ ْا ا ْﻟ ِﺒ ﱠﺮ ْ َﻟ (92 :ﻋﻠِﻴ ٌﻢ )ﺁل ﻋﻤﺮان َ اﻟّﻠ َﻪ ِﺑ ِﻪ Artinya: Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan , sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah ∗ mengetahuinya (Q.S. ali-Imran: 92).
∗
Yayasan Penyelenggara dan Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, DEPAG, 1979, hlm. 91.
iv
PERSEMBAHAN Dalam perjuangan mengarungi samudra Ilahi tanpa batas, dengan keringat dan air mata kupersembahkan karya tulis skripsi ini teruntuk orang-orang yang selalu hadir dan berharap keindahan-Nya. Kupersembahkan bagi mereka yang tetap setia berada di ruang dan waktu kehidupan ku khususnya buat: o Orang tuaku tercinta yang selalu memberi semangat dalam menjalani hidup ini. o Kakak dan Adikku Tercinta yang kusayangi yang selalu memberi motivasi dalam menyelesaikan studi. o Teman-Temanku jurusan AS, angkatan 2004 Fak Syariah yang selalu bersama-sama dalam meraih cita dan asa.
Penulis
v
DEKLARASI Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, penulis menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi materi yang telah pernah ditulis oleh orang lain atau diterbitkan. Demikian juga skripsi ini tidak berisi satupun pemikiranpemikiran orang lain, kecuali informasi yang terdapat
dalam
daftar
kepustakaan
yang
dijadikan bahan rujukan. Jika di kemudian hari terbukti sebaliknya maka penulis bersedia menerima sanksi berupa pencabutan gelar menurut peraturan yang berlaku.
Semarang, 9 Juni 2010
M. FAIZIN NIM: 2104149
vi
ABSTRAK Pembicaraan tentang persoalan wakaf merupakan issue yang menarik. Perwakafan atau wakaf merupakan pranata dalam keagamaan Islam yang sudah mapan. Dalam hukum Islam, wakaf termasuk ke dalam kategori ibadah kemasyarakatan (ibadah ijtimaiyyah). Sepanjang sejarah Islam, wakaf merupakan sarana dan modal yang amat penting dalam memajukan perkembangan agama. Yang menjadi rumusan masalah adalah bagaimana pendapat Sayyid Sabiq tentang sahnya ikrar wakaf tanpa qabul? Bagaimana alasan hukum Sayyid Sabiq tentang sahnya ikrar wakaf tanpa qabul? Bagaimana relevansi pendapat Sayyid Sabiq dengan regulasi wakaf yang berlaku di Indonesia? Dalam menyusun skripsi ini menggunakan jenis penelitian kualitatif. Data Primer, yaitu karya Sayyid Sabiq yang berjudul: Fiqh al-Sunnah. Sebagai data sekunder, yaitu literatur lainnya yang relevan dengan judul skripsi ini. Adapun teknik pengumpulan data menggunakan teknik library research (penelitian kepustakaan), sedangkan metode analisisnya adalah metode deskriptif analisis. Hasil pembahasan menunjukkan bahwa menurut Sayyid Sabiq bahwa wakaf itu tidak memerlukan adanya qabul. Menurutnya bila seorang yang berwakaf berbuat sesuatu yang menunjukkan kepada wakaf atau mengucapkan kata-kata wakaf, maka tetaplah wakaf itu, dengan syarat orang yang berwakaf adalah orang yang sah tindakannya, misalnya cukup sempurna akalnya, dewasa, merdeka dan tidak dipaksa. Untuk terjadinya wakaf ini tidak diperlukan penerimaan (qabul) dari yang diwakafi. Alasan hukum Sayyid Sabiq yang berpendapat bahwa wakaf tidak memerlukan qabul adalah karena waqif itu tidak perlu dibebani masalah administratif karena wakaf sebagai ibadah tabarru' (sukarela) maka wakaf tidak mengharuskan adanya qabul, yang penting orang yang berwakaf adalah orang yang sah tindakannya, misalnya cukup sempurna akalnya, dewasa, merdeka dan tidak dipaksa. Pendapat Sayyid Sabiq yang menganggap sah ikrar wakaf tanpa qabul tidak relevan dengan regulasi wakaf yang berlaku di Indonesia. Dengan kata lain, pendapat Sayyid Sabiq berbeda dengan regulasi wakaf di Indonesia, karena berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada bahwa ikrar wakaf itu tidak cukup hanya dengan ijab melainkan juga harus ada qabul. Hal ini dapat dikaji dari tatacara perwakafan tanah di Indonesia berdasarkan UU No. 41/2004 jo PP No. 28/1977. Jika dianalisis alasan hukum Sayyid Sabiq tersebut, bahwa sebagai ibadah tabarru', wakaf memang tidak mengharuskan adanya qabul. Ini harus dipahami bahwa dalam pelaksanaannya, wakaf perlu disertai dengan bukti-bukti tertulis, agar tindakan hukum wakaf mempunyai kekuatan hukum dan menciptakan tertib administrasi. Dasarnya pun sebenarnya sangat jelas, karena ayat muamalah dalam QS. al-Baqarah 282, tentang perintah mencatat dalam urusan utang piutang, dapat menjadi analogi dalam pencatatan wakaf. .
vii
KATA PENGANTAR Segala puji bagi Allah yang maha pengasih dan penyayang, bahwa atas taufiq dan hidayah-Nya maka penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Skripsi yang berjudul: “PENDAPAT SAYYID SABIQ TENTANG IKRAR WAKAF TIDAK MEMERLUKAN QABUL” ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S.1) Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo Semarang. Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapatkan bimbingan dan saran-saran dari berbagai pihak sehingga penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih kepada: 1. Bapak Drs. H. Muhyiddin, M.Ag selaku Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang. 2. Bapak Dr. Ali Imron M.Ag selaku Dosen Pembimbing I dan Bapak Moh. Khasan, M.Ag selaku Dosen Pembimbing II yang telah bersedia meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk memberikan bimbingan dan pengarahan dalam penyusunan skripsi ini. 3. Bapak Pimpinan Perpustakaan Institut yang telah memberikan izin dan layanan kepustakaan yang diperlukan dalam penyusunan skripsi ini. 4. Para Dosen Pengajar di lingkungan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo, beserta staf yang telah membekali berbagai pengetahuan 5. Orang tuaku yang senantiasa berdoa serta memberikan restunya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Akhirnya hanya kepada Allah penulis berserah diri, dan semoga apa yang tertulis dalam skripsi ini bisa bermanfaat khususnya bagi penulis sendiri dan para pembaca pada umumnya. Amin.
Penulis
viii
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................ ii HALAMAN PENGESAHAN....................................................................... iii HALAMAN MOTTO ................................................................................... iv HALAMAN PERSEMBAHAN .................................................................. v HALAMAN DEKLARASI........................................................................... vi ABSTRAK ................................................................................................... vii KATA PENGANTAR................................................................................... viii DAFTAR ISI ................................................................................................. ix BAB I :
BAB II :
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
.................................................... 1
B. Perumusan Masalah
.................................................... 5
C. Tujuan Penelitian
.................................................... 5
D. Telaah Pustaka
.................................................... 6
E. Metode Penelitian
.................................................... 9
F. Sistematika Penulisan
.................................................... 12
LANDASAN TEORI TENTANG WAKAF A. Definisi Wakaf dan Dasar Hukumnya ................................... 14 B. Syarat dan Rukun Wakaf
................................................... 19
C. Macam-Macam Wakaf
.................................................... 27
D. Manfaat Wakaf
.................................................... 31
E. Ijab dan Qabul dalam Iqrar Wakaf......................................... 36 BAB III : PENDAPAT SAYYID SABIQ TENTANG IKRAR WAKAF TIDAK MEMERLUKAN QABUL A. Biografi Sayyid Sabiq, Pendidikan dan Karyanya................. 40 1. Latar Belakang Kehidupan dan Pendidikan Sayyid Sabiq 40 2. Karya-Karyanya
..................................... 43
ix
3. Karakteristik Khusus Pemikiran Hukum Sayyid Sabiq ..... 46 B. Pendapat Sayyid Sabiq tentang Ikrar Wakaf Tidak Memerlukan Qabul
..................................... 54
C. Alasan Hukum Sayyid Sabiq tentang Ikrar Wakaf Tidak Memerlukan Qabul
..................................... 57
BAB IV : ANALISIS PENDAPAT SAYYID SABIQ TENTANG IKRAR WAKAF TIDAK MEMERLUKAN QABUL A. Analisis terhadap Pendapat Sayyid Sabiq tentang Ikrar Wakaf Tidak Memerlukan Qabul
..................................... 60
B. Analisis terhadap Alasan Hukum Sayyid Sabiq Tentang Ikrar Wakaf Tidak Memerlukan Qabul.................................. 65 C. Relevansi Pendapat Sayyid Sabiq dengan Regulasi Wakaf yang Berlaku di Indonesia BAB V :
..................................... 68
PENUTUP A. Kesimpulan
.................................................... 72
B. Saran-saran
.................................................... 73
C. Penutup
.................................................... 73
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN DAFTAR RIWAYAT HIDUP
x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Pembicaraan tentang persoalan wakaf merupakan issue yang menarik.1 Perwakafan atau wakaf merupakan pranata dalam keagamaan Islam yang sudah mapan. Dalam hukum Islam, wakaf termasuk ke dalam kategori ibadah kemasyarakatan (ibadah ijtimaiyyah). Sepanjang sejarah Islam, wakaf merupakan sarana dan modal yang amat penting dalam memajukan perkembangan agama.2 Secara bahasa wakaf berasal dari kata waqafa yang artinya al-habs (menahan).3 Dalam pengertian istilah, wakaf adalah menahan atau menghentikan harta yang dapat diambil manfaatnya guna kepentingan kebaikan untuk mendekatkan diri kepada Allah.4 Menurut Sayyid Sabiq wakaf berarti menahan harta dan memberikan manfaatnya di jalan Allah.5 Menurut Muhammad Jawad Mughniyah, wakaf adalah sejenis pemberian yang pelaksanaannya dilakukan dengan jalan menahan (pemilikan) asal, lalu
1
Ahmad Rofiq, Fiqih Kontekstual dari Normatif ke Pemaknaan Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004, hlm. 318. 2 Departemen Agama, Perkembangan Pengelolaan Wakaf di Indonesia, Jakarta: Proyek Peningkatan Zakat dan Wakaf Dirjen Bimas dan Penyelenggaraan Haji, 2003, hlm. 1 3 Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Beirut: Dar al-Fikr, tth, hlm. 307. Lihat juga Syekh Zainuddin Ibn Abd Aziz al-Malibary, Fath al-Mu’in, Semarang: Toha Putera , tth, hlm. 87. 4 Imam Taqiyuddin Abu Bakar ibn Muhammad Al-Hussaini, Kifayah Al Akhyar, Juz 1, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, t.th., hlm. 319. 5 Sayyid Sabiq, loc. cit.,
1
2 menjadikan manfaatnya berlaku umum.6 Menurut Amir Syarifuddin, wakaf adalah menghentikan pengalihan hak atas suatu harta dan menggunakan hasilnya bagi kepentingan umum sebagai pendekatan diri kepada Allah.7 Sedangkan menurut As Shan'ani, wakaf adalah menahan harta yang dapat diambil manfaatnya tanpa menghabiskan atau merusakkan bendanya (ainnya) dan digunakan untuk kebaikan.8 Dari rumusan pengertian di atas terlihat bahwa dalam Fiqh Islam, wakaf sebenarnya dapat meliputi berbagai benda. Walaupun berbagai riwayat atau hadis yang menceritakan masalah wakaf ini adalah mengenai tanah, tapi para ulama memahami bahwa wakaf non tanah pun boleh saja asal bendanya tidak langsung musnah atau habis ketika diambil manfaatnya.9 Dari berbagai rumusan di atas pula dapat disimpulkan bahwa wakaf ialah menghentikan (menahan) perpindahan milik suatu harta yang bermanfaat dan tahan lama, sehingga manfaat harta itu dapat digunakan untuk mencari keridhaan Allah swt. Adapun dasar hukum wakaf dapat dilihat dalam al-Qur'an, di antaranya dalam surat Ali Imran ayat 92:
ن ﻲ ٍء َﻓِﺈ ﱠ ْ ﺷ َ ن َوﻣَﺎ ﺗُﻨ ِﻔﻘُﻮ ْا ﻣِﻦ َ ﺤﺒﱡﻮ ِ ﺣﺘﱠﻰ ﺗُﻨ ِﻔﻘُﻮ ْا ِﻣﻤﱠﺎ ُﺗ َ ﻦ َﺗﻨَﺎﻟُﻮ ْا ا ْﻟ ِﺒ ﱠﺮ ْ َﻟ (92 :ﻋﻠِﻴ ٌﻢ )ﺁل ﻋﻤﺮان َ اﻟّﻠ َﻪ ِﺑ ِﻪ 6
Muhammad Jawad Mughniyah, al-Fiqh ‘Ala al-Mazahib al-Khamsah, Terj. Masykur, Afif Muhammad, Idrus al-Kaff, "Fiqih Lima Mazhab", Jakarta: Lentera, 2001, hlm. 635 7 Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, Jakarta: Prenada Media, 2003, hlm. 223 8 Muhammad bin Ismail al-Kahlani as-San'ani, Subul as-Salam, Juz 3, Cairo: Syirkah Maktabah Mustafa al-Babi al-Halabi, 1950, hlm. 114. 9 Adijani Al-Alabij, Perwakafan Tanah di Indonesia dalam Teori dan Praktek, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 26.
3 Artinya: Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan , sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya (Q.S. ali-Imran: 92). 10 Rasulullah saw bersabda:
ن رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ ّ ﻋﻦ اﺑﻰ هﺮﻳﺮة رﺿﻲ اﷲ ﻋﻨﻪ أ :ﻻ ﻣﻦ ﺛﻼث ّ وﺳﻠﻢ ﻗﺎل اذا ﻣﺎت اﺑﻦ ادم اﻧﻘﻄﻊ ﻋﻨﻪ ﻋﻤﻠﻪ ا ﺻﺪﻗﺔ ﺟﺎرﻳّﺔ اوﻋﻠﻢ ﻳﻨﺘﻔﻊ ﺑﻪ اووﻟﺪ ﺻﺎﻟﺢ ﻳﺪْﻋﻮﻟﻪ )رواﻩ (ﻣﺴﻠﻢ 11
Artinya: dari Abu Hurairah ra. bahwa Nabi saw. bersabda: apabila manusia sudah mati, maka putuslah amalnya kecuali dari tiga macam, yaitu sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau anak saleh yang mendo'akannya (HR. Muslim). Hadis di atas menunjukkan bahwa wakaf merupakan salah satu ibadah yang pahalanya tidak akan putus sepanjang manfaat harta yang diwakafkan itu masih dapat diambil, meskipun si pelaku wakaf sudah meninggal dunia. Oleh sebab itu wakaf tergolong ke dalam kelompok amal jariyah (yang mengalir). Wakaf dinyatakan sah apabila telah terpenuhi rukun dan syarat. Rukun wakaf ada 4 yaitu: 1. Wakif (orang yang mewakafkan); 2. Maukuf (barang/harta yang diwakafkan); 3. Maukuf 'Alaih (tujuan wakaf); 4. Shighat (pernyataan wakif sebagai suatu kehendak untuk mewakafkan harta bendanya).12
10
Yayasan Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya: DEPAG RI, 1978, hlm. 91 11 Muhammad bin Ismail al-Kahlani as-San'ani, op.cit., hlm. 312 12 Faishal Haq dan Saiful Anam, Hukum Wakaf dan Perwakafan di Indonesia, Pasuruan Jawa Timur: GBI (Anggota IKADI), 1994, hlm. 17. Lihat juga Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, Jakarta: UI Press, 1988, hlm. 84 – 85
4 Dalam hubungannya dengan akad wakaf bahwa menurut mazhab Hanafi dan Hambali, syarat akad dan lafal wakaf cukup dengan ijab saja, baik untuk wakaf pada orang tertentu maupun tidak. Sedangkan menurut ulama mazhab Maliki dan Syafi'i, dalam akad wakaf harus ada ijab dan qabul, jika wakaf ditujukan kepada pihak atau orang tertentu.13 Adapun Imam Syafi'i dalam kitabnya al-Umm menyatakan:
إﺷﻬﺎد ﻣﻦ أﻋﻄﺎهﺎوﻗﺒﻀﻬﺎﺑﺄﻣﺮﻣﻦ:وهﺬﻩ اﻟﻌﻄﻴﺔ ﺗﺘﻢ ﺑﺄﻣﺮﻳﻦ أﻋﻄﺎهﺎ 14
Artinya: dan pemberian wakaf ini akan sempurna dengan memenuhi dua perkara yaitu pengakuan yang memberikan dan penerimaannya dengan perintah yang memberikan. Pernyataan Imam Syafi'i di atas menunjukkan bahwa dalam pandangannya, pengakuan yang memberikan (ijab) dan penerimaannya (qabul) merupakan syarat sahnya akad wakaf. Sedangkan Sayyid Sabiq membolehkan wakaf tanpa qabul, hal ini sebagaimana ia nyatakan:
وﻣﺘﻰ ﻓﻌﻞ اﻟﻮاﻗﻒ ﻣﺎ ﻳﺪل ﻋﻠﻰ اﻟﻮﻗﻒ أوﻧﻄﻖ ﺑﺎﻟﺼﻴﻐﺔ ﻟﺰم اﻟﻮﻗﻒ ﺑﺸﺮط أن ﻳﻜﻮن اﻟﻮاﻗﻒ ﻣﻤﻦ ﻳﺼﺢ ﺗﺼﺮﻓﺔ ﺑﺄن ﻳﻜﻮن آﺎﻣﻞ اﻷهﻠﻴﺔ ﻣﻦ اﻟﻌﻘﻞ واﻟﺒﻠﻮع واﻟﺤﺮﻳﺔ واﻻﺧﺘﻴﺎر وﻻ ﻳﺤﺘﺎج ﻓﻰ اﻧﻌﻘﺎدﻩ إﻟﻰ ﻗﺒﻮل اﻟﻤﻮﻗﻮف ﻋﻠﻴﻪ 15
Artinya: Bila seorang yang berwakaf berbuat sesuatu yang menunjukkan kepada wakaf atau mengucapkan kata-kata wakaf, maka tetaplah wakaf itu, dengan syarat orang yang berwakaf adalah orang yang sah tindakannya, misalnya cukup sempurna akalnya, dewasa, merdeka dan tidak dipaksa. Untuk terjadinya wakaf ini tidak diperlukan qabul dari yang diwakafi.
13
Muhammad Jawad Mughniyah, op.cit., hlm. 641. Al-Imam Abi Abdullah Muhammad bin Idris al-Syafi’i, Al-Umm, Juz 4, Beirut Libanon: Dar al-Kutub al-Ilmiah, tth, hlm. 53 15 Sayyid Sabiq, op.cit., hlm. 309. 14
5 Yang menjadi masalah apakah yang menjadi latar belakang Sayyid Sabiq berpendapat seperti itu, dan apa yang menjadi alasan hukumnya. Inilah yang mendorong penulis untuk mengangkat tema ini dengan judul: Pendapat Sayyid Sabiq tentang Ikrar Wakaf Tidak Memerlukan Qabul B. Perumusan Masalah Permasalahan merupakan upaya untuk menyatakan secara tersurat pertanyaan-pertanyaan apa saja yang ingin dicarikan jawabannya.16 Bertitik tolak pada keterangan itu, maka yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana pendapat Sayyid Sabiq tentang sahnya ikrar wakaf tanpa qabul? 2. Bagaimana alasan hukum Sayyid Sabiq tentang sahnya ikrar wakaf tanpa qabul? 3. Bagaimana relevansi pendapat Sayyid Sabiq dengan regulasi wakaf yang berlaku di Indonesia? C. Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui pendapat Sayyid Sabiq tentang sahnya ikrar wakaf tanpa qabul 2. Untuk mengetahui alasan hukum Sayyid Sabiq tentang sahnya ikrar wakaf tanpa qabul 16
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Cet. 7, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993, hlm. 312.
6 3. Untuk mengetahui relevansi pendapat Sayyid Sabiq dengan regulasi wakaf yang berlaku di Indonesia D. Telaah Pustaka Berdasarkan hasil riset tidak dijumpai skripsi yang judul atau materi bahasanya hampir sama dengan penelitian yang hendak penulis susun. Akan tetapi penelitian terdahulu belum menyentuh persoalan wakaf tanpa qabul dalam perspektif Sayyid Sabiq. Penelitian yang dimaksud di antaranya: 1. Penelitian yang disusun Mamik Sunarti (NIM: 2101330) dengan judul: Analisis Hukum Islam Terhadap Pemberdayaan Ekonomi Harta Wakaf (Studi Lapangan Harta Wakaf Masjid Agung Semarang). Pada intinya hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pemberdayaan harta wakaf Masjid Agung Semarang jauh dari kata ideal. Pemberdayaan masih dalam lingkup usaha yang terbatas seperti hanya dalam bentuk pemberdayaan SPBU, pembangunan pertokoan yang berlokasi di belakang Masjid Agung Semarang, dan penyewaan perkantoran. Dengan kata lain, pengelolaan dan pengembangan benda wakaf belum sesuai dengan harapan. Untuk membangun atau mengarahkan harta wakaf menjadi lebih bermanfaat, ada hambatan yang cukup berarti karena menyangkut kemampuan para pengelola harta wakaf. Sehingga ada kesan bahwa para pengelola harta wakaf masih lemah dalam aspek sumber daya manusia (SDM). Dalam kaitannya dengan hukum Islam, apabila harta wakaf sudah tidak memberikan manfa'at lagi, bolehkah benda wakaf itu ditukar dengan maksud diberdayakan menjadi produktif? Asy Syafi'i sendiri dalam
7 masalah tukar menukar harta wakaf hampir sama dengan Imam Malik, yaitu sangat mencegah adanya tukar menukar harta wakaf. Imam Syafi'i menyatakan tidak boleh menjual masjid secara mutlak, sekalipun masjid itu roboh. Tapi golongan Syafi'i berbeda pendapat tentang harta wakaf yang berupa barang tak bergerak yang tidak memberi manfaat sama sekali: (1) sebagian menyatakan boleh di tukar agar harta wakaf itu ada manfaatnya; (2) sebagian menolaknya. Dengan demikian dalam perspektif golongan Syafi'i, bahwa secara hukum pendapat yang pertama membolehkan menukar, mengganti, merubah penggunaan dan peruntukan benda wakaf. Sedangkan pendapat golongan yang kedua dari golongan Syafi'i tidak membolehkannya dan harus sesuai dengan isi pesan wakif 2. Penelitian yang disusun Amalia (NIM: 2101244) dengan judul: Analisis Hukum Islam tentang Sengketa Tanah Wakaf dan Hibah Aset Yayasan alAmin Kab. Blora. Pada intinya hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa status kepemilikan tanah wakaf dan hibah aset Yayasan al-Amin Kab. Blora berada dalam sengketa yang berkepanjangan antara keluarga almarhum pemberi wakaf dan hibah dengan yayasan. Atas dasar ini maka ditinjau dari hukum Islam (fiqih muamalah) status kepemilikan tanah wakaf aset Yayasan al-Amin Kabupaten Blora termasuk milk naqish (pemilikan tidak sempurna) karena pada prinsipnya, wakaf termasuk kategori milk naqish. Di samping itu keluarga almarhum pemberi wakaf juga berpendapat bahwa yayasan hanya memiliki hak memiliki benda itu akibat tidak dipenuhinya syarat al-aqd.
8 Cara pemanfaatan tanah wakaf dan hibah di Yayasan al-Amin Kabupaten Blora belum didayagunakan secara maksimal. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal: (a) tanah masih dipersengketakan; (b) ada pemahaman di masyarakat bahwa tanah wakaf itu tidak boleh dialih fungsikan. Pemahaman ini dipengaruhi oleh adanya pendapat mazhab Syafi'i yang tidak boleh mengalih fungsikan tanah wakaf. 3. Penelitian yang disusun Lukman Zein (NIM. 2101107) dengan judul: Studi Analisis Pendapat Mazhab Hanafi tentang Wakaf oleh Orang Safih. Pada intinya hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa menurut Mazhab Hanafi, seorang safih sah mewasiatkan 1/3 dari hartanya apabila dia punya ahli waris. Keabsahan tersebut dengan syarat dia berwasiat agar dipergunakan dalam berbagai hal kebaikan seperti untuk memberi nafkah fakir miskin, untuk membangun sanatorium, jembatan, masjid dan lain sebagainya. Akan halnya bila dia berwasiat untuk tempat permainan, club dan lain sebagainya, maka wasiatnya batal; tidak lulus". Pendapat mazhab Hanafi tersebut mengisyaratkan, seorang safih dibolehkan mewakafkan hartanya dengan ketentuan: pertama, benda yang hendak diwakafkan tidak boleh melebihi dari satu pertiga keseluruhan harta yang dimiliki; kedua, benda yang diwakafkan itu dimaksudkan untuk hal-hal yang sifatnya mendatangkan kebaikan yaitu tidak bertentangan dengan ketentuan al-Qur'an dan hadis. Dengan demikian, apabila orang safih mewakafkan harta diperuntukkan bagi jalan kemaksiatan maka wakafnya batal.
9 Secara umum dapat diterangkan bahwa dasar istinbat hukum mazhab Hanafi adalah (1) al-Qur'an; (2) Sunnah Rasulullah; (3) Fatwafatwa dari para sahabat; (4) Istihsan; (5) Ijma'; (6) Urf.
Sedangkan
istinbat hukum secara khusus yang berkaitan dengan wakaf bagi orang safih adalah (a) Sumber/dalil pokok yakni firman Allah Swt dalam alQur'an surat an-Nisa ayat 6. (b) Qiyas. Dari berbagai kepustakaan di atas menunjukkan bahwa penelitian terdahulu berbeda dengan saat ini karena penelitian ini mengambil tema: Pendapat Sayyid Sabiq tentang Membolehkannya Wakaf Tidak Memerlukan Qabul E. Metode Penelitian Metode penelitan bermakna seperangkat pengetahuan tentang langkahlangkah sistematis dan logis tentang pencarian data yang berkenaan dengan masalah tertentu untuk diolah, dianalisis, diambil kesimpulan dan selanjutnya dicarikan cara pemecahannya. Dalam versi lain dirumuskan, metode penelitian adalah cara yang dipakai dalam mengumpulkan data, sedangkan instrumen adalah alat bantu yang digunakan dalam mengumpulkan data itu,17 maka metode penelitian skripsi ini dapat dijelaskan sebagai berikut:18 1. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan jenis penelitian kepustakaan (Library Research), yaitu dengan jalan melakukan penelitian terhadap sumber-
17
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2002, hlm. 194. 18 Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1991, hlm. 24.
10 sumber tertulis, maka penelitian ini bersifat kualitatif. Sedangkan library research menurut Sutrisno Hadi, adalah suatu riset kepustakaan atau penelitian murni.19 Dalam penelitan ini dilakukan dengan mengkaji dokumen atau sumber tertulis seperti kitab/buku, majalah, dan lain-lain. 2. Sumber Data a. Data Primer, yaitu data yang langsung yang segera diperoleh dari sumber data oleh penyelidik untuk tujuan yang khusus itu.20 Data yang dimaksud adalah karya Sayyid Sabiq yang berjudul: Fiqh al-Sunnah. b. Data Sekunder, yaitu data yang telah lebih dahulu dikumpulkan oleh orang diluar diri penyelidik sendiri, walaupun yang dikumpulkan itu sesungguhnya adalah data yang asli.21 Dengan demikian data sekunder yang relevan dengan judul di atas, di antaranya: tulisan-tulisan para penulis yang membicarakan Sayyid Sabiq, baik pemikirannya, sejarah hidupnya, maupun sejarah kondisi masyarakatnya. Demikian juga karya-karya para ulama yang membicarakan tentang ijab dan qabul sebagai syarat sahnya wakaf. 3. Metode Analisis Data Dalam menganalisa data, penulis menggunakan metode deskriptif analisis. Metode deskriptif adalah cara penulisan dengan mengutamakan
19
Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Jilid I, Yogyakarta: Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi, UGM, 1981, hlm. 9. 20 Winarno Surahmad, Pengantar Penelitian-Penelitian Ilmiah, Dasar Metoda Teknik, Edisi 7, Bandung: Tarsito, 1989, hlm. 134-163. 21 Ibid
11 pengamatan terhadap gejala, peristiwa dan kondisi aktual di masa sekarang.22 Dengan deskriptif dimaksudkan, bahwa semua ide pemikiran Sayyid Sabiq tentang ikrar wakaf tidak memerlukan qabul diuraikan secara apa adanya, dengan maksud untuk memahami jalan pikiran dan makna yang terkandung dalam konsep pemikirannya. Dengan metode analisis tersebut dimaksudkan bahwa semua bentukbentuk istilah dan pemikiran Sayyid Sabiq tentang ikrar wakaf tidak memerlukan qabul, peneliti analisis secara cermat dan kritis. Ini sebagai langkah untuk menemukan pengertian-pengertian yang tepat mengenai Sayyid Sabiq. Untuk kepentingan analisis seperti ini peneliti gunakan penalaran dari deduksi ke induksi atau sebaliknya. Demikian juga dua bentuk penalaran di sini penulis gunakan untuk memahami eksistensi pemikiran beliau dan relevansinya pada masa sekarang. Penulis juga menggunakan metode hermeneutika, yaitu dalam hal ini bagaimana menjelaskan isi sebuah teks keagamaan kepada masyarakat yang hidup dalam tempat dan kurun waktu yang jauh berbeda dari si empunya.23 Dalam konteks ini, analisis sedapat mungkin dengan melihat latar belakang sosial budaya, konteks pembaca dan teks dalam rentang waktu yang jauh dengan konteks masa kini sehingga isi pesan menjadi jelas dan relevan dengan kurun waktu pembaca saat ini.
22
Tim Penulis Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo, Pedoman Penulisan Skripsi, Semarang: Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo, 2000, hlm. 17. 23 Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik,, Jakarta: Paramadina, 1996, hlm. 14.
12 Aplikasinya
hermeneutika
sebagaimana
dinyatakan
Syahrin
Harahap yaitu hermeneutika dapat dilakukan dengan langkah-langkah berikut: Pertama, menyelidiki setiap detail proses interpretasi. Kedua, mengukur seberapa jauh dicampur subyektifitas terhadap interpretasi objektif yang diharapkan, dan ketiga menjernihkan pengertian.24 Secara operasional, penulis menerapkan metode ini dengan cara meneliti kehidupan Sayyid Sabiq dengan menerangkan latar belakang masyarakat dan corak kebudayaan yang melingkupi kehidupannya. Hal ini diletakkan dalam bab ketiga, khususnya dikemukakan dalam biografi dengan mengetengahkan latar belakang F. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab yang masingmasing menampakkan titik berat yang berbeda, namun dalam satu kesatuan yang saling mendukung dan melengkapi. Bab pertama berisi pendahuluan, merupakan gambaran umum secara global namun integral komprehensif dengan memuat: latar belakang masalah, permasalahan, tujuan penelitian, telaah pustaka, metode penelitian dan sistematika Penulisan. Bab kedua berisi Landasan Teori tentang wakaf yang meliputi definisi wakaf dan dasar hukumnya, syarat dan rukun wakaf, macam-macam wakaf, manfaat wakaf, ijab qabul dalam ikrar wakaf.
24
Syahrin Harahap, Metodologi Studi Tokoh Pemikiran Islam, Jakarta: Istiqamah Mulya Press, 2006, hlm. 61.
13 Bab ketiga berisi pendapat Sayyid Sabiq tentang ikrar wakaf tidak memerlukan qabul yang meliputi biografi Sayyid Sabiq dan karyanya, karakteristik pemikiran hukum Sayyid Sabiq, pendapat Sayyid Sabiq tentang ikrar wakaf tidak memerlukan qabul, alasan hukum Sayyid Sabiq tentang ikrar wakaf tidak memerlukan qabul. Bab keempat berisi analisis pendapat Sayyid Sabiq tentang membolehkannya wakaf tidak memerlukan qabul yang meliputi analisis terhadap pendapat Sayyid Sabiq tentang ikrar wakaf tidak memerlukan qabul, analisis terhadap alasan hukum Sayyid Sabiq tentang ikrar wakaf tidak memerlukan qabul dan relevansi pendapat Sayyid Sabiq dengan regulasi wakaf yang berlaku di Indonesia Bab kelima merupakan penutup yang berisi kesimpulan, saran dan penutup.
BAB II LANDASAN TEORI TENTANG WAKAF
A. Definisi Wakaf dan Dasar Hukumnya Kata waqaf digunakan dalam al-Qur'an empat kali dalam tiga surat yaitu QS. Al-An'am, 6: 27, 30, Saba', 34: 31, dan al-Saffat, 37 : 24. Ketiga yang pertama artinya menghadapkan (dihadapkan), dan yang terakhir artinya berhenti atau menahan, "Dan tahanlah mereka (di tempat perhentian) karena sesungguhnya mereka akan ditanya". Konteks ayat ini menyatakan proses ahli neraka ketika akan dimasukkan neraka.1 Wakaf yang bentuk jama’-nya auqâf berasal dari kata benda abstrak (masdar) atau kata kerja (fi’il) yang dapat berfungsi sebagai kata kerja transitif (fi’il muta’addi) atau kata kerja intransitif (fi’il lazim), berarti menahan atau menghentikan sesuatu dan berdiam di tempat.2 Dengan kata lain, perkataan waqf yang menjadi wakaf dalam bahasa Indonesia berasal dari kata bahasa Arab: waqafa – yaqifu – waqfan yang berarti ragu-ragu, berhenti, memperhentikan,
memahami,
mencegah,
menahan,
mengatakan,
memperlihatkan, meletakkan, memperhatikan, mengabdi dan tetap berdiri.3 Kata al-waqf semakna dengan al-habs bentuk masdar dari habasa – yahbisu – habsan, artinya menahan.4
1
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997, hlm.
481.
2
Didin Hafidhuddin, Islam Aplikatif, Jakarta: Gema Insani Press, 2003, hlm. 120. Ahmad Warson Al-Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997, hlm. 1576. 4 Ahmad Rofiq, op. cit., hlm. 490. 3
14
15
Pengertian di atas tidak berbeda dengan Sayyid Sabiq yang berpendapat bahwa secara bahasa wakaf berasal dari kata waqafa adalah sama dengan habasa. Jadi al-waqf sama dengan al-habs yang artinya menahan.5 Pengertian yang sama dikemukakan oleh Abu Bakar Jabir al-Jazairi dalam kitab Minhâj al-Muslim, bahwa menurut bahasanya, "wakaf" berarti menahan.6 Dalam pengertian istilah, wakaf adalah menahan atau menghentikan harta yang dapat diambil manfaatnya guna kepentingan kebaikan untuk mendekatkan diri kepada Allah.7 Menurut Mundzir Qahaf, wakaf adalah menahan harta baik secara abadi maupun sementara, untuk dimanfaatkan langsung atau tidak langsung, dan diambil manfaat hasilnya secara berulangulang di jalan kebaikan untuk umum atau khusus.8 Sejalan dengan itu Maulana Muhammad Ali merumuskan wakaf sebagai penetapan yang bersifat abadi untuk memungut hasil dari barang yang diwakafkan guna kepentingan orang seorang, atau yang bersifat keagamaan, atau untuk tujuan amal.9 Menurut Sayyid Sabiq, wakaf berarti menahan harta dan memberikan manfaatnya di jalan Allah.10 Menurut Muhammad Jawad Mughniyah, wakaf adalah sejenis pemberian yang pelaksanaannya dilakukan dengan jalan
5
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz III, Beirut: Dar al-Fikr, tth, hlm. 307. Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Minhâj al-Muslim, Kairo: Maktabah Dâr al-Turas, 2004,
6
hlm. 343. 7Imam Taqi al-Din Abu Bakr ibn Muhammad Al-Hussaini, Kifayah Al Akhyar, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, tth, hlm. 319. 8 Mundzir Qahaf, Manajemen Wakaf Produktif, Terj. Muhyiddin Mas Rida, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2000, hlm. 52. 9 Maulana Muhammad Ali, Islamologi, (Dinul Islam), Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1976, hlm. 467. 10 Sayyid Sabiq, op. cit., hlm. 307.
16
menahan (pemilikan) asal, lalu menjadikan manfaatnya berlaku umum.11 Menurut Amir Syarifuddin, wakaf adalah menghentikan pengalihan hak atas suatu harta dan menggunakan hasilnya bagi kepentingan umum sebagai pendekatan diri kepada Allah.12 Sedangkan menurut Al-Shan'ani, wakaf adalah menahan harta yang dapat diambil manfaatnya tanpa menghabiskan atau merusakkan bendanya (ainnya) dan digunakan untuk kebaikan.13 Dari rumusan pengertian di atas terlihat bahwa dalam Fiqih Islam, wakaf sebenarnya dapat meliputi berbagai benda. Walaupun berbagai riwayat/hadis yang menceritakan masalah wakaf ini adalah mengenai tanah, tapi berbagai ulama memahami bahwa wakaf non tanah pun boleh saja asal bendanya tidak langsung musnah/habis ketika diambil manfaatnya.14 Dalam pasal 1 butir 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, bahwa wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan atau/kesejahteraan umum menurut syari’ah.15 Dalam butir 1 pasal 215 KHI (INPRES No. 1/1991), disebutkan, wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan 11
Muhammad Jawad Mughniyah, al-Fiqh ‘Ala al-Mazahib al-Khamsah, Terj. Masykur, Afif Muhammad, Idrus al-Kaff, "Fiqih Lima Mazhab", Jakarta: Lentera, 2001, hlm. 635 12 Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, Jakarta: Prenada Media, 2003, hlm. 233 13 Al-San'any, Subul al-Salam, Juz III, Kairo: Syirkah Maktabah Mustafa al-Babi alHalabi, 1950, hlm. 87. 14 Adijani Al-Alabij, Perwakafan Tanah di Indonesia dalam Teori dan Praktek, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 26. 15 Hadi Setia Tunggal, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, Jakarta: Harvarindo, 2005, hlm. 2.
17
melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadat atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam.16 Dari berbagai rumusan di atas dapat disimpulkan bahwa wakaf ialah menghentikan (menahan) perpindahan milik suatu harta yang bermanfaat dan tahan lama, sehingga manfaat harta itu dapat digunakan untuk mencari keridhaan Allah Swt. Dasar hukum wakaf dapat dilihat dalam al-Qur'an, di antaranya dalam surat al-Baqarah, 2: 267,
ﺟﻨَﺎ ْ ﺧ َﺮ ْ ﺴ ْﺒ ُﺘ ْﻢ َو ِﻣﻤﱠﺎ َأ َ ت ﻣَﺎ َآ ِ ﻃ ﱢﻴﺒَﺎ َ ﻦ ﺁ َﻣﻨُﻮ ْا أَﻧ ِﻔﻘُﻮ ْا ﻣِﻦ َ ﻳَﺎ َأ ﱡﻳﻬَﺎ اﱠﻟﺬِﻳ ﺧﺬِﻳ ِﻪ ِ ﺴﺘُﻢ ﺑِﺂ ْ ن َوَﻟ َ ﺚ ِﻣ ْﻨ ُﻪ ﺗُﻨ ِﻔﻘُﻮ َ ﺨﺒِﻴ َ ﻻ َﺗ َﻴ ﱠﻤﻤُﻮ ْا ا ْﻟ َ ض َو ِ ﻷ ْر َﻦا َ َﻟﻜُﻢ ﱢﻣ {267} ﺣﻤِﻴ ٌﺪ َ ﻲ ﻏ ِﻨ ﱞ َ ن اﻟّﻠ َﻪ ﻋَﻠﻤُﻮ ْا َأ ﱠ ْ ﻻ أَن ُﺗ ْﻐ ِﻤﻀُﻮ ْا ﻓِﻴ ِﻪ وَا ِإ ﱠ Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji".17 Surat al-Baqarah, 2: 261,
ﺳ ْﺒ َﻊ َ ﺖ ْ ﺣ ﱠﺒ ٍﺔ أَﻧ َﺒ َﺘ َ ﻞ ِ ﻞ اﻟّﻠ ِﻪ َآ َﻤ َﺜ ِ ﺳﺒِﻴ َ ن َأ ْﻣﻮَاَﻟ ُﻬ ْﻢ ﻓِﻲ َ ﻦ ﻳُﻨ ِﻔﻘُﻮ َ ﻞ اﱠﻟﺬِﻳ ُ ﻣﱠ َﺜ ﺸﺎ ُء وَاﻟّﻠ ُﻪ َ ﻒ ِﻟﻤَﻦ َﻳ ُ ﻋ ِ ﺣ ﱠﺒ ٍﺔ وَاﻟّﻠ ُﻪ ُﻳﻀَﺎ َ ﻞ ﻓِﻲ ُآﻞﱢ ﺳُﻨ ُﺒَﻠ ٍﺔ ﻣﱢ َﺌ ُﺔ َ ﺳﻨَﺎ ِﺑ َ {261} ﻋﻠِﻴ ٌﻢ َ ﺳ ٌﻊ ِ وَا Artinya: "Perumpamaan orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat
16
Saekan Erniati Effendi, Sejarah Penyusunan Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, Surabaya: Arkola, 1997, hlm. 139 17 Yayasan Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya: DEPAG RI, 1978, hlm. 67.
18
gandakan bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas lagi Maha Mengetahui".18 Surat Ali-Imran, 3: 92:
ﻲ ٍء ْ ﺷ َ ن َوﻣَﺎ ﺗُﻨ ِﻔﻘُﻮ ْا ﻣِﻦ َ ﺤﺒﱡﻮ ِ ﺣﺘﱠﻰ ﺗُﻨ ِﻔﻘُﻮ ْا ِﻣﻤﱠﺎ ُﺗ َ ﻟَﻦ َﺗﻨَﺎﻟُﻮ ْا ا ْﻟ ِﺒ ﱠﺮ (92 :ﻋﻠِﻴ ٌﻢ )ﺁل ﻋﻤﺮان َ ن اﻟّﻠ َﻪ ِﺑ ِﻪ َﻓِﺈ ﱠ Artinya: "Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan, sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya". (Q.S. Ali-Imran: 92). 19 Ayat-ayat al-Qur'an tersebut, menurut pendapat para ahli, dapat dipergunakan sebagai dasar umum lembaga wakaf.20 Itulah sebabnya Hamka dalam Tafsir al-Azhar menjelaskan surat Ali-Imran ayat 92 dengan menyatakan bahwa setelah ayat ini turun, maka sangat besar pengaruhnya kepada sahabat-sahabat Nabi Saw dan selanjutnya menjadi pendidikan batin yang mendalam di hati kaum muslimin yang hendak memperteguh keimanannya.21 Adapun salah satu hadis yang berbicara tentang wakaf yang secara umum bermaksud menjelaskan wakaf yaitu: Rasulullah Saw bersabda:
ﺣﺪّﺛﻨﺎ ﻳﺤْﻴﻰ ﺑْﻦ أﻳُﻮب وﻗﺘﻴْﺒﺔ ﻳﻌْﻨﻲ ا ْﺑﻦ ﺳﻌﻴﺪ واﺑْﻦ ﺣﺠْﺮ ﻗﺎﻟﻮا ﻦ أﺑﻲ ْ ﻦ أﺑﻴﻪ ﻋ ْ ﺣﺪّﺛﻨﺎ إﺳْﻤﻌﻴﻞ هﻮ اﺑْﻦ ﺟﻌْﻔﺮ ﻋﻦ اﻟْﻌﻼء ﻋ 18
Yayasan Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya: DEPAG RI, 1978, hlm. 65. 19 Ibid, hlm. 91 20 Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, Jakarta: UI Press, 1988, hlm. 81. 21 Hamka, Tafsir Al Azhar, Juz IV, Jakarta:PT Pustaka Panji Mas, 1999, hlm. 8
19
ن رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠّﻰ اﷲ ﻋﻠﻴْﻪ وﺳّﻠﻢ ﻗﺎل إذا ﻣﺎت اﻟْﺈﻧْﺴﺎن ّ هﺮﻳْﺮة أ ﻦ ﺻﺪﻗﺔ ﺟﺎرﻳﺔ أ ْو ﻋﻠْﻢ ْﻻﻣ ّ ﻦ ﺛﻼﺛﺔ إ ْﻻﻣ ّ اﻧْﻘﻄﻊ ﻋﻨْﻪ ﻋﻤﻠﻪ إ (ﻳﻨْﺘﻔﻊ ﺑﻪ أ ْو وﻟﺪ ﺻﺎﻟﺢ ﻳﺪْﻋﻮ ﻟﻪ )رواﻩ ﻣﺴﻠﻢ 22
Artinya: "Telah mengabarkan kepada kami dari Yahya bin Ayyub dan Qutaibah Ya'ni bin Sa'id dan Ibnu Hujrin dari Ismail Ibnu Ja'far dari al-'Ala' dari bapaknya dari Abu Hurairah ra. (katanya) sesungguhnya Rasulullah Saw. bersabda: apabila manusia sudah mati, maka putuslah amalnya kecuali dari tiga macam, yaitu sedekah jariyah, atau ilmu yang dimanfaatkan, atau anak yang saleh yang mendo'akannya". (HR. Muslim). Berdasarkan hadis di atas menunjukkan bahwa wakaf merupakan salah satu ibadah yang pahalanya tidak akan putus sepanjang manfaat harta yang diwakafkan itu masih dapat diambil, meskipun si pelaku wakaf sudah meninggal dunia. Oleh sebab itu wakaf tergolong ke dalam kelompok amal jariah (yang mengalir).
B. Syarat dan Rukun Wakaf Untuk memperjelas syarat dan rukun wakaf maka lebih dahulu dikemukakan pengertian syarat dan rukun baik dari segi etimologi maupun terminologi. Secara etimologi, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, rukun adalah "yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu pekerjaan,"23 sedangkan syarat adalah "ketentuan (peraturan, petunjuk) yang harus diindahkan dan dilakukan."24 Menurut Satria Effendi M. Zein, bahwa menurut bahasa, syarat
22
Al-Imam Abul Husain Muslim ibn al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Sahîh Muslim, Juz III, Mesir: Tijariah Kubra, tth, hlm. 73. 23 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2004, hlm. 966. 24 Ibid., hlm. 1114.
20
adalah sesuatu yang menghendaki adanya sesuatu yang lain atau sebagai tanda,25 melazimkan sesuatu.26 Secara terminologi, yang dimaksud dengan syarat adalah segala sesuatu yang tergantung adanya hukum dengan adanya sesuatu tersebut, dan tidak adanya sesuatu itu mengakibatkan tidak ada pula hukum, namun dengan adanya sesuatu itu tidak mesti pula adanya hukum.27 Hal ini sebagaimana dikemukakan Abd al-Wahhab Khalaf,28 bahwa syarat adalah sesuatu yang keberadaan suatu hukum tergantung pada keberadaan sesuatu itu, dan dari ketiadaan sesuatu itu diperoleh ketetapan ketiadaan hukum tersebut. Yang dimaksudkan adalah keberadaan secara syara’, yang menimbulkan efeknya. Hal senada dikemukakan Muhammad Abu Zahrah, asy-syarth (syarat) adalah sesuatu yang menjadi tempat bergantung wujudnya hukum. Tidak adanya syarat berarti pasti tidak adanya hukum, tetapi wujudnya syarath tidak pasti wujudnya hukum.29 Sedangkan rukun, dalam terminologi fikih, adalah sesuatu yang dianggap menentukan suatu disiplin tertentu, di mana ia merupakan bagian integral dari disiplin itu sendiri. Atau dengan kata lain rukun adalah penyempurna sesuatu, di mana ia merupakan bagian dari sesuatu itu.30 Adapun unsur (rukun) wakaf dan syarat yang menyertainya adalah sebagai berikut:
25
Satria Effendi M. Zein, Ushul Fiqh, Jakarta: Prenada Media, 2005, hlm. 64 Kamal Muchtar, Ushul Fiqh, Jilid 1, Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf, 1995, hlm. 34 27 Alaiddin Koto, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004, 26
hlm. 50
28
Abd al-Wahhab Khalaf, ‘Ilm Usul al-Fiqh, Kuwait: Dar al-Qalam, 1978, hlm. 118. Muhammad Abu Zahrah, Usul al-Fiqh, Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1958, hlm. 59. 30 Abdul Ghofur Anshori, Hukum dan Praktik Perwakafan di Indonesia, Yogyakarta: Pilar Media, 2006, hlm. 25. 29
21
1. Waqif (orang yang mewakafkan). Syarat wakif adalah sehat akalnya, dalam keadaan sadar, tidak dalam keadaan terpaksa atau dipaksa, dan telah mencapai umur baligh.31 Wakif adalah pemilik sempurna harta yang diwakafkan dan cakap.32 Dalam versi pasal 215 (2) KHI jo. pasal 1 (2) PP 28/1977 dinyatakan: "Wakif adalah orang atau orang-orang ataupun badan hukum yang mewakafkan benda miliknya". Adapun syarat-syarat wakif adalah: (1)
Badan-badan hukum Indonesia dan orang atau orang-orang yang telah dewasa dan sehat akalnya serta yang oleh hukum tidak terhalang untuk melakukan perbuatan hukum, atas kehendak sendiri dapat mewakafkan benda miliknya dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2)
Dalam hal badan-badan hukum, maka yang bertindak untuk dan atas namanya adalah pengurusnya yang sah menurut hukum (Pasal 3 Peraturan Pemerintah 28/1977). Sebagai ibadah tabarru' (mendermakan harta), wakaf memang
tidak mengharuskan adanya qabul.33 Ini harus dipahami dan jangan sampai salah dalam interpretasi (penafsiran) bahwa dalam pelaksanaannya, wakaf perlu disertai dengan bukti-bukti tertulis, agar tindakan hukum wakaf mempunyai kekuatan hukum dan menciptakan tertib administrasi. 31
Abi Yahya Zakariya al-Anshary, Fath al-Wahhab, Juz I, Beirut: Dar al-Fikr, t.th, , hlm.
256
32
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997,
hlm. 493.
33
Ahmad Rofiq, Fiqh Kontekstual, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004, hlm. 322.
22
Dasarnya pun sebenarnya sangat jelas, karena ayat muamalah dalam QS. al-Baqarah 282, tentang perintah mencatat dalam urusan utang piutang, dapat menjadi analogi dalam pencatatan wakaf.34
ﻰ ﻓَﺎ ْآ ُﺘﺒُﻮ ُﻩﺴﻤ َ ﻞ ﱡﻣ ٍﺟ َ ﻦ ِإﻟَﻰ َأ ٍ ﻦ ﺁ َﻣﻨُﻮ ْا ِإذَا َﺗﺪَاﻳَﻨﺘُﻢ ِﺑ َﺪ ْﻳ َ ﻳَﺎ َأ ﱡﻳﻬَﺎ اﱠﻟﺬِﻳ ﺐ َآﻤَﺎ َ ن َﻳ ْﻜ ُﺘ ْ ﺐ َأ ٌ ب آَﺎ ِﺗ َ ﻻ َﻳ ْﺄ َ ل َو ِ ﺐ ﺑِﺎ ْﻟ َﻌ ْﺪ ٌ َو ْﻟ َﻴ ْﻜﺘُﺐ ﱠﺑ ْﻴ َﻨ ُﻜ ْﻢ آَﺎ ِﺗ ﻖ اﻟّﻠ َﻪ َرﺑﱠ ُﻪ ِ ﻖ َو ْﻟ َﻴ ﱠﺘ ﺤﱡ َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ ا ْﻟ َ ﻞ اﱠﻟﺬِي ِ ﺐ َو ْﻟ ُﻴ ْﻤِﻠ ْ ﻋﱠﻠ َﻤ ُﻪ اﻟّﻠ ُﻪ َﻓ ْﻠ َﻴ ْﻜ ُﺘ َ ﺳﻔِﻴﻬًﺎ َأ ْو َ ﻖ ﺤﱡ َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ ا ْﻟ َ ن اﱠﻟﺬِي َ ﺷﻴْﺌًﺎ ﻓَﺈن آَﺎ َ ﺲ ِﻣ ْﻨ ُﻪ ْ ﺨ َ ﻻ َﻳ ْﺒ َ َو َ ل ِ ﻞ َوِﻟ ﱡﻴ ُﻪ ﺑِﺎ ْﻟ َﻌ ْﺪ ْ ﺴ َﺘﻄِﻴ ُﻊ أَن ُﻳ ِﻤﻞﱠ ُه َﻮ َﻓ ْﻠ ُﻴ ْﻤِﻠ ْ ﻻ َﻳ َ ﺿﻌِﻴﻔًﺎ َأ ْو ﻞ ٌﺟ ُ ﻦ َﻓ َﺮ ِ ﺟَﻠ ْﻴ ُ ﻦ ﻣﻦ ﱢرﺟَﺎِﻟ ُﻜ ْﻢ َﻓﺈِن ﱠﻟ ْﻢ َﻳ ُﻜﻮﻧَﺎ َر ِ ﺷﻬِﻴ َﺪ ْﻳ َ ﺸ ِﻬﺪُو ْا ْ ﺳ َﺘ ْ وَا ﺣﺪَا ُهﻤَﺎ ْ ﻞ ْإ ﻀﱠ ِ ﺸ َﻬﺪَاء أَن َﺗ ﻦ اﻟ ﱡ َ ن ِﻣ َ ﺿ ْﻮ َ ن ِﻣﻤﱠﻦ َﺗ ْﺮ ِ وَا ْﻣ َﺮَأﺗَﺎ ﻻ َ ﺸ َﻬﺪَاء ِإذَا ﻣَﺎ ُدﻋُﻮ ْا َو ب اﻟ ﱡ َ ﻻ َﻳ ْﺄ َ ﺧﺮَى َو ْﻷ ُ ﺣﺪَا ُهﻤَﺎ ا ْ َﻓ ُﺘ َﺬ ﱢآ َﺮ ِإ ﻂ ﻋِﻨ َﺪ ُﺴ َ ﺟِﻠ ِﻪ َذِﻟ ُﻜ ْﻢ َأ ْﻗ َ ﺻﻐِﻴﺮًا أَو َآﺒِﻴﺮًا ِإﻟَﻰ َأ َ ﺴَﺄ ُﻣ ْﻮ ْا أَن َﺗ ْﻜ ُﺘ ُﺒ ْﻮ ُﻩ ْ َﺗ ن ِﺗﺠَﺎ َر ًة َ ﻻ أَن َﺗﻜُﻮ ﻻ َﺗ ْﺮﺗَﺎﺑُﻮ ْا ِإ ﱠ ﺸﻬَﺎ َد ِة َوَأ ْدﻧَﻰ َأ ﱠ اﻟّﻠ ِﻪ َوَأﻗْﻮ ُم ﻟِﻠ ﱠ ﻻ َﺗ ْﻜ ُﺘﺒُﻮهَﺎ ح َأ ﱠ ٌ ﺟﻨَﺎ ُ ﻋَﻠ ْﻴ ُﻜ ْﻢ َ ﺲ َ ﺿ َﺮ ًة ُﺗﺪِﻳﺮُو َﻧﻬَﺎ َﺑ ْﻴ َﻨ ُﻜ ْﻢ َﻓَﻠ ْﻴ ِ ﺣَﺎ ﺷﻬِﻴ ٌﺪ َوإِن َﺗ ْﻔ َﻌﻠُﻮ ْا َ ﻻ َ ﺐ َو ٌ ﻻ ُﻳﻀَﺂ ﱠر آَﺎ ِﺗ َ ﺷ ِﻬ ُﺪ ْو ْا ِإذَا َﺗﺒَﺎ َﻳ ْﻌ ُﺘ ْﻢ َو ْ َوَأ ﻲ ٍء ْ ﺷ َ ق ِﺑ ُﻜ ْﻢ وَا ﱠﺗﻘُﻮ ْا اﻟّﻠ َﻪ َو ُﻳ َﻌﻠﱢ ُﻤ ُﻜ ُﻢ اﻟّﻠ ُﻪ وَاﻟّﻠ ُﻪ ِﺑ ُﻜﻞﱢ ٌ َﻓِﺈ ﱠﻧ ُﻪ ُﻓﺴُﻮ (282 :ﻋﻠِﻴ ٌﻢ )اﻟﺒﻘﺮة َ Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikit pun dari pada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaknya walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki di antaramu. Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika 34
Muhammad Daud Ali, op. cit, hlm. 85.
23
seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (tulislah muamalahmu itu) kecuali jika muamalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian) maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertaqwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu". (QS. Al-Baqarah, 2: 282).35 2. Mauquf atau benda yang diwakafkan Syarat-syarat harta benda yang diwakafkan yang harus dipenuhi sebagai berikut: a. Benda wakaf dapat dimanfaatkan untuk jangka panjang, tidak sekali pakai; b. benda wakaf dapat berupa milik kelompok atau badan hukum; c. hak milik wakif yang jelas batas-batas kepemilikannya; d. benda wakaf itu dapat dimiliki dan dipindahkan kepemilikannya; e. benda wakaf dapat dialihkan hanya jika jelas-jelas untuk maslahat yang lebih besar; f. benda wakaf tidak dapat diperjual belikan, dihibahkan atau diwariskan.36 3. Mauquf 'alaih (tujuan wakaf)
35
Yayasan Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an, op.cit., hlm. 70. Jika benda wakaf dapat seenaknya diperjual belikan, dihibahkan atau diwariskan maka hal ini akan membuat tidak percaya lagi bagi masyarakat dan khususnya pemberi wasiat. 36
24
Untuk menghindari penyalahgunaan wakaf, maka wakif perlu menegaskan tujuan wakafnya. Apakah harta yang diwakafkan itu untuk menolong keluarganya sendiri sebagai wakaf keluarga (waqf ahly), atau untuk fakir miskin, dan lain-lain, atau untuk kepentingan umum (waqf khairy). Yang jelas tujuannya adalah untuk kebaikan, mencari keridhaan Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya.37 Kegunaan wakaf bisa untuk sarana ibadah murni, bisa juga untuk sarana sosial keagamaan lainnya yang lebih besar manfaatnya. Karena itu, wakaf tidak bisa digunakan untuk kepentingan maksiat, membantu, mendukung atau yang memungkinkan untuk tujuan maksiat. Menurut Abu Yahya Zakariya, menyerahkan wakaf kepada orang yang tidak jelas identitasnya adalah tidak sah.38 Faktor administrasi, kecermatan, dan ketelitian dalam mewakafkan barang menjadi sangat penting, demi keberhasilan tujuan dan manfaat wakaf itu sendiri. Alangkah ruginya, jika niat yang baik untuk mewakafkan hartanya, tetapi kurang cermat dalam tertib administrasinya, mengakibatkan tujuan wakaf menjadi terabaikan. Jika tertib administrasi ini ditempatkan sebagai wasilah (instrumen) hukum, maka hukumnya bisa menjadi wajib. Sebagaimana aksioma hukum yang diformulasikan para ulama "li al-wasail hukm al-maqashid" artinya "(hukum) bagi perantara, adalah hukum apa yang menjadi tujuannya".39 4. Sighat (Ikrar atau Pernyataan Wakaf) 37
Ahmad Rofiq, op. cit, hlm. 323 Ibid, hlm. 324. 39 Ibid., hlm. 324. 38
25
Ikrar adalah pernyataan kehendak dari wakif untuk mewakafkan tanah atau benda miliknya (ps. 1 (3) PP No. 28/1977 jo. ps. 215 (3) KHI). Pernyataan atau ikrar wakaf ini harus dinyatakan secara tegas baik lisan maupun tertulis, dengan redaksi "aku mewakafkan" atau "aku menahan" atau kalimat yang semakna lainnya. Ikrar ini penting, karena pernyataan ikrar membawa implikasi gugurnya hak kepemilikan wakif, dan harta wakaf menjadi milik Allah atau milik umum yang dimanfaatkan untuk kepentingan umum yang menjadi tujuan wakaf itu sendiri.40 Karena itu, konsekuensinya, harta wakaf tidak bisa dihibahkan, diperjualbelikan, atau pun diwariskan. Secara teknis, ikrar wakaf diatur dalam pasal 5 PP 28/1977 jo, pasal 218 KHI: (1). Pihak yang mewakafkan atau wakif tanahnya mengikrarkan kehendaknya secara jelas dan tegas kepada Nadzir di hadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) sebagaimana maksud pasal 9 ayat (2) yang kemudian menuangkannya dalam bentuk Akta Ikrar Wakaf (AIW) dengan disaksikan oleh minimal dua orang saksi. (2). Dalam keadaan tertentu, penyimpangan dari ketentuan dimaksud dalam ayat (1) dapat dilaksanakan setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan Menteri Agama.41 5. Nadzir (Pengelola) Wakaf Nadzir meskipun dibahas di dalam kitab-kitab fiqh, namun tidak ada yang menempatkannya sebagai rukun wakaf. Boleh jadi karena wakaf 40
Ibid., hlm. 497 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997,
41
hlm. 498
26
adalah tindakan tabarru', sehingga prinsip "tangan kanan memberi, tangan kiri tidak perlu mengetahui" sering diposisikan sebagai dasar untuk merahasiakan tindakan wakaf. Padahal sebenarnya tertib administrasi tidak selalu identik dengan memamerkan wakaf yang dilakukannya. Bahkan hemat saya, mempublikasikan tindakan sedekah termasuk di dalamnya wakaf adalah baik-baik saja, meskipun menyembunyikannya itu lebih baik.42 Firman Allah dalam Surat al-Baqarah, ayat 271:
ﺨﻔُﻮهَﺎ َو ُﺗ ْﺆﺗُﻮهَﺎ ا ْﻟ ُﻔ َﻘﺮَاء ْ ﻲ َوإِن ُﺗ َ ت َﻓ ِﻨ ِﻌﻤﱠﺎ ِه ِ ﺼ َﺪﻗَﺎ إِن ُﺗ ْﺒﺪُو ْا اﻟ ﱠ ن َ ﺳ ﱢﻴﺌَﺎ ِﺗ ُﻜ ْﻢ وَاﻟّﻠ ُﻪ ِﺑﻤَﺎ َﺗ ْﻌ َﻤﻠُﻮ َ ﺧ ْﻴ ٌﺮ ﱡﻟ ُﻜ ْﻢ َو ُﻳ َﻜﻔﱢ ُﺮ ﻋَﻨﻜُﻢ ﻣﱢﻦ َ َﻓ ُﻬ َﻮ (271 :ﺧﺒِﻴ ٌﺮ )اﻟﺒﻘﺮة َ Artinya: Jika kamu menampakkan maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orangorang fakir, maka menyembunyikannya itu lebih baik bagimu. Dan Allah akan menghapuskan dari kamu sebagian kesalahankesalahanmu; dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. al-Baqarah: 271).43 Pada masa 'Umar ibn al-Khaththab ra mewakafkan tanahnya, beliau sendiri yang menjadi nadzirnya. Sepeninggalnya, pengelolaan wakaf diserahkan kepada putrinya Hafshah, dan setelah itu ditangani Abdullah ibn 'Umar, kemudian keluarganya yang lain.44 Boleh jadi "sunnah" awal demikian, berikutnya tentang nadzir ini tidak ditempatkan sebagai salah satu rukun wakaf. Karena posisi nadzir sangat penting dan strategis sebagai bagian tak terpisahkan bagi keberhasilan wakaf 42
Ahmad Rofiq, Fiqh Kontekstual Dari Normatif ke Pemaknaan Sosial, op.cit., hlm. 325. Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, op. cit., hlm. 68. 44 Ahmad Rofiq, op. cit., hlm. 326. 43
27
dan realisasi pengelolaan harta wakaf. Oleh karena itu, untuk menjadi nadzir, seseorang harus memiliki persyaratan dan kualifikasi tertentu, agar dia bisa mengemban amanat itu dengan sebaik-baiknya.45 Integritas kepribadian nadzir ini menjadi sangat penting, termasuk ketika nadzir yang pertama sudah "purna tugas" maka penggantinya sedapat mungkin memiliki kepribadian yang amanah. Atau supaya amanahnya tetap terjaga, nadzir, sebaiknya dilaksanakan nadzir secara kolektif.
C. Macam-Macam Wakaf Ditinjau dari segi ditujukan kepada siapa wakaf itu, maka wakaf dapat dibagi menjadi 2 (dua) macam: 1. Wakaf ahli: wakaf yang ditujukan untuk anak cucu atau kaum kerabat, kemudian sesudah mereka itu ditujukan untuk orang-orang fakir. Wakaf seperti ini juga disebut wakaf dzurri.46 Apabila ada seorang mewakafkan sebidang tanah kepada anaknya, lalu kepada cucunya, wakafnya sah dan yang berhak mengambil manfaatnya adalah mereka yang ditunjuk dalam pernyataan wakaf. Dalam satu segi wakaf ahli/dzurri ini baik sekali, karena si wakif akan mendapat dua kebaikan, yaitu kebaikan dari amal ibadah wakafnya, juga kebaikan dari silatur rahimnya.47 Rasulullaah SAW pernah memberi saran kepada Abu Thalhah agar wakafnya diberikan kepada ahli kerabat, seperti hadis riwayat Muslim di bawah ini. 45
Ibid Sayyid Sabiq, op.cit., hlm. 307. 47 Faishal Haq dan Saiful Anam, Hukum Wakaf dan Perwakafan di Indonesia, Jakarta: PT Garoeda Buana, 1992, hlm. 3. 46
28
ﻦ إﺳﺤﻖ ﺑْﻦ ﻋﺒﺪ اﷲ ﺑْﻦ أﺑﻲ ﻃﻠْﺤﺔ أﻧّﻪ ﺳﻤﻊ أﻧﺲ ﺑﻦ ﻣﺎﻟﻚ ْﻋ ﺐ ّ ي ﺑﺎﻟْﻤﺪﻳﻨﺔ ﻣﺎﻻ وآﺎن أﺣ ّ ﻳﻘﻮل آﺎن أﺑﻮ ﻃﻠْﺤﺔ أآﺜﺮ أﻧﺼﺎر ﺖ ﻣﺴْﺘﻘْﺒﻠﺔ اﻟْﻤﺴْﺠﺪ وآﺎن رﺳﻮل اﷲ ْ أﻣْﻮاﻟﻪ إﻟﻴﻪ ﺑﻴْﺮﺣﻰ وآﺎﻧ ﺻﻠّﻰ اﻟﻠّﻪ ﻋﻠﻴْﻪ وﺳّﻠﻢ ﻳﺪْﺧﻠﻬﺎ وﻳﺸْﺮب ﻣﻦ ﻣﺎء ﻓﻴﻬﺎ ﻃﻴّﺐ ﻦ ﺗﻨﺎﻟﻮا اﻟْﺒ ّﺮ ﺣﺘّﻰ ﺗﻨْﻔﻘﻮا ﻣﻤّﺎ ْ ﺖ هﺬﻩ اﻟْﺂﻳﺔ )ﻟ ْ ﻗﺎل أﻧﺲ ﻓﻠﻤّﺎ ﻧﺰﻟ ﺗﺤ ّﺒﻮن ( ﻗﺎم أﺑﻮ ﻃﻠْﺤﺔ إﻟﻰ رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠّﻰ اﻟﻠّﻪ ﻋﻠﻴْﻪ وﺳّﻠﻢ ﻦ ﺗﻨﺎﻟﻮا اﻟْﺒ ّﺮ ﺣﺘّﻰ ﺗﻨْﻔﻘﻮا ﻣﻤّﺎ ْ ن اﷲ ﻳﻘﻮل ﻓﻲ آﺘﺎﺑﻪ )ﻟ ّ ﻓﻘﺎل إ ﻲ ﺑﻴْﺮﺣﻰ وإﻧّﻬﺎ ﺻﺪﻗﺔ ﻟﻠّﻪ ّ ﺐ أﻣْﻮاﻟﻲ إﻟ ّ ن أﺣ ّ ﺗﺤ ّﺒﻮن( وإ أرﺟﻮ ﺑﺮّهﺎ وذﺧْﺮهﺎ ﻋﻨْﺪ اﷲ ﻓﻀﻌْﻬﺎ ﻳﺎ رﺳﻮل اﷲ ﺣﻴْﺚ ﺦ ذﻟﻚ ﻣﺎل راﺑﺢ ْ ﺷﺌْﺖ ﻗﺎل رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠّﻰ اﷲ ﻋﻠﻴْﻪ وﺳﻠّﻢ ﺑ ﺠﻌﻠﻬﺎ ْنﺗ ْ ذﻟﻚ ﻣﺎل راﺑﺢ ﻗ ْﺪ ﺳﻤﻌْﺖ ﻣﺎ ﻗﻠْﺖ ﻓﻴﻬﺎ وإﻧّﻲ أرى أ ﻓﻲ اﻟْﺄﻗْﺮﺑﻴﻦ ﻓﻘﺴﻤﻬﺎ أﺑﻮ ﻃﻠْﺤﺔ ﻓﻲ أﻗﺎرﺑﻪ وﺑﻨﻲ ﻋﻤّﻪ )رواﻩ (ﻣﺴﻠﻢ 48
Artinya: Bersumber dari Ishaq bin Abdillah bin Abi Thalhah, beliau mendengar Anas bin Malik berkata: "Dulu, Abu Thalhah adalah seorang shahabat Anshar yang paling banyak hartanya di Medinah. Dan harta yang paling dia sukai adalah kebun Bairaha yang menghadap ke mesjid. Rasulullah saw. biasa masuk ke kebun itu untuk minum airnya yang tawar. Ketika turun ayat berikut: "Sekali-kali kalian tidak sampai kepada kebaikan (yang sempurna) sebelum kalian menafkahkan sebahagian harta yang kalian cintai..." (Ali Imran, ayat 92), Abu Thalhah datang kepada Rasulullah saw. dan berkata: "Allah telah berfirman dalam KitabNya. Sekali-kali kalian tidak sampai kepada kebaikan yang sempurna sebelum kalian menafkahkan sebahagian harta yang kalian cintai, sedangkan harta yang paling kucintai adalah kebun Bairaha, maka kebun itu kusedekahkan karena Allah. Aku mengharapkan kebaikan dan simpanannya (pahalanya nanti di akherat) di sisi Allah. Oleh sebab itu, pergunakanlah kebun itu, ya Rasulallah, sekehendakmu." Rasulullah saw. bersabda: "Bagus itu adalah harta yang menguntungkan, itu adalah harta yang menguntungkan Aku telah mendengar apa yang engkau katakan mengenai kebun itu. Dan aku berpendapat, hendaknya kebun itu engkau berikan 48
Al-Imam Abul Husain Muslim ibn al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Juz. II, op.cit.,
hlm. 79.
29
kepada para kerabatmu." Abu Thalhah pun membagi kebun itu dan memberikan kepada para kerabatnya dan anak-anak pamannya. (HR. Muslim) Sebagaimana telah dikemukakan bahwa wakaf ahli ini adalah wakaf yang sah dan telah dilaksanakan oleh kaum muslimin. Yang berhak mengambil manfaat wakaf ahli ialah orang-orang yang tersebut dalam sighat wakaf. Persoalan yang bisa timbul kemudian dari para wakaf ahli ini, ialah bila orang yang tersebut dalam sighat wakaf itu telah meninggal dunia, atau ia berketurunan jika dinyatakan bahwa keturunan berhak mengambil manfaat wakaf itu, atau orang-orang tersebut tidak mengelola atau mengambil manfaat harta wakaf itu.49 Bila terjadi keadaan yang demikian, maka biasanya harta wakaf itu dikembalikan pada tujuan wakaf pada umumnya, yaitu dimanfaatkan untuk menegakkan agama Allah atau untuk keperluan sosial. Contohnya ialah A mewakafkan sebidang tanahnya kepada keluarga B. Pada suatu saat kemudian dari keluarga B punah, tidak seorangpun yang tinggal, maka harta wakaf itu dikembalikan kepada Allah dan digunakan untuk kepentingan yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan Allah.50 Hal ini difahamkan dari hadis Ibnu Umar bahwa bila harta telah diwakafkan berarti itu telah diserahkan kepada Allah Swt. Sedangkan manfaat harta wakaf itu boleh digunakan untuk karib kerabat, untuk jalan Allah, untuk fakir miskin dan sebagainya. Bila karib kerabat atau orang tertentu tidak ada lagi tentulah harta wakaf itu dapat dimanfaatkan untuk 49
Zakiah Daradjat, Ilmu Fiqh, Jilid 3, Jakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995, hlm. 199. Ibid., hlm. 199
50
30
keperluan yang lain sesuai dengan yang telah ditentukan Allah. Sekalipun agama Islam membolehkan wakaf ahli, tetapi negara-negara Islam, seperti Mesir, Syiria dan negara-negara lain yang pernah melaksanakannya, mengalami kesulitan-kesulitan di kemudian hari dalam menyelesaikan perkara atau persoalan yang timbul karenanya. Karena itu Mesir menghapuskan lembaga wakaf ahli ini dengan Undang-Undang No. 180 tahun 1952, sedang Syiria telah menghapuskan sebelumnya. Karena itu perlu dipikirkan kemungkinan terjadinya wakaf ahli di Indonesia pada masa-masa yang akan datang.51 2. Wakaf Khairi: wakaf yang diperuntukkan kebaikan semata-mata.52 Dengan kata lain wakaf khairi merupakan wakaf yang secara tegas untuk kepentingan agama (keagamaan) atau kemasyarakatan. Seperti wakaf yang diserahkan untuk keperluan pembangunan masjid, sekolahan, jembatan, rumah sakit, panti asuhan, anak yatim dan lain sebagainya. Wakaf khairi adalah wakaf yang lebih banyak manfaatnya dari pada wakaf ahli, karena tidak terbatas pada satu orang/kelompok tertentu saja, tetapi manfaatnya untuk umum, dan inilah yang paling sesuai dengan tujuan perwakafan. Dalam wakaf khairi, si wakif dapat juga mengambil manfaat dari harta yang diwakafkan.53 Seperti wakaf masjid maka si wakif boleh saja di sana, atau mewakafkan sumur, maka si wakif boleh mengambil air dari sumur tersebut sebagaimana pernah dilakukan oleh Nabi dan sahabat Utsman bin Affan. 51
Ibid., hlm. 200. Sayyid Sabiq, op.cit., hlm. 307. 53 Faishal Haq dan Saiful Anam, op. cit., hlm. 6 – 7. 52
31
Wakaf khairi atau wakaf umum inilah yang paling sesuai dengan ajaran Islam dan yang dianjurkan pada orang yang mempunyai harta untuk melakukannya guna memperoleh pahala yang terus mengalir bagi orang yang bersangkutan kendatipun ia telah meninggal dunia, selama wakaf itu masih dapat diambil manfaatnya. Bentuk-bentuknya tersebut di atas, wakaf khairi ini jelas merupakan wakaf yang benar-benar dapat dinikmati manfaatnya
oleh
masyarakat
dan
merupakan
salah
satu
sarana
penyelenggaraan kesejahteraan masyarakat baik dalam bidang keagamaan maupun dalam bidang ekonomi, sosial, budaya dan pendidikan.54
D. Manfaat Wakaf Wakaf memiliki hikmah yang sangat besar, dan pahala yang diterima oleh mereka yang melakukannya adalah amat besar pula. Sebagian orang miskin tidak mampu untuk mencari nafkah dikarenakan lemahnya kekuatan yang mereka miliki, yang disebabkan karena sakit atau yang lainnya, seperti halnya para wanita yang tidak memiliki kekuatan untuk melakukan pekerjaan sebagaimana para lelaki. Sebagian lagi termasuk mereka yang lemah karena ditelan oleh masa (telah berusia lanjut) atau orang-orang yang tertimpa kefakiran yang termasuk dalam golongan mereka yang berhak mendapatkan zakat, seperti orang yang dulunya kaya dan berpangkat kemudian menjadi jatuh miskin. Mereka adalah orang-orang yang sangat berhak mendapatkan cinta dan belas kasihan. Apabila diwakafkan kepada mereka sejumlah harta atau 54
Muhammad Daud Ali, op. cit., hlm. 91 – 92.
32
sedekah, maka hal itu akan sangat membantu mereka untuk bisa terlepas dari belenggu kemiskinan, sehingga beban kehidupan mereka akan menjadi lebih ringan. Orang yang mewakafkan hartanya akan mendapatkan pahala dari Allah di hari yang tidak ada perlindungan kecuali perlindungan-Nya, yaitu di hari di mana amal perbuatan ditimbang.55 Al-Qur'an tidak pernah menjelaskan secara spesifik dan tegas tentang wakaf. Hanya saja, karena wakaf itu merupakan salah satu bentuk kebajikan melalui harta benda, maka para ulama pun memahami bahwa ayat-ayat AlQur'an yang memerintahkan pemanfaatan harta untuk kebajikan juga mencakup kebajikan melalui wakaf.56 Wakaf adalah menahan sesuatu benda yang kekal zatnya, dan memungkinkan untuk diambil manfaatnya guna diberikan untuk jalan kebaikan.57 Untuk itu wakaf hikmahnya besar sekali antara lain: a
Harta benda yang diwakafkan dapat tetap terpelihara dan terjamin kelangsungannya. Tidak perlu khawatir barangnya hilang atau pindah tangan, karena barang wakaf tidak boleh dijual, dihibahkan, atau diwariskan. Orang yang berwakaf sekalipun sudah meninggal dunia, masih terus menerima pahala, sepanjang barang wakafnya itu masih tetap ada dan masih dimanfaatkan.
55
Syeikh Ali Ahmad al-Jarjawi, Hikmah al-Tasyri' wa Falsafatuh, Juz II, Beirut: Dâr alFikr, 1980, hlm. 131. 56 Helmi Karim, Fiqh Muamalah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 103 57 Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 240
33
b
Wakaf merupakan salah-satu sumber dana yang penting yang besar sekali manfaatnya bagi kepentingan agama dan umat. Antara lain untuk pembinaan kehidupan beragama dan peningkatan kesejahteraan umat Islam, terutama bagi orang-orang yang tidak mampu, cacat mental/fisik, orang-orang yang sudah lanjut usia dan sebagainya yang sangat memerlukan bantuan dari sumber dana seperti wakaf itu.58 Mengingat besarnya manfaat wakaf itu, maka Nabi sendiri dan para sahabat dengan ikhlas mewakafkan masjid, tanah, sumur, kebun dan kuda milik mereka pribadi. Jejak (sunah) Nabi dan para sahabatnya itu kemudian diikuti oleh umat Islam sampai sekarang.59 Menurut Didin Hafidhuddin, banyak hikmah dan manfaat yang dapat diambil dari kegiatan wakaf, baik bagi wakif maupun bagi masyarakat secara lebih luas, antara lain yaitu menunjukkan kepedulian dan tanggungjawab terhadap kebutuhan masyarakat. Keuntungan moral bagi wakif dengan mendapatkan pahala yang akan mengalir terus, walaupun wakif sudah meninggal dunia. Memperbanyak aset-aset yang digunakan untuk kepentingan umum yang sesuai dengan ajaran Islam merupakan sumber dana potensial bagi kepentingan peningkatan kualitas umat, seperti pendidikan, kesehatan, kesejahteraan dan sebagainya.60 Dalam kaitan dengan hikmah dan manfaat wakaf, A.A. Mannan yang dikutip Didin Hafidhuddin menulis
58
Masjfuk Zuhdi, Studi Islam: Jilid III, Jakarta: Rajawali, 1988, hlm. 77-79. Sayyid Sabiq, op.cit., hlm. 308. 60 Didin Hafidhuddin, Islam Aplikatif, Jakarta: Gema Insani, 2003, hlm. 124. 59
34
Sepanjang sejarah Islam wakaf telah memerankan peranan yang sangat penting dalam mengembangkan kegiatan-kegiatan sosial, ekonomi, dan kebudayaan masyarakat Islam. Selain itu, keberadaan wakaf juga telah banyak memfasilitasi para sarjana dan mahasiswa dengan berbagai sarana dan prasarana yang memadai untuk melakukan riset dan pendidikan, sehingga dapat mengurangi ketergantungan dana pada pemerintah.61 Pernyataan menunjukkan bahwa wakaf mempunyai peranan yang penting sehingga dapat mengurangi ketergantungan dana pada pemerintah. Kenyataan menunjukkan institusi wakaf telah menjalankan sebagian dari tugas-tugas institusi pemerintah atau kementeriankementerian khusus seperti Departemen Kesehatan, Pendidikan, dan Sosial. Ada bukti-bukti yang mendukung pernyataan bahwa sumbersumber wakaf tidak hanya digunakan untuk membangun perpustakaan, ruang-ruang belajar, tetapi juga untuk membangun perumahan siswa, kegiatan riset seperti untuk jasa-jasa fotokopi, pusat seni, dan lain-lain.62 Keberadaan wakaf terbukti telah banyak membantu bagi pengembangan ilmu-ilmu medis melalui penyediaan fasilitas-fasilitas publik di bidang kesehatan dan pendidikan seperti: pembangunan rumah sakit, sekolah medis, dan pembangunan industri di bidang obat-obatan serta
kimia.
Penghasilan
wakaf
bukan
hanya
digunakan
untuk
mengembangkan obat-obatan dan menjaga kesehatan manusia, tetapi juga obat-obatan untuk hewan.
61
Ibid Ibid., hlm. 123.
62
35
Manusia dapat mempelajari obat-obatan serta penggunaannya dengan mengunjungi rumah sakit-rumah sakit yang dibangun dari dana hasil pengelolaan aset wakaf. Bahkan pendidikan medis kini tidak hanya diberikan di sekolah-sekolah medis dan rumah sakit, tetapi juga telah diberikan
oleh
masjid-masjid
dan
universitas-universitas
seperti
universitas Al-Azhar Kairo (Mesir) yang dibiayai dana hasil pengelolaan aset wakaf. Bahkan pada abad ke-4 Hijriyah, rumah sakit anak yang didirikan di Istambul (Turki) dananya berasal dari hasil pengelolaan aset wakaf.63 Pada periode Abbasiyah, dana hasil penyusun pengelolaan aset wakaf juga digunakan untuk membantu pembangunan pusat seni dan telah sangat berperan bagi perkembangan arsitektur Islam, terutama arsitektur dalam bangunan masjid, sekolah dan rumah sakit.64
E. Ijab dan Qabul dalam Iqrar Wakaf Wakaf harus disertakan dengan ijab qabul. Hal ini sebagaimana diungkapkan Imam Syafi'i dalam kitabnya al-Umm: 65
إﺷﻬﺎد ﻣﻦ أﻋﻄﺎهﺎوﻗﺒﻀﻬﺎﺑﺄﻣﺮﻣﻦ:وهﺬﻩ اﻟﻌﻄﻴﺔ ﺗﺘﻢ ﺑﺄﻣﺮﻳﻦ أﻋﻄﺎهﺎ
63
Ibid, hlm. 124. Ibid., hlm. 124. 65 Al-Imam Abi Abdullah Muhammad bin Idris al-Syafi’i, Al-Umm, Juz 4, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, t.th., hlm. 53 64
36
Artinya: dan pemberian wakaf ini akan sempurna dengan memenuhi dua perkara yaitu pengakuan yang memberikan dan penerimaan yang menerima dengan perintah yang memberikan. Pernyataan
Imam
al-Syafi'i
di
atas
menunjukkan,
dalam
pandangannya, pengakuan yang memberikan (ijab) dan penerimaannya (qabul) merupakan syarat sahnya akad wakaf. Pendapat Syafi'i didukung oleh Muhammad bin Abdurrahman ad-Dimasyqi yang menyatakan bahwa wakaf dianggap sah jika barang yang diwakafkan disertakan dengan ijab dari wakif 66
. Akan tetapi ada pula ulama lain yang berbeda pendapat dengan Syafi'i, hal
ini sebagaimana dikemukakan Muhammad Jawad Mughniyah yang memulai dengan pertanyaan, apakah wakaf memerlukan. qabul, atau cukup dengan ijab saja? Atau, dengan kata lain: apakah wakaf bisa dinyatakan dengan kehendak sepihak, ataukah harus ada dua kehendak yang bersesuaian?67 Para ulama mazhab membedakan antara wakaf yang dimaksudkan untuk kepentingan umum, seperti masjid dan kuburan, di mana orang yang mewakafkan tidak memaksudkan barang wakafnya itu untuk digunakan oleh pihak tertentu, dengan wakaf yang ditujukan untuk pihak tertentu, misalnya anak-anak dan lain sebagainya. Menurut Muhammad Jawad Mughniyah bahwa mazhab Hambali dan Hanafi sepakat, wakaf untuk pihak yang tidak terbatas (wakaf untuk kepentingan umum) tidak membutuhkan qabul,
66
Syekh Muhammad bin Abdurrahman ad-Dimasyqi, Rahmah al-Ummah fi Ikhtilaf al-Aimah, Terj. Abdullah Zaki Alkaf, "Fiqih Empat Mazhab", Bandung: Hasyimi Press, 2004, hlm. 306. 67 Muhammad Jawad Mughniyah, al-Fiqh ‘Ala al-Mazahib al-Khamsah, Terj. Masykur, Afif Muhammad, Idrus al-Kaff, "Fiqih Lima Mazhab", Jakarta: Lentera, 2001, hlm. 641 – 642.
37
demikian pula wakaf untuk pihak tertentu sama seperti wakaf umum, yaitu tidak memerlukan qabul.68 Terdapat
tiga
pendapat
yang
berbeda.
Pendapat
pertama,
mensyaratkan adanya qabul secara mutlak baik pada wakaf umum ataupun wakaf bagi pihak tertentu. Kedua, tidak mensyaratkan qabul secara mutlak, dan ketiga, membedakan-antara wakaf yang umum, yang tidak memerlukan qabul, dengan wakaf bagi pihak tertentu yang memerlukan qabul.69 Dalam wakaf ada salah satu rukun atau unsur yang harus dipenuhi yaitu harus ada sighat (Ikrar atau pernyataan Wakaf). Ikrar adalah pernyataan kehendak dari wakif untuk mewakafkan tanah atau benda miliknya (pasl 1 (3) PP No. 28/1977 jo. pasal 215 (3) KHI). Pernyataan atau ikrar wakaf ini harus dinyatakan secara tegas baik lisan maupun tertulis, dengan redaksi "aku mewakafkan" atau "aku menahan" atau kalimat yang semakna lainnya. Ikrar ini penting, karena pernyataan ikrar membawa implikasi gugurnya hak kepemilikan wakif, dan harta wakaf menjadi milik Allah atau milik umum yang dimanfaatkan untuk kepentingan umum yang menjadi tujuan wakaf itu sendiri. Karena itu, konsekuensinya, harta wakaf tidak bisa dihibahkan, diperjualbelikan, atau pun diwariskan. Secara teknis, ikrar wakaf diatur dalam pasal 5 PP 28/1977 jo, pasal 218 KHI: (1). Pihak yang mewakafkan tanahnya harus mengikrarkan kehendaknya secara jelas dan tegas kepada Nadzir di hadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) sebagaimana dimaksud pasal 9 ayat (2) 68
Ibid, hlm. 642. Ibid
69
38
yang kemudian menuangkannya dalam bentuk Aktra Ikrar Wakaf (AIW) dengan disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi. (2). Dalam keadaan tertentu, penyimpangan dari ketentuan dimaksud dalam ayat (1) dapat dilaksanakan setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan Menteri Agama. Meskipun wakaf adalah tindakan tabarru' (sukarela), sehingga prinsip "tangan kanan memberi, tangan kiri tidak perlu mengetahui" sering diposisikan sebagai dasar untuk merahasiakan tindakan wakaf. Namun sebenarnya tertib administrasi melalui ijab qabul tidak selalu identik dengan memamerkan wakaf yang dilakukannya. Bahkan, mempublikasikan tindakan sedekah termasuk di dalamnya wakaf adalah baik-baik saja. Firman Allah dalam Surat al-Baqarah, ayat 271:
ﺨﻔُﻮهَﺎ َو ُﺗ ْﺆﺗُﻮهَﺎ ا ْﻟ ُﻔ َﻘﺮَاء َﻓ ُﻬ َﻮ ْ ﻲ َوإِن ُﺗ َ ت َﻓ ِﻨ ِﻌﻤﱠﺎ ِه ِ ﺼ َﺪﻗَﺎ إِن ُﺗ ْﺒﺪُو ْا اﻟ ﱠ ﺧﺒِﻴ ٌﺮ َ ن َ ﺳ ﱢﻴﺌَﺎ ِﺗ ُﻜ ْﻢ وَاﻟّﻠ ُﻪ ِﺑﻤَﺎ َﺗ ْﻌ َﻤﻠُﻮ َ ﺧ ْﻴ ٌﺮ ﱡﻟ ُﻜ ْﻢ َو ُﻳ َﻜﻔﱢ ُﺮ ﻋَﻨﻜُﻢ ﻣﱢﻦ َ (271 :)اﻟﺒﻘﺮة Artinya: Jika kamu menampakkan maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikannya itu lebih baik bagimu. Dan Allah akan menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu; dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. al-Baqarah: 271).70 Pada masa 'Umar ibn al-Khaththab ra mewakafkan tanahnya, ia sendiri yang menjadi nadzirnya. Sepeninggalnya, pengelolaan wakaf diserahkan kepada putrinya Hafshah, dan setelah itu ditangani Abdullah ibn 'Umar, kemudian keluarganya yang lain.
70
Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, op. cit, hlm. 68.
BAB III PENDAPAT SAYYID SABIQ TENTANG IKRAR WAKAF TIDAK MEMERLUKAN QABUL
A. Biografi Sayyid Sabiq, Pendidikan dan Karyanya 1. Latar Belakang Kehidupan dan Pendidikan Sayyid Sabiq Sayyid Sabiq lahir di Istanha, Distrik al-Bagur, Propinsi alMunufiah, Mesir, pada tahun 1915. Ulama kontemporer Mesir yang memiliki reputasi internasional di bidang fikih dan dakwah Islam, terutama melalui karyanya yang monumental, Fiqh as-Sunnah (Fikih Berdasarkan Sunah Nabi). Nama lengkapnya adalah Sayyid Sabiq Muhammad at-Tihamiy. la lahir dari pasangan keluarga terhormat, Sabiq Muhammad at-Tihamiy dan Husna Ali Azeb di desa Istanha (sekitar 60 km di utara Cairo). Mesir. At-Tihamiy adalah gelar keluarga yang menunjukkan
daerah
asal
leluhurnya,
Tihamah
(dataran
rendah
Semenanjung Arabia bagian barat). Silsilahnya berhubungan dengan khalifah ketiga, Utsman bin Affan (576-656). Mayoritas warga desa Istanha, termasuk keluarga Sayyid Sabiq sendiri, menganut Mazhab Syafi'i.1 Sesuai dengan tradisi keluarga Islam di Mesir pada masa itu, Sayyid Sabiq menerima pendidikan pertamanya pada kuttab (tempat belajar pertama tajwid, tulis, baca, dan hafal Al-Qur'an). Pada usia antara 1
Abdul Aziz Dahlan, et al, (ed), Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997, Jilid 5, hlm. 1614.
40
41 10 dan 11 tahun, ia telah menghafal Al-Qur'an dengan baik, Setelah itu, ia langsung memasuki perguruan al-Azhar di Cairo dan di sinilah ia menyelesaikan seluruh pendidikan formalnya mulai dari tingkat dasar sampai tingkat takhassus (kejuruan). Pada tingkat akhir ini ia memperoleh asy-Syahadah al-'Alimyyah (1947), ijazah tertinggi di Universitas alAzhar ketika itu, kurang lebih sama dengan ijazah doktor.2 Meskipun datang dari keluarga penganut Mazhab Syafi'i, Sayyid Sabiq mengambil Mazhab Hanafi di Universitas al-Azhar. Para mahasiswa Mesir ketika itu cenderung memilih mazhab ini karena beasiswanya lebih besar dan peluang untuk menjadi pegawai pun lebih terbuka lebar. Ini merupakan pengaruh Kerajaan Turki Usmani (Ottoman), penganut Mazhab Hanafi, yang de facto menguasai Mesir hingga tahun 1914. Namun demikian, Sayyid Sabiq mempunyai kecenderungan suka membaca dan menelaah mazhab-mazhab lain.3 Di antara guru-gurunya adalah Syekh Mahmud Syaltut dan Syekh Tahir ad-Dinari, keduanya dikenal sebagai ulama besar di al-Azhar ketika itu. Ia juga belajar kepada Syekh Mahmud Khattab, pendiri al-Jam'iyyah asy-Syar'iyyah li al-'Amilin fi al-Kitab wa as-Sunnah (Perhimpunan Syariat bagi Pengamal Al-Qur'an dan Hadis Nabi). Al-Jam'iyyah ini bertujuan mengajak umat kembali mengamalkan Al-Qur'an dan Hadis Nabi SAW tanpa terikat pada mazhab tertentu.4
2
Ibid., hlm. 1614. http://media.isnet.org/islam/Mengapa/Sabiq html, diakses tanggal 2 Agustus 2009 4 Abdul Aziz Dahlan, et al, (ed), op.cit., hlm. 1614 3
42 Sejak usia muda, Sayyid Sabiq dipercayakan untuk mengemban berbagai tugas dan jabatan, baik dalam bidang administrasi maupun akademi. Ia pernah bertugas sebagai guru pada Departemen Pendidikan dan Pengajaran Mesir. Pada tahun 1955 ia menjadi direktur Lembaga Santunan Mesir di Mekah selama 2 tahun. Lembaga ini berfungsi menyalurkan santunan para dermawan Mesir untuk honorarium imam dan guru-guru Masjidilharam, pengadaan kiswah Ka'bah, dan bantuan kepada fakir-miskin serta berbagai bentuk bantuan sosial lainnya. la juga pernah menduduki berbagai jabatan pada Kementerian Wakaf Mesir. Di Unversitas al-Azhar Cairo ia pernah menjadi anggota dewan dosen. Ia mendapat tugas di Universitas al-Jam'iyyah Umm al-Qura, Mekah. Pada mulanya, ia menjadi dewan dosen, kemudian diangkat sebagai ketua Jurusan Peradilan Fakultas Syariat (1397-1400 H) dan direktur Pascasarjana Syariat (1400-1408 H). Sesudah itu, ia kembali menjadi anggota dewan dosen Fakultas Usuluddin dan, mengajar di tingkat pascasarjana. Sejak muda ia juga aktif berdakwah melalui ceramah di masjid-masjid pengajian khusus, radio, dan tulisan di media massa. Ceramahnya di radio dan tulisannya di media massa dapat dibaca dan dikaji. 5 la tetap bergabung dengan al-Jam'iyyah asy-Syar'iyyah li al'Amilin fi al-Kitab wa as-Sunnah. Pada organisasi ini ia mendapat tugas untuk menyampaikan khotbah Jumat dan mengisi pengajian-pengajiannya.
5
Ibid., hlm. 1614.
43 la pun berusaha mengembangkan organisasi tersebut, termasuk di desanya sendiri, Istanha. la juga pernah dipercayakan oleh Syekh Hasan al-Banna (1906-1949), pendiri Ikhwanul Muslimin (suatu organisasi gerakan Islam di Mesir) untuk mengajarkan fikih Islam kepada anggotanya. Bahkan, karena menyinggung persoalan politik dalam dakwahnya, ia sempat dipenjarakan bersama sejumlah ulama Mesir di masa pemerintahan Raja Farouk (1936-1952) pada tahun 1949 dan dibebaskan 3 tahun kemudian. Di desa Istanha ia mendirikan sebuah pesantren yang megah. Guru-gurunya diangkat dan digaji oleh Universitas al-Azhar. Karena jasanya dalam mendirikan pesantren ini dan sekaligus penghargaan baginya sebagai putra desa, al-Jam'iyyah asy-Syar'iyyah li al-'Amilin fi alKitab wa as-Sunnah, pengelola pesantren, menamakan pesantren Ma'had as-Sayyid Sabiq al-Azhari (Pesantren Sayyid Sabiq Ulama al-Azhar). Di tingkat internasional ia turut berpartisipasi dalam berbagai konferensi dan diundang memberikan ceramah ke berbagai negara di Asia, Afrika, Eropa, dan Amerika.6 2. Karya-Karyanya Adapun karya-karya Sayyid Sabiq berupa buku yang sebagiannya beredar di dunia Islam, termasuk di Indonesia, antara lain: 1. Al-Yahud fi al-Qur'an (Yahudi dalam Al-Qur'an), 2. 'Anasir al-Quwwah fi al-lslam (Unsur-Unsur Dinamika dalam Islam), 3. Al-'Aqa'id at-Islamiyyah (Akidah Islam),
6
Ibid., hlm. 1614.
44 4. Ar-Riddah (Kemurtadan), 5. As-Salah wa at-Taharah wa al-Wudu', 6. As-Siyam (Puasa), 7. Baqah az-Zahr (Karangan Bunga), 8. Da'wah al-lslam (Dakwah Islam), 9. Fiqh as-Sunnah (Fikih Berdasarkan Sunah Nabi), 10. Islamuna (Keislaman Kita), 11. Khasa'is
asy-Syari'ah
al-Islamiyyah
wa
Mumayyizatuha
(Keistimewaan dan Ciri Syariat Islam), 12. Manasik al-Hajj wa al-'Umrah (Manasik Haji dan Umrah). 13. Maqalat Islamiyyah (Artikel-Artikel Islam), 14. Masadir at-Tasyri' al-lslami (Sumber-Sumber Syariat Islam). 15. Taqalid Yajib 'an Tazul Munkarat al-Afrah (Adat Kebiasaan: Wajib Menghilangkan Berbagai Kemungkaran Sukaria).7 Sebagian dari buku-buku ini telah diterjemahkan ke bahasa asing, termasuk bahasa Indonesia. Namun, yang paling populer di antaranya adalah Fiqh as-Sunnah. Buku ini telah dicetak ulang oleh berbagai percetakan di Mesir, Arab Saudi, dan Libanon. Buku ini juga sudah diterjemahkan ke berbagai bahasa dunia, seperti Inggris, Perancis, Urdu, Turki, Swawahili, dan Indonesia.8 Fiqh as-Sunnah mempunyai pengaruh yang luas di dunia Islam. Nasiruddin al-Albani, muhadis dari Suriah, memandangnya sebagai buku 7
http://media.isnet.org/islam/Mengapa/Sabiq html, diakses tanggal 2 Agustus 2009 Ibid
8
45 terbaik dari segi sistematika penulisan dan bahasanya, meskipun ia mengkritik sebagian hadisnya. Ahli fikih Mesir, Yusuf al-Qardawi, juga mengakui keutamaan buku ini. Menurut keterangannya, ketika bagian "salat dan bersuci" baru terbit, buku ini telah memberikan pengaruh besar untuk menggunakan dalil-dalil Al-Qur' an dan sunnah Nabi SAW secara langsung. Di Indonesia buku ini termasuk buku sumber di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) dan Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta (PTAIS). Buku ini juga menjadi salah satu rujukan Komisi Fatwa dan Hukum MUI, Kompilasi Hukum Islam, dan para penceramah.9 Sayyid Sabiq seorang ulama yang bersikap moderat, menolak paham yang menyatakan tertutupnya pintu ijtihad. Dalam menetapkan hukum, ia senantiasa merujuk langsung pada Al-Qur'an dan Hadits Nabi Saw, tanpa terikat pada mazhab tertentu, sehingga tidak jarang ia mengemukakan pendapat para ulama yang disertakan dengan dalilnya tanpa melakukan tarjih (menguatkan salah satu dan dua dalil). Lebih dari itu, menurutnya setiap orang boleh memilih pendapat dan pemahaman yang lebih mudah dan ringan bagi dirinya.10 Sikap tersebut terlihat jelas dari beberapa pokok pikirannya dari berbagai aspek pemahamannya tentang Islam. Dari beberapa pokok pikiran tersebut, peneliti tidak bisa mengemukakan semuanya dalam pembahasan ini. Namun, hanya beberapa pokok pikiran saja yakni
9
http://media.isnet.org/islam/Mengapa/Sabiq html, diakses tanggal 2 Agustus 2009 Ibid
10
46 mengenai risalah Islam, al-Qur'an, Hadits, ijtihad dan perundangan Islam (fiqh). 3. Karakteristik Khusus Pemikiran Hukum Sayyid Sabiq Sayyid Sabiq seorang ulama yang bersikap moderat, menolak paham yang menyatakan tertutupnya pintu ijtihad. Dalam menetapkan hukum, ia senantiasa merujuk langsung pada Al-Qur'an dan Hadits Nabi Saw, tanpa terikat pada mazhab tertentu, sehingga tidak jarang ia mengemukakan pendapat para ulama yang disertakan dengan dalilnya tanpa melakukan tarjih (menguatkan salah satu dan dua dalil). Lebih dari itu, menurutnya setiap orang boleh memilih pendapat dan pemahaman yang lebih mudah dan ringan bagi dirinya.11 a. Pandangan Sayyid Sabiq tentang Risalah Islam Menurut pandangan Sayyid Sabiq, risalah Islam bukanlah merupakan risalah setempat suatu generasi atau suku bangsa sebagaimana halnya risalah-risalah yang sebelumnya. Tetapi Islam adalah risalah yang universal mencakup seluruh umat manusia, sampai akhirnya bumi dan segala isinya ini diambil kembali oleh Allah, tidaklah ia tertentu bagi suatu masa. Allah berfirman:
ﻦ َ ن ِﻟ ْﻠ َﻌ ﺎَﻟﻤِﻴ َ ﻋ ْﺒ ِﺪ ِﻩ ِﻟ َﻴ ُﻜ ﻮ َ ﻋَﻠ ﻰ َ ن َ ل ا ْﻟ ُﻔ ْﺮ َﻗ ﺎ َ ك اﱠﻟ ﺬِي َﻧ ﱠﺰ َ َﺗ َﺒ ﺎ َر (1 :َﻧﺬِﻳﺮًا )اﻟﻔﺮﻗﺎن
11
Ibid
47 Artinya: Maha Suci Allah yang telah menurunkan al-Qur'an kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam". (QS. Al-Furqan: 1).12 Dan firman-Nya:
ﻦ س َﺑ ﺸِﻴﺮًا َو َﻧ ﺬِﻳﺮًا َوَﻟ ِﻜ ﱠ ِ ﻻ آَﺎ ﱠﻓ ًﺔ ﻟﱢﻠ ﱠﻨ ﺎ ك ِإ ﱠ َ ﺳ ْﻠﻨَﺎ َ َو َﻣ ﺎ َأ ْر (28 :ن )ﺳﺒﺄ َ ﻻ َﻳ ْﻌَﻠﻤُﻮ َ س ِ َأ ْآ َﺜ َﺮ اﻟﻨﱠﺎ Artinya: Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (QS. Saba: 28).13 Di antara alasan-alasan yang membuktikan universal dan meliputi risalah ini adalah sebagai berikut:14 1. Tidak dijumpai di dalamnya hal-hal yang sulit untuk di percaya atau sukar pelaksanaannya. Firman Allah:
(185 :ﺴ َﺮ )اﻟﺒﻘﺮة ْ ﻻ ُﻳﺮِﻳ ُﺪ ِﺑ ُﻜ ُﻢ ا ْﻟ ُﻌ َ ﺴ َﺮ َو ْ ُﻳﺮِﻳ ُﺪ اﻟّﻠ ُﻪ ِﺑ ُﻜ ُﻢ ا ْﻟ ُﻴ Artinya:
Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu (QS. al-Baqarah: 185).15
2. Bahwa hal-hal yang tidak terpengaruh oleh perubahan tempat dan waktu seperti soal akidah dan ibadah diterangkan dengan sempurna dan terperinci dan di jelaskan dengan keterangan-keterangan lengkap sehingga tidak usah ditambah atau dikurangi lagi. Sementara hal-hal yang menyangkut soal peradaban, urusan politik dan peperangan, datang secara global atau garis besarnya, agar dapat mengikuti
12
Yayasan Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya: Surya Cipta Aksara, 1978, hlm. 559. 13 Ibid., hlm. 688. 14 http://media.isnet.org/islam/Mengapa/Sabiq html, diakses tanggal 2 Agustus 2009 15 Depag RI, op.cit., hlm. 45.
48 kepentingan manusia di setiap saat dan dapat menjadi pedoman bagi para pemimpin dalam menegakkan kebenaran dan keadilan.16 3. Semua ajaran yang terdapat di dalamnya, maksudnya tidak lain hanyalah untuk menjaga agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Adapun tujuan yang hendak dicapai oleh risalah Islam ialah membersihkan dan mensucikan jiwa dengan jalan mengenal Allah serta beribadat kepadanya dan mengkokohkan hubungan antara sesama manusia serta menegakkannya di atas dasar kasih sayang, persamaan dan keadilan sehingga dengan demikian tercapailah kebahagiaan manusia baik di dunia maupun akhirat.17 b. Pandangan Sayyid Sabiq tentang al-Qur'an Menurut pandangan ia, al-Qur'an adalah kitab suci dan undangundang dasar utama yang mengungkapkan kebenaran agama dan menggariskan tata kehidupan individu, keluarga dan masyarakat. Dalam suatu negara al-Qur'an memberikan dorongan dan motivasi agar bangsanya bangkit dan giat membangun supaya menjadi bangsa yang kuat dan hanya al-Qur'an yang selalu memberikan semangat baru pada jiwa seseorang. Tidak ada suatu ilmu yang dapat memberikan sinar penerang pada akal, yang dapat membersihkan Jiwa, menghidupkan hati, dapat
16
http://media.isnet.org/islam/Mengapa/Sabiq html, diakses tanggal 2 Agustus 2009 Ibid
17
49 menunjukkan hati manusia siapa penciptanya dan yang bisa menyamai alQur'an. Oleh karena itu, mempelajari al-Qur'an sangatlah penting.18 Menurutnya pula al-Qur'an itu mengandung serta menghimpun halhal yang amat diperlukan manusia baik yang berupa soal-soal peribadatan, adab kesopanan, cara bermuamalah (hubungan antara sesama manusia seperti berdagang dan sebagainya), juga soal-soal ketentuan yang pasti seperti ikatan perjanjian dan lain-lain. Al-Qur'an satu-satunya ajaran yang pasti dapat menjamin untuk dapat membentuk pribadi manusia yang luhur, keluarga yang utama, masyarakat yang harmonis dan baik, pemerintah yang adil, alat kekuatan yang kokoh yang dapat menegakkan kebenaran dan keadilan, melenyapkan penganiayaan, menghilangkan permusuhan dan perselisihan dan sebagainya.19 c. Pandangan Sayyid Sabiq tentang Hadis Menurut ia yang dimaksud dengan hadits adalah perkataan, perbuatan dan ketetapan-ketetapan rasul yang merupakan sumber kedua setelah al-Qur'an yang menjelaskan tentang akidah Islam, cara-cara ibadah, adab, syari'at dan ajaran-ajarannya. Hadis juga bisa menentukan hukum-hukum yang belum dijelaskan dalam al-Qur'an. Hal ini telah disepakati oleh para ulama bahkan mereka berpendapat seyogyanya hadis itu betul-betul diperhatikan. Untuk itu hendaknya ada suatu kelompok yang menanganinya secara khusus, menyimpulkan, mengklasifikasikan, 18
Sayyid Sabiq, Unsur-unsur Dinamika dalam Islam, terj. Haryono S. Yusuf, Jakarta: Intermasa , 1981, hlm. 83. 19 Sayyid Sabiq, al-Aqidah al-Islamiyah, terj. Mahyuddin Syaf, "Aqidah Islam", Bandung: CV. Diponegoro, 1996, hlm 274
50 mengadakan penelitian atas seluruh hadis dalam rangka menentukan mana yang dapat diterima dan mana yang harus ditolak. Usaha ini harus dilaksanakan secara sungguh-sungguh sehingga tidak ada kesempatan bagi orang yang menentangnya untuk melaksanakan kehendaknya walaupun kelompok yang menentang itu telah mengeluarkan biaya yang sangat besar karena itu perlu dibentuk panitia khusus yang terdiri dari ahli-ahli hadits yang "bertugas; 1.
Mengumpulkan hadis-hadis shahih dalam satu daftar.
2.
Mengklasifikasikan dalam bentuk bab-bab.
3.
Menjelaskannya dengan cara yang mudah, sederhana serta sesuai dengan kondisi dan memelihara lafal-lafal bahasa Arabnya.
4.
Dapat menyepakati adanya perbedaan yang tidak prinsip antara beberapa hadits
5.
Dalam menjelaskan hadis harus ada pengkhususan atau pembidangan. Ahli akidah menjabarkan hadis-hadis yang berhubungan dengan keimanan dan aspek-aspeknya. Ahli fiqh menjelaskan haditshadits yang berkaitan dengan hukum dan sebagainya. Hal ini dilakukan karena untuk menghindari adanya perbedaan-perbedaan yang tidak prinsipil.20
d. Pandangan Sayyid Sabiq tentang Ijtihad Menurut ia ijtihad selamanya perlu dilakukan untuk mengantisipasi perkembangan zaman. Ia menolak paham yang menyatakan tertutupnya 20
Sayyid Sabiq, Unsur-unsur Dinamika dalam Islam, op cit, hlm. 85.
51 pintu ijtihad. Taqlid hanyalah penghalang kemajuan bagi akal. Melalui penulisan kitab Fiqh al-Sunnah, gambaran yang benar tentang fiqh Islam disertai dengan dalil yang shahih, menghapuskan rasa fanatisme mazhab di kalangan umat Islam dan menghilangkan anggapan tertutupnya pintu ijtihad.21 Menurutnya, setiap orang bebas beramal menurut ijtihad dan mazhabnya masing-masing. Seseorang yang mampu berijtihad wajib melakukan ijtihad untuk mengetahui hukum syari'at dari sumbernya tanpa terikat kepada mazhab tertentu. Orang awam boleh bertaklid kepada salah satu dari keempat mazhab (Syafi'i, Hambali, Hanafi, dan Maliki) atau mengikuti pendapat seorang mujtahid (ahli ijtihad) yang dapat diterimanya.22 e. Pandangan Sayyid Sabiq tentang Perundangan Islam (fiqh) Menurutnya, perundangan Islam merupakan salah satu aspek dari segi-segi terpenting yang dikandung oleh risalah Islam dan mewakili bidang praktis dari risalah ini. Perundangan mengenai agama semata seperti hukum-hukum ibadat, tidaklah terbit kecuali dari wahyu Allah kepada Nabi baik berupa kitab, sunnah, atau hasil ijtihad yang di setujuinya.23 Pembahasan di sini akan diarahkan pada pendalaman nash-nash yang berhubungan dengan ibadah, halal haram dan ketentuan ketentuan
21
Dewan Redaksi Easiklopedi Hukum Islam, loc.cit. Ibid., 23 Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz I, Kairo: Maktabah Dar al-Turas, tth, hlm. 7. 22
52 hukum lainnya. Dalam hal ini harus dihindari adanya pembahasan masalah-masalah yang tidak mungkin terjadi. Sedangkan masalah-masalah yang tidak ada nashnya, haruslah dipertimbangkan dari segi baik dan buruknya. Adapun perundangan politik dan peperangan, maka Rasulullah Saw. disuruh untuk merundingkannya. Kadang-kadang Rasulullah Saw mempunyai pendapat, tetapi menariknya kembali dan menerima pendapat para sahabat, sebagaimana terjadi di waktu perang Badar dan Uhud.24 Demikian pula para sahabat, mereka mendatangi Nabi Saw. menanyakan kepadanya hal-hal yang mereka tidak ketahui dan meminta penjelasan mengenai makna kata-kata yang tidak jelas, sambil mengemukakan pengertiannya menurut pemahaman mereka sendiri. Maka kadang-kadang Nabi Saw menyetujui pengertian itu, dan kadang-kadang ditunjukannya letak kesalahan pendapat itu.25 Perkataan-perkataan umum yang telah diletakkan Islam, guna menjadi pedoman bagi kaum muslimin adalah: 1. Melarang membahas peristiwa yang belum terjadi sampai ia terjadi.
ﺴ ْﺆ ُآ ْﻢ ُ ﺷﻴَﺎء إِن ُﺗ ْﺒ َﺪ َﻟ ُﻜ ْﻢ َﺗ ْ ﻦ َأ ْﻋ َ ﺴَﺄﻟُﻮ ْا ْ ﻻ َﺗ َ ﻦ ﺁ َﻣﻨُﻮ ْا َ ﻳَﺎ َأ ﱡﻳﻬَﺎ اﱠﻟﺬِﻳ ﻋ ْﻨ َﻬ ﺎ َ ﻋﻔَﺎ اﻟّﻠ ُﻪ َ ن ُﺗ ْﺒ َﺪ َﻟ ُﻜ ْﻢ ُ ل ا ْﻟ ُﻘﺮْﺁ ُ ﻦ ُﻳ َﻨﺰﱠ َ ﻋ ْﻨﻬَﺎ ﺣِﻴ َ ﺴَﺄﻟُﻮ ْا ْ َوإِن َﺗ (101 :ﺣﻠِﻴ ٌﻢ )اﻟﻤﺎﺋﺪة َ ﻏﻔُﻮ ٌر َ وَاﻟّﻠ ُﻪ Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan semua perkara, karena bila diterangkan kepadamu, nanti kamu akan menjadi kecewa. Tapi bila kamu menanyakan itu ketika turunnya al-Qur'an, tentulah kamu akan di beri penjelasan, kesalahan itu telah diampuni Allah
24
Ibid, hlm. 8. Ibid
25
53 dan Allah Maha Pengampun lagi Penyayang". (Q.S. alMaidah: 101).26 2. Menjauhi banyak tanya dan masalah-masalah pelik
ﻦ ْ ﻋ َ ﻲ ﺸ ْﻌ ِﺒ ﱢ ﻦ اﻟ ﱠ ِ ﻋ َ ﻦ َﻣ ْﻨﺼُﻮ ٍر ْﻋ َ ﺟﺮِﻳ ٌﺮ َ ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ َ ن ُ ﻋ ْﺜﻤَﺎ ُ ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ َ ل َ ﺷ ْﻌ َﺒ َﺔ َﻗ ﺎ ُ ﻦ ِ ﻦ ا ْﻟ ُﻤﻐِﻴ َﺮ ِة ْﺑ ِﻋ َ ﺷ ْﻌ َﺒ َﺔ ُ ﻦ ِ َورﱠا ٍد َﻣ ْﻮﻟَﻰ ا ْﻟ ُﻤﻐِﻴ َﺮ ِة ْﺑ ل َ ﻞ َوﻗَﺎ َ ن اﻟﱠﻠ َﻪ َآ ِﺮ َﻩ َﻟ ُﻜ ْﻢ ﻗِﻴ ﺳﱠﻠ َﻢ ِإ ﱠ َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪ َ ﻲ ل اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱡ َ ﻗَﺎ (ل )رواﻩ اﻟﺒﺨﺎرى ِ ﻋ َﺔ ا ْﻟﻤَﺎ َ ل َوِإﺿَﺎ ِ ﺴﺆَا َو َآ ْﺜ َﺮ َة اﻟ ﱡ 27
Artinya: "Telah mengabarkan kepada kami dari Usman dari Jarir dari Mansyur dari asy-Sya'biy dari Warad Maula al-Mughirah bin Syu'bah dari al-Mughirah bin Syu'bah berkata: Nabi Saw. bersabda: Sesungguhnya Allah membenci banyak debat, banyak tanya dan menyia-nyiakan harta". (H.R. alBukhari). 3. Menghindarkan pertikaian dari perpecahan di dalam agama. Firman Allah:
:ﻻ َﺗ َﻔ ﱠﺮ ُﻗ ﻮ ْا )ﺁل ﻋﻤ ﺮان َ ﺟﻤِﻴﻌ ًﺎ َو َ ﻞ اﻟّﻠ ِﻪ ِ ﺤ ْﺒ َ ﺼﻤُﻮ ْا ِﺑ ِ ﻋ َﺘ ْ وَا (103 Artinya: "Hendaklah kamu sekalian berpegang teguh pada tali Allah dan janganlah kalian berpecah belah.." (Q.S. Ali Imran: 103).28 4. Mengembalikan masalah-masalah yang diperselisihkan itu kepada alQur'an dan sunnah. Firman Allah:
ﺤ ْﻜ ُﻤ ُﻪ ِإﻟَﻰ اﻟﱠﻠ ِﻪ ذِﻟ ُﻜ ُﻢ اﻟﱠﻠ ُﻪ َر ﱢﺑ ﻲ ُ ﻲ ٍء َﻓ ْ ﺷ َ ﺧ َﺘَﻠ ْﻔ ُﺘ ْﻢ ﻓِﻴ ِﻪ ﻣِﻦ ْ َوﻣَﺎ ا (10 :ﺐ )اﻟﺸﻮرى ُ ﺖ َوِإَﻟ ْﻴ ِﻪ ُأﻧِﻴ ُ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َﺗ َﻮ ﱠآ ْﻠ َ Artinya: "Tentang sesuatu apapun kamu berselisih, maka putusannya kepada Allah. itulah Allah Tuhanku. Kepada-Nyalah aku 26
Yayasan Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an, op. cit., hlm. 179. Al-Imam Abu Abdillah Muhammad ibn Ismail ibn al-Mugirah ibn Bardizbah alBukhari, Sahih al-Bukhari, Beirut Libanon: Dar al-Fikr, 1410 H/1990 M, Juz II, hlm. 71. 28 Yayasan Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an,, op. cit, hlm. 93. 27
54 bertawakkal dan kepada-Nyalah aku kembali". (Q.S. asySyura: 10).29 Masalah-masalah keagamaan telah dinyatakan menurut patokanpatokan ini, begitu juga masalah-masalah yang akan di gunakan sebagai pedoman atau hakim jelas diketahui. Oleh karena itu, maka tidak ada alasan untuk berselisih yang tidak ada faedahnya sama sekali. Firman Allah:
:ق َﺑﻌِﻴ ٍﺪ )اﻟﺒﻘ ﺮة ٍ ﺷ ﻘَﺎ ِ ب َﻟ ِﻔ ﻲ ِ ﺧ َﺘَﻠ ُﻔ ﻮ ْا ِﻓ ﻲ ا ْﻟ ِﻜ َﺘ ﺎ ْ ﻦا َ ن اﱠﻟ ﺬِﻳ َوِإ ﱠ (176 Artinya: "Dan orang-orang yang berselisih tentang adanya kitab, sungguh mereka berada dalam kesesatan yang jauh". (Q.S. al-Baqarah: 176).30
B. Pendapat Sayyid Sabiq tentang Ikrar Wakaf Tidak Memerlukan Qabul Sayyid Sabiq membolehkan wakaf tanpa qabul, hal ini sebagaimana ia nyatakan:
وﻣﺘﻰ ﻓﻌﻞ اﻟﻮاﻗﻒ ﻣﺎ ﻳﺪل ﻋﻠﻰ اﻟﻮﻗﻒ أوﻧﻄﻖ ﺑﺎﻟﺼﻴﻐﺔ ﻟﺰم اﻟﻮﻗﻒ ﺑﺸﺮط أن ﻳﻜﻮن اﻟﻮاﻗﻒ ﻣﻤﻦ ﻳﺼﺢ ﺗﺼﺮﻓﺔ ﺑﺄن ﻳﻜﻮن آﺎﻣﻞ اﻷهﻠﻴﺔ ﻣﻦ اﻟﻌﻘﻞ واﻟﺒﻠﻮع واﻟﺤﺮﻳﺔ واﻻﺧﺘﻴﺎر وﻻ ﻳﺤﺘﺎج ﻓﻰ اﻧﻌﻘﺎدﻩ إﻟﻰ ﻗﺒﻮل اﻟﻤﻮﻗﻮف ﻋﻠﻴﻪ 31
Artinya:
29
Bila seorang yang berwakaf berbuat sesuatu yang menunjukkan kepada wakaf atau mengucapkan kata-kata wakaf, maka tetaplah wakaf itu, dengan syarat orang yang berwakaf adalah orang yang sah tindakannya, misalnya cukup sempurna akalnya, dewasa, merdeka dan tidak dipaksa. Untuk
Ibid, hlm. 784. Ibid, hlm. 43. 31 Sayyid Sabiq, op.cit., hlm. 309. 30
55 terjadinya wakaf ini tidak diperlukan qabul dari yang diwakafi. Menurut Sayyid Sabiq:
وﻳﺼﺢ اﻟﻮﻗﻒ وﻳﻨﻌﻘﺪ ﺑﺄﺣﺪ أﻣﺮﻳﻦ .(1 :اﻟﻔﻌﻞ :اﻟﺪال ﻋﻠﻴﻪ :آﺄن ﻳﺒﻨﻰ ﻣﺴﺠﺪّا وﻳﺆذن ﻟﻠﺼﻼة وﻓﻴﻪ وﻻ ﻳﺤﺘﺎج إﻟﻰ ﺣﻜﻢ ﺣﺎآﻢ .(2اﻟﻘﻮل :وهﻮ ﻳﻨﻘﺴﻢ إﻟﻰ ﺻﺮﻳﺢ وآﻨﺎﻳﺔ ﻓﺎﻟﺼﺮﻳﺢ :ﻣﺜﻞ ﻗﻮل اﻟﻮاﻗﻒ :وﻗﻔﺖ وﺣﺒﺴﺖ وﺳﺒﻠﺖ وأﺑّﺪت .واﻟﻜﻨﺎﻳﺔ :آﺄن ﻳﻘﻮل :ﺗﺼﺪﻗﺖ ﻧﺎوﻳﺎﺑﻪ اﻟﻮﻗﻒ. واﻣﺎ اﻟﻮﻗﻒ اﻟﻤﻌﻠﻖ ﺑﺎﻟﻤﻮت ﻣﺜﻞ أن ﻳﻘﻮل :داري أوﻓﺮﺳﻲ وﻗﻒ ﺑﻌﺪ ﻣﻮﺗﻲ " ﻓﺈﻧﻪ ﺟﺎﺋﺰ ذﻟﻚ ﻓﻲ ﻇﺎهﺮ ﻣﺬهﺐ أﺣﻤﺪ ,آﻤﺎ ذآﺮﻩ اﻟﺨﺮﻗﻲ وﻏﻴﺮﻩ ,ﻷن هﺬا آﻠﻪ ﻣﻦ اﻟﻮﺻﺎﻳﺎ ﻓﺤﻴﻨﺌﺬ ﻳﻜﻮن اﻟﺘﻌﻠﻴﻖ ﺑﻌﺪ اﻟﻤﻮت ﺟﺎﺋﺰا ﻷﻧﻪ وﺻﻴﺔ. ﻟﺰوﻣﻪ :وﻣﺘﻰ ﻓﻌﻞ اﻟﻮاﻗﻒ ﻣﺎ ﻳﺪل ﻋﻠﻰ اﻟﻮﻗﻒ أوﻧﻄﻖ ﺑﺎﻟﺼﻴﻐﺔ ﻟﺰم اﻟﻮﻗﻒ ﺑﺸﺮط أن ﻳﻜﻮن اﻟﻮاﻗﻒ ﻣﻤﻦ ﻳﺼﺢ ﺗﺼﺮﻓﺔ ﺑﺄن ﻳﻜﻮن آﺎﻣﻞ اﻷهﻠﻴﺔ ﻣﻦ اﻟﻌﻘﻞ واﻟﺒﻠﻮع واﻟﺤﺮﻳﺔ واﻻﺧﺘﻴﺎر وﻻ ﻳﺤﺘﺎج ﻓﻰ اﻧﻌﻘﺎدﻩ إﻟﻰ ﻗﺒﻮل اﻟﻤﻮﻗﻮف ﻋﻠﻴﻪ واذاﻟﺰم اﻟﻮﻗﻒ ﻓﺈﻧﻪ ﻻ ﻳﺠﻮز ﻳﺒﻌﻪ وﻻ هﺒﺘﻪ وﻻ اﻟﺘﺼﺮف ﻓﻴﻪ ﺑﺄي ﺷﻴﺊ ﻳﺰﻳﻞ وﻗﻔﻴﺘﻪ .واذا ﻣﺎت اﻟﻮﻗﻒ ﻻﻳﻮرث ﻋﻨﻪ ﻷن هﺬا هﻮﻣﻘﺘﺾ اﻟﻮﻗﻒ .وﻟﻘﻮل اﻟﺮﺳﻮل ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ آﻤﺎ ﺗﻘﺪم ﻓﻲ ﺣﺪﻳﺚ اﺑﻦ ﻋﻤﺮ":ﻻ ﻳﺒﺎع وﻻﻳﻮهﺐ وﻻ ﻳﻮرث" .وﻳﺮى أﺑﻮ ﺣﻨﻴﻔﺔ أﻧﻪ ﻳﺠﻮز ﺑﻴﻊ اﻟﻮﻗﻒ .ﻗﺎل أﺑﻮ ﻳﻮﺳﻒ :ﻟﻮﺑﻠﻎ أﺑﺎ ﺣﻨﻴﻔﺔ هﺬا اﻟﺤﺪﻳﺚ ﻟﻘﺎل ﺑﻪ .واﻟﺮاﺟﺢ ﻣﻦ ﻣﺬهﺐ اﻟﺸﺎﻓﻌﻴﺔ أن اﻟﻤﻠﻚ ﻓﻲ رﻗﺒﺔ اﻟﻤﻮﻗﻮف ﻳﻨﺘﻘﻞ إﻟﻰ اﷲ ﻋﺰ وﺟﻞ ﻓﻼ
56
وﻗﺎل ﻣﻠﻚ.ﻳﻜﻮن ﻣﻠﻜﺎ ﻟﻠﻮاﻗﻒ وﻻ ﻣﻠﻜﺎ ﻟﻠﻮﻗﻮف ﻋﻠﻴﻪ . ﻳﻨﺘﻘﻞ اﻟﻤﻠﻚ إﻟﻰ اﻟﻤﻮﻗﻒ ﻋﻠﻴﻪ:وأﺣﻤﺪ 32
Artinya: Wakaf itu sah dan terjadi melalui salah satu dari dua perkara: 1). Perbuatan yang menunjukkan padanya; seperti bila seseorang membangun masjid, dan dikumandangkan adzan untuk shalat di dalamnya, dan dia tidak memerlukan keputusan dari seorang hakim. 2). Ucapan: Ucapan ini ada dua, yang sharih (tegas) dan yang kinayah (tersembunyi). Yang sharih, misalnya ucapan seseorang yang mewakafkan: "aku wakafkan", "aku hentikan pemanfaatannya", "aku jadikan untuk sabilillah", "aku abadikan". Yang kinayah, seperti ucapan orang yang mewakafkan: "aku sedekahkan", akan tetapi dia berniat mewakafkannya. Adapun wakaf yang dihubungkan dengan kematian, seperti kata seseorang: "Rumahku atau kudaku menjadi wakaf sesudah aku mati", maka hal itu diperbolehkan menurut zhahirnya mazhab Ahmad, seperti disebutkan oleh Al-Khiraqi dan lain-lain. Sebab ini semuanya termasuk ke dalam wasiat; maka oleh karena itulah ta'liq kematian untuk wakaf diperbolehkan sebab wakaf adalah wasiat. Tetapnya Wakaf: Bila seorang yang berwakaf berbuat sesuatu yang menunjukkan kepada wakaf atau mengucapkan kata-kata wakaf, maka tetaplah wakaf itu, dengan syarat orang yang berwakaf adalah orang yang sah tindakannya, misalnya cukup sempurna akalnya, dewasa, merdeka dan tidak dipaksa. Untuk terjadinya wakaf ini tidak diperlukan penerimaan (qabul) dari yang diwakafi. Apabila wakaf telah terjadi, maka tidak boleh dijual, dihibahkan dan diperlakukan dengan sesuatu yang menghilangkan kewakafannya. Bila orang yang berwakaf mati, maka wakaf tidak diwariskan, sebab yang demikian inilah yang dikehendaki oleh wakaf, dan karena ucapan Rasulullah Saw., seperti yang disebutkan dalam hadits Ibnu Umar: "Tidak dijual, tidak dihibahkan dan tidak diwariskan " Abu Hanifah berpendapat bahwa wakaf boleh dijual. Abu Yusuf berkata: Seandainya hadits ini sampai kepada Abu Hanifah, tentulah dia berpendapat seperti yang dikatakan oleh hadits. Pendapat yang kuat dari mazhab Syafi'i ialah bahwa milik yang ada pada orang yang diberi wakaf itu berpindah kepada Allah 'Azza wa Jalla; maka ia bukanlah milik orang yang berwakaf dan bukan pula milik orang yang diberi wakaf. Malik dan Ahmad berpendapat bahwa milik itu berpindah ke tangan orang yang diberi wakaf.
32
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz. 3, Kairo: Maktabah Dâr al-Turas, 1970, hlm. 309.
57
C. Alasan Hukum Sayyid Sabiq tentang Ikrar Wakaf Tidak Memerlukan Qabul Alasan hukum Sayyid Sabiq yang berpendapat bahwa wakaf tidak memerlukan qabul adalah karena bila seorang yang berwakaf berbuat sesuatu yang menunjukkan kepada wakaf atau mengucapkan kata-kata wakaf, maka tetaplah wakaf itu, dengan syarat orang yang berwakaf adalah orang yang sah tindakannya, misalnya cukup sempurna akalnya, dewasa, merdeka dan tidak dipaksa. Untuk terjadinya wakaf ini tidak diperlukan penerimaan (qabul) dari yang diwakafi.33 Apabila seseorang mewakafkan sesuatu maka cukup ucapan dari pemberi wakaf. Adapun qabul tidak menjadi syarat sahnya wakaf. Meskipun demikian pihak yang memberi wakaf itu disyaratkan yaitu orang yang cakap melakukan perbuatan hukum. Misalnya cukup sempurna akalnya, dewasa, merdeka dan tidak dipaksa. Untuk terjadinya wakaf ini tidak diperlukan penerimaan (qabul) dari yang diwakafi. Apabila wakaf telah terjadi, maka tidak boleh dijual, dihibahkan dan diperlakukan dengan sesuatu yang menghilangkan kewakafannya. Sebagai ibadah tabarru' (mendermakan harta), wakaf memang tidak mengharuskan adanya qabul.34 Ini harus dipahami dan jangan sampai salah dalam interpretasi (penafsiran) bahwa dalam pelaksanaannya, wakaf perlu disertai dengan bukti-bukti tertulis, agar tindakan hukum wakaf mempunyai kekuatan hukum dan menciptakan tertib administrasi. Dasarnya pun 33
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz. 3, Kairo: Maktabah Dâr al-Turas, 1970, hlm. 162. Ahmad Rofiq, Fiqh Kontekstual, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004, hlm. 322.
34
58 sebenarnya sangat jelas, karena ayat muamalah dalam QS. al-Baqarah 282, tentang perintah mencatat dalam urusan utang piutang, dapat menjadi analogi dalam pencatatan wakaf.35
ﻰ ﻓَﺎ ْآ ُﺘﺒُﻮ ُﻩﺴﻤ َ ﻞ ﱡﻣ ٍﺟ َ ﻦ ِإﻟَﻰ َأ ٍ ﻦ ﺁ َﻣﻨُﻮ ْا ِإذَا َﺗﺪَاﻳَﻨﺘُﻢ ِﺑ َﺪ ْﻳ َ ﻳَﺎ َأ ﱡﻳﻬَﺎ اﱠﻟﺬِﻳ ﺐ َآﻤَﺎ َ ن َﻳ ْﻜ ُﺘ ْ ﺐ َأ ٌ ب آَﺎ ِﺗ َ ﻻ َﻳ ْﺄ َ ل َو ِ ﺐ ﺑِﺎ ْﻟ َﻌ ْﺪ ٌ َو ْﻟ َﻴ ْﻜﺘُﺐ ﱠﺑ ْﻴ َﻨ ُﻜ ْﻢ آَﺎ ِﺗ ﻖ اﻟّﻠ َﻪ َرﺑﱠ ُﻪ ِ ﻖ َو ْﻟ َﻴ ﱠﺘ ﺤﱡ َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ ا ْﻟ َ ﻞ اﱠﻟﺬِي ِ ﺐ َو ْﻟ ُﻴ ْﻤِﻠ ْ ﻋﱠﻠ َﻤ ُﻪ اﻟّﻠ ُﻪ َﻓ ْﻠ َﻴ ْﻜ ُﺘ َ ﺳﻔِﻴﻬًﺎ َأ ْو َ ﻖ ﺤﱡ َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ ا ْﻟ َ ن اﱠﻟﺬِي َ ﺷﻴْﺌًﺎ ﻓَﺈن آَﺎ َ ﺲ ِﻣ ْﻨ ُﻪ ْ ﺨ َ ﻻ َﻳ ْﺒ َ َو ل ِ ﻞ َوِﻟ ﱡﻴ ُﻪ ﺑِﺎ ْﻟ َﻌ ْﺪ َ ْ ﺴ َﺘﻄِﻴ ُﻊ أَن ُﻳ ِﻤﻞﱠ ُه َﻮ َﻓ ْﻠ ُﻴ ْﻤِﻠ ْ ﻻ َﻳ َ ﺿﻌِﻴﻔًﺎ َأ ْو ﻞ ٌﺟ ُ ﻦ َﻓ َﺮ ِ ﺟَﻠ ْﻴ ُ ﻦ ﻣﻦ ﱢرﺟَﺎِﻟ ُﻜ ْﻢ َﻓﺈِن ﱠﻟ ْﻢ َﻳﻜُﻮﻧَﺎ َر ِ ﺷﻬِﻴ َﺪ ْﻳ َ ﺸ ِﻬﺪُو ْا ْ ﺳ َﺘ ْ وَا ﺣﺪَا ُهﻤَﺎ ْ ﻞ ْإ ﻀﱠ ِ ﺸ َﻬﺪَاء أَن َﺗ ﻦ اﻟ ﱡ َ ن ِﻣ َ ﺿ ْﻮ َ ن ِﻣﻤﱠﻦ َﺗ ْﺮ ِ وَا ْﻣ َﺮَأﺗَﺎ ﻻ َ ﺸ َﻬﺪَاء ِإذَا ﻣَﺎ ُدﻋُﻮ ْا َو ب اﻟ ﱡ َ ﻻ َﻳ ْﺄ َ ﺧﺮَى َو ْﻷ ُ ﺣﺪَا ُهﻤَﺎ ا ْ َﻓ ُﺘ َﺬ ﱢآ َﺮ ِإ ﻂ ﻋِﻨ َﺪ ُﺴ َ ﺟِﻠ ِﻪ َذِﻟ ُﻜ ْﻢ َأ ْﻗ َ ﺻﻐِﻴﺮًا أَو َآﺒِﻴﺮًا ِإﻟَﻰ َأ َ ﺴَﺄ ُﻣ ْﻮ ْا أَن َﺗ ْﻜ ُﺘ ُﺒ ْﻮ ُﻩ ْ َﺗ ن ِﺗﺠَﺎ َر ًة َ ﻻ أَن َﺗﻜُﻮ ﻻ َﺗ ْﺮﺗَﺎﺑُﻮ ْا ِإ ﱠ ﺸﻬَﺎ َد ِة َوَأ ْدﻧَﻰ َأ ﱠ اﻟّﻠ ِﻪ َوَأﻗْﻮ ُم ﻟِﻠ ﱠ ﻻ َﺗ ْﻜ ُﺘﺒُﻮهَﺎ ح َأ ﱠ ٌ ﺟﻨَﺎ ُ ﻋَﻠ ْﻴ ُﻜ ْﻢ َ ﺲ َ ﺿ َﺮ ًة ُﺗﺪِﻳﺮُو َﻧﻬَﺎ َﺑ ْﻴ َﻨ ُﻜ ْﻢ َﻓَﻠ ْﻴ ِ ﺣَﺎ ﺷﻬِﻴ ٌﺪ َوإِن َﺗ ْﻔ َﻌﻠُﻮ ْا َ ﻻ َ ﺐ َو ٌ ﻻ ُﻳﻀَﺂ ﱠر آَﺎ ِﺗ َ ﺷ ِﻬ ُﺪ ْو ْا ِإذَا َﺗﺒَﺎ َﻳ ْﻌ ُﺘ ْﻢ َو ْ َوَأ ﻲ ٍء ْ ﺷ َ ق ِﺑ ُﻜ ْﻢ وَا ﱠﺗﻘُﻮ ْا اﻟّﻠ َﻪ َو ُﻳ َﻌﻠﱢ ُﻤ ُﻜ ُﻢ اﻟّﻠ ُﻪ وَاﻟّﻠ ُﻪ ِﺑ ُﻜﻞﱢ ٌ َﻓِﺈ ﱠﻧ ُﻪ ُﻓﺴُﻮ (282 :ﻋﻠِﻴ ٌﻢ )اﻟﺒﻘﺮة َ Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikit pun dari pada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaknya walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki di antaramu. Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika 35
Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, Jakarta: UI Press, 1988, hlm. 85.
59 seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (tulislah muamalahmu itu) kecuali jika muamalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian) maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertaqwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu". (QS. Al-Baqarah, 2: 282).36
36
Yayasan Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an, op.cit., hlm. 70.
BAB IV ANALISIS PENDAPAT SAYYID SABIQ TENTANG IKRAR WAKAF TIDAK MEMERLUKAN QABUL
A. Analisis terhadap Pendapat Sayyid Sabiq tentang Ikrar Wakaf Tidak Memerlukan Qabul Untuk menganalisis pendapat Sayyid Sabiq, lebih dahulu penulis memberi penjelasan sebagai pengantar berikut ini: Dasar hukum pelaksanaan wakaf dalam Islam adalah ayat-ayat AlQur'an yang memerintahkan orang berbuat kebaikan dalam masa hidupnya dan salah satu perbuatan kebajikan adalah mewakafkan hartanya untuk kepentingan
umat
manusia.1
Di
antara
ayat-ayat
Al-Qur'an
yang
memerintahkan untuk berbuat kebajikan adalah surat al-Hajj ayat 77 yang memerintahkan agar manusia suka berbuat kebaikan agar mendapat kebahagiaan. Kemudian dalam surat al-Baqarah ayat 267 Allah SWT. memerintahkan
ﺴ ْﺒ ُﺘ ْﻢ َو ِﻣﻤﱠﺎ َ ت ﻣَﺎ َآ ِ ﻃ ِّﻴﺒَﺎ َ ﻦ ﺁ َﻣﻨُﻮ ْا أَﻧ ِﻔﻘُﻮ ْا ﻣِﻦ َ ﻳَﺎ َأ ﱡﻳﻬَﺎ اﱠﻟﺬِﻳ ن َ ﺚ ِﻣ ْﻨ ُﻪ ﺗُﻨ ِﻔﻘُﻮ َ ﺨﺒِﻴ َ ﻻ َﺗ َﻴ ﱠﻤﻤُﻮ ْا ا ْﻟ َ ض َو ِ ﻷ ْر َﻦا َ ﺟﻨَﺎ َﻟﻜُﻢ ِّﻣ ْ ﺧ َﺮ ْ َأ ﻲ ﻏ ِﻨ ﱞ َ ﷲ َ نا ﻋَﻠﻤُﻮ ْا َأ ﱠ ْ ﻻ أَن ُﺗ ْﻐ ِﻤﻀُﻮ ْا ﻓِﻴ ِﻪ وَا ﺧﺬِﻳ ِﻪ ِإ ﱠ ِ ﺴﺘُﻢ ﺑِﺂ ْ َوَﻟ (267 :ﺣﻤِﻴ ٌﺪ )اﻟﺒﻘﺮة َ Artinya: Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan 1
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Prenada Media Group, 2006, hlm. 239.
60
61 daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji. (QS. al-Baqarah: 267) Dalam surat Ali Imran ayat 92 Allah SWT mengajarkan
ن َوﻣَﺎ ﺗُﻨ ِﻔﻘُﻮ ْا ﻣِﻦ َ ﺤﺒﱡﻮ ِ ﺣﺘﱠﻰ ﺗُﻨ ِﻔﻘُﻮ ْا ِﻣﻤﱠﺎ ُﺗ َ ﻟَﻦ َﺗﻨَﺎﻟُﻮ ْا ا ْﻟ ِﺒ ﱠﺮ (92 :ﻋﻠِﻴ ٌﻢ )ﺁل ﻋﻤﺮان َ ﷲ ِﺑ ِﻪ َ نا ﻲ ٍء َﻓِﺈ ﱠ ْ ﺷ َ Artinya: Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan, sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya. (QS. Ali Imran: 92) Dalam surat al-Ma'idah ayat 2 Allah SWT memerintahkan agar manusia suka tolong-menolong dalam mengerjakan kebaikan dan jangan sekali-kali tolong-menolong dalam hal mengerjakan keburukan.
ﻹ ْﺛ ِﻢ ِ ﻋﻠَﻰ ا َ ﻻ َﺗﻌَﺎ َوﻧُﻮ ْا َ ﻋﻠَﻰ اﻟْﺒ ﱢﺮ وَاﻟ ﱠﺘ ْﻘﻮَى َو َ َﺗﻌَﺎ َوﻧُﻮ ْا (2 :ب )اﻟﻤﺎﺋﺪة ِ ﺷﺪِﻳ ُﺪ ا ْﻟ ِﻌﻘَﺎ َ ﷲ َ نا ﷲ ِإ ﱠ َ ن وَا ﱠﺗﻘُﻮ ْا ا ِ وَا ْﻟ ُﻌ ْﺪوَا Artinya: Dan tolong-menolonglah kamu dalam kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. (QS. al-Ma'idah: 2) Ayat-ayat al-Qur'an tersebut, menurut pendapat para ahli, dapat dipergunakan sebagai dasar umum lembaga wakaf.2 Itulah sebabnya Hamka dalam Tafsir al-Azhar menjelaskan surat Ali-Imran ayat 92 dengan menyatakan bahwa setelah ayat ini turun, maka sangat besar pengaruhnya kepada sahabat-sahabat Nabi Saw dan selanjutnya menjadi pendidikan batin
2
Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, Jakarta: UI Press, 1988,
hlm. 81.
62 yang mendalam di hati kaum muslimin yang hendak memperteguh keimanannya melalui wakaf.3 Keterangan di atas menjadi qarinah (petunjuk) bahwa wakaf demikian pentingnya karena harta benda yang diwakafkan akan memberikan pahala yang terus mengalir pada wakif (orang yang mewakafkan) sebagaimana sabda Rasulullah Saw,
ن رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ّ ﻋﻦ اﺑﻰ هﺮﻳﺮة رﺿﻲ اﷲ ﻋﻨﻪ أ ﻻ ﻣﻦ ّ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻗﺎل اذا ﻣﺎت اﺑﻦ ادم اﻧﻘﻄﻊ ﻋﻨﻪ ﻋﻤﻠﻪ ا ﺻﺪﻗﺔ ﺟﺎرﻳّﺔ اوﻋﻠﻢ ﻳﻨﺘﻔﻊ ﺑﻪ اووﻟﺪ ﺻﺎﻟﺢ ﻳﺪْﻋﻮﻟﻪ:ﺛﻼث ()رواﻩ ﻣﺴﻠﻢ 4
Artinya: dari Abu Hurairah ra. (katanya) sesungguhnya Nabi Saw. bersabda: apabila manusia sudah mati, maka putuslah amalnya kecuali dari tiga macam, yaitu sedekah jariyah, atau ilmu yang dimanfaatkan, atau anak yang saleh yang mendo'akannya (HR. Muslim).
ﻲ ﺻﻠﻰ ّ ﻋﻦ اﺑﻰ هﺮﻳﺮة رﺿﻲ اﷲ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻋﻨﻪ ﻋﻦ اﻟﻨﺒ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻗﺎل ﺗﻬﺎدواوﺗﺤﺎﺑّﻮا )رواﻩ اﻟﺒﺨﺎرى ﻓﻰ (اﻻدب اﻟﻤﻔﺮد واﺑﻮ ﻳﻌﻠﻰ ﺑﺄﺳﻨﺎد ﺣﺴﻦ 5
Artinya: Dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi saw, beliau bersabda: Saling berhadiahlah kamu sekalian, niscaya kamu akan saling mencintai. (Diriwayatkan oleh Al Bukhari dalam "Al Adabul Mufrad, dan diriwayatkan oleh Abu Ya'la dengan sanad yang bagus. Berdasarkan hadis di atas mengisaratkan bahwa wakaf merupakan salah satu ibadah yang pahalanya tidak akan putus sepanjang manfaat harta 3
Hamka, Tafsir Al Azhar, Juz IV, Jakarta: PT Pustaka Panji Mas, 1999, hlm. 8 Muhammad bin Ismail al-Kahlani al-San'ani, Subul al-Salam, Cairo: Syirkah Maktabah Mustafa al-Babi al-Halabi, 1950, hlm. 87 5 Muhammad bin Ismail al-Kahlani as-San'ani, Subul as-Salam, Cairo: Syirkah Maktabah Mustafa al-Babi al-Halabi, 1950, juz 3, hlm. 92 4
63 yang diwakafkan itu masih dapat diambil, meskipun si pelaku wakaf sudah meninggal dunia. Oleh sebab itu wakaf tergolong ke dalam kelompok amal jariah (yang mengalir). Namun demikian, menurut analisis penulis, agar wakaf itu bisa mendatangkan pahala maka pemberi wakaf harus mempunyai niat yang tulus yang pembuktiannya dapat ditempuh dengan adanya ijab dari pemberi wakaf, dan agar wakaf itu jelas sasarannya maka dapat dibuktikan dengan adanya qabul dari penerima wakaf. Adapun menurut Sayyid Sabiq bahwa wakaf itu tidak memerlukan adanya qabul. Menurutnya bila seorang yang berwakaf berbuat sesuatu yang menunjukkan kepada wakaf atau mengucapkan kata-kata wakaf, maka tetaplah wakaf itu, dengan syarat orang yang berwakaf adalah orang yang sah tindakannya, misalnya cukup sempurna akalnya, dewasa, merdeka dan tidak dipaksa. Untuk terjadinya wakaf ini tidak diperlukan penerimaan (qabul) dari yang diwakafi. 6 Menurut analisis penulis bahwa pendapat Sayyid Sabiq lebih kecil manfaatnya daripada madaratnya. Dengan kata lain jauh lebih baik pendapat ulama lain yang berseberangan dengannya. Sebab, dengan ketiadaan qabul maka kurang memperkuat pembuktian bahwa telah terjadi penyerahan dan penerimaan harta benda wakaf apakah yang bergerak atau harta benda yang tetap. Hal ini sangat riskan terhadap kemungkinan salah seorang ahli waris atau keturunan wakif menyangkal bahwa harta benda tersebut sudah
6
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz. 3, Kairo: Maktabah Dâr al-Turas, 1970, hlm. 309.
64 diwakafkan. Itulah sebabnya bahwa dalam wakaf ada salah satu rukun atau unsur yang harus dipenuhi yaitu harus ada qabul (penerimaan). Berdasarkan uraian di atas, maka dapat ditegaskan bahwa wakaf memerlukan ijab qabul, kecuali wakaf yang ditujukan untuk kepentingan umum. Kembali pada pendapat Sayyid Sabiq, bahwa pendapat Sayyid Sabiq ini mengandung implikasi sebagai berikut: (1) Dengan tidak disyaratkannya qabul dalam akad wakaf maka muncul kesan bahwa akad wakaf terjadi tidak melalui suatu proses kesepakatan, suka rela, dan transparan. Kondisi ini sewaktu-waktu dapat menimbulkan konflik antara para ahli waris dengan si penerima wakaf. Jika wakaf tanpa qabul akan menimbulkan kesan bahwa penyerahan barang untuk wakaf itu dilakukan secara gelap. Sebaliknya dengan qabul, maka unsur transparansi menjadi tampak. Hal ini bukan saja menguntungkan bagi pihak penerima wakaf, akan tetapi juga dapat menguntungkan ahli waris lainnya dalam konteksnya dengan terpeliharanya hubungan harmonis antara para pihak. (2) Dengan tidak adanya qabul, penerima wakaf kurang mengetahui tentang seberapa banyak dan seberapa besar hak-haknya. Kenyataan menunjukkan tidak jarang peristiwa gugat menggugat di pengadilan adalah sebagai akibat adanya pihak yang merasa diperlakukan secara tidak adil dan dicurangi. Gugat menggugat di pengadilan tidak hanya menguras materi dari kedua belah pihak melainkan juga konflik horisontal antara para ahli
65 waris dan yang diberi wakaf. Konflik ini bisa berkepanjangan sehingga sering kali pertikaian itu berlanjut sampai ke anak cucunya.
(ﻻﺿﺮر وﻻ ﺿﺮار )رواﻩ اﺑﻦ ﻣﺎﺟﻪ Artinya: tak boleh memadaratkan orang lain dan tak boleh dimudaratkan (H.R. Ibnu Majah) (3) Konsep Sayyid Sabiq yang tidak mensyaratkan qabul lebih banyak mengandung aspek madharatnya daripada manfaatnya. Dengan tidak adanya qabul maka validitas atau keabsahan wakaf diragukan. Berpijak pada implikasi di atas, penulis berpendapat bahwa serah terima sebagai salah satu syarat wakaf menjadi unsur yang sangat penting dalam menjaga nilai kekuatan dan pembuktian dari wakaf itu sendiri. Karena itu pendapat Sayyid Sabiq sulit dipertahankan dalam kerangka proses pembuktian manakala ada konflik kepemilikan. B. Analisis terhadap Alasan Hukum Sayyid Sabiq Tentang Ikrar Wakaf Tidak Memerlukan Qabul Alasan hukum Sayyid Sabiq yang berpendapat bahwa wakaf tidak memerlukan qabul adalah karena waqif itu tidak perlu dibebani masalah administratif karena wakaf sebagai ibadah tabarru' (sukarela) maka wakaf tidak mengharuskan adanya qabul, yang penting orang yang berwakaf adalah orang yang sah tindakannya, misalnya cukup sempurna akalnya, dewasa, merdeka dan tidak dipaksa. Jika dianalisis alasan hukum Sayyid Sabiq tersebut, maka perlu ditegaskan, salah satu unsur (rukun) wakaf dan syarat yang menyertainya yaitu
66 adanya waqif (orang yang mewakafkan). Syarat wakif adalah sehat akalnya, dalam keadaan sadar, tidak dalam keadaan terpaksa atau dipaksa, dan telah mencapai umur baligh.7 Wakif adalah pemilik sempurna harta yang diwakafkan.8 Karena itu tanah wakaf, hanya bisa dilakukan jika tanah itu milik sempurna (milk al-tam) si wakif. Dalam versi pasal 215 (2) KHI jo. pasal 1 (2) PP 28/1977 dinyatakan: "Wakif adalah orang atau orang-orang ataupun badan hukum yang mewakafkan benda miliknya". Adapun syarat-syarat wakif adalah: (1) Badan-badan hukum Indonesia dan orang atau orang-orang yang telah dewasa dan sehat akalnya serta yang oleh hukum tidak terhalang untuk melakukan perbuatan hukum, atas kehendak sendiri dapat mewakafkan benda miliknya dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (2) Dalam hal badan-badan hukum, maka yang bertindak untuk dan atas namanya adalah pengurusnya yang sah menurut hukum (ps. 3 PP 28/1977). Sebagai ibadah tabarru', wakaf memang tidak mengharuskan adanya qabul.9 Ini harus dipahami bahwa dalam pelaksanaannya, wakaf perlu disertai dengan bukti-bukti tertulis, agar tindakan hukum wakaf mempunyai kekuatan hukum dan menciptakan tertib administrasi. Dasarnya pun sebenarnya sangat jelas, karena ayat muamalah dalam QS. al-Baqarah 282, tentang perintah
7
Abi Yahya Zakariya al-Anshary, Fath al-Wahhab, Juz I, Beirut: Dar al-Fikr, t.th, , hlm.
256
8
Muhammad Daud Ali, op. cit., hlm. 85. Ahmad Rofiq, Fiqh Kontekstual, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004, hlm. 322.
9
67 mencatat dalam urusan utang piutang, dapat menjadi analogi dalam pencatatan wakaf.10 Sedangkan menurut Sayyid Sabiq bahwa wakaf itu tidak memerlukan qabul.
ﻰ ﻓَﺎ ْآ ُﺘﺒُﻮ ُﻩﺴﻤ َ ﻞ ﱡﻣ ٍﺟ َ ﻦ ِإﻟَﻰ َأ ٍ ﻦ ﺁ َﻣﻨُﻮ ْا ِإذَا َﺗﺪَاﻳَﻨﺘُﻢ ِﺑ َﺪ ْﻳ َ ﻳَﺎ َأ ﱡﻳﻬَﺎ اﱠﻟﺬِﻳ ﺐ َآﻤَﺎ َ ن َﻳ ْﻜ ُﺘ ْ ﺐ َأ ٌ ب آَﺎ ِﺗ َ ﻻ َﻳ ْﺄ َ ل َو ِ ﺐ ﺑِﺎ ْﻟ َﻌ ْﺪ ٌ َو ْﻟ َﻴ ْﻜﺘُﺐ ﱠﺑ ْﻴ َﻨ ُﻜ ْﻢ آَﺎ ِﺗ ﻖ اﻟّﻠ َﻪ َرﺑﱠ ُﻪ ِ ﻖ َو ْﻟ َﻴ ﱠﺘ ﺤﱡ َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ ا ْﻟ َ ﻞ اﱠﻟﺬِي ِ ﺐ َو ْﻟ ُﻴ ْﻤِﻠ ْ ﻋﱠﻠ َﻤ ُﻪ اﻟّﻠ ُﻪ َﻓ ْﻠ َﻴ ْﻜ ُﺘ َ ﺳﻔِﻴﻬًﺎ َأ ْو َ ﻖ ﺤﱡ َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ ا ْﻟ َ ن اﱠﻟﺬِي َ ﺷﻴْﺌًﺎ ﻓَﺈن آَﺎ َ ﺲ ِﻣ ْﻨ ُﻪ ْ ﺨ َ ﻻ َﻳ ْﺒ َ َو َ ﺿﻌِﻴﻔًﺎ َأ ْو َ ل ِ ﻞ َوِﻟ ﱡﻴ ُﻪ ﺑِﺎ ْﻟ َﻌ ْﺪ ْ ﺴ َﺘﻄِﻴ ُﻊ أَن ُﻳ ِﻤﻞﱠ ُه َﻮ َﻓ ْﻠ ُﻴ ْﻤِﻠ ْ ﻻ َﻳ ﻞ ٌﺟ ُ ﻦ َﻓ َﺮ ِ ﺟَﻠ ْﻴ ُ ﻦ ﻣﻦ ﱢرﺟَﺎِﻟ ُﻜ ْﻢ َﻓﺈِن ﱠﻟ ْﻢ َﻳﻜُﻮﻧَﺎ َر ِ ﺷﻬِﻴ َﺪ ْﻳ َ ﺸ ِﻬﺪُو ْا ْ ﺳ َﺘ ْ وَا ﺣﺪَا ُهﻤَﺎ ْ ﻞ ْإ ﻀﱠ ِ ﺸ َﻬﺪَاء أَن َﺗ ﻦ اﻟ ﱡ َ ن ِﻣ َ ﺿ ْﻮ َ ن ِﻣﻤﱠﻦ َﺗ ْﺮ ِ وَا ْﻣ َﺮَأﺗَﺎ ﻻ َ ﺸ َﻬﺪَاء ِإذَا ﻣَﺎ ُدﻋُﻮ ْا َو ب اﻟ ﱡ َ ﻻ َﻳ ْﺄ َ ﺧﺮَى َو ْﻷ ُ ﺣﺪَا ُهﻤَﺎ ا ْ َﻓ ُﺘ َﺬ ﱢآ َﺮ ِإ ﻂ ﻋِﻨ َﺪ ُﺴ َ ﺟِﻠ ِﻪ َذِﻟ ُﻜ ْﻢ َأ ْﻗ َ ﺻﻐِﻴﺮًا أَو َآﺒِﻴﺮًا ِإﻟَﻰ َأ َ ﺴَﺄ ُﻣ ْﻮ ْا أَن َﺗ ْﻜ ُﺘ ُﺒ ْﻮ ُﻩ ْ َﺗ ن ِﺗﺠَﺎ َر ًة َ ﻻ أَن َﺗﻜُﻮ ﻻ َﺗ ْﺮﺗَﺎﺑُﻮ ْا ِإ ﱠ ﺸﻬَﺎ َد ِة َوَأ ْدﻧَﻰ َأ ﱠ اﻟّﻠ ِﻪ َوَأﻗْﻮ ُم ﻟِﻠ ﱠ ﻻ َﺗ ْﻜ ُﺘﺒُﻮهَﺎ ح َأ ﱠ ٌ ﺟﻨَﺎ ُ ﻋَﻠ ْﻴ ُﻜ ْﻢ َ ﺲ َ ﺿ َﺮ ًة ُﺗﺪِﻳﺮُو َﻧﻬَﺎ َﺑ ْﻴ َﻨ ُﻜ ْﻢ َﻓَﻠ ْﻴ ِ ﺣَﺎ ﺷﻬِﻴ ٌﺪ َوإِن َﺗ ْﻔ َﻌﻠُﻮ ْا َ ﻻ َ ﺐ َو ٌ ﻻ ُﻳﻀَﺂ ﱠر آَﺎ ِﺗ َ ﺷ ِﻬ ُﺪ ْو ْا ِإذَا َﺗﺒَﺎ َﻳ ْﻌ ُﺘ ْﻢ َو ْ َوَأ ﻲ ٍء ْ ﺷ َ ق ِﺑ ُﻜ ْﻢ وَا ﱠﺗﻘُﻮ ْا اﻟّﻠ َﻪ َو ُﻳ َﻌﻠﱢ ُﻤ ُﻜ ُﻢ اﻟّﻠ ُﻪ وَاﻟّﻠ ُﻪ ِﺑ ُﻜﻞﱢ ٌ َﻓِﺈ ﱠﻧ ُﻪ ُﻓﺴُﻮ (282 :ﻋﻠِﻴ ٌﻢ )اﻟﺒﻘﺮة َ Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikit pun dari pada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaknya walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki di antaramu. Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika 10
Muhammad Daud Ali, op. cit, hlm. 85.
68 seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (tulislah muamalahmu itu) kecuali jika muamalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian) maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertaqwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu". (QS. Al-Baqarah, 2: 282).11 C. Relevansi Pendapat Sayyid Sabiq dengan Regulasi Wakaf yang Berlaku di Indonesia Pendapat Sayyid Sabiq yang menganggap sah wakaf tanpa qabul tidak relevan dengan regulasi wakaf yang berlaku di Indonesia. Dengan kata lain, pendapat Sayyid Sabiq berbeda dengan regulasi wakaf di Indonesia, karena berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada bahwa wakaf itu tidak cukup hanya dengan ijab melainkan juga harus ada qabul. Hal ini dapat dikaji dari tatacara perwakafan tanah di Indonesia. Agar perwakafan tanah milik dapat dilaksanakan dengan tertib, maka UU No. 41/2004 jo PP No. 28/1977 menentukan tata cara perwakafan tanah milik: sebagai berikut: 1. Perorangan atau badan hukum yang akan mewakafkan tanah miliknya (sebagai calon wakif) datang sendiri di hadapan PPAIW untuk melaksanakan ikrar wakaf. Bila calon wakif tidak dapat datang ke hadapan
11
Yayasan Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an, op.cit., hlm. 70.
69 PPAIW karena suatu sebab, seperti sakit, sudah sangat tua dan lain-lain dapat membuat ikrar wakaf secara tertulis dengan persetujuan Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten letak tanah yang bersangkutan di hadapan dua orang saksi. Ikrar wakaf itu kemudian dibacakan pada nazhir di hadapan PPAIW. 2. Pada waktu menghadap PPAIW tersebut, wakif harus membawa suratsurat sebagai berikut: a. Sertifikat hak milik atau tanda bukti pemilikan tanah lainnya seperti surat IPEDA (girik, petok, ketitir dan sebagainya). b. Surat Keterangan Kepala Desa yang diperkuat oleh Kepala Kecamatan setempat yang menerangkan kebenaran pemilikan tanah dan tidak termasuk sengketa. c. Surat keterangan pendaftaran tanah. d. Izin dari Bupati/Kotamadya Kepala Daerah cq. Kepala Sub Direktorat Agraria Setempat. 3. PPAIW kemudian meneliti surat-surat dan syarat-syarat tersebut, apakah sudah memenuhi untuk pelepasan hak atas tanah (untuk diwakafkan), meneliti saksi-saksi dan mengesahkan susunan nazhir. 4. Di hadapan PPAIW dan 2 orang saksi, "wakif" mengikrarkan (mengucapkan) kehendak wakaf itu kepada nazhir yang telah disahkan. Ikrar tersebut harus diucapkan dengan jelas dan tegas dan dituangkan dalam bentuk tertulis. Bagi wakif yang tidak dapat mengucapkan ikrarnya, karena bisu misalnya, ia dapat menyatakan kehendaknya itu dengan
70 isyarat, kemudian mengisi formulir ikrar wakaf. Kemudian semua yang hadir menandatangani blanko ikrar wakaf. Tentang bentuk dan isi ikrar wakaf tersebut telah ditentukan di dalam paraturan Direktoral Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam tanggal 18 April'1978 N0. Kep/D/75/78. Pasal 9 PP No. 28/1977 mengharuskan adanya perwakafan secara tertulis, tidak cukup hanya dengan ikrar lisan saja. Tujuannya adalah untuk memperoleh bukti otentik yang dapat digunakan untuk berbagai persoalan seperti untuk bahan-bahan pendaftaran pada Kantor sub Direktorat Agraria Kabupaten/Kotamadya dan untuk keperluan penyelesaian sengketa yang mungkin timbul di kemudian hari tentang tanah yang diwakafkan. 5. PPAIW segera membuat akta ikrar wakaf rangkap tiga dengan dibubuhi materai dan Salinan Akta Ikrar wakaf rangkap empat. Akta Ikrar Wakaf tersebut paling sedikit memuat: nama dan identitas wakif, nama dan identitas nazhir, data dan keterangan harta benda wakaf, peruntukan harta benda wakaf dan jangka waktu wakaf. Selanjutnya selambat-lambatnya satu bulan sejak dibuatnya akta, akta tersebut wajib disampaikan kepada pihak-pihak yang bersangkutan. Disamping membuat akta, PPAIW membukukan semua itu dalam Daftar Akta Ikrar Wakaf dan menyimpannya dengan baik bersama aktanya.12 Ketentuan tentang Akta Ikrar Wakaf ini, menurut PP No. 10/1961 adalah untuk memenuhi asas publisitas dan asas spesialisitas. Asas publisitas 12
Abdul Ghofur Anshori, Hukum dan Praktik Perwakafan di Indonesia, Yogyakarta: Pilar Media, 2006, hlm. 82.
71 adalah asas yang mengharuskan nama, status hak dan beban-beban yang ada di atas sebidang tanah terdaftar dalam daftar umum yaitu daftar yang terbuka untuk umum. Asas Spesialisitas adalah asas yang menghendaki letak, luas dan batas-batas tanah tampak jelas (bagi siapapun juga). Oleh karena itu, sebidang tanah harus diukur, dipetakan dan dihitung luasnya. Dengan demikian berdasarkan regulasi wakaf di Indonesia, bahwa wakaf tidak cukup dengan hanya ijab melainkan juga harus ada qabul. Dengan demikian alasan tidak tepatnya wakaf tanpa qabul yaitu agar wakaf itu bisa mendatangkan pahala maka pemberi wakaf harus mempunyai niat yang tulus yang pembuktiannya dapat ditempuh dengan adanya ijab dari pemberi wakaf, dan agar wakaf itu jelas sasarannya maka dapat dibuktikan dengan adanya kabul dari penerima wakaf. Adanya kabul maka lebih memperkuat pembuktian bahwa telah terjadi penyerahan dan penerimaan harta benda wakaf apakah yang bergerak atau harta benda yang tetap. Hal ini untuk menjaga kemungkinan salah seorang ahli waris atau keturunan wakif menyangkal bahwa harta benda tersebut sudah diwakafkan. Itulah sebabnya bahwa dalam wakaf ada salah satu rukun atau unsur yang harus dipenuhi yaitu harus ada sighat (Ikrar atau pernyataan Wakaf). Ikrar adalah pernyataan kehendak dari wakif untuk mewakafkan tanah atau benda miliknya (pasl 1 (3) PP No. 28/1977 jo. pasal 215 (3) KHI). Pernyataan atau ikrar wakaf ini harus dinyatakan secara tegas baik lisan maupun tertulis, dengan redaksi "aku mewakafkan" atau "aku menahan" atau kalimat yang semakna lainnya. Ikrar ini penting, karena pernyataan ikrar
72 membawa implikasi gugurnya hak kepemilikan wakif, dan harta wakaf menjadi milik Allah atau milik umum yang dimanfaatkan untuk kepentingan umum yang menjadi tujuan wakaf itu sendiri. Karena itu, konsekuensinya, harta wakaf tidak bisa dihibahkan, diperjualbelikan, atau pun diwariskan.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan uraian-uraian sebelumnya, maka kesimpulan yang dapat diungkapkan sebagaimana di bawah ini: 1. Menurut Sayyid Sabiq bahwa wakaf itu tidak memerlukan adanya qabul. Menurutnya bila seorang yang berwakaf berbuat sesuatu yang menunjukkan kepada wakaf atau mengucapkan kata-kata wakaf, maka tetaplah wakaf itu, dengan syarat orang yang berwakaf adalah orang yang sah tindakannya, misalnya cukup sempurna akalnya, dewasa, merdeka dan tidak dipaksa. Untuk terjadinya wakaf ini tidak diperlukan penerimaan (qabul) dari yang diwakafi. 2. Alasan hukum Sayyid Sabiq yang berpendapat bahwa wakaf tidak memerlukan qabul adalah karena waqif itu tidak perlu dibebani masalah administratif karena wakaf sebagai ibadah tabarru' (sukarela) maka wakaf tidak mengharuskan adanya qabul, yang penting orang yang berwakaf adalah orang yang sah tindakannya, misalnya cukup sempurna akalnya, dewasa, merdeka dan tidak dipaksa. 3. Pendapat Sayyid Sabiq yang menganggap sah ikrar wakaf tanpa qabul tidak relevan dengan regulasi wakaf yang berlaku di Indonesia. Dengan kata lain, pendapat Sayyid Sabiq berbeda dengan regulasi wakaf di Indonesia, karena berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada bahwa ikrar wakaf itu tidak cukup hanya dengan ijab melainkan juga 73
74
harus ada qabul. Hal ini dapat dikaji dari tatacara perwakafan tanah di Indonesia berdasarkan UU No. 41/2004 jo PP No. 28/1977. Jika dianalisis alasan hukum Sayyid Sabiq tersebut, bahwa sebagai ibadah tabarru', wakaf memang tidak mengharuskan adanya qabul. Ini harus dipahami bahwa dalam pelaksanaannya, wakaf perlu disertai dengan bukti-bukti tertulis, agar tindakan hukum wakaf mempunyai kekuatan hukum dan menciptakan tertib administrasi. Dasarnya pun sebenarnya sangat jelas, karena ayat muamalah dalam QS. al-Baqarah 282, tentang perintah mencatat dalam urusan utang piutang, dapat menjadi analogi dalam pencatatan wakaf. B. Saran-Saran Untuk pembentuk undang-undang bahwa meskipun pendapat Sayyid Sabiq bersifat klasik, namun hendaknya pendapat dan argumentasinya dijadikan studi banding ketika pembentuk undang-undang atau para pengambil keputusan membuat peraturan undang-undang wakaf yang baru atau pada waktu merevisi atau merubah Kompilasi Hukum Islam yang sedang berlaku. C. Penutup Alhamdulillah dengan memanjatkan puji syukur kepada Allah akhirnya penulis berhasil menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak terdapat kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu kritik dan saran konstruktif sangat penulis
75
harapkan guna kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Alabij, Adijani, Perwakafan Tanah di Indonesia dalam Teori dan Praktek, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002. Ali, Maulana Muhammad, Islamologi, (Dinul Islam), Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1976. --------, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, Jakarta: UI Press, 1988. Anshary, Abi Yahya Zakariya, Fath al-Wahhab, Juz I, Beirut: Dar al-Fikr, t.th. Anshori, Abdul Ghofur, Hukum dan Praktik Perwakafan di Indonesia, Yogyakarta: Pilar Media, 2006. Bukhari, Al-Imam Abu Abdillah Muhammad ibn Ismail ibn al-Mugirah ibn Bardizbah, Sahih al-Bukhari, Beirut Libanon: Dar al-Fikr, 1410 H/1990 M, Juz II. Dahlan, Abdul Aziz, et al, (ed), Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997, Jilid 5. Daradjat, Zakiah, Ilmu Fiqh, Jilid 3, Jakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995. Departemen Agama, Perkembangan Pengelolaan Wakaf di Indonesia, Jakarta: Proyek Peningkatan Zakat dan Wakaf Dirjen Bimas dan Penyelenggaraan Haji, 2003. Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2004. Dimasyqi, Syekh Muhammad bin Abdurrahman, Rahmah al-Ummah fi Ikhtilaf alAimah, Terj. Abdullah Zaki Alkaf, "Fiqih Empat Mazhab", Bandung: Hasyimi Press, 2004. Effendi, Saekan Erniati, Sejarah Penyusunan Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, Surabaya: Arkola, 1997. Effendi, Satria, M. Zein, Ushul Fiqh, Jakarta: Prenada Media, 2005. Hadi, Sutrisno, Metodologi Research, Jilid I, Yogyakarta: Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi, UGM, 1981. Hafidhuddin, Didin, Islam Aplikatif, Jakarta: Gema Insani, 2003. Hamka, Tafsir Al Azhar, Juz IV, Jakarta:PT Pustaka Panji Mas, 1999.
Haq, Faishal dan Saiful Anam, Hukum Wakaf dan Perwakafan di Indonesia, Pasuruan Jawa Timur: GBI (Anggota IKADI), 1994. Hidayat, Komaruddin, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik,, Jakarta: Paramadina, 1996. http://media.isnet.org/islam/Mengapa/Sabiq html, diakses tanggal 2 Agustus 2009 Hussaini, Imam Taqi al-Din Abu Bakr ibn Muhammad, Kifayah Al Akhyar, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, tth. Idris, Abdul Fatah, Istinbath Hukum Ibnu Qayyim, Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2007. Jarjawi, Syeikh Ali Ahmad, Hikmah al-Tasyri' wa Falsafatuh, Juz II, Beirut: Dâr al-Fikr, 1980. Jazairi, Abu Bakar Jabir, Minhâj al-Muslim, Kairo: Maktabah Dâr al-Turas, 2004. Karim, Helmi, Fiqh Muamalah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002. Khalaf, Abd al-Wahhab, ‘Ilm Usul al-Fiqh, Kuwait: Dar al-Qalam, 1978. Koto, Alaiddin, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004. Ma’luf, Louis, al-Munjid fi al-Lughah wal-A'lam, Beirut: Dâr al-Masyriq, 1986. Malibary, Syekh Zainuddin Ibn Abd Aziz, Fath al-Mu’in, Semarang: Toha Putera, tth. Manan, Abdul, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Prenada Media Group, 2006. Muchtar, Kamal, dkk, Ushul Fiqh, jilid 2, Yogyakarta: PT.Dana Bhakti Wakaf, 1995. Mughniyah, Muhammad Jawad, al-Fiqh ‘Ala al-Mazahib al-Khamsah, Terj. Masykur, Afif Muhammad, Idrus al-Kaff, "Fiqih Lima Mazhab", Jakarta: Lentera, 2001. Munawwir, Ahmad Warson, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997. Naisaburi, Al-Imam Abul Husain Muslim ibn al-Hajjaj al-Qusyairi, Sahîh Muslim, Juz III, Mesir: Tijariah Kubra, tth.
Qahaf, Mundzir, Manajemen Wakaf Produktif, Terj. Muhyiddin Mas Rida, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2000. Rofiq, Ahmad, Fiqih Kontekstual dari Normatif ke Pemaknaan Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004. --------, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997. Sabiq, Sayyid, Fiqh al-Sunnah, Juz III, Beirut: Dar al-Fikr, tth. ---------, al-Aqidah al-Islamiyah, terj. Mahyuddin Syaf, "Aqidah Islam", Bandung: CV. Diponegoro, 1996. ---------, Unsur-unsur Dinamika dalam Islam, terj. Haryono S. Yusuf, Jakarta: Intermasa , 1981. San'any, Subul al-Salam, Juz III, Kairo: Syirkah Maktabah Mustafa al-Babi alHalabi, 1950. Suhendi, Hendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002. Surahmad, Winarno, Pengantar Penelitian-Penelitian Ilmiah, Dasar Metoda Teknik, Edisi 7, Bandung: Tarsito, 1989. Suriasumantri, Jujun S., Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Cet. 7, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993. Syafi’i, Al-Imam Abi Abdullah Muhammad bin Idris, Al-Umm, Juz 4, Beirut Libanon: Dar al-Kutub al-Ilmiah, tth. Syarifuddin, Amir, Garis-Garis Besar Fiqh, Jakarta: Prenada Media, 2003. Tunggal, Hadi Setia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, Jakarta: Harvarindo, 2005. Yayasan Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an, Surabaya: DEPAG RI, 1978.
Al-Qur’an
dan
Terjemahnya,
Zahrah, Muhammad Abu, Usul al-Fiqh, Mesir: Dar al-Fikr al-Araby, 1971. Zuhdi, Masjfuk, Studi Islam: Jilid III, Jakarta: Rajawali, 1988.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP Yang bertanda tangan di bawah ini: Nama
: M. Faizin
Tempat/Tanggal Lahir
: Kendal, 18 Mei 1985
Alamat Asal
: Desa Pucuksari Kec Weleri Kab. Kendal
Pendidikan
: - SDN Pucuksari Kendal lulus th 1998 - SMP N 2 Rowosari Kendal lulus th 2001 - SMA al-Husain Salam Magelang lulus th 2004 - Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang Angkatan 2004
Demikianlah daftar riwayat hidup ini saya buat dengan sebenarnya untuk dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.
M. FAIZIN
BIODATA DIRI DAN ORANG TUA Nama
: M. Faizin
NIM
: 2104149
Alamat
: Desa Pucuksari Kec Weleri Kab. Kendal
Nama orang tua
: Bapak Nuryadi dan Ibu Ngatini
Pekerjaan
: Wiraswasta
Alamat
: Desa Pucuksari Kec Weleri Kab. Kendal