BAB III QOUL FUQOHA’ TENTANG MENGHADAP KIBLAT DALAM SHALAT
A. Definisi dan Dasar Hukum Menghadap Kiblat Kata menghadap kiblat berasal dari dua kata, yaitu menghadap dan kiblat. Menghadap sendiri sama halnya dengan mengarah. Apabila dalihat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai jurusan, tujuan, atau maksud.57 Menurut bahasa Arab berasal dari kata Qobbala Yuqobbilu Qiblatan, artinya adalah menghadap ke ka’bah58. Adapun kata kiblat menurut bahasa sama halnya dengan baitul haram, Al-Ghurfatun (kamar), kullu baitin murobba’in (setiap bangunan yang berbentuk persegi empat)59. Adapun kata kiblat menurut istilah (terminologi) para tokoh bervariasi memberikan definisi tentang arah kiblat antara lain :60 1.
Abdul „Azizi Dahlan, mendefinisakan kiblat sebagai bangunan ka‟bah atau arah yang ditujukaum Muslimin dalam melaksanakan sebagian ibadah
2.
Harun Nasution, mengartikan kiblat sebagai arah untuk menghadap pada waktu shalat
57
Aka Kamarul Zaman, 2005, Kamus Ilmiah Serapan, Yogjakarta, Absolut, hlm.24 Dalam kamus Munjid dijelaskan bahwa lafadz Qobbala Yuqobbilu mempunya beberapa Masdar, yaitu bisa Taqbilan atau Qiblatan yang artinya menghadap kiblat, sedangkan bila Qublatan artinya mencium. Luis ma‟uf, 1986, Al-Munjid Fil Lughoh Wal Alam, Bairut, Darul Masyriq, hlm. 606 59 Ahmad Warshon Munawwir,1984, Kamus Al-Munawwir Arab Indonesia, Yokyakarta, Unit Pengadaan Buku – Buku Ilmiyah Keagamaan PP Al-Munawwir Krapyak, hlm. 1384 60 http://astronomjawa.blogspot.co.id/2015/03/pengertian-dasar-hukum-dan-cara.html 58
44
45
3.
Mochtar Effendy, mengartikan kiblat sebagai arah shalat, arah ka‟bah di kota makkah Adapun pengertian arah kiblat yang mengaitkan dengan jarak tempuh
dapat dilihat pada beberapa rumusan tokoh antara lain : 61 1.
Slamet Hambali, memberikan definisi arah kiblat yaitu arah menuju ka‟bah (makkah) lewat jalur terdekat yang mana setiap Muslim dalam melaksanakan sholat harus mengarah ke arah tersebut.
2.
Muhyidin Khozin, yang mendefinisikan arah kiblat adalah arah atau jarak terdekat sepanjang lingkaran besar yang melewati ka‟bah (Makkah) dengan tempat yang bersangkutan Sedangkan bangunan ka‟bah adalah berbentuk persegi empat yang
terletak di tengah – tengah Masjidil Haram, tinggi 50 kaki, panjang muka dinding dan belakang 40 kaki dan panjang kedua belah sisinya 35 kaki.62 Orang – orang pada zaman dahulu menyebutnya ka‟bah karena berbentuk kubus (persegi empat). Demikian juga menyebut rumah atau bangunan yang berbentuk kubus dengan ka‟bah, atau juga menyebutnya ka‟bah jika suatu bangunan yang terpisah dengan bangunan – bangunan lain.63 Sedangkan berdasarkan terminologi, kata kiblat mempunyai arti suatu arah yang dituju kaum muslimin di manapun mereka berada ketika mengerjakan shalat fardu
61
Ibid Rahmat Taufiq Hidayat, 1996, Khaszanah Istilah Al-Qur’an, Bandung, Mizan, hlm. 75 63 Muhammad Ilyas Abdul Ghani, dkk, 2005, Keutamaan dan Sejarah Kota Makkah dan Madina, Jakarta, Akbar, hlm. 40 62
46
atau sunnah. Kiblat yang dituju kaum muslimin adalah Ka‟bah yang terletak di tengah – tengah Masjidil Haram kota Makkah.64 Adapun dasar menghadap kiblat termaktub dalam Al-Qur‟an surat AlBaqoroh / 2 : 144, 149 dan 150
Artinya : Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, Maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. dan dimana saja kamu berada, Palingkanlah mukamu ke arahnya. dan Sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekalikali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.65 Al-Qur‟an surat Al-Baqoroh / 2 : 149-150
Artinya : Dan dari mana saja kamu keluar (datang), Maka Palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil haram, Sesungguhnya ketentuan itu benar-benar sesuatu yang hak dari Tuhanmu. dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan.
64 65
Quraisy shihab, 2002, Tafsir Al-Misbah, Jakarta, Lentera Hati, cet. I, vol. VI, hlm. 142 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Op.Cit. hlm. 37
47
Dan dari mana saja kamu (keluar), Maka Palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. dan dimana saja kamu (sekalian) berada, Maka Palingkanlah wajahmu ke arahnya, agar tidak ada hujjah bagi manusia atas kamu, kecuali orang-orang yang zalim diantara mereka. Maka janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku (saja). dan agar Ku-sempurnakan nikmat-Ku atasmu, dan supaya kamu mendapat petunjuk.66 Al-Hadits Abu Hurairah
رواه.قال رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم ما بني املشرق واملغرب قبلة .الرتمذي وقواه البخاري Artinya : Dari Abu Hurairoh r.a, Ia berkata : Rasulullah SAW, bersabda: Ruang antra timur dan barat adalah kiblat. Riwayat Turmudzi dan dikuatkan oleh Bukhori.67 Al-Hadits Ibnu Abbas
ان النيب صلى اهلل عليو وسلم ملا دخل البيت دعا يف نواحيو كلِّها ومل يصل فيو حىت خرج فلما خرج ركع ىف قُبُ ِل البيت ركعتني وقال ىذه ِّ )القلة (رواه مسلم عن حديث ابن عباس Artinya : bahwasanya Nabi Muhammad SAW. Pada saat memasuki ka’bah beliau berdo’a disetiap sisi – sisinya. Beliau tidak melakukan sholat di dalamnya, sehingga keluar. Setelah berada di luar beliau melakukan sholat dua rokaat di depan ka’bah, dan berkata ini adalah kiblat. (HR. Muslim dari haditsnya Ibnu Abbas) Al-Hadis Hadits Rosulullah SAW ketika berkata kepada Khollad Ibn Rofi‟:
ِ ِ الص ََلةِ فَأَسبِ ِغ الوضوء ُُثَّ است ْقبِ ِل القْب لَةَ َوَكبِّ ْر َّ ت اِ ََل َْ َ ُْ ُ ْ َ اذَا قُ ْم
Artinya : Apabila kamu hendak melakukan sholat maka sempurnakanlah wudlumu dan menghdapap ke qiblat kemudian bertakbirlah (Muttafaq Alaih) 66
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Op.Cit. hlm.38 H.M.Ali (Penerjemah), 2011, Terjemah Bulughul Marom (Ibnu Hajar AL-Asyqolani), Surabaya, Mutiara Ilmu, Cet. 1. hal.92 67
48
Al-Hadits dari Amir Ibnu Robi‟ah
ٍ ِ ٍ ت ْ َ فَاَ ْش َكل، كنا مع النيب صلى اهلل عليو وسلم ىف ليلة ُمظل َمة: قال علينا القبلةُ فصلينا فلما طلعت الشمس اذا حنن صلينا اَل غري القبلة )(فأينما تولوا فَثَ َّم وجوُ اهلل Artinya : Dari Amir bin Robi’ah, Ia berkata kami bersama Nabi dalam malam gulita kami kesulitan menentukan kiblat lalu kami sholat. Tatkala matahari terbit ternyata kami menghadap bukan pada kiblat. Maka turunlah ayat (kemana saja kamu menghadap maka disanalah wajah Allah)68 Pada
dalil – dalil di atas menunjukkan adanya kewajiban bagi
seseorang muslim yang sedang melakukan sholat untuk menghadap kiblat baik sholat itu adalah fardlu atau sunnah. Maka secara otomatis jika seseorang yang melakukan sholat sedang dia tidak menghadap kiblat maka sholatnya tidak sah. Apabila memungkinkan haruslah menghadap tubuh ka‟bah (ainul ka‟bah), namun jika tidak, cukuplah
arah ka‟bah (jihatul
ka‟bah).69 B. Sejarah Menghadap Kiblat Terdapat sejarah yang mengatakan bahwa bangunan ka‟bah adalah ciptaan Allah SWT yang pertama di bumi, baru kemudian bumi yang dibentangkan di bawahnya. Jadi ka‟bah merupakan perut bumi atau titik awal penciptaan. Ka‟bah dibangun sampai lima kali, ada juga yang megatakan sepuluh kali. Jelasnya, para pakar sejarawan menyepakati bahwa bangunan ka‟bah yang pertama kali dibangun bertujuan untuk arah menyembah Allah 68
Ibid Syeh Abdurahman Nasir, 2006, Terjemah Tafsir As’ad (muh. Iqbal), Jakarta, Pustaka Syahifa, hlm 223 69
49
SWT.70 Dikatakan pula ka‟bah dibangun oleh malaikat sekitar 2000 tahun sebelum Nabi Adam diciptakan. Setelah
Nabi Adam a.s. meninggal,
bangunan Ka‟bah rusak yang kemudian dibangun kembali pada masa anaknya yang bernama Nabi Syis. Namun bangunan ka‟bah rusak kembali setelah meninggalnya Nabi Syis dan baru dibangun kembali oleh Nabi Ibrahim a.s. dan putranya Nabi Ismail. Ka‟bah dibangun tanpa atap yang di bagian samping terdapat pintu, tepatnya di sebelah barat dan timur. Setelah pembangunan ka‟bah selesai Nabi Ibrahim diperintah oleh Allah SWT naik ke gunung Thabir untuk menyerukan kepada manusia agar melaksanakan ibadah haji ke Bait Al-Atiq (rumah kuno) ini. 71 Sebenarnya tentang siapa yang membangun Ka‟bah dalam Al-Qur‟an sudah diceritakan, yang tentunya hal ini sudah bisa digunakan dasar yang otentik. Tertulis dalam ayat Al-Qur‟an yang artinaya adalah “ dan ingatlah ketiak Ibrahim meninggikan dasar-dasar Baitullah bersama Ismail seraya berdo’a: ya Allah kami terimalah dari pada kami amalan kami, sesungguhnya engkaulah yang maha mendengar lagi maha mengetahui, (AlBaqoroh / 2 : 127). Pada saat pembangunan Ka‟bah beliau (Ibrahim) masih dalam usia 100 tahun. Setelah memperoleh perintah dari Allah, maka Nabi Ibrahim datang ke kota Makkah yaitu sebuah kota dimana beliau pernah meninggalkan anak dan isterinya. Pada saat itu kota Makkah sudah sangat ramai karena di situ terdapat sumur zam – zam.
70
Ablah Muhammad Al-Khalawi, 2009, Buku Induk Haji dan Umrah untuk Wanita, Jakarta, Zaman, hlm.43 71 Ghufron A. Mayadi (penerjemah), 1999, Ka’bah cyiril glasse Ensiklopedi Islam (ringkas) cyiril classe ed. Cet 2, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, hlm. 199
50
Ayat di atas bisa kita pahami bahwa dasar – dasar Baitullah itu sudah ada. Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail hanya meninggikannya. Malah sebagian penafsir mengatakan bahwa Nabi Ibrahim memang diperintah untuk membangun Ka‟bah itu dengan sempurna sehingga hal itu sudah menjadi pilihan dari Allah SWT bahkan lokasi sumur dan Baitullah itu sudah ditunjukkan Malaikat Jibril atas perintah Allah SWT. Kemudian setelah Nabi Ismail wafat maka diteruskan oleh keturunannnya, kemudian dilanjutkan Bani Jurhun, kemudian Bani Khuza‟ah yang termasuk salah satu pembesar Makkah penyembah berhala. Kemudaian dilanjutkan oleh Bani Quraisy. Menjelang kedatangan Islam, ka‟bah dipegang oleh orang terkemuka yang bernama Abdul Mutholib kakek dari Nabi Muhammad sendiri. Abdul Mutholib menghiasi pintu ka‟bah dengan emas hasil temuannya dari sumber air zam – zam. 72 Pada saat Nabi Muhammad SAW belum melakukan hijrah ke Madinah kaum muslimin pada saat itu malakukan sholat menghadap ke Baitullah kemudian setelah Hijrah ke Madinah sholat kaum muslimin dipindahkan ke Baitul Maqdis Yerussalim. Hal ini dikandung maksud agar kaum Yahudi Bani Israil tertarik dengan ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, namun yang terjadi malah sebaliknya mereka melecehkan Risalah Nabi dengan berkata bahwa “Muhammad menginginkan tempat kelahirannya tak berapa lama lagi akan kembali menganut agama kaumnya”.
73
sementara
itu Nabi ingin sekali berkiblat ke Makkah Masjidil Haram sehingga beliau 72
Agus Musthofa, Pusaran Energi Ka’bah, hlm. 94 Muhammad Ali Ash-Shobuni, 2000, Tafsir Tematik Al-Baqoroh – Al-An’am, Jakarta, Pustaka Kautsar, cet I, hlm. 29 73
51
sering kali berdo‟a kepada Allah SWT agar mengabulkan keinginannya itu. Pada tahun ke 2 H. setelah Nabi berkiblat ke Bait Al-Makdis selama lebih kurang enam belas bulan Allah SWT memerintahkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk berkiblat ke Masjidil Haram. Berdasarkan firmanNya dalam surat Al-Baqoroh 144. Yaitu :
Artinya : Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, Maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. dan dimana saja kamu berada, Palingkanlah mukamu ke arahnya. dan Sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekalikali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.74 Perintah ini turun ketika Nabi Muhammad SAW bersama kaum muslimin baru saja melaksanakan dua rokaat dari sholat dhuhur di Masjid Bani Salamah. Pada rokaat pertama beliau menghadap ke Bait Al-Makdis kemudian pada rokaat ke dua beliau menghadap ke Masjidil Haram. Sehingga masjid Baitu Salamah disebut dengan Masjid Qiblatain (masjid dua kiblat).75 Perpindahan kiblat ternyata menimbulkan pertanyaan kaum Yahudi dan Nasrani, keraguan mereka kemudian terjawab dengan :
74
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Op.Cit. hlm. 37 Abdul Aziz Dahlan, dkk, ed, 1996, Ensiklopedi Hukum Islam, Vol I, Jakarta, Ichtiar Baru, hlm. 946. 75
52
a.
Pemindahan kiblat merupakan kehendak Allah. Sebagaimana firman Allah SWT.
Artinya : Kepunyaan Allah-lah timur dan barat; Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus. (AlBaqoroh / 2 : 142) 76 b.
Perpindahan kiblat untuk menguji ketaatan kaum muslimin kepada Rasululla SAW, sebagaimana firman Allah SWT
Artinya : dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. (AlBaqoroh / 2 : 143)77 c.
Bahwa kebaktian tidak terletak pada pada berkiblat ke arah dan timur, melainkan pada ketaatan dan keimanan, sebagaimana fiman Allah SWT.
Artinya : Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi. (Al-Baqoroh / 2 : 177) 78 d.
Bahwa pernyataan mereka menunjukkan ketidak taatan, karena sesungguhnya mereka sudah mengetahui berkiblat ke Ka‟bah itu benar, yaitu melalui sifat – sifat Rasulullah SAW dan umatnya serta
76
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Op.Cit. hlm. 36. Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Op.Cit. hlm. 36. 78 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Op.Cit. hlm. 43. 77
53
karakteristik syari‟atnya yang digambarkan dalam kitab – kitab mereka, sebagaimana firman Allah SWT.
Artinya : Dan Sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya. (Al-Baqoroh / 2 : 144) 79 C. Pandangan Fuqoha tentang Menghadap Kiblat Dalam Shalat Para ulama telah sepakat bahwa orang yang sholat dengan melihat ka‟bah, ia wajib menghadap ke fisik ka‟bah (ainul ka‟bah). permasalahannya adalah bagaimana dengan orang yang berada jauh dari ka‟bah dan tidak melihatnya. Maka hal ini para ulama berbeda pendapat sebagaiman berikut : 1.
Madzhab Hanafi Guru para ulama yaitu „Ala‟ Al-Din Al-Kasani Al-Hanafi AlHasani (w. 587 H) dalam kitabnya Bada’i Al-Shana’i Fitartib As-Syara’i berkata : Bahwa orang yang shalat tidak lepas dari dua keadaan : a.
Mampu untuk melakukan shalat dengan menghadap kiblat atau
b.
Melakukan shalat tetapi tidak mampu untuk menghadap kiblat. Jika dia mempu malakukannya maka dia wajib shalat dengan menghadap kiblat. Jika dia termasuk orang orang yang dapat melihat ka‟bah maka kiblatnya adalah bangunan ka‟bah (ainul ka‟bah) tersebut, yaitu dari arah manasaja dia melihatnya. Sehingga seandainya dia
79
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Op.Cit. hlm. 37.
54
melenceng dari bangunan ka‟bah, tanpa melihat salah satu bagian bangunan ka‟bah maka berkiblatnya tidak sah. Hal ini berdasrkan firman Allah SWT :
Artinya : dan di mana saja kamu sekalian berada maka hadapkanlah wajahmu ke arah ka’bah. Selama ada kemampuan untuk memalingkan wajahnya ke bangunan Ka‟bah, maka Ia wajib melakukannya. Jika dia tidak melihat Ka‟bah maka dia wajib menghadapkan ke arahnya yakni kepada dinding Mihrab (tempat shalatnya) yang dibangun dengan tanda-tanda yang menunjuk pada Ka‟bah. Dengan demikian kiblatnya adalah arah Ka‟bah bukan bangunan Ka‟bah, demikianlah sesuai yang disebutkan oleh AlKurkhi dan Ar-Razi. Dan hal ini merupakan pendapat mayoritas guru kami di negeri-negeri seberang sungai Tegris (Iraq). Sebagian dari mereka juga ada yang berkata: yang benar adalah menghadap pada bangunan Ka‟bah, dengan cara berijtihad dan menelitinya. Ini adalah pendapat Ibnu Abdillah Al-Basth. Bahkan mereka yang berpendapat demikian
mengatakan bahwa niat menghadap Ka‟bah adalah syarat
sahnya Shalat. Pendapat mereka mengacu pada sebuah firman Allah SWT :
55
Artinya : dan dari mana saja kamu keluar maka hadapkanlah wajahmu ke arah masjidil haram dan dimana saja kamu sekalian berada maka hadapkanlah wajhmu ke arahnya. Ayat di atas menurut mereka tidak merinci apakah orang yang shalat tersebut melihat Ka‟bah atau tidak melihatnya. Di samping itu, keharusan untuk menghadap Masjidil Haram menunjukkan kemulyaan bangunan. Pengertian ini hanya dapat diterapkan pada bangunan secara fisik, bukan pada arah letaknya. Sebab seandainya arah Ka‟bah menjadi kiblatnya, tentunya ketika ia berijtihad dalam menentukan arah Ka‟bah kemudian ijtihadnya salah, maka dia harus mengulangi lagi kiblatnya. Kerena dia merasa yakin bahwasannya dia telah salah dalam berijtihad. Padahal, menurut shahabat-shahabat kami (ulama Madzhab Hanafi), tanpa adanya perbedaan, dia tidak perlu mengulangi lagi shalatnya. Maka, hal ini menunjukkan bahwa kiblatnya dalam kondisi ini adalah bangunan Ka‟bah yang ditentukan melalui ijtihad dan penelitian. Adapun argumentasi ulama kelompok pertama adalah bahwa yang diwajibkan adalah menghadap kepada sesuatu yang mampu dilakukan (Maqdur Alaih). Adapun menghadap pada bangunan Ka‟bah merupakan sesuatu yang tidak dapat dilakukan, karena tidak diwajibkan untuk menghadapkannya. Sebab seandainya bangunan Ka‟bah dalam kondisi ini menjadi kiblatnya berdasarkan ijtihad dan penelitian maka hukum shalatnya berkisar antara sah dan batal. Karena jika Ia tetap menghadap ke bangunan Ka‟bah dengan sangat seksama maka shalatnya sah. Adapun jika dia tidak tepat menghadap ke bangunan Ka‟bah, maka
56
shalatnya tidak sah, sebab dia yakin bahwasanya ijtihadnya adalah jelasjelals salah. Imam Muhammad bin Abdullah Al-Timistasyi (w. 1004 H) dalam kitabnya Tanwir Al-Abshar berkata sebagai berikut : “bagi penduduk Makkah kibaltnya adalah bangunan Ka’bah (ainul ka’bah) sedangkan bagi penduduk di luar Makkah kiblatnya adalah arah kiblat itu sendiri (jihatul
Ka’bah).
Maksudnya
adalah
penduduk
Makkah
harus
menghadap tepat pada bangunan Ka’bah, sedangkan orang yang berada di luar Makkah cukup menghadap ke arah di mana Ka’bah itu berada (jihatul Ka’bah).” Ringkasnya adalah bahwa manyoritas ulama Madzhab Hanafi berpendapat bahwa kiblat shalat bagi orang yang tidak dapat melihat Ka‟bah adalah cukup arah Ka‟bah (jihatul Ka’bah), bukan pada bangunan fisiknya (ainul ka’bah). Wallahu a’lam. 2.
Madzhab Maliki
Setelah menukil beberapa pendapat ulama dalam masalah ini, Imam Ibnu Rusyd (w. 595 H) berkata: menurut kami seandainya menghadap ke bangunan Ka‟bah adalah suatu kewajiban, tentu hal ini memberatkan. Padalah Allah SWT telah berfirman yang artinya “bahwa dia (Allah) sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu sesuatu kesempitan dalam agama.” Sebab menghadap pada bangunan fisik Ka‟bah hanya dapat diketahui dengan pengukuran dan teknologi dalam menentukannya, lalu bagaimana mungkin hal ini dapat diketahui dengan berijtihad selain denga cara tersebut. Padahal kita tidak diperintahkan untuk berijtihah
57
dalam masalah ini, dengan susah payah melakukan pengukuran tehnik yang didasarkan pada pengompasan dan menghasilkan penghitungan panjang dan lebar suatu negeri..80 Imam Al-Qurtubi (w. 671 H) dalam kitab al-jami‟ li ahkam alQur‟an ketika menafsirkan firman Allah SWT :
Artinya : dan dimana saja kamu keluar maka hadapkanlah wajahmu ke arah masjidil haram. Beliau berkata bahwa para ulama berbeda pendapat apakah yang tidak dapat melihat Ka‟bah diwajiban untuk menghadap ke bangunan Ka‟bah atau hanya ke arahnya saja. Diantara mereka ada yang memilih pendapat yang pertama yakni menghadap pada bangunan Ka‟bah. sedangkan menurut Ibnu Arabi (w. 543 H), pendapat ini lemah karena hal itu merupaan perintah (taklif) untuk mengerjakan sesuatu yang tidak dapat dikerjakan. Sementara itu para ulama lainnya mengatakan bahwa kiblat untuk orang tesebut adalah arah Ka‟bah (jihatul Ka’bah). Inilah pendapat yang benar dengan tiga dasar : 81 a.
Menghadap ke arah Ka‟bah adalah taklif yang relevan untuk dilaksanakan.
b.
Hal ini merupakan implementasi dari perintah yang tercantum dalam Al-Qur‟an. Allah SWT berfirman :
80
Imam Ibnu Rusyd Al-Qurtubi, Bidayatul Mujtahid Wanihayah Al-Muqtasid. Hlm. 93. (Maktabah Syamilah) 81 Imam Al-Qurtubi, Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an. Juz I, hlm. 563. (Maktabah Syamilah)
58
Artinya : dan dari mana saja kamu keluar maka hadapkanlah wajahmu ke arah masjidil haram dan dimana saja kamu sekalian berada maka hadapkanlah wajahmu ke arahnya. c.
Para ulama berargumentasi dengan sahnya shaf yang memenjang dalam shalat berjamaah yang dipastikan melebihi beberapa kali lipat dari lebar Ka‟bah Dengan penjelasan ini kami dapat mengambil kesimpulan dari
beberapa pendapat ulama‟ madzhab maliki bahwa mayoritas ulama madzhab Maliki berpendapat bahwa orang yang tidak melihat Ka‟bah, maka dalam shalatnya dia wajib menghadap ke arah Ka‟bah (jihatu Ka’bah).
3. Madzhab Syafi’i Tampaknya dalam madzhab Syafi‟i terdapat dua pendapat tentang masalah ini, yang pertama meghadap pada bangunan Ka‟bah (ainul Ka’bah) dan ke dua menghadap ke arah Ka‟bah (jihatul Ka’bah). Imam Al-Syirazi (w. 476 H) dalam kitabnya Al-Muhaddzab berkata sebagai berikut, jika sama sekali dia tidak memiliki petunjuk apapun, maka dilihat masalahnya. Jika dia termasuk orang yang mengetahui tanda-tanda atau petunjuk kiblat, maka meskipun dia tidak dapat melihat Ka‟bah, dia tetap harus berijtihad untuk mengetahui kiblat. Karena dia memiliki cara untuk mengetahuinya melalui keberadaan matahari, bulan, gunung dan angin. Oleh karena itu, Allah SWT berfirman yang artinya
59
”dan (Dia ciptakan) tanda-tanda (penunjuk jalan). Dan dengan bulan bintang itulah mereka mendapat petunjuk” Dengan begitu, dia berhak untuk berijtihat (dalam menentukan letak Ka‟bah) seperti orang yang paham tentang fenomena alam. Mengenai kewajibannya, ada dua pendapat. Dalam kitab Al-Umm, penulisannya (Imam Al-Syafi‟i) berkata : yang wajib dalam berkiblat adalah menghadap secara tepat ke bangunan Ka‟bah. Karena, orang yang diwajibkan untuk menghadap kiblat dia wajib menghadap ke bangunan Ka‟bah, seperti halnya orang Makkah. Sedangkan teks yang jelas yang dikutib oleh Imam Al-Muzani murid Imam Syafi‟i dari Imam AsyAyafi‟i mengatakan bahwa, yang wajib adalah menghadap pada arah Ka‟bah (jihatul Ka’bah). Karena, seandainya yang wajib itu secara fisik, tentunya shalat jam‟ah dengan shaf yang memanjang tidak dihukumi sah, sebab diantara mereka ada yang menghadap ke luar Ka‟bah. Memang, ada sebagian ulama yang membantah faliditas pendapat ini dari Imam Syafi‟i tetapi seperti akan kita ketahui sebentar lagi. Insya Allah. Bahwa manyoritas ulama madzhab Syafi‟i berpendapat yaitu yang wajib adalah menghadap ke arah Ka‟bah, bukan pada bangunan Ka‟bah. adapun dalil – dalil yang digunakan oleh dua pendapat ini, Imam AlNawawi berkata : para ulama yang mengatakan bahwa bangunan Ka‟bah (ainul ka’bah) sebagai kiblat, berdasarkan pendapatnya pada hadits Ibnu Abbas r.a, yaitu :
60
ان النيب صلى اهلل عليو وسلم ملا دخل البيت دعا يف نواحيو كلِّها ومل يصل فيو حىت خرج فلما خرج ركع ىف قُبُ ِل البيت ركعتني وقال ىذه ِّ )القلة (رواه مسلم عن حديث ابن عباس Artinya : sesungguhnya rasulullah SAW setelah memasuki ka’bah beliau keluar lalu melakukan shalat dengan menghadapnya kemudian beliau bersabda : ini adalah kiblat. (HR. Bukhari dan Muslim dari ibnu abbas). Hadits ini juga berasal dari Usamah bin Zaid, sebagaimana telah disebutkan oleh penulis (Imam Al-Syirazi) pada awal bab. Sementara itu, yang berpendapat tentang arah Ka‟bah (jihatul ka’bah) sebagai kiblat berargumentasi dengan hadits Abu Hurairah r.a. Bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda :
رواه الرتمذي وقواه البخاري.ما بني املشرق واملغرب قبلة Artinya : arah antara timur dan barat adalah kiblat. (HR. Turmudzi, menurut beliau hadits ini hasan shahih) Hadits ini juga diriwayatkan secara shahih dari Umar bin Khottab r.a. dengan status mauquf (disandarkan kepadanya). Imam Al-Nawawi ketika mentarjih dengan menilai yang lebih kuat, salah satu dari dua pendapat di atas, berkata: pendapat yang benar dalam madzhab kami adalah dengan menghadap ke bangunan Ka‟bah (ainul ka’bah). pendapat ini dipegang juga oleh mazhab Maliki dan satu riwayat dari Imam Ahmad. Sedangkan Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa kiblat yang diperintahkan (bagi orang yang tidak melihat Ka‟bah) adalah arah Ka‟bah (jihatul ka’bah).
61
Imam At-Tirmidzi meriwayatkan pendapat arah Ka‟bah ini dari Umar bin Khattab dan dari Ali bin abi Tholib, Ibnu Abbas, dan Ibnu AlMubarrok. Dalil yang ke dua diatas telah disebutkan sebelumnya. Dari kalangan ulama madzhab Syafi‟i selain Imam Nawawi menyatakan bahwa yang diwajibkan dalam shalat adalah menghadap pada bangunan Ka‟bah adalah Syeikh Ibrohim Al-Bajuri. Beliau berkata dalam kitabnya Hasyiyyah (perkataan penulis Ibn Qosim Ghazi). Menghadap kiblat yaitu menghadap pada bangunan Ka‟bah, bukan sekedar ke arah Ka‟bah. hal ini merupakan pendapat yang dipegang oleh madzhab kami, dengan yakin melihat bangunan Ka‟bah bagi yang dekat dengannya, dan dengan perkiraan (dzann) bagi yang jauh dari Ka‟bah. hanya saja di bagian lain dalam kitabnya beliau menambahkan bahwa “apabila shafnya memanjang di dekat Ka‟bah, dan keluar dari garis lurus ke Ka‟bah, maka orang-orang yang keluar dari garis lurus itu shalatnya tidak sah. Berbeda dengan shaf yang jauh dari ka‟bah, shalat mereka tetap sah, meskipun shaf mereka sangat panjang, selama tidak memanjang dari timur sampai ke arah barat. Apabila shalat mereka tidak sah, maka shaf mereka harus melengkung.82 Tidak diragukan lagi pendapat ini adalah sama dengan pendapat Imam As-Syafi‟i yaitu shalat dengan shaf yang panjang dan keluar dari garis bangunan Ke‟bah bagi mereka yang tidak melihat bangunan Ka‟bah adalah sah. Mereka yang
82
Al-Bajuri, Hasyiyyah Syeikh Ibrahim Al-Bajuri Ala Syarkhil Alamah Ibnu Qosim AlGhazali, Juz 1 hlm 147.
62
shalat dengan keadaan seperti ini pasti tidak menghadap pada bangunan Ka‟bah (ainul ka’bah). Sedangkan diantara ulama madzhab Syafi‟i selain Imam Syafi‟i dalam salah satu qoulnya yang dinukil oleh Imam Al-Muzani, yang mengatakan bahwa kiblat tersebut adalah arah Ka‟bah (jihatul Ka‟bah) adalah Syeikh Al-Katib Al-Syarbani. Beliau berkata sebagai berikut “seandainya ada sesuatu penghalang yang bersifat alamiah antara orang yang berada di Makkah dan bangunan yang baru, maka dia boleh berijtihad untuk menentukan kiblatnya, karena adanya kesulitan untuk menghadap pada bangunan Ka‟bah secara langsung.83 Kemudian dalam uraian lain dalam kitabnya beliau berkata yang maknanya adalah “tidak boleh berijtihad dalam menentukan arah Ka‟bah di Mihrab Nabi Muhaamad SAW dan masjid-masjid yang diketahui pernah disinggahi beliau, dan beliau shalat di dalamnya. Sebab, Nabi Muhammad SAW tidak pernah memutuskan sesuatu yang salah. Seandainya seorang yang cerdas mengira-ngira ke kanan atau ke kiri, maka upayanya adalah batil. Maksudnya, dari mihrab-mihrab Nabi Muhammad SAW di sini adalah setiap tempat yang pernah dijadikan ole beliau sebagai tempat shalat karena pada zaman beliau belum ada istilah Mihrab. Diantara ulama madzhab Syafi‟i generasi akhir yang memiliki dua pendapat dalam masalah ini adalah Sayyid Abdurrahman bin Muhaad bin
83
Syeikh al-katib al-syarbani, mughni muhtajj ila ma‟rifah ma‟ani alfath alminhaj. I/336
63
Husain bin Umar (w.1251 H). Penulis kitab Bughyah Mustarsyidin, beliau berkata: “pendapat yang peling rojih adalah adanya keharusan untuk menghadap kepada bangunan Ka’bah. Adapun bagi orang yang berada di luar Makkah maka dia harus memiringkan sedikir di tengah shafnya yang panjangnya sambil melihat dirinya secara dugaan telah tepat mengehai bangunan Ka’bah meski jaraknya sangat jauh.” Sedangkan pendapat yang ke dua adalah bagi orang yang jaraknya jauh dari Ka‟bah cukup dengan menghadap bada arah Ka‟bah yakni salah satu arah mata angin yang empat dimana bangunan Ka‟bah berada. Pendapat yang ke dua inilah yang kuat, yang dipilih dan dianggap shahih oleh AlGhazali Al-Jurjani, Ibnu Kajj dan Ibnu Abi Masrur menshahihkannya. Sementara itu Al-Mahalli menetapkannya. Adzira‟i berkata: “sebagian kalangan ulama madhab Syafi‟i menyebutkan bahwa peendapat ulama yang kedua ini merupakan pendapat yang baru (qoul jadid) dari ijtihad Imam Syafi‟i. Pendapat inilah yang dipilih kerena bentuk bangunan Ka‟bah itu kecil, mustahil seluruh penduduk bumi bisa menghadapnya, maka cukuplah bagi mereka yang tidak melihat Ka‟bah dengan cara menghadap pada arahnya saja. Oleh karena itu sholat dalam bentuk shaf yang panjang bagi jama‟ah yang jauh dari Ka‟bah hukumnya sah. Padahal sebagaiman diketahui
64
sebagian dari mereka terdapat yang tidak lurus dengan bangunan Ka‟bah.84 4.
Madzhab Hanbali Imam Ibnu Qodamah Al-Maqdisi (w. 629 H) dalam kitabnya AlMughni berkata : “selanjutnya, jika dia dapat melihat Ka‟bah maka kiblat shalatnya adalah menghadap padap bangunan Ka‟bah (ainul ka’bah). Dalam hal ini kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat.” Ibn Aqil berkata : “jika sebagian tubuhnya melenceng keluar dari garis lurus Ka‟bah, maka shalatnya tidak sah. Sebagian ulama dari madzhab Hanbali berkata : keadaan orang-orang dalam menghadap ke Ka‟bah terbagi menjadi empat, di antara mereka adalah : a.
Orang yang sangat yakin, yaitu orang yang melihat langsung bangunan Ka‟bah, atau dia termasuk penduduk Makkah atau tinggal di Makkah tetapi berada di belakang penghalang buatan, seperti pagar. Maka kiblatnya adalah menghadap ke bangunan Ka‟bah itu sendiri secara yakin. Demikian pula ketika dia shalat di masjid Nabawi, dia harus yakin bahwa kiblatnya adalah bangunan Ka‟bah. Karena dia sudah sangat yakin bahwa kiblat masjid Nawabi adalah benar. Karena sesungguhnya Nabi Muhammad SAW tidak pernah menetapkan sesuatu yang keliru. Usamah telah meriwatkan :
ان النيب صلى اهلل عليو وسلم صلى ركعتني قِبَ َل القبلة وقال ىذه القبلة 84
26.
Sayyaid Abdurahman Ba‟lawi, 1995, Bughyatul Musytarsyidin, Darl Fikri, Baerut, Hlm
65
Artinya : sesungguhnya Nabi muhamad SAW shalat dua raka’at dengan menghadap ke bangunan ka’bah kemudian beliau bersabda inilah kiblat. b.
Orang yang mengetahui arah Ka‟bah melalui kabar orang lain. Dia berada di Makkah, namun bukan penduduk Makkah, dan dia tidak dapat melihat Ka‟bah. kemudian dia menemukan seseorang yang memberitahukannya tentang arah kiblat dengan penuh keyakinan atau melihatnya langsung misalnya, ia tinggal di daerah yang pandangannya terhalang dari pandangan Ka‟bah. Kemudian ada orang memberitahukan arah Ka‟bah itu kepadanya. Demikian pula jika seseorang pandangannya tidak dapat menjangkau bangunan Ka‟bah. Maka dia wajib menghadap ke Mihrab, dan kiblat meraka yang sudah dipasang. Sebab, Mihrab dan kiblat itu dibuat oleh orang yang ahli dan mengetahui arah Ka‟bah. Maka kondisi ini sama seperti mengetahui kiblat melalui kabar dari orang lain. Karenanya dia tidak perlu lagi berijtihad. Jika seseorang yang mengatahui kiblat mengabarkan kepadanya, baik orang tersebut dari kalangan penduduk Makkah atau bukan, maka dia harus mengikuti kabar yang disampaikan
orang itu kepadanya, tanpa berijtihad untuk
menentukannya. Sebagimana halnya seorang hakim saat menerima berkas dakwaan dari orang yang dapat dipercaya, maka dia pun tidak boleh berijtihad dalam menentukan status hukumnya. c.
Orang yang harus melakukan ijtihad dalam menentikan kiblat dia adalah orang yang tidak sama kondisinya dengan dua jenis orang
66
sebelumnya. Sementara dia memiliki beberapa tanda untuk mengetahui kiblat itu. d.
Orang yang wajib bertaklid dia adalah orang yang buta dan tidak memiliki kemampuan untuk berijtihad. Dia adalah orang yang kondisinya berbeda dengan dua kondisi yang pertama. Karenanya dia harus taklid kepada para mujtahid. Hal yang wajib dilakukan oleh dua orang ini dan orang-orang yang
tinggalnya jauh dari Makkah adalah mencari tahu mengenai arah kiblat bukan mencari bangunan Ka‟bah. Imam Ahmad berkata : “arah antara timur dan barat adalah kiblat. Karena itu jika melenceng sidikit dari arah Ka‟bah tersebut maka shalatnya tidak perlu diulang. Kendati begitu, maka harus seksama mengarahkan shalatnya pada bagian tengah kiblat. Pendapat ini dikemukakan juga oleh Imam Abu Hanifah, sementara Imam Syafi‟i dalam salah satu dari dua pendapatnya adalah sama dengan pendapat kami. Sedangkan pendapat yang lain dari Al-Syafi‟i adalah kewajiban untuk menghadap pada bangunan Ka‟bah. hal ini berdasarkan firman Allah SWT :
Artinya : dimana saja kamu sekalian berada maka hadapkanlah wajhmu ke arahnya. Karena dia wajib untuk menghadapkan wajahnya ke ka‟bah maka dia wajib menghadapkan wajahnya ke bangunan ka‟bah seperti halnya orang yang melihat ka‟bah secara langsung. Bagi kami ada sebuah dalil yakni sabda Nabi Muhammad SAW
67
رواه الرتمذي وقواه البخاري.ما بني املشرق واملغرب قبلة Artinya : arah antara timur dan barat adalah kiblat. (HR. Turmudzi, dan dikuatkan oleh imam al-bukhori) Secara jelas hadits ini menunjukkan bahwa semua arah antara timur dan barat adalah kiblat. Sebab, seandainya kewajiban itu berupa menghadap ke bangunan Ka‟bah secara tepat tentu shalat jama‟ah dengan posisi shaf yang memanjang melewati garis yang lurus ke Ka‟bah adalah tidak sah. Begitu pula dua orang yang berjauhan jaraknya kemudian shalat dengan menghadap pada kiblat yang sama, maka shalatnya tidak sah. Karena menghadap ke bangunan Ka‟bah tidak dapat dilakukan oleh jama‟ah pada shaf yang panjang melebihi batas lebar bangunan Ka‟bah. Jika ada orang yang mengatakan bahwa jarak yang berjauhan dapat memperluas cakupan orang yang lurus dengannya, maka dapat kami jawab bahwa cakupan bangunan Ka‟bah menjadi luas apabila shafnya dalam keadaan melengkung, sedangkan jika shafnya lurus memanjang maka cakupannya tidak menjadi luas. Jadi, makna syathr al-bait adalah arah dan hadapan rumah. Dengan demikian jelaslah bagi kita, bahwa para ulama madzhab Hanbali sepakat atas wajibnya menghadap ke arah Ka‟bah bagi orang yang tidak dapat melihanya, bukan menghadap ke bangunan Ka‟bah. Pernyataan Ibnu Qodamah bahwa secara jelas, semua arah antara timur dan barat adalah kiblat, menunjukkan bahwa penduduk yang berada di sebelah utara Ka‟bah kiblatnya adalah arah selatan mana saja kecuali
68
ketika dia berada di dalam masjid Nabawi Madinah, maka kiblat mereka adalah bangunan Ka‟bah. Sedangkan pengertian hadits :
رواه الرتمذي وقواه البخاري.ما بني املشرق واملغرب قبلة Yang artinya : arah antara timur dan barat adalah kiblat. (HR. Turmudzi, menurut beliau hadits ini hasan shahih) Adalah bahwa penduduk yang berada di sebelah utara Ka‟bah kiblatnya adalah arah selatan mana saja. Sedangkan penduduk yang berada di selatan Ka‟bah maka kiblatnya adalah arah utara mana saja. Mereka bebas menghadap pada bagian manapun. Sedangkan penduduk yang berada di sebelah barat Ka‟bah maka kiblatnya adalah arah timur mana saja. Adapun penduduk yang berada di sebelah timur Ka‟bah seperti Indonesia, maka kiblatnya adalah barat mana saja.