H. M. Thayyib Kaddase, Arahan Islam tentang Arah Kiblat…..101
ARAHAN ISLAM TENTANG ARAH KIBLAT H. M. Thayyib Kaddase* Abstract: The issue of qibla direction is a part of Islamic law (fiqh), while Islamic law is a part of Islamic precept itself. The criteria of someone‟s faith and Islamic state which declared by syahadatain pledge are believing the thruth and performing the order of Allah swt. and Prophet Muhammad saw. included the leadership of Moslem community which implemented by the shift of qiblat from Baitul Makdis ke Ka‟bah) to Masjid al-Haram Mecca. It is an Islamic precept which its truth cannot be refused based on the understanding resulted from rational thingking of ijtihadi that always refers to Islamic rules and values. Moslem community commonly agrees that the perform of worship especially salat has some requisites for its validity, one of them is look towards qibla. This paper discusses Islamic guide on qibla direction Keywords: Islamic guide, qibla direction Pendahuluan Masalah arah kiblat adalah bagian dari hukum Islam (fiqh), sedangkan hukum Islam adalah bagian dari ajaran agama Islam itu sendiri. Ukuran keimanan dan keislaman seseorang yang dinyatakan dengan ikrar syahadatain adalah mempercayai kebenaran dan melaksanakan apa yang diperintahkan Allah swt. dan Rasul-Nya Muhammad saw. termasuk kekhilafahan kaum Muslimin (yang diwujudkan dengan dialihkannya kiblat dari Baitul Makdis ke Ka‘bah)1 di Masjid al-Haram Mekah. Hal tersebut merupakan suatu keniscayaan dalam ajaran Islam yang tidak boleh lagi diingkari kebenarannya berdasarkan pemahaman yang dihasilkan oleh pemikiran rasional (ijtihadi) yang senantiasa mengacu pada kaidahkaidah dan nilai-nilai Islam. Umat Islam pada umumnya sependapat bahwa ―pelaksanaan ibādah, khususnya salat harus memiliki beberapa syarat sahnya, salah satu di antaranya menghadap kiblat‖.2 Ulama sepakat pula bahwa ―menghadap ke kiblat ketika salat hukumnya
* Dosen Ilmu Falak Fakultas Syari‘ah IAIN Palopo 1
Lihat Hisham Thalbah, et.al., Ensiklopedia Mukjizat al-Qur‟an dan Hadis, Jilid I (Cet. I; Bekasi: Sapta Santoro, 2008), h. 1. 2
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, terjemahan Mahyuddin Syaf dengan judul Fikih Sunnah, Jilid I (Cet. X; Bandung: Al-Ma‘arif. 1990), h. 276.
wajib‖, 3 Meskipun demikian, dalam tataran teknis dan tata pelaksanaan meng-hadap kiblat itu terdapat variabel perbedaan pendapat, terutama pada radius yang jauh dari Ka‘bah di Mekah, seperti di Indonesia ini yang letaknya jauh dari Mekah dan mustahil bagi manusia yang sedang berada di Indonesia melihat Mekah apalagi Ka‘bah yang berada dalam Masjid al-Haram Mekah. Hal itu pula dapat menimbulkan problema tersendiri dalam melaksanakan ibadah salat yang telah diperintahkan oleh Allah swt. dan Rasulullah saw. karena menghadap kiblat adalah suatu prasyarat sahnya dan atau diterimanya ibadah salat. Masalah penetapan arah kiblat tempat ibadah salat di mana saja dilaksanakan telah diperintahkan secara syar‟i sejak di zaman Rasulullah saw. sampai sekarang dan bahkan sampai akhir zaman tetap menjadi isu yang berkembang dan aktual, serta senan-tiasa dianjurkan para ulama, termasuk melalui Fatwa MUI Nomor 3 Tahun 2010 tentang Kiblat tertanggal 01 Februari 2010 M/16 Syafar 1431 H., kemudian disusul (direvisi)4 dengan Fatwa MUI Nomor 5 3
Ali Parman, Ilmu Falak (Makassar: Berkah Utami, 2001), h. 69. 4
Revisi Fatwa MUI Nomor 3 Tahun 2010 dengan fatwa MUI Nomor 5 Tahun 2010 dilakukan karena diktum fatwa MUI Nomor 3 Tahun 2010 tersebut ternyata salah, yaitu yang menyatakan bahwa ―letak geografis Indonesia yang berada di bagian timur Ka‘bah/Mekkah maka umat Islam Indonesia adalah menghadap ke arah Barat, dari diktum fatwa tersebut muncul
102 Al Ahkam, Vol V. No. 2. Desember 2015
Tahun 2010 tentang Arah Kiblat tertanggal 01 Juli 2010 M/ 18 Rajab 1431 H., dan ditindaklanjuti dengan penjelasan oleh Ketua MUI Bidang Fatwa, Ma‘ruf Amin. MUI menghimbau agar semua wilayah di Indonesia harus menyesuaikan arah kiblat sesuai dengan ralat (revisi) dari fatwa sebelumnya, yang menyatakan bahwa: ―Indonesia itu terletak tidak di timur pas Ka‘bah tapi agak ke selatan, jadi arah kiblat kita juga tidak ke barat pas tapi agak miring yaitu ke arah barat laut‖.5 Berdasarkan fatwa MUI Nomor 5 Tahun 2010 tentang Arah Kiblat, pada poin 3 dijelaskan bahwa ―Kiblat umat Islam Indonesia adalah menghadap ke barat laut dengan posisi bervariasi sesuai dengan letak kawasan masing-masing‖6
(doktrin) tentang tugas-tugas atau kewajiban-kewajiban setiap Muslim‖.9 Berbeda dengan konsepsi hukum Barat, hukum dibuat oleh manusia hanya mengatur hubungan manusia dengan manusia dan benda dalam masyarakat, hukum Barat membedakan hukum publik dan hukum privat. Sedangkan hukum Islam tidak membedakan secara tajam, yang disebutkan adalah bagian-bagiannya sebagaimana yang terlihat dalam al-Qur‘an dan al-Sunnah. 10 Misalnya, dalam Q.S. al-Nisa‘ (4): 59 yang berbunyi:
Hakikat Hukum Islam
Hakikat hukum Islam adalah substansi dari agama Islam, karena agama Islam mencakup hukum yang tidak dapat diceraipisahkan dan kemudian disebut hukum Islam.7 Mohammad Daud Ali (Guru besar pada Fakultas Hukum UI Jakarta) mengartikan hukum Islam ―sebagai hukum yang bersumber dan menjadi bagian dari agama Islam‖. 8 Sementara itu, oleh Anderson, hukum Islam dilukiskan sebagai ―ajaran pertanyaan di masyarakat yang menimbulkan kesimpangsiuran penafsiran dan pertanyaan mengenai keabsahan salat yang arah kiblatnya tidak mengarah ke Ka‘bah/Mekkah (ke barat laut) berdasarkan perhitungan ilmu falak. Lihat bagian Pertimbangan dan Diktum Fatwa MUI Nomor 5 Tahun 2010. 5
Ma‘ruf Amin, Fatwa Majelis UIama Indonesia (Jakarta: detiknews, Rabu 14/7/2010). 6
Muhyiddin Khazin, Kebijakan Pemerintah Dalam Hisab Rukyat, dipresentasikan pada Orientasi Hisab Rukyat PTAI Seluruh Indonesia (Bogor: 11 April 2011).
Hukum Islam itu juga disebut syariah, misalnya perintah menegakkan salat itu adalah syariah. Perintah itu merupakan substansi dari syariah, berupa pengaturan hubungan antara manusia dengan Allah swt. kemudian perintah itu dideduksi oleh fuqaha menjadi fiqh maka terbentuklah yang kemudian disebut hukum Islam, muncullah norma-norma (aturan hukum) bahwa salat itu adalah wajib dan atau sunnah, begitu pula syarat-syaratnya seperti menghadap kiblat ke Ka‘bah waktu salat. Konsep Ilmu Falak dalam Hukum Islam Ilmu falak dalam Islam mempunyai kegunaan dan kedudukan yang sangat penting dan berharga. Sebagaiman pula, diungkapkan oleh Ali Parman, Guru Besar Ilmu Falak UIN Alauddin Makassar dalam bukunya bahwa ilmu falak dibutuhkan Rasulullah saw. membawa misi untuk
7
Lihat Abdullah Gofar, ―Menggagas Hukum Islam Berwawasan Indonesia dalam Pendekatan Politik Hukum‖ Mimbar Hukum, Aktualisasi Hukum Islam, No. 45 Tahun X (1999): h. 23. 8
Muhammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), h. 42.
9
Anderson, Islamic Law in the Modern World, diterjemahkan oleh Machnun Husein dengan judul Hukum Islam di Dunia Modern, Edisi Revisi (Cet. I; Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1994), h. 5-6. 10
Lihat Abdullah Gofar, Menggagas Hukum Islam Berwawasan Indonesia dalam Pendekatan Politik Hukum, op. cit., h. 24.
H. M. Thayyib Kaddase, Arahan Islam tentang Arah Kiblat…..103
mempercayai sujud menghadap ke kiblat ketika salat, baik di masjid/musalla maupun di rumah atau di lapangan luas, cara menentukan awal-awal bulan qamariyah, waktu-waktu salat, dan sebagainya.11 Ilmu falak yang dikembangkan oleh ilmuanilmuan Muslim sejak abad pertengahan, bukan hanya untuk pengembangan ilmu itu sendiri sebagai suatu disiplin ilmu secara teoritis, tetapi juga sangat penting secara praktis untuk kepentingan peribadatan, menjalankan perintah agama yang sangat erat kaitannya dengan pelaksanaan ibadah, sebagaimana kegiatan utama dari ilmu falak praktis yaitu: hisab rukyat waktu salat, hisab rukyat arah kiblat, hisab rukyat waktu puasa, haji dan sebagainya, serta hisab rukyat waktu gerhana. Pada abad-abad pertengahan, perkembangan ilmu falak turut menandai majunya perkembangan peradaban Islam di tengahtengah kegelapan dunia Barat. Perkembangan ilmu falak tersebut didukung oleh berdirinya teropong-teropong bintang yang menjadi semacam laboratorium yang melibatkan banyak ilmuan dan pemerintah di berbagai negara Muslim.12 Namun pada abad-abad berikutnya sampai abad dua puluhan ilmu falak telah menjadi langka, jarang diwacanakan. Hal itu mungkin disebabkan oleh perkembangan astronomi modern dan rumitnya perhitungan (hisab)nya, sehingga kurang sekali pelajar dan mahasiswa yang tertarik mempelajari ilmu tersebut. Padahal, sesungguhnya ilmu itu sangat penting, bukan saja karena dalam beberapa hal tetap sangat diperlukan, tetapi lebih dari itu juga memiliki makna yang sangat penting dalam mengapresiasi peradaban Islam. 13 Bukan saja dalam masalah ibadah, tetapi juga dalam masalah ekonomi, sosial, budaya dan sebagainya, dalam kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dengan fungsi dan kegunaan mempelajari ilmu falak dalam khazanah Islam 11
Ali Parman, Ilmu Falak, op. cit., h. 5.
12
Lihat Salamun Ibrahim, Ilmu Falak: Cara Mengetahui Awal Waktu, Awal Bulan, Arah Kiblat, Musim dan Perbedaan Waktu (Cet. II; Surabaya: Pustaka Progressif, 2000), h. v. 13
Ibid.
seperti dapat menambah kualitas iman dan keyakinan seseorang terhadap Allah swt. sehingga secara khusus Ali bin Abi Thalib ra. pernah memberikan pernyataan tentang pentingnya ilmu falak sebagai berikut: ― اٌ ِإ ْصدَا ُد ِب ِّ ِإ ْي ًَاًَا َ ََي ٍْ ا ْقب ِ ظ ِع ْه ًًا يٍَِ انُُّج ُِى ِي ٍْ َد ًَهَ ِت ْانقُشْ َء ― ‖ َٔيَقِ ْيًُاBarangsiapa mempelajari ilmu pengetahuan tentang bintang-bintang (ilmu falak) sedangkan ia dari orang yang sudah memahami al-Qur‘an, niscaya bertambahlah iman dan keyakinannya‖.14 Kemudian para ulama memberikan justifikasi tentang pentingnya dan mulianya ilmu falak, sebagaimana yang dinyatakan antara lain oleh Syekh al-Ahsyri dalam syairnya yang berbunyi: ―Ketahuilah, bahwasanya ilmu nujum (perbintangan) itu adalah ilmu yang mulia, tidak terlarang. Oleh karena dengan ilmu itu dapat diketahui waktu, umpamanya fajar, sahur, dan jam. Begitulah dengan ilmu itu orang ‗abid dapat membagi waktu ibadahnya‖.15 Para ulama sepakat bahwa ilmu falak secara fungsional menjadi waşilah atau alat untuk dapat menjalankan ibadah secara tepat, benar, dan sah. Karena keberadaan ilmu falak sebagai waāilah atau sarana (alat) untuk tepat, benar, dan sahnya suatu ibadah, maka kedudukan hukumnya pun menjadi sepadan dengan hukum ibadah tersebut. Sebagaimana dalam sebuah qaidah fiqhiyah yang berbunyi ― َيااَ يَ ِخ ُّى ْان َٕا ِ ِإاَّال ِب ِّ َُْٔ َٕ َٔا ِ ٌب ‖ yang artinya ―Sesuatu yang perkara wajib itu bisa sempurna hanya dengannya maka sesuatu itupun menjadi perkara yang wajib pula‖.16 Selama umat Islam masih sadar dan merasa berkewajiban melaksanakan ibadah salat, puasa, zakat, haji dan sebagainya, maka selama itu pula umat Islam menghajatkan perhitungan waktu, hari, tanggal, dan bulan. Dengan dihajatkannya perhitungan tersebut, maka umat Islam 14
Lihat Susiknan Azhari, Ilmu Falak: Teori dan Praktek (Cet. I; Yogyakarta: Lazuardi, 2001), h. 6. 15 16
Ibid.
Moh. Murtadho, Ilmu Falak Praktis, op. cit., h. 15 – 16..
104 Al Ahkam, Vol V. No. 2. Desember 2015
menghajatkannya pula perhitungan berdasarkan ilmu falak. Namun tidak semua umat Islam dituntut untuk mempu menghitung sendiri dengan perhitungan tersebut sebab kewajiban itu merupakan kewajiban kifayah (kolektif). Bagi daerah-daerah di mana telah tercantum dalam daftar waktu-waktu salat, arah kiblat dan sebagainya yang sudah beredar atau dalam buku-buku yang dapat dipedomani umat Islam, tentu kemusykilan tersebut dapat segera diatasi, tetapi untuk daerah-daerah yang belum tercantum itu, tentunya mengharuskan untuk melakukan perhitungan tersendiri, yang memerlukan pengetahuan ilmu falak.
terdapat di dalam beberapa kamus dan ensiklopedi sebagai berikut: Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata ―kiblat‖ diartikan ‗arah ke Ka‘bah di Mekah (pada waktu salat).23 Dalam al-Qur‘an al-Karīm, kata kiblat digunakan dalam dua pengertian, yaitu: arah dan tempat salat. Pertama, kata kiblat dalam pengertian arah, terdapat dalam firman Allah swt. seperti Q.S. al-Baqarah/2: 142 yang berbunyi:
Pengertian Arah Kiblat
Kedua, kata kiblat dalam pengertian tempat salat, terdapat dalam firman Allah swt. seperti Q.S. Yunus/10: 87 yang berbunyi:
―Arah kiblat‖ terdiri dari dua kata yaitu ―arah‖ dan ―kiblat‖. Secara harfiyah, kata ―arah‖ dalam bahasa Arab disebut 17 ― ”ٔ ْ َٓتٌب , yang dalam bahasa Inggris ِ dikenal dengan ―direction‖18 yang berarti jarak terdekat diukur melalui lingkaran besar.19 Sedangkan kata ―kiblat‖ (al-qiblah) dalam bahasa Arab yang terambil dari kata ―qabala – yaqbalu‖ berarti ―menghadap‖20 atau berarti ―arah‖, dan yang dimaksud ―arah‖ di sini adalah ―arah ke Ka‘bah‖. 21 Kemudian Syekh Abu Bakar al-Dimyathi menjelaskan bahwa arti ―kiblat‖ adalah - " " ― ٔانقبهت في انهغت انجٓت ٔانًشاد ُْا انكعبتkiblat menurut bahasa berarti arah, yang dimaksud di sini adalah Ka‘bah‖. 22 Seperti yang 17
Achmad Warson Munwwir, Muhammad Faiuz, Al-Munawwir Kamus Indonesia – Arab (Cet. I; Surabaya: Pustaka Progressif, 2007), h. 18
Wojowasito, Poerwadarminta, Kamus Lengkap: Inggris - Indonesia, Indonesia – Ingris (Cet. 10; Bandung: Hasta, 1980, h. 31. 19
Susiknan Azhari, Ensiklopedi Hisab Rukyat (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 25. 20
Susiknan Azhari, Ilmu Falak: Teori dan Praktik (Cet. I; Yogyakarta: Lazuardi, 2001), h. 49.
Kata kiblat yang berarti Ka‘bah itu berdasarkan sabda Rasulullah saw. dalam hadis riwayat Imam Bukhari yang berbunyi: ُ َد َّالذ ثََُا إِ ْع َذ أَ ْخبَ َشََا: ق ِ َد َّالذ ثَُا َع ْب ُذ ان َّالش َّالصا: ق بٍُْ ََصْ ٍش قَا َل ُ ْ َع ًِع: اء قَا َل نَ َّالًا: ظ قَا َل ٍ َ أبٍُْ ُ َش ْي ٍ ع ٍَْ َع ٍ ج ا ْبٍَ َعبَّال َد َخ َم انَُّالبِ ُّي صم هللا عهيّ ٔعهى ْانبَيْجَ َدعَا فِ ْي ََ َٕا ِد ْي ِّ ُكهَِّٓا ص ِّم َدخَّالٗ َخ َش َج ِي ُُّْ فَهَ َّالًا َخ َش َج َس َك َع َس َك َعخَي ٍِْ فِ ْي قُب ُِم َ َُٔنَ ْى ي 24 ُ .) ْانكَعْ بَ ِت َٔقَا َل ( َْ ِز ِِ ْانقِ ْبهَت Artinya: Diberitakan kepada kami oleh Ishaq bin Naşir, mereka berkata: diberitakan kepada kami oleh Abdurrazak, mereka berkata: diberitakan kepada kami oleh Ibnu Juraij, dari Aţo berkata: saya mendengar Ibnu Abbas berkata bahwasanya: tatkala Nabi Muhammad saw. masuk dalam Ka‘bah, dia berdoa pada setiap
21
Moh. Murtadho, Ilmu Falak Praktis (Cet. I; Malang: UIN Malang Press, 2008), h.123. 22
Abu Bakar al-Dimyathi, I‟anah alŢālibīn (Juz II; Mesir: Muşţafah al-Bab alHalabi, 1342 H.), h. 123.
23
Departeman P & K. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi ke 2 (Cet. IX; Jakarta: Balai Pustaka: 1999), h. 499. 24
Imam Bukhāri, Şahīh Bukhāri (Juz ; Baerut: Sudan, 2001 M/1422 H), h. 145.
H. M. Thayyib Kaddase, Arahan Islam tentang Arah Kiblat…..105
sisinya, dan dia tidak salat sampai keluar dari padanya, maka tatkala keluar dari dalam Ka‘bah dia ruku dua rakaat di depan Ka‘bah, dan berkata inilah kiblat.
Sedangkan kata ―arah kiblat‖ yang berarti ―jarak terdekat yang diukur melalui lingkaran besar pada permukaan bumi yang menghubungkan titik tempat dilaksanakannya salat dengan titik letak geografis Ka‘bah‖.25 Dan ―Jihat al-Qiblah‖ (bahasa Arab) yang berarti ―arah kiblat‖ itu adalah yang ―dinyatakan dengan besarnya sudut dari salah satu arah mata angin yang terdekat yang dalam astronomi besarnya sudut dinyatakan azimut”.26 Adapun kata ―kiblat‖ menurut istilah (terminologi), para ulama memberikan pengertian dengan redaksi yang bervariasi. Sebagian ahli falak yang memberikan pengertian arah kiblat dengan paradigma bumi sebagai planet yang bulat sehingga seseorang yang menghadap kiblat hendaknya mengambil arah yang paling dekat. Hal ini didasarkan pada teori bumi bulat yang implikasinya ―menghadap‖ dan ―membelakang‖ itu sama, yang membedakan hanyalah jarak tempuhnya,27 dalam hal ini ―yang paling dekat‖. Dari berbagai definisi dan atau penjelasan yang dikemukakan di atas, maka dapat pula dirumuskan secara sederhana pengertian arah kiblat tersebut, yaitu ―suatu arah lurus dan terdekat di suatu tempat menuju Ka‘bah di Mekah yang wajib dihadapi bagi setiap umat Islam dalam melaksanakan salat, dan ibadah lainnya yang disyariahkan dalam Islam.
Dasar Hukum Menghadap Kiblat Waktu Salat 1.
Dasar Hukum dari al-Qur’ān Banyak ayat al-Qur‘an yang menjelaskan mengenai hukum menghadap kiblat, antara lain: QS. al-Baqarah (2): 142, 144, 149, 150, yang berbunyi: 25
Susiknan Azhari, Ensiklopedi Hisab Rukyat, op. cit., h. 72. 26 27
Ibid., h. 136.
Lihat Moh. Murtadho, Ilmu Falak Praktis, op. cit., h. 125.
Dasar Hukum dari Sunnah (Hadis) Hadis Rasulullah saw. yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Bara‘a yang berbunyi: ٍَْ َ ًِ ْيعًا ع.َد َّالذ ثََُا ُي َذ َّالً ُذ بٍُْ ْان ًُ ََُّالٗ َٔأَبُٕبَ ْك ِش بٍُْ ُخ َّال ٍد َد َّالذ. ٌَي بٍُْ َع ِع ْي ٍذ ع ٍَْ ُع ْيَا َ ْ َد َّالذ ثََُا يَذ: ٗ قَا َل ابٍُْ ْان ًُ ََُّال.ي َ ْيَذ ُ ْ َع ًِع:ق قَا َل صهَّال ْيَُا َي َع َ ثَ ُِٗ أَبُٕ ِإ ْع َذ َ : ج ْانبَ َشا َء يَقُٕ ُل َط ِعخَّالتَ َع َش َش َش ْٓشًا أَْٔ َع ْب َعت ِ َسعُْٕ ِل َّال ِ ََذْ َٕ بَيْجَ ْان ًَ ْق ِذ.هللا صهى . ُش ْفَُا ََذْ َٕ ْانكَعْ بَ ِت ِ ثُ َّالى ص.َش ْٓشًا
28
Artinya: ―Muhammad bin Musanna‘ bersama Abubakar bin Khullad memberitakan kepada kami, dari Yahya. Berkata Ibnu Musanna‘ Yahya bin Said dari Sufyan memberitakan kepada kami dari Sufyan. Kemudian Ibnu Ishaq memberitakan kepada saya, lalu Abu Ishaq berkata: bahwasanya kami salat ber28
Imam Muslim, Şahih Muslim (Juz I; t.t.: Maţba‟ah Dār Ahyā al-Kitāb al-Arabiyah, 1336 H/1918 M.), h. 374.
106 Al Ahkam, Vol V. No. 2. Desember 2015
sama Rasulullah saw. menghadap Bait al-Maqdis selama 16 bulan atau 17 bulan. Kemudian kami diperintahkan berpaling/menghadap kearah Ka‘bah‖.29
ْ َ فََُ َضن. ط ٖ قَ ْذ ََ َش: ج ِ صهِّٗ ََذْ َٕبَ ْي َ َُعهَ ْي ِّ َٔ َعهَّال َى َكاٌَ ي ِ ج ْان ًَ ْق ِذ
Hadis Rasulullah saw. yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari sahabatnya Ibnu Umar yang berbunyi:
َ أَا: َٖ فََُا د. ًصهُّْٕ ا َس َك َعت ُس ُكْٕ ٌب َ َٔ قَ ْذ. ص َ ِة ْان َجْ ِش َ ع فِي
َد َّالذ. َد َّالذ ثََُا َع ْب ُذ ْان َع ِضي ِْض بٍُْ ُي ْغهِ ٍى. َد َّالذ ثََُا َش ْيبَاٌُ بٍُْ فَشُّ ْٔ َر ٍُْ ح َٔ َد َّالذ ثََُا قُخَ ْيبَتُ ب. َاس ع ٍَِ اب ٍِْ ُع ًَ َش ِ ثََُا َع ْب ُذ ٍ ُهللا بٍُْ ِد ْي ظ ع ٍَْ َع ْب ِذ هللاِ ب ٍِْ ِد ٍ ََََع ِع ْي ٍذ ( َٔانهَّال ْ ُ نَُّ) ع ٍَْ َيانِ ِك ب ٍِْ أ ْخ َ ِٗ بً ْيَُ ًَا انَُّالاطُ ف: َاس ع ٍَِ ا ب ٍِْ ُع ًَ َش ؛ قَا َل ٍ َ ِ ص َ ِة انصُّ ب َٔ ِّ صهَّالٗ هللاُ َعهَ ْي ٍ َاء إِ ْر َ ا َء ْ ُْى آ ٍ َبِقُب َ ِ إٌَِّال َسعُْٕ َل هللا: ث فَقَا َل َ َٔ قَ ْذ أُ ِي َش أَ ٌْ يَ ْغَُ ْقبِ َم ْانكَعْ بَت. ََعهَّال ْى قَ ْذ أُ َْ ِض َل َعهَ ْي ِّ انَّاله ْيهَت ْ َ َٔكَا. فَ ْغخَ ْقبِهُْٕ اَْا َٗ فَ ْغخَذَاسُْٔ ا إِن. َج ُٔ ُْٕ ُْٓ ُْى إِنَٗ ان َّالش ِاو 30
. ْانكَعْ بَ ِت
Artinya: ―Syaiban ibn Farrukh memberitakan kepada kami, ―Abdul ‗Aziz ibn Muslim memberitakan kepada kami. Abdul ibn Dinar dari ibn Umar. Dan Qutaibah ibn Said memberitakan kepada kami (dan lafaz baginya) dari Malik ibn Anas, dari Andullah ibn Dinar, dari Ibn Umar; berkara: Segolongan manusia sementara melaksanakan salat subuh di Quba‘, ketika itu datang kepada mereka, maka berkata (Ibnu Umar) Sesungguhnya Rasulullah saw. diturunkan kepadanya (ayat al-Qur‘an) semalam, dan sungguh diperintahkan untuk menghadap ke Ka‘bah, maka menghadaplah kepadanya, dan mereka menghadapkan wajah mereka ke arah negeri Syam. maka mereka sama mengarah ke Ka‘bah‖.31 Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Tsabit bin Anas, beliau bersabda: َد َّالذ ثََُا َد َّالًا. ٌُ َد َّالذ ثََُا َع َّالا. ََد ًّذ ثًُِٗ أَ بُْٕ بَ ْك ِش بٍُْ أَ بِ ْٗ َش ْيبَت ُصهَّالٗ هللا ٍ ُِد بٍُْ َعهَ ًَتَ ع ٍَْ ثَا ب َ ِ أٌََّال َسعُْٕ َل هللا: ظ ٍ ََ َ ع ٍَْ أ. ج 29
Penulis.
30
Ibid., h. 375.
31
Ibid,
ك َ َٓ ْ َٔ ضاَْا فَ َٕ ِّل َ اء فَهَُُ َٕ نِّيََُّال َ ِٓ ْ َٔ َ ُّحَقَه َ ْك قِ ْبهَتً حَش ِ ًَ ك فِ ْي ان َّالغ فَ ًَ َّالش َس ُْٕ ٌبل ِي ٍْ بُِ ْي َعهَ ًَتَ َْٔ ُْى... ْج ِذ ْان َذ َش ِاو ِ َش ْ َش ْان ًَغ ْ َإٌَِّال ْانقِ ْبهَتَ قَ ْذ َد َّالٕن .ج فَ ًَا نُْٕ ا َك ًَا ْ ُْى ََذْ َٕ ْانقِ ْبهَ ِت
32
Artinya: ―Diceriterakan kepada saya oleh Abu Bakar ibnu abi Syaibah. Diceritrakan kepada kami oleh Affan. Diceritrakan kepada kami oleh Hammad ibnu Salamah dari Sabit, dari Anas: Bahwa sesungguhnya Rasulullah saw. (pada suatu hari) sedang salat dengan menghadap Bait al-Maqdis, kemdian turunlah ayat ―Sesungguhnya Aku melihat mukamu sering menghadap ke langit, maka sungguh Kami palingkan mukamu ke kiblat yang kamu kehendaki. Palingkanlah mukamu ke arah Masjid al-Haram‖. Kemudian ada seseorang dari Bani Salamah bepergian, menjumpai sekelompok sahabat sedang ruku‘ pada salah fajar. Lalu ia menyeru ―sesunggunhnya kiblat telah berubah‖. Lalu mereka berpaling seperti kelompok Nabi, yakni ke arah kiblat.33 Ayat dan hadis sebagai dasar hukum di atas sudah cukup kuat dijadikan patron yang sangat jelas bagi umat Islam untuk mengalihkan arah kiblat ke Ka‘bah dalam melaksanakan salat, tidak lagi ke arah selain arah ke Ka‘bah di Masjid al-Haram Mekah. H.M. Quraish Shihab pakar tafsir dalam Tafsir al-Misbah menyatakan bahwa ―Demikian ayat-ayat ini mengakhiri uraian tentang pengalihan kiblat dari Masjid alAqsha di Palestina, ke Ka‘bah di Masjid alHaram Makah‖.34 Ayat-ayat dan hadis-hadis 32
Ibid.
33
Moh. Murtadho, Ilmu Falak Praktis, op. cit., h. 132. 34
H.M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‟an, Volume 1, Jilid I; Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 472. Selanjutnya dalam Tafsir tersebut dijelaskan bahwa ayat-ayat yang membicarakannya secara langsung cukup panjang dan banyak. Ini antara lain disebabkan pengalihan kiblat dinilai sebagai
H. M. Thayyib Kaddase, Arahan Islam tentang Arah Kiblat…..107
itu dengan tegas memerintahkan untuk menghadap ke Ka‘bah dalam melaksanakan salat. Para ulama (fuqaha) telah sepakat berpendapat bahwa perintah seperti itu menunjukkan kewajiban dan mentaatinya adalah suatu ibadah atau bernilai pahala di sisi Allah swt. dan apabila tidak mentaatinya maka merupakan suatu pengingkaran serta bernilai dosa di sisi Allah swt. Sebagaimana ditegaskan Allah swt. dalam QS. al-Nisa‘ (4): 13 dan 14. Sejarah Arah Kiblat Perubahan arah kiblat dari Bait alMaqdis ke Ka‘bah di Masjid al-Haram Mekah terjadi pada saat Rasulullah saw. telah berada di wilayah Madinah alMunawwarah yaitu pada tahun ke dua hijriyah. Menurut suatu riwayat pada bulan ke 16 atau ke 17 dari hijrahnya Rasulullah saw. dari Mekah ke Madinah.35 Perubahan kiblat itu didasarkan pada perintah Allah swt. kepada Rasulullah saw. dalam Q.S. alBaqarah (2): 144 yang berbunyi: Sebelum turunnya ayat 144 di atas, Rasulullah saw. berkiblat ke Bait al-Maqdis di Yerusalem Palestina, namun dengan turunnya ayat yang memerintahkan Rasululllah saw. itu, barulah beliau merubah persoalan pertama yang dibatalkan hukumnya oleh al-Qur‘an. Pembatalan sesuatu yang sebelumnya direstui itu boleh jadi meresahkan umat Islam apalagi ia berkaitan dengan ibadah salat yang merupakan tiang agama. Di sisi lain, pembatalan ini juga menimbulkan keberatan dan keritik kaum Yahudi dan kaum musyrikin. Faktor-faktor itulah yang mengundang al-Qur‘an berbicara panjang lebar, antara lain menjelaskan, mengingatkan, mengancam dan menjanjikan, mengajukan dalil, dan menampik keberatan. 35
Lihat Imam Bukhāri, Şahih Bukhāri, op. cit., h. 145, dan Imam Muslim, Şahih Muslim, op. cit., h. 374.
haluan berkiblat ke Ka‘bah di Mesjid alHaram Mekah al-Mukarramah. Di mana pada saat Rasulullah saw. bersama sebagian umat Islam sedang melaksanakan salat zuhur di masjid Bani Salamah, yakni baru saja melaksanakan dua rakaat pertama dari salat mereka menghadap ke Bait al-Maqdis turunlah ayat perintah itu, kemudian Rasulullah saw. bersama makmumnya langsung merubah arah kiblat ke Ka‘bah, dengan menghadap ke arah Ka‘bah dalam dua rakaat terakhir dari salat mereka. Sehingga Masjid Bani Salamat itu kemudian disebut dengan ―Masjid Kiblatain‖ yang berarti Masjid Dua Kiblat. Rasulullah saw. dalam menentukan arah kiblat suatu tempat/wilayah telah menempuh langkah-langkah (metode) berikut: Sebelum Rasulullah saw. Menentukan sikap untuk menentukan arah kiblat ke Ka‘bah di Masjid al-Haram Mekah terlebih dahulu memohon petunjuk dari Allah swt. dengan berdoa dan sangat mengharap pada Allah swt. setelah doanya dikabulkan dengan turunnya ayat 144 dalam Q.S. alBaqarah (2), Rasulullah saw. memalingkan wajahnya menghadap ke arah Ka‘bah di Mekah al-Mukarramah dengan menggunakan suara hati nuraninya, dalam praktiknya menggunakan perkiraan yang didasari suara hatinya. Dalam hal ini tentu Rasulullah saw. sebagai utusan Allah swt yang dijuluki ―ma‟sum‖ dalam arti ―terpelihara dari berbagai kesalahan atau kekeliruan‖ dan ―alamin” dalam arti “yang dapat dipercaya‖. Jadi wajar dapat diakui keakuratan dari sikap perkiraannya dalam menentukan arah kiblat itu sebagai suatu kebenaran. Selanjutnya, dengan perintah Allah swt. kepada Rasulullah saw. dan umat Islam ketika melaksanakan salat supaya menghadap ke satu arah, yaitu ke Ka‘bah di Masjid al-Haram di Mekah itu. Maka di samping Rasulullah saw. memerintahkan umatnya untuk menghadap ke arah tersebut dalam setiap melaksanakan salat, juga Rasulullah saw. memerintahkan kepada umatnya untuk mengarahkan bangunan masjid ke satu arah yaitu ke Ka‘bah. Seperti pada pembangunan Masjid Shan‘a di Yaman. Dalam Ensiklopedia Mukjizat alQur‘an dan Hadis dijelaskan tentang
108 Al Ahkam, Vol V. No. 2. Desember 2015
pembangunan masjid Shan‘a, antara lain sebagai berikut, bahwa: untuk pembangunan masjid Shan‘a, Rasulullah saw. memerintahkan kepada Wabar bin Yuhnas (salah seorang arsitek di saat itu) yang diutus ke wilayah Shan‘a untuk membangun sebuah masjid bagi mereka, yang kemudian dikenal dengan nama Masjid Shan‘a. Di Madinah Rasulullah saw. (mendesain) menentukan batas-batas masjid secara deskriptif, menentukan letak bangunan masjid, menentukan sebuah tanda arah kiblatnya dengan jelas yaitu Gunung Dhain yang jaraknya dari Shan‘a sekitar 30 km, sedang jarak antara Gunung Dhain dengan Mekah sekitar 785 km. Dengan ditentukannya Gunung Dhain itu, bagi mereka kemudian menentukan sudut miring antara letak masjid (Shan‘a) dan gunung, sebagaimana yang Rasulullah saw. tentukan batasannya sebagai kiblat masjid. Setelah Rasulullah saw. terjun langsung dalam menentukan batas-batas tanah tempat mendirikan masjid secara deskriptif, dari sisi tata letaknya, sudut kemiringan ke arah Ka‘bah dan arah kiblat masjid yang dihubungkan pada Ka‘bah, maka tidak diragukan lagi bahwa arahan beliau yang menjadi suatu kenyataan itu, akan menjadi kajian yang agak rumit. Oleh karena itu, penduduk Yaman hingga saat ini menganggap bahwa Masjid Shan‘a merupakan masjid yang paling utama di Yaman, sebab ia dibangun sesuai dengan panduan dan deskripsi dari Rasulullah saw. Dengan deskripsi dari Rasulullah saw. itu, kiblat masjid tersebut dibuat garis yang lurus mulai dari letak bangunan Masjid Shan‘a di Yaman sampai ke Ka‘bah di Masjid alHaram Mekah. Hukum Menghadap Kiblat Ketika Salat Naş-naş al-Qur‘an dan Sunnah tentang arah kiblat seperti diungkapkan di atas yang menganjurkan/memerintahkan untuk menghadap kiblat (syaţral masjid alHarām) utamanya dalam melaksanakan salat mengindikasikan bahwa menghadap kiblat merupakan salah satu syarat sahnya salat. Sehingga jika seseorang melenceng dari arah kiblat ketika salat, maka salatnya menjadi tidak sah. Suatu kaidah, dalam kaidah uşl fiqh yang berbunyi: ُ ِ َيا اَ يَخِ ُّى ْان َٕا
ِإاَّال ِب ِّ فَُٓ َٕ َٔا ِ ٌب,36 ―Suatu perkara yang tidak sempurna tanpa terpenuhinya syarat maka syarat itu menjadi wajib‖, serta kaidah uşl fiqh yang senada yang berbunyi: ِٗأَ َاَصْ ُم ف ِ ُْٕ ُٕ ― ْاا َْي ِش نِ ْهPada dasarnya perintah itu menunjukkan wajib‖, 37 dimaksudkan bahwa perintah terhadap sesuatu untuk melaksanakan yang wajib berarti perintah juga terhadap perantaranya/waşilahnya. Dalam konteks ini maka menghadap kiblat merupakan suatu perantara untuk dapat mendirikan salat. Karena mendirikan salat hukumnya wajib, maka segala sesuatu yang merupakan perantara untuk bisa melaksanakan salat hukumnya wajib untuk dikerjakan. 38 Dalam hal ini, melaksanakan salat hukumnya wajib menghadap ke kiblat (Ka‘bah/Masjid al-Haram di Mekah). Selain dari ayat-ayat al-Qur‘an dan hadis-hadis Rasulullah saw. yang menjadi dasar hukum tentang menghadap kiblat dalam melaksanakan ibadah, seperti salat, juga para mujtahid (fuqaha) atau para ulama sepakat bahwa hukum menghadap kiblat dalam melaksanakan ibadah salat adalah wajib, sebagaimana syarat sahnya salat yang lain seperti taharah (wudhu) menutup aurat, dan pada waktunya yang telah ditetapkan secara syar‘i. Berdasarkan beberapa naş dan pendapat para ahli mengenai dasar-dasar hukum menghadap kiblat tersebut, maka dapat disimpulkan, ada dua tinjauan dari segi kuat tidaknya persangkan seseorang menghadap kiblat,39 yaitu: 1. Menghadap kiblat secara pasti yang biasa disebut ―kiblat bil yakin‖, yaitu menghadap ke kiblat dengan penuh keyakinan bagi yang berada di dalam 36
Ibnu Abu Bakar As-Suyuti, Abdurrahman, Al-Alsybah wa al-Nadzir (Indonesia: Dār Ihya‘ Al-Kutb Al-Arabiyah, t. th.), h. 116. 37
Djazuli dan Nurol Aen, Uşl Fiqh: Metodologi Hukum Islam (Cet. I; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), h. 392. 38
Lihat Ahmad Izzuddun, Menentukan Arah Kiblat Praktis (Cet. I; Semarang: Walisongo Press, 2010), h. 4. 39
Lihat Ahmad Izzuddin, Arah Kiblat Praktis, op. cit., h. 16
Menentukan
H. M. Thayyib Kaddase, Arahan Islam tentang Arah Kiblat…..109
2.
Masjid al-Haram dan melihat langsung Ka‘bah. Ini disebut pula dengan menghadap langsung ke Ka‘bah yang disebut ‗Ain al-Ka‟bah. Seperti pendapat dari Syafi‘iyah dan Hanabilah yang dikutip oleh Muhammad ‗Ali Şabūni yang berbunyi ― ٌّ َفَ َزَْ َ ان َّالشافِ ِعيّتُ َٔ ْان َذَُا ِبهَتُ ِإنَٗ أ 40 .‖ ان َٕا ِ َ ا ْع ُِ ْقبَا َل َعيٍُْ ْانكَعْ بَ ِت Menghadap kiblat dengan ijtihad yang biasa disebut ―kiblat bil ijtihad‖, yaitu menghadap kiblat dengan ber-ijtihad lebih dahulu, adalah ketika seseorang yang berada jauh dari Ka‘bah atau berada di luar Masjid al-Haram, atau di luar Mekah sehingga tidak dapat melihat langsung bangunan Ka‘bah, maka mereka wajib menghadap paling tidak ke arah Masjid al-Haram dengan maksud menghadap ke arah Ka‘bah, yang disebut pula dengan Jihat alKa‟bah.41 Seperti pendapat dari Hanafiyah dan Malikiyah, yang dikutip oleh Muhammad ‗Ali Sabuni yang berbunyi ―42. فَ َزَْ َ ْان َذَُ ِيَّالتُ َٔ ْان ًَانِ ِكيَّالتُ إِنَٗ أٌََّال ‖ان َٕا ِ َ ا ْعُِ ْقبَا َل ِ َٓتُ ْانكَعْ بَ ِتKemudian Muhammad‗Ali Sabuni mengatakan bahwa kedua perbedaan pendapat itu hanya secara teknis, sebagaimana pernyataannya yang berbunyi sebagai berikut:
ٍِْ َٔبَ ْع َذ َْ َزا يَكَََ ا ُد بَ ُكْٕ ٌُ ْان ِخ َ فُ بَ ْيٍَ ْان َ ِش ْيقَي 43 .‖ َش َك ِهيًا Menghadap kiblat dengan jalan ijtihad (bil ijtihadi) di antaranya dapat dilakukan dengan menggunakan bayangan matahari, perhitungan rumus segitiga bola, maupun dengan menggunakan peralatan modern, 40
Muhammad ‗Ali al-Şabūni, Tafsir Ayāt al-Ahkām min al-Qur‟ān, (Juz I, Cet. III; Damasyq Suriyah: Maktabah al-Gazaliy,1980), h. 124. 41
Lihat Ahmad Izzuddin, Menentukan Arah Kiblat Praktis, loc. cit. 41
Muhammad ‗Ali al-Şabūni, Tafsir Ayāt al-Ahkām min al-Qur‘ān, loc. cit. 42
Ahmad Izzuddin, Kiblat Praktis, loc. cit. 43
Menentukan Arah
Muhammad ‗Ali al-Şabūni, Tafsir Ayāt al-Ahkām min al-Qur‘ān, op. cit., h.127.
seperti kompas, theodolit, rubu‟ muzayyab, dan sebagainya. Daerah atau tempat yang jauh dari Mekah, seperti di Kota Palopo arah kiblatnya dapat pula ditentukan melalui hisab (perhitungan) ilmu falak atau astronomi serta bantuan pengukurannya menggunakan peralatan modern. Dengan langkah-langkah dan penggunaan alat-alat modern tersebut kita bisa menentukan arah kiblat yang kita harapkan yang tepat dan persis arahnya, yang pada akhirnya keyakinan akan menghadap ke arah kiblat yang sebenarnya semakin mantap (haq al-yaqīn), sehingga dapat menambah keyakinan dan kekhusyu‘an dalam salat, dengan pertimbangan ilmu dan keyakinan bahwa menghadap kiblat dalam melaksana-kan salat adalah perintah wajib, sekaligus sebagai salah satu syarat sahnya pelaksanaan salat. Reference Abdullah Gofar, ―Menggagas Hukum Islam Berwawasan Indonesia dalam Pendekatan Politik Hukum‖ Mimbar Hukum, Aktualisasi Hukum Islam, No. 45 Tahun X (1999) Abu Bakar al-Dimyathi, I‟anah al-Ţālibīn (Juz II; Mesir: Muşţafah al-Bab alHalabi, 1342 H.). Achmad Warson Munwwir, Muhammad Faiuz, Al-Munawwir Kamus Indonesia – Arab (Cet. I; Surabaya: Pustaka Progressif, 2007). Ahmad Izzuddun, Menentukan Arah Kiblat Praktis (Cet. I; Semarang: Walisongo Press, 2010). Ali Parman, Ilmu Falak (Makassar: Berkah Utami, 2001). Anderson, Islamic Law in the Modern World, diterjemahkan oleh Machnun Husein dengan judul Hukum Islam di Dunia Modern, Edisi Revisi (Cet. I; Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1994). Badan Hisab & Rukyat Departemen Agama R.I., Almanak Hisab Rukyat (Jakarta: Proyek Pembinaan Badan Perdilan Agama Islam, 1981).
110 Al Ahkam, Vol V. No. 2. Desember 2015
Departeman P & K. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi ke 2 (Cet. IX; Jakarta: Balai Pustaka: 1999). Djazuli
dan Nurol Aen, Uşl Fiqh: Metodologi Hukum Islam (Cet. I; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000).
H.M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian alQur‟an, Volume 1, Jilid I; Jakarta: Lentera Hati, 2002). Hisham
Thalbah, et.al., Ensiklopedia Mukjizat al-Qur‟an dan Hadis, Jilid I (Cet. I; Bekasi: Sapta Santoro, 2008).
Ibnu Abu Bakar As-Suyuti, Abdurrahman, Al-Alsybah wa al-Na©±ir (Indonesia: Dār Ihya‘ Al-Kutb AlArabiyah, t. th.). Imam Bukhāri, Şahīh Bukhāri (Juz ; Baerut: Sudan, 2001 M/1422 H). Imam Muslim, Şa¥ī¥ Muslim (Juz I; t.t.: Maţba‟ah Dār Ahyā al-Kitāb alArabiyah, 1336 H/1918 M.). Ma‘ruf
Amin, Fatwa Majelis UIama Indonesia (Jakarta: detiknews, Rabu 14/7/2010).
Moh. Murtadho, Ilmu Falak Praktis (Cet. I; Malang: UIN Malang Press, 2008). Muhammad ‗Ali al-Şabūni, Tafsir Ayāt alAhkām min al-Qur‟ān, (Juz I, Cet.
III; Damasyq Suriyah: Maktabah alGazaliy,1980). Muhammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996). Muhyiddin Khazin, Kebijakan Pemerintah Dalam Hisab Rukyat, dipresentasikan pada Orientasi Hisab Rukyat PTAI Seluruh Indonesia (Bogor: 11 April 2011). Salamun Ibrahim, Ilmu Falak: Cara Mengetahui Awal Waktu, Awal Bulan, Arah Kiblat, Musim dan Perbedaan Waktu (Cet. II; Surabaya: Pustaka Progressif, 2000). Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, terjemahan Mahyuddin Syaf dengan judul Fikih Sunnah, Jilid I (Cet. X; Bandung: Al-Ma‘arif. 1990). Susiknan Azhari, Ensiklopedi Hisab Rukyat (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005). Susiknan Azhari, Ilmu Falak: Teori dan Praktik (Cet. I; Yogyakarta: Lazuardi, 2001). Wojowasito, Poerwadarminta, Kamus Lengkap: Inggris - Indonesia, Indonesia – Inggris (Cet. 10; Bandung: Hasta, 1980)