BAB III PROSES IJMA’ MENURUT ABDUL WAHAB KHALLAF DAN PROSES PENETAPAN HUKUM DALAM KOMISI FATWA MUI A. Abdul Wahab Khallaf 1. Biografi Abdul Wahab Khallaf Abdul Wahab Khallaf merupakan seorang merupakan seorang yang dikenal dikalangan akademis Islam terutama Fakultas Syari’ah, dikarenakan kitab fiqih karangan beliau banyak dijadikan referensi. Abdul Wahab Khallaf dilahirkan pada bulan maret di sebuah desa yang bernama khufruziyat. Beliau termasuk orang yang cerdas ini dibuktikan ketika mulai umur 12 tahun sudah hafal al-Qur’an.1 Setelah menghafal al-Qur’an, Abdul Wahab Khallaf melanjutkan studi dinegerinya sendiri. Pada umur 22 tahun beliau telah mendirikan sekolah hukum al-qadha’ al syar’i. Dan beliau mengajar disana. Sekolah tersebut resmi berdiri pada tahun 1915 dinegerinya sendiri. Ini merupakan titik tonggak beliau dalam karier intelektual. Pada tahun 1919 kebangkitan kebangsaannya atau berjuang untuk kemerdekaan bangsanya sendiri, sehingga dipaksa untuk meninggalkan madrasah yang telah ia bangun sendiri.2 Selanjutnya beliau menjadi qodi atau hakim pada mahkamah syari’ah pada tahun 1920. pada tahun berikutnya tepatnya 1924 beliau diangkat menjadi menteri di Badan Perwakafan
1 2
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, Quwait: Dar al-Qalam, 1992, hlm. 2. Ibid.
(sekarang). Karir di bidang pemerintahan tidak cukup lama, sehingga beliau memutuskan mengabdi di jalur pendidikan.3 Tahun 1931 merupakan tahun keemasan bagi beliau, pada waktu itu beliau m4enjadi seorang peneliti pada Mahkamah Syari’ah, setelah itu beliau juga diangkat menjadi dosen fakultas hak asasi manusia Universitas Kairo. Beliau mendapat gelar Profesor Mahkamah Syari’ah Kairo, pada tahun 1984.5 Selain mengajar dan aktif di Universitas Kairo beliau juga aktif mengajar diberbagai tempat lain diwilayah Mesir. Selain aktif dalam perkuliahan, beliau juga aktif diorganisasi sehingga ia sering berkunjung kenegara-negara arab dan membuat rencana tertentu yang masih langka. Sampai ketika beliau menjadi anggota perkumpulan bahasa Arab dan membuat Mu’jam al-Qur’an. Selain Mu’jam al-Qur’an, karya yang paling terkenal dihasilkan olehnya adalah Ilmu Ushul Fiqih, dan lain-lainnya. Selain itu masih banyak karya-karya yang berupa makalah yang terkumpul dan diterbitkan oleh majalah Qodho’ Al-Syar’i.6 Selain itu beliau juga mengumpulkan makalah yang berisikan kumpulan hadits tentang sosial agama, dan lain-lain. Pada tanggal 20 januari 1956 beliau wafat setelah satu tahun sakit.7 2. Konsep Ijma’ Menurut Abdul Wahab Khallaf a. Pengertian Ijma’ Dan Rukunnya
3
Ibid Ibid 5 Ibid., hlm.5. 6 Ibid 7 Ibid., hlm.45. 4
Dalam kitabnya Ilmu Ushul Fiqih, Abdul Wahab Khallaf mendefinisikan ijma’ adalah kesepakatan seluruh mujtahid muslim memutuskan suatu masalah sesudah wafatnya Rasulullah terhadap hukum syar’i pada suatu peristuiwa. Dari pengertian tersebut maka dapat diambil kesimpulan bahwa rukun ijma’ ada empat: Pertama, adanya kesepakatan yang bulat Kedua, mujtahid muslim mefokuskan diri pada permasalah tersebut Ketiga, kesepakatan itu dimulai dengan pemapaeran pendapat dari semua mujtahid. Keempat, kesepakatan itu harus bulat. b. Macam-macam ijma’ Menurut
Abdul
Wahab
Khallaf,
ditinjau
dari
segi
cara
menghasilkan hukum ijma’ itu ada dua macam, yaitu: Pertama, ijma’ syarih yaitu kesepakan mujtahid terhadap hukum mengenai suatu peristiwa secara bulat dan jelas. Masing-masing mujtahid bebas mengeluarkan pendapatnya. Hal ini jelas terlihat Kedua, ijma’ sukuti adalah sebagian mujtahid mengeluarkan pendapatnya dengan jelas dan sebagian lainnya mengeluarkan pendapatnya dengan samar, atau bahkan berdiam diri saja. Ijma’ sharih adalah ijma’ hakiki. Ini adalah hujjah syar’iyah dalam madzhab jumhur. Sedangkan
ijma’ sukuti atau ijma’ i’tibari masih
terdapat pertentangan dikalangan ulama fiqh, hal ini dikarenakan diamnya
seseorang itu belum tentu menyetujui. Jumhur ulama tidak menjadikan ijma’ sukuti sebagai hujjah dalam hukum. Sedangkan ulama hanafi berpendapat boleh dijadikan hujjah, bila mujtahid tersebut masih berdiam diri, tidak mengeluarkan pendapat. Selanjutnya ditinjau dari segi dalalah yang dihasilkan, ijma’ ada dua macam, yaitu:8 Pertama, ijma’ qath’i, yaitu ijma’ syarih yang berarti bahwa hukumnya diqath’i-kan olehnya. Tidak ada jalan bagi hukum suatu peristiwa, dengan adanya khilaf. Kedua, ijma’ dzanniy, yaitu ijma’ sukuti, karena tidak adanya dalil yang yang qath’i yang menunjukkan hukum masalah tersebut. Ijma’ dengan dalalah dzanniy ini masih bisa dibuat sebagai bahan untuk berijtihad dengan alasan belum ditemukan alasan yang meng-qath’i-kan.9 c. Kehujjahan ijma’ Ijma’ terjadi apabila, syarat-syarat yang telah ada terpenuhi, dengan gambaran-gambaran orang-orang yuang terdiri dari mujtahidmujtahid dunia Islam mewakili daerah, kelompok, dan paham yang berbeda-beda, bertemu pada suatu masa setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW, dengan tujuan untuk mengetahui sebuah hukum syara’ yang berkaitan dengan sebuah peristiwa yang terjadfi.setiap mujtahid memberikan pandangannya secara jelas (dengan sikap/ucapan), kemudian bersepakat menentukan sebuah hukum atas peristiwa tersebut. 8 9
Ibid., hlm. 56-57. Ibid., hlm.46.
Hukum tersebut yang telah disepakati ini menjadi Undang-Undang yang harus diikuti oleh seluruh umat Islam. Dan bagi mujtahid setelah masa itu dilarang untuk mengkajinya lagi sebagai sebuah kajian ijtihad.10 Adapun dalil-dalil yang menjadi argumentasi ijma’, adalah: 1. dalam al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 59, Allah memerintahkan orangorang mukmin untuk taat dan patuh pada Rasul-Nya dan ulil amri (pemimpin).11 Lafadz amri disini memiliki arti yang umum, mencakup urusan dunia dan agama. Penguasa dunia antara lain adalah para penguasa pemerintahan dan para wali. Sedangkan amri yang menguasai agama adalah para mujtahid dan ahli fatwa. Sebagian ahli tafsir menafsirkan bahwa ulil amri yang termasuk dalam masalah ini adalah ulama, sebagian lagi menafsirkan pemerintahan dan wali. Lebih tepatnya adalah tafsir yang memuat ketiga pengertian diatas, serta hal-hal yang mewajibkan bagi setiap individu untuk taat kepada ulil amri dalam setiap urusan. Ketika ulil amri telah bersepakat dalam penetapan hukum syara’ dan mereka
adalah
orang-orang
yang
bersungguh-sungguh
dalam
penggalian hukum, maka wajib untuk mengikuti, dan melestarikan hukum tersebut, berdasarkan nash al-Qur’an. Allah berfirman dalam surat an-Nisa’ ayat 83, yang artinya: “ Padahal kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri diantara mereka 10
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang: CV. Asy Syifa, 2000,
11
Ibid., hlm.72.
hlm. 69.
tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya darui mereka (Rasul dan ulil amri)”.12 Allah SWT mengancam orang-orang yang mengikuti selain dari jalan orang-orang yang beriman. 2. Hukum yang disepakati berdasarkan pandangan semua mujtahid dalam masyarakat, pada dasarnya adalah hukum yang disepakati umat. Banyak sekali yang menunjukkan dijaganya umat Islam dari kesalahan. d. Kemungkinan terjadinya ijma’ menurut pendapat sebagian ulama, diantaranya al-Nidzam dan beberapa ulama syi’ah, bahwa ijma’ yang tidak mencakup syarat-rukun ini biasanya tidak mungkin terjadi, karena sulit menetapkan rukun-rukun tersebut. Demikian juga tidak terdapat ukuran yang jelas mengenai siapa yang termasuk mujtahid dan siapa yang bukan, karena tidak ada kepastian hukum yang secara jelas mengaturnya. Ibnu hazm mengutip perkataan ibnu hambal, katanya aku mendengar ayahku berkata: ada orangyang menyebutkan bahwa ijma itu bohong. Orang ini barangkali tidak tahu bahwa pendapat-pendapat itru tidak ada hasilnya, dan tidak akan henti-hentinya, sebaiknya dia mengatakan aku tidak tahu orang-orang yang berpendapat itu.
12
Ibid., hlm. 77.
Jumhur ulama berpendapat bahwa ijma’ itu tidak mungkin terjadi. Katanya, ucapan yang dikeluarkan oleh orang-orang yang menentang itu sebenarnya adalah syahwasangka belaka. Alasan yang lebih kuat mengatakan bahwa ijma’ dengan definisi, dan rukun-rukunnya yang dibina itu tidak mungkin terjadi apabila hal ini diwakilkan kepada pribadi-pribadi muslim ijma’ akan terwujud apabila diserahkan kepada pemerintahan muslim. Tiap-tiap pemerintahan itu sanggup menerangkan syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi seorang itu untuk melakukan ijtihad. Dalam hal ini pemerintah akan memberikan izin kepada orang yang telah cukup syarat-syaratnya. Dengan ini maka tiaptiap pemerintahan mampu mengetahui mujtahidnya, dan pendapat mereka itu tentang suatu peristiwa.13 B. Proses penetapan hukum pada komisi fatwa MUI Sebagai wadah musyawarah antar ulama maka musyawarah dan kebersamaan dilingkungan Majelis Ulama Indonesia sanfat diutamakan. Adapun pedoman yang digunakan oleh Komisi Fatwa MUI untuk penetapan fatwa adalah sebagai berikut:14 1. Setiap keputusan fatwa harus mempunyai dasar kitabullah dan sunnah yang mu’tabarah, serta tidak bertentangan dengan kemaslahatan umat. 2. jika tidak terdapat dalam kitabullah dan sunnah Rasullullah sebagaimana ditentukan pada pasal 1 ayat 2 keputusan fatwa hendaklah tidak
13
Munawar Khalil, Kembali Kepada al-Qur’an dan Sunnah, Jakarta: Bulan Bintang, 1984, hlm.308. 14 Abdul Wahab Khallaf, Op.Cit., hlm 53-55.
bertentangan dengan ijma’, qiyas, dan mu’tabarah dan dalil-dalil hukum yang lain. Seperti istihsan dan lainnya. 3. sebelum pengambilan keputusann fatwa hendaklah ditinjau pendapatpendapat pada ahli hukum maupun yang berhubungan dengan dalil yang digunakan oleh pihak yang berbeda pendapat. Pandangan tenaga ahli dalam bidang masalah yang akan diambil keputusan fatwanya tersebut. Adapun pertimbangan yang digunakan oleh Komisi Fatwa MUI untuk menetapkan fatwa adalah: 1- setiap masalah yang disampaikan pada komisi hendaklah dipelajari terlebih dahulu dengan seksama oleh para anggota komisi atau tim khusus sekurang-kurangnya seminggu sebelum disidangkan. 2- Mengenai masalah yang telah jelas hukumnya hendaklah komisi menyampaikan sebagaimana adanya, dan fatwa menjadi gugur setelah diketahui nash dari al-Qur’an dan sunnah 3- Dalam masalah yang khilafiyah dikalangan madzhab, maka yang difatwakan adalah hasil tarjih, setelah memperhatikan fiqh muqaran (perbandingan)
dengan
menggunakan
kaidah-kaidah
ushul
yang
berhubungan dengan pentarjihan. Setelah melakukan pembahasan secara mendalam dan komprehensif serta memperhatikan pendapat dan pandangan yang berkembang dalam sidang, komisi menetapkan keputusan fatwa. Majelis ulama Indonesia mengenal adanya delapan jenjang rapat, yaitu: -
Musyawarah Nasional (5 Tahun sekali)
-
Rapat Kerja Nasional (tiap tahun sekali minimal dua kali dalam satu periode)
-
Rapat koordinasi antar daerah
-
Rapat pengurus paripurna (mininal sekali setahun)
-
Rapat dewan penasehat (6 bulan sekali)
-
Rapat dewan pimpinan harian (tiap hari selasa)
-
Rapat pleno dewan pimpinan (minimal sekali dalam 6 bulan)
-
Rapat komisi/lembaga/badan. Sesuai dengan asas dan sifat majelis ulama Indonesia, yakni
berdasarkan pada hukum Islam, dan bersifat keagamaan, kemasyarakatan dan independen dalam arti tidak terikat menjadi bagian dari pemerintah atau kelompok manapun. Jadi keputusan yang dihasilkan oleh MUI terutama fatwa yang dikeluarkan oleh Komisi fatwa tidak mewakili golongan atau individu akan
15
tetapi
sudah
mencakup
seluruh
Lihat www.mui.com diakses pada tanggal 25 september 2005.
golongan.15