BAB III PERTAMINA SEBELUM DAN SESUDAH KEMERDEKAAN A. Minyak Masa Pendudukan Belanda 1. Awal Mula Industri Minyak Royal Dutch merupakan perusahaan minyak pertama di Hindia-Belanda yang mengelola produksi, pengilangan, dan pemasaran dari minyak yang dihasilkan. Aeilko Ziljker merupakan tokoh dalam penemuan potensi adanya kandungan minyak bumi di Langkat, Sumatra Utara, yang juga pendiri perusahaan Royal Dutch. Ziljker sendiri menemukan kandungan minyak bumi di tanah Langkat pada tahun 1883, setelah sebelumnya pada tahun 1871 Jan Reerink melakukan usaha pengeboran minyak di Cibodas, Jawa Barat, namun mengalami kegagalan karena struktur tanah yang lembek. 1 Pusat administrasi perusahaan Royal Dutch berada di Pangkalan Brandan, Sumatera Utara, dengan direktur pelaksana yang pertama adalah J.A. De Gelder. Pada tahun 1892, Royal Dutch membangun kilang minyak di Pangkalan Susu, beserta fasilitas pelabuhan untuk menampung kapal-kapal tanker yang memasarkan hasil produksi minyak perusahaan. Tepat pada tahun 1898 Royal Dutch menyelesaikan pembangunan fasilitas pergudangan, pengilangan, dan pelabuhan. Pangkalan tersebut merupakan pelabuhan minyak pertama yang ada di Hindia-Belanda. 2 Hasil komoditi utama yang dihasilkan Royal Dutch adalah minyak tanah yang merupakan bahan bakar penting untuk penerangan.
1
Anderson G. Bartlett, op. cit., hlm. 44.
2
Ibid., hlm. 45. 48
49
Perusahaan minyak lain yang datang untuk berinvestasi di Hindia-Belanda adalah Shell Transport and Trading Co, 3 perusahaan ini pun mendapat konsesi di Balikpapan yang kemudian dilakukan pendirian instalasi pengilangan minyak. Pada akhir abad XIX jumlah perusahaan minyak mencapai 18 perusahaan, dengan tersebar di hampir seluruh wilayah Hindia-Belanda seperti Sumatra Utara, Sumatra Selatan, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Kalimantan, kesemua perusahaan ini mengeksplorasi dan memproduksi bahkan mendirikan kilang minyak di masing-masing wilayah. 4 Perusahaan Shell memiliki armada tanker besar dan tempat penyimpanan yang memadai di Asia, sedangkan Royal Dutch walaupun memiliki kapasitas produksi minyak terbesar di Sumatra, namun hanya sedikit memiliki armada tanker dan gudang penyimpanan. Antara tahun 19011902 diadakan perundingan kerjasama oleh kedua perusahaan tersebut, kemudian sepakat membentuk perusahaan patungan bernama Shell Transport and Royal Dutch Petroleum Company, Ltd, yang menangani armada tanker dan pemasaran produksi bagi kedua perusahaan. 5 Seiring perkembangan, justru Royal Dutch yang semakin maju dalam meningkatkan hasil produksi dan memperluas wilayah konsesi, sedangkan Shell mengalami masalah keuangan akibat kegagalan operasinya di Amerika ditambah
3
Perusahaan Shell didirikan oleh Markus Samuel seorang pedagang kulit lokan (kerang) dan rempah-rempah berkebangsaan Inggris. Nama Shell sendiri diambil dari usaha dagang kulit lokannya. 4 5
Anderson G. Bartlett, loc. cit.
John G. Clark, The Political Economy of World Energy: A TwentiethCentury Perspective, (London: Harvester Wheatsheaf, 1990), hlm. 35.
50
lagi dengan semakin menurunnya produksi minyak yang ada di Hindia-Belanda karena Shell tidak mendapat wilayah konsesi baru sejak diberlakukannya UndangUndang pertambangan yang telah diamandemen tahun 1904 dari Undang-Undang Pertambangan 1899. 6 Undang-undang ini jelas menguntungkan pihak pemerintah kolonial, sebab konsesi diberikan untuk orang Belanda, penduduk HindiaBelanda, dan perusahaan-perusahaan yang berkedudukan di Belanda atau HindiaBelanda sendiri. Dari keadaan yang tidak seimbang tersebut, maka Shell dan Royal Dutch sepakat menggabungkan kedua aset mereka dengan Royal Dutch memperoleh 60% dan Shell 40% dari total pembagian aset perusahaan, lalu pada tanggal 24 Februari 1907, terbentuklah Royal Dutch/Shell Group Companies. 7 Terbentuknya Royal Dutch Shell, maka dibentuk pula anak perusahaan yang memiliki tugas masing-masing. Anak perusahaan tersebut antara lain BPM yang bertugas untuk produksi dan pengilangan, kemudian Anglo Saxon Petroleum Company bertugas untuk distribusi produksi, serta mengawasi armada
6
Regulasi yang diterapkan pemerintah kolonial Belanda untuk mengatur usaha pertambangan di Hindia-Belanda adalah dengan mengeluarkan Indische Mijnwet (Undang-Undang Pertambangan) tahun 1899. Undang-undang tersebut kemudian diamandemen tahun 1900 dan diamandemen kembali tahun 1904. Pada tahun 1904 Pemerintah Hindia Belanda mengadakan amandemen terhadap UU tersebut dengan membekukan pemberian-pemberian konsesi baru. Pada tahun 1918 untuk kedua kalinya UU tersebut mengalami amandemen setelah Pemerintah Hindia Belanda menginginkan bertambah besarnya pemasukan dari sektor perminyakan ini. Amandemen kedua terdapat dalam seksi 5A dari UU tersebut yang memungkinkan diberikannya konsesi-konsesi baru kepada pihak luar berdasarkan apa yang dinamakan Kontrak 5A. Lihat Humas Pertamina, Perkembangan Industri Perminyakan di Indonesia, (Jakarta: Departemen Koperasi, Inspektorat Jenderal, 1986), hlm. 29; Lihat juga Staatsblad van Nederlandsch Indië 1899, No. 214 7
Akhmad Ryan, op. cit., hlm. 64.
51
transportasi. Anak perusahaan ketiga adalah Asiatic Petroleum Company, yang pada tahun 1946 diubah namanya menjadi The Shell Petroleum Company dengan fokus pada bidang pemasaran produksi minyak. 8 Tahun 1955 Royal Dutch Shell menyederhanakan
sistem
struktural
operasional
mereka,
yaitu
dengan
menggabungkan Anglo Saxon Company ke dalam Shell Petroleum Company, sehingga hanya terdapat BPM dan Shell Petroleum. 9 Undang-Undang Pertambangan yang telah diamandemen tahun 1904, akhirnya diamandemenkan kembali tahun 1918 oleh pemerintah kolonial. Dalam undang-undang ditambahkan mengenai Kontrak 5A, tujuan kontrak ini adalah untuk meningkatkan pemasukan pemerintah kolonial Belanda. Perusahaan minyak wajib membayar 4% dari minyak yang dikapalkan, selain itu pemerintah pun juga mendapat tambahan 20% keuntungan bersih perusahaan. 10 Bagi perusahaan swasta yang berminat dalam bidang tambang minyak harus mengadakan perjanjian dengan pemerintah sesuai dengan aturan Kontrak 5A. Kebijakan pemerintah
kolonial
Belanda
dianggap
mendiskriminasikan
perusahaan-
perusahaan minyak Amerika, yang mengembangkan usahanya di Hindia-Belanda. Peningkatan jumlah permintaan minyak bumi setiap tahun dan kenaikan harga minyak bumi dari tahun ke tahun, membuat eksploitasi minyak di HindiaBelanda terus dilakukan karena menjadi komoditi utama ekspor yang penting masa itu. Daerah-daerah eksploitasi minyak bumi Hindia-Belanda terdapat di luar 8
John G. Clark, loc. cit.
9
Akhmad Ryan, loc. cit.
10
Anderson G. Bartlett, op. cit., hlm. 48.
52
Jawa, khususnya Sumatra dan Kalimantan memberikan kontribusi besar bagi ekspor minyak bumi. Suplai minyak mentah yang besar di Kalimantan Tenggara tahun 1910-1930 membuat industri minyak di Balikpapan mengalami peningkatan infrastruktur instalasi minyak. 11
2. Perkembangan Industri Minyak di Balikpapan Pusat penyulingan minyak mentah di Kalimantan Tenggara terletak di Balikpapan. Kilang tersebut menyuling minyak yang berasal dari 3 daerah konsesi minyak di sekitar Balikpapan, yaitu konsesi Mathilda yang terletak di sekitar teluk Balikpapan, konsesi Louise yang terletak di daerah Sanga-Sanga sebelah selatan Samarinda, dan konsesi Nonny yang terletak di sebelah timur konsesi Mathilda. Ketiga konsesi tersebut telah diberikan Kesultanan Kutai dan dimiliki oleh J. H. Menten. Menurut buku Panduan Anjungan Sejarah Museum Minyak dan Gas Bumi Graha Widya Patra, semula konsesi yang diperoleh hanya diperuntukkan untuk tambang batubara. Tahun 1891 konsesi Mathilda dan konsesi Louise tertuang dalam besluit 30 Juni 1891 no. 4. Adanya besluit memperluas cakupan barang tambang yang dapat dieksploitasi sehingga memungkinkan untuk mengusahakan pertambangan minyak bumi. 12
11
J. Thomas Linblad, Sejarah Ekonomi Modern Indonesia: Berbagai Tantangan Baru, (Jakarta: LP3ES, 2000), hlm. 345. 12
Humas TMII, Panduan Anjungan Sejarah Museum Minyak dan Gas Bumi Graha Widya Patra, (Jakarta: Humas TMII, 1996), hlm. 24.
53
Setelah Menten berhasil menemukan sumber minyak di konsesi yang dimilikinya, maka ia menjual haknya atas ketiga konsesi tersebut kepada Shell yang harus memenuhi persyaratan Undang-Undang Pertambangan Minyak di Hindia-Belanda. Shell menunjuk BPM untuk mengurusi produksi dan pengilangan di konsesi Louise maupun konsesi Mathilda. Pada tahun 1912 saja, BPM telah memperoleh konsesi baru di wilayah Balikpapan, yaitu konsesi Batakan, konsesi Manggar I dan II, serta konsesi Teritip.13 Penambahan konsesi tersebut membuat BPM menguasai hampir seluruh wilayah Balikpapan, sehingga BPM juga memiliki wewenang untuk mengatur pola pembangunan infrastruktur fisik seperti, wilayah pemukiman, jalan, jalur pipa, kabel telegram, dan telepon yang semuanya digunakan untuk mendukung kepentingan pengembangan industri minyak di teluk Balikpapan. Daerah eksploitasi minyak BPM di Hindia-Belanda mulai meluas, yang akhirnya BPM membagi pusat administrasi menjadi 5 wilayah. Pusat administrasi didirikan dekat dengan instalasi kilang minyak atau sumber minyak yang bertujuan untuk mempermudah proses pemantauan terhadap jalannya aktivitas produksi. Pusat-pusat administrasi terletak di Balikpapan, Cepu, Plaju, Pangkalan Brandan, dan terakhir di Tarakan. Pada 20 September 1897 mulai diadakan pembangunan kilang minyak di sekitar wilayah Teluk Balikpapan, dengan bantuan insinyur Madge dan seorang arsitek bernama Richards. 14 Akhir tahun
13
Akhmad Ryan, op. cit., hlm. 76.
14
Humas Kota Balikpapan, op. cit., hlm. 66.
54
1899 kilang minyak ini mulai beroperasi dengan menampung minyak mentah dari konsesi Louise di Sanga-Sanga, dan konsesi Mathilda di Teluk Balikpapan. Awal pengoperasian kilang minyak terdapat beberapa permasalahan, belum adanya jaringan pipa dari konsesi Louise di Sanga-Sanga membuat penyaluran minyak mentah harus dilakukan dengan kapal yang menghabiskan banyak waktu, bahkan minyak mentah berubah menjadi emulsi15 akibat terguncang ketika diangkut dalam kapal. Minyak yang dihasilkan dari kilang minyak Teluk Balikpapan bahkan harus dikirim ke Singapura terlebih dahulu agar dapat dicampur dengan minyak impor dari Rusia, hal ini dilakukan agar menaikkan kualitas minyak itu sendiri dan dapat dijual ke pasaran. 16 Setelah pabrik paraffin diperluas tahun 1912, kilang minyak Balikpapan juga mendatangkan mesin-mesin perekah 17 baru yang mulai dioperasikan bulan Mei 1913. Adanya mesin tersebut mampu memperbaiki kualitas minyak yang dihasilkan. Arus komunikasi semakin lancar setelah adanya kabel telegram yang terhubung antara Balikpapan dan Tarakan, hal ini juga berdampak pada efisiensi jalannya produksi minyak dikedua kilang. Dalam meningkatkan hasil produksi serta kualitas minyak dari Balikpapan agar setara dengan kualitas produksi minyak Amerika, maka kilang minyak di
15
Menurut KBBI, emulsi adalah cairan yang terbentuk dr campuran dua zat, zat yg satu terdapat dalam keadaan terpisah secara halus atau merata di dl zat yg lain (spt persenyawaan zat-zat bergetah atau berlemak dng air) 16 17
Akhmad Ryan, op. cit., hlm. 78.
Mesin perekah merupakan mesin pemecah tanah atau penggali tanah disertai kelengkapan pengukuran kedalaman tanah untuk menghasilkan kualitas minyak yang baik. Lihat Humas TMII, op. cit., hlm. 28.
55
Balikpapan melakukan pemasangan serta perluasan instalasi penyulingan baru. 18 Tahun 1915 pemasangan jaringan pipa berdiameter 5 inchi sepanjang 54 km antara lapangan Louise dengan lapangan Samboja dibangun, pembangunan instalasi baru selesai pada akhir tahun 1915 dan menghasilkan minyak yang berkualitas setara dengan produk minyak Amerika. Peningkatan jumlah penduduk Balikpapan yang didominasi oleh pekerja industri minyak menyebabkan perluasan wilayah pemukiman. Peningkatan jumlah penduduk berdampak pada peningkatan intensitas pelayaran yang diikuti dengan distribusi barang, baik itu masuk atau keluar dari Balikpapan. Tahun 1925, pelabuhan Balikpapan sudah padat dan sibuk, bahkan pada tahun tersebut pelabuhan mulai diperluas dan diikuti dengan penambahan fasilitas bongkar muat dan pergudangan, hal ini dimaksudkan agar proses distribusi barang dan jasa berjalan lancar.19 Pembangunan lapangan terbang di wilayah Sepinggan Balikpapan, semakin memperlancar mobilitas serta mempersingkat waktu tempuh bagi orangorang yang berkunjung atau keluar dari Balikpapan, khususnya bagi pegawai minyak Eropa. Pada April 1935 sebuah maskapai penerbangan, yaitu Koniklijke Nederlandsch-Indie Luchtvaart Maatschappij (KLM) seminggu sekali melayani rute penerbangan dari Batavia transit Surabaya kemudian Balikpapan menuju
18
Akhmad Ryan, op. cit., hlm 83.
19
Ibid.
56
Tarakan, namun rute penerbangan tersebut baru direalisasikan ketika lapangan terbang di Tarakan diperluas. 20 Pembangunan infrastruktur di Balikpapan seperti jalan, pembangkit listrik, pompa air, kantor telegram, rumah sakit, pelabuhan, lapangan terbang, dan adanya perluasan pemukiman di sekitar industri minyak yang sudah dibangun sejak tahun 1900 dan mengalami perkembangan tahun 1935. Infrastruktur dibangun untuk mendukung aktivitas produksi kilang minyak Balikpapan serta mampu menunjang keperluan bagi para pekerjanya. Perluasan pembangunan tak hanya dilakukan di sekitar kilang minyak, melainkan juga di sepanjang daerah pantai Balikpapan, perluasan sebelumnya juga dilengkapi dengan infrastruktur berupa jalan, jaringan pipa minyak, dan kabel telegram BPM.
B. Nasionalisasi Industri Minyak di Balikpapan Proses nasionalisasi terhadap industri minyak di Balikpapan merupakan proses yang melibatkan negara, hal ini pun berlangsung lambat karena tak terlepas dari nasionalisasi yang dilakukan pemerintah terhadap BPM/Shell Indonesia. Adanya pertimbangan nasionalisasi dilakukan karena kilang minyak Balikpapan adalah salah satu aset penting yang dimiliki BPM. Sebelum melihat bagaimana proses-proses nasionalisasi, terlebih dahulu mengetahui dinamika industri minyak Balikapapan pada masa penguasaan Jepang.
20
Dalam Undang-Undang Penerbangan Hindia-Belanda, Staatblad van Nederlandsch-Indië 1939 NO. 678, terdapat rute-rute penerbangan HindiaBelanda yang juga mencakup rute penerbangan Balikpapan dan Tarakan. Lihat Ibid., hlm 85.
57
1. Minyak Dalam Penguasaan Jepang Pecahnya perang di Eropa tahun 1939, dan diserbunya Belanda tahun 1940, membuat masa depan Hindia-Belanda menjadi tak pasti. Tidak hanya karena Hindia-Belanda produsen minyak terbesar di Timur Jauh, yang rata-rata menghasilkan 62 juta barrel per tahun dalam tahun 1939 dan 1940, tapi juga merupakan produsen penting dari karet. Bagi Jepang, minyak dan karet dianggap bernilai, pasca penyerangan Pearl Harbour oleh Jepang, maka Hindia-Belanda pun menjadi target sasaran selanjutnya. Sebelum Jepang masuk, pemerintah Belanda merencanakan penghancuran semua fasilitas minyak sebelum jatuh ke tangan Jepang. Fasilitas yang dihancurkan tidak hanya instalasi minyak melainkan juga kabel telegram, jembatan, maupun lapangan udara.21 Tepat tanggal 18 Januari 1942, penghancuran fasilitas dan infrastruktur dilakukan oleh pemerintah Belanda bekerjasama dengan pegawai BPM. 22 Tak hanya Balikpapan, sebagian wilayah yang terdapat atau memiliki instalasi kilang minyak ikut dihancurkan, seperti di Sumatra Selatan, kilang Stanvac di Sungai Gerong rata dengan tanah. Jepang mendarat di Balikpapan pada 23 Januari 1942, dibawah pimpinan Shizuo Sakaguchi. Pasukan sekutu, termasuk pasukan KNIL Belanda berhasil dikalahkan. Tentara Jepang dan armada lautnya berhasil menguasai kota Balikpapan 21 22
pada
24
Januari
1942.
Hari
itu
Jepang
sudah
mulai
Anderson G. Bartlett, op. cit., hlm. 55.
Peter Keppy, The Politic of Redress: War Damage Compensation and Restitution in Indonesia and The Phillipines, 1940-1957, (Leiden: KITLV Press, 2010), hlm. 39.
58
mengkonsolidasikan kekuasaannya atas kota Balikpapan, pendudukan bagi kota Balikpapan berarti pintu merebut Jawa semakin lebar. Selama pendudukan Jepang, Balikpapan yang dianggap strategis dijadikan pusat kedudukan pemerintah militer Jepang di Kalimantan Timur.23 Tentu Jepang menguasai dan mengeksploitasi sumber daya alam terutama komoditas penting yang mendukung jalannya Perang Pasifik, yaitu minyak. Sebelumnya, Jepang memperbaiki instalasi minyak yang sudah dibumihanguskan oleh pemerintah Belanda, perbaikan sendiri memakan waktu tiga bulan lamanya. 24 Perbaikan instalasi minyak dilakukan Jepang dengan bantuan dari bekas pegawai BPM, semula para bekas pegawai itu menganggap Jepang sebagai pembebas mereka, maka mereka bekerja secara sukarela. Semakin lama Jepang melakukan tindakan sewenang-wenang, dengan menjalankan sistem kerja paksa di lapangan minyak dan pengilangan bahkan Jepang mendatangkan ribuan Romusha yang berasal dari daerah Jawa. 25 Sistem kerja paksa yang dijalankan pemerintah Jepang mengakibatkan kehidupan sosial-ekonomi orang-orang pribumi terpuruk. Kilang minyak yang dapat digunakan kembali hanya memprioritaskan produksi bahan bakar minyak beroktan tinggi untuk keperluan penerbangan serta minyak pelumas yang digunakan untuk peralatan tempur Jepang.
23
Depdikbud, op. cit., hlm. 76.
24
Agus Suprapto, Perang Berebut Minyak: Peranan Strategis Pangkalan Minyak Kalimantan Timur dalam Perang Asia Pasifik 1942-1945, (Kalimantan Timur: Lembaga Pariwara, 1996), hlm. 199. 25
Anderson G. Bartlett, op. cit., hlm. 56.
59
Pada Mei 1945, Tarakan berhasil dikuasai kembali oleh tentara sekutu, Jepang yang semula dalam posisi menyerang menjadi bertahan. Serangan udara sekutu pada kedudukan Jepang di Balikpapan semakin intensif dan berhasil menghancurkan hampir seluruh instalasi kilang minyak. Pada Juli 1945 pasukan sekutu, yang didominasi oleh tentara Australia berhasil menguasai Balikpapan, puncaknya Jepang pun menyerah kepada sekutu pada pertengahan Agustus 1945, setelah dua kota di Jepang dihancurkan sekutu melalui udara dengan menjatuhkan bom atom. Pendaratan tentara Australia juga diikuti dengan hadirnya Netherlands Indies Civil Administration (NICA) yang berusaha mengambilalih kekuasaan serta infrastruktur penting yang telah ditinggalkan oleh tentara Jepang. Para teknisi minyak juga berdatangan untuk mulai melakukan perbaikan pada instalasi minyak BPM yang hancur akibat serbuan sekutu di Balikpapan. Perbaikan dilakukan oleh teknisi BPM yang datang kembali, mereka melakukan perbaikan disepanjang jaringan pipa antara Sanga-Sanga dan Balikpapan. 26
2. Dari BPM/Shell Indonesia ke Pertamina Tanggal 15 Februari 1956 Indonesia membatalkan perjanjian KMB secara sepihak. Presiden Soekarno dalam amanat Proklamasi 17 Agustus 1956, mengatakan: Akhirnya, saudara-saudara, masih ada satu penghambat persatuan lagi yang maha negatif. Penghambat persatuan, penghambat iklim-baik, penghambat pembangunan, peluka rasa kebangsaan, peluka rasa nasional. 26
Akhmad Ryan, op. cit., hlm. 128.
60
Penghambat dan peluka itu ialah masih adanya penjajahan di Irian Barat. Sebelum penjajahan di Irian Barat itu lenyap, kita belum merasa aman. Dan rakyat di Irian Barat sendiripun menunggu-nunggu penggabungan kepada Republik. Karena itu, maka semua minat kita harus kita tujukan kepada pembebasan Irian Barat itu. 27
Pernyataan Presiden Soekarno membuat situasi politik memanas dan berpengaruh kepada perusahaan-perusahaan asing terutama milik Belanda yang dipandang sebagai kaki tangan dari kekuasaan politik kolonial Belanda. Setelah pembatalan KMB, semangat bangsa Indonesia untuk membebaskan Irian Barat meningkat sehingga muncul aksi maupun demonstrasi terhadap perusahaan Belanda. 28 Pada tanggal 25 Oktober sampai 4 November 1957 dilangsungkan Musyawarah Nasional Pertama (MUNAP) yang menghasilkan keputusan bahwa pemerintah segera bertindak terhadap perusahaan-perusahaan yang dikuasai atau dimiliki Belanda. Tindakan yang dimaksud adalah upaya pengambilalihan, menyita dan menyelenggarakan, mengawasi pemeliharaan, penguasaan dan perluasan
perusahaan-perusahaan
perkebunan,
pelayaran,
pertambangan,
perindustrian, bank dan lain-lain.29 Pada tanggal 3 Desember 1957 terjadi pengambilalihan perusahaanperusahaan Belanda. Serikat buruh yang tergabung dalam Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) mengambil kedudukan terdepan, perusahaan 27
Djoko Prasetyo, “Perkembangan Perusahaan Tambang Minyak dan Gas Bumi (PERTAMINA) 1968-1975”, Skripsi, (Jakarta: UI. 1998), hlm. 14. Lihat juga Di Bawah Bendera Revolusi, Jilid II, hlm. 260-261. 28 29
Ibid., hlm 15.
Mizwar Djamily, Mengenal Kabinet RI Selama 40 Tahun Indonesia Merdeka, (Jakarta: PT. Kreasi Jaya Utama, 1986), hlm. 107.
61
Belanda
yang pertama kali
diambilalih adalah
Koninkelijk Paketvaart
Maatschappij (KPM) merupakan perusahaan pelayaran yang memonopoli pelayaran
Indonesia.
pengambilalihan
Pengambilalihan
bank-bank
seperti
KPM
kemudian
Nederlandse
Handel
diikuti
dengan
Maatschappij,
Nederlandse Handelsbank (NHB), 30 dilanjutkan pada perusahaan-perusahaan Belanda yang lain. Tahun 1955, perusahaan-perusahaan minyak asing melakukan pergantian nama. BPM sendiri berganti nama menjadi Shell Indonesia. Pergantian dilakukan untuk meredam gejolak dari golongan nasionalis yang tidak menyukai hal-hal yang berbau kolonial. 31 Perasaan anti Belanda yang terjadi pada masa itu secara tidak langsung ikut mempengaruhi kinerja BPM/Shell Indonesia. Pengusiran terhadap karyawan BPM/Shell Indonesia yang berkebangsaan Belanda dan diikuti pengambilalihan pada tahun 1957, membuat perusahaan harus mengganti seluruh staf dan manajer yang berkebangsaan Belanda dengan staf berkebangsaan Inggris atau Amerika. Proses ini berlangsung selama enam bulan sehingga mengganggu kinerja operasional BPM/Shell Indonesia. 32 Selain mengganti seluruh staf berkebangsaan Belanda, BPM/Shell Indonesia juga melakukan Indonesianisasi dengan memberi kesempatan kepada orang-orang pribumi. BPM/Shell Indonesia
30
Oey Beng To, Sejarah Kebijakan Moneter Indonesia 1945-1958, Jilid I, (Jakarta: LPPI, 1991), hlm. 391. 31
Purnawan Basundoro, “Menjadi Tu(h)an di Rumah Sendiri: Pancaroba Usaha Pertambangan Minyak di Indonesia 1945-1960”, dalam Lembaran Sejarah (Vol. 7 No. 1, 2004), hlm 175. 32
Anderson G. Bartlett, op. cit., hlm. 116.
62
bahkan membuka sekolah Pendidikan Ahli Minyak (PAM) dan kursus singkat bagi orang-orang Indonesia. Setelah menempuh pendidikan dan dinyatakan lulus maka mereka dapat langsung dijadikan pegawai BPM/Shell Indonesia. 33 Pada masa ini, pemerintah juga mendirikan perusahaan minyak nasional seperti PN Permina (Perusahaan Negara Pertambangan Minyak Nasional), PN Pertamin (Perusahaan Negara Pertambangan Minyak Indonesia),dan PN Permigan (Perusahaan Negara Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Nasional). 34 Dikeluarkannya Undang-Undang No. 44 Tahun 1960, berarti mengakhiri pula undang-undang kolonial Indisch Mijn Wet 1899 beserta kontrak 5A. Perusahaan minyak asing bekas pemegang konsesi serta kontrak 5A diperbolehkan untuk kembali meneruskan operasinya menjadi kontraktor perusahaan negara dalam perjanjian kerja. 35 Inti undang-undang ini adalah untuk mengakhiri sistem konsesi yang selama ini diberlakukan dan mengambilalih semua perusahaan-perusahaan asing untuk dimasukkan dalam manajemen bangsa Indonesia. Pergerakan Persatuan Buruh Minyak (PERBUM) yang semakin progresif dengan menjalankan aksi boikot serta mendesak pemerintah untuk segera mengambilalih perusahaan minyak asing seperti Shell. Aksi-aksi pemogokan serta boikot yang dilancarkan PERBUM membuat kinerja Shell memburuk, bahkan
33
J. Thomas Lindblad, Bridge to New Business: The Economic Decolonization of Indonesia, (Leiden: KITLV Press, 2008), hlm 161. 34
Djoko Prasetyo, op. cit., hlm. 3.
35
Purnawan Basundoro, loc. cit.
63
produksi minyak Shell di Indonesia menurun. Shell mengalami kerugian selama beroperasi di Indonesia walau secara finansial induk perusahaannya merupakan salah satu perusahaan minyak terbesar di dunia. Adanya Gestapu serta situasi politik yang tidak menentu di Indonesia membuat Shell terpaksa merelakan untuk menghentikan kegiatannya, dengan menjual aset-asetnya. 36 Bulan Desember 1965 dilakukan penandatanganan serah terima aset Shell Indonesia kepada pemerintah. Shell diwakili oleh Van Reeven dan dari Indonesia diwakili oleh Ibnu Sutowo, serah terima ini menandai berakhirnya kegiatan operasi Shell di Indonesia. 37 Penugasan kepada PN Permina untuk menyelenggarakan pengusahaan Minyak dan Gas Bumi dibidang produksi yang tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Urusan Minyak dan Gas Bumi tanggal 24 Maret, No. 123/M/Migas 1966. Penugasan itu memutuskan untuk dibubarkannya pimpinan sementara perusahaan minyak ex Shell, seperti tertuang dalam Surat Keputusan Deputi Menteri Urusan Minyak dan Gas Bumi No. 158/DM/Migas/66 tertanggal 10 Mei 1966. 38 Pimpinan sementara ex Shell menyerahkan tugas dan tanggung jawab untuk menjalankan perusahaan kepada direksi Permina pada tanggal 11 Mei 1966 yang
36
Anderson G. Bartlett, op. cit., hlm. 276.
37
“Kekajaan P.T. SHELL Indonesia Diserahkan R.I.” Kompas, 31 Desember 1965. Lihat lampiran 3, hlm. 112. 38
Satria Permana, “Badai di Tengah Oil Boom: Krisis Manajemen Keuangan Pertamina 1974-1975”, Skripsi, (Jakarta: UI. 2012), hlm. 23.
64
diikuti penggabungan seluruh bagian teknis lapangan ke dalam bagian Permina. 39 Dengan perjanjian tersebut, aset Shell berupa kilang minyak di Balikpapan menjadi milik Indonesia. Setelah aset BPM sudah sepenuhnya menjadi milik pemerintah Indonesia maka untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas tinggi dari apa yang telah dicapai oleh masing-masing perusahaan, pada Agustus 1968 Pemerintah mengintegrasikan PN. Permina dan PN. Pertamin menjadi satu perusahaan berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 27/Tahun 1968, dan diberi nama Perusahaan Negara Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Nasional (PN. Pertamina). 40 PN Permigan sendiri harus dilikuidir oleh pemerintah, bersamaan dengan munculnya Gerakan 30 September 1965. 41 Sejak dikeluarkan peraturan pemerintah tersebut maka PN. Pertamina merupakan satu-satunya perusahaan minyak nasional Indonesia yang diberi wewenang mengelola semua bentuk kegiatan di bidang industri minyak dan gas bumi. Tahun 1971 PN. Pertamina diubah menjadi Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara, atau dikenal sebagai Pertamina. 42 Hal ini
39
“Pimpinan Sementara Ex Shell Dibubarkan” Kompas, 12 Mei 1966. Lihat lampiran 4, hlm. 113. 40
Ibid.
41
“Direksi PN Permigran Di Non Aktifkan” Kompas, 27 Oktober 1965. Lihat lampiran 5, hlm. 114. 42
Satria Permana, loc. cit.
65
dipandang perlu untuk memberikan landasan kerja baru guna meningkatkan kemampuan dan menjamin usaha-usaha lebih lanjut. 43
C. Pertamina Unit Pengolahan (UP) V Balikpapan Pendefinisian industri minyak dimulai dengan proses pencarian minyak yang terbagi menjadi proses eksplorasi, eksploitasi (proses pengeluaran minyak mentah dari dalam perut bumi) yang kemudian dilanjutkan aktivitas pengolahan minyak mentah. Eksploitasi dan produksi merupakan aktivitas yang sangat penting dalam industri minyak bumi, berupa kegiatan untuk mencari, menemukan dan mengangkut minyak mentah ke permukaan bumi dan mengelolanya untuk dikirim ke kilang-kilang minyak, atau langsung dijual dalam bentuk minyak mentah.44 Lokasi kilang minyak Pertamina UP V Balikpapan tepat di tepi teluk Balikpapan dengan luas area ± 2, 50 hektar yang berdekatan langsung dengan laut, sehingga mempermudah transportasi produk dan bahan baku keluar maupun menuju kilang. Selain itu, sumber air laut sebagai air proses ataupun utilitas dengan mudah diperoleh. Pemilihan teluk Balikpapan sebagai kawasan kilang dilakukan atas dasar 45:
43
Lembaran Negara Republik Indonesia, Undang-Undang No. 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara. Lihat lampiran 2, hlm. 104-111. 44
45
Akhmad Ryan, op. cit., hlm. 15
Humas Pertamina UP V, Booklet Pertamina UP V Balikpapan, (Balikpapan: Humas Pertamina Balikpapan), hlm. 6.
66
-
Tersedianya pasokan minyak mentah yang cukup banyak dari kawasan sekitarnya,
-
Lokasinya strategis untuk pendistribusian hasil produksi terutama ke kawasan Indonesia Bagian Timur, dan
-
Tersedianya sarana pelabuhan untuk kepentingan distribusi minyak mentah dan hasil produksi. Tahun 1922 kilang minyak Balikpapan mulai didirikan. Kilang mengalami
kerusakan berat karena Perang Dunia II dan pada tahun 1948 kilang direhabilitasi. Pada tahun 1952, unit destilasi46 kedua dibangun dan selanjutnya tahun 1954 unit destilasi ketiga dibangun. Unit destilasi I, II, III beserta HVU I (High Vacuum Unit) tersebut dikelompokkan menjadi area kilang Balikpapan I. Kilang Balikpapan mengolah total 260 MBSD (Mega Barrel Stream Day) minyak mentah.47 Kilang Pertamina UP V Balikpapan adalah kilang yang dikhususkan untuk memenuhi kebutuhan BBM di Indonesia bagian timur. Namun pada kasus-kasus insidental, produksi BBM dari kilang Pertamina UP V Balikpapan juga didistribusikan ke daerah-daerah lain yang juga membutuhkan. Kilang Balikpapan terdiri dari kilang lama dan kilang baru. Pada daerah kilang lama terdiri dari48:
46
Destilasi merupakan metode dalam penyulingan minyak untuk memproses minyak mentah agar dapat digunakan menjadi berbagai macam produk. Lihat ibid hlm. xv. 47
Humas Pertamina Daerah Kalimantan, Minyak dan Gas Bumi Untuk Kemakmuran Rakyat, (Balikpapan: Humas Pertamina, 1986), hlm. 13. 48
Ibid.
67
-
Unit Penyulingan Kasar I (PMK I)
-
Unit Penyulingan Kasar II (PMK II)
-
Unit Penyulingan Hampa I (HVU I)
-
Pabrik lilin (wax plant)
-
Dehydration plant (DHP)
-
Effuent Water Treatment Plant (EWTP)
-
Crude Distillation Unit V (CDU V)
-
High Vacuum Unit III (HVU III) Sejalan perkembangan kebutuhan BBM di Indonesia, kilang Balikpapan
kemudian diperluas pada tahun 1985 dan mulai dioperasikan dua tahun berikutnya dengan menggantikan fungsi unit PMK I, PMK II, dan HVU I menjadi CDU V dan HVU III. Kapasitas produksi minyak mentah di kilang Balikpapan I adalah 60 MBSD. Jadi kilang Balikpapan I terdiri dari CDU V, HVU III, Wax Plant, Dehydration Plant (DHP), dan Effuent Water Treatment Plant (EWTP).
68
Tabel 6 Unit Proses dan Kapasitas Pada Pertamina UP V Balikpapan No.
Plant
Jumlah
Kapasitas
1
Crude Distillation
2 unit
260 MBSD
2
Vacuum Distillation
2 unit
106 MBSD
3
Hydrocracker
2 unit
55 MBSD
4
NHT Platformer
1 unit
20 MBSD
5
LPG Recovery
1 unit
534 ton/hari
6
Wax Plant
1 unit
150 ton/hari
Sumber: Humas Pertamina Daerah Kalimantan, Minyak dan Gas Bumi Untuk Kemakmuran Rakyat, (Balikpapan: Humas Pertamina, 1986), hlm. 16.
Secara keseluruhan kilang Balikpapan di desain untuk mengolah minyak mentah yang berasal dari lapangan minyak lokal yaitu lapangan minyak Attaka, Badak, Bekapai, Handil, Sepinggan, dan Tanjung. Ketika cadangan minyak mentah di tempat tersebut mulai menipis maka untuk memenuhi pasokan kilang, kilang minyak Balikpapan juga mengolah minyak mentah dari lapangan lain seperti Arjuna, Belida, Duri, Minas, dan Widuri. Selain itu, kilang Balikpapan mampu mengolah minyak yang didatangkan dari luar negeri seperti Arabian Superlight (Saudi Arabia), Bachho (Vietnam), Jabiru (Australia), Sarir (Libya), Tapis (Malaysia) dan lain-lain.49
49
Humas Pertamina UP V, op. cit., hlm. 8.
69
D. Tenaga Kerja dan Struktur Organisasi Pertamina UP V Balikpapan Pertamina memiliki tenaga kerja dan sistem organisasi dimana para staf dibagi atas cabang-cabang berdasarkan regionalnya. Tenaga kerja lapangan pada Pertamina UP V mencapai 544 orang yang terbagi ke dalam beberapa kelompok umur. Berikut tabel gambaran umum tenaga kerja berdasarkan kelompok umur. Tabel 7 Distribusi Umur Tenaga Kerja Pertamina UP V Balikpapan 1975 NO 1 2 3 4 5 6
Kelompok Umur (Tahun) 20-25 26-31 32-37 38-43 44-49 50-59 Total
Jumlah Tenaga Kerja 90 265 190 102 100 97 844
Persentase (%) 11 31 23 12 12 11 100
Sumber: Fendi Hardianto, Laporan Kerja Praktek Pertamina UP V Balikpapan 1995, (Malang: Jurusan Teknik Mesin Universitas Muhammadiyah Malang), hlm. 45.
Struktur organisasi Pertamina UP V Balikpapan berada di bawah wewenang dan tanggung jawab General Manager UP V (GM UP V), yang bertanggung jawab langsung kepada Direktur Unit Pengolahan Pertamina. GM Pertamina UP V berfungsi sebagai koordinator seluruh kegiatan pengolahan Pertamina di Balikpapan, yang tugasnya dibantu oleh beberapa Manager/Kepala Bidang, seperti50:
a. Production function Fungsi ini bertanggung jawab dalam mengatur dan mengoperasikan kilang secara keseluruhan. Fungsi produksi dipimpin oleh seorang Production Manager, 50
Fendi Hardianto, Laporan Kerja Praktek Pertamina UP V Balikpapan 1995, (Malang: Jurusan Teknik Mesin Universitas Muhammadiyah Malang), hlm. 39-46.
70
yang secara struktural bertanggung jawab terhadap Operation & Manufacturing Senior Manager. Untuk memudahkan sistem pengoperasiannya, fungsi ini dibagi berdasarkan area proses dan jenis pekerjaannya, yaitu: -
Distilling and Wax Plant Section
Bertanggung jawab dalam pengoperasian Crude Distillation Unit V (CDU V), High Vacuum Unit III (HVU III), Wax Plant, Dehydration Plant, dan Effluent Water Treatment Plant (EWTP) -
Hydroskimming Complex Section
Bertanggung
jawab
terhadap
pengoperasian
CDU
IV,
Naptha
Hydrotreater, Platforming Process Unit, LPG Recovery Unit, LPG Treater dan Sour Water Stripper Unit. -
Hydrocracking Complex Section
Bertanggung jawab terhadap pengoperasiannya HVU II, Hydrocracker Unibon, Hydrogen Plant, Flare Gas Recovery Unit, Hydrogen Recovery System, serta Common Facilities. -
Utilities Section
Bertanggung jawab atas kesediaan pemanas, air, dan energi listrik untuk kelangsungan operasional kilang serta ke sarana penunjang lainnya dan perumahan -
Oil Movement Section
Wilayah operasional bagian ini meliputi area pertangkian kilang Balikpapan dan area terminal Lawe Lawe yang bertanggung jawab atas lalu lintas keluar masuknya minyak mentah serta produk-produk dari kilang. Selain itu,
71
bagian ini juga melaksanakan proses pencampuran (blending) produk berdasarkan perhitungan yang dilakukan bagian penjadwalan produksi. Terminal Balikpapan-Lawe Lawe adalah unit penunjang proses yang mempunyai tugas dan tanggung jawab secara umum seperti (1) mengatur penerimaan minyak mentah yang akan diolah di kilang; (2) mengatur penerimaan produk jadi dan setengah jadi dari kilang Balikpapan I dan II; (3) mengatur/menyiapkan campuran
produk sesuai permintaan dari Refinery
Planning and Optimization Function untuk selanjutnya dilakukan pengiriman; (4) mengatur pengiriman produk ke kapal; (5) mengelola seluruh fasilitas yang ada. -
Laboratory Section
Bertugas untuk melakukan pemeriksaan, penelitian secara rutin dan memberikan hasil analisa terhadap bahan baku dan kualitas produk yang diperoleh serta penelitian atas pengembangan produk. Laboratorium di Pertamina UP V Balikpapan terdiri dari empat laboratorium utama, seperti laboratorium gas dan analitik, laboratorium produksi cair, laboratorium evaluasi crude, serta laboratorium lindungan lingkungan.
b.
Refinery Planning and Optimization Function Bertanggung
jawab
atas
perencanaan,
pelaksanaan,
mengoordinir
pekerjaan, pemeliharaan dan meningkatkan kemampuan operasi kilang. Secara umum bidang ini bertugas menyiapkan dan menyajikan laporan ekonomi kilang Balikpapan, seperti melaporkan data-data statistik mengenai evaluasi produk, hasil percampuran produk, dan administrasi serta mengembangkan perencanaan
72
yang ada sehingga memaksimalkan pendapatan berdasarkan pasar dan kondisi kilang. c. Maintenance Execution Function Fungsi ini bertanggung jawab untuk menyediakan jasa pelayanan dan pemeliharaan peralatan mekanik, rotating, listrik dan instrumentasi untuk menunjang kemampuan operasi kilang. Untuk dapat memahami alur struktur organisasi yang ada, lihat pada lampiran 6, hlm. 115.