BAB III PERSPEKTIF HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL TERHADAP MLA DI INDONESIA
A. Pengertian Perjanjian Internasional Sebagai salah satu sumber hukum Internasional, perjanjian Internasional telah dan nampaknya akan selalu menjadi hal yang menarik untuk ditelaah, baik dikalangan pemerhati hukum Internasional maupun masyarakat pada umumnya. Dinamika perkembangan dunia yang sangat cepat berubah, telah menimbulkan dampak, yaitu yang memaksa unsur-unsur pendukung dalam hubungan Internasional untuk terus beradaptasi guna mengimbangi perkembangan yang terjadi. Perjanjian Internasional sebagai salah satu unsur pendukung di dalam konteks hubungan interaksi antar negara juga mengalami perubahan seiring dengan semakin kompleksnya isu-isu yang timbul akibat dari perkembangan yang ada. Secara
umum,
hukum
Internasional
yang
mengatur
perjanjian
Internasional terdapat dalam Konvensi Wina tentang hukum perjanjian Internasional (Vienna Convention on Law of the Treaties) yang telah disepakati pada tahun 1969. Secara substansial perjanjian Internasional di dalam Konvensi Wina, mengatur antara lain tentang pembuatan, validitas, pengaruh, interprestasi, modifikasi, penundaan, dan terminasi dari sebuah perjanjian Internasional. Pada dasarnya, sebuah perjanjian Internasional adalah sebuah perjanjian tertulis yang dibuat oleh dua atau lebih Negara yang berdaulat atau organisasi
Universitas Sumatera Utara
Internasional. Seperti layaknya sebuah perjanjian, perjanjian Internasional dapat diakhiri dengan berbagai cara, antara lain mulai dari kesepakatan yang diatur di dalam perjanjian Internasional, repudiasi kewajiban oleh salah satu pihak di dalam perjanjian Internasional, dan hilangnya objek dari perjanjian Internasional atas dari prinsip hukum rebus sic stantibus 70. Berdasarkan ketiga cara umum pengakhiran suatu perjanjian Internasional diatas, cara pemberlakuan prinsip hukum rebus sic stantibus nampaknya tetap menjadi bahan telaah dan sering digunakan oleh negara-negara di dunia untuk mengakhiri sebuah perjanjian Internasional. Bentuk yang cukup terkenal yang dianggap oleh beberapa ahli hukum dan praktek Internasional sebagai salah satu bentuk rebus sic stantibus adalah konflik senjata. Berdasarkan beberapa contoh praktek negara-negara di dunia dan beberapa konflik senjata yang terjadi, dapat diambil beberapa kesimpulan yang patut dicermati, yaitu antara lain adalah bahwa untuk beberapa kasus, sebuah perjanjian Internasional tetap berlaku walaupun terjadi konflik senjata, bahwa sebuah perjanjian Internasional tidak serta merta berhenti berlaku walaupun terjadi konflik senjata, melainkan mengalami penundaan pelaksanaan, dan bahwa untuk kasus-kasus tertentu sebuah perjanjian Internasional tidak berlaku lagi atau yang disebabkan oleh konflik senjata baik antara para pihak dari perjanjian Internasional tersebut maupun pihak ketiga. Masyarakat Internasional mengalami berbagai perubahan yang besar dalam perbaikan peta politik yang terjadi terutama setelah Perang Dunia II. Proses 70
“Perjanjian Internasional dan Konflik Bersenjata”, www.hukumonline.com., diakses terakhir kali pada 22 Oktober 2010. Rebus sic stantibus adalah asas yang dapat digunakan terhadap perubahan yang mendasar/fundamentali dalam keadaan yang bertalian dengan perjanjian itu.
Universitas Sumatera Utara
ini sudah dimulai pada permulaan abad XX yang mengubah pola kekuasaan politik di dunia. Timbulnya negara-negara baru yang merdeka, berdaulat, dan sama derajatnya satu dengan yang lain terutama sesudah Perang Dunia II. Perubahan kedua ialah kemajuan teknologi. Kemajuan teknologi berbagai alat perhubungan menambah mudahnya perhubungan yang melintasi batas negara. Dalam suatu hubungan Internasional selalu diikuti dengan munculnya perjanjian Internasional. Perjanjian Internasional tersebut menjadi dasar untuk melakukan
pengaturan
berbagai
kegiatan
dan
menyelesaikan
berbagai
permasalahan yang timbul akibat dari perjanjian tersebut, sehingga perjanjian Internasional merupakan salah satu sumber dari hukum Internasional. Sampai dengan tahun 1969, pembuatan perjanjian-perjanjian Internasional hanya diatur oleh hukum kebiasaan. Berdasarkan draft pasal-pasal yang disiapkan oleh
komisi
hukum
Internasional,
diselenggarakanlah
suatu
konferensi
Internasional di Wina dari tanggal 26 Maret sampai dengan 24 Mei 1968 dan dari tanggal 9 April sampai dengan 22 Mei 1969 untuk mengkodifikasikan hkum kebiasaan tersebut. Konferensi kemudian melahirkan Vienna Convention on the Law of Treaties yang ditandatangani tanggal 23 Mei 1969. Konvensi ini mulai berlaku sejak tanggal 27 Januari 1980 dan telah menjadi hukum Internasional positif. Sampai dengan Desember 1999, sudah 90 negara menjadi pihak pada Konvensi tersebut 71.
71
Boer Mauna, Hukum Internasional, Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Edisi ke-2, 2005, Alumni, Bandung, 2005, hal. 83.
Universitas Sumatera Utara
Pengertian perjanjian Internasional adalah perjanjian Internasional antara Negara-Negara sesuai Pasal 2 ayat (1) butir a Konvensi Wina tahun 1969 adalah: Treaty means an international agreement conclude between states in written form and governed by international law, whether embodied in a single instrument or in two or more related instruments and whatever its particular designation. (perjanjian artinya suatu persetujuan Internasional yang diadakan antara Negaranegara dalam bentuk yang tertulis dan diatur dalam hukum Internasional, baik yang berupa satu instrumen tunggal atau berupa dua atau lebih instrumen yang berkaitan tanpa memandang apapun juga namanya) 72. Perjanjian Internasional menurut Michael Virally adalah sebagai berikut: A treaty is international agreement which is entered into by two or more states or other international persons and is governed by international law73. Sedangkan menurut Mochtar Kusumaatmadja, perjanjian Internasional adalah perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa yang bertujuan untuk mengakibatkan akibat hukum tertentu 74. Menurut I Wayan Parthiana, perjanjian Internasional adalah kata sepakat antara dua atau lebih subjek hukum Internasional mengenai suatu objek atau masalah tertentu dengan maksud membentuk suatu hubungan hukum atau melahirkan hak dan kewajiban yang diatur oleh hukum Internasional.
72
Wasito, Konvensi-Konvensi Wina tentang Hubungan Diplomatik, Hubungan Konsuler dan Hukum Perjanjian/Traktat, Andi Offset, Yogyakarta, 1984. 73 F.A. Whisnu Situni, Identifikasi dan Reformasi Sumber-Sumber Hukum Internasional, Mandar Maju, Bandung, 1989, hal. 31. 74 Mochtar Kusumaatmadja, Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, Edisi Kedua, Cetakan ke-1, Alumni, Bandung, 2003, hal. 117.
Universitas Sumatera Utara
Pengertian perjanjian Internasional dalam Pasal 1 UU Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional adalah perjanjian, dalam bentuk dan nama tertentu, yang diatur dalam hukum Internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik. Di bidang hukum publik berarti diatur oleh hukum Internasional, dan dibuat oleh pemerintah dengan Negara, organisasi Internasional, atau subjek hukum Internasional lain. Sedangkan definisi perjanjian Internasional menurut Pasal 1 ayat (3) UU Nomor 37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri adalah perjanjian dalam bentuk dan sebutan apapun, yang diatur oleh hukum Internasional dan dibuat secara tertulis oleh pemerintah Republik Indonesia dengan satu atau lebih Negara, organisasi Internasional atau subyek hukum Internasional lainnya, serta menimbulkan hak dan kewajiban pada pemerintah Republik Indonesia yang bersifat hukum publik. Pengertian tersebut di satu sisi menyatakan perjanjian Internasional bisa dilakukan oleh setiap subjek hukum Internasional, tapi di sisi lain definisi tersebut mempersempitnya bahwa perjanjian tersebut hanya dilakukan oleh pemerintah (Negara) Indonesia dengan semua objek hukum Internasional lainnya. Artinya, perjanjian tersebut tidak bisa dilakukan oleh subjek non-Negara dengan subjek non-Negara, hanya bisa dilakukan oleh Negara (Indonesia) dengan Negara dan subjek non-Negara. Definisi tersebut juga menyebutkan bahwa perjanjian Internasional hanya mengikat salah satu para pihak saja dalam bentuk hukum publik bagi
Universitas Sumatera Utara
masyarakatnya, padahal setiap perjanjian Internasional bersifat law making and treaty contract (mengikat publik para pihak perjanjian). Berdasarkan beberapa pengertian diatas maka terdapat unsur-unsur yang harus dipenuhi untuk terbentuknya suatu perjanjian Internasional, yaitu 75: 1. Kata Sepakat. Kata sepakat adalah inti dari perjanjian Internasional. Tanpa adanya kata sepakat antara pihak yang mengadakan perjanjian maka tidak akan ada perjanjian. Kata sepakat ini tertuang didalam pasal-pasal perjanjian. 2. Subjek-Subjek Hukum. Subjek hukum yang dimaksud adalah subjek-subjek hukum Internasional yang terikat pada perjanjian. Dalam perjanjian yang tertutup dan isinya lebih teknis maka pihak-pihak yang melakukan perundingan adalah pihak-pihak yang terikat pada perjanjian. Sedangkan dalam perjanjian Internasional yang terbuka dan isinya mengenai melakukan perundingan dan pihak-pihak yang terikat pada perjanjian Internasional tersebut status hukumnya tidak sama. 3. Berbentuk Tertulis Maksudnya sebagai perwujudan dari kata sepakat yang sah dan mengikat para pihak. Oleh karena itu kata sepakat tersebut dirumuskan dalam bahasa dan tulisan yang dapat dimengerti dan dipahami serta disepakati oleh para pihak. 4. Objek Tertentu Maksudnya adalah objek atau hal yang diatur dalam perjanjian. Setiap perjanjian mengandung objek tertentu. Objek tersebut ada kalanya menjadi 75
I Wayan Parthiana, Pengantar Hukum Internasional, CV. Mandar Maju, Bandung, 2003, hal. 14.
Universitas Sumatera Utara
nama dari perjanjian tersebut. Misalnya Konvensi hukum laut objek dari perjanjian tersebut adalah tentang laut. 5. Tunduk kepada atau diatur oleh Hukum Internasional Maksudnya sejak perundingan dimulai untuk merumuskan naskah perjanjian, pemberlakuan, pelaksanaannya dengan segala permasalahan yang timbul sampai dengan pengakhiran perjanjian, seluruhnya tunduk kepada hukum Internasional maupun hukum perjanjian Internasional. Bentuk dan Macam Perjanjian Internasional Praktek pembuatan perjanjian antara Negara-Negara selama ini telah melahirkan berbagai bentuk terminologi perjanjian Internasional yang kadang kala berbeda pemakaiannya menurut Negara, wilayah, maupun jenis perangkat Internasionalnya. Terminologi yang digunakan atas perangkat Internasional tersebut umumnya tidak mengurangi hak dan kewajiban yang terkandung didalamnya. Beberapa terminologi tersebut antara lain 76: 1. Treaties (Perjanjian Internasional/Traktat) Pengertian treaty dapat digunakan menurut pengertian umum, yaitu bahwa treaty mencakup segala macam bentuk persetujuan Internasional, dan dalam arti khusus, dimana treaty merupakan perjanjian yang paling penting dan sangat formal dalam urutan perjanjian. Menurut pengertian umum, istilah treaty dalam bahasa Indonesia lebih dikenal dengan istilah perjanjian Internasional. Dalam pengertian ini, perjanjian Internasional mencakup seluruh perangkat yang dibuat oleh subjek 76
Boer Mauna, Op. Cit., hal. 89.
Universitas Sumatera Utara
hukum Internasional dan memiliki kekuatan yang mengikat menurut hukum Internasional. Sedangkan menurut pengertian khusus, terminologi treaty dalam bahasa Indonesia lebih dikenal dengan traktat. Traktat digunakan untuk suatu perjanjian yang materinya merupakan hal-hal yang prinsipil diantaranya mengatur
masalah
perdamaian,
perbatasan
Negara,
ekstradisi
atau
persahabatan 77. 2. Convention (Konvensi) Dalam pengertian umum, terminologi convention juga mencakup pengertian perjanjian Internasional secara umum dan dapat disamakan dengan pengertian umum terminologi treaty. Dalam pengertian khusus, convention dikenal dengan istilah bahasa Indonesia sebagai Konvensi. Istilah Konvensi dipergunakan untuk perjanjian-perjanjian multilateral yang beranggotakan banyak pihak. Konvensi biasanya bersifat law making artinya merumuskan kaidah-kaidah hukum bagi masyarakat Internasional78. 3. Agreement (Persetujuan) Terminologi agreement juga memiliki pengertian umum dan pengertian khusus. Dalam pengertian umum, Konvensi Wina tahun 1969 menggunakan terminologi agreement dalam artian luas. Dengan demikian pengertian agreement secara umum mencakup seluruh jenis perangkat Internasional dan biasanya mempunyai kedudukan yang lebih rendah dari traktat dan Konvensi.
77 78
Ibid., hal. 90. Ibid., hal. 91.
Universitas Sumatera Utara
Dalam pengertian khusus, lebih dikenal dengan istilah persetujuan, yaitu persetujuan umumnya mengatur materi yang memiliki cakupan lebih kecil dibanding materi yang diatur traktat 79. 4. Charter (Piagam) Istilah charter umumnya digunakan untuk perangkat Internasional seperti dalam pembentukan suatu organisasi Internasional. Penggunaan istilah ini berasal dari Magna Charta 80 yang dibuat pada tahun 1215. Contoh umum perangkat Internasional tersebut adalah piagam PBB tahun 1945. 5. Protocol (Protokol) Terminologi protokol digunakan untuk perjanjian Internasional yang materinya lebih sempit dibanding treaty atau convention. Penggunaan protokol tersebut memiliki berbagai macam keragaman, yaitu: a.
Protocol of Signature Protokol
penandatanganan
merupakan
perangkat
tambahan
suatu
perjanjian Internasional yang dibuat oleh pihak-pihak yang sama pada perjanjian. Protokol tersebut pada umumnya berisikan hal-hal yang berkaitan dengan penafsiran Pasal-Pasal tertentu pada perjanjian dan hal-hal yang berkaitan dengan pengaturan teknik pelaksanaan perjanjian 81. b.
Optional Protocol 79
Ibid., hal. 92. “Magna Charta”, www.wikipedia.com, diakses terakhir kali pada 22 Oktober 2010. Magna Charta (“piagam besar”) adalah piagam Inggris tahun 1215 yang membatasi kekuasaan monarki Inggris, terutama raja John, dari kekuasaan absolut, sebagai hasil dari ketidaksetujuan antara Paus dan raja John dan baronnya atas hak raja. Magna Charta mengharuskan raja untuk membatalkan beberapa hak dan menghargai beberapa prosedur legal, dan untuk menerima bahwa keinginan raja dapat dibatasi oleh hukum. Magna Charta adalah langkah pertama dalam proses sejarah yang panjang yang menuju ke pembuatan hukum konstitusional. 81 Ibid., hal. 93. 80
Universitas Sumatera Utara
Protokol tambahan memberikan tambahan hak dan kewajiban selain yang diatur dalam perjanjian Internasional. Protokol tersebut biasanya memiliki karakter khusus dan memerlukan proses pengesahan yang terpisah dari perjanjian induknya. Protokol tersebut dimaksud untuk memberikan kesempatan pada beberapa pihak untuk membentuk pengaturan lebih jauh dari perjanjian induk tanpa memerlukan persetujuan seluruh Negara pihak. Contohnya adalah protokol tambahan konvenan Internasional mengenai hakhak sipil dan politik tahun 1966. c.
Protocol Based on Framework Treaty Protokol ini merupakan perangkat yang mengatur kewajiban-kewajiban
khusus dalam melaksanakan perjanjian induknya. Protokol tersebut umumnya digunakan
untuk
menjamin
proses
pembuatan
perjanjian-perjanjian
berlangsung lebih cepat dan sederhana dan telah digunakan khususnya pada hukum lingkungan. Contoh atas protokol ini adalah Protocol on Substances that Deplete the Ozone Layer yang didasari oleh Pasal 2 dan 8 Vienna Convention for Protection of the Ozone Layer tahun 1985. d. Protokol untuk mengubah beberapa perjanjian Internasional Seperti Protocol of 1946 Amending the Agreement, Conventions and Protocol on Narcotics Drugs. e. Protokol yang merupakan perlengkapan perjanjian sebelumnya Seperti Protocol of 1967 Relating to the Status of Refugees yang merupakan perlengkapan dari Convention of 1951 Relating to the Status of Refugees. 6. Declaration (Deklarasi)
Universitas Sumatera Utara
Deklarasi merupakan perjanjian dan berisikan ketentuan-ketentuan umum dimana pihak-pihak pada perjanjian tersebut berjanji untuk melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan tertentu di masa yang akan datang. 7. Final Act Final act adalah suatu dokumen yang berisikan ringkasan laporan sidang dari suatu konferensi dan yang juga menyebutkan perjanjian-perjanjian atau Konvensi-Konvensi yang dihasilkan oleh konferensi tersebut dengan kadangkadang disertai anjuran atau harapan yang sekiranya dianggap perlu. Penandatanganan final act hanya berarti berakhirnya suatu tahap dalam proses pembuatan perjanjian 82. 8. Agreed Minutes and Summary Record Agreed minutes dan summary record adalah catatan mengenai hasil perundingan yang telah disepakati oleh pihak-pihak dalam perjanjian. Catatan ini dipergunakan sebagai rujukan dalam perundingan-perundingan selanjutnya. 9. Memorandum of Understanding (MoU) Memorandum saling pengertian (MoU) merupakan suatu perjanjian yang mengatur pelaksanaan teknis operasional suatu perjanjian induk. Sepanjang materi yang diatur bersifat teknis, memorandum ini dapat berdiri sendiri dan tidak memerlukan adanya perjanjian induk 83. 10.
Arrangement Arrangement adalah suatu perjanjian yang mengatur pelaksanaan teknik
operasional suatu perjanjian induk. Terkadang juga dipakai istilah special 82 83
Ibid., hal. 94. Ibid., hal. 95.
Universitas Sumatera Utara
arrangement untuk pelaksanaan kegiatan-kegiatan yang terdapat dalam persetujuan-persetujuan kerjasama teknis. 11.
Exchange of Notes (Pertukaran Nota) Pertukaran nota merupakan perjanjian Internasional bersifat umum yang
memiliki banyak persamaan dengan perjanjian hukum perdata. Perjanjian ini dilaksanakan dengan mempertukarkan dua dokumen yang ditandatangani oleh kedua belah pihak pada masing-masing dokumen. Biasanya nota-nota yang dipertukarkan tersebut berisikan kesepakatan-kesepakatan yang telah dicapai dengan tanggal yang sama dan mulai berlaku pada tanggal tersebut kecuali bila pihak-pihak menentukan lain. 12.
Process-Verbal Istilah ini digunakan untuk mencatat pertukaran atau penyimpanan piagam
pengesahan atau untuk mencatat kesepakatan hal-hal yang bersifat teknik administratif atau perubahan-perubahan kecil dalam suatu persetujuan 84. 13.
Modus Vivendi Modus vivendi merupakan suatu perjanjian yang bersifat sementara dengan
maksud diganti dengan peraturan yang tetap dan terperinci. Biasanya dibuat dengan cara tidak resmi dan tidak memerlukan pengesahan. Secara garis besar perjanjian Internasional terdiri dua bentuk, yaitu: 1. perjanjian Internasional yang tidak tertulis (unwritten/oral agreement) Perjanjian Internasional tidak tertulis pada umumnya adalah pernyataan bersama atau secara timbal balik diucapkan oleh kepala Negara, kepala
84
Ibid., hal. 96.
Universitas Sumatera Utara
pemerintahan ataupun menteri luar negeri yang atas Negaranya masing-masing mengenai suatu masalah tertentu yang menyangkut kepentingan para pihak. Selain itu juga dapat berupa pernyataan sepihak yang dikemukakan oleh pejabat-pejabat atau organ-organ pemerintahan Negara yang kemudian ditanggapi secara positif oleh pejabat-pejabat Negara atau organ-organ pemerintah dari Negara lain. 2. perjanjian Internasional tertulis (written agreement) Perjanjian Internasional tertulis lebih banyak dilaksanakan dalam suatu hubungan Internasional. Hal disebabkan karena perjanjian Internasional tertulis mempunyai keunggulan seperti ketegasan, kejelasan, dan kepastian hukum bagi para pihak. Beberapa macam perjanjian Internasional tertulis, antara lain: a.
perjanjian Internasional yang berbentuk perjanjian antar Negara.
Perjanjian Internasional yang terjadi biasanya merupakan perjanjian yang dilihat dari segi isinya sangat penting, baik bagi kedua Negara yang melaksanakan perjanjian, ataupun Negara yang menjadi peserta perjanjian. Perjanjian yang berlaku tertutup, maka hanya terbatas bagi Negara-Negara yang terikat. Tetapi jika perjanjian dilaksanakan terbuka, maka perjanjian berlaku juga bagi Negara lain atau Negara ketiga yang dapat menjadi peserta dari perjanjian tersebut. b.
perjanjian Internasional yang berbentuk perjanjian antar kepala Negara.
Perjanjian ini termasuk perjanjian yang penting karena ditandatangani oleh kepala Negara masing-masing pihak.
Universitas Sumatera Utara
c.
perjanjian Internasional yang berbentuk antar pemerintah. Dalam
perjanjian ini wakil-wakil tiap Negara adalah menteri-menteri dari bidang masing-masing. Perjanjian ini lebih bersifat teknis dan tertutup. d.
perjanjian Internasional dalam bentuk kepala Negara dan kepala
pemerintahan. Perjanjian Internasional ini ditandatangani oleh presiden dan perdana menteri. Perjanjian Internasional yang tertulis terbagi dalam berbagai macam bentuk ditinjau dari berbagai macam segi. Berdasarkan berbagai segi tinjauan maka perjanjian Internasional terbagi dalam 85: 1. Berdasarkan jumlah Negara yang menjadi pesertanya, yaitu: a. perjanjian Bilateral, atau juga disebut bipartite treaty 86, yaitu perjanjian Internasional yang pihak-pihak atau Negara pesertanya hanya terdiri dari dua Negara saja. Perjanjian bilateral hampir disemua hal hanya membentuk apa yang disebut hukum tertentu atau hukum khusus yang berbeda dengan hukum umum yang membentuk hukum internasional bagi dua penandatangan dan tentu saja tidak menimbulkan hukum yang bersifat universal yang berlaku bagi semua negara. Namun jika cukup banyak perjanjian bilateral yang dibuat itu sifatnya sama, maka perjanjian-perjanjian tersebut bisa memperoleh kekuatan sebagai hukum yang umum.
85 86
Ibid., hal. 40. Sumaryo Suryokusumo, Hukum Perjanjian Internasional, Jakarta: Tata Nusa, 2008, hal.
13.
Universitas Sumatera Utara
Misalnya karena tiap negara di dunia paling tidak mempunyai beberapa perjanjian yang dibuat dengan negara lain misalnya yang menyangkut ekstradisi penjahat, perjanjian bilateral yang terpisah ini akan menyatu dan mempunyai kekuatan bersama dalam hukum internasional secara umum 87. Akan tetapi hal ini menurut Fenwick C.G. dalam bukunya International Law, khusus untuk masalah ekstradisi, karena adanya perbedaan dalam hukum pidana dari negara-negar khususnya perbedaan dalam konsepsi pelanggaran politik yang dipisahkan dari pelanggaran kejahatan, maka negara-negara tersebut kemudian tidak dapat membuat satu Konvensi internasional secara umum untuk mengganti perjanjian-perjanjian bilateral yang begitu banyak yang dapat menimbulkan berbagai penafsiran yang berbeda-beda. b. perjanjian Multilateral (multipartite) 88, yaitu perjanjian Internasional yang pihak-pihak atau Negara pesertanya pada perjanjian tersebut lebih dari dua Negara, yang mungkin dibuat dalam kerangka baik regional seperti Warsaw Pact of Friendship and Cooperation and Mutual Assistance yang ditandatangani pada 14 Mei 1955, maupun internasional atau bersifat fungsional yang bukan digolongkan dalam kategori wilayah geografis, seperti Five-Power Treaty on Naval Limitation. Dalam perjanjian multilateral, yang sangat berbeda dengan perjanjian bilateral ada dua kelompok yaitu perjanjian multilateral yang bersifat umum yang lazim disebut perjanjian pembuat hukum (law making), dan walaupun 87 88
Ibid., hal. 14. Ibid., hal. 15.
Universitas Sumatera Utara
berbeda dalam beberapa hal dengan perundang-undangan negara ternyata memberikan kehendak yang sama bagi para pihak terhadap subyek perjanjian tersebut 89. 2. Berdasarkan kesempatan yang diberikan kepada Negara-Negara untuk menjadi pihak atau peserta, yaitu: a. perjanjian Internasional tertutup, adalah perjanjian Internasional yang substansinya merupakan kaidah hukum yang khusus berlaku bagi para pihak yang berkepentingan, dan Negara ketiga tidak diperkenankan ikut serta. b. perjanjian Internasional terbuka, adalah perjanjian Internasional yang berlaku bagi Negara-Negara lain yang pada awalnya tidak ikut dalam proses perundingan terbentuknya perjanjian tersebut. 3. Berdasarkan kaidah hukumnya, terbagi dalam tiga macam, yaitu: a. melahirkan kaidah hukum yang khusus berlaku bagi para pihak yang terikat. Perjanjian semacam ini bisa berbentuk perjanjian bilateral maupun multilateral terbatas, sehingga kaidah hukumnya tidak berlaku bagi Negara yang tidak terikat perjanjian. b. melahirkan kaidah hukum yang berlaku terbatas dalam satu kawasan, biasanya hal ini terjadi dalam perjanjian Internasional terbuka. Kaidah hukum ini tidak berlaku bagi Negara atau peserta lain yang tidak berada dalam kawasan tersebut. Perjanjian Internasional ini biasa disebut sebagai perjanjian Internasional regional.
89
Ibid., hal. 16.
Universitas Sumatera Utara
c. melahirkan kaidah hukum yang berlaku umum, perjanjian ini biasanya menyangkut kepentingan Negara diseluruh dunia. Perjanjian ini tidak memandang letak geografis maupun jenis suatu Negara. 4. Berdasarkan bahasanya, dibedakan dalam 3 macam, yaitu: a. dalam bentuk satu bahasa, biasanya adalah bahasa yang disetujui kedua belah pihak. Apabila terjadi perselisihan maka naskah perjanjian dalam bahasa ini dijadikan sebagai naskah yang sah dan otentik. b. dirumuskan dalam bentuk dua bahasa atau lebih tetapi hanya dirumuskan dalam satu bahasa yang sah dan mengikat para pihak. Biasanya perjanjian ini dirumuskan dalam bahasa inggris yang disepakati sebagai naskah yang sah dan otentik serta mengikat para pihak. Sementara naskah dalam bahasa lainnya yang umumnya bahasa nasional masing-masing pihak hanya berlaku dalam negeri sebagai bagian dari hukum nasional masing-masing. c. dirumuskan dalam lebih dari dua bahasa semuanya merupakan naskah yang sah, otentik, dan mempunyai kekuatan mengikat yang sama. Perjanjian ini diwarnai oleh faktor politik yang cukup besar, sehingga setiap pihak ingin perjanjian tersebut dirumuskan dalam bahasanya. 5. Berdasarkan substansi hukum yang dikandungnya, perjanjian Internasional dirumuskan kedalam: a. keseluruh pasal merupakan perumusan kaidah-kaidah hukum kebiasaan Internasional dalam bidang yang bersangkutan. Untuk masa sekarang dan yang akan datang, perjanjian semacam ini tidak akan terjadi. Hal ini dikarenakan perkembangan hukum Internasional yang pesat sehingga selalu
Universitas Sumatera Utara
muncul hal-hal baru disamping kaidah-kaidah hukum yang telah menjadi kebiasaan Internasional. b. perumusan yang melahirkan kaidah-kaidah hukum Internasional yang sama sekali baru. Hal ini biasanya berkenaan dengan hal-hal yang baru dan belum ada kaidah hukum yang mengaturnya. c. perpaduan antara kaidah-kaidah hukum kebiasaan Internasional dan kaidah-kaidah hukum Internasional yang baru sama sekali. Hal ini disebabkan karena berkembang pesatnya masyarakat dunia, sehingga selain hukum
kebiasaan
Internasional
dibutuhkan
kaidah-kaidah
hukum
Internasional yang baru. 6. Berdasarkan pemrakarsanya. Suatu perjanjian Internasional terjadi karena didorong oleh adanya suatu kebutuhan. Sehingga ada pihak-pihak yang mendorong terjadinya perjanjian Internasional, yaitu: a. pembentukannya diprakarsai oleh Negara atau Negara-Negara. Biasanya hanya yang menyangkut objek kepentingan Negara-Negara yang terikat ataupun Negara-Negara yang tidak terikat pada perjanjian. b. pembentukannya diprakarsai oleh organisasi Internasional. Biasanya objek dari perjanjian adalah hal yang berkenaan dengan kegiatan dari organisasi Internasional tersebut. 7. Berdasarkan ruang lingkup berlakunya perjanjian, yaitu: a. perjanjian Internasional khusus, perjanjian yang hanya berlaku khusus bagi Negara-Negara yang terikat didalamnya tanpa memandang letak geografis dari Negara-Negara tersebut. Contohnya adalah perjanjian
Universitas Sumatera Utara
Internasional yang terdapat di dalam Organization of Petroleum and Economic Cooperation (OPEC). b. perjanjian Internasional regional atau kawasan, perjanjian Internasional yang berlakunya berdasarkan hanya terbatas pada kawasan tertentu saja dan mengikat
Negara-Negara yang
berada dalam satu kawasan yang
menunjukkan ciri regionalnya. Contohnya adalah Deklarasi Bangkok pada 8 Agustus 1967 tentang ASEAN. c. perjanjian Internasional universal, perjanjian Internasional yang substansi dan ruang lingkupnya bagi seluruh Negara. Perjanjian Internasional ini merupakan perjanjian Internasional yang bersifat law making treaty. Misalnya adalah Konvensi hukum laut PBB tahun 1982.
B. Proses Pembentukan Perjanjian Internasional Menurut Pasal 38 (1) Piagam Mahkamah Internasional, Perjanjian Internasional merupakan salah satu sumber hukum Internasional. Perjanjian Internasional yang diakui oleh Pasal 38 (1) piagam Mahkamah Internasional hanya perjanjian-perjanjian yang dapat membuat hukum. Pada tahun 1969, Negara-Negara telah menandatangani Konvensi Wina tentang perjanjian Internasional, yang mulai berlaku pada tahun 1980. Pasal 2 Konvensi Wina 1980 mendefinisikan perjanjian Internasional sebagai persetujuan antara dua Negara atau lebih, dengan tujuan mengadakan hubungan timbal balik
Universitas Sumatera Utara
menurut hukum Internasional. Dalam praktiknya, beberapa Negara yang membentuk perjanjian Internasional dapat dibedakan menjadi 90: 1. perjanjian Internasional melalui dua tahap Kedua tersebut adalah tahap perundingan (negotiation) dan tahap penandatanganan (signature). Dalam tahap perundingan ini, wakil-wakil para pihak bertemu dalam suatu forum atau tempat khusus membahas dan merumuskan masalah-masalah. Perumusan tersebut kemudian menjadi hasil kata sepakat yang akhirnya berupa naskah perjanjian. Selanjutnya naskah perjanjian tersebut ditandatangani yang berarti telah mempunyai kekuatan mengikat bagi para pihak yang bersangkutan. Perjanjian yang dibentuk melalui dua tahap cukup sederhana dan cukup prosesnya. Perjanjian dua tahap
ini hanya sesuai untuk masalah-masalah yang
pelaksanaannya segera dapat diselesaikan. 2. perjanjian Internasional melalui 3 tahap. Tahapan yang harus dilalui adalah tahap perundingan (negotiation), tahap penandatanganan (signature), dan tahap pengesahan (ratification). Setelah wakil-wakil mengadakan perundingan kemudian dilanjutkan dengan penandatanganan, tetapi tindakan penandatanganan tidak merupakan pengikatan diri terhadap perjanjian. Agar perjanjian tersebut mengikat bagi para pihak maka wakil-wakil tersebut mengajukan kepada pemerintah Negara masing-masing untuk disahkan
90
I Wayan Parthiana, Op. Cit., hal. 221.
Universitas Sumatera Utara
atau diratifikasi. Umumnya perjanjian ini menyangkut hal-hal yang mengandung nilai penting atau prinsip bagi para pihak yang bersangkutan. Proses pembentukan perjanjian Internasional, menempuh berbagai tahapan dalam pembentukan perjanjian Internasional, sebagai berikut 91: 1. tahap Penjajagan Tahap penjajagan dirancang agar sesuai dengan kebijakan di dalam mekanisme pembuatan dan pengesahan perjanjian Internasional. Tahap ini merupakan tahap awal yang dilakukan oleh kedua belah pihak yang berunding mengenai kemungkinan dibuatnya suatu perjanjian Internasional. 2. tahap Perundingan Tahap perundingan selain dimaksud sebagai upaya untuk mencapai kesepakatan atas materi yang belum dapat disetujui dalam tahap penjajagan, juga digunakan untuk menegaskan kembali kedudukan para pihak untuk memperjelas pemahaman akan maksud dan makna yang tertuang dalam ketentuan di dalam perjanjian Internasional. 3. tahap Perumusan Naskah Rumusan naskah perjanjian Internasional merupakan hasil kesepakatan dalam perundingan oleh para pihak atas materi perjanjian Internasional. Dalam perumusan suatu naskah perjanjian perlu diperhatikan, antara lain 92: a.
Judul
b.
Konsiderans/preambule 91
Direktorat Perjanjian Ekonomi dan Sosial Budaya Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Luar Negeri, Departemen Luar Negeri, Pedoman Teknis dan Referensi tentang Pembuatan Perjanjian Internasional, 2006, hal. 12. 92 Ibid., hal. 15.
Universitas Sumatera Utara
c.
Batang tubuh, yang terdiri dari: 1) Definisi 2) Tujuan 3) Lingkup kerjasama 4) Pengaturan kerjasama, hak dan kewajiban para pihak 5) Pelaksanaan kerjasama
d.
Penyelesaian sengketa/perbedaan
e.
Amandemen/perubahan
f.
Mulai berlaku, masa berlaku, dan pengakhiran
g.
Ketentuan tentang force majeur
h.
Ketentuan penutup
i.
Penandatanganan (nama dan jabatan)
j.
Dalam perjanjian bilateral, diupayakan agar naskah juga dibuat dalam bahasa Indonesia
k.
Dilakukan pemarafan terhadap naskah perjanjian Internasional yang telah disetujui.
4. tahap Penerimaan Naskah Penerimaan merupakan hasil akhir yang telah disepakati para pihak yang akan ditindaklanjuti dengan tahap penandatanganan. Pada tahap ini juga para pihak membubuhkan paraf yang dilakukan oleh Ketua Perundingan masing-masing pihak terhadap naskah perjanjian yang telah disepakati dan siap untuk ditandatangani. 5. tahap Penandatanganan
Universitas Sumatera Utara
Merupakan tahap akhir dalam perundingan untuk melegalisasi suatu naskah perjanjian Internasional yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Hal ini berlaku untuk perjanjian bilateral dan perjanjian multilateral.
C. Tahap Pengesahan (Ratifikasi) dalam Sistem Hukum Internasional dan Hukum Indonesia Sebagai Negara merdeka yang berdaulat Indonesia telah aktif berperan dalam pergaulan hubungan Internasional dan mengadakan perjanjian-perjanjian Internasional dengan Negara-Negara lain, baik yang bersifat bilateral maupun multilateral. Dalam
melaksanakan
perjanjian-perjanjian
Internasional
tersebut,
Indonesia menganut prinsip primat hukum nasional dalam arti bahwa hukum Nasional mempunyai kedudukan lebih tinggi daripada hukum Internasional. Dasar kewenangan presiden dalam pembuatan perjanjian Internasional diatur dalam Pasal 11 Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amandemen mengatur tentang perjanjian Internasional berbunyi sebagai berikut: “Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian dengan Negara lain.” Pasal 11 UUD 1945 sebelum amandemen ini memerlukan suatu penjabaran lebih lanjut bagaimana suatu perjanjian Internasional dapat berlaku dan menjadi hukum di Indonesia. Untuk itu melalui Surat Presiden No. 2826/HK/1960 mencoba menjabarkan lebih lanjut Pasal 11 UUD 1945 tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Pengaturan tentang perjanjian Internasional selama ini yang dijabarkan dalam bentuk Surat Presiden No. 2826/HK/1960, tertanggal 22 Agustus 1960, yang ditujukan kepada ketua Dewan Perwakilan Rakyat, dan telah menjadi pedoman dalam proses pengesahan perjanjian Internasional selama bertahuntahun. Pengesahan perjanjian Internasional menurut Surat Presiden ini dapat dilakukan melalui undang-undang atau keputusan presiden, tergantung dari materi yang diatur dalam perjanjian Internasional. Tetapi dalam prakteknya pelaksanaan dari surat presiden ini banyak terjadi penyimpangan sehingga perlu untuk diganti dengan undang-undang yang mengatur secara khusus mengenai perjanjian Internasional. Surat presiden tersebut telah memberikan penafsiran bahwa ada dua macam bentuk perjanjian yaitu perjanjian yang penting yang berbentuk traktat (treaties) dan yang kurang penting berbentuk persetujuan (agreements). Jadi ada dua cara pengesahan dari perjanjian-perjanjian yaitu: 1. Traktat (treaties) pengesahan melalui DPR dengan undang-undang 2. Persetujuan (agreements) pengesahannya dengan keputusan Presiden dan DPR cukup diberitahukan oleh Sekretariat Kabinet 93. Pembuatan dan pengesahan perjanjian Internasional antara Pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara-negara lain, organisasi Internasional dan subjek hukum Internasional lain adalah suatu perbuatan hukum yang sangat penting karena mengikat Negara dengan subjek hukum Internasional lainnya.
93
Boer Mauna, Op. Cit., hal. 167.
Universitas Sumatera Utara
Oleh sebab itu pembuatan dan pengesahan suatu perjanjian Internasional dilakukan berdasarkan undang-undang. Sebelum adanya Undang-Undang Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, kewenangan untuk membuat Perjanjian Internasional seperti tertuang dalam Pasal 11 Undang-Undang Dasar 1945, menyatakan bahwa presiden mempunyai kewenangan untuk membuat perjanjian Internasional dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Hal ini menjadi alasan perlunya perjanjian Internasional yang kemudian diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Dalam Undang-Undang Nomor 24 tahun 2000, diatur hal-hal yang berkaitan dengan pembuatan, pengesahan, pemberlakuan, penyimpanan, dan pengakhiran perjanjian Internasional. Dalam pengesahan perjanjian Internasional terbagi dalam empat kategori, yaitu 94: 1. Ratifikasi (ratification), yaitu apabila Negara yang akan mengesahkan suatu perjanjian Internasional turut menandatangani naskah perjanjian Internasional. 2. Aksesi (accession), yaitu apabila Negara yang akan mengesahkan suatu perjanjian Internasional tidak turut menandatangani naskah perjanjian. 3. Penerimaan (acceptance), yaitu pernyataan menerima dari Negara-Negara pihak pada suatu perjanjian Internasional. 4. Penyetujuan (approval), yaitu pernyataan menyetujui dari Negara-Negara pihak pada suatu perjanjian Internasional. 94
Direktorat Perjanjian Ekonomi dan Sosial Budaya Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Luar negeri, Departemen Luar negeri, Op. Cit., hal.27.
Universitas Sumatera Utara
Dalam suatu pengesahan perjanjian Internasional penandatanganan suatu perjanjian tidak serta merta dapat diartikan sebagai pengikat para pihak terhadap perjanjian tersebut. Penandatanganan suatu perjanjian Internasional memerlukan pengesahan untuk dapat mengikat. Perjanjian Internasional tidak akan mengikat para pihak sebelum perjanjian tersebut disahkan. Seseorang yang mewakili pemerintah dengan tujuan menerima atau menandatangani naskah suatu perjanjian atau mengikatkan Negara terhadap perjanjian Internasional, memerlukan surat Kuasa (Full Powers). Pejabat yang tidak memerlukan surat kuasa adalah Presiden dan Menteri. Dahulu full powers mempunyai arti yang sangat penting. Raja-raja dalam mengirimkan utusannya untuk berunding selalu dilengkapi dengan full powers. Oleh karena komunikasi pada zaman dahulu susah dan perjalanan para utusan memakan waktu yang cukup lama dan juga sulit untuk pulang balik berkonsultasi maka kepada mereka raja memberikan kuasa penuh bukan saja untuk berunding tetapi juga untuk langsung menandatangani suatu perjanjian 95. Tetapi sekarang ini penunjukan surat kuasa tidak selalu mutlak sebagaimana yang ditunjukkan Pasal 7 ayat 1 (b) Konvensi Wina yang menyatakan bahwa wakil dari suatu Negara dalam suatu perundingan dapat dibebaskan dari surat kuasa kalau memang demikian praktek dari Negara yang bersangkutan. Demikian juga utusan yang tidak mempunyai full powers pun dapat
95
Boer Mauna, Op. Cit., hal. 100.
Universitas Sumatera Utara
ikut membuat suatu perjanjian asal saja dikonfirmasikan kemudian oleh pemerintahnya 96. Ada beberapa pejabat yang karena jabatan atau kedudukannya selalu bertindak mewakili dan atas nama Negaranya, tidak memerlukan kuasa penuh dalam merumuskan perjanjian-perjanjian Internasional. Pejabat-pejabat Negara tersebut, menurut Pasal 7 ayat (2) Konvensi Wina adalah: 1. Kepala Negara (Head of State), kepala Pemerintah (Head of Goverment), Menteri Luar Negeri (Minister for Foreign Affairs, Secretary of State). Pejabatpejabat Negara ini tidak membutuhkan kuasa penuh dalam segala tindakannya dalam hubungan Internasional termasuk dalam pembuatan dan pengikatan diri dalam perjanjian Internasional. 2. Kepala Misi Diplomatik, khusus dalam pembuatan dan pengikatan diri pada perjanjian-perjanjian Internasional antara Negaranya dengan Negara dimana dia ditempatkan atau diakreditasi. 3. Wakil-wakil yang ditempatkan atau diakreditasi oleh Negaranya pada lembagalembaga Internasional, khusus dalam hubungannya dengan perbuatan perjanjian antar Negaranya dengan organisasi Internasional tersebut 97. Tetapi penandatanganan suatu perjanjian Internasional yang menyangkut kerjasama teknis sebagai pelaksanaan dari perjanjian yang sudah berlaku dan materinya berada dalam lingkup kewenangan suatu lembaga Negara atau lembaga pemerintah, baik departemen maupun non-departemen, dilakukan tanpa memerlukan surat kuasa. 96 97
Ibid., hal. 101. I Wayan Parthiana, Op. Cit., hal. 225.
Universitas Sumatera Utara
Pengesahan Perjanjian Internasional oleh pemerintah dilakukan sepanjang dipersyaratkan oleh Perjanjian Internasional tersebut. Pengesahan suatu perjanjian Internasional dilakukan berdasarkan ketetapan yang disepakati oleh para pihak. Perjanjian Internasional yang memerlukan pengesahan mulai berlaku setelah terpenuhinya prosedur pengesahan yang diatur dalam undang-undang. Pengesahan perjanjian Internasional dilakukan dengan undang-undang atau keputusan presiden. Pengesahan dengan undang-undang memerlukan persetujuan DPR. Pengesahan dengan keputusan presiden hanya perlu pemberitahuan ke DPR. Pengesahan perjanjian Internasional menurut Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional dilakukan melalui undangundang apabila berkenaan dengan 98: 1. Masalah politik, perdamaian, pertahanan dan keamanan Negara 2. Perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah Negara 3. Kedaulatan atau hak berdaulat Negara 4. Hak asasi manusia dan lingkungan hidup 5. Pembentukan kaidah hukum baru 6. Pinjaman dan/atau hibah luar negeri Di dalam mekanisme fungsi dan wewenang, DPR dapat meminta pertanggung jawaban atau keterangan dari pemerintah mengenai perjanjian Internasional yang telah dibuat. Apabila dipandang merugikan kepentingan nasional, perjanjian Internasional tersebut dapat dibatalkan atas permintaan DPR, 98
Direktorat Perjanjian Ekonomi dan Sosial Budaya Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Luar Negeri, Departemen Luar Negeri, Op. Cit., hal. 20.
Universitas Sumatera Utara
sesuai dengan ketentuan yang ada dalam Pasal 18 huruf (h) Undang-Undang Nomor 24 tahun 2000. Dengan demikian pemberlakuan Perjanjian Internasional kedalam hukum nasional Indonesia tidak serta merta. Hal ini juga memperlihatkan bahwa Indonesia memandang hukum nasional dan hukum Internasional sebagai dua sistem hukum yang berbeda dan terpisah satu dengan yang lainnya. Perjanjian Internasional yang tidak mensyaratkan pengesahan dalam pemberlakuannya, biasanya memuat materi yang bersifat teknis atau suatu pelaksana teknis terhadap perjanjian induk. Perjanjian Internasional seperti ini dapat langsung berlaku setelah penandatanganan atau pertukaran dokumen perjanjian/nota diplomatik, atau melalui cara lain yang disepakati dalam perjanjian oleh para pihak. Perjanjian yang termasuk dalam kategori ini diantaranya adalah perjanjian yang materinya mengatur secara teknis kerjasama bidang pendidikan, sosial, budaya, pariwisata, penerangan kesehatan, pertanian, kehutanan dan kerjasama antar propinsi atau kota. Perjanjian Internasional mulai berlaku dan mengikat para pihak setelah memenuhi ketentuan yang ditetapkan dalam perjanjian tersebut 99. Ratifikasi Perjanjian Internasional Perjanjian Internasional harus ditransformasikan menjadi hukum nasional dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Perjanjian Internasional sesuai dengan UU Nomor 24 tahun 2000, diratifikasi melalui undang-undang dan keputusan presiden. Undang-undang ratifikasi tersebut tidak serta merta menjadi
99
Mochtar Kusumaatmadja, Op. Cit., hal. 121.
Universitas Sumatera Utara
perjanjian Internasional menjadi hukum nasional Indonesia, undang-undang ratifikasi hanya menjadikan Indonesia sebagai Negara terikat terhadap perjanjian Internasional tersebut. Untuk perjanjian Internasional tersebut berlaku perlu dibuat undangundang yang lebih spesifik mengenai perjanjian Internasional yang diratifikasi, contohnya Indonesia meratifikasi International Covenant on Civil and Political Rights melalui undang-undang, maka selanjutnya Indonesia harus membuat undang-undang yang menjamin hak-hak yang ada di covenant tersebut dalam undang-undang yang lebih spesifik. Ratifikasi suatu Konvensi atau perjanjian Internasional lainnya hanya dilakukan oleh Kepala Negara/Kepala Pemerintahan. Pasal 14 Konvensi Wina 1969 mengatur tentang kapan ratifikasi memerlukan persetujuan agar dapat mengikat 100. Kewenangan untuk menerima atau menolak ratifikasi melekat pada kedaulatan Negara. Hukum Internasional tidak mewajibkan suatu Negara untuk meratifikasi suatu perjanjian. Namun bila suatu Negara telah meratifikasi perjanjian Internasional maka Negara tersebut akan terikat oleh Perjanjian Internasional tersebut. Sebagai konsekuensi Negara yang telah meratifikasi perjanjian Internasional tersebut akan terikat dan tunduk pada perjanjian 100
Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian, Wina, 23 Mei 1969, Pasal 14 ayat (1). Setujunya suatu Negara terikat oleh suatu perjanjian dinyatakan dengan ratifikasi jika: (a) perjanjian itu menentukan bagi setuju demikian ini dinyatakan dengan cara ratifikasi; (b) dengan cara lain ternyata bahwa Negara-Negara yang berunding itu setuju bahwa ratifikasi harus diperlukan; (c) wakil Negara telah menandatangani perjanjian itu harus diratifikasi; atau (d) maksud Negara untuk menandatangani perjanjian yang harus diratifikasi itu nampak dari full powers wakil-wakilnya atau dinyatakan selama perundingan.
Universitas Sumatera Utara
Internasional yang telah ditandatangani, selama materi atau substansi dalam perjanjian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan nasional. Dalam sistem hukum nasional kita, ratifikasi Perjanjian Internasional diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Berdasarkan sistem hukum nasional kita, maka dengan meratifikasi suatu Konvensi baik regional maupun multilateral, perjanjian bilateral, Negara sudah terikat untuk tunduk pada ketentuan-ketentuan dalam Konvensi atau perjanjian tersebut. Suatu Konvensi atau perjanjian Internasional yang telah diratifikasi, baru dapat dilaksanakan apabila telah dimasukkan dalam suatu undang-undang yang dikenal sebagai undang-undang tentang Pengesahan Ratifikasi Perjanjian Internasional. Dalam sistem Hukum Nasional Indonesia, meskipun suatu perjanjian Internasional telah diratifikasi dengan undang-undang tentang Pengesahan Ratifikasi, tetapi perjanjian belum dapat dilaksanakan apabila tidak sesuai dengan isi ketentuan peraturan perundang-undangan nasional yang mengatur tentang materi yang sama dengan yang ditentukan dalam perjanjian yang diratifikasikan tersebut. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004,
tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dalam Pasal 8 disebutkan bahwa materi muatan yang harus diatur dalam undang-undang berisi hal-hal yang mengatur lebih lanjut ketentuan UUD 1945 yang meliputi hak-hak asasi manusia, hak dan kewajiban warga Negara, pelaksanaan dan penegakan kedaulatan Negara
Universitas Sumatera Utara
serta pembagian kekuasaan Negara, wilayah Negara dan pembagian daerah, kewarganegaraan dan kependudukan, dan keuangan Negara. Selanjutnya selain dari yang berkaitan dengan UUD 1945 adalah diperintahkan oleh suatu undang-undang untuk diatur dengan undang-undang. Hal ini sama dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional mengenai hal apa saja dari perjanjian Internasional yang disahkan dalam undang-undang. Beberapa hal yang sama adalah mengenai kedaulatan, hak asasi manusia, wilayah Negara dan masalah keuangan Negara. Hal lain adalah merupakan penjabaran lebih lanjut dan lebih spesifik dari muatan undang-undang secara umum. Sehingga tidak adanya suatu perbedaan antara undang-undang ratifikasi perjanjian Internasional dan undang-undang pada umumnya dilihat dari sudut muatan materi undang-undang. Dalam mengesahkan suatu perjanjian Internasional, lembaga pemprakarsa yang terdiri atas lembaga Negara dan lembaga pemerintah, baik departemen maupun non-departemen, menyiapkan salinan naskah perjanjian, terjemahan, rancangan
undang-undang,
atau
rancangan
keputusan
presiden
tentang
pengesahan perjanjian Internasional dimaksud serta dokumen-dokumen lain yang diperlukan 101. Selanjutnya pengajuan pengesahan perjanjian Internasional dilakukan melalui menteri untuk disampaikan kepada presiden 102. Presiden mengajukan rancangan undang-undang, tentang pengesahan perjanjian Internasional yang telah disiapkan dengan surat Presiden kepada pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam surat tersebut Presiden menegaskan 101
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Pasal 12. 102 Ibid., Pasal 12 ayat (3).
Universitas Sumatera Utara
antara lain tentang materi yang ditugasi mewakili Presiden dalam melakukan pembahasan rancangan undang-undang di Dewan Perwakilan Rakyat 103. DPR mulai membahas rancangan undang-undang dalam jangka waktu paling lambat 60 hari sejak surat presiden diterima. Untuk keperluan pembahasan rancangan undang-undang di DPR, menteri atau pimpinan lembaga pemprakarsa memperbanyak naskah rancangan undang-undang tersebut dalam jumlah yang diperlukan 104. Pembahasan rancangan undang-undang di DPR dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat bersama Presiden atau menteri yang ditugasi. Pembahasan bersama
dilakukan
melalui
tingkat-tingkat
pembicaraan.
Tingkat-tingkat
pembicaraan dilakukan dalam rapat komisi/panitia/alat kelengakapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi dan rapat paripurna. Tata cara pembahasan rancangan undang-undang tersebut diatur dengan Peraturan Tata Tertib DPR 105. Rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden, disampaikan oleh pimpinan DPR kepada Presiden untuk disahkan menjadi undang-undang 106. Setiap undang-undang atau keputusan presiden tentang pengesahan perjanjian Internasional ditempatkan dalam Lembaran Negara RI. Penempatan peraturan perundang-undangan pengesahan suatu perjanjian Internasional di
103
Ibid., Pasal 20. Ibid. 105 Ibid., Pasal 32 ayat (1), (5), (6), dan (7). 106 Ibid, Pasal 37. 104
Universitas Sumatera Utara
dalam Lembaran Negara dimaksudkan agar setiap orang dapat mengetahui perjanjian yang dibuat pemerintah dan mengikat seluruh warga Negara 107. Menteri
menandatangani
piagam
pengesahan
untuk
mengikatkan
pemerintah RI pada suatu perjanjian Internasional untuk dipertukarkan dengan Negara-Negara pihak dalam perjanjian Internasional atau disimpan oleh Negara atau lembaga penyimpanan pada organisasi Internasional 108. Lembaga penyimpanan (depositary) merupakan Negara atau organisasi Internasional yang ditunjuk atau disebut secara tegas dalam surat perjanjian untuk menyimpan piagam pengesahan perjanjian Internasional. Praktek ini berlaku bagi perjanjian multilateral yang memiliki banyak pihak. Lembaga penyimpanan selanjutnya memberitahukan semua pihak bahwa perjanjian tersebut telah menerima piagam pengesahan dari salah satu pihak 109. Disamping perjanjian Internasional yang disahkan melalui undang-undang atau keputusan presiden, pemerintah dapat membuat perjanjian Internasional yang berlaku setelah penandatanganan atau pertukaran dokumen perjanjian/nota diplomatik, atau melalui cara lain sesuai dengan kesepakatan antara para pihak yang dituangkan dalam perjanjian. Walaupun dalam undang-undang yang mensahkan perjanjian Internasional dinyatakan bahwa naskah asli dalam bahasa asli dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari undang-undang, tetapi tetap diperlukan undang-undang yang mengatur lebih lanjut mengenai masalah
107
Ibid., Pasal 14. Ibid., Pasal 17. 109 Ibid. 108
Universitas Sumatera Utara
yang diperjanjikan dalam perjanjian Internasional yang disahkan oleh undangundang tersebut. Pasal
lanjutannya
yang
menyatakan
bahwa
undang-undang
ini
ditempatkan dalam lembaran berita Negara agar setiap orang mengetahui, tidak serta merta menjadikan pengaturan ini berlaku menjadi hukum nasional, masih diperlukan undang-undang lebih lanjut.
D. Perspektif Hukum Perjanjian Internasional terhadap MLA di Indonesia Dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi (Convention Against Transnational Organized Crime), diantaranya dikenal 2 mekanisme kerjasama yang diakui yaitu ekstradisi dan bantuan timbal balik/Mutual Legal Assistance (MLA). Kerjasama dalam bidang ekstradisi dan MLA di Indonesia secara umum telah memiliki UndangUndang yang menjadi dasar hukum dalam pelaksanaannya, yaitu: 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1979 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3130). 2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana/MLA (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 18, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4607)110. Selain dasar hukum peraturan perundang-undangan diatas, dapat menjadi dasar kerjasama Pemerintah Republik Indonesia dengan negara lain dalam bidang 110
“Kerjasama Internasional dalam Masalah Pidana”, stredoall.blogspot.com, terakhir kali diakses pada 14 Oktober 2010.
Universitas Sumatera Utara
ekstradisi dan MLA adalah perjanjian-perjanjian yang telah ditandatangani Pemerintah Republik Indonesia secara bilateral maupun multilateral dengan negara lain. Perjanjian yang telah ditandandatangani Pemerintah Republik Indonesia tersebut adalah: Perjanjian Ekstradisi 1. Perjanjian Bilateral dengan Pemerintah Malaysia, ditandatangani di Jakarta 7 Januari 1974, telah diratifikasi dengan UU Nomor 9 Tahun 1974 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 63, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3044) 2. Perjanjian Bilateral dengan Republik Philipina, ditandatangani di Jakarta 10 Pebruari 1976, telah diratifikasi dengan UU Nomor 10 Tahun 1976 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1976 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3087); 3. Perjanjian Bilateral dengan Pemerintah Kerajaan Thailand, ditandatangani di Bangkok 29 Juni 1976, telah diratifikasi dengan UU Nomor 2 Tahun 1978 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1978 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3117); 4. Perjanjian Bilateral dengan Australia, ditandatangani di Jakarta tanggal 22 April 1992, telah diratifikasi dengan UU Nomor 8 Tahun 1994 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3565); 5. Perjanjian Bilateral dengan Hong Kong SAR, ditandatangani pada tanggal 5 Mei 1997, telah diratifikasi dengan UU Nomor 1 Tahun 2001;
Universitas Sumatera Utara
6. Perjanjian Bilateral dengan Republik Korea Selatan, ditandatangani di Jakarta tanggal 28 Nopember 2000, telah diratifikasi dengan UU Nomor 42 Tahun 2007; 7. Perjanjian Bilateral dengan Singapura, ditandatangani di Bali, Indonesia tanggal 27 April 2007, belum diratifikasi. Perjanjian MLA 1. Perjanjian Bilateral dengan Australia, ditandatangani di Jakarta tanggal 27 Oktober 1995, diratifikasi dengan UU Nomor 1 Tahun 1999 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 19, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3807); 2. Perjanjian Bilateral dengan Republik Rakyat China, ditandatangani di Jakarta tanggal 24 Juli 2000, diratifikasi dengan UU Nomor 8 Tahun 2006 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4621); 3. Perjanjian Multilateral dengan Pemerintah Brunei Darussalam, Kerajaan Kamboja, Republik Indonesia, Republik Demokratik Rakyat Laos, Malaysia, Uni Myanmar, Republik Philipina, Republik Singapura, Kerajaan Thailand dan Republik Sosialis Vietnam, ditandatangani di Kuala Lumpur tanggal 29 Nopember 2004, telah diratifikasi dengan UU Nomor 15 Tahun 2008; 4. Perjanjian Bilateral dengan Republik Korea Selatan, ditandatangani di Seoul tanggal 30 Maret 2002, belum diratifikasi;
Universitas Sumatera Utara
5. Perjanjian Bilateral dengan Hong Kong SAR, ditandatangani di Hong Kong pada tanggal 3 April 2008, belum diratifikasi 111. MLA pada intinya dapat dibuat secara bilateral atau multilateral. MLA bilateral ini dapat didasarkan pada perjanjian MLA atau atas dasar hubungan baik timbal balik (resiprositas) dua negara. Sejauh ini, Indonesia sudah memiliki beberapa perjanjian kerja sama MLA Bilateral dengan Australia, China, Korea Selatan, dan Hong Kong SAR. Sementara itu, MLA Multilateral terangkum pada MLA regional Asia Tenggara yang sudah ditandatangani hampir semua negara anggota ASEAN, termasuk Indonesia. Perjanjian Bilateral adalah perjanjian yang diadakan oleh dua buah negara untuk mengatur kepentingan kedua belah pihak. Perjanjian Multilateral adalah perjanjian yang diadakan oleh banyak negara dan sebagian dibawah pengawasan organisasi internasional seperti PBB, ILO, WHO, dan lain-lain. Perjanjian-perjanjian
multilateral
yang
memuat
hukum
kebiasaan
internasional akan berlaku juga bagi negara-negara yang bukan peserta, tidak diikat oleh perjanjian melainkan oleh hukum kebiasaan, walaupun formulasi akhir dari hukum tersebut dalam perjanjian mungkin penting. Perjanjian yang bersifat bilateral juga dapat mengikat pihak ketiga berdasarkan alasan yang sama dengan menentukan unsur-unsur penting dalam pembentukan hukum kebiasaan internasional 112.
111 112
Ibid. Teuku May Rudy, Hukum Internasional 2, Bandung: Refika Aditama, 2002, hal. 127.
Universitas Sumatera Utara
Perjanjian MLA yang dibuat ada yang berbentuk ‘perjanjian’, dan ada juga yang berbentuk ‘persetujuan’. Istilah ini secara umum diartikan sama, namun dalam hukum perjanjian internasional, terdapat perbedaan antar dua istilah ini. a. Perjanjian 113 Perjanjian internasional atau dalam bahasa Inggris disebut “treaties” dan dalam bahasa Perancis “traiter” yang berarti “berunding” dimaksudkan sebagai instrumen internasional yang mempunyai sifat mengikat. Instrumen hukum semacam itu mencerminkan suatu sifat kontraktual antara negara atau antara negara dengan organisasi internasional yang menciptakan hak dan kewajiban secara hukum di antara para pihak yang mengadakan persetujuan mengenai masalah-masalah yang dimaksudkan di dalam perjanjian tersebut. Pada mulanya perjanjian semacam itu dibuat dan ditandatangani oleh kepala-kepala negara saja, namun sekarang dapat dilakukan dalam bentuk antar pemerintahan maupun antar negara 114. Pada umumnya bentuk perjanjian itu ditujukan untuk persetujuanpersetujuan internasional khususnya yang bersifat penting seperti perjanjian mengenai perdamaian atau persekutuan. Bentuk instrumen internasional yang dituangkan dalam suatu perjanjian itu pada hakekatnya melihat adanya persetujuan internasional tertentu yang mempunyai arti politik, misalnya Perjanjian mengenai Pembentukan Masyarakat Ekonomi Eropa.
113
Menurut pasal 2 angka (1) huruf (a) Konvensi Wina tahun 1969 tentang hukum Perjanjian, “Perjanjian” diartikan sebagai suatu persetujuan internasional yang dibuat antara negara di dalam bentuk tertulis dan diatur oleh hukum internasional, apakah itu tersusun di dalam satu instrumen tunggal, dua atau lebih instrumen yang terkait dan apapun bentuknya yang dibuat secara khusus. 114 Sumaryo Suryokusumo, Op. Cit., hal. 18.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Myers, perjanjian adalah jenis instrumen yang paling resmi yang digunakan untuk mencatat persetujuan antar negara yang bersifat menyeluruh mengenai status dan hubungan yang mendasar. Sebelumnya perjanjian dalam arti terbatas selalu dibuat antara kepalakepala negara, tetapi dalam praktek sesudah itu menunjukkan bahwa perjanjian dapat dibuat bukan saja dalam bentuk antar kepala negara, tetapi juga dalam bentuk antar negara atau antar pemerintah. Perjanjian yang dibuat antar negara agak sedikit resmi dibandingkan dengan perjanjian yang dibuat antar kepala negara. Dalam hal ini yang digunakan bukan istilah “High Contracting Parties” tetapi “Contracting Parties” atau “Contracting States 115” atau kadangkadang juga dipakai secara sederhana seperti “the Parties 116” atau “State Parties”. Di dalam perjanjian yang dibuat antara negara-negara isi mukaddimahnya agak dikurangi dengan tidak memasukkan satu unsur resmi atau lainnya yang biasanya digunakan dalam perjanjian yang dibuat antara kepala-kepala negara. Namun hal itu sudah merupakan kebiasaan bahkan dalam hal suatu perjanjian antar negara, untuk tetap memakai satu pernyataan di dalam mukaddimahnya mengenai maksud dan tujuan dari perjanjian tersebut. Perjanjian yang dibuat oleh pemerintah negara juga kurang resmi. Para pihak biasanya menyebutnya sebagai “Contracting Governments” atau 115
Menurut pasal 2 angka (1) huruf (f) Konvensi Wina tahun 1969 tentang hukum Perjanjian, “Negara Peserta” adalah suatu negara yang telah menyatakan kesepakatannya untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian baik yang belum diberlakukan maupun yang sudah diberlakukan. 116 Menurut pasal 2 angka (1) huruf (g) Konvensi Wina tahun 1969 tentang hukum Perjanjian, “Pihak” adalah sesuatu negara yang telah menyatakan kesepakatannya untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian, dimana perjanjian itu sudah berlaku.
Universitas Sumatera Utara
“Contracting Parties”, meskipun kadang-kadang bisa dijumpai penggunaan istilah “Signatory Governments” atau “Participating Governments”. Dalam hal ini mukaddimah perjanjian itu biasanya akan memuat suatu pernyataan tentang maksud dan tujuan dari perjanjian tersebut 117. b. Persetujuan Persetujuan ini merupakan instrumen yang sedikit formal dibandingkan dengan satu perjanjian atau konvensi dan pada umumnya tidak dalam kerangka kepala negara. Ini biasanya diterapkan pada persetujuan yang mempunyai lingkup lebih terbatas dan mempunyai pihak yang tidak banyak dibandingkan dengan konvensi yang biasa. Instrumen semacam ini juga digunakan untuk persetujuan yang menyangkut hal-hal yang bersifat teknis dan administratif yang ditandatangani oleh wakil-wakil dari departemen pemerintah tetapi tidak memerlukan ratifikasi. Istilah “persetujuan” seperti juga istilah “perjanjian” itu sendiri, digunakan dalam banyak pengertian. Dalam arti yang umum persetujuan itu meliputi suatu penyesuaian pendapat, dalam hal ini, pendapat dari dua atau lebih persona internasional (international persons). Tetapi harus selalu dibedakan antara persetujuan yang ditujukan untuk mendapatkan kewajiban dan yang tidak. Dalam arti yang terbatas, istilah persetujuan dimaksudkan untuk mempunyai kewajiban, tetapi biasanya agak sedikit resmi atau bersifat penting dibandingkan dengan perjanjian atau konvensi. Seperti juga perjanjian dan konvensi, persetujuan
117
Sumaryo Suryokusumo, Op. Cit., hal. 19.
Universitas Sumatera Utara
dalam arti terbatas bisa dibuat antara kepala-kepala negara, antara negara atau antar pemerintah. Instrumen perjanjian dalam bentuk persetujuan merupakan penarik dari para pembuat perjanjian. Selama hal itu dapat digunakan untuk perjanjian multilateral, contohnya Persetujuan tentang Status Pasukan dari Para Pihak Perjanjian Atlantik Utara tahun 1951, maka persetujuan itu lebih bersifat umum, digunakan untuk perjanjian bilateral yang sifatnya cukup baik dan umum. Dalam praktek persetujuan semacam itu, dapat juga dilihat pada persetujuan yang dibuat antara Indonesia dan Hong Kong SAR mengenai Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana tahun 2008. Bentuk persetujuan ini diberikan untuk satu perjanjian yang dalam bentuk instrumen tunggal dan yang pada umumnya berbeda dengan satu konvensi yang berhubungan dengan masalah pokok yang bersifat lebih sempit dan kurang permanen. Kadang-kadang persetujuan dibuat antara kementrian pemerintah di satu negara dengan kementrian pemerintah negara lainnya. Hal itu tergantung dari suasana apakah persetujuan antara kementrian semacam itu mengikat secara hukum internasional ataukah hanya merupakan bentuk hukum tersendiri. 118 Perjanjian MLA di Indonesia umumnya disahkan dengan UU tentang Pengesahan Perjanjian MLA tersebut. Hal ini dibuat berdasarkan UU RI No. 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, dimana di dalam pasal 10 disebutkan bahwa perjanjian internasional yang berkenaan dengan masalah
118
Sumaryo Suryokusumo, Op. Cit., hal. 22-23.
Universitas Sumatera Utara
keamanan (dalam hal ini bantuan timbal balik dalam masalah pidana) disahkan dengan undang-undang. Pengesahan atau ratifikasi 119 adalah hal yang diperlukan guna penguatan terhadap perjanjian yang telah ditandatangani. Ada 3 sistem menurut mana ratifikasi diadakan, yaitu: a. Ratifikasi semata-mata dilakukan oleh badan eksekutif; b. Ratifikasi dilakukan oleh badan perwakilan (legislatif); c. Sistem dimana ratifikasi perjanjian dilakukan bersama-sama oleh badan legislatif dan eksekutif120. Ratifikasi dianggap perlu dan penting karena: a. Perjanjian-perjanjian itu umumnya menyangkut kepentingan dan mengikat masa depan negara dalam hal-hal tertentu, karena itu harus disahkan oleh kekuasaan negara tertinggi. b. Untuk menghindarkan kontroversi antara utusan-utusan yang berunding dengan pemerintah yang mengutus mereka. c. Perlu adanya waktu agar instansi-instansi yang bersangkutan dapat mempelajari naskah yang diterima. d. Pengaruh rezim parlementer
yang
mempunyai wewenang
untuk
mengawasi kegiatan-kegiatan eksekutif 121.
119
Menurut pasal 2 angka (1) huruf (f) Konvensi Wina tahun 1969 tentang hukum Perjanjian, “Ratifikasi”, “penerimaan”, “pengesahan”, dan “aksesi”, dalam setiap kasus diartikan sebagai tindakan internasional apapun namanya dimana suatu negara dalam taraf internasional membuat kesepakatannya untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian. 120 Teuku May Rudy, Op. Cit., hal. 128. 121 Boer Mauna, Op. Cit., hal. 118.
Universitas Sumatera Utara
Pasal 14 Konvensi Wina 1969 menyatakan bahwa persetujuan suatu negara untuk diikat suatu perjanjian dinyatakan dalam bentuk ratifikasi bila: a. Perjanjian itu sendiri mengharuskan supaya persetujuan diberikan dalam bentuk ratifikasi; b. Bila terbukti bahwa negara-negara yang ikut berunding setuju untuk mengadakan ratifikasi; c. Bila utusan-utusan negara menandatangani perjanjian tersebut dengan syarat untuk meratifikasinya kemudian; atau d. Full powers delegasi itu sendiri menyatakan bahwa ratifikasi diharuskan kemudian. Bentuk perjanjian kerjasama antara Republik Indonesia dengan negara lain mengenai MLA juga berpedoman pada UN Model Treaty of MLA tahun 1990, yang akan dibahas pada bab selanjutnya.
Universitas Sumatera Utara
BAB IV PERJANJIAN MLA ANTARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN HONG KONG SPECIAL ADMINISTRATIVE REGION MENURUT UU RI NO. 1 TAHUN 2006 DAN UN MODEL TREATY OF MLA
A. Sejarah Pembentukan MLA RI-Hong Kong SAR MLA antara RI dan Hong Kong SAR terbentuk didasari hasrat untuk memperkuat kerja sama yang erat antar pemerintah, dengan meningkatkan efektifitas aparat penegak hukum dari masing-masing pemerintah di bidang penyelidikan dan penuntutan kejahatan, dan perampasan hasil kejahatan serta proses lanjutannya 122. Pada dasarnya Republik Indonesia telah memiliki perjanjian dengan Republik Rakyat Cina mengenai Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana, yaitu Treaty between the Republic of China on Mutual Assistance in Criminal Matters, yang diberlakukan di Indonesia dengan UU RI No. 8 tahun 2006 tanggal 18 April 2006 tentang Pengesahan Perjanjian antara Republik Indonesia dan Republik Rakyat Cina, mengenai Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana. Perjanjian MLA dengan Hong Kong SAR dibuat karena didasari prinsip ‘one country two systems’ yang berlaku di daerah administrasi khusus ini, dan dituangkan dalam suatu bentuk persetujuan (agreement). Hong Kong telah menjadi bagian dari wilayah Cina sejak zaman kuno, diduduki oleh Inggris setelah perang Opium tahun 1840. Pada 19 Desember 1984, 122
Agreement between the Government of the Republic of Indonesia and the Government of the Hong Kong Special Administrative Region of the People’s Republic of China concerning Mutual Legal Assistance in Criminal Matters.
Universitas Sumatera Utara
pemerintah Cina dan Inggris menandatangani Joint Declaration on the Question of Hong Kong, menegaskan bahwa pemerintah Republik Rakyat Cina akan melanjutkan pelaksanaan kedaulatan atas Hong Kong yang berlaku sejak 1 Juli 1997, sehingga memenuhi aspirasi rakyat Cina untuk pemulihan Hong Kong 123.
123
The Basic Law of the Hong Kong Special Administrative Region of the People’s Republic of China, April 1990.
Universitas Sumatera Utara
Gambaran Kondisi Hong Kong 1. Gambaran Kondisi Geografi dan Demografi Wilayah Hong Kong terletak di antara 22°15’ LU dan 114°10’ BT dengan total luas wilayah 1.092 km2, dimana 1.042 km2 luas daratannya, berada di kawasan Asia Timur dengan berbatasan dengan Laut Cina Selatan di selatan dan dengan wilayah Cina di utara. Hong Kong beriklim muson tropis, dimana berhawa sejuk dan lembab di musim dingin, panas dan berhujan di musim semi hingga musim panas, dan hangat serta cerah di musim gugur dengan sekali-sekali dilanda angin topan (taifun) pada musim panas 124. Hong Kong berasal dari bahasa Canton “Heung Kong” yang berarti Pelabuhan
Wangi,
yang
telah disinggahi kapal-kapal
yang
melakukan
perdagangan antara Cina dengan negara-negara Eropa Barat pada tahun 18841950. Hong Kong ditemukan oleh pelaut Portugis, Jorge Alvares, tahun 1533, dan sejak saat itu kapal-kapal Portugis sering berlabuh di sekitar Hong Kong. Pada akhirnya Pulau Hong Kong diserahkan Kekaisaran Cina untuk selamanya (in perpetuity) dan menjadi koloni Kerajaan Inggris melalui Perjanjian Nanking tahun 1842 setelah Perang Candu I. Pada tahun 1860, wilayah koloni Hong Kong bertambah
Semenanjung
Kowloon
(sisi
selatan
Boundary
Street)
dan
Stonecutter’s Island. Penyerahan yang untuk selamanya ini juga dilakukan Kekaisaran Cina ke Inggris melalui Convention of Peking setelah Perang Candu II. Daerah koloni Hong Kong semakin diperluas dengan disewanya wilayah-
124
Ensiklopedi Indonesia Seri Geografi, ASIA, Internusa, Jakarta, 1990, hal. 72.
Universitas Sumatera Utara
wilayah sekitarnya, yang dikenal sebagai New Territories (termasuk New Kowloon dan Pulau Lantau) oleh Inggris selama 99 tahun. Masa sewa ini dimulai pada tanggal 1 Juli 1898 dan berakhir pada tanggal 30 Juni 1997 dan dilakukan melalui Convention of Peking II. Pecahnya Perang Korea tahun 1950-1953 membawa dampak besar bagi perekonomian Hong Kong, yaitu saat AS mengembargo barang-barang Cina, Hong Kong dapat bertahan dengan mengembangkan industri-industri pelayanan dan manufacturing, yang kemudian berkembang menjadi wilayah manufacturing dan pusat keuangan internasional. Sejak berada di bawah kekuasaan Inggris, Hong Kong berkembang menjadi pelabuhan dagang besar dan pelabuhan masuk bagi Cina. Namun kemudian, posisinya sebagai pelabuhan masuk merosot tajam saat PBB menetapkan embargo atas RRC sebagai akibat dari Perang Korea. Untuk mengatasi masalah ini, Hong Kong segera membangun industri tekstil dan mengambil tenaga buruh murah dari RRC. Industri tekstil ini menjadi tulang punggung ekonomi Hong Kong hingga dasawarsa 1970-an. Setelah periode tersebut, Hong Kong mulai bergerak membangun ekonominya dari sektor keuangan dan perbankan. Kedua sektor ini akhirnya menjadi pendorong utama tercapainya kemakmuran Hong Kong saat ini. Pada awal dasawarsa 1980-an, dengan makin dekatnya akhir masa sewa New Territories, Inggris harus memulai perundingan pengembalian Hong Kong ke RRC. Hal ini karena RRC telah menyatakan tidak akan menyewakan New Territories lagi dan Pulau Hong Kong
Universitas Sumatera Utara
serta Kowloon amat bergantung pada sumber air dan pembangkit listrik yang berada di New Territories. Perjanjian Peking II Inggris-Cina tahun 1898 merupakan perjanjian sewamenyewa New Territories (daerah terakhir setelah Pulau Hong Kong dan Semenanjung Kowloon yang diperoleh kolonial Inggris) selama 99 tahun, sehingga membawa konsekuensi bahwa Hong Kong harus dikembalikan kepada Cina tahun 1997. Perundingan selanjutnya mengenai masa depan Hong Kong dimulai tahun 1982 dan menghasilkan “Joint Declaration of the United Kingdom of Great Britain and Northern Ireland and the Government of the People’s Republic of China on the Question of Hong Kong”, yang ditandatangani di Beijing, 19 Desember 1984. Sesuai Joint Declaration tahun 1984 tersebut, kedaulatan Inggris atas Hong Kong berakhir setelah masa sewanya berakhir tanggal 30 Juni 1997. Sejak saat itu, Hong Kong resmi dikembalikan ke Cina tanggal 1 Juli 1997 pada pukul 00.00 waktu setempat setelah 1,5 abad berada dalam kekuasaan Inggris. Selanjutnya Hong Kong menjadi Wilayah Administrasi Khusus
(Special
Administrative
Region/SAR)
dimana Pemerintah RRC
menegaskan untuk melaksanakan apa yang disebut sebagai “one country, two systems” dan “Hong Kong People Ruling Hong Kong” khusus untuk wilayah Hong Kong 125. 2. Gambaran Kondisi Politik Dalam Negeri a. Gambaran Politik Umum
125
Laporan Pelaksanaan Tugas Kedinasan Konsul Kejaksaan KJRI Hong Kong SAR.
Universitas Sumatera Utara
Maksud dari kebijakan “one country, two systems” adalah sistem ekonomi sosialis di Cina tidak akan dilaksanakan di Hong Kong, dan sistem kapitalis serta gaya hidup di Hong Kong akan tidak berubah selama 50 tahun hingga 2047. Dalam rangka menyusun sistem Pemerintahan Hong Kong SAR, Parlemen Cina (National People’s Congress/NPC) ke-7 mengesahkan Konstitusi Mini Hong Kong SAR yang disebut Basic Law tanggal 4 April 1990 dan mulai berlaku 1 Juli 1997. Basic Law menggantikan Letters of Patent dan Royal Instruction yang menjadi dasar hukum pada masa pemerintahan Inggris. Berdasarkan Basic Law, Hong Kong SAR memiliki otonomi sangat luas kecuali dalam masalah politik luar negeri dan pertahanan, serta berhak mengurus sendiri eksekutif, legislatif, dan judikatif yang independen termasuk juga putusan akhir pengadilan. Sistem sosial dan ekonomi, gaya hidup, hak-hak dan kebebasan dijamin oleh Pemerintah RRC, bahkan sistem liberal/kapitalis di Hong Kong SAR tetap dipertahankan selama 50 tahun. Urusan dalam negeri Hong Kong tidak bisa dicampuri badan apapun dari RRC. Untuk menjamin ketentuan tersebut betulbetul dilaksanakan, Pemerintah RRC membentuk “The Hong Kong and Macau Affairs Office of the State Council” sebagai lembaga pengawas bagi pejabatpejabat Cina yang bertugas antara lain mengatur kunjungan pejabat pemerintah Hong Kong ke Cina serta menangani issue-issue yang memerlukan kerjasama dengan Pemerintah Pusat RRC. b. Kekuasaan Eksekutif 126
126
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Sebagai persiapan peralihan kedaulatan, Pemerintah RRC membentuk Election Committee (EC), yang beranggotakan 800 orang (400 orang ditunjuk Pemerintah RRC dan 400 orang perwakilan berbagai kelompok fungsional di masyarakat) bulan Desember 1996 untuk memilih Kepala Pemerintahan Hong Kong SAR yang disebut sebagai Chief Executive (CE). EC kemudian memilih Tung Chee-hwa, seorang pengusaha kapal dan mantan anggota Executive Council (EXCO), yaitu lembaga penasehat Gubernur Chris Patten urusan Hong Kong serta Wakil Ketua Komite Persiapan (Preparatory Committee) Alih Kedaulatan Hong Kong, menjadi CE Hong Kong. Tung Chee-hwa ditetapkan sebagai calon CE Hong Kong SAR tanggal 11 Desember 1996 dan resmi dilantik sebagai CE Hong Kong SAR pertama oleh Presiden RRC Jiang Jemin di Beijing tanggal 18 Desember 1996 dengan masa jabatan 5 tahun. Tung Chee-hwa kemudian terpilih kembali pada pemilu yang diikuti 800 anggota EC tanggal 1 Juli 2002 untuk masa jabatan sampai tahun 2007. Sesuai Basic Law, CE menunjuk EXCO yang menjadi kabinet dalam membantu pembuatan kebijakan, sedangkan untuk membantu menjalin hubungan dengan dunia internasional dan memberikan masukan di bidang ekonomi, perdagangan, dan industri, CE juga membentuk Council of International Advisers. Disamping itu, CE juga membentuk kelompok penasehat tingkat tinggi yang tergabung dalam Commission for Strategic Development.
c. Kekuasaan Legislatif
Universitas Sumatera Utara
Kekuasaan parlemen dipegang oleh Legislative Council (LEGCO) yang beranggotakan 60 orang (berkomposisi 30 orang dipilih langsung berdasarkan pembagian geografis dan 30 orang perwakilan dari kelompok-kelompok fungsional), dengan masa jabatan 4 tahun. LEGCO berwenang membuat UU, mengontrol dan menyetujui anggaran, mengontrol perpajakan dan pengeluaran negara, mengawasi kinerja pemerintah, memperdebatkan kebijakan eksekutif dan yang menjadi kepentingan umum, dan menerima serta mengatasi keluhan-keluhan warga Hong Kong. Keanggotaan LEGCO saat ini berdasarkan pemilu ke-3 tanggal 12 September 2004 yang terbagi dalam fraksi pro-pemerintah/pro-Beijing dan fraksi pro-demokrasi. Kelompok pro-pemerintah memiliki 34 kursi (62%), sementara pro-demokrasi dan independent menguasai 25 kursi. Fraksi pro-pemerintah yaitu Association for Democracy and People’s Livelihood (ADPL) 1 kursi, Democratic Alliance for the Betterment (DAB) 12 kursi (9 kursi dari pembagian geografis dan menjadi partai terbanyak, kursinya meningkat 1 kursi dibanding pemilu tahun 2000), dan Partai Liberal 10 kursi (2 kursi dari pembagian geografis) dan memperoleh tambahan 2 kursi dari pemilu sebelumnya. Fraksi pro-pemerintah tidak menjadi mayoritas yang menentukan karena keputusan LEGCO harus didukung 41 suara. Fraksi pro-demokrasi terdiri dari Partai Demokrat 9 kursi (sebelumnya memperoleh 12 kursi), Partai Frontier 1 kursi, Article 45 Concern Group 4 kursi (2 kursi dari pembagian geografis), dan independen 11 kursi. Perdebatan utama antar fraksi adalah masalah kerangka waktu pelaksanaan universal suffrage (pemilihan langsung oleh pemilih berusia tertentu). Fraksi pro-
Universitas Sumatera Utara
demokrasi ingin universal suffrage mulai dilaksanakan pada pemilihan CE tahun 2007 dan anggota LEGCO tahun 2008, sedangkan fraksi pro-pemerintah tak menolak pelaksanaan universal suffrage, namun tidak ingin ada penetapan kerangka waktu tertentu. Pandangan ini sejalan dengan kebijakan Pemerintah RRC yang tidak ingin segera melaksanakan demokrasi penuh di Hong Kong. Disamping itu terdapat parlemen tingkat wilayah yaitu District Council yang terdiri dari 18 distrik yang memberikan saran pelaksanaan kebijakan di tiap wilayahnya. District Council memiliki anggota yang disebut District Councillors sebanyak 400 orang yang dipilih, 27 merupakan anggota ex-officio, dan 102 orang ditunjuk. Sama dengan anggota LEGCO, District Councillors juga memiliki masa jabatan 4 tahun yang dimulai tanggal 1 Januari 2004. d. Kekuasaan Yudikatif Di bawah prinsip “one country, two systems”, sistem hukum Hong Kong SAR berbeda dengan di RRC, dan berlandaskan pada “common law” yang merupakan warisan Inggris dan menjadi elemen penting dari sistem hukum Hong Kong SAR, dengan peradilan yang independen dari eksekutif dan legislatif. Pengadilan menentukan sendiri putusannya tidak pandang apakah itu menyangkut WN biasa, perusahaan, atau bahkan dengan pemerintah. Pengadilan Banding Akhir (Court of Final Appeal) merupakan pengadilan banding tertinggi di Hong Kong SAR yang diketuai Chief Justice, dengan anggotanya terdiri dari 3 orang hakim tetap dan suatu panel yang terdiri dari 8 hakim Hong Kong tidak tetap dan 9 hakim tidak tetap dari jurisdiksi common law lain. Peraturan-peraturan hukum yang berlaku sebelum handover masih tetap diberlakukan.
Universitas Sumatera Utara
Pasal 84 Basic Law menyatakan bahwa pengadilan Hong Kong berhak untuk menggunakan keputusan pengadilan (yurisprudensi) di luar negeri sebagai referensi atau mengundang hakim asing untuk berpartisipasi dalam proses hukum di Pengadilan Banding Akhir (Court of Final Appeal). Struktur sistem peradilan Hong Kong terdiri dari: a. Pengadilan Banding Akhir (Court of Final Appeal) yang menggantikan Judicial Committee of the Privy Council, b. Pengadilan Tinggi (High Court) yang terdiri dari Pengadilan Banding (Court of Appeal) dan Pengadilan Tingkat Pertama (Court of First Instance), c. Pengadilan Negeri (District Court), termasuk di dalamnya Pengadilan Keluarga (Family Court). Badan-badan peradilan lainnya adalah Pengadilan Agraria (Lands Tribunal), Magistrates’ courts, dan Pengadilan Anak-anak (Juvenile Court). Selain itu masih ada Mahkamah Kedokteran (Coroner’s Court), Mahkamah Tenaga Kerja (Labour Tribunal), Mahkamah Perdata Ringan (Small Claims Tribunal), dan Mahkamah Kesusilaan (Obscene Articles Tribunal) yang bertanggung jawab untuk memberikan klasifikasi atas pornografi non-video (selain film dan tayangan televisi) yang akan diedarkan di Hong Kong. Hakim di Pengadilan Banding Akhir dipilih dan diangkat oleh CE Hong Kong. Pengadilan Banding Akhir memiliki tiga orang hakim tetap dan suatu panel yang terdiri dari delapan hakim tidak tetap dari Hong Kong dan sembilan hakim tidak tetap dari jurisdiksi common law lain. Basic Law sendiri dapat diinterpretasikan oleh Komite harian Kongres Rakyat Nasional RRC dan hak ini
Universitas Sumatera Utara
telah digunakan tiga kali, termasuk dalam menginterpretasikan masa tugas CE Donald Tsang saat ini. Seperti di Inggris, para penasehat hukum di Hong Kong terbagi dua kategori yaitu solicitor dan barrister. Sebagian besar penasehat hukum di Hong Kong masuk dalam kategori solicitor dan memiliki lisensi serta diatur oleh Law Society of Hong Kong. Barrister dilisensi dan diatur oleh Hong Kong Bar Association dan hanya barrister yang berhak masuk ke Pengadilan Banding Akhir dan Pengadilan Tinggi. Seperti di Inggris pula, tradisi pengadilan di Hong Kong mewajibkan hakim, jaksa, dan penasehat hukum memakai wig dan jubah 127. 3. Politik One Country Two Systems Cina Politik One Country Two Systems Cina adalah politik yang diterapkan di wilayah administratif khusus (SAR=Special Administrative Region) Hong Kong secara khusus 128, walaupun Hong Kong tersebut adalah wilayah Cina yang baru diserahkan kembali namun berbeda pengaturannya dengan wilayah Cina yang lainnya. Artinya segala sesuatunya yang akan ditetapkan di Hong Kong berbeda bentuknya dan sistemnya dari wilayah Cina lainnya. Inilah yang menyebabkan hal tersebut dikatakan sebagai politik satu negara dua sistem. Politik satu negara dua sistem ini dapat dilihat dari berbagai bentuk dan sistemnya, yang terbagi atas: Komponen Sosialisme ala Cina, Ekonomi Internasional yang Metropolis, Basic Law, Infrastruktur dan Ciri Keterbukaan. 1. Komponen Sosialisme ala Cina
127
Ibid. Rene L. Pattiradjawane, seminggu Penyerahan Hong Kong kepada Cina, Harian Kompas, 26 Juni 1997. 128
Universitas Sumatera Utara
Satu negara dua sistem adalah kebijakan yang dianut pemerintah Cina sejak tanggal 1 Juli 1997, setelah acara penyerahan wilayah Hong Kong kepada Cina. Formulasi kebijakan RRC pada awalnya dimulai tahun 1950-an. Ketika itu Perdana Menteri Zhou Enlai di depan sidang Kongres Rakyat Nasional (KRN) pada bulan Mei 1995; mengatakan ada dua alternatif yang terbuka bagi rakyat Cina untuk menyelesaikan masalah Taiwan melalui cara perang atau cara damai. Perubahan besar menjelang akhir dekade 1970-an, dengan bergesernya fokus pekerjaan Partai Komunis Cina (PKC) ke program modernisasi ekonomi, para penguasa di Beijing kembali merumuskan posisi kebijakan politik yang dikenal dengan reunifikasi damai dan satu negara dua sistem. Dokumen-dokumen pemerintah Cina menyebutkan, posisi ini merupakan kepentingan nasional secara menyeluruh serta mempertimbangkan masa depan negara. Hal ini dipertegas dengan disampaikannya pernyataan yang mengelaborasi kebijakan dan prinsip yang berkaitan dengan Taiwan ini. Sebab setelah reunifikasi Taiwan bisa menikmati derajat otonomi yang tinggi sebagai sebuah kawasan administrasi khusus. Hal ini pula yang dijalankan di Hong Kong sebagai satu daerah administrasi khusus. Semangat “Reunifikasi secara Damai” dan “Satu Negara Dua Sistem” ini, adalah komponen paling penting dalam teori dan praktek membangun sosialisme ala Cina, serta menjadi kebijakan dasar pemerintah RRC. Setidaknya ada empat hal yang mencakup semangat dasar kebijakan ini. 1. Hanya ada satu Cina di dunia dan Taiwan adalah bagian yang tidak terpisahkan.
Universitas Sumatera Utara
2. Koeksistensi dari kedua sistem Sosialisme dan Kapitalisme, Cina yang sosialis dan Taiwan yang kapitalis bisa saling berdampingan dan bersama-sama membangun tanpa salah satu menelan yang lain. 3. Derajat otonomi yang tinggi, dimana setelah Reunifikasi Taiwan akan menjadi kawasan administrasi khusus dan berbeda dengan wilayah-wilayah lainnya. Taiwan dapat menjalankan partai politik sendiri, sistem judikatif, legislatif sendiri, militer sendiri, ekonomi dan keuangan. 4. Negosiasi damai sebagai bagian dari aspirasi seluruh rakyat Cina untuk mencapai Reunifikasi melalui jalan damai.
Reunifikasi damai akan
memperluas kohesi bangsa Cina, dan akan menciptakan stabilitas ekonomi di Taiwan, serta membangun dan mempromosikan kebangkitan dan kesejahteraan Cina secara menyeluruh. Karena ketegangan politik yang dihadapi oleh Cina-Taiwan yang diwarnai juga dengan beberapa konflik tidak langsung, gagasan “Satu Negara Dua Sistem” ini dianggap sebagai sasaran jangka panjang dalam rangka Reunifikasi Taiwan 129, bersamaan dengan berakhirnya masa sewa Inggris atas Hong Kong, Pulau Kowloon, dan atas seluruh wilayah Hong Kong lainnya. Kesepakatan yang dicapai Cina-Inggris yang tertuang dalam Deklarasi Bersama Cina-Inggris 1984, kemudian menerapkan prinsip-prinsip “Satu Negara Dua Sistem” sebagai jaminan tidak akan berubahnya bakal bekas koloni Inggris ini selama 50 tahun. Sebagai teori unifikasi Cina, “Satu Negara Dua Sistem” menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari deklarasi bersama antara Cina-Inggris serta “Basic
129
Dewa Made Sastrawan, Menguji Kebijaksanaan “Satu Negara Dua Sistem”.
Universitas Sumatera Utara
Law” (konstitusi mini yang akan mengatur dan menjamin masa depan Hong Kong). Ada dua pokok penting dalam teori “Satu Negara Dua Sistem” ini yaitu : “Kembalinya Hong Kong ke Pangkuan Kedaulatan Cina”, dan “Dipertahankannya Stabilitas dan Kesejahteraan Hong Kong”. Ditambahkan, jika kebijakan keterbukaan terus tidak berubah selama 50 tahun pada abad mendorong, maka dalam 50 tahun, ini bukan sesuatu asal sebut, muncul dari luapan emosi. Lima puluh tahun adalah hasil yang sudah mempertimbangkan kenyataan yang ada di Cina, serta waktu yang dibutuhkan untuk berkembang lebih baik atau sebaliknya. 2. Mempertahankan Ekonomi Internasional yang Metropolis Prinsip “Satu Negara Dua Sistem” pada dasarnya ditujukan sebagai bagian dari program jangka panjang reunifikasi Cina dengan tiga wilayah di sekitarnya, yaitu Hong Kong, Makao (yang menjadi kedaulatan Cina setelah diserahkan Portugal pada tahun 1999), serta Taiwan. Masalah Taiwan bagi Cina akan menjadi bagian yang paling sulit untuk diselesaikan, karena berbeda dengan Hong Kong dan Makao. Jika Hong Kong dan Makao adalah bagian dari politik kolonialisasi peninggalan abad 19 dari negara-negara Eropa, khususnya Inggris dan Portugal, maka kondisi di Taiwan menjadi berbeda 130. Prinsip satu negara dua sistem yang dijadikan kebijakan dasar pemerintah Cina juga menjadi komponen terpenting dalam mengembangkan sosialisme ala Cina. Ciri-ciri utama Sosialisme ala Cina ini ditujukan untuk membawa Cina ke alam Modernisasi dengan keterbukaan dan reformasi serta modernisasi ekonomi.
130
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Persoalan yang dihadapi Cina sekarang ini setelah bergabungnya Hong Kong ke wilayahnya adalah prinsip satu negara dua sistem ini belum pernah di lapangan, dan masih berupa teori yang belum pernah diaplikasikan. Akibatnya, banyak pertanyaan yang muncul tentang apa yang membedakan Hong Kong, kawasan kedaulatan Cina pasca 1 Juli 1997 dengan Zona Ekonomi Khusus (ZEK) yang ada di daratan Cina, seperti Shenzen, Zhultai, Xiamen, Pudong Pulau Hainan dan lainnya 131. Selain ZEK, beberapa propinsi di Cina juga mempunyai otonomi khusus seperti Tibet, Xinjiang, di bagian Barat RRC, serta Mongolia dalam. Ada beberapa hal yang membedakan otonomi daerah-daerah tersebut dengan otonomi yang akan diberlakukan di kawasan Administrasi Khusus Hong Kong (Hong Kong SAR), yaitu: a. Otonomi Wilayah Hong Kong SAR pada saat terbentuk 1 Juli 1997, adalah sebuah kawasan administrasi lokal yang berlangsung dan berada di bawah kendali pemerintah pusat. Sebagai sebuah kawasan khusus, Hong Kong SAR akan mempunyai kekuatan eksekutif dan legislatif sendiri, maupun institusi judikatif mandiri termasuk keputusan akhir pengadilan sendiri. Sedangkan ZEK yang ada di daratan Cina, banyak menikmati preferensi dalam kebijaksanaan ekonomi saja, dan tidak mempunyai derajat otonomi yang tinggi. Perbedaan yang lain adalah Hong Kong SAR akan tetap menjalankan
131
Rene L. Pattiradjawane, Laporan dari Hong Kong, Seminggu sebelum Penyerahan Wilayah, Kompas, Juni 1997.
Universitas Sumatera Utara
sistem kapitalis selama 50 tahun, sedangkan ZEK akan terus menjalankan kebijakan perekonomian sesuai dengan sistem sosialis. Cina menganggap, kelangsungan sistem politik Hong Kong akan dipimpin sebuah Tim Eksekutif pada 1 Juli 1997. Organ eksekutif di Hong Kong melaksanakan fungsi-fungsi utama pemerintahan, dan sesuai dengan tradisi politik Inggris, badan legislatif menjalankan peranan perimbangan kekuasaan dan supervisi. Salah satu keputusan ditetapkannya Hong Kong menjadi kawasan Administratif Khusus dengan derajat otonomi yang tinggi, bukan karena para penguasa di Beijing melihat Hong Kong sebagai sebuah negara bekas jajahan, tetapi karena melihat Hong Kong sebagai kawasan ekonomi Internasional yang metropolis. b. Integrasi Parsial Persoalan lain yang muncul adalah bagaimana menentukan status Hukum secara Internasional bagi Hong Kong di bawah prinsip “satu negara dua sistem” 132. Hong Kong adalah sebuah entitas, tapi bukan sebuah negara. Hong Kong mempunyai berbagai atribut kenegaraan, tetapi tidak berdaulat namun mempunyai derajat otonomi yang tinggi. Hong Kong bukan anggota konvensional masyarakat internasional, namun diakui sebagai pemeran berwibawa dalam panggung internasional. Berkaitan dengan personalitas internasional Hong Kong yang tidak berubah selama 50 tahun, dan muncul pertanyaan kembali, apakah Hong Kong
132
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
bisa mengharapkan intervensi internasional pada saat dibutuhkan upaya melindungi struktur politik otonomi serta pilihan bebas (free choice) penduduknya. Pada beberapa organisasi internasional, Hong Kong SAR pasca 1 Juli 1997 menjadi anggota penuh, seperti APEC, Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), Organisasi Meteorologi Dunia (WMO), dan Bank Pembangunan Asia (ADB). Polemik lain yang muncul adalah jika Hong Kong SAR, yang terlibat dalam berbagai organisasi dunia tersebut, tidak bisa memenuhi kewajibankewajiban internasionalnya. Dalam konteks yang lebih lokal berkaitan dengan masalah yurisdiksi dan legislatif Hong Kong SAR pasca Juli 1997, akan dipertanyakan sampai seberapa jauh Hong Kong akan dijamin menjalankan yurisdiksi di wilayahnya tanpa intervensi dari penguasa RRC. Dalam sistem peradilan, akan dipertahankan sistem peradilan Hong Kong di bawah pengawasan Inggris dahulu. Tetap mandiri dan mempunyai otonomi, menurut Basic Law yang akan menjadi pegangan perundang-undangan Hong Kong SAR pasca 1 Juli 1997. Tidak ada undang-undang Cina yang bisa diberlakukan di wilayah Hong Kong SAR. Akan tetapi banyak yang mengkhawatirkan bahwa peradilan Hong Kong pasca Juli 1997 akan banyak dipengaruhi oleh RRC. Berdasarkan adanya dua sistem ini, permasalahan yang bakal dihadapi berkaitan dengan kompabilitas antara sistem perundangan Cina
Universitas Sumatera Utara
dan sistem undang-undang Hong Kong. Pada akhirnya, konsep “satu negara dua sistem” lebih mudah digapai dalam teori dibanding dalam mempraktekkannya 133. Dua entitas yang berbeda, satu dari sebuah masyarakat kapitalis maju yang dipacu atas dasar kekuasaan hukum dan satunya pada tingkat awal perkembangan kapitalis yang didorong oleh kekuasaan orang, disatukan dalam kerangka kerja politik yang tunggal. Memang masih harus dilihat lebih lanjut apakah integrasi secara parsial dengan daratan Cina ini akan tetap mempertahankan dasar-dasar kesatuan sistem di Hong Kong. 3. Basic Law sebagai Sumber Prinsip dan Hukum Basic Law dapat diartikan sebagai hukum dasar. Namun arti sesungguhnya adalah hukum yang akan dipergunakan di wilayah Hong Kong SAR akan berbeda dengan negara induknya, Cina. Mengenai penerapan gagasan “satu negara dua sistem” sesuai dengan sistem Hukum Hong Kong ditegaskan kembali bahwa Hong Kong SAR didirikan berdasarkan kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif yang mandiri, termasuk kekuasaan untuk mengambil keputusan, yang semuanya sesuai dengan Basic Law konstitusi mini Hong Kong. Presiden dan Sekjen PKC serta ketua komisi militer pusat, Jiang Zemin menyatakan jauh-jauh hari 134, bahwa dalam mengatur administrasinya, Hong Kong akan bertindak sesuai dengan Basic Law, sebagai contoh ia mengatakan, “Kalau saya ke Hong Kong, maka saya harus tunduk kepada undang-undang Hong Kong”. 133
Rhoda Mushkat, “One Country Two International Legal Personality, Hong Kong University, 1996. 134 Far Eastern Economic review magazine, Juni 1997.
Universitas Sumatera Utara
Hal ini menandakan status derajat otonomi Hong Kong yang benar-benar dijaga oleh Cina sebagai pusat bisnis dunia. Pernyataan dan penegasan ini menjadi penting, karena ada keraguan yang tetap mempertanyakan kemungkinan terlaksananya gagasan “satu negara dua sistem” tersebut. Dalam penyelesaian masalah Hong Kong, ada dua dokumen yang sangat menentukan apakah gagasan “satu negara dua sistem” dapat diejawantahkan pasca 1 Juli 1997. Kedua dokumen tersebut adalah : a. Deklarasi Bersama Cina-Inggris 1984, dan b. Basic Law. Deklarasi bersama Cina-Inggris adalah sebuah konvensi diplomatik untuk menyelesaikan masalah Hong Kong sebagai persoalan yang tersisa dari sejarah, dan Basic Law merupakan dokumen legal RRC yang diputuskan sesuai dengan konstitusi negara tersebut. Basic Law dalam bentuk Hukum mewakili pemulihan kedaulatan Cina atas Hong Kong dan administrasi setelah 1997, sesuai dengan kebijakan “satu negara dua sistem”. Baik deklarasi bersama Cina-Inggris dan Basic Law mempunyai dua pokok dasar, kembalinya Hong Kong ke RRC dan mempertahankan kesejahteraan dan stabilitas Hong Kong. Pencapaian hal tersebut harus didasarkan pada mekanisme satu negara dua sistem, serta serangkaian kerja kebijakan khusus yang sesuai dengan konsep “satu negara dua sistem” tersebut. Secara isi, Basic Law mulai dari awal sampai akhir memanifestasikan prinsip “satu negara dua sistem”, rakyat Hong Kong memerintah Hong Kong serta otonomi dengan derajat tinggi bagi Hong Kong.
Universitas Sumatera Utara
Dalam penjelasan tentang hubungan antara pemerintah pusat dan Hong Kong SAR, Basic Law, menetapkan dalam asumsi untuk menjaga kedaulatan nasional dan mempraktekkan sebuah sistem sosialis di daratan Cina. Sistem kapitalis dan gaya hidup Hong Kong yang ada sekarang ini tidak akan berubah selama 50 tahun. Pemerintah pusat akan bertanggung jawab hanya pada masalah pertahanan Hong Kong, dan masalah luar negeri maupun masalah lainnya yang ditetapkan oleh undang-undang. Segala kekuasaan yang bisa diserahkan kepada Hong Kong SAR, yang merupakan sebuah otonomi dengan derajat tinggi yang belum pernah ada presidennya. Umpan balik dan pernyataan dari Cina, tentang Otonomi Hong Kong dalam prinsip satu negara dua sistem, tetap juga membawa dampak kekhawatiran. Dengan asumsi bahwa Hong Kong akan mengalami intervensi yang sama seperti Tibet, Cina akan menentukan pemerintahan Hong Kong. Artinya, para pemimpin Sistem Sosialis akan memilih pemimpin-pemimpin dari sistem kapitalis, dan hal ini sangat bertentangan dengan semangat “satu negara dua sistem” 135. Secara luas, jaminan tidak akan berubahnya Hong Kong setelah menjadi kedaulatan Cina telah ditegaskan oleh Presiden Jiang Zemin. Tidak ada yang baru sejauh berkaitan dengan jaminan para pemimpin Cina atas masa depan Hong Kong di bawah kekuasaan mereka. Selama berada dibawah kekuasaan Inggris, Hong Kong sebenarnya sudah menikmati posisi otonominya. Sementara dibawah Cina sudah dimulai sejak 1 Juli 1997, sampai paling tidak selama 50 tahun
135
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
kedepan. Hal ini yang dipertegas dalam Basic Law konstitusi mini Hong Kong SAR tersebut. 4. Infrastruktur Persoalan lain adalah berkaitan dengan masalah pembangunan fisik Hong Kong. Apa dampak infrastruktur Hong Kong setelah penyerahan kedaulatan ke RRC ? Basic Law Hong Kong SAR tidak secara mendalam membahas masalah ini. Pasal 119 menyebutkan Pemerintah Hong Kong SAR akan memformulasikan kebijakan-kebijakan
yang
memadai
untuk
mempromosikan
dan
mengkoordinasikan pembangunan untuk berbagai kepentingan perdagangan seperti manufaktur, komersial, turisme, real estate, transportasi, utilities umum, jasa, pertanian dan perikanan, serta memberikan perlindungan lingkungan. Hong Kong memang sangat tergantung kepada infrastruktur lokal dan lintas-batas. Untuk mempertahankan posisinya sebagai pusat transit internasional. Kurang koordinasinya antara Inggris dan Cina berkaitan dengan masalah infrastuktur ini memang mengkhawatirkan. Hubungan yang tidak serasi antara Inggris dan Cina, seperti tertundanya anggaran pengeluaran infrastruktur yang sangat dibutuhkan bagi perekonomian Hong Kong. Salah satu contohnya adalah penolakan Beijing untuk menyetujui pembangunan CT9 setelah terminal kontainer baru yang melibatkan perusahaan jardine. Salah satu proyek infrastrukturnya adalah Bandara Check Lap Kok, senilai 20 milyar dolar AS, merupakan proyek infrastruktur terbesar di dunia yang diperkirakan akan selesai pada tahun 1998. Bandara baru Check Lap Kok ini
Universitas Sumatera Utara
merupakan bagian dari paket infrastruktur yang diajukan oleh Gubernur Hong Kong, Wilson pada bulan Oktober 1989. Sebagai langkah kepercayaan menjelang penyerahan kedaulatan. Sebaliknya Cina melihat port dan air Development Strategis yang bertanggung jawab atas pembangunan bandara tersebut, dilihat sebagai suatu komplotan untuk mengalihkan dana keluar dari Hong Kong. Bank pun menolak untuk mendanai mega proyek ini menunggu sampai ada dukungan dari RRC. Dukungan dari Cina muncul tahun 1994 yang sepakat untuk mendanai pembangunan Bandara Check Lap kok tersebut. Infrastruktur ini memang sangat penting bagi Hong Kong, melihat posisi Hong Kong sebagai negara transit internasional. Infrasruktur ini yang akan mendukung semuanya itu. 5. Pelabuhan Bebas Jauh sebelum waktu yang disepakati untuk menyerahkan wilayah Hong Kong dari Inggris ke daulatan Cina, Cina sudah mengakui Hong Kong pelabuhan bebas dengan ciri-cirinya sendiri. Sebuah pelabuhan bebas selalu mengacu kepada kawasan ekonomi yang terbuka terhadap dunia luar dan bebas bagi keluar masuk barang dan industri dunia. Hal ini termasuk bebas untuk mendirikan perusahaan bebas berdagang, bebas pengapalan, bebas pertukaran mata uang, dan bebas arus modal dan pergerakan uang. Ciri-ciri Hong Kong sebagai pelabuhan bebas antara lain adalah besarnya wilayah derajat keterbukaan yang tinggi, fungsi-fungsi yang saling terkait, serta kekuatan ekonomi yang besar. Sebagai pelabuhan yang bebas, wilayah yang tercakup termasuk pulau Hong Kong, Kowloon, dan New Teritories. Pelabuhan
Universitas Sumatera Utara
bebas lain biasanya hanya terdiri dari bagian kecil dari sebuah kota khusus, seperti pelabuhan bebas Hamburg di Jerman dan pelabuhan bebas di Rotterdam, Belanda. Derajat tingkat keterbukaan Hong Kong tercermin dengan arus bebas dari segala jenis modal dan kapital, yang bisa diinvestasikan di segala jalur bisnis dan industri. Selain itu Hong Kong juga memiliki struktur ekonomi yang komprehensif,
dimana
perdagangan,
keuangan,
perkapalan,
real
estate,
manufaktur, eceran (Retail) turis dan informasi semuanya berkembang dengan sangat cepat, dan dengan derajat yang tinggi. Jika dilihat dari keunggulan Cina untuk mempertahankan Hong Kong sebagai pusat bisnis dunia yang telah dirintis sejak pendudukan Inggris, memang tak main-main lagi. Kesimpulan utamanya, bahwa kepentingan Cina ada di dalamnya. Bahkan bukan hanya kepentingan Cina saja, tetapi sudah sampai kepada masa depan Cina yang dipertaruhkan. Cina ibarat seekor naga yang baru akan bangun dari tidurnya, sehingga di masa yang akan datang, geliatnya pasti akan membawa perubahan kedudukan pusat bisnis di dunia. Kebijakan internasional Cina yang memberikan otonomi penuh kepada Hong Kong SAR dinilai sebagai langkah yang tepat dalam usaha menjaga posisi Hong Kong dari negara-negara saingannya. Politik “One Country Two Systems” Cina dalam mempertahankan Hong Kong sebagai pusat bisnis dunia dinilai akan mampu dijalankan secara praktek bukan secara teori saja diterapkan. Paling tidak
Universitas Sumatera Utara
selama 50 tahun kedepan dan tidak terlepas kemungkinan untuk diperpanjang secara otomatis untuk 50 tahun kedua. Analisa ekonomi dunia menyimpulkan bahwa perekonomian Hong Kong sebelum dan sesudah penyerahan kepada Cina ditinjau dari Hukum Ekonomi Internasional masih akan tetap dipertahankan, bahkan bukan tidak mungkin akan lebih dari saat sebelum penyerahan Hong Kong. Kunci keberhasilannya adalah “Otonomi daerah Hong Kong SAR yang diberikan secara penuh oleh Cina untuk mengurus segalanya di Hong Kong selama 50 tahun ke depan”. Hukum Internasional sendiri memandang perjanjian Cina dengan Inggris atas wilayah Hong Kong sebagai suatu perjanjian yang sah sebagaimana biasanya bentuk-bentuk perjanjian lainnya. Perjanjian berakhir dilihat dari masa berlakunya, yakni kesepakatan antara negara-negara dalam menyatakan waktu perjanjian berakhir. Namun, jika dilihat dari segi politik dan sejarahnya, perjanjian antara Inggris dengan Cina adalah perjanjian khusus, sebab setelah selesainya perjanjian kedua negara induk, Cina masih harus mengadakan perjanjian dengan otoritas Hong Kong yang diatur dalam joint declaration, dimana segala bentuk peninggalan Inggris yang ada di Hong Kong masih akan dipertahankan setidaktidaknya selama 50 tahun kedepan. Deklarasi Bersama menjelaskan bahwa perjanjian penyerahan wilayah tersebut hanya sebatas kepada penyerahan wilayah saja, tidak kepada seluruh sistem yang berlaku di wilayah Hong Kong. Sebagaimana bentuk perjanjian internasional yang selalu dijalankan oleh negara-negara, hanya sebatas perjanjian
Universitas Sumatera Utara
perbatasan wilayah, perdagangan, dan bentuk lainnya saja. Kalaupun perjanjian wilayah dilakukan tidak seunik dan seistimewa perjanjian wilayah Hong Kong. Dimana setelah perjanjian dilaksanakan, tidak seluruhnya sistem beralih ke negara asal. Hanya wilayahnya saja, dan dinyatakan bahwa segala sesuatunya akan ditetapkan selama 50 tahun ke depan. Kronologis Pembentukan MLA RI-Hong Kong SAR Berawal dari kunjungan perkenalan Konsul Kejaksaan pada 8 Juni 2005 kepada Kepala Divisi Internasional, Department of Justice Hong Kong SAR, dibicarakan juga perlu adanya suatu perjanjian kerjasama antara Pemerintah RI dengan Hong Kong dalam masalah-masalah Pidana, sebagai komitmen mereka dalam membantu berbagai jurisdiksi dalam pemberantasan kejahatan. Kedatangan Tim terpadu pemburu tersangka/terpidana pelaku tindak pidana korupsi yang dipimpin oleh Wakil Jaksa Agung RI yang berkunjung ke Hong Kong pada 13 September 2005 mempertegas akan perlunya perjanjian kerjasama semacam ini antara kedua negara dalam masalah pidana sehingga disepakati pertemuan pertama tingkat teknis untuk membahas draft MLA in Criminal Matters antara PEMRI dengan Hong Kong bertempat di Kejaksaan Agung RI, Jakarta pada 27-28 Februari 2006. Pada 15 Februari 2006, Konsul Kejaksaan KJRI Hong Kong mengadakan pertemuan dengan John Hunter dari Department of Justice Hong Kong dalam rangka koordinasi persiapan untuk First Technical Meeting on Treaty of Mutual Legal Assistance in Criminal Matters. Dan selanjutnya pada 27-28 Februari 2006 diadakan pertemuan pertama tingkat teknis pembahasan MLA in Criminal Matters
Universitas Sumatera Utara
antara Pemerintah Indonesia-Hong Kong SAR yang berlangsung di Kejaksaan Agung RI di Jakarta. Dalam pertemuan tingkat teknis tersebut pihak Hong Kong diwakili oleh Ms Amelia Luk, Deputy Law Officer, Mr. John Hunter Deputy Principal Government Counsel. Pada 28-29 Maret 2006, Perundingan putaran kedua pembahasan MLA in Criminal Matters antara Pemerintah Hong Kong SAR dan Pemerintah RI, sesuai dengan surat: C7-UM.01.10-06, perihal penunjukan anggota Delegasi RI pada pertemuan Tingkat Teknis tahap II terdiri dari wakil-wakil Menkopolhukam, Dephukham, Kejagung dan Polri, sementara delegasi Hong Kong diwakili oleh Pejabat Departemen Kehakiman. Pertemuan kedua ini berhasil menyepakati Perjanjian Timbal Balik Bantuan Hukum dalam Masalah Pidana antara pemerintah RI-Hong Kong SAR yang dirintis oleh Tim Pemburu Koruptor yang dipimpin oleh Wakil Jaksa Agung RI. Setelah mengalami dua kali pembahasan formal dan beberapa kali pertemuan yang bersifat teknis dan non formal, akhirnya Konsul Kejaksaan mendapatkan juga konfirmasi tertulis dan kesediaan untuk menandatangani perjanjian dari Jaksa Agung RI dan surat dukungan dari Menhukham No. MHH.AH.08.03.7 tanggal 24 Mei 2008 yang isinya memberikan dukungan sepenuhnya kepada Jaksa Agung RI untuk menandatangani perjanjian timbal balik dalam masalah-masalah pidana antara PEMRI dengan Hong Kong. Penandatanganan perjanjian Bantuan Hukum dalam Masalah Pidana selanjutnya dilaksanakan oleh Jaksa Agung RI, Hendarman Supandji sebagai wakil dari Pemerintah RI dengan Secretary for Justice, Wong Yan Lung, wakil
Universitas Sumatera Utara
dari Pemerintah Hong Kong SAR, pada hari Kamis tanggal 3 April 2008 bertempat di Conference Room, 4/F, High Block, Queensway Government Offices, 66 Queensway Road, Hong Kong. Penandatanganan perjanjian ini disaksikan oleh pejabat tinggi dari kedua belah pihak seperti Dirjen Hukum dan Perjanjian Internasional Deplu RI, Dirjen Administrasi Hukum Umum Depkumham RI, wakil dari Commissioner of the Ministry of Foreign Affairs of the People’s Republic of China in the Hong Kong SAR, Acting Konsul Jenderal RI di Hong Kong, wakil PPATK Indonesia, wakil NCB Interpol kedua pihak, dan wakil Security Bureau Hong Kong SAR. Acara
ini
semula
direncanakan
akan
ditandatangani
pada
saat
berlangsungnya konferensi tahunan kedua IAACA (The International Association of Anti Corruption Authority) di Bali pada Nopember 2007, namun pihak Hong Kong belum mendapat persetujuan tertulis dari Pemerintah Cina, sejalan dengan azas “one country two system” yang dianut mereka, akhirnya dengan dukungan Kejaksaan Agung Republik Rakyat Cina dan upaya Perwakilan PEMRI di Beijing, persetujuan didapatkan dan acara ini dapat terlaksana dengan baik. 136
B. Model MLA Antara RI dan Hong Kong SAR Sekretaris Kehakiman, Mr Wong Yan Lung, SC, atas nama Pemerintah Hong Kong Daerah Administratif Khusus (Hong Kong SAR), dan Jaksa Agung Republik Indonesia, Bapak Hendarman Supandji, atas nama Republik Indonesia,
136
Jan Samuel Maringka, Memorandum Serah Terima Jabatan Konsul Kejaksaan pada KJRI Hong Kong SAR, 30 Juni 2008.
Universitas Sumatera Utara
menandatangani Perjanjian tentang Bantuan Hukum dalam Masalah Pidana (MLA) pada 3 April 2008, dalam bentuk suatu persetujuan (agreement). Perjanjian internasional ini adalah perjanjian MLA Hong Kong SAR ke 23 dengan negara lain yang telah ditandatangani guna memfasilitasi kerjasama untuk memerangi kejahatan serius. Hal ini akan memungkinkan untuk berbagai bantuan timbal balik yang akan ditawarkan dalam penyelidikan dan penuntutan tindak pidana dan dalam proses yang berkaitan dengan masalah pidana. Persetujuan ini berisi semua fitur penting dan perlindungan untuk perjanjian internasional jenis ini. Bantuan tersebut diatur dalam perjanjian mencakup berikut: a. Pelayanan dokumen; b. Pengambilan bukti; c. Pemindahan sementara orang-orang dalam tahanan untuk memberikan bantuan; d. Memfasilitasi kehadiran seseorang untuk memberikan bantuan; e. Menyediakan dokumen-dokumen dan catatan lain; f. Melaksanakan permintaan untuk pencarian dan penyitaan; dan g. Mengidentifikasi, menelusuri, menahan, dan menyita hasil tindak pidana. Perjanjian ini akan mulai berlaku 30 hari setelah tanggal di mana kedua belah pihak telah saling memberitahukan secara tertulis bahwa persyaratan masing-masing telah dipenuhi. Sejauh ini, Hong Kong SAR telah menandatangani perjanjian MLA dengan 22 yurisdiksi negara lain. Mereka adalah: Australia, Amerika Serikat, Perancis, Inggris, Selandia Baru, Italia, Korea, Swiss, Kanada,
Universitas Sumatera Utara
Filipina, Portugal, Irlandia, Belanda, Ukraina, Singapura, Belgia, Denmark, Polandia, Israel, Jerman, Malaysia dan Finlandia 137. Perjanjian internasional antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Daerah Administrasi Khusus Hong Kong Republik Rakyat Cina tentang Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Masalah Pidana dituangkan dalam suatu Persetujuan (Agreement). Ruang lingkup penerapan perjanjian bantuan ini, kedua pihak saling memberikan bantuan dalam masalah pidana, yaitu penyelidikan, penuntutan, atau proses peradilan menyangkut segala kejahatan yang pada saat permintaan bantuan, berada dalam yurisdiksi pejabat berwenang dari pihak Peminta. Bantuan juga dapat diberikan dalam kaitan dengan kejahatan yang bertentangan dengan hukum di bidang perpajakan, bea cukai, pengawasan valuta asing atau masalah pendapatan lainnya, tetapi tidak dalam kaitan dengan proses persidangan nonpidana yang terkait darinya. Bantuan meliputi: a. Pengambilan bukti atau pernyataan dari orang; b. Pemberian informasi, dokumen, catatan dan alat/barang bukti; c. Pelacakan atau pengidentifikasian orang atau barang; d. Penyampaian dokumen; e. Pelaksanaan permintaan pencarian dan penyitaan; f. Membuat pengaturan bagi orang untuk membuat bukti atau bantuan dalam penyelidikan, penuntutan, atau proses peradilan pidana di Pihak Peminta; 137
Perjanjian MLA HKSAR dan RI, www.cifor.cgiar.org/ilea, diakses terakhir kali pada 11 Oktober 2010.
Universitas Sumatera Utara
g. Pelacakan, penahanan, penyitaan, perampasan, dan pengembalian hasil kejahatan; dan h. Bantuan lain yang dianggap perlu oleh pihak Peminta dan sesuai dengan persetujuan ini serta hukum dari pihak Diminta 138. Persetujuan ini tidak berlaku terhadap: a.
Penangkapan atau penahanan orang untuk tujuan penyerahan orang tersebut;
b.
Pelaksanaan keputusan pengadilan pidana di pihak Diminta yang dijatuhkan di pihak Peminta, kecuali diperbolehkan oleh hukum dari pihak Diminta;
c.
Pemindahan terpidana untuk menjalani hukuman; dan
d.
Pemindahan proses peradilan dalam masalah pidana139. Permintaan bantuan hukum timbal balik diproses oleh otoritas sentral dari
para pihak, yaitu Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dari Republik Indonesia dan Menteri Kehakiman atau pejabat yang ditunjuknya dari Daerah Administrasi Khusus Hong Kong. Otoritas sentral dapat diganti dengan pemberitahuan sesegera mungkin terhadap pihak lainnya. Otoritas sentral dapat langsung saling berkomunikasi, atau, jika dikehendaki, melalui Konsulat Jenderal di Daerah Administrasi Khusus Hong Kong 140. Permintaan bantuan dibuat dalam bentuk tertulis, atau jika memungkinkan, melalui sarana lain yang dapat menghasilkan catatan tertulis dengan ketentuan pihak Diminta dapat menjamin keautentikannya. Dalam keadaan mendesak dan diperbolehkan oleh hukum pihak Diminta, permintaan dapat dibuat secara lisan, 138
Agreement between the Government of the Republic of Indonesia and the Government of the Hong Kong Special Administrative Region of the People’s Republic of China concerning Mutual Legal Assistance in Criminal Matters, Article 1. 139 Ibid., Article 2. 140 Ibid., Article 4.
Universitas Sumatera Utara
dalam hal demikian permintaan wajib dikonfirmasikan secara tertulis dalam waktu lima hari 141. Bantuan ditolak apabila: a. Permintaan berkaitan dengan kejahatan yang dianggap oleh pihak Diminta sebagai kejahatan yang bersifat politik; b. Permintaan berkaitan dengan kejahatan yang diatur dalam hukum militer; c. Permintaan berkaitan dengan penuntutan orang untuk kejahatan dimana orang tersebut telah dipidana, dibebaskan, dimaafkan atau telah menjalankan hukuman yang dijatuhkan oleh pihak Diminta; d. Terdapat alasan kuat untuk menduga bahwa permintaan bantuan dilakukan untuk tujuan menyelidiki, menuntut atau menghukum seseorang karena alasan suku, jenis kelamin, agama, kewarganegaraan atau pandangan politik, atau, bahwa permintaan bantuan tersebut akan merugikan orang dimaksud karena alasan-alasan tersebut; e. Ketentuan dalam bantuan tersebut akan mengganggu kedaulatan, keamanan, ketertiban umum atau kepentingan utama dari Republik Indonesia atau untuk Daerah Administrasi Khusus Hong Kong, kedaulatan dari Republik Rakyat Cina atau bagian dari padanya atau kepentingan utama dari Daerah Administrasi Khusus Hong Kong; f. Tindakan atau kesalahan yang dituduhkan merupakan kejahatan sesuai dengan permintaan, bukan merupakan suatu kejahatan apabila terjadi di dalam yurisdiksi negara Diminta; atau
141
Ibid., Article 5.
Universitas Sumatera Utara
g. Tidak ada jaminan dari pihak Peminta bahwa bantuan yang diminta tidak akan digunakan untuk tujuan selain yang dinyatakan dalam permintaan tanpa persetujuan terlebih dahulu dari pihak Diminta. Pihak Diminta dapat menolak bantuan, jika, menurut pendapatnya, bantuan dapat, atau mungkin dapat merugikan keamanan seseorang, apakah orang tesebut berada di dalam atau di luar wilayah pihak Diminta; atau bantuan akan memberikan beban lebih bagi sumber daya pihak Diminta. Namun, bantuan tidak dapat ditolak semata-mata dengan alasan kerahasiaan bank dan lembaga keuangan sejenis atau bahwa kejahatan tersebut juga dianggap melibatkan masalah fiskal 142. Ketentuan-ketentuan lain yang diatur dalam persetujuan bantuan hukum timbal balik dalam masalah pidana ini, meliputi: pengembalian barang kepada pihak Diminta (pasal 8), kerahasiaan dan pembatasan penggunaan (pasal 9), penyampaian dokumen (pasal 10), pengambilan alat/barang bukti (pasal 11), kemungkinan orang dalam tahanan (pasal 12) atau orang lain (pasal 13) untuk memberikan bukti atau menyediakan bantuan, tindakan penjagaan (pasal 14), dokumen dan catatan lain yang terbuka bagi umum (pasal 15), pencarian dan penyitaan (pasal 16), hasil kejahatan (pasal 17), sertifikasi dan pengesahan (pasal 18), perwakilan dan biaya (pasal 19), penyelesaian perselisihan (pasal 20), dan amandemen (pasal 21), serta pemberlakuan dan pengakhiran persetujuan (pasal 22).
142
Ibid., Article 6.
Universitas Sumatera Utara
C. UN Model Treaty of MLA UN Model Perjanjian tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana, yang diadopsi oleh resolusi Majelis Umum 45/117, kemudian diubah dengan resolusi Majelis Umum 53/112, berkeinginan untuk memperluas kerjasama internasional guna memerangi kejahatan transnasional. Dasar terbentuknya UN Model Perjanjian ini antara lain mengingat resolusi 1 dari Kongres Ketujuh, pada kejahatan terorganisir, di mana Negaranegara Anggota didesak, antara lain, untuk meningkatkan aktivitas mereka di tingkat internasional dalam rangka memerangi kejahatan terorganisir, termasuk, jika dimungkinkan, mengadakan perjanjian bilateral mengenai ekstradisi dan bantuan hukum timbal balik, dan mengingat pula resolusi 23 dari Kongres Ketujuh, pada tindak pidana yang bersifat/ berkarakter teroris, di mana semua Negara dipanggil untuk mengambil langkah-langkah untuk memperkuat kerjasama khususnya, antara lain, di bidang bantuan hukum timbal balik. UN Model Perjanjian ini meyakini bahwa pembentukan pengaturan perjanjian bilateral dan multilateral untuk bantuan timbal balik dalam masalah pidana akan sangat berkontribusi untuk pengembangan lebih efektif operasi kerjasama internasional untuk kontrol kriminalitas, dan menyadari kebutuhan untuk menghormati martabat manusia dan mengingat hak dianugerahkan kepada setiap orang yang terlibat dalam proses pidana, sebagaimana yang termaktub dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik.
Universitas Sumatera Utara
Menyadari pentingnya suatu model perjanjian tentang bantuan timbal balik dalam masalah pidana sebagai cara yang efektif untuk menangani aspek kompleks dan serius sebagai konsekuensi dari kejahatan, khususnya dalam bentuk-bentuk baru dan dimensi, sehingga UN Model Perjanjian dibuat sebagai kerangka kerja yang berguna sebagai bantuan bagi Negara yang berminat dalam proses negosiasi dan menyimpulkan perjanjian bilateral yang bertujuan untuk meningkatkan kerjasama dalam hal pencegahan kejahatan dan peradilan pidana. Bantuan timbal balik yang akan diberikan sesuai dengan Perjanjian ini meliputi143: a. Mengambil bukti atau pernyataan dari orang; b. Membantu dalam ketersediaan orang yang ditahan atau orang lain untuk memberikan bukti atau membantu dalam penyelidikan; c. Memberikan pelayanan dokumen hukum; d. Melakukan pencarian dan penyitaan; e. Memeriksa barang dan tempat; f. Menyediakan informasi dan alat pembuktian; g. Memberikan dokumen asli atau salinan resmi dari dokumen-dokumen yang relevan dan catatan, termasuk catatan bank, keuangan, perusahaan atau bisnis rekaman 144. Perjanjian ini tidak berlaku untuk 145:
143
Penambahan ruang lingkup bantuan yang akan diberikan seperti ketentuan yang mencakup informasi tentang kalimat disampaikan warga negara Para Pihak, dapat dianggap bilateral. Jelas, bantuan tersebut harus sesuai dengan hukum Negara yang Diminta. 144 UN Model Treaty of MLA, Annex 1, Article 1 no.2. 145 Ibid., Article 1 no.3.
Universitas Sumatera Utara
a. Penangkapan atau penahanan seseorang dengan maksud untuk ekstradisi dari orang tersebut; b. Penegakan hukum bagi pelaku yang berada di Negara yang Diminta, dikenakan putusan pidana di Negara Peminta kecuali sejauh yang diijinkan oleh hukum Negara diminta dan Protokol Opsional/pasal 18 untuk Perjanjian ini; c. Pengalihan orang dalam tahanan untuk memberikan keterangan; d. Pengalihan proses dalam masalah pidana. Mengenai Central Authority, setiap Pihak wajib menunjuk dan menunjukkan kepada Pihak lain otoritas sentral atau kewenangan oleh atau melalui yang meminta untuk tujuan ini Perjanjian harus dibuat atau diterima. 146 Dalam hal penolakan bantuan, bantuan dapat ditolak jika 147: a. Negara Diminta berpendapat bahwa permintaan, jika dikabulkan, akan merugikan kedaulatan, keamanan, ketertiban umum (ordre public) atau kepentingan umum lainnya di Negara Diminta; b. Kejahatan tersebut dianggap oleh Negara Diminta sebagai suatu yang bersifat politik; c. Ada alasan kuat untuk meyakini bahwa permohonan bantuan telah dibuat untuk tujuan penuntutan seseorang atas ras, jenis kelamin, agama, kebangsaan, asal etnis atau pendapat politik atau bahwa posisi orang itu mungkin akan dapat merugikan atau membahayakan untuk beberapa alasan; 146
Ibid., Article 3. Beberapa negara mungkin memiliki keinginan untuk menghapus atau mengubah beberapa ketentuan atau menyertakan lainnya alasan untuk penolakan, seperti yang berkaitan dengan sifat pelanggaran (misalnya fiskal), sifat dari hukuman yang berlaku (misalnya hukuman mati), persyaratan konsep bersama (misalnya yurisdiksi ganda, tidak ada selang waktu) atau jenis tertentu dari bantuan (misalnya intersepsi telekomunikasi, melakukan tes asam deoksiribonukleat (DNA)). 147
Universitas Sumatera Utara
d. Permintaan berkaitan dengan tindak pidana yang terselidik atau penuntutan di Negara Diminta atau penuntutan yang ada pada Negara Peminta akan bertentangan dengan hukum Negara yang diminta pada bahaya yurisdiksi ganda (ne bis in idem); e. Bantuan yang diminta memerlukan Negara Diminta untuk melakukan langkahlangkah wajib yang akan tidak konsisten dengan hukum dan praktik yang telah memiliki pelanggaran, menjadi subjek penyelidikan atau penuntutan di bawah yurisdiksi Negara Diminta sendiri; f. Tindak pidana berdasarkan hukum militer, yang tidak juga merupakan pelanggaran/tindak pidana berdasarkan hukum pidana biasa 148. Ketentuan lain yang diatur dalam UN Model Perjanjian ini antara lain meliputi: isi (pasal 5) dan pelaksanaan permintaan (pasal 6), pengembalian barang kepada pihak Diminta (pasal 7), kerahasiaan dan pembatasan penggunaan (pasal 8), perlindungan kerahasiaan (pasal 9), penyampaian dokumen (pasal 10), pengambilan
alat/barang
bukti
(pasal
11),
hak/kewajiban
untuk
menolak/memberikan bukti (pasal 12), kemungkinan orang dalam tahanan (pasal 13) atau orang lain (pasal 14) untuk memberikan bukti atau menyediakan bantuan, tindakan penjagaan (pasal 15), dokumen dan catatan lain yang terbuka bagi umum (pasal 16), pencarian dan penyitaan (pasal 17), hasil kejahatan (pasal 18), sertifikasi dan pengesahan (pasal 19), biaya (pasal 20), penyelesaian perselisihan (pasal 20), dan konsultasi (pasal 21). Mengenai Perlindungan kerahasiaan 149, hal ini dilakukan atas permintaan:
148
Ibid., Article 4.
Universitas Sumatera Utara
a. Negara yang Diminta, akan menggunakan upaya terbaik untuk menjaga rahasia permohonan/ permintaan bantuan, isinya dan dokumen pendukungnya serta fakta pemberian bantuan tersebut. Jika permintaan tersebut tidak dapat dilaksanakan
tanpa
melanggar
kerahasiaan,
Negara
Diminta
wajib
memberitahu Negara Peminta, yang kemudian akan menentukan apakah permintaan tersebut tetap harus dijalankan; b. Negara Peminta, harus menjaga rahasia dan menyimpan bukti informasi yang diberikan/disediakan oleh Negara Diminta, kecuali sejauh bahwa bukti dan informasi yang diperlukan untuk penyelidikan dan proses yang diuraikan dalam permintaan. Pengaturan umum mengenai hak atau kewajiban untuk menolak untuk memberikan bukti yaitu: 1. Seseorang yang dipanggil untuk wajib memberikan bukti pada Negara yang diminta atau meminta dapat menolak untuk memberikan bukti di mana baik: a. Hukum Negara Diminta mengizinkan atau mewajibkan orang tersebut untuk menolak memberikan bukti dalam kondisi yang sama dalam proses yang berasal dari Negara yang diminta, atau b. Hukum Negara Peminta izin atau mewajibkan orang tersebut untuk menolak memberikan bukti dalam kondisi yang sama dalam proses yang berasal dari Negara Peminta. 2. Jika seseorang mengklaim bahwa ada hak atau kewajiban untuk menolak untuk memberikan bukti menurut hukum Negara lain, Negara di mana orang tersebut ini 149
Ketentuan yang berkaitan dengan kerahasiaan akan menjadi penting bagi banyak negara tetapi dapat menghadirkan masalah kepada orang lain. Sifat ketentuan dalam perjanjian individu dapat ditentukan dalam negosiasi bilateral.
Universitas Sumatera Utara
berada wajib, dengan amendemen tersebut, bergantung pada sertifikat otoritas berwenang dari Negara lainnya sebagai bukti adanya atau tidak adanya hak atau kewajiban 150. Mengenai permasalahan konsultasi, para Pihak akan berkonsultasi segera, atas permintaan salah satu, tentang interpretasi, aplikasi atau pelaksanaan Perjanjian ini baik umum atau berhubungan/dalam kaitannya dengan kasus tertentu.
D. Perjanjian MLA antara RI dengan Hong Kong SAR menurut UU RI No. 1 tahun 2006 dan UN Model Treaty of MLA Perjanjian MLA yang dibuat antara RI dengan Hong Kong SAR di tahun 2008, merupakan perjanjian MLA RI pertama yang telah memiliki dasar hukum dan pedoman praktis pembuatannya, yang telah dituangkan dalam UU RI No. 1 tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik dalam masalah Pidana. Perjanjian MLA RI sebelumnya, yaitu dengan Australia, Cina, dan Korea Selatan, didasari asas resiprositas ataupun komplementer atas perjanjian ekstradisi yang telah ada terlebih dahulu 151. Dibandingkan dengan UU RI No. 1 tahun 2006, perjanjian MLA RIHKSAR lebih luas ruang lingkupnya dalam pasal 1 nomor (3) dimana bantuan juga dapat diberikan dalam kaitan dengan kejahatan yang bertentangan dengan 150
Beberapa negara mungkin ingin memberikan bahwa saksi yang bersaksi dalam meminta Negara tidak dapat menolak untuk bersaksi atas dasar hak istimewa yang berlaku di yang diminta Negara. 151 Pada ketentuan Peralihan UU RI No. 1 tahun 2006 yang tertuang dalam pasal 59, pada saat UU ini mulai berlaku: (a) semua perjanjian Bantuan yang telah diratifikasi sebelum berlakunya UU ini dinyatakan tetap berlaku; (b) semua permohonan bantuan yang diajukan baik berdasarkan perjanjian maupun tidak, tetap diproses sepanjang tidak bertentangan dengan UU ini.
Universitas Sumatera Utara
hukum di bidang perpajakan, bea cukai, pengawasan valuta asing atau masalah pendapatan lainnya, tetapi tidak dalam kaitan dengan proses persidangan nonpidana yang terkait darinya. Dalam
persetujuan
MLA
RI-HKSAR,
masalah
pidana
berarti
penyelidikan, sedangkan pada UU RI No. 1 tahun 2006, bantuan berkenaan dengan penyidikan. Dalam UU RI No. 8 tahun 1981, penyidikan dan penyelidikan adalah dua hal yang berbeda. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya 152. Sedangkan, penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyelidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini 153. Mengenai pejabat pemegang otoritas (Central Authority), UU RI No. 1 tahun 2006 tidak mencamtumkan secara jelas dalam pasal tertentu, hal ini hanya dituangkan dalam bagian umum di Penjelasan UU bahwa UU ini memberikan dasar hukum bagi Menteri yang bertanggung jawab di bidang hukum dan hak asasi manusia sebagai pejabat pemegang otoritas, yang berperan sebagai koordinator dalam pengajuan permintaan bantuan timbal balik dalam masalah pidana kepada negara asing maupun penanganan permintaan bantuan timbal balik dalam masalah pidana dari negara asing. 152 153
Undang-Undang Republik Indonesia No. 8 Tahun 1981, pasal 1 angka (2). Ibid., pasal 1 angka (5).
Universitas Sumatera Utara
Dalam MLA RI-HKSAR, pengaturan secara rinci mengenai Central Authority (otoritas sentral) ini diatur pada pasal 4, dimana otoritas sentral dari para Pihak bertugas memproses permintaan bantuan hukum timbal balik sesuai dengan ketentuan dalam Persetujuan ini. Otoritas sentral dari RI adalah Menteri Hukum dan HAM, sedangkan dari HKSAR adalah Menteri Kehakiman atau pejabat yang ditunjuknya. Setiap pihak dapat mengganti pejabat pemegang otoritasnya, dan dengan segera memberitahukan penggantian tersebut kepada pihak lainnya. Pejabat pemegang otoritas dapat langsung saling berkomunikasi, atau dapat pula, sesuai kehendak mereka, melalui Konsulat Jenderal RI di HKSAR. Dalam UN Model Treaty of MLA, setiap Pihak wajib menunjuk dan menunjukkan kepada Pihak lain otoritas sentral atau kewenangan oleh atau melalui yang meminta untuk tujuan Perjanjian ini harus dibuat atau diterima. 154 Pada Pasal 8 MLA RI-HKSAR, diatur secara tegas mengenai pengembalian barang kepada pihak Diminta. Apabila diminta oleh Pihak Diminta, Pihak Peminta wajib mengembalikan barang yang diberikan berdasarkan Persetujuan ini apabila tidak diperlukan lagi untuk masalah pidana yang terkait. Sebagian besar struktur dan isi perjanjian MLA RI-HKSAR terdapat pada UU RI No.1 tahun 2006, meskipun terlihat bahwa UU RI No. 1 tahun 2006 terkesan lebih mendetail/rinci, hal ini dikarenakan UU ini mengatur Bantuan
154
Negara mungkin ingin mempertimbangkan untuk komunikasi langsung antara pusat berwenang dan bagi pemerintah pusat untuk memainkan peran aktif dalam memastikan cepat pelaksanaan permintaan, pengendalian kualitas dan menetapkan prioritas. Negara juga mungkin ingin setuju bahwa pemerintah pusat tidak saluran eksklusif untuk bantuan antara para Pihak dan bahwa pertukaran langsung informasi harus mendorong sejauh yang diijinkan oleh hukum nasional atau pengaturan.
Universitas Sumatera Utara
Timbal Balik dalam Masalah Pidana Indonesia dengan negara lain secara umum yang mana beberapa ketentuannya tidak tercantum dalam perjanjian MLA antara RI dan Hong Kong SAR, seperti masalah transit 155. Pada UU RI No. 1 tahun 2006, pengaturan secara rinci tertuang dalam proses permintaan bantuan. Permintaan bantuan dari pemerintah RI yaitu: a. bantuan untuk mencari atau mengidentifikasi orang (pasal 11); b. bantuan untuk mendapatkan alat bukti (pasal 12-13); c. bantuan untuk mengupayakan kehadiran orang di Indonesia (pasal 14-18); d. bantuan untuk permintaan dikeluarkannya surat perintah di negara asing dalam mendapatkan alat bukti (19-20); e. bantuan untuk penyampaian surat (pasal 21); dan f. bantuan untuk menindaklanjuti putusan pengadilan (pasal 22-23). Sedangkan permintaan bantuan negara lain kepada Pemerintah RI yaitu: a. bantuan untuk mencari atau mengidentifikasi orang (pasal 31); b. bantuan untuk mendapatkan pernyataan, dokumen, dan alat bukti lainnya secara sukarela (pasal 32-34); c. bantuan untuk mengupayakan kehadiran orang di negara Peminta (pasal 3539); d. bantuan untuk penggeledahan dan penyitaan barang, benda, atau harta kekayaan (pasal 41-47); e. bantuan penyampaian surat (pasal 48-50); dan
155
Izin transit diperuntukkan bagi saksi yang berstatus sebagai tahanan atau narapidana paling lama 12 (dua belas) jam.
Universitas Sumatera Utara
f. bantuan untuk menindaklanjuti putusan pengadilan negara peminta (pasal 5154). Dilihat dari struktur perjanjian MLA RI-HKSAR, perjanjian ini lebih didominasi bentuk UN Model Treaty of MLA. Perjanjian MLA RI-HKSAR tidak mencantumkan
perlindungan
kerahasiaan,
hak/kewajiban
untuk
menolak/memberikan barang bukti, serta konsultasi didalam isi perjanjiannya sebagaimana yang tercantum dalam UN Model Treaty of MLA. Namun, dalam beberapa hal, perjanjian MLA RI-HKSAR lebih merinci apa-apa yang disebutkan secara umum di UN Model Treaty of MLA. Pada pasal 17 nomor (6) persetujuan MLA RI-HKSAR, dirinci bahwa hasil kejahatan meliputi: a. Harta senilai jumlah harta dan keuntungan lain yang berasal dari kejahatan; b. Harta yang berasal atau terbentuk secara langsung atau tidak langsung dari kejahatan; c. Harta yang digunakan atau dimaksud untuk digunakan berkaitan dengan kejahatan atau nilai dari harta tersebut. Pengaturan mengenai biaya 156 pada Pasal 20 UN Model Treaty of MLA adalah bahwa biaya melaksanakan permintaan harus ditanggung oleh Negara yang diminta, kecuali ditentukan lain oleh Para Pihak. Jika biaya dari sebuah 156
Ketentuan lebih rinci dapat dimasukkan. Sebagai contoh, Negara Diminta akan mengeluarkan biaya memenuhi permintaan bantuan kecuali bahwa Negara Peminta akan menanggung (a) biaya luar biasa yang diperlukan untuk memenuhi permintaan tersebut, dimana diperlukan oleh negara Diminta dan tunduk pada konsultasi sebelumnya, (b) biaya yang berhubungan dengan transfer orang ke atau dari wilayah Negara Diminta, dan setiap biaya, tunjangan atau biaya yang dibayar kepada orang itu sedangkan dalam Negara Peminta berdasarkan permintaan berdasarkan Pasal 11, 13 atau 14; (c) biaya yang berhubungan dengan petugas yang menyampaikan kustodian atau mengawal, dan (d) beban yang terlibat dalam memperoleh laporan ahli.
Universitas Sumatera Utara
substansial atau alam luar biasa akan diperlukan untuk mengeksekusi /melaksanakan permintaan tersebut, para Pihak akan berkonsultasi terlebih dahulu untuk menentukan persyaratan dan kondisi di mana permintaan akan dijalankan /harus dilaksanakan serta cara dimana biaya akan ditanggung. Mengenai biaya, di persetujuan MLA RI-HKSAR Pihak Meminta mendapatkan tanggung jawab untuk menanggung: a. Biaya perjalanan dan akomodasi serta uang saku orang yang menyediakan bantuan sesuai dengan permintaan yang dibuat berdasarkan Pasal 11, 12, atau 13 persetujuan ini; b. Biaya pejabat pengawas atau pengawal; dan c. Bayaran dan biaya untuk ahli dan mereka yang terlibat dalam penerjemahan dokumen. Persetujuan MLA RI-HKSAR saat ini dalam tahap ratifikasi kedalam UU RI, meskipun hanya berbentuk persetujuan yang dapat berlaku setelah exchange of notes, namun sesuai pasal 10 UU RI tentang Perjanjian Internasional, hal-hal yang berkaitan dengan keamanan diratifikasi dalam bentuk undang-undang, dalam hal ini yaitu bantuan timbal balik dalam masalah pidana.
Universitas Sumatera Utara
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Berdasarkan beberapa pembahasan yang diuraikan pada bab-bab sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa: 1. Pengaturan hukum mengenai Mutual Legal Assistance (MLA) di Indonesia diatur pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal balik dalam Masalah Pidana, berkenaan dengan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, yang dilakukan berdasarkan suatu perjanjian atau atas dasar hubungan
baik
berdasarkan
prinsip
resiprositas,
atau
sebagai
komplementer suatu perjanjian ekstradisi, guna memudahkan aparat penegak hukum untuk melaksanakan kerjasama memberantas kejahatan transnasional. 2. Perspektif hukum perjanjian internasional terhadap MLA di Indonesia MLA berdasarkan Konvensi Wina tahun 1969 pada intinya dapat dibuat dalam bentuk bilateral atau multilateral. Sejauh ini, Indonesia sudah memiliki beberapa perjanjian kerja sama MLA Bilateral dengan Australia, China, Korea, dan Hong Kong SAR. Sementara itu, MLA Multilateral terangkum pada MLA regional Asia Tenggara yang sudah ditandatangani hampir semua negara anggota ASEAN, termasuk Indonesia. Perjanjian MLA dibuat dalam bentuk ‘perjanjian’, namun ada juga yang berbentuk
Universitas Sumatera Utara
‘persetujuan’. Istilah ini secara umum diartikan sama, namun dalam hukum perjanjian internasional, perjanjian diartikan lebih luas tidak hanya antar kepala negara, melainkan juga antar kepala negara atau antar pemerintah, sedangkan persetujuan merupakan instrumen resmi yang tunggal dan bersifat lebih spesifik dari perjanjian, misal antar kementrian pemerinth negara. Perjanjian MLA di Indonesia diratifikasi dalam bentuk undang-undang. 3. Perjanjian MLA antara RI dan Hong Kong SAR dibuat berpedoman sebagian besar pada UN Model Treaty of MLA dalam bentuk dan isinya, serta memiliki payung hukum UU RI No. 1 tahun 2006 atas keberadaannya. MLA RI-HKSAR merinci beberapa hal yang digambarkan secara umum pada UN Model Treaty of MLA dan UU RI No. 1 tahun 2006. MLA RI-HKSAR terbentuk didasari hasrat untuk memperkuat kerja sama yang erat antar pemerintah, dengan meningkatkan efektifitas aparat penegak hukum dari masing-masing pemerintah di bidang penyelidikan dan penuntutan kejahatan, dan perampasan hasil kejahatan serta proses lanjutannya. Meskipun telah ada MLA antara Indonesia dan Cina, namun MLA antar Indonesia dan Hong Kong SAR tetap dibuat mengingat keberadaan Hong Kong SAR dalam Cina dengan prinsip one country two systems dan merujuk pada Basic Law sebagai sumber hukumnya.
Universitas Sumatera Utara
B. Saran 1. Pengaturan hukum mengenai Mutual Legal Assistance (MLA) di Indonesia yang diatur pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal balik dalam Masalah Pidana, perlu direvisi karena dianggap belum memadai dan belum mencantumkan secara jelas dan keseluruhan aspek-aspek yang berkaitan dalam MLA, contoh tidak adanya pengaturan secara jelas dan rinci mengenai Central Authority. 2. Perspektif hukum perjanjian internasional terhadap MLA di Indonesia dari segi teori telah sejalan dengan hukum perjanjian internasional yang berlaku, baik Konvensi Wina tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian maupun UN Model Treaty of MLA. Namun, dalam penerapan hal ini kadangkala terhambat dengan administrasi dan informasi, sehingga diharapkan kedepannya dalam pembuatan perjanjian mengenai bantuan timbal balik dalam masalah pidana, lebih diperjelas guna memudahkan aparat penegak hukum dalam melaksanakan perjanjian tersebut. Melihat perkembangan kejahatan transnasional yang semakin pesat, perjanjian MLA yang dimiliki oleh Indonesia dianggap sangat minim. Pemerintah perlu meningkatkan jumlah perjanjian MLA Indonesia dengan negaranegara lain untuk melindungi negaranya dan memudahkan penegakan hukum atas warga negaranya yang berada di negara lain, serta dalam upaya mengembalikan aset negara.
Universitas Sumatera Utara
3. Perjanjian MLA antara RI dan Hong Kong SAR dibuat berpedoman sebagian besar pada UN Model Treaty of MLA dalam bentuk dan isinya, serta memiliki payung hukum UU RI No. 1 tahun 2006 atas keberadaannya, antara Indonesia dan Hong Kong SAR pada April 2008, sampai saat ini masih dalam tahap ratifikasi RUU. Sebaiknya pemerintah mengutamakan perjanjian-perjanjian yang penting untuk dituangkan kepada undang-undang guna memudahkan pelaksanaan perjanjian oleh aparat Indonesia yang berada di Hong Kong SAR khususnya, dan perjanjian-perjanjian MLA Indonesia dengan beberapa negara lain pada umumnya.
Universitas Sumatera Utara