BAB III PENAFSIRAN MUHAMMAD QURAISH SHIHAB TENTANG MAKNA DAN UPAYA MERAIH HIDAYAH DALAM TAFSIR AL MISBAH A. Biografi Muhammad Quraish Shihab Muhammad Quraish Shihab lahir di Rappang (sekitar 180 km sebelah utara kota Ujung Pandang-Sulawesi) pada tanggal 16 Februari 1944.1 Meskipun keturunan Arab, kakek dan buyutnya lahir di Madura. Ayahnya, Abdurrahman Shihab, adalah guru besar bidang tafsir sekaligus saudagar. Ibunya, Asma, cucu Raja Bugis. Tak heran bila Muhammad Quraish Shihab dan saudara-saudaranya dipanggil Puang (Tuan) atau Andi oleh masyarakat setempat. Mereka juga mendapat perlakuan khusus dalam upacara-upacara adat. Sejak kecil, Muhammad Quraish Shihab dididik dengan disiplin yang keras. Walaupun keluarganya tidak miskin, mereka tidak mempunyai pembantu, itu tidak lain agar mereka bisa mandiri. Tidak jarang pula Muhammad Quraish Shihab mendapat “hadiah” pukulan dari ibunya bila tidak menurut. Walau hanya tamatan SD, sang ibu sangat memperhatikan pendidikan anak-anaknya. Pada jam-jam belajar ia selalu mengawasi dengan ketat. Di keluarga Shihab hanya laki-laki yang sekolah tinggi, sedangkan anak perempuan hanya bersekolah ketrampilan wanita.2 Muhammad Quraish Shihab sudah “jatuh cinta” kepada tafsir AlQur'an sejak belia. Ayahnya, Abdurrahman Shihab (1905-1986) seorang guru besar dalam bidang tafsir pada IAIN Alauddin Ujung Pandang, seringkali mengajak Muhammad Quraish Shihab bersama dan sesekali memberikan petuah-petuah keagamaan. Dari sinilah rupanya mulai bersemi benih cinta dalam diri Muhammad Quraish Shihab terhadap studi Al-Qur'an.3 Pengkajian terhadap studi Al-Qur'an dan tafsirnya kemudian didalami di Universitas Al1
Alimin Mesra, Makalah Tafsir al Misbah (Pesan Kesan dan Keserasian Al-Qur'an), Program Pasca Sarjana S3 IAIN Syarif Hidayatullah, 2001, hlm. 2 2 Majalah Femina (Serial Femina), bagian 2 No. 15/XXIL - 18-24 April 1996. 3 Ibid., hlm. 14
32
33 Azhar Kairo, setelah melalui pendidikan dasarnya (SD-SLTP) di Ujung Pandang. Tahun 1956 ketika masih duduk di kelas dua SMP, Muhammad Quraish Shihab berangkat ke Malang, Jawa Timur. Ayahnya memasukannya ke SMP Muhammadiyah, sekaligus mendaftarkannya pada Pesantren Ma’had Darul Hadits Al Faqihiyah pimpinan Kyai Habib Abdul Qadir bin Faqih. Tapi di SMP itu ia tidak lama, karena ia lebih tertarik mendalami pendidikan agama di pesantren. Di pesantren, Muhammad Quraish Shihab menjadi kesayangan kyai. Kemanapun kyai memberikan ceramah, ia selalu diajak serta. Tidak sekedar ikut tetapi juga berceramah sebelum kyai berpidato. Ketika pemerintah Mesir menawarkan program bea siswa pendidikan, bersama Alwie Shihab, adiknya Muhammad Quraish Shihab mengikuti tes, dan menjadi anggota termuda di antara 20 pelajar atau mahasiswa Indonesia yang berangkat ke Kairo.4 Pada 1958, dia berangkat ke Kairo, Mesir dan diterima di kelas II Tsanawiyyah Al-azhar. Pada 1967, dia meraih gelar Lc (S1) pada Fakultas Ushuluddin jurusan Tafsir dan Hadits Universitas Al-Azhar. Pada 1969 meraih gelar M.A. untuk spesialisasi bidang Tafsir Al-Qur'an dengan tesis berjudul “Al-I’jaz Al Tasyri’iy li Al-Qur'an Al-Karim”. Dengan suka cita ia lalu kembali ke kampung halamannya. Rasa rindu yang ia pendam kepada ayah bundanya, untuk bercengkrama dengan sanak saudara dan segenap handai taulan yang telah lama ia tinggalkan dapat terobati. Muhammad Quraish Shihab nyaris menjadi bujang lapuk. Menjelang usia 30 tahun ia belum juga menikah. Padahal kakaknya menikah pada usia 18 tahun, sedangkan adiknya sudah lebih dulu menikah. Setiap kali ia bertugas ke luar kota, ia sekaligus “berburu” calon pasangan. Tetapi sayangnya setiap kali bertemu wanita ia merasa ada saja yang kurang cocok. Untunglah ia mendapat resep jitu dari AJ Mokodompit, mantan Rektor IKIP Ujung Pandang. Tidak lama kemudian ia menemukan jodoh, seorang putri Solo bernama Fatmawati. Ia menikah dengan Fatmawati tepat di hari 4
Majalah Femina (Serial Femina), bagian 3, No.16/XXIV – 25 April 1996.
34 ulang tahunnya yang ke-31, 16 Februari 1975. Mereka dikaruniai lima anak, empat perempuan satu lelaki. Anak pertama diberi nama Najla (Ela) lahir tanggal 11 September 1976, anak kedua diberi nama Najwa lahir 16 September 1977, ketiga Nasma lahir tahun 1982, keempat Ahad lahir 1 Juli 1983 dan yang terakhir Nahla lahir Oktober 1986. Pada 1980, Muhammad Quraish Shihab kembali ke Kairo dan melanjutkan pendidikannya di almamaternya yang lama, Universitas AlAzhar. Pada 1982, dengan disertasi berjudul Nadzm Al Durar li Al Biqa’ry, Tahqiq wa Dirasah, ia berhasil meraih gelar Doktor dalam ilmu-ilmu AlQur'an dengan yudisium Summa Cum Laude disertai penghargaan tingkat pertama di Asia Tenggara yang meraih gelar doktor dalam ilmu-ilmu AlQur'an di Universitas Al-Azhar.5 1. Karier Intelektual dan Politik Muhammad Quraish Shihab Sekembalinya ke tanah air pada tahun 1970, setelah meraih gelar M.A., Muhammad Quraish Shihab dipercaya untuk menjabat wakil rektor bidang Akademis dan Kemahasiswaan pada IAIN Alauddin Ujung Pandang. Selain itu, dia juga diserahi jabatan-jabatan lain, baik di dalam kampus seperti Koordinator Perguruan Tinggi Swasta (Wilayah VII Indonesia bagian Timur), maupun di luar kampus seperti menjabat sebagai Pembantu Pimpinan Kepolisian Indonesia Timur dalam bidang pembinaan mental. Selama di Ujung Pandang ini, dia juga sempat melakukan berbagai penelitian antara lain, penelitian dengan tema “Penerapan Kerukunan Hidup Beragama di Indonesia Timur” (1975) dan “Masalah Wakaf Sulawesi Selatan” (1978). Sekembalinya ke Indonesia setelah mencapai gelar doktornya yaitu sejak tahun 1984, Muhammad Quraish Shihab ditugaskan di Fakultas Ushuluddin dan Fakultas Pasca Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Selang 3 tahun kemudian yaitu pada tahun 1993, ia diangkat menjadi Rektor IAIN Syarif Hidayatullah menggantikan Ahmad Syadali.
5
Islah Gusmian, Khasanah Tafsir Indonesia, TERAJU, Bandung, 2003, hlm. 18
35 Selain itu, di luar kampus dia juga dipercaya untuk menduduki berbagai jabatan, antara lain : Ketua Majelis ‘Ulama Indonesia (MUI) pusat (sejak 1984); Anggota Lajnah Pentashihan Al-Qur'an Depag (sejak 1984); Anggota Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional (1989), dan Ketua Lembaga Pengembangan. Dia juga banyak terlibat dalam beberapa organisasi profesional, antara lain : Pengurus Penghimpunan Ilmu-Ilmu Syariah; Pengurus Konsorsium Ilmu-Ilmu Agama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan Asisten Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Di samping itu juga, Muhammad Quraish Shihab tercatat dekat dengan kepemimpinan pada masa Orde Baru. Ketika acara tahlilan memperingati meninggalnya Ibu Tien Soeharto, ia ditunjuk menjadi penceramah dan pemimpin do’a. Mungkin jalur relasi inilah yang membuat Muhammad Quraish Shihab ikut masuk ke kancah politik praktis. Pada pemilu 1997, ia disebut-sebut menjadi juru kampanye untuk partai Golkar, setelah Golkar meraih kemenangan, dalam struktur Kementrian Kabinet Pembangunan VII tercantum nama Muhammad Quraish Shihab sebagai Menteri Agama RI maka ia memegang jabatan rangkap yang juga sebagai Rektor IAIN Jakarta. Namun tidak lebih dari 2 bulan, jabatan sebagai Menteri Agama RI tersebut lepas dari tangannya seiring dengan angin reformasi yang melanda Indonesia. Dalam konteks nasional, nama Muhammad Quraish Shihab agaknya tenggelam terbawa arus keluarga Cendana yang mendapat sorotan negatif di mata rakyat Indonesia pada umumnya. Lalu pada tahun 1999, melalui kebijaksanaan pemerintah Habibie, Muhammad Quraish Shihab mendapat jabatan baru sebagai Duta Besar Indonesia untuk Mesir dan saat ini Muhammad Quraish Shihab menjadi Imam Besar di Masjid Al Tien di Taman Mini Indonesia Indonesia Indah (TMII).6
6
Alimin Mesra, op.cit., hlm. 3
36 2. Karya-Karya Muhammad Quraish Shihab Aktifitas keorganisasian Muhammad Quraish Shihab memang begitu padat, namun semua itu tidak menghalangi untuk aktif dan produktif dalam wacana intelektual. Kehadiran tulisannya di berbagai media massa harian dan mingguan seperti Pelita Hati di Harian Pelita dan Fatwa-Fatwanya di Harian Republika, demikian juga Rubrik Tafsir al Amanah yang diasuhnya pada majalah Ummat (terbit dua mingguan) merupakan bukti kecil dari keaktifan dan produktifitasnya di bidang itu. Semua ini telah diedit dan diterbitkan menjadi buku yang masing-masing berjudul Lentera Hati, Fatwa-Fatwa Muhammad Quraish Shihab dan Tafsir Al Amanah. Selain itu dia juga tercatat sebagai anggota dewan redaksi jurnal Ulumul Qur’an dan Mimbar Ulama. Keduanya terbit di Jakarta. Di Media elektronik dia muncul pada bulan Romadlon sebulan penuh melontarkan kajian tafsirnya di RCTI dan stasiun-stasiun swasta lainnya. Dan menyumbangkan pemikirannya di Metro TV dalam acara Lentera Hati setiap hari Minggu pukul 14.00 WIB. Di sela-sela berbagai kesibukannya ia masih sempat terlihat dalam berbagai kegiatan ilmiah di dalam maupun di luar negeri dan aktif dalam kegiatan tulis menulis. Berbagai buku yang telah dihasilkannya ialah : (1). “Wawasan Al-Qur'an, Tafsir Maudhu’i Berbagai Persoalan Umat.” Buku ini, mulanya merupakan makalah-makalah yang disampaikan Muhammad Quraish Shihab dalam “Pengajian Istiqlal Umat para Eksekutif” di Masjid Istiqlal Jakarta. Pengajian yang dilakukan sebulan sekali itu, dirancang untuk diikuti oleh para pejabat baik dari kalangan swasta atau pemerintah. Namun tidak menutup bagi siapapun yang berminat. Mengingat sasaran pengajian ini adalah para eksekutif, yang tentunya tidak mempunyai cukup waktu untuk menerima berbagai informasi tentang berbagai disiplin ilmu ke-Islaman maka Muhammad Quraish Shihab menulis Al-Qur'an sebagai
37 kajian. Alasannya, karena Al-Qur'an adalah sumber utama ajaran Islam dan sekaligus rujukan untuk menetapkan sekian rincian ajaran.7 (2). “Hidangan Ilahi Ayat-Ayat Tahlil.” Buku ini merupakan kesimpulan ceramah-ceramah yang disajikan Muhammad Quraish Shihab pada acara tahlilan yang dilakukan di kediaman Presiden Soeharto mendo’akan kematian Ibu Fatimah Siti Hartinah Soeharto (1996). Di bagian awal terdapat dua tulisan yang berasal dari ceramah peringatan 40 hari wafatnya Ibu Tien Soeharto dan ceramah peringatan 100 hari wafatnya Ibu Tien Soeharto. (3). “Tafsir
Al-Qur'anul
Karim,
Tafsir
atas
Surat-Surat
Pendek
Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu.” Buku ini terbit setelah buku Wawasan Al-Qur'an, namun setidaknya sebagian isinya telah ditulis oleh Muhammad Quraish Shihab jauh sebelum Wawasan Al-Qur'an. Bahkan telah dimuat di Majalah Al Manar dalam rubrik-rubrik “Tafsir Al Amanah”. Uraian buku ini menggunakan mekanisme penyajian yang agak lain dibandingkan karya Muhammad Quraish Shihab sebelumnya yaitu disajikan berdasarkan urutan turunnya wahyu, dan lebih mengacu pada suratsurat pendek, bukan berdasarkan runtutan surat sebagaimana tercantum dalam mushaf.8 (4). “Membumikan Al-Qur'an.” Buku ini berasal dari 60 lebih makalah dan ceramah yang pernah disampaikan oleh Muhammad Quraish Shihab pada rentang waktu 1975-1992, tema dan gaya bahasa buku ini terpola menjadi 2 bagian. Bagian pertama secara efektif dan efisien Muhammad Quraish Shihab menjabarkan dan membahas sebagai “aturan main” berkaitan dengan cara-cara memahami Al-Qur'an, di bagian kedua secara jenial Muhammad Quraish Shihab mendemonstrasikan keahliannya dalam memahami sekaligus mencarikan jalan keluar bagi problem-problem 7 8
Lihat, Sekapur Sirih Wawasan Al-Qur'an, Mizan, Bandung, 1996. Islah Gusmian, op.cit., hlm. 82-83
38 intelektual dan sosial yang muncul dalam masyarakat dengan berpijak pada “aturan main” Al-Qur'an.9 (5). “Lentera Hati.” Buku ini merupakan sebuah antologis tentang makna dan ungkapan Islam sebagai sistem religius bagi individu mukmin dan bagi komunitas muslim Indonesia. Terungkap di dalamnya pendekatan sebagaimana diambil dalam kebanyakan literatur inspirasional mutakhir yang ditulis oleh para penulis Indonesia, yang banyak mengacu pada tulisan muslim Timur Tengah dalam bahasa Arab.10 (6). “Fatwa-Fatwa Muhammad Quraish Shihab Seputar Tafsir Al-Qur'an.” Buku ini membahas tentang ijtihad fardhi Muhammad Quraish Shihab dalam arti membahas penafsiran Al-Qur'an dari berbagai aspeknya. Mencakup seputar hukum agama seputar wawasan agama, seputar puasa dan zakat.11 (7). “Fatwa-Fatwa M.Quraish Shihab Seputar Ibadah Mahdhah.” Buku ini membahas seputar ijtihad fardhi M. Quraish Shihab di bidang terutama persoalan ibadah mahdhah, yaitu shalat, puasa, zakat dan haji. (8). “Fatwa-Fatwa M. Quraish Shihab Seputar Muamalah.” Buku ini juga membahas hal yang sama namun dalam bidang ilmu yang berbeda yaitu seputar muamalah dan cara-cara mentasyrufkan harta, serta teori pemilikan yang ada dalam Al-Qur'an. (9). “Tafsir Al Manar, Keistimewaan dan Kelemahannya” (Ujung Pandang : IAIN Alauddin, 1984). Buku ini merupakan karya yang mencoba mengkritisi pemikiran Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha, keduanya adalah pengarang Tafsir Al Manar. Pada mulanya tafsir ini merupakan jurnal
9
Lihat Membumikan Al-Qur'an, Mizan, Bandung, 1999. Howard M. Fedespiel, Kajian Al-Qur'an di Indonesia dari Muhammad Yunus hingga Muhammad Quraish Shihab,Mizan, Bandung, Cet.I, 1996, hlm. 296 11 M. Quraish Shihab, Fatwa-Fatwa M. Quraish Shihab Seputar Tafsir Al-Qur'an, Mizan, Bandung, 2001, hlm. vii 10
39 al Manar di Mesir. Jurnal ini mendapat implikasi dan pemikiranpemikiran Jamaluddin al-Afghani, kemudian karena di tengah-tengah menafsirkan ayat-ayat Al-Qur'an M. Rasyid Ridha. Dalam konteks ini Muhammad Quraish Shihab mencoba mengurai kelebihan-kelebihan al Manar yang sangat mengedepankan ciri-ciri rasionalitas dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur'an. Di samping itu Muhammad Quraish Shihab juga mengurai ciri-ciri kekurangannya terutama berkaitan dengan konsistensinya yang dilakukan oleh Abduh.12 (10).“Menyingkap Tafsir Ilahi Asma al Husna dalam Perspektif AlQur'an.” Dalam
buku
ini
Muhammad
Quraish
Shihab
mengajak
pembacanya untuk “menyingkap” tabir Ilahi melihat Allah dengan mata hati bukan Allah Yang Maha Pedih Siksanya dan Maha Besar Ancamannya. Tetapi Allah yang amarahnya dikalahkan oleh RahmatNya yang pintu Ampunan-Nya terbuka setiap saat.
Di sini,
Muhammad Quraish Shihab mengajak pembaca untuk kembali menyembah Tuhan dan tidak lagi menyembah agama, untuk kembali mempertahankan Allah dan tidak lagi mempertuhankan agama.13 (11).”Yang Tersembunyi” Buku ini berbicara tentang jin setan, iblis dan malaikat. Mahluk yang menarik perhatian manusia karena “ketersembunyiannya”. Dalam buku ini pembaca akan mendapat uraian tentang berbagai hal yang berkaitan dengan mahluk halus dari jenis dan kekuatan setan, hubungan manusia dan malaikat sampai dengan bacaan-bacaan yang dianjurkan untuk menguatkan hati.14
12
Lihat Muhammad Quraish Shihab dalam, Studi al Manar Keistimewaan dan Kelemahannya, Ujung Pandang, IAIN Alauddin, 1984. 13 Lihat M. Quraish Shihab dalam, Menyingkap Tabir-Tabir Ilahi, Lentera Hati, Jakarta, 1981. 14 Lihat M..Quraish Shihab dalam Yang Tersembunyi, Lentera Hati, Jakarta, 2000.
40 (12).Tafsir Al Amanah Tafsir ini merupakan kumpulan dari tulisan tafsir pada kolom “tafsir” yang diasuh oleh M. Quraish Shihab pada majalah Amanah. Tafsir ini hanya menafsirkan dua surat pendek yaitu surat al-‘Alaq dan surat alMudatsir.15 Di samping karya-karya Muhammad Quraish Shihab yang penulis sebutkan di atas, masih ada karya lain yang berupa buku maupun masih berupa kumpulan makalah dan berbagai karya ilmiah lainnya. Salah satu contoh yang penulis kemukakan adalah Tafsir Al-Misbah yang akan penulis bahas dalam penulisan skripsi ini. B. Metode dan Corak Tafsir Al Misbah 1. Metode Tafsir Al Misbah Dalam
Tafsir
Al
Misbah
ini,
Muhammad
Quraish
Shihab
menggunakan metode tahlili (urai).16 Sebuah bentuk karya tafsir yang berusaha untuk mengungkap kandungan Al-Qur'an dari berbagai aspeknya. Dari segi teknis tafsir dalam bentuk ini disusun berdasarkan urutan ayat-ayat di dalam Al-Qur'an. Selanjutnya memberikan penjelasanpenjelasan tentang kosakata makna global ayat, korelasi Asbab al Nuzul dan hal-hal lain yang dianggap dapat membantu untuk memahami ayatayat Al-Qur'an. Menurut pengamatan penulis, penggunaan metode ini banyak dipertanyakan oleh pembaca, karena selama ini Muhammad Quraish Shihab dikenal sebagai tokoh yang memperkenalkan tafsir maudhu’i dan mempopulerkannya di tanah air. Sebab menurutnya ada beberapa keistimewaan pada metode maudhu’i dibanding metode lain (Ijmali, Tahlili, Muqarin). Kedua, menafsirkan ayat dengan ayat atau dengan hadits nabi, satu cara terbaik dalam menafsirkan Al-Qur'an. Ketiga, 15
Lihat M.Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Amanah, Pustaka Kartini, Jakarta,1992. Abdul Hayy al-Farmawy, Metode Tafsir dan Cara Penerapannya, Pustaka Setia, Bandung, 2002, hlm.12 16
41 kesimpulan yang dihasilkan mudah dipahami. Hal yang disebabkan karena ia membawa pembaca kepada petunjuk Al-Qur'an tanpa mengemukakan berbagai pembahasan terperinci dalam satu disiplin ilmu. Dengan metode ini juga dapat dibuktikan bahwa persoalan yang disentuh Al-Qur'an bukan bersifat teoritis semata-mata dan tidak dapat membawa kita kepada pendapat Al-Qur'an tentang berbagai problem hidup disertai dengan jawaban-jawabannya. Ia dapat memperjelas kembali fungsi Al-Qur'an sebagai kitab suci dan dapat membuktikan keistimewaan Al-Qur'an. Keempat, metode ini memungkinkan seseorang untuk menolak anggapan adanya ayat-ayat yang bertentangan di dalam Al-Qur'an sekaligus dapat dijadikan bukti bahwa ayat-ayat Al-Qur'an sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan masyarakat.17 Pemilihan metode tahlily yang digunakan dalam tafsir al-Misbah ini menurut penulis didasarkan pada kesadaran M. Quraish Shihab bahwa metode maudhu’i yang sering ia gunakan pada karyanya yang berjudul “Membumikan Al Qur'an” dan “Wawasan Al Qur'an” selain mempunyai keunggulan dalam memperkenalkan konsep Al Qur'an tentang tema-tema tertentu secara utuh. Ia juga tidak luput dari kekurangan. Sebab menurutnya Al Qur'an memuat tema yang tidak terbatas, seperti yang dinyatakan Darraz bahwa Al Qur'an itu bagaikan permata yang setiap sudutnya memantulkan cahaya. Jadi dengan ditetapkan judul pembahasan berarti yang akan dikaji hanya satu sudut dari permasalahan tersebut. Dengan demikian kendala untuk memahami Al Qur'an secara lebih komprehensip masih tetap ada.18 Memang, sebelum menulis Tafsir al-Misbah, M. Quraish Shihab sudah menghasilkan karya dengan metode tahlily (uraian) yakni ketika ia menulis Tafsir al-Amanah19 dan Tafsir Al Qur'an Al-Karim.20 Namun
17 18
I, hlm. XI
19
Ibid., hlm. 117 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al Qur'an, Vol.
Tafsir ini merupakan kumpulan dari tulisan tafsir pada kolom “tafsir” yang diasuh oleh M. Quraish Shihab pada majalah Amanah. Namun, M. Quraish Shihab hanya menafsirkan
42 baginya bahasan
tafsir tersebut yang
mengakomodasikan
kajian
kebahasaan (kosa kata) yang relatif lebih luas dan kaidah-kaidah tafsir menjadikan karya tersebut lebih layak untuk dikonsumsi bagi orang-orang yang berkecimpung pada studi Al Qur'an. Sementara kalangan orang awam karya tersebut kurang diminati dan terkesan bertele-tele. Mengenai hal ini ia berkomentar. Rupanya, ketika itu (maksudnya menulis tafsir surah-surah pendek berdasarkan urutan turunnya) penulis terpengaruh oleh pengalaman selama mengajar tafsir di Perguruan Tinggi. Dalam satu semester hanya beberapa belas ayat yang dapat diselesaikan pembahasannya, karena terjadi banyak pengulangan, dan di sana tidak terhidangkan makna kosa kata sebagaimana yang digunakan Al Qur'an atau kaidah-kaidah tafsir yang dapat ditarik dari kitab suci itu. Hal ini menjadikan mahasiswa tidak dapat memahami pesan-pesan Al Qur'an dalam waktu yang relatif singkat. Tetapi apa yang penulis hidangkan di sana kurang menarik minat banyak orang, bahkan sementara mereka menilainya bertele-tele dalam uraian tentang pengertian kosa kata atau kaidah-kaidah yang disajikan. Memang boleh jadi cara semacam itu lebih sesuai untuk dihidangkan kepada para mahasiswa yang mempelajari mata kuliah tafsir.21 Sebagai mufassir terkemuka di Indonesia dewasa ini, M. Quraish Shihab tidak menulis karya-karyanya berdasarkan selera dan keinginannya semata melainkan ia selalu berangkat dari kebutuhan masyarakat pembacanya. Ibarat sebuah perusahaan, ia senantiasa memproduksi barang-barang komoditasnya berdasarkan atas dan sesuai dengan analisis dan kebutuhan pasar. Ketika akan menulis tafsir al-Misbah ini dalam “analisis pasar” yang dilakukannya ia melihat begitu dangkalnya pemahaman masyarakat terhadap kandungan Al Qur'an. Menurutnya, hal
dua surat saja yaitu surat Al-‘Alaq dan surat Al-Mudatsir. Tafsir ini diterbitkan oleh Pustaka Kartini pada tahun 1992. 20 Tafsir ini berisi 24 surat-surat pendek yang disusun berdasarkan urutan turunnya (Tartibu an-Nuzul). Diterbitkan oleh Pustaka Hidayah pada tahun 1997. 21 M. Quraish Shihab, op.cit., hlm. viii
43 ini ditandai dengan banyaknya kaum muslimin yang hanya membaca surat-surat tertentu seperti surat Yasin, Al-Waqi’ah, ar-Rahman dan lainlain tanpa mengetahui kandungannya. Bahkan banyak di antara mereka yang membaca surat-surat tersebut bukan karena terdorong oleh keinginan untuk mengetahui pesan-pesannya akan tetapi seperti membaca surat alWaqi’ah untuk mempermudah datangnya rezeki dengan dasar haditshadits lemah. Ia menyadari bahwa memang terdapat banyak hadits yang membicarakan tentang keutamaan surat-surat tertentu seperti itu, namun pada umumnya hadits-hadits tersebut lemah. Oleh sebab itu baginya fenomena yang ada di “pasar” ini harus diluruskan. Di samping itu, sebagaimana pengamatan M. Quraish Shihab, pemahaman yang keliru tentang Al Qur'an tidak hanya terjadi di kalangan orang awam. Akan tetapi juga masih terjadi di kalangan kaum terpelajar bahkan orang-orang yang berkecimpung dalam studi Islam sekalipun. Kekeliruan yang terjadi pada kelompok kedua ini biasanya karena melihat Al Qur'an berdasarkan metode ilmiah pada umumnya. Maka dari itu anggapan yang sering muncul bahwa Al Qur'an tidak sistematis di dalam menyajikan informasi-informasinya. Kiranya kedua bentuk kekeliruan inilah yang mendorong M. Quraish Shihab untuk menulis tafsir al-Misbah. Karena itu di dalam karyanya ini, hal yang lebih diutamakan adalah penjelasan tentang tema pokok surat dan keserasian antara ayat-ayat dengan ayat yang lain dan atau antara surat dengan surat. Dalam konteks memperkenalkan Al Qur'an, tafsir al-Misbah berusaha menghidangkan suatu bahasan setiap surat yang dinamai dengan tujuan surat atau tema pokok surat. 2. Corak Tafsir Al Misbah Tafsir
Al
Misbah
cenderung
bercorak
sastra
budaya
dan
kemasyarakatan (adabul ijtima’i). Corak tafsir yang berusaha memahami nash-nash Al-Qur'an dengan cara pertama dan utama mengemukakan ungkapan-ungkapan Al-Qur'an secara teliti. Kemudian menjelaskan
44 makna-makna yang dimaksud Al-Qur'an tersebut dengan bahasa yang indah
dan
menarik.
Selanjutnya
seorang
mufassir
berusaha
menghubungkan nash-nash Al-Qur'an yang dikaji dengan kenyataan sosial dengan sistem budaya yang ada.22 Corak tafsir ini (Al Misbah) merupakan corak baru yang menarik pembaca dan menumbuhkan kecintaan kepada Al-Qur'an serta memotivasi untuk menggali makna-makna dan rahasia-rahasia Al-Qur'an.23 Setidaknya ada tiga karakter yang harus dimiliki oleh sebuah karya tafsir bercorak sastra budaya dan kemasyarkatan. Pertama, menjelaskan petunjuk ayat Al Qur'an yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat dan menjelaskan bahwa Al Qur'an itu kitab suci yang kekal sepanjang zaman. Kedua, penjelasan-penjelasnnya lebih tertuju pada penanggulangan penyakit dan masalah-masalah yang sedang mengemuka dalam masyarakat, dan ketiga, disajikan dalam bahasa yang mudah dipahami dan indanh didengar. Tafsir al-Misbah karya M. Quraish Shihab memenuhi ketiga persyaratan tersebut. Kaitannya dengan karakter yang pertama, tafsir ini selalu menghadirkan penjelasan akan petunjuk dengan menghubungkan kehidupan masyarakat dan menjelaksan bahwa Al Qur'an itu kitab suci yang kekal sepanjang zaman, dalam menafsirkan Al Mu’minun 5-7 misalnya ia memaparkan penafsiran sebagai berikut: Surat al-Mu’minun termasuk golongan surat-surat Makiyyah, terdiri dari 118 ayat. Dinamakan surat “al-mu’minun” karena permulaan surat ini menerangkan bagaimana seharusnya sifat-sifat orang mu’min yang menyebabkan keberuntungan mereka di akhirat dan ketentraman jiwa mereka di dunia. Surat al-mu’minun adalah salah satu surat yang disepakati oleh ulama turun sebelum Nabi Muhammad SAW. berhijrah ke Madinah, atau yang diistilahkan dengan surat Makiyyah. Memang ada juga segelintir kecil ulama yang menduga sebagian ayatnya turun di Madinah. Misalnya ada yang menduga bahwa ayat 75, 76 dan 77 surat ini adalah Madaniyyah. Tetapi pendapat tersebut dinilai serupa dengan kelemahan pendapat yang 22
Abdul Hayy al Farmawi, op.cit., hlm. 28 Said Agil Husein al-Munawar, Al-Qur'an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, Ciputat Press, Jakarta, 2002, hlm. 71 23
45 menduga ayat 4 surat ini berbicara tentang kewajiban zakat yang baru disyari’atkan di Madinah. Nama al-mu’minun atau al-mu’minin dikenal sejak Nabi SAW. Imam an-Nasa’i meriwayatkan bahwa sahabat Nabi SAW., yakni Abdullah Ibn Sa’ib mengatakan: “Pada hari pembukaan kota Mekah, aku shalat bersama Rasulullah SAW. Beliau shalat dengan menghadap ke Ka’bah, setelah membuka alas kaki beliau meletakannya di sebelah kiri beliau. Sewaktu itu, beliau membaca surat al-Mu’minun, dan ketika tiba pada ayat yang berbicara tentang Musa atau Isa, beliau terbatuk-batuk, dan beliau pun ruku’. Ada juga yang menamai surat ini dengan surat Qad Aflaha. Kedua nama itu terambil dari kata-kata yang terdapat pada awal ayat surat ini. Surat ini merupakan surat yang ke-76 jika ditinjau dari perurutan turunnya surat. Ia turun sebelum surat al-Mulk dan sesudah surat ath-Thur. Jumlah ayat-ayatnya sebanyak 117 ayat. Ada juga yang menghitungnya sebanyak 118 dan 119 ayat. Mereka yang berpendapat 118, menghitung firman-Nya ( ) ﺍﻭﻟﺌﻚ ﻫﻢ ﺍﻟﻮﺍﺭﺛﻮﻥula’ika hum al-waritsun (ayat 10) satu ayat,
ﻭ ﺩ ﺮ ﻳ ِﺮﺛﹸﻮ ﹶﻥ ﺍﹾﻟ ِﻔ ﻦ ) ﺍﱠﻟﺬِﻳalladzina yaritsuna al-firdaus hum dan ( ﻭ ﹶﻥﺎِﻟﺪﺎ ﺧﻢ ﻓِﻴﻬ ﻫ ﺱ fiha khalidun (ayat 11) satu ayat lagi. Berbeda dengan ulama yang menggabung kedua kalimat itu dan menjadikan kedua kalimat itu dan menjadikan satu ayat saja. Tujuan dan tema utama surat ini adalah uraian tentang kebahagiaan dan kemenangan yang akan diraih secara khusus untuk orang-orang mukmin, sebagaimana jelas dipahami dari namanya. Demikian al-Biqa’i, Thaba’thaba’i berpendapat serupa, walaupun ulama ini menambahkan bahwa surat ini merupakan ajakan beriman kepada Allah dan hari kemudian serta menjelaskan sifat-sifat orang mukmin dan orang-orang kafir. Penjelasan Sayyid Quthub lebih jelas. Menurutnya, “nama surat ini menunjuk dan menetapkan tujuannya. Ia dimulai dengan uraian tentang sifat orang-orang mukmin, lalu dilanjutkan dengan bukti keimanan dalam diri manusia dan alam raya, kemudian uraian tentang hakikat iman sebagaimana dipaparkan oleh para Rasul Allah sejak Nabi Nuh as. Sampai dengan Nabi dan Rasul terkahir Muhammad SAW. Kemudian dipaparkan dalih para pengingkar dan keberatan-keberatan mereka serta pembangkangan mereka, sampai dengan kebinasaan para pengingkar dan kemenangan orang-orang mukmin”. Dengan demikian tulis Sayyid Quthub “Surat ini adalah surat al-Mu’minun atau surat Ali Imran dalam seluruh aspek, dalil-dalil dan sifat-sifatnya, dan itulah tema utamanya”.
ﺖ ﻣﹶﻠ ﹶﻜ ﺎﻭ ﻣ ﻢ ﹶﺃ ﺍ ِﺟ ِﻬﺯﻭ ﻋﻠﹶﻰ ﹶﺃ ( ِﺇﻟﱠﺎ۵) ﺎِﻓﻈﹸﻮ ﹶﻥﻢ ﺣ ﻭ ِﺟ ِﻬﻢ ِﻟ ﹸﻔﺮ ﻫ ﻦ ﺍﱠﻟﺬِﻳﻭ ﻣﻠﹸﻮ ِﻣ ﻴﺮﻢ ﹶﻏ ﻧﻬﻢ ﹶﻓِﺈ ﻬ ﻧﺎﻳﻤﹶﺃ (٦ـ۵ : ( )ﺍﳌﺆﻣﻨﻮﻥ٦) ﲔ Artinya:
“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.
46 Barang siapa mencari di balik itu, maka mereka itulah pelampau-pelampau batas.” Penafsirannya: Ayat yang lalu menyebutkan tentang penunaian zakat atau pengeluaran harta benda yang fungsinya antara lain adalah penyucian harta itu dari kekotoran. Kini ayat-ayat di atas menyebutkan penyucian diri manusia dan yang pertama serta terutama adalah alat kelamin, karena perzinahan adalah puncak kebejatan moral serta perusakan generasi dan masyarakat. Ayat di atas melanjutkan penjelasannya tentang orang mukmin yang akan memperoleh kebahagiaan, yaitu bahwa: Dan di samping mereka yang telah disebut pada ayat-ayat yang lalu, termasuk juga yang akan memperoleh kebahagiaan adalah mereka yang selalu menyangkut kemaluan mereka adalah pemeliharaan-pemeliharaan, yakni tidak menyalurkan kebutuhan biologisnya melalui hal dan cara-cara yang tidak dibenarkan atau direstui agama, kecuali terbatas dalam melakukannya terhadap pasangan-pasangan mereka atau budak wanita mereka yakni para pria miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal menyalurkan kebutuhan bilogis melalui pasangan dan budak mereka tidaklah dicela selama ketentuan yang ditetapkan agama tidak mereka langgar. Misalnya, tidak bercampur saat istri haid, atau melakukan hubungan pada tempat yang dilarang agama. Barang siapa mencari pelampiasan hawa nafsu di balik itu yakni selain yang disebut itu, maka mereka itulah pelampaupelampau batas ajaran agama dan moral, sehingga wajar dicela dan atau disiksa. Kata (ﺎِﻓﻈﹸﻮ ﹶﻥ )ﺣhafizhun terambil dari kata ( )ﺣﻔﻆhifzh yang antara lain berarti memelihara atau menahan. Yang dimaksud adalah memelihara kemaluan sehingga tidak digunakan pada tempat dan waktu yang tidak dibenarkan agama, serta menahannya sehingga selalu terawasi dan tidak tergelincir dalam keburukan. Bahkan boleh jadi pemeliharaan ini meluas maknanya sehingga mencakup tuntunan Nabi SAW. agar memilih calon pasangan yang tepat dan baik, tidak hanya berdasar kecantikan dan ketampanannya saja. “Pilih-pilihlah tempat kamu melakukan nuthfah kamu, karena gen itu berpengaruh”. Demikian lebih kurang nasihat yang ditemukan dalam literature agama dan yang dinilai sementara ulama sebagai pesan Nabi Muhammad SAW. Patron kata yang digunakan ayat ini mengesankan perhatian yang besar dan sungguh-sungguh. Kata ( )ﻓﺮﻭﺝfuruj adalah jamak dari kata ( )ﻓﺮﺝfarj yang pada mulanya dimaksudkan dalam arti segala yang buruk diucapkan pada pria atau wanita. Dari sini kata tersebut diterjemahkan dengan alat kelamin. Ayat-ayat di atas mengisyaratkan dampak negatif dari penyaluran dorongan seksual secara tidak sah. Dari segi social, zina dapat berakibat tidak diketahuinya asal keturunan anak secara pasti. Sedangkan dari segi kesehatan fisik, efek negatif zina antara lain dapat mengakibatkan
47 penyakit gonore, spilis (raja singa) dan luka. Dalam keadaan gawat, gonore dapat mengakibatkan kebutaan. Sedangkan spilis dapat menyerang seluruh tubuh, sel-sel dan urat saraf, dan ini pada gilirannya dapat mengakibatkan kegilaan. Di samping itu, bayi yang lahir dari penderita spilis akan mudah mati atau cacat. Sedang dari kesehatan mental, zina demikian juga onani dan homoseks, dapat menimbulkan perasaan bersalah dan berdosa yang pada akhirnya dapat berakibat lemahnya syaraf. Penyebab utama penyakit AIDS yang kini tersebar, adalah hubungan seksual yang diharamkan agama, baik dengan berganti-ganti pasangan, maupun dengan menyalurkan bukan di tempat yang semestinya ia disalurkan tetapi di tempat pengeluaran kotoran manusia, atau binatang. Firman-Nya (ﻢ ﻬ ﻧﺎﻳﻤﺖ ﹶﺃ ﻣﹶﻠ ﹶﻜ ﺎ )ﻣma malakat aimanuhum yang diterjemahkan dengan budak wanita yang mereka miliki, menunjuk kepada suatu kelompok masyarakat yang ketika turunnya ayat Al Qur'an merupakan salah satu fenomena umum masyarakat manusia di seluruh dunia. Dapat dipastikan, Allah dan Rasul-Nya tidak merestui perbudakan, walau dalam saat yang sama harus pula diakui bahwa Al Qur'an dan as-Sunnah tidak mengambil langkah drastic untuk menghapuskannya sekaligus. Al Qur'an dan as-Sunnah menutup semua pintu untuk lahir dan berkembangnya perbudakan, kecuali satu pintu yaitu tawanan yang diakibatkan oleh peperangan dalam rangka mempertahankan diri dan akidah. Itu pun disebabkan karena ketika itu demikianlah perlakuan umat manusia di seluruh dunia terhadap tawanan perangnya. Namun kendati tawanan perang diperkenankan untuk diperbudak, tetapi perlakuan terhadap mereka sangat manusiawi. Bahkan Al Qur'an memberi peluang kepada penguasa muslim untuk membebaskan mereka dengan tebusan atau tanpa tebusan, berbeda dengan sikap umat manusia ketika itu. Islam menempuh cara bertahap dalam pembebasan perbudakan, antara lain disebabkan oleh situasi dan kondisi para budak yang ditemuinya. Para budak ketika itu hidup bersama tuan-tuan mereka, sehingga kebutuhan sandang, pangan dan papan mereka terpenuhi. Anda dapat membayangkan bagaimana jadinya jika perbudakan dihapuskan sekaligus. Pasti akan terjadi problema social, yang jauh lebih parah dari PHK (Pemutusan Hubungan Kerja). Ketika itu, -para budak bila dibebaskan- bukan saja pangan yang harus mereka siapkan sendiri, tetapi juga papan. Atas dasar itu kiranya dapat dimengerti jika Al Qur'an dan as-Sunnah menempuh jalan bertahap dalam menghapus perbudakan. Salah satu tuntunan itu adalah izin mengawini budak wanita. Ini bukan saja karena mereka juga adalah manusia yang mempunyai kebutuhan biologis, tetapi juga merupakan salah satu menghapus perbudakan. Seorang budak perempuan yang dikawini oleh budak laki-laki, maka ia akan tetap menjadi budak dan anaknya pun demikian tetapi bila ia dikawini oleh pria merdeka, dan memperoleh anak, maka anaknya lahir bukan lagi sebagai budak, dan ibu sang anak pun demikian. Dengan demikian, perkawinan seseorang merdeka dengan budak wanita, merupakan salah satu cara menghapuskan perbudakan.
48 Budak-budak wanita yang tersebut di atas, kini tidak ada lagi. Pembantupembantu rumah tangga atau tenaga kerja wanita yang bekerja atau diperkerjakan di dalam atau luar negeri, sama sekali tidak dapat dipersamakan dengan budak-budak pada masa itu. Ini karena Islam hanya merestui adanya perbudakan melalui perang, itu pun jika peperangan itu perang agama dan musuh menjadikan tawanan kaum muslimin sebagai budak-budak, sedang para pekerja wanita itu adalah manusia-manusia merdeka kendati mereka miskin dan butuh pekerjaan. Di sisi lain, walau perbudakan secara resmi tidak dikenal lagi oleh umat manusia dewasa ini, namun itu bukan berarti bahwa ayat di atas dan semacamnya dapat dinilai tidak relevan lagi. Ini karena Al Qur'an tidak hanya diturunkan untuk putra-putri abad lalu, tetapi ia diturunkan untuk umat manusia sejak abad ke VI hingga akhir zaman. Semua diberi petunjuk dan semua dapat menimba petunjuk sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan zamannya. Masyarakat abad ke VI menemukan budak-budak wanita, dan bagi merekalah tuntunan itu diberikan. Al Qur'an akan terasa kurang oleh mereka, jika petunjuk ayat ini tidak mereka temukan. Di lain segi kita tidak tahu perkembangan masyarakat pada abad-abad yang akan datang. Boleh jadi mereka mengalami perkembangan yang belum dapat kita duga dewasa ini. Ayat-ayat ini atau jiwa petunjuknya dapat mereka jadikan rujukan dalam kehidupan mereka. Firman-Nya: (ﻢ ﻬ ﻧﺎﻳﻤ ﺖ ﹶﺃ ﻣﹶﻠ ﹶﻜ ﺎﻭ ﻣ ﻢ ﹶﺃ ﺍ ِﺟ ِﻬﺯﻭ ﻋﻠﹶﻰ ﹶﺃ )ِﺇﻟﱠﺎilla ‘ala azwajihim auw ma malakat aimanuhum / kecuali terhadap pasangan-pasangan mereka atau budak wanita yang mereka miliki, dijadikan oleh sementara ulama sebagai salah satu alasan menetapkan haramnya onani, karena penyaluran kebutuhan seks hanya dibenarkan dengan pasangan hidup dan atau bagi pria dengan budak-budak wanita, ketika yang terakhir masih ada. Demikian pendapat banyak ulama. Tetapi Imam Ahmad bin Hambal membolehkan onani dengan alasan ia adalah bagian dari apa yang dikandung oleh badan manusia, dan yang dapat keluar atau dikeluarkan, tidak ubahnya dengan darah bagi yang berbekam. Hanya saja imam kenamaan itu, menetapkan tiga syarat bagi bolehnya onani; pertama, yang bersangkutan dengan khawatir terjerumus dalam zina; kedua, tidak memiliki kemampuan keuangan untuk kawin/memiliki budak wanita; dan ketiga, onani dilakukannya sendiri atau oleh pasangannya, tidak dengan melalui orang lain. Kata (ﲔ ﻣﻠﹸﻮ ِﻣ ) malumin terambil dari kata ( )ﻟﻮﻡlum yaitu kecaman atau celaan terhadap perbuatan dan atau ucapan pihak lain yang dinilai oleh pengecam sebagai tidak wajar. Pernyataan ayat di tas “Maka sesungguhnya mereka tidaklah dicela”, - setelah memperingatkan agar memelihara alat kelamin kecuali terhadap yang dibenarkanmengisyaratkan bahwa Allah merestui hubungan seks atau penyaluran kebutuhan biologis yang dilakukan secara sah. Ini berarti bahwa Islam tidak mengandung seks sebagai sesuatu yang buruk atau kotor. Betapa ia dipandang demikian, padahal ia adalah salah satu fitrah manusia yang
49 suci. Bahkan apa yang keluar akibat penyaluran bilogis itu (mani/sperma) dinilai oleh ulama-ulama sebagai sesuatu yang suci. Lebih dari iru, Rasulullah SAW. menegaskan bahwa “fi budh’i ahadikum shadaqah” maksudnya Allah menganugerahkan kepada suami istri yang melakukan hubungan intim. Yang mendengar pertanyaan ini terheran-heran, maka Rasulullah SAW. menambahkan bahwa, “Bukanlah jika ia meletakkan pada yang haram dia berdosa?” (HR. Muslim melalui Abu Dzaar). Karena itu pula, puasa sunnah seorang istri haruslah seiring suaminya, bahkan ia harus membatalkannya jika suaminya mendesak untuk melakukan hubungan itu, khawatir jangan sampai suami terjerumus dalam haram jika istri menolak.24 Dalam penafsirannya di atas, jelas sekali bahwa M. Quraish Shihab tidak menginginkan adanya anggapan bahwa kitab suci Al Qur'an diturunkan dan dijadikan petunjuk pada zaman tertentu saja. Di sini beliau memberi contoh tentang perbedaan budak-budak wanita dengan pembantu-pembantu rumah tangga atau tenaga kerja wanita yang bekerja atau dipekerjakan di dalam atau di luar negeri. Quraish Shihab menjelaskan bahwa meskipun pada zaman sekarang sudah tidak ada istilah perbudakan, namun bukan berarti ayat ini sudah tidak dapat dipergunakan lagi atau tidak relevan lagi. Kemudian karakter kedua, Qiraish Shihab selalu mengakomodasi halhal yang dianggap sebagai problem di dalam masyarakat. Seperti penafsiran Quraish Shihab dalam surat Mu’minun ayat 5-7 berbunyi: bahwa ayat-ayat di atas mengisyaratkan dampak negative dari penyaluran dorongan seksual secara tidak sah. Dari segi sosial, zina dapat berakibat tidak diketahuinya asal keturunan anak secara pasti. Sedangkan dari kesehatan fisik, efek negatif zina antara lain dapat mennyebabkan penyakit gonore, spilis (raja singa) dan luka. Dalam kedaan gawat, gonore dapat mengakibatkan kebutaan, sedangkan spilis dapat menyerang seluruh tubuh, sel-sel dan urat syaraf, dan ini pada gilirannya dapat mengakibatkan kegilaan. Di samping itu, bayi yang lahir dari penderiata spilis akan mudah mati atau cacat. Sedangkan dari segi kesehatan mental, zina demikian juga onani dan homoseks, dapat menimbulkan perasaam 24
M. Qurais Shihab, Tafsir Al-Misbah, Vol. 9, hlm. 155-159
50 bersalah dan berdosa, yang pada akhinya dapat berakibat lemahnya syaraf. Penyebab utama penyakit AIDS yang kini tersebar, adalah hubungan seksual yang diharamkan agama baik dengan berganti-ganti pasangan maupun dengan menyalurkan bukan di tempat yang semestinya, ia disalurkan tetapi di tempat pengeluaran kotoran manusia, atau binatang.25 Maraknya kasus penyimpangan seksual yang sering terjadi di Indonesia ini merupakan pengaruh globalisasi serta kebebasan infomasi yang sarat dengan budaya dan tradisi negatif yang sulit dihindari, selain itu juga hal ini disebabkan karena kurangnya pemahaman masyarakat tentang dampak negatif yang ditimbulkannya. M. Quraish Shihab dalam menafsirkan ayat ini, beliau ingin mengemukakan bahwa Al Qur'an juga mengisyaratkan dampak negatif dari perilaku seksual di luar nikah yang sangat berpengaruh baik dari segi social, medis dan psikologis. Sehingga ayat ini dapat dijadikan sebagai upaya memecahkan problem yang sering terjadi di Indonesia. Kemudian
dalam
penyajiannya,
tidak
dapat
diragukan,
ia
menggunakan bahasa yang membumi. M. Quraish Shihab menggunakan bahasa yang mudah dimengerti oleh kalangan umum. Sehingga jika dibandingkan dengan tulisan-tulisan cendekiawan muslim Indonesia lainnya, karya-karya M. Quraish Shihab pada umumnya dan Tafsir alMisbah pada khususnya, tampil sebagai karya tulis yang khas. Memang, setiap penulis memiliki gayanya masing-masing. Dalam memilih gaya bahasa yang digunakan, M. Quraish Shihab lebih mengedepankan kemudahan konsumen/pembaca yang tingkat intelektualitasnya relatif lebih beragam. Hal ini dapat dilihat dalam setiap bahasa yang sering digunakan M. Quraish Shihab dalam menulis karya-karyanya yang mudah dicerna dan dimengerti oleh semua lapisan. Dalam hal ini juga diperkuat oleh komentar penerbit Mizan yang menyebutkan bahwa buku-buku M. Quraish Shiahb tergolong sangat laris. Selain itu juga dapat diketahui 25
Ibid., Vol. 9, hlm. 156
51 setelah penulis melakukan pengamatan terhadap ceramah M. Quraish Shihab yang ditayangkan beberapa media televisi. M. Quraish Shihab juga terkadang menggunakan bahasa yang terkesan puitis dan mempunyai nilai sastra sehingga indah didengar sebagaimana beberap contoh berikut ini: “Bahasanya demikian mempesona, redaksinya demikian teliti, dan mutiara pesannya demikian agung, telah mengantar kalbu masyarakat berdecak kagum, walaupun nalar sebagian mereka menolaknya”.26 Kemudian di dalam pengantar ia berkata: Bagi yang tekun mempelajarinya akan menemukan keserasian yang amat mengagumkan, serupa dengan keserasian hubungan yang memadukan bisikan-bisikan manusia yang saling berbeda, sehingga pada akhirnya dimensi dan aspek yang terkesan kacau menjadi terangkai dan terpadu indah, bagai kalung mutiara yang tidak diketahui ujung dan di mana pangkalnya. Atau seperti vas bunga yang dihiasi oleh aneka kembang berbeda-beda dan berwarna-warni tetapi pada akhirnya menghasilkan pemandangan yang sangat indah.27 Ketika ia menjelaskan surat an-Nisa’ : 1, ia merilis sebuah syair sebagai berikut: Diriku adalah dirimu, dan jiwaku adalah jiwamu. Jika engkau bercakap, kata hatiku yang engkau ucapkan, Dan jika engkau berkeinginan keinginanku yang engkau cetuskan.28 C. Penafsiran Muhammad Quraish Shihab tentang Makna dan Upaya Meraih Hidayah dalam Tafsir Al Misbah 1. Penafsiran Kata Hidayah secara Etimologis Seperti telah dijelaskan, kata hidayah disebutkan di dalam Al-Qur'an sebanyak 293 kali yang terdiri dari tsulatsi mujarrad 232 kali dengan ragam bentuk dan tsulatsi mazij 61 kali dengan ragam bentuknya. Ragam bentuk tsulatsi mujarradnya adalah fi’il madhi (ﻱﻫﺪ ), fi’il mudhari’ (ﻬﺪِﻱ) ﻳ, fi’il
26
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, op.cit., Vol. I, hlm. v Ibid., hlm. xx 28 Ibid., Vol. II, hlm. 316 27
52 amar (
)ﺍِﻫ ِﺪ,
masdar ()ﻫﺪﻱ, isim fa’il (ﺎﺩ)ﻫ. Sedang ragam bentuk tsulatsi
mazidnya adalah fi’il madhi ()ﺍﻫﺘﺪﻱ, fi’il mudhari’ (ﺘﺪِﻱﻬ) ﻳ, isim fa’il (ﺘﺪِﻱ) ﻣﻬ, isim maf’ul (ﻱﺘﺪ) ﻣﻬ. Agar konsep Muhammad Quraish Shihab tentang hidayah dapat ditangkap secara lengkap, maka pengumpulan data ini didasarkan pada semua ragam bentuk hidayah itu, yang masing-masing akan diambil minimal satu. Di samping itu, dilihat dari konteksnya dalam kalimat, subyek yang menyertai (yang dalam hal berarti memberikan hidayah) bisa dikelompokkan menjadi dua, yaitu subyek Allah (Allah memberi hidayah) dan subyek manusia (seorang memberi hidayah), yang masing-masing tentu memiliki pengertian yang berbeda. a. Kata Hidayah dalam Bentuk Tsulatsi Mujarrad 1. Bentuk Fi’il Madhi (ﻱﻫﺪ ) Kata hidayah di Al-Qur'an dalam bentuk fi’il madhi disebut sebanyak 39 kali, antara lain :
(١٤٣ : )ﺍﻟﺒﻘﺮﻩ...ﻪ ﻯ ﺍﻟﱠﻠﻫﺪ ﻦ ﻋﻠﹶﻰ ﺍﱠﻟﺬِﻳ ﲑ ﹰﺓ ِﺇﻟﱠﺎ ﺖ ﹶﻟ ﹶﻜِﺒ ﻧﻭِﺇ ﹾﻥ ﻛﹶﺎ ... Artinya : “...Dan sungguh itu terasa amat berat, kecuali bagi orangorang yang telah diberi petunjuk oleh Allah...” (Q.S. Al Baqarah, 2 : 143). Terhadap kata hidayah dalam ayat itu, Muhammad Quraish Shihab menafsirkan sebagai berikut : Sungguh pemindahan kiblat itu terasa amat berat, kecuali bagi orangorang yang telah diberi petunjuk oleh Allah ; pemindahan kiblat merupakan ujian, dan ujian itu berat bagi jiwa yang tidak siap, serupa dengan beratnya ujian bagi siswa yang tidak siap.29
29
M. Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah, Vol. I, op.cit., hlm. 326
53 Contoh lain disebutkan dalam firman Allah dalam surat Thaahaa ayat 50 sebagai berikut :
(٥٠ : ﻯ )ﻃﻪﻫﺪ ﹸﺛﻢﺧ ﹾﻠ ﹶﻘﻪ ﻲ ٍﺀ ﺷ ﻋﻄﹶﻰ ﹸﻛ ﱠﻞ ﺎ ﺍﱠﻟﺬِﻱ ﹶﺃﺑﻨﺭ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ Artinya : “Dia (Musa) berkata: Tuhan kami ialah (Tuhan) yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian memberinya petunjuk.” (Q.S. Thaahaa, 20 : 50). Terhadap kata hidayah dalam ayat itu, Muhammad Quraish Shihab menafsirkan sebagai berikut : Peringkat pemberian hidayah lebih tinggi kedudukannya daripada pemberian bentuk. Memang apalah arti bentuk yang indah jika ia tidak berfungsi dengan baik, maka walau bentuknya tidak istimewa, ia tetap berharga. Kegagahan dan kecantikan seseorang atau kelincahan dan kebugaran jasmaninya sama sekali tidak memiliki arti, jika ia tidak dapat memfungsikannya sebagaimana dikehendaki oleh sang Pencipta, lebih-lebih jika digunakan untuk hal-hal yang bertentangan dengan yang dikehendaki penciptanya. Terlihat bahwa pemaknaan hidayah dalam ayat itu oleh Muhammad Quraish Shihab dikaitkan dengan organ-organ lahir, seperti mata, telinga, hidung dan lain-lain yang merupakan pengertiannya terhadap kata (bentuk kejadiannya). Sehingga hidayah berarti memberikan kemampuan menggunakan dan memfungsikan (memanfaatkan) apa yang telah Dia berikan demi kelangsungan hidupnya. Dalam ayat ini yang dimuat komentar Sayyid Quthub. “Mengenai komentar tentang penggalan ayat di atas Sayyid Quthub menilai penjelasan Nabi Musa as. di hadapan Fir’aun itu sebagai kesimpulan yang sangat sempurna tentang dampak dan bukti-bukti ketuhanan Sang Pencipta dan Pengatur Wujud ini. “Dialah yang menganugerahi
wujud
bagi
semua
yang
wujud,
Dia
yang
menganugerahi ciptaan sesuai dengan bentuknya masing-masing. Dia
54 yang memberi masing-masing petunjuk untuk melaksanakan fungsi yang merupakan tujuan penciptanya. Bila seseorang mengarahkan pandangan mata dan hatinya dalam batas-batas kemampuannya ke arah wujud alam raya ini, maka akan terlihat jelas olehnya bukti-bukti kekuasaan sang Pencipta dan Pengatur segala wujud, dan ciptaan-Nya yang terkecil hingga yang terbesar. Alam raya yang demikian besar dan luas, yang terdiri dari atom dan sel-sel yang tidak terhitung, makhluk tak bernyawa atau bernyawa, semuanya dan setiap atom darinya berdenyut, dan setiap sel hidup, setiap yang hidup bergerak, dan setiap bagian darinya berinteraksi dengan wujud-wujud yang lain. Semua bergerak secara sendiri-sendiri dan bersama-sama dalam ruang lingkup hukum-hukum yang ditetapkan Allah dan yang telah terlengkapi dalam fitrah kejadian masing-masing. Semua bergerak tanpa bertentangan, tanpa kesalahan dan tidak sesaat pun mereka bosan atau jemu. Setiap wujud secara mandiri adalah alam tersendiri, yang bergerak dalam diri masing-masing sel-sel, anggota dan pelengkap dirinya sesuai dengan apa yang ditetapkan Allah dalam fitrahnya dan dalam batas hukum-hukum alam yang menyeluruh. Itu semua terjalin dan terlaksana dengan sangat sesuai dan teratur. Setiap wujud secara mandiri jangankan keseluruhan wujud yang sangat luas ini tidak mampu dijangkau oleh manusia. Ilmu dan upaya manusia tidak mampu mempelajari ciri keistimewaan secara fungsi-fungsi dirinya. Ia tidak mampu mengetahui segala penyakitnya apalagi mengobatinya. Itu baru mempelajarinya, bukan menciptakannya atau memberinya petunjuk guna mengemban fungsinya yang ini sama sekali di luar kemampuan manusia.” 2. Bentuk Fi’il Mudhari’ (ﻬﺪِﻱ) ﻳ Kata hidayah dalam bentuk mudhari’ disebut sebanyak 99 kali. Berbeda dengan kata hidayah dalam bentuk madhi yang seluruh subyeknya adalah Allah SWT dalam bentuk orang kesatu (Aku,
55 Kami), kedua (Engkau) ataupun ketiga (Dia), maka kata hidayah dalam bentuk mudhari’ ini, selain bersubyek Allah SWT juga bersubyek makhluk, seperti Al-Qur'an, para imam (para nabi) dan lainlain. Yang pertama misalnya firman Allah SWT :
(٩ : )ﺍﻹﺳﺮﺍﺀﻮﻡ ﻲ ﹶﺃ ﹾﻗ ﻬﺪِﻱ ِﻟﱠﻠﺘِﻲ ِﻫ ﻳ ﺁ ﹶﻥﻫﺬﹶﺍ ﺍﹾﻟ ﹸﻘﺮ ِﺇﻥﱠ Artinya : “Sesungguhnya Al Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus.” (Q.S. Al Israa’, 17 : 9). Terhadap kata hidayah dalam ayat ini, Muhammad Quraish Shihab memberikan penafsiran : Sesungguhnya Al-Qur'an ini memberi petunjuk untuk manusia ke jalan yang lebih lurus dan sempurna lagi menyelamatkan dan memberi juga kabar gembira kepada orang-orang mukmin yang beriman kepada Allah dan rasul-Nya lagi membuktikan keimanannya itu senantiasa mengerjakan amal-amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar sebagai imbalan iman dan apa yang diamalkannya itu.30 Di samping itu Muhammad Quraish Shihab juga memaparkan pendapat Thahir Ibn ‘Asyur dan Thabathaba’i. Thahir Ibn ‘Asyur berpendapat bahwa setelah ayat-ayat yang lalu berbicara tentang turunnya kitab suci kepada Nabi Musa as. untuk menjadi petunjuk bagi Bani Israil yang ternyata tidak mereka indahkan sehingga terjadi bencana atas mereka sebagaimana digambarkan oleh ayat-ayat di atas, maka hal ini tentu saja di samping merupakan peringatan kepada umat Islam, pengalaman Bani Israil itu juga menimbulkan kecemasan bagi umat Nabi Muhammad SAW. Nah, ayat ini berfungsi yang sebagai pelepasan kecemasan itu yakni melalui pernyataannya bahwa kitab suci ini memberi petunjuk yang lebih lurus
30
419
M. Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah, Vol.7, Lentera Hati, Jakarta, 2002, hlm. 418-
56 dari kitab Bani Israil itu, karena ayat ini dilanjutkan dengan menyebut berita gembira bagi orang-orang yang beriman. Thabathaba’i berpendapat bahwa kelompok ayat-ayat lalu (ayat 2-8) menguraikan sunnah illahiah terhadap masyarakat manusia tentang petunjuk-Nya menuju pengabdian dan tauhid. Dalam konteks ini Allah menganugerahkan manusia potensi untuk taat dan durhaka, dan masing-masing akan memperoleh sesuai pilihannya, jika baik maka kebaikannya untuk pelakunya sendiri, dan jika buruk pun demikian. Sebagai contoh dan penerapan dari sunnah ilahiah yang bersifat umum itu, adalah apa yang dialami oleh Bani Isra’il. Nah, kini dijelaskan bahwa sunnah ilahiah itupun berlaku kepada umat Nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu, jika mereka tidak ingin mengalami bencana serupa yang dialami oleh Bani Isra’il, maka mereka harus menghindar dari sebab-sebabnya, yaitu kedurhakaan. Apalagi kaum muslimin telah dianugerahi kitab Al-Qur'an yang lebih jelas dan sempurna dari kitab suci yang dianugerahkan kepada Bani Isra’il melalui Nabi Musa as., bahkan lebih jelas dan sempurna dari segala tuntunan dan syari’at apapun. Demikian lebih kurang komentar Thabathaba’i atas penggalan ayat ini. Yang kedua misalnya firman Allah SWT :
(۵٦ : )ﺍﻟﻘﺼﺺ...ﺎ ُﺀﻳﺸ ﻦ ﻣ ﻬﺪِﻱ ﻳ ﻪ ﻦ ﺍﻟﻠﱠ ﻭﹶﻟ ِﻜ ﺖ ﺒﺒﺣ ﻦ ﹶﺃ ﻣ ﻬﺪِﻱ ﺗ ﻚ ﻻ ﻧِﺇ Artinya : “Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya...” (Q.S. Al Qashash, 28 : 56). Dan terhadap kata hidayah (yang kedua), dia menafsirkan sebagai berikut : Ayat di atas mengingatkan Nabi Muhammad SAW tentang hakikat bahwa
hidayah
yang
mengantar
seseorang
menerima
dan
melaksanakan tuntunan Allah bukanlah wewenang manusia, atau
57 dalam batas kemampuannya, tetapi semata-mata wewenang dan hak prerogatif Allah SWT. Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW yang merupakan manusia paling dicintai Allah dan paling mampu memberi penjelasan, tidak akan dapat dan mampu memberi hidayah yang menjadikan seseorang menerima dengan baik dan melaksanakan ajaran Allah walau engkau berusaha sekuat tenaga dan walau upaya itu engkau tujukan kepada orang yang engkau cintai dan inginkan memperolehnya. Engkau hanya mampu memberi hidayah irsyad dalam arti memberi petunjuk dan memberi tentang jalan kebahagiaan bukan hidayah taufik, tetapi Allah saja yang memberi hidayah taufik itu kepada orang yang dikehendaki-Nya bila yang bersangkutan bersedia menerima hidayah dan membuka hatinya untuk itu, dan Dia lebih mengetahui dari siapa pun tentang orang-orang yang mau menerima petunjuk.31 Ada 2 macam hidayah keagamaan. Pertama, hidayah/petunjuk dalam arti menyampaikan kepada pihak lain ajaran-ajaran agama dan atau memberi contoh penerapannya. Ini adalah “hidayah irsyad”. Cukup banyak ayat-ayat yang menggunakan akar kata hidayah yang mengandung makna, misalnya :
(۵٢ : ﺘﻘِﻴ ٍﻢ )ﺍﻟﺸﻮﺭﻱﺴ ﻣ ﻁ ٍ ﺍﺻﺮ ِ ﻬﺪِﻱ ِﺇﻟﹶﻰ ﺘﻚ ﹶﻟ ﻧﻭِﺇ ... Artinya : “...Dan sesungguhnya kamu (wahai Nabi Muhammad) benarbenar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (Q.S. Asy Syuura, 42 : 52). Kemudian selain ayat di atas ada lagi firman Allah SWT. sebagai berikut :
(١٧ : )ﻓﺼﻠﺖ... ﻯﻬﺪ ﻋﻠﹶﻰ ﺍﹾﻟ ﻰﻌﻤ ﻮﺍ ﺍﹾﻟﺤﺒ ﺘﺳ ﻢ ﻓﹶﺎ ﻫ ﺎﻳﻨﺪ ﻬ ﺩ ﹶﻓ ﻮﺎ ﹶﺛﻤﻭﹶﺃﻣ
31
Ibid., hlm. 370-371
58 Artinya : “Adapun kaum Tsamud maka Kami telah memberi mereka hidayah, tetapi mereka lebih senang kebutaan (kesesatan) daripada hidayah...” (Q.S. Fushshilat, 41 : 17). Hidayah semacam ini dilakukan oleh Allah dan dapat juga dilakukan oleh manusia. Kedua, hidayah/petunjuk keagamaan serta pemberian kemampuan untuk melaksanakan isi petunjuk itu. Hidayah itu adalah “hidayah taufik’. Ia tidak dapat dilakukan kecuali oleh Allah SWT. ayat 56 dalam Qur’an surat Al Qashash yang sudah ditafsirkan di atas adalah salah satu contohnya. 3. Bentuk Fi’il Amar (ﺪ ِ )ﺍِﻫ Kata hidayah dalam bentuk fi’il amar disebut sebanyak 5 kali, yang bila dilihat dari segi fa’ilnya bisa dikelompokkan menjadi 2, yaitu fa’il Allah dan fa’il mahluk. Yang pertama kemudian disebut fi’il do’a, karena merupakan pemahaman dari makhluk kepada Tuhan, sedang yang kedua tetap disebut fi’il amar. Yang pertama misalnya firman Allah SWT ;
(٦ : ﻢ )ﺍﻟﻔﺎ ﲢﻪَ ﺘﻘِﻴﺴ ﻤ ﻁ ﺍﹾﻟ ﺍ ﹶﺼﺮ ﺎ ﺍﻟﻫ ِﺪﻧ ﺍ Artinya : ”Bimbing (antar)lah kami (memasuki) jalan yang lebar dan lurus.” (Q.S. Al Faatihah, 1 : 6). Terhadap kata hidayah dalam ayat tersebut, Muhammad Quraish Shihab menyatakan : Kata ihdina (ﺎﻫ ِﺪﻧ )ﺍterambil dari kata yang terdiri dari huruf-huruf ha’, dal dan ya’. Maknanya berkisar pada dua hal. Pertama, tampil ke depan memberi petunjuk, dan kedua, menyampaikan dengan lemah lembut. Dari sini lahir kata hidayah yang merupakan penyampaian sesuatu dengan lemah lembut guna menunjukkan simpati. Allah menganugerahkan petunjuk. Petunjuk-Nya bermacammacam sesuai dengan peranan yang diharapkannya dari makhluk.
59 Pertama naluri (terbatas pada penciptaan dorongan untuk mencari halhal yang dibutuhkan), panca indera, akal, dan hidayah agama. Sementara ulama membagi pula petunjuk agama kepada dua petunjuk : -
Pertama petunjuk kebahagian duniawi dan ukhrawi.
-
Kedua petunjuk serta kemampuan untuk melaksanakan isi petunjuk.
Kemudian dipaparkan juga pendapat Thahir Ibn Asyur tentang pembagian tingkatan hidayah. -
Pertama, al-quwa al muharrikah wa al mudrikah ( )ﺍﻟﻘﻮﻱ ﺍﶈﺮﻛﻪ ﻭﺍﳌﺪﺭﻛﻪyakni potensi penggerak dan tahu.
-
Kedua, adalah petunjuk yang berkaitan dengan dalil-dalil yang dapat membedakan antara yang haq dan batil, yang benar dan salah.
-
Ketiga, hidayah yang tidak dapat dijangkau oleh analisis dan aneka argumentasi akliah, atau yang bila diusahakan akan dapat memberatkan manusia.
-
Keempat, hidayah yang diperoleh melalui wahyu/ilham yang shahih atau limpahan kecerahan yang tercerah dari Allah SWT. Dari
sini
terlihat,
bahwa
Muhammad
Quraish
Shihab
menafsirkan secara langsung kata hidayah tersebut. Selain itu juga beliau memaparkan berbagai pendapat. Dari pernyataan di atas dapat diketahui
bahwa
hidayah
bermacam-macam
dan
mempunyai
tingkatan-tingkatan. Yang terakhir dikutipnya dan dari pendapat Thahir Ibn Asyur. Dalam ayat ini dapat diketahui yaitu mengharap atau memohon penambahan hidayah. Sedang yang kedua, misalnya firman Allah SWT. sebagai berikut :
(٢٣ : ﺠﺤِﻴ ِﻢ )ﺍﻟﺼﺎﻓﺎﺕ ﻁ ﺍﹾﻟ ِ ﺍﺻﺮ ِ ﻢ ِﺇﻟﹶﻰ ﻫ ﻭﻫﺪ …ﻓﹶﺎ
60 Artinya : “…Maka tunjukkanlah kepada mereka jalan ke neraka.” (Q.S. Al Shaaffaat, 37 : 23). Terhadap kata hidayah dalam ayat ini, Muhammad Quraish Shihab menafsirkan sebagai berikut : “Ayat-ayat yang lalu menguraikan apa yang terjadi saat peniupan sangkakala untuk kedua kalinya. Semua manusia menanti apa yang akan dihadapinya. Para pendurhaka sungguh sangat cemas, jauh melebihi kecemasan orang-orang yang taat, penyesalan mereka pun semakin bertambah apalagi pada saat itu mereka telah melihat siksa dan mendengar perintah Allah kepada malaikat bahwa yang mempersekutukan Allah, teman sejawat mereka yang kafir dan selain hamba-hamba Allah yang taat kepada-Nya lagi tidak merestui penyembahan itu seperti Isa as dan para malaikat, kumpulkanlah lalu tunjukkan kepada mereka jalan luas dan lebar ke neraka”.32 Dari sini terlihat, bahwa beliau berpendapat mengenai kata hidayah dengan memperkenalkan atau memberitahukan. 4. Bentuk Mashdar ()ﻫﺪﻱ Kata hidayah dalam bentuk mashdar disebut sebanyak 75 kali, mislanya firman Allah SWT ;
(٢ : ﲔ )ﺍﻟﺒﻘﺮﻩ ﺘ ِﻘﻯ ِﻟ ﹾﻠﻤ ﺪﺐ ﻓِﻴ ِﻪ ﻫ ﻳﺭ ﺏ ﻻ ﺎﻚ ﺍﹾﻟ ِﻜﺘ ﹶﺫِﻟ Artinya : “Itulah al Kitab (Al Quran), tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertaqwa.” (Q.S. Al Baqarah, 2 : 2). Terhadap kata dalam ayat di atas, beliau menafsirkan sebagai berikut :
ﺪ )ﻫadalah bentuk jadian (infinitive noun). “Kata hudan / petunjuk (ﻯ Bentuk kata serta penempatannya sesudah kata yang menunjuk kepada 32
M. Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah, Vol.12, hlm. 21-22
61 kitab suci (itulah al Kitab) yang dipilih untuk ayat ini mengandung makna bahwa petunjuknya telah mencapai kesempurnaan sehingga tidak sekedar berfungsi untuk memberi petunjuk, tetapi ia adalah perwujudan dari petunjuk itu. Al-Qur'an adalah penampilan dari hidayah ilahi.”Di atas telah dikemukakan bahwa kata hudan adalah bentuk kata jadian atau masdar. Bentuk ini tidak mengandung informasi tentang waktu. Ia dapat berarti masa kini, atau datang dan lampau, berbeda dengan bentuk mudhari’ (kata kerja masa kini dan masa yang akan datang) atau madhi (kata kerja masa lampau). Atas dasar ini maka petunjuk Al Qur'an kepada manusia, dapat dipahami dalam arti kitab suci itu kini sedang memberi petunjuk kepada orangorang bertakwa yang hidup pada masa kehadiran Al Qur'an. Dalam hal ini dimaksud dengan orang bertakwa adalah yang mempersiapkan jiwa mereka untuk maksud untuk menerima petunjuk atau yang telah mendapatkannya tetapi masih mengharap kelebihan, karena petunjuk Allah tidak terbatas.33 Seperti firman Allah SWt dalam surat Al-Kahfi ayat 13 sebagai berikut:
(١٣ : ﻯ )ﺍﻟﻜﻬﻒ ﺪﻢ ﻫ ﻫ ﺎﺩﻧ ﻭ ِﺯ ﻢ ﺑ ِﻬﺮ ﻮﺍ ِﺑﻣﻨ ﻴ ﹲﺔ ﺁﺘﻢ ِﻓ ﻬ ﻧ…ِﺇ Artinya : “…Sesungguhnya mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka, dan Kami tambah pula untuk mereka petunjuk.” (Q.S. Al Kahfi, 18 : 13). Terhadap kata hidayah dalam ayat di atas, beliau menafsirkan sebagai berikut : “Menunjukkan bahwa hidayah Allah SWT bertingkat-tingkat dan bermacam-macam lagi tidak terbatas. Mereka yang memperoleh hidayah masih dapat memperoleh tambahan. Dalam ayat lain Allah berfirman :
33
Ibid., hlm. 89
62
(٧٦ : ﻯ …)ﻣﺮﱘ ﺪﺍ ﻫﺪﻭ ﺘﻫ ﻦ ﺍ ﻪ ﺍﱠﻟﺬِﻳ ﺪ ﺍﻟﱠﻠ ﻳﺰِﻳﻭ Artinya : “Dan Allah akan menambah petunjuk kepada mereka yang telah mendapat petunjuk…” (Q.S. Maryam, 19 : 76). Dapat juga penggalan ayat itu berarti Al Qur'an telah memberi petunjuk orang-orang yang bertakwa pada masa lalu. Dalam konteks ini tentu saja petunjuk Al Qur'an yang dimaksud adalah ayat-ayatnya yang turun sebelum al-Baqarah ini, katakanlah ayat-ayat Al Qur'an yang turun di Mekah telah berhasil memberi petunjuk kepada orangorang yang berupaya menghindar dari siksa Ilahi. Makna ini menunjukkan bahwa petunjuk-petunjuk kitab suci Al Qur'an bukan sekedar teori, tetapi telah terbukti kemampuannya dalam kenyataan sehingga telah berhasil memberi petunjuk keselamatan bagi sekalian banyak orang sebelum ini. Al Qur'an merupakan petunjuk di masa mendatang untuk orang-orang yang sebentar lagi akan datang, yaitu mereka yang benar-benar akan menghindar dan terhindar dari segala gangguan dan petaka duniawi dan ukhrawi. Demikian kata hudan mengandung makna yang sangat dalam dan yang tidak diperoleh bila kata itu diganti dengan kata dalam bentuk yang lain. Itu sebabnya Rasul SAW pun diperintah agar tetap memohon hidayah Allah terus membaca (َﻢ ﺘﻘِﻴﺴ ﻤ ﻁ ﺍﹾﻟ ﺍ ﹶﺼﺮ ﺎ ﺍﻟﻫ ِﺪﻧ )ﺍwalaupun beliau telah memperoleh petunjuk Allah.” 34 5. Bentuk Isim Fa’il (ﺎﺩ) ﻫ Kata hidayah dalam bentuk isim fa’il disebut sebanyak 10 kali, di antara 10 kata itu, ada yang bersubyek Allah dan ada yang bersubyek mahluk. Yang pertama misalnya disebutkan dalam firman Allah SWT ;
(٣١ : ﻧﺼِﲑﹰﺍ )ﺍﻟﻔﺮﻗﺎﻥﻭ ﺎﺩِﻳﹰﺎﻚ ﻫ ﺑﺮ ﻭ ﹶﻛﻔﹶﻰ ِﺑ … 34
M. Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah, Vol.8, hlm. 24
63 Artinya : “…Dan cukuplah Tuhanmu yang menjadi pemberi hidayah dan penolong.” (Q.S. Al Furqaan, 25 : 31). Terhadap kata hidayah dalam ayat tersebut di atas, Muhammad Quraish Shihab tidak memberikan penafsiran secara tegas. Sedangkan yang kedua dapat dilihat misalnya dalam firman Allah SWT :
(٥٣ : ﻢ …)ﺍﻟﺮﻭﻡ ﻼﹶﻟِﺘ ِﻬﻦ ﺿ ﻋ ﻤ ِﻲ ﻌ ﻱ ﺍﹾﻟ ِ ﺎ ِﺩﺖ ِﺑﻬ ﻧﺎ ﹶﺃﻭﻣ Artinya : “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang-orang yang buta (mata hatinya) dari kesesatannya…“ (Q.S. Ar Ruum, 30 : 53). Terhadap kata hidayah dalam surat Ar Ruum ayat 53 di atas, beliau memberi penafsiran sebagai berikut : “Kata hadi (ﻱ ِ ﺎ ِﺩ )ﻫterambil dari kata hada ( )ﻫﺪﻯyang berarti “memberi petunjuk informasi secara lemah lembut menuju apa yang yang diharapkan” bila seseorang sesat di jalan, tidak mengetahui arah yang benar, lalu bertemu dengan seorang hady / petunjuk jalan, maka dia akan menerima informasi arah mana yang harus ditujunya, ke kanan atau ke kiri. Dia juga diberi tahu tanda-tanda tentang tempat yang dituju / yang mengantar ke sana. Jika dia sedang berada pada arah yang salah, maka petunjuk jalan itu akan menyampaikan kepadanya bahwa jalan ini keliru lalu memalingkannya dari sana dan mengarahkannya ke arah yang benar.” 35 Ayat ini berbicara tentang ketidakmampuan memisahkan antara jalan kebenaran dan kesesatan, serta kegagalan mereka mencapai tujuan yang benar. Contoh lain adalah firman Allah SWT ;
(٧ : ﺎ ٍﺩ )ﺍﻟﺮﻋﺪﻮ ٍﻡ ﻫ ﻭِﻟﻜﹸ ﱢﻞ ﹶﻗ ﺭ ﻨ ِﺬﻣ ﺖ ﻧﺎ ﹶﺃﻧﻤ…ِﺇ
35
M. Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah, Vol.11, hlm. 94
64 Artinya : “…Sesungguhnya kamu hanyalah seorang pemberi peringatan; dan bagi tiap-tiap kaum ada orang yang memberi petunjuk.” (Q.S. Ar Ra’d, 13 : 7). Terhadap kata hidayah dalam ayat di atas, Muhammad Quraish Shihab menyatakan : “Engkau wahai Nabi Muhammad tidak memiliki sedikit campur tangan pun dalam hal menghadirkan mukjizat-mukjizat karena sesungguhnya engkau hanyalah seorang pemberi peringatan serta pemberi petunjuk dan bimbingan, baik sebagai nabi yang diutus Allah maupun sebagai pewaris-pewaris nabi yang bertugas menyampaikan dan melanjutkan ajarannya.” 36 b. Kata Hidayah dalam Bentuk Tsulatsi Mazid 1. Bentuk Fi’il Madhi (ﻯﺘﺪﻫ ) ﺍ Kata hidayah di Al-Qur'an dalam bentuk fi’il madhi bentuk tsulatsi mazid disebutlan sebanyak 13 kali, antara lain dalam firman Allah SWT ;
(١٠٨ : ﺴ ِﻪ… )ﻳﻮﻧﺲ ِ ﻨ ﹾﻔﺘﺪِﻱ ِﻟﻬ ﻳ ﺎﻧﻤﻯ ﹶﻓِﺈﺘﺪﻫ ﻤ ِﻦ ﺍ …ﹶﻓ Artinya : “…Sebab itu, barangsiapa yang mendapat petunjuk maka semata-mata dia mendapat petunjuk untuk kebaikan dirinya sendiri…” (Q.S. Yunus, 10 : 108). Terhadap kata hidayah dalam ayat itu, Muhammad Quraish Shihab menafsirkan sebagai berikut : Bagi yang beriman kepada Muhammad dan mengamalkan kandungan Al-Qur'an, maka semata-mata dia mendapat petunjuk untuk kebaikan dirinya sendiri, karena dengan demikian dia akan hidup tenang dan bahagia di dunia dan di akhirat. Dan barang siapa yang sesat sehingga mengingkari kebenaran Al-Qur'an dan kenabian Muhammad, maka semata-mata dia menyestkan yakni mencelakakan dirinya sendiri.37 36 37
M. Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah, Vol.6, hlm. 547-548 Ibid., hlm. 172
65 Contoh lain disebutkan dalam firman Allah dalam surat Thaahaa ayat 82 sebagai berikut :
(٨٢ : ﻯ )ﻃﻪﺘﺪﻫ ﺍﺎﻟِﺤﹰﺎ ﹸﺛﻢﻋ ِﻤ ﹶﻞ ﺻ ﻭ ﻦ ﻣ ﺁﺏ ﻭ ﺎﻦ ﺗ ﻤ ﺭ ِﻟ ﻐﻔﱠﺎ ﻲ ﹶﻟﻭِﺇﻧ Artinya : “Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertaubat, beriman, beramal saleh, kemudian tetap dalam petunjuk” (Q.S. Thaahaa, 20 : 82). Terhadap kata hidayah dalam ayat ini, Muhammad Quraish Shihab menafsirkan sebagai berikut : “Mempertahankan iman dan amal shaleh merupakan sesuatu yang jauh lebih tinggi derajatnya daripada beriman dan beramal tanpa berkesinambungan.” 38 2. Bentuk Fi’il Mudhari’ (ﺘﺪِﻱﻬ ﻳ ) Kata hidayah dalam bentuk mudhari’ disebut sebanyak 26 kali, misalnya firman Allah SWT :
(٩ : …)ﺍﻹﺳﺮﺍﺀﻮﻡ ﻲ ﹶﺃ ﹾﻗ ﻬﺪِﻱ ِﻟﱠﻠﺘِﻲ ِﻫ ﻳ ﺁ ﹶﻥﻫﺬﹶﺍ ﺍﹾﻟ ﹸﻘﺮ ِﺇﻥﱠ Artinya : “Sesungguhnya Al Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus...” (Q.S. Al Israa’, 17 : 9). Terhadap kata hidayah dalam ayat ini, Muhammad Quraish Shihab memberikan penafsiran : “Adapun hubungan yang anda pilih, yang jelas ayat di atas menyatakan bahwa sesungguhnya Al-Qur'an itu memberi petunjuk untuk manusia ke jalan yang lebih lurus dan sempurna lagi menyelamatkan.” 39 3. Bentuk Isim Fa’il (ﺘﺪِﻱﻬ ﻣ ) Kata hidayah dalam bentuk isim fa’il ini disebut sebanyak 13 kali, misalnya firman Allah SWT ; 38 39
Ibid.,Vol.8, hlm. 347 Ibid., Vol.7, hlm. 419
66
(١٧٨ : ﺘﺪِﻱ …)ﺍﻷﻋﺮﺍﻑﻬ ﻤ ﻮ ﺍﹾﻟ ﻪ ﹶﻓﻬ ﻬ ِﺪ ﺍﻟﱠﻠ ﻳ ﻦ ﻣ Artinya : ”Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk.” (Q.S. Al A’raaf, 7 : 178). Terhadap ayat ini, Muhammad Quraish Shihab menyatakan memberi penafsiran kata yahdi (ﻬﺪِﻱ )ﻳdan kata hidayat seperti ketika menguraikan atau menafsirkan ayat ke-6 surat Al Faatihah.40 4. Bentuk Isim Maf’ul (ﻱﺘﺪﻬ )ﻣ Kata hidayah dalam bentuk isim maf’ul ini disebut sebanyak 9 kali, mislanya firman Allah SWT ;
(٢١ : ﻭ ﹶﻥ )ﻳﺲﺘﺪﻬ ﻣ ﻢ ﻫ ﻭ ﺮﹰﺍﻢ ﹶﺃﺟ ﺴﹶﺄﻟﹸﻜﹸ ﻳ ﻦ ﻻ ﻣ ﻮﺍﺗِﺒﻌﺍ Artinya : “Ikutilah siapa yang tidak meminta dari kamu imbalan sedang mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Q.S. Yaasin, 36 : 21). Terhadap kata dalam ayat di atas, Muhammad Quraish Shihab penafsiran kata muhtadun yakni untuk mengisyaratkan kemantapan mereka dalam perolehan hidayat.41 Selain itu ada sejumlah ayat yang perlu dikemukakan penafsirannya oleh Muhammad Quraish Shihab, selain yang telah disebutkan di atas, guna mendapatkan gambaran yang jelas tentang penafsirannya terhadap kata hidayah, antara lain firman Allah SWT :
ﻬﺪِﻱ ﻳﻭ ﺎ ُﺀﻳﺸ ﻦ ﻣ ﻪ ﻀﻞﱡ ﺍﻟﱠﻠ ِ ﻢ ﹶﻓﻴ ﻬ ﻦ ﹶﻟ ﻴﺒﻮ ِﻣ ِﻪ ِﻟﻴ ﺎ ِﻥ ﹶﻗﻮ ٍﻝ ِﺇﻟﱠﺎ ِﺑِﻠﺴﺭﺳ ﻦ ﺎ ِﻣﺳ ﹾﻠﻨ ﺭ ﺎ ﹶﺃﻭﻣ ﺰ ﺍﹾﻟ ﻌﺰِﻳ ﻮ ﺍﹾﻟ ﻭﻫ ﺎ ُﺀﻳﺸ ﻦ ﻣ (٤ : ﻢ )ﺍﺑﺮﺍﻫﻴﻢ ﺤﻜِﻴ Artinya : “Dan tidaklah Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan 40 41
Ibid., Vol.5, hlm. 311 Ibid., Vol.11, hlm. 526
67 Dia-lah Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Q.S. Ibrahim, 14 : 4). Terhadap ayat tersebut di atas, Muhammad Quraish Shihab memberi penafsiran sebagai berikut : Kesesatan mereka sama sekali bukan karena tidak jelasnya tuntunan atau kurangnya informasi yang mereka terima. Betapa tuntunan Kami kurang atau tidak jelas padahal berkali-kali dan beraneka ragam penyampaian tuntunan itu dan di samping itu tidaklah Kami mengutus seorang Rasul pun sejak yang pertama hingga yang terakhir kecuali dengan bahasa lisan dan pikiran sehat kaumnya supaya dia yakni rasul dapat menjelaskan dengan gamblang melalui bahasa lisan dan keteladanannya kepada mereka tuntunan-tuntunan kami itu. Maka ada di antara kaum yang mendengar penjelasan rasul itu yang membuka mata hati dan pikirannya sehingga diberi kemampuan oleh Allah melaksanakan petunjuk-Nya dan ada yang menutup mata hatinya sehingga sesat. Memang Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki untuk Dia sesatkan bila yang bersangkutan memilih kesesatan dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki bila yang bersangkutan ingin memperoleh petunjuk dan Dialah Tuhan Yang Perkasa yang tidak dapat dielakkan ketetapan-Nya lagi Maha bijaksana dalam segala perbuatan-Nya.42
ﺎ ُﺀﻳﺸ ﻦ ﻣ ﻬﺪِﻱ ﻳﻭ ﺎ ُﺀﻳﺸ ﻦ ﻣ ﻀﻞﱡ ِ ﻳ ﻦ ﻭﹶﻟ ِﻜ ﺪ ﹰﺓ ﺍ ِﺣﻣ ﹰﺔ ﻭ ﻢ ﺃﹸ ﻌﹶﻠﻜﹸ ﺠ ﻪ ﹶﻟ ﺎ َﺀ ﺍﻟﱠﻠﻮ ﺷ ﻭﹶﻟ (٩٣ : ﻤﻠﹸﻮ ﹶﻥ)ﺍﻟﻨﺤﻞ ﻌ ﺗ ﻢ ﺘﻨﺎ ﹸﻛﻋﻤ ﻦ ﺴﹶﺄﻟﹸ ﻭﹶﻟﺘ Artinya : “Dan sekiranya Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu umat (saja), tetapi Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan sesungguhnya kamu akan ditanya tentang apa yang telah kamu kerjakan.” (Q.S. An Nahl, 16 : 93).
42
Ibid., Vol.7 hlm. 12-13
68 Dalam ayat tersebut Muhammad Quraish Shihab memberi penafsiran sebagai berikut : Memang, dalam kehidupan di dunia ini ada banyak kelompok kelompok yang berbeda bahkan bertolak belakang, tetapi itu adalah kehendak Allah juga. Seandainya Dia mengehendaki, Dia akan menjadikan kamu semua seia sekata, tetapi itu tidak dikehendaki-Nya dan Dia akan memutuskan menyangkut perbedaan itu di akhirat kelak, bukan di dunia ini. Jadi demikian, jangan jadikan perbedaan itu dalih untuk tidak menepati perjanjian kamu walau dengan kelompok yang berbeda akidah dan kepercayaan dengan kamu. Demikian hubungan ayat ini dengan ayat sebelumnya. Dapat juga dikatakan bahwa pengambilan putusan ke hari kiamat bukanlah karena kelemahan Allah memutuskan atau menghindarkan perselisihan dalam hidup di dunia ini. Sama sekali tidak! Dan kalau sekiranya Allah menghendaki namun ini tidak dikehendaki-Nya niscaya Dia menjadikan kamu satu umat saja yakni satu pendapat tanpa perselisihan, atau Dia mencipta manusia serupa dengan malaikat yang hanya melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Tetapi Dia tidak menghendaki hal tersebut, karena itu Dia memberi manusia kebebasan memilih jalan yang akan ia tempuh, jalan sesat atau jalan petunjuk. Atas dasar pilihan masing-masing, Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, guna memenuhi pilihan yang memilih kesesatan itu dan memberi kemampuan untuk melaksanakan petunjuk kepadanya kepada siapa yang Dia kehendaki sebagai anugerah dan pemenuhan tekad dan keinginannya melaksanakan tuntunan petunjuk. Dan sesungguhnya kamu pasti akan ditanya tentang apa yang telah kamu kerjakan dan menerima balasan dan ganjaran-Nya dari Allah SWT.43
43
Ibid.,Vol.7, hlm. 334 - 336
69 2. Penafsiran Kata Hidayah secara Terminologis Menurut Muhammad Quraish Shihab hidayah adalah petunjuk lemah lembut dari Allah SWT yang diberikan kepada siapa saja yang Dia kehendaki.44 Lebih lanjut, dia menjelaskan bahwa mereka yang Dia kehendaki itu adalah mereka yang memilih jalan petunjuk, yakni mereka yang memiliki tekad dan keinginannya melaksanakan tuntunan petunjuk. Dari sini dapat dipahami bahwa pemaknaan hidayah menurutnya bukanlah sebuah bimbingan lepas, di mana manusia tidak memiliki usaha sama sekali. Sehingga, hidayah menurutnya lebih merupakan sejumlah informasi yang Dia berikan kepada manusia, dan sebelumnya Dia telah memberikan potensi kepada manusia itu untuk menentukan sendiri, apakah jalan yang akan manusia tempuh apakah jalan sesat atau jalan petunjuk. Di samping itu, Muhammad Quraish Shihab juga mengaitkan hidayah dengan organ-organ fisik.45 Dalam konteks ini, hidayah diartikannya sebagai bimbingan memfungsikan atau memanfaatkan organ-organ itu. Tentu saja, ini berkaitan dengan kelangsungan hidup manusia, melalui organ-organ itu dia akan berjuang. Pengertian ini, diambil oleh Muhammad Quraish Shihab ketika menafsirkan firman Allah SWT dalam surat Thaahaa :
(٥٠ : ﻯ )ﻃﻪﻫﺪ ﹸﺛﻢﺧ ﹾﻠ ﹶﻘﻪ ﻲ ٍﺀ ﺷ ﻋﻄﹶﻰ ﹸﻛ ﱠﻞ ﺎ ﺍﱠﻟﺬِﻱ ﹶﺃﺑﻨﺭ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ Artinya : “Dia (Musa) berkata: "Tuhan kami ialah (Tuhan) yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian memberinya petunjuk.” (Q.S. Thaahaa, 20 : 50). Dengan kata lain, dalam konteks organ-organ fisikal, hidayah mengandung pengertian, bimbingan dan pemberian kemampuan bagaiamana memfungsikan organ-organ itu secara benar. Hal ini jelas telah diberikan sejak lahir, yakni secara alamiah. Penulis mengamati bahwa seseorang dapat memperoleh hidayah dari Allah SWT dengan syarat, orang yang bersangkutan membuka hatinya, dalam arti dia memilih jalan kebahagiaan (bersedia
44 45
Ibid., Vol.7, hlm. 334 Ibid., Vol.1, hlm. 63 - 64
70 menerima hidayah). Mengenai hal ini, Muhammad Quraish Shihab menyatakan : “Sungguh engkau wahai Muhammad SAW yang merupakan manusia paling dicintai Allah dan paling mampu memberi penjelasan, tidak akan dapat dan mampu memberi hidayah yang menjadikan seseorang menerima dengan baik dan melaksanakan ajaran Allah walau engkau berusaha sekuat tenaga dan walau upaya itu engkau tujukan kepada orang yang engkau cintai dan inginkan memperolehnya. Engkau hanya mampu memberitahu tentang jalan kebahagiaan bukan hidayah taufik, tetapi Allah saja yang memberi hidayah taufik itu kepada orang yang dikehendaki-Nya bila yang bersangkutan bersedia menerima hidayah dan membuka hatinya untuk itu, dan Dia lebih mengetahui dari siapa pun tentang orang-orang yang mau menerima petunjuk.” 46 Lebih lanjut menurut Muhammad Quraish Shihab, keimanan atau kekafiran seseorang tidak bisa dijadikan indikasi bahwa orang itu sudah membuka hatinya atau belum. Karena bisa jadi, orang yang memilih jalan kesesatan, suatu saat akan beralih kepada jalan petunjuk. Dalam kondisi inilah, dia membuka hatinya memilih jalan kebahagiaan (bersedia menerima hidayah). Atau sebaliknya, konsekuensinya bagi dakwah adalah bagi manusia hanya berkewajiban menyampaikan, sedang keputusan akan kembali kepada orang yang diberi dakwah itu sendiri. Karena itulah, orang yang telah memilih jalan petunjuk diperintahkan agar tetap memohon hidayah Allah terus membaca (َﻢ ﺘﻘِﻴﺴ ﻁ ﺍﹾﻟ ُﻤ ﺍ ﹶﺼﺮ ﺎ ﺍﻟﻫ ِﺪﻧ )ﺍwalaupun telah memperoleh petunjuk Allah.47 Mengakhiri penjelasan ini, perlu dikemukakan penafsiran Muhammad Quraish Shihab, atau lebih tepatnya
pendapatnya tentang bagaimana
melestarikan hidayah, bagi mereka yang telah mendapatkannya, yakni mereka yang telah memilih jalan petunjuk / beriman. Dalam hal ini dia mengatakan dengan mengisyaratkan bahwa mempertahankan iman dan amal shaleh merupakan sesuatu yang lebih tinggi derajatnya daripada beriman dan beramal tanpa berkesinambungan.48
46
Ibid., Vol.7, hlm. 370 - 371 Ibid., Vol.8, hlm. 24 48 Ibid., Vol.8, hlm. 347 47
71 Dari pernyataannya itu dapat dipahami bahwa setidaknya ada 2 hal yang harus diperhatikan agar seseorang yang telah mendapat hidayah dan dapat melanggengkannya. Yang pertama mempertahankan keimanan, dan yang kedua dengan beramal shaleh.