BAB III PEMIKIRAN HASYIM ASY’ARI TENTANG ETIKA MURID TERHADAP GURU
A. Biografi dan Karir Intelektual Hasyim Asy’ari Hasyim Asy’ari lahir di Gedang, Jombang Jawa Timur, hari selasa 24 Zulqo’dah 1287 H, bertepatan dengan 14 februari 1871 M.1 Ayahnya bernama Asy’ari ulama asal Demak, yang merupakan keturunan ke-8 dari Jaka Tingkir yang menjadi Sultan Pajang di tahun 1568, dan Jaka Tingkir ini merupakan anak Brawijaya IV yang menjadi raja Majapahit. Sedangkan ibunya bernama Halimah, puteri kiai Usman, pendiri dari pengasuh pesantren Gedang Jawa Timur, tempat ia dilahirkan. Kiai Usman ini juga seorang pemimpin thariqah ternama pada akhir abad ke-19.2 Sebagaimana santri
pada umumnya, Hasyim Asy’ari senang belajar di
pesantren sejak masih belia. Sebelum umur delapan tahun kiai Usman sangat memperhatikannya. Kemudian pada tahun 1876 ia meninggalkan kakeknya tercinta dan memulai pelajarannya yang baru di pesantren orang tuanya sendiri di Desa Keras, tepatnya di bagian Selatan Jombang.3 Menginjak usia 15 tahun, Hasyim Asy’ari berkelana ke beberapa pesantren yakni ke pesantren Wonokoyo Probolinggo, Pesantren Langitan Tuban, Pesantren Trenggilin Madura, Pesantren Demangan, Bangkalan Madura. Beliau belum puas dengan berbagai ilmu yang di dapat, akhirnya pindah ke Pesantren Siwalan, Surabaya.4 Di pesantren ini ia menetap selama dua tahun, dan karena kecerdasannya ia di ambil menantu oleh kiai Ya’qub, pengasuh pesantren 1
Saefullah Ma’shum, (Ed), Karisma Ulama’ Kehidupan Ringkas 26 Tokoh, (Bandung: Yayasan Saefudin Zuhri, 1998), hlm. 71 2 Abdurrahman Mas’ud, Intelektual Pesatren: Perhelatan Agama dan Tradisi, (Yogyakarta: Lkis, 2004), hlm. 197. 3 Ibid Hal. 197-198 4 Saefullah Ma’shum, op. cit, hlm. 72
39
40 tersebut. Kemudian ia dikirim oleh mertuanya ke Mekkah untuk menuntut ilmu di sana. Ia kemudian bermukim di sana selama tujuh tahun dan tidak pernah pulang, kecuali pada tahun pertama saat puteranya yang baru lahir meninggal yang kemudian di susul isterinya. Di tanah suci ini Hasyim Asy’ari mencurahkan pikirannya untuk belajar berbagai disiplin ilmu, sehingga pada tahun 1899, ia telah mampu mengajar.5 Selama di Mekkah Hasyim Asy’ari belajar di bawah bimbingan ulama terkenal, seperti syekh Amin Al-Athor, Sayyid Sultan Ibnu Hasyim, Sayyid Ahmad Zawawi, Syekh Mahfuzd al-tirmasi dan Syekh Ahmad Khotib Minangkabau6. Di Mekkah ini pula Hasyim Asy’ari bersentuhan dengan faham Wahabi yang sedang gencar-gencarnya. Dan ia tertarik dengan ide pembaharuan ini. Namun ia tidak setuju dengan pemikiran Wahabi yang ke “bablasen” dalam beberapa pembaharuanya. Gerakan pembaharuan Islam ini gencar dilakukan oleh Muhammad Abduh. Inti gagasan Muhammad Abduh adalah mengajak umat Islam kembali kepada ajaran Islam yang murni yang lepas dari pengaruh dan praktek-praktek luar, reformasi pendidikan Islam di tingkat universitas merumuskan
kembali doktrin
mengkaji dan
Islam dan mempertahankan Islam. Rumusan-
rumusan Muhammad Abduh ini di maksudkan agar umat Islam dapat memainkankan kembali peranannya dalam bidang sosial, politik dan pendidikan pada era modern. Untuk itu pula, Abduh melancarkan gagasannya agar umat Islam
melepaskan diri dari keterikatan pola pikir para pendiri mazhab dan
meninggalkan segala praktek-praktek thoriqoh. Dan ide ini di sambut secara antusias oleh para pelajar Indonesia yang berada di Mekkah.7
5
Zamakhsyari Dhofir, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai, (Jakarta: LP3ES, 1982), hlm. 95. 6 Greg Barton, Gus Dur: The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid, Terj. Lie Hua, Biografi Gus Dur, (Yogyakarta: LkiS, 2002), hlm. 27. 7 Zamakhsyari Dhofier, op. cit, hlm. 94
41 Masa inilah yang kemudian disebut Zamakhsyari Dhofier sebagai Islamic Revivalisme yang mempunyai dua karakteristik yaitu melepaskan diri dari ikatan mazhab dan tetap berpegang pada pola pemikiran Mazhab empat. Dalam kelompok kedua inilah Hasyim Asy’ari mempunyai andil yang besar dalam melestarikannya.8 Hasyim Asy’ari setuju dengan gagasan Muhammad Abduh tersebut untuk membangkitkan semangat Islam, tetapi ia tidak setuju dengan hal pelepasan diri dari Mazhab.9 Hasyim Asy’ari berkeyakinan bahwa tidak mungkin memahami maksud sebenarnya dari al-Qur’an dan al-Hadist tanpa mempelajari pendapatpendapat para ulama besar yang ada dalam sistem mazhab. Manafsirkan alQur’an dan Al-Hadist tanpa mempelajari dan meneliti pemikiran para ulama Mazhab hanya akan menghasilkan pemutarbalikkan ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya.10 Setelah kepulangannya ke tanah air, ia kemudian terikat aktif dalam pengajaran di pesantren kakeknya sebelum akhirnya mendirikan pesantren di Tebuireng. Di pesantren inilah Hasyim Asy’ari mencurahkan pikirannya sehingga karena kealimannya terutama dibidang hadist, pesantren ini berkembang begitu cepat dan terkenal dengan pesantren hadist. Hasyim dalam mengelola Tebuireng membawa perubahan baru. Beberapa perubahan dan pembeharuan yang dilakukan pada masa kepemimpinan Hasyim Asy’ari anatara lain mengenal sistem Madrasah sebelumnya sejak tahun 1899 M, Tebuireng menggunakan sistem pengajian sorogan dan bandongan, akan tetapi sejak tahun 1916 M, mulai dikenalkan sistem Madrasah, dan tiga tahun kemudian, yakni pada tahun 1919
8
Zamakhsyari Dhofier, “KH. Hasyim Asy’ari Pengglang Islam Tradisional,” dalam Humaidi Abdussami dan Ridwan, Lima Rais A’m Nahdlatul Ulama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), hlm. viii. 9 Chairil Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdlatul Ulam, Solo :Jatayu, 1985, hlm. 60 10 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren......,op. cit., hlm. 95.
42 M, mulai di masukkan mata pelajaran umum, di mana langkah ini merupakan hasil dari rumusan Ma’shum menantu Hasyim Asy’ari.11
B. Kondisi Sosial Politik Hasyim Asy’ari Pada awal karier, Hasyim Asy’ari bukanlah seorang aktivis politik juga bukan musuh utama penjajahan Belanda. Beliau ketika itu belum peduli betul untuk menyebarkan ide-ide politik dan umumnya tidak keberatan dengan kebijakan Belanda selama tidak membahayakan keberlangsungan ajaran-ajaran Islam. Dalam kaitan ini, beliau tidaklah seperti H.O.S. Cokroaminoto dan Haji Agus Salim, pemimpin utama syarikat Islam, atau Ir. Sukarno, pendiri Partai Nasional Indonesia dan kemudian menjadi Presiden pertama Indonesia, yang memfokuskan diri pada isu-isu politik dan bergerak terbuka selama beberapa tahun untuk kemerdekaan Indonesia. Meskipun demikian, Hasyim Asy’ari dapat dianggap sebagai pemimpin spiritual bagi sejumlah tokoh pilitik,12 dan sebagai tokoh pendiri Nahdlatul Ulama’.13 Untuk mengerti lebih mendalam peran beliau dalam perkembangan politik Indonesia, ide-ide politik beliau dan pengaruhnya pada para pemimpin Muslim ketika itu haruslah diperhatikan. Ide-ide beliau memang berpengaruh terhadap para pemimpin Muslim kala itu. Selain itu, peran yang dimainkan oleh muridmurid pesantren beliau dalam arena politik harus juga di analisis. Juga peran beliau sebagai guru pesantren dan sekaligus sebagai pemimpin spiritual. Dan tidak kalah pentinya adalah aktivitas beliau dalam tiga aspek, yang merupakan kajian pokok dalam bab III ini:
11
Ibid, hlm. 104 Lathiful Khuluq, Hasyim Asy’ari Religious Thought and Political Activities, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2000), hlm. 69. 13 Abdurrahman Mas’ud, The Pesantren Architects and Their Socio-Religious Teachings, (Los Angeles, University of California,1997), hlm. 111 12
43 1. Perjuangan Melawan Pemerintah Kolonel Belanda Masyarakat kolonil adalah masyarakat yang serba eksploratif dan diskriminatif yang dilakukan penjajah melalui domenasi politik. Faktor pembantunya adalah kritenisasi dan westernisasi (pem-barat-an) serta pembiaraan terhadap adat tradisional yang menguntungkan penjajah. Sistem kolonial ini dipentaskan selama tiga setengah abad di Indonesia oleh bangsa Barat. Perjuangan melawan kolonialisme telah dilakukan oleh bangsa Indonesia sejak datangnya penjajah, demi kebebasan agama dan bangsanya. Pesantren dan ulama mempunyai peran besar dalam masalah ini, bahkan pesantren adalah pelopor perjuangan.14 Sebagai seorang ulama yang anti penjajah, Hasyim Asy’ari senantiasa menanamkan rasa nasionalisme dan semangat perjuangan melawan penjajah. Juga menanamkan harga diri sebagai umat Islam yang sederajat, bahkan lebih tinggi daripada kaum pejajah. Ia sering mengeluarkan fatwa-fatwa yang nonkooperatif terhadap kolonial, seperti pengharaman transfusi darah dari umat Islam terhadap Belanda yang berperang melawan Jepang. Ketika
pada
revolusi Belanda memberikan ongkos murah bagi Umat Islam untuk melakukan ibadah haji, Hasyim Asy’ari justru mengeluarkan fatwa tentang keharaman pergi haji dengan kapal Belanda. Akibatnya Belanda tidak bisa mendapat tambahan dana untuk membiayai perang dan bangsa Indonesia terutama umat Islam lebih bisa berkonsentrasi menghadapi penjajah.15 Sangat jelas sekali bahwa Hasyim Asy’ari sama sekali tidak mau bekerja sama dengan penjajah dan perlawanan-perlawanannya, karena beliau sudah paham dan mengerti bahwa kolonil Belanda mempunyai tujuan tersendiri untuk menjadikan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang sekuler. Masa depan jajahan Belanda sangatlah tergantung kepada penyatuan wilayah 14
Tamyiz Burhanudin, Akhlak Pesantren: Pandangan K.H. Hasyim Asy’ari, (Yogyakarta: Ittaqo Press, 2001), hlm. 26 15 Ibit, hlm. 27-28
44 tersebut dengan kebudayaan Belanda. Ini berarti Belanda mempunyai keinginan untuk memberikan pendidikan Barat kepada kaum ningrat dan priyayi di Jawa secara umum. Agar penyatuan kebudayaan ini menjadi kenyataan, sistem pendidikan Barat harus pula diperluas agar sampai pada masyarakat kecil pribumi. Jadi dasar pemikirannya adalah bahwa sistem pendidikan Barat merupakan sarana yang paling baik untuk mengurangi dan akhirnya mengalahkan Islam di wilayah jajahan Belanda, karena dalam pertandingan antara Islam melawan daya tarik pendidikan Barat dan penyatuan kebudayaan, Islam pasti kalah. Dengan memperkenalkan sistem pendidikan Barat, para lulusan sekolah tersebut merupakan contoh ideal bagi golongan terdidik Indonesia, yang semakin menggeser kedudukan kiai sebagai kelompok intelegensia dan pemimpin masyarakat. Akibatnya, anak-anak muda yang cerdas dan penuh ambisi semakin tertarik kepada pendidikan Barat, sebab mereka akan menikmati kesempatan memperoleh pekerjaan pada sektor birokrasi modern. Dalam
fase ini, mulai peranan Hasyim Asy’ari dan kelompoknya
ternyata cukup tangguh. Sementara sekolah-sekolah Belanda meluluskan pemimpin-pemimpin pergerakan modern untuk kemerdekaan Indonesia, ia dengan
caranya
sendiri
mampu
menelorkan
kiai-kiai
yang
kuat
kepemimpinannya, yang relatif tanggap terhadap perkembangan baru serta mampu bekerjasama dengan pemimpin-pemimpin pergerakan nasional tersebut. Hal ini tergambar pada sepak terjang Nahdlatul Ulama organisasi yang dipimpinnya,16 Nahdlatul Ulama yang merupakan organisasi yang didirikan oleh KH. Hasyim Asy’ari mengambil sikap dengan tegas dalam urusan keagamaan dan mengadukan campur tangan Belanda dalam urusan agama Islam . peraturan 16
Zamakhsyari Dhofier, KH. Hasyim Asy’ari : Penggalang Islam Tradisional, dalam Humaidi Abdussami dan Ridwan (Editor), Biografi 5 Ra’is ....op. cit, hlm. 11-12.
45 pemerintah Belanda mengenai guru-guru sekolah (Guru Ordonnantie) merupakan sember utama ketidakpuasan dengan memberlakukan administrasi yang lebih ketat terhadap sekolah-sekolah, termasuk pesantren, penguasa kolonil mengancam kehidupan sekolah yang pengelolaannya kurang teratur. Bahkan pada tahun 1931 organisasi tersebut meprotes masalah warisan ditarik dari wewenang Pengadilan Agama, dengan kata lain hukum adat di berlakukan di daerah Jawa, Madura dan Kalimantan Selatan.17 Melihat kenyataan di atas, ketidakpuasan Umat Islam di bawah tekanan Belanda membuat umat Islam jatuh dan tidak berdaya untuk melawannya. Namun Wahab Hasbullah atas izin Hasyim Asy’ari memberikan semangat nasionalisme untuk menghancurkan bangunan perang dan jangan sampai putus asa, kita harus yakin bahwa kita akan merdeka. Sehingga pada tahun 1930-an para santri Tebuireng Jombang menyanyikan lagu Indonesia raya. Dalam menghadapi tantangan baru ini, kedudukan Hasyim Asy’ari dinilai oleh Umat Islam modern sangat penting karena pengaruhnya yang demikian kuat dalam lingkungan kaum Islam tradisional turut menjamin kelangsungan peranan dalam pergerakan kebangsaan secara menyeluruh.18 Dan bahkan pada tahun 1935, Hasyim Asy’ari melontarkan ajakan untuk bersatu dan menganjurkan prilaku moderat kepada kaum pembaru. Yaitu NU dan kolonil Belanda tetap saling menghormati, suatu sikap yang mirip dengan Muhammadiyah yang menerima subsidi dari pemerintah Belanda. Sehingga pada tahun 1928, pada muktamarnya di Menes Banten, NU menyatakan Hindia Belanda sebagai “Dar al-Islam” artinya negeri yang dapat diterima oleh Umat Islam. Dengan alasan bahwa Indonesia adalah penduduk Muslim dapat melaksanakan Syari’at, dan syari’at Islam dijalankan oleh para
17
Andree Feillard, Islam at Armee Dans L’indonesie Contemporaine Les Pionniers de la Tradition’ Terj. Lesmana, NU vis-avis Negara Pencarian Isi, Bentuk dan Makna, (Yogyakarta: LkiS, 1999), hlm. 16. 18 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren.....,op. cit., hlm. 98.
46 pegawai yang juga Muslim dan negeri ini sebelumnya adalah dikuasai oleh orang-orang Islam.19
2. Kontribusi Hasyim Asy’ari Terhadap Kemerdekaan Republik Indonesia Pada tanggal 22 oktober 1945, delapan Minggu setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, terjadi peperangan di Surabaya. Untuk memobilisir dukungan umat Islam, Hasyim Asy’ari mengeluarkan fatwa untuk mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia. Mengenai fatwa tersebut sebagai berikut:20 a. Kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus wajib dipertahankan. b. Republik Indonesia, sebagai satu-satunya pemerintahan yang sah harus dipertahankan dengan harta dan jiwa c. Musuh-musuh Indonesia khususnya orang-orang Belanda yang kembali ke Indonesia dengan menumpang pasukan sekutu sangat mungkin ingin menjajah kembali bangsa Indonesia d. Umat Islam terutama anggota NU harus mengangkat senjata melawan Belanda dan sekutunya yang ingin menjajah kembali bangsa Indonesia. e. Kewajiban jihat merupakan keharusan bagi setiap orang Islam yang tinggal dalam radius 94 kilometer. Adapun mereka yang tinggal diluar radius harus membantu secara material terhadap mereka yang berjuang. Fatwa Hasyim Asy’ari ini diyakini telah mengilhami para santri dalam meningkatkan perlawanan mereka terhadap kaum kolonialisme, setelah pasukan sekutu berhasil memaksa Jepang keluar dari Jawa pada tahun 1945, ketika Belanda hampir menguasai kembali sebagian besar kota Surabaya, kota terpenting di Jawa Timur yang selanjutnya dikenal dengan “kota pahlawan”
19 20
Tamyiz Burhanudin, op. cit, hlm. 18 Slamet Efendi Yusuf dkk, Dinamika Kaum Santri, (Jakarta: Rajawali Press, 1983), hlm 38
47 dikarenakan perlawanan Hasyim Asy’ari beserta santri-santrinya.21 Aksi noncooperative Hasyim ini bisa terlihat di awal ketika Beliau melarang masyarakat untuk Seikeirei.22 Fatwa tersebut juga dikuatkan dengan karisma Hasyim Asy’ari dan perlunya berperang melawan orang-orang kafir. Jadi perang kemerdekaan dipandang sebagai perang suci di jalan Allah (Jihat Fi Sabilillah).23 Jadi, sampai saat ini perang ini masih dipandang sebagai perang terbesar dalam sejarah Indonesia modern sehingga 10 november diperingati sebagai hari Pahlawan. Dari fenomena di atas, bahwa Hasyim Asy’ari dalam rangka meraih kemerdekaan, beliau bekerja sama dengan kalangan pemimpin nasionalis sekuler, misalnya Bung Tomo, Figur utama sosialis dari Barisan Pemberontak Republik Indonesia yang berhasil membangun solidaritas nasional melalui siaran radio. Hal ini juga kalangan nasionalis sekuler mau juga bekerja sama dengan para ulama untuk kepentingan bersama.24
C. Karya-Karya Hasyim Asy’ari Hasyim Asy’ari dalam kesehariannya tidak hanya disibukkan dengan mengajar dengan oral method, akan tetapi juga mengungkap gagasannya melalui berbagai tulisan yang sampai saat ini dapat dilihat. Di antara beberapa karya tulisnya yaitu:25
21
Abdurrahman Mas’ud, Intelektual Pesantren....,op. cit, hlm.229 Seikeirei adalah sikap hormat terhadap Kaisar Jepang dengan cara menundukkan badan (Tenno Heika) yang dipercayai oleh masyarakat Jepang sebagai keturunan dari Dewa Matahari 23 Jihad dalam arti luas adalah segala usaha yang sungguh-sungguh dalam berbagai hal yang positif, tetapi, kata ini lebih banyak berkonotasi perang membela agama 24 Lathiful Khuluq, Fajar Kebangunan Ulama’..., op. cit, hlm. 112 25 Hasyim Asy’ari, Adab al-Alim Wa al-Muta’allim, (Jombang: Tebuireng, 1238 H), hlm. 6-7 22
48 1. Adab al-Alim wa al-Muta’allim. (Berisi uraian tentang tatacara pencarian ilmu, proses belajar mengajar yang berkaitan dengan akhlak murid dan guru dan berbagai aspek yang mellingkupinya). 2. Al-Ziyadah al-Ta’liqat (Berisi jawaban terhadap Syekh Abdullah Bin Yasin dari Pesuruan yang menghina NU). 3. Al-Tanbihat al-Wajibat li man Yasna’ al-Maulida bi-Almungkarat 4. Al-Risalah al’Jami’ah Yang berisi tentang uraian keadaan orang mati dan tanda-tanda hari kiamat dan penjelasan tentang sunnah dan bid’ah 5. Al-Nur al-Mubin fi Mahabbah Sayyid al-Mursalin (Berisi tentang arti cinta kepada Rasulullah dan hal-hal yang berkaitan dengan tersebut) 6. Hasyiah ala fathi al-Rahman bi al-Syarh al-Risalah al-Wali rislan Syekh alIslam Zakariya al-Ansori 7. Al-Tibyan fi al-Nahyi an-Muqata’ati al-Irhami waal-Aqoribi waal-Ihkwan Berisi tentang uraian pencegahan terhadap silaturrrahmi, baik dengan tetangga dekat ataupun dengan sahabat-sahabatnya. 8. Al-Risalah al-Tauhidiyyah Naskah kecil ini, berisi tentang uraian mengenai penjelasan aqidah bagi Ahlusunnah wa-Aljama’ah 9. Al-Qala’id fi Bayani ma yajibu min Al-Aqoid Secara global, kitab Adab Al-alim wa Al-Muta’allim ini membahas empat persoalan pokok: a. tentang keutamaan pendidikan, b. Pendidikan akhlak bagi santri, c. Akhlak bagi guru, d. Akhlak kepada kitab. Perlu diketahui, penulisan kitab ini dilatar belakangi oleh penulisan bahwa akhlak merupakan komponen yang sangat penting. Seluruh amal keagamaan, baik yang berkaitan dengan persolan hati maupun badan, ucapan maupun perbuatan,
49 tidak bisa dianggap sah atau maksimal tanpa disertai kebaikan akhlak. Terpuji dan tidaknya sifat dan baik tidaknya budi pekerti merupakan tanda terima tindak sebuah ibadah di akhirat kelak26.
D. Pemikiran Hasyim Asy’ari tentang Etika Murid terhadap guru Menilik dari periodesasi di atas, Hasyim Asy’ari yang hidup pada tahun 1871-1947 termasuk ulama yang sudah memasuki zaman baru (modern). Pada saat ini situasi dan kondisinya sudah banyak pemikiran pembaharuan dari tokohtokoh Islam dan adanya penjajahan Belanda yang memperkenalkan
sistem
pendidikan modern. Sebagai pemimipin pesantren terkemuka, Hasyim Asy’ari banyak menjadi rujukan ulama lainnya terutama di Jawa dan Madura. Ia merasa terpanggil untuk menulis sebuah kitab yang memberikan pelajaran tentang etika bagi pendidik dan murid di tengah-tengah upaya moderisasi yang melingkupinya. Kitab yang dimaksud adalah Adab al-Alim wa al-Muta’allim yang di dalamnya merupakan materi yang diajarkan ulama klasik dan beberapa pemikiran Hasyim Asy’ari sendiri. Dalam kitab tersebut, Hasyim Asy’ari sangat menekankan adanya etika murid terhadap guru. Hal ini sebagaimana tujuan penulisan kitab ini yang dilatar belakangi oleh memudarnya nilai-nilai etika karena adanya arus modernisasi dan pembaharuan. Namun demikian, dari beberapa konsep yang ada dalam kitab ini merupakan konsep yang ada pada kitab-kitab sebelumnya. 27
26
Ibid., hlm. 11-12 satu hal yang perlu di sampaikan di sini, mengingat bahwa pokok bahasan kitab ini hampir sama dengan kajian Ta’lim al-Muta’allim dan Adab nya Al-Ghazali, maka ada kemungkinan kitab tersebut yang di susun Hasyim Asy’ari merupakan salinan dari kitab-kitab terdahulu. Permasalahan yang sulit untuk diungkap, mengingat banyak sekali terjadi persamaan dalam karya-karya ilmiah. Karena menurut Azyumardi Azra, persoalan orisinalitas dalam suatu karya ilmiah bukanlah perkara mudah, apalagi di lapangan keilmuan agama yang dilingkupi batasan relatif buku. Di sini terlihat bahwa karya yang datang belakangan seolah-olah mengulangi apa yang pernah ditulis dan disampaikan ulama’ sebelumnya. Adanya orisinalitas seratus persen menurut Azyumardi Azra sulit diharapkan karena sudah berbaur dengan berbagai macam keilmuan, sehingga terjadi proses kreatif, sejak pemahaman terhadap apa yang ditulis pengarang asal, perenungan sampai pengungkapan 27
50 Berangkat dari pernyataan di atas, apabila diteliti lebih jauh, maka terdapat pembahasan mengenai etika murid terhadap guru yang tercantum dalam berbagai ulasan yang ada dalam kitab Adab al-Alim wa al-Muta’allim.28 Mengenai pemikiran Hasyim Asy’ari tentang etika murid terhadap guru yang tertuang dalam kitab Adab al-Alim wa al-Muta’allim yang merupakan pokok pembahasan dalam judul ini. Adapun pemikiran Hasyim Asy’ari tentang etika murid terhadap guru adalah sebagai berikut .a Hendaknya seorang murid meneliti terlebih dahulu dengan meminta petunjuk kepada Allah siapa guru yang harus diambil dengan mempertimbangkan akhlak dan etikanya
ﻳﻨﺒﻐﻰ ﻟﻠﻄﺎﻟﺐ ﺍﻥ ﻳﻘﺪﻡ ﺍﻟﻨﻈﺮ ﻭﻳﺴﺘﺨﲑ ﺍﷲ ﻓﻴﻤﻦ ﻳﺎﺀﺧﺬﺍﻟﻌﻠﻢ ﻋﻨﻪ ﻭﻳﻜﺘﺴﺐ 29
ﺣﺴﻦ ﺍﻷﺧﻼﻕ ﻭﺍﻷﺩﺏ ﻣﻨﻪ
Dengan konsep di atas, sangat jelas bahwa murid di tuntut untuk hatihati memilih guru dalam belajarnya. Hal ini akan berakibat pada murid sendiri. b. Memperhatikan apa yang menjadi haknya dan tidak melupakan keutamaan dan kebaikannya, serta mendoakan gurunya baik ketika ia hidup atau ia meninggal dan memelihara kekerabatan dan keturunannya.
ﺓ ﺣﻴﺎﺗﻪ ﻭﺑﻌﺪ ﳑﺎﺗﻪ ﻭﺃﻥ ﻳﺪﻋﻮ ﻟﻪ ﻣﺪ,ﺃﻥ ﻳﻌﺮﻑ ﻟﻪ ﺣﻘﹼﻪ ﻭﻻ ﻳﻨﺴﻰ ﻟﻪ ﻓﻀﻠﻪ 30
ﻳﺘﻪ ﻭﺃﻗﺎﺭﺑﻪﻭﻳﺮﺍﻋﻰ ﺫﺭ
kembali dalam bentuk karya tulis. (Lihat; Azyumardi Azra, Kitab Kuning; Tradisi dan Epistimologi Keilmuan Islam di Indonesia, Dalam Majalah Santri / 01/11 Juni 1996, hlm. 62-64) 28 Hasyim Asy’ari, Al-adab Al-alim Wa al-Muta’allim, (Pesantren Tebuireng: Jombang, 1238 ), hlm. 30-73 29 Ibid, hlm. 29 30 Ibid, hlm. 30
51 Hubungan yang dimaksud adalah adanya keterkaitan secara interen dan erat tidak hanya dalam artian lahir, akan tetapi juga batin. Jadi inilah yang menjadi bukti, bahwa pemikiran Hasyim Asy’ari sangat humanis dan bersifat religius, sehingga apa yang menjadi ajarannya menjadi bahan acuan yang sangat penting dalam mengembangkan komunitas pendidikan yang respec terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan relegiusitas dalam kehidupan. c. Hendaknya memandang gurunya dengan penuh ketulusan dan ketakziman serta menyakini bahwa guru mempunyai kualitas dalam mengajar.
ﻭﺍ ﹼﻥ ﺫﻟﻚ,ﺃﻥ ﻳﻨﻈﺮ ﺍﻟﻴﻪ ﺑﻌﲔ ﺍﻻﺟﻼﻝ ﻭﺍﻟﺘﻌﻈﻴﻢ ﻭﻳﻌﺘﻘﺪ ﻓﻴﻪ ﺩﺭﺟﺔ ﺍﻟﻜﻤﺎﻝ 31
ﺃﻗﺮﺏ ﺍﱃ ﻧﻔﻌﻪ
Konsekuensi dari konsep ini adalah profesionalisme guru
harus
benar-benar qualified baik secara keilmuan yang menjadi spesifikasi maupun keilmuan pendukung lainnya. Dengan demikian guru mempunyai otoritas yang efektif dalam proses belajar mengajar pada akhirnya akan menjadikan pendidikan berjalan secara maksimal. Dengan kata lain, seorang guru dituntut untuk komimen terhadap profesionalisme dalam mengemban tugasnya. Karena seorang guru bisa dikatakan profesional apabila dalam dirinya terdapat sikap dedikatif yang tinggi terhadap tugasnya, sikap kometmen terhadap mutu dan hasil kerja serta sikap continous improvemen, yaitu selalu berusaha memperbaiki dan memperbaharui model-model atau cara kerjanya sesuai dengan tuntutan zamannya. Yang dilandasi oleh kesadaran yang tinggi bahwa tugas mendidik adalah tugas menyiapkan generasi penerus yang akan hidup pada zamanya di masa depan.32 d. Murid tidak diperkenankan memanggil gurunya dengan sebutan namanya atau dengan Dhomir mukhotobah.
31
Ibid, hlm Ingat pernyataan Sahabat Ali Bin Abi Tholib “ Allimuw Auladakum Makhluquna lizamani Ghairi Zamanikum 32
52
ﻭﻻ ﳜﺎﻃﺐ ﺷﻴﺨﻪ ﺑﺘﺎﺀ ﺧﻄﺎﺏ ﻭﻛﺎﻓﻪ
33
Penekanan ini akan berpengaruh terhadap kewibawaan guru dan menjadikan hubungan yang saling menghormati dan menumbuhkan dedikasi yang besar dalam lingkungan pendidikan. Bagaimana egaliter dan demokratisnya proses pendidikan, tetap menumbuhkan sikap dan prilaku yang beretika dan berakhlak. Dengan demikian, sikap dan prilaku yang diwujudkan ini bukan berarti tidak demokratis dan egaliter, akan tetapi lebih dipahami sebagai bagian dari penumbuhan tingkat kedewasaan dan sikap mental yang baik bagi anak didik. e. Hendaknya murid dilarang masuk keruangan guru tanpa izin, dan menghilangkan bau serta memakai pakaian rapi ketika berada di ruang belajar.
ﻭﻳﺪﺧﻞ ﻋﻠﻰ.ﻠﺲ ﺍﻟﻌﺎﻡ ﺍﻻﹼﺑﺎﺳﺘﺌﺬﺍﻥﺍﻥ ﻻﻳﺪﺧﻞ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺸﻴﺦ ﰱ ﻏﲑﺍ 34
.ﺍﻟﺸﻴﺦ ﻛﺎﻣﻞ ﺍﳍﻴﺌﺔ ﻣﻄﻬﺮﺍﻟﺒﺪﻥ ﻭﺍﻟﺜﻴﺎﺏ ﻟﻘﺼﺪﺍﻟﻌﻠﻢ
Penjelasan ini menunjukkan bahwa Hasyim Asy’ari mencoba memberikan bimbingan dan proses belajar hendaknya dilakukan secara baik dan rapi, beretika dan disiplin. Masalah penampilan merupakan hal yang mendapat perhatian karena menyangkut keberhasilan pendidikan afektif – psikomotorik. f. Hendaknya murid jangan bicara ketika guru sedang menyampaikan materi atau memotong pembicaraannya. 35
.ﻭﻻﻳﺘﻜﻠﻢ ﰱ ﺃﺛﻨﺎﺀ ﺩﺭﺱ ﲟﺎﻻﻳﺘﻌﻠﻖ ﺑﻪ ﺍﻭ ﲟﺎ ﻳﻘﻄﻊ ﻋﻠﻴﻪ
Kaitannya dengan penciptaan suasana belajar mengajar Hasyim Asy’ari melarang muridnya memotong pembicaraan guru sebelum selesai berbicara. 33
Ibid, hlm. Ibid, hlm. 32-33 35 Ibid, hlm. 35 34
53 Begitu juga tidak diperkenankan berbicara dengan orang lain sementara guru sedang mengajar. .g Hendaknya murid memilih orang yang dipandang berilmu serta etika dan akhlaknya baik dalam belajarnya
ﻳﻨﺒﻐﻰ ﻟﻠﻄﺎﻟﺐ ﺍﻥ ﻳﻘﺪﻡ ﺍﻟﻨﻈﺮ ﻭﻳﺴﺘﺨﲑ ﺍﷲ ﻓﻴﻤﻦ ﻳﺎﺀﺧﺬﺍﻟﻌﻠﻢ ﻋﻨﻪ ﻭﻳﻜﺘﺴﺐ 36
ﺣﺴﻦ ﺍﻷﺧﻼﻕ ﻭﺍﻷﺩﺏ ﻣﻨﻪ
Dengan konsep di atas, sangat jelas bahwa murid di tuntut untuk hatihati memilih guru dalam belajarnya. Hal ini akan berakibat pada pada murid sendiri. h. Hendaknya orang yang akan dijadikan guru itu adalah harus beryari’at yang baik serta di akui kemampuannya oleh guru-guru lainnya.
ﳚﺘﻬﺪ ﺍﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﺍﻟﺸﻴﺦ ﳑﻦ ﻟﻪ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻌﻠﻮﻡ ﺍﻟﺸﺮﻋﻴﺔ ﲤﺎﻡ ﺍﻟﻄﻼﻉ ﻭﻟﻪ ﳑﻦ 37
Karena
profesi
seorang
guru
.ﻳﻮﺛﻖ ﺑﻪ ﻣﻦ ﻣﺸﺎﻳﺦ ﻋﺼﺮﻩ
tidak
boleh
mengabaikan
kewajibannya. Ia wajib bekerja untuk dapat menghasilkan ilmu yang berkelanjutan, serta banyak membaca, menelaah, berfikir dan berdiskusi. Hal ini dilakukan karena derajat seorang guru yang alim sama dengan derjata para ulama’. i. Hendaknya murid bersikap sopan santun di depan gurunya. 38
ﺍﻥ ﳚﻠﺲ ﺍﻣﺎﻡ ﺍﻟﺸﻴﺦ ﺑﺎﻷﺩﺏ
Dalam hal ini, bagaimana murid duduk dan bersikap dengan sopan ketika berhadapan dengan gurunya, lebih-lebih dalam proses belajar mengajar yang sedang berlangsung. j. Hendaknya murid berlemah lembut kepada gurunya dalam berbicara. 36
Ibid,hlm. 29 Ibid.. 38 Ibid, hlm. 34 37
54 39
.ﺍﻥ ﳛﺴﻦ ﺧﻄﺎﺑﻪ ﻣﻊ ﺍﻟﺸﻴﺦ ﺑﻘﺪﺭﺍﻻﻣﻜﺎﻥ
Dari sini dapat di lihat, bahwa seorang murid menunjukkan sikap akhlak yang baik terutama kepada gurunya, yaitu berupaya menyenangkan hati sang guru, serta tidak menunjukkan sikap yang memancing ketidaksenangan sang guru. Dari pemaparan di atas, bisa ditarik kesimpulan bahwa etika murid terhadap guru menurut Hasyim Asy’ari adalah etika yang bersifat kemitraan yang didasarkan pada pada nilai-nilai etika, demokratis, keterbukaan, kemanusiaan dan saling pengertian. Karena dalam etika tersebut eksistensi murid diakui dan dihargai. Etika murid terhadap guru yang dirumuskan oleh Hasyim Asy’ari tersebut di atas tampak masih cukup relevan untuk diaplikasikan dalam kegiatan proses belajar mengajar di masa sekarang, kerena etika tersebut tersebut di samping tidak membunuh kreativitas murid, juga dapat mendorong terciptanya akhlak yang mulia di kalangan pelajar, dalam hal ini juga menjadi cita-cita dan tujuan pendidikan Islam.
39
Ibid, hlm. 36