BAB III NOVEL SANG PELOPOR KARYA SUGENG (ALANG-ALANG TIMUR)
A. Biografi Sugeng (Alang-Alang Timur) Sugeng lahir di Klaten pada tanggal 8 Agustus 1979. Ia mulai belajar menulis sejak TK, yaitu menulis rangkai indah di bawah bimbingan Ibu Sitti. Usai menamatkan pendidikan terakhir di SMP Negeri 1 Bayat, Klaten, dia melakukan satu lompatan besar dengan berguru di universitas kehidupan, sebuah kampus yang tidak pernah memberikan ijazah, apalagi gelar.1 Sebagai seorang penulis banyak kegiatan yang dilakukan oleh Sugeng saat ini. Diasering menghadiri acara bedah buku, bincang sastra ataupun seminarseminar baik di bidang kepenulisan ataupun bisnis. Diajuga terkadang memberi pelatihan kepenulisan di kampus-kampus ataupun bookstore yang bekerjasama dengan penerbit.2Selain sebagai penulis, dia juga seorang wiraswastawan yang mempunyai usaha distributor alat peraga pendidikan. Dengan bendera E-Kids dengan area pemasaran sementara ini di lingkup DIY dan juga Klaten. Selain mengkoordinasi bagian produksi, ia juga memegang jabatan di bagian marketing. 3 Adapun di bidang sosial, Sugeng adalah sekertaris di Koperasi simpan pinjam syariah di Klaten. Munculnya Koperasi simpan pinjam ini dilatarbelakangi oleh banyaknya saudara-saudara di sana yang terjebak rentenir. Hal ini
1 2
Sugeng, Sang Pelopor, (Jogjakarta: Diva Press, 2008), hlm. 353. Hasil Wawancara dengan Sugeng, Penulis Novel Sang Pelopor, Via E-mail, 29 September
2013. 3
Ibid.,
42
43
mendorong Sugeng dan teman-temannya untuk mendirikan sebuah koperasi simpan pinjam yang bebas riba. Dengan asas kepercayaan dan saling membantu, koperasi ini berkembang dengan pesat. Sejak koperasi ini berdiri telah banyak saudara yang terbantu dalam kehidupannya, terutama kehidupan keuangannya. Mereka beralih pinjamannya dari rentenir ke Koperasi sebab tidak memakai bunga sama sekali. 4 Sugeng memakai nama pena Alang-Alang Timur (AAT). Dia memakai nama pena Alang-Alang Timur bukannya tanpa alasan. Bukan karena lebih keren ataupun karena tidak pede dengan nama asli. Sugeng hanya berfilosofi kepada padi, banyak orang karena sudah merasa memiliki karya dan di baca banyak orang lalu dia sudah merasa menjadi „padi‟ yang banyak manfaat dan banyak di butuhkan. Sugeng hanya merasa menjadi alang-alang supaya tidak sombong dan tidak cepat puas terhadap pencapaian. Adapun kata „timur‟ ia adaptasi bahwa kita sebagai orang timur supaya tidak lupa akan adat „ketimuran‟. Ia berjanji dalam karya-karyanya untuk tidak vulgar dan tetap berpegang teguh bahwa kita ini orang timur yang menjunjung tinggi adat ketimuran. Selain itu nama „Alang-Alang timur‟menurutnya lebih marketeble dari pada nama asli. 5 Lebih menariknya lagi masa kecil penulis. Sugeng bukanlah orang yang lahir di tengah keluarga berkelimpahan, apa-apa ada dan tinggal meminta. Sugeng juga bukan orang yang tumbuh dengan kasih sayang yang sempurna dari keluarga tercinta. Sejak kelas dua SD, ayah beliau meninggal dunia. Kemudian beliau pun ikut kakak sulungnya.Ketika SMP, Sugeng biasa bekerja sambil sekolah, dan bisa 4 5
Ibid., Ibid.,
44
menabung sedikit uang untuk makan.Sebuah tempaan atau pendidikan dari Sang Khalik yang telah berhasil membentuk pribadi Sugeng saat ini, yang karyanya tidak hanya dibaca, tetapi juga menginspirasi ribuan orang yang membacanya. 6 Sebagai seorang penulis Sugeng telah menghasilkan beberapa karya. Karya-karya Sugeng diantaranya, Novel Sang pelopor, Novel Titian Sang Penerus, Cup of Tea, secangkir teh penyejuk bagi jiwa yang lelah (kisah-kisah dalam kehidupan rumah tangga), Taubatnya Seorang Pelacur, Kisah-kisah Islam inspiratif pilihan, Lancar Membaca, tanpa mengenal huruf, tanpa mengeja (buku anak-anak), Dongeng seru dunia binatang (buku anak-anak, fabel inspiratif), Ca Ba Ca , belajar membaca dengan metode „enter‟ -best seller- (buku anak-anak), Si Kancil dan 55 dongeng pilihan –full colour edition- (buku anak-anak, mengajar budi pekerti lewat fabel) dan beberapa karya yang dalam proses penerbitan.7 Dahulu, penulis mengira, keterpurukan karena tidak bisa melanjutkan sekolah dan terlemparnya impian ke keranjang sampah akan membuatnya mati. Hidup tanpa makna. Tetapi, akhirnya ia tersadar bahwa masih ada satu hal yang bisa dilakukan, selain mengarungi nasib. Menyemangati adik-adik untuk tetap bersekolah dan menjadi yang terbaik bagi bangsa. 8 Motivasi Sugeng dalam menulis hanya sekadar ingin berbagi kepada pembaca. Berbagi cerita, berbagi inspirasi dan tentu saja berbagi spirit. Selebihnya menulis baginya adalah hiburan, sebab dengan menulis setengah
6
Agus Riyanto. “Menembus Keterbatasan. http://agusriyanto.wordpress.com/2009/02/08/ menembus-keterbatasan/. (08 Pebruari 2009). Diakses, 13 Juni 2013. 7 Hasil Wawancara dengan Sugeng, Penulis Novel Sang Pelopor, Via E-mail, 29 September 2013. 8 Ibid.,
45
„penyakit jiwa kita‟ (uneg-uneg) tersalurkan. Sugeng menambahkan menulis adalah obat awet muda yang murah meriah. 9 Seraya berusaha untuk terus menulis, kini ia mengukir kehidupan bersama Yuliatie, seorang wanita luar biasa yang sekaligus menjadi istrinya. Sebagai ayah, penulis pun menempatkan diri sebagai sahabat bagi dua mujahidah kecilnya, Ayesha Zalfa Khairunissa dan Naila Ansharya Khairunissa. 10 B. Gambaran Umum Novel Sang Pelopor 1. Latar Belakang pembuatan novel Sang Pelopor Novel Sang Pelopor merupakan novel perdana Sugeng (Alang-Alang Timur) yang diterbitkan pada bulan Desember 2008 oleh Diva Press. Dalam novelnya, Sugeng mengangkat tema pendidikan. Novel Sang Pelopor bersetting di desa Nengahan Jawa Tengah. Dalam penulisan novel Sang Pelopor terdapat beberapa hal yang melatar belakangi cerita di dalamnya. Berikut latar belakang penulisan novel Sang Pelopor:11 Berawal ketika Sugeng (penulis novel Sang Pelopor) sekolah di jenjang SMP, dia mempunyai seorang guru yang menakutkan namanya pak Hermanto (sesuai yang ada di novel). Apabila guru ini masuk kelas maka seluruh siswa di dalam kelas langsung hening, sebab ada suara sedikit saja maka sang guru ini langsung marah. Lebih parah lagi apabila ada siswa yang salah ketika di suruh maju ke depan kelas. Maka tidak segan-segan guru berkumis lebat ini akan memukul dengan penggaris sehingga menyebabkan murid-murid menjadi takut.
9
Ibid Sugeng, op. cit. hlm. 354 11 Hasil Wawancara dengan Sugeng, Penulis Novel Sang Pelopor, Via E-mail, 29 September 2013. 10
46
Ternyata ketakutan penulis begitu kuat hingga masuk alam bawah sadarnya. Sampai sekarangpun penulis menyatakan masih sering dihantui mimpi buruk tentang gurunya tersebut. Penulis merasa seperti dikungkung di sebuah ruang besar (yang disebut ruang kelas) dan guru ini marah-marah karena siswa salah dalam mengerjakan tugas di depan kelas. Menurut Sugeng minimal ada dua guru yang sangat tidak disukai, yang pertama adalah yang disebut di atas, yang kedua adalah guru yang spontanitas memakai kekerasan (menampar)ketika melihat kesalahan muridnya. Belum tahu duduk permasalahannya langsung main tangan. Menurut penulis, semua guru baik, mungkin itu hanya segelintir guru yang kurang baik atau mungkin tujuannya baik tapi cara yang dia gunakan saja yang kurang baik. Di kemudian hari penulis mengetahui, bahwa pengajaran seperti itu ternyata kurang benar. Ada sebuah cara yang lebih cerdas untuk menghukum sang murid yang melakukan kesalahan. Apabila menghukum murid dengan kekerasan, maka siswa tidak akan jera bahkan sebaliknya dia akan dendam. Itu diakui oleh teman-teman yang terkena tendangan atau gamparan sang guru. Saat itu penulis berandai-andai, seandainya hukumannya bukan fisik maka tentu lebih bisa diterima. Contohnya dengan nasihat ataupun dengan hikmah seperti yang di lakukan oleh sahabat penulis yang sekarang menjadi guru. Ketika ada siswa yang membolos bukan hukuman fisik yang di dapat, tetapi siswa itu akan diberikan nasihat, seperti cerita yang ada di dalam novel Sang Pelopor (siswa yang sering membolos dengan orang tuanya yang bekerja sebagai tukang bangunan), cerita ini merupakan cerita nyata dan ternyata hukuman seperti ini sangat mengena di hati siswanya.
47
Adapun latar belakang kedua, penulis menulis novel Sang Pelopor yaitu karena Sugeng mendapati banyak siswa (teman sekolah) yang cerdas-kreatif, tetapi karena keterbatasan akses dan biaya maka kecerdasan dan ke-kreatifannya menjadi mandul. Ada seorang teman yang membuat listrik micrihidro dari dinamo bekas yang di putar lewat aliran air hujan di bawah talang dan ternyata lampunya bisa menyala (pembangkit listrik tenaga pancuran). Listrik tenaga angin yang apabila kita memasang baling-baling kipas yang terhubung dinamo di belakangnya di ketinggian lebih dari dua puluh meter, di mana angin berputar stabil, maka rumah kita bisa terang benderang dengan listrik gratis. Fotofoltaek (panel pembangkit listrik tenaga surya) dari elco bekas yang di kelupas kulitnya yang bisa mengantarkan listrik 1,5 volt (setara satu baterai ABC), dan lain-lain. Ketiga, novel Sang Pelopor hadir sebagai apresiasi bagi sahabat-sahabat dan adik-adik yang dengan gagah berani menghadapi segala kendala-kendala (khususnya kendala keuangan) untuk tetap bisa bersekolah. Ada yang „ngenger‟ di tempat orang kaya atau juga yang „nyambi‟ bekerja demi meraih pendidikan. Kalau di kota-kota besar mereka rela berjualan koran, asongan atau mungkin membantu cuci piring di warung makan demi merengkuh bangku sekolah. Kalau di desa seperti di desa penulis, mencari kayu bakar atau menjadi buruh tani. Selain itu, kesenangan penulis tentang listrik dan ketidaksukaannya pada sistem pengajaran yang salah, sangat mewarnai novel Sang Pelopor karya Sugeng. 2. Tema Novel Sang Pelopor adalah novel Motivasi yang di dalamnya bertemakan tentang pendidikan.
48
3. Tokoh dan Penokohan Selanjutnya, berikut tokoh-tokoh utama (empat sekawan) dalam Novel Sang Pelopor: a. Muhammad Ali: Tokoh „aku‟ dalam novel Sang Pelopor yang biasa disapa Ali oleh teman-temannya. Sosok Ali yang berambut kriting ini mempunyai tekad yang kuat untuk menjadi orang yang pintar dan lebih baik dari siapapun. b. Sukar: Salah satu anggota dari empat sekawan. Ia mempunyai rambut gimbal seperti setahun tidak keramas. Kulitnya legam, selegam pekerjaannya seharihari, yaitu membantu bapaknya di sawah. Diceritakan bahwa Sukar mempunyai jiwa putih. Wajahnya bulat telur dengan telinga agak besar sebelah. Sukar adalah anak yang luar biasa karena setiap usai sekolah dia bermain dengan cangkul, bajak, dan panasnya mentari siang. Dia pantang mengeluh karena menurutnya orang yang suka mengeluh itu pertanda orang yang tidak percaya pada kemampuan sendiri. Selain itu, dia juga pandai, pandai membaca Alquran dan paling jago main benthik(permainan tradisional khas Jawa Tengah). Meskipun orangnya suka cengengesan. c. Sulthan: Anak yang sangat suka dengan kelistrikan ini mempunyai perawakan yang tinggi, jangkung, kurus dengan rambut keriting. Kulitnya agak terang bila dibandingkan dengan anggota empat sekawan lain. Sulthan yang hobi dengan sambal ini juga pandai bermain cirak kemiri. Sulthan cenderung pendiam. Namun, dari diamnya itu muncul ide-ide luar biasa. d. Seno : Sosok Seno yang pendek, gendut, hitam dengan rambut agak ke atas menantang matahari, namun ia mempunyai hati yang bersih. Dia selalu
49
membantu teman-temannya yang sedang membutuhkan. Hal ini dikarenakan Seno adalah anak yang paling mampu diantara tiga anggota empat sekawan yang lain. Tokoh-tokoh lain dalam novel (Guru-guru Madrasah Kampung Sawah): a. Pak Hadi: sosok tua yang bertubuh jangkung dengan rambutnya yang sudah memutih, Arif, bijaksana, baik, rela berkorban, penyayang, lembut, perawakan tinggi, tanpa pamrih, pengabdian total demi kemajuan desa, sederhana, ikhlas, dan semangat memberi. Guru yang hatinya mudah tersentuh, kepala sekolah yang begitu perhatian kepada semua siswanya. b. Bu Murni: Guru matematika yang cantik dan mempunyai kulit putih. Dari sikap lembut
dan pengertiannya membuat
anak didiknya mencintai
matematika, pelajaran yang selama ini dibencinya. c. Bu Kasmini: Guru berparas cantik, cerdas, dari keluarga baik-baik, dan salatnya rajin, beliau sang motivator yang mampu menyemangati anak didiknya. d. Ustad Zahid dan Ustad Fairuz: Guru ngaji tanpa status di Madrasah Kampung Sawah, yang merupakan lulusan sebuah institusi Islam yang terkenal di Yogyakarta yang mempunyai jiwa dan semangat pengabdian yang tinggi. 4. Alur Alur yang digunakan dalam novel Sang Pelopor adalah alur campuran. Yakni perpaduan antara alur maju dan mundur. Hal ini digambarkan dengan jalan cerita dalam novel yang maju ke depan kemudian di tengah-tengah cerita ada bagian yang menceritakan kembali pada masa lalu.
50
5. Latar (Setting) Beberapa tempat yang digunakan dalam novel Sang Pelopor adalah sebagai berikut: a. Desa Nengahan b. Madrasah Kampung sawah (Madrasah Ibtidaiyah Alfikri) c. Sekolah Dasar Negeri d. Bandara e. Sungai f. Pasar g. Bank h. bengkel 6. Sudut Pandang Novel Sang Pelopor ini memiliki sudut pandang orang pertama pelaku utama. Hal ini dikarenakan pengarang secara langsung terlibat di dalam cerita. Tokoh aku sebagai sentral atau pelaku utama dalam novel Sang Pelopor karya Sugeng (Alang-Alang Timur). 7. Konflik Konflik yang terjadi dalam novel Sang Pelopor adalah konflik batin. Konflik batin yang dialami oleh tokoh aku yang ingin bersekolah agar menjadi pintar tetapi setiap kali sampai di sekolah ia merasakan ketidaknyamanan dan ketidak semangatan karena perlakuan guru-guru yang menurutnya membuat sekolah menjadi sesuatu yang membosankan.
51
8. Gaya Bahasa Gaya bahasa yang digunakan dalam novel Sang Pelopor yaitu dengan menggunakan pemilihan diksi yang tepat, beberapa ungkapan dan majas yang menyentuh serta imajinasi yang tepat untuk menimbulkan kesan estetik dalam karya sastra. Seperti yang terlihat dalam kutipan berikut: Ku langkahkan kaki sepenuh semangat. Sejenak, wajah Tias menari-nari, membuat pagiku makin bercahaya. Ekor kudanya berayun-ayun bagaikan lambaian tangan bidadari. Aku harus segera mengenyahkan wajah lucu itu dari pelupuk mata. 9. Ringkasan Novel Sang Pelopor Novel Sang Pelopor bercerita tentang empat sekawan yang mempunyai ikatan persahabatan yang kuat seperti saudara. Apapun mereka lakukan bersama, dari berangkat dan pulang sekolah bersama, bermain bersama, hingga salat berjamaah di masjidpun bersama. Karena kuatnya ikatan persahabatan itu, maka ketika salah satu dari mereka dikeluarkan dari Sekolah Dasar Negeri tempat mereka belajar, mereka bertiga ikut serta keluar dari Sekolah tersebut agar bisa bersekolah bersama-sama seperti dahulu. Akhirnya mereka bersekolah di sebuah Madrasah yang sangat sederhana. Selain itu Madrasah tempat sekolahnya yang baru tersebut mempunyai jarak yang cukup jauh dari rumah mereka. Madrasah tersebut diberi nama Madrasah Kampung Sawah karena Madrasah tersebut terletak di perkampungan yang dikelilingi oleh areal persawahan, meskipun sebenarnya nama Madrasah itu adalah Madrasah Ibtidaiyah Al-Fikri. Di Sekolahnya yang baru, Madrasah Kampung Sawah ke empat sekawan itu merasakan sistem pendidikan yang benar-benar membuat mereka nyaman. Terutama perlakuan dari guru-gurunya yang sangat baik. Banyak perbedaan
52
antara sekolah negeri yang dulu dengan Madrasah Kampung Sawah. Di Madrasah Kampung Sawah mereka menemukan proses pendidikan yang sesuai dengan keinginan mereka. Misalnya, mereka bisa bermain karena Madrasah Kampung Sawah mengajarkan materi dengan bermain. Setiap pelajaran dilaluinya dengan gembira karena perlakuan dari guru yang begitu dekat dengan siswa, lembut, selalu memotivasi dan banyak hal yang lainnya yang tidak mereka temukan di Sekolah yang dulu. Sehingga di Madrasah Kampung Sawah mereka mampu mewujudkan cita-cita mereka untuk memberikan manfaat bagi masyarakat sekitar meskipun dalam keterbatasan. C. Usaha Guru dalam Menciptakan PembelajaranMenyenangkan dalam Novel Sang Pelopor Karya Sugeng (Alang-Alang Timur). Dalam novel Sang Pelopor terdapat beberapa hal yang berkaitan dengan bagaimana usaha guru dalam menciptakan pembelajaran menjadi menyenangkan. Diantaranya melalui dua pendekatan, yakni pendekatan kepribadian guru yang meliputi
sifat-sifat
guru
dan
pendekatan
pengkondisian
pembelajaran.
Kepribadian guru tersebut meliputi sikap bijaksana dan arif, ramah, sabar baik saat menyampaikan materi pelajaran maupun sabar ketika menghadapi siswa yang bermasalah, berakhlak baik, dapat menjadi teladan, selalu memotivasi siswanya, berdedikasi tinggi, mempunyai rasa kasih sayang terhadap siswanya. Selanjutnya untuk pendekatan pengkondisian pembelajaran yakni pembelajaran dilakukan di alam bebas, memberikan materi pelajaran dengan berbagai metode yang sesuai dengan materi dan mengaktifkan siswa.
53
1. Pendekatan Kepribadian Guru Dalam novel Sang Pelopor kepribadian guru mempunyai peran penting dalam proses pembelajaran, terutama dalam tercitanya pembelajaran yang menyenangkan. Pendekatan kepribadian guru ini ditunjukkan dengan beberapa sifat yang ditampilkan oleh guru-guru dalam novel Sang Pelopor. Sifat-sifat guru ini mampu membuat pembelajaran menjadi menyenangkan. a. Bijaksana dan Arif Bijaksana mempunyai makna selalu menggunakan akal budinya dan pengalamannya.12Ini berarti bahwa orang bijaksana adalah orang yang senantiasa menggunakan akal dan pikirannya dalam menghadapi atau memutuskan persoalan. Orang bijaksana dicirikan dengan tidak emosional dalam menghadapi sesuatu. Seperti halnya dalam novel Sang pelopor. Dalam novel Sang Pelopor diceritakan sosok guru yang mendapat panggilan guru bijak oleh siswanya dikarenakan guru tersebut mau menanggapi pertanyaan-pertanyaan dari siswanya. Sehingga siswa merasa senang karena mereka merasa guru mau bersimpati terhadap pertanyaan-pertanyaannya. Berikut kutipannya: Namun, diantara sekian guru, ternyata ada seorang guru yang mau meladeni pikiran-pikiran liar kami. Kami memanggilnya Bu Guru Bijak. Walaupun dengan keterbatasan ilmu dalam menanggapi pertanyaan kami, kami sangat menyukainya. “Bu Guru, generator itu apa?” tanya Sulthan. “Generator adalah alat yang bisa menghasilkan arus listrik ketika kumparannya berputar” Jawab Bu Guru Bijak. Namun, ketika ditanya lebih lanjut, dibuat dari apakah generator itu, Bu Guru Bijak hanya diam saja. Kami tetap senang, meski jawabannya belum memuaskan. Paling tidak, ada yang bersimpati dengan keingintahuan kami. 13 12
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2012), hlm. 190. 13 Sugeng, op. cit., h. 37
54
Dari kutipan di atas dapat dipahami bahwa sifat guru yang bijaksana lebih berkesan di hati siswanya. Siswa merasa gurunya mampu menjadi sahabat atau pendengar bagi dirinya. Selain itu, diceritakan bahwa guru yang bijaksana mampu menjadi penenang bagi siswanya. Seperti yang terdapat dalam kutipan novel Sang Pelopor berikut: “Kenapa teman kami dikeluarkan, Bu?” Guru kami yang baik itu berhenti menulis, lalu memandang kami semua. Dia diam sesaat. “Bapak Kepala Sekolah punya alasan yang masuk akal untuk mengeluarkan teman kalian. Dan, saya rasa itu lebih baik bagi kalian.” “Tapi, yang menyelipkan majalah di tas Sulthan itu saya, Bu . . .,” kata Sukar dengan jujur. “Lain kali jangan diulangi, ya?‟ kata Bu Guru Bijak, menasehati Sukar. “Tapi, kenapa sekolah tega memenggal kepala kami?!” “Maksud Ananda. . . ?” “Kami berempat adalah sahabat sejati. Lebih dari saudara. Bahkan, Kami bagaikan satu tubuh, satu jiwa. Kami tidak bisa sekolah tanpa kehadiran Sulthan di antara kami. . . !” “Anakku, di sekolah ini, kita satu keluarga. Jadi anggaplah semua teman sama. Bukankah teman kalian banyak?”14
Sebagai perbandingan, di dalam novel Sang Pelopor ditunjukkan pula kutipan yang menunjukkan guru yang tidak bijaksana, yakni guru yang selalu menanggapi pertanyaan siswa dengan nada meremehkan dan emosi. Berikut kutipannya; Di lain waktu, kami melontarkan pertanyaan-pertanyaan nyeleneh yang membuat para guru antipati mengajar di kelas 5B. “Pak Guru, kenapa air laut asin? Kok tidak manis?” “Kenapa saklar kalau ditekan off kok lampu mati? Tapi, kalau ditekan on, lampu menyala?” Begitulah pertanyaan nyeleneh-ku kepada Pak Bambang. Aku bertanya seperti itu karena ketika aku belajar di rumah Seno, kulihat ibunya menyalakan lampu dengan menekan saklar. Ruang tamu yang remangremang pun akhirnya menjadi terang benderang. Bukanya menjawab,
14
Ibid., hlm. 45
55
guru Bahasa Inggris itu menertawakan dan mengejekku sebagai anak kampungan. 15 “Negara kita kan kaya sumber minyak bumi, tapi kok malah impor dari Singapura untuk pemenuhan solar? Padahal, Singapura itu negara kecil yang tidak punya tambang minyak bumi. . . ,” tanya Sulthan di satu kesempatan. Sayang, temanku itu pun memperoleh tanggapan tak bersahabat. Bukan menjawab pertanyaan Sulthan, sang bapak guru malah marah dan mengumpatnya. “Tahu apa kamu tentang kebutuhan negara, hai anak kecil?!” demikian hardik guru kami itu. Begitu juga ketika Seno bertanya tentang nekatnya negara kita mengandalkan pasokan listrik dari generator berbahan bakar minyak dan batu bara yang jelas-jelas suatu saat akan habis. Padahal, Indonesia adalah negara tropis yang kaya akan sumber tenaga yang murah. Energi matahari, misalnya. Selama kurang lebih sembilan jam, Indonesia menerima energi gratis itu. Mendengar pertanyaan Seno, Bu Indri pun meradang. Memangnya ada hubungan apa antara pasokan listrik, energi matahari, dan pelajaran keterampilan?16 Sifat bijaksana dalam novel Sang Pelopor juga diceritakan pada sosok Pak Hadi. Secara jelas disebutkan Pak Hadi yang mempunyai sifat bijaksana. Seperti pada kutipan berikut “Wah, kalau itu Bapak belum pernah mencobanya. Mungkin, nanti bisa kamu coba sendiri. . . ,‟ jawab pak guru yang bijak itu dengan jujur, tanpa bermaksud mengecewakan Rustam.”17 Untuk sifat arif yang dimiliki seorang guru dalam novel Sang Pelopor di ceritakan oleh tokoh Pak Hadi. Dijelaskan dengan bahasa yang jelas bahwa pak Hadi adalah sosok yang arif. Kearifan pak Hadi ini disebabkan karena pak Hadi yang menjawab pertanyaan Tias seperti pada kutipan berikut “Dengan arif, Pak Hadi mencoba menjawab pertanyaan Tias”. Selain itu juga terdapat kutipan yang menunjukkan kearifan pak Hadi, seperti pada kutipan “Begitu arif, sedemikian 15
Ibid., hlm. 35 Ibid., hlm. 36 17 Ibid., hlm. 167 16
56
pengertian sang bapak guru memberikan satu kemudahan bagi langkah kami untuk meraih cita-cita. Di dalam kesulitan hidup yang menghadang, pengertian semacam itu begitu berarti bagi anak-anak desa seperti kami. Sungguh, itu adalah sebuah memori yang tak akan bisa lekang tergerus arus waktu”.18 b. Ramah Dalam novel Sang Pelopor diceritakan keramahan guru mempunyai pengaruh yang besar bagi siswa. Keramahan seorang guru memberi pengaruh dalam semangat tidaknya siswa menerima pelajaran. Seperti dalam kutipan novel berikut “tetapi, keterpurukan kami terbayar oleh senyum ramah kepala sekolah dan guru-guru kami yang baru”. 19 Kutipan tersebut terjadi ketika tokoh empat sekawan merasakan keraguan karena telah memilih pindah ke Madrasah Kampung Sawah. Mereka ragu ketika sesampainya di sana dan melihat bangunan fisik Madrsah Kampung Sawah yang tidak mirip dengan sebuah sekolah, artinya jauh dari kata bagus. Tetapi keraguan mereka menjadi hilang setelah kedatangan mereka disambut dengan senyum ramah dari guru-guru di Madrasah Kampung Sawah. Adapula kutipan yang menunjukkan bahwa keramahan seorang guru mampu membuat tenang hati siswanya, seperti pada kutipan “Ketika melihat kami datang, beliau langsung berdiri seraya menyalami kami. Satu senyuman terlukis begitu ramah dan hangat di bibirnya. . . senyum itu sungguh menentramkan hatiku . . .”.20Selain kutipan tersebut terdapat pula kutipan yang dengan jelas menunjukkan bahwa keramahan seorang guru mampu membesarkan cita-cita 18
Ibid., hlm. 225 Ibid., hlm. 51 20 Ibid., hlm. 191 19
57
siswa. Berikut kutipannya “Sekilas, senyum sang kepala sekolah tersungging begitu berarti bagi kami. Memberikan satu harapan yang seolah tak pernah putus ia pijarkan untuk masa depan setiap anak didiknya”. Adapun untuk menguatkan besarnya pengaruh keramahan seorang guru, novel Sang Pelopor menegaskan dengan kutipan-kutipan tentang pengaruh ketidakramahan seorang guru yang dapat mengurangi semangat siswa dalam proses pembelajaran. Berikut kutipannya; Begitu kaki Pak Harmanto memasuki ruang kelas, bagiku itu adalah saatsaat menegangkan dalam hidupku. Guru Matematika itu memang berwajah ganteng. Namun, bagiku, wajahnya lebih menakutkan daripada sosok menyeramkan yang sering mengganggu tidurku. Raut mukanya yang tak ramah selalu cemberut. Selera humor pun tampaknya telah hilang dari kamus hidupnya. Ah, guru seperti inilah yang telah membunuh semangatku!21 Matematika memang sulit. Akan bertambah sulit kalau penyampaiannya adalah seseorang yang tak ramah. Bagaimana pelajaran bisa masuk ke otak, sedangkan hati kami tertutup? Sebuah suasana yang membuat aku pengen lari dari sekolah saat itu juga.22
c. Sabar Sabar dapat diartikan tenang, tidak tergesa-gesa ataupun tidak lekas marah. Dalam novel Sang Pelopor terdapat beberapa kutipan yang menunjukkan bahwa sifat sabar dari seorang guru sangat diperlukan dalam proses pembelajaran terutama ketika seorang guru menerangkan materi pembelajaran. Seperti pada kutipan yang dengan jelas menyatakan kesabaran dari seorang guru dalam menjelaskan materi pelajaran “Bertanyalah, Anakku . . . ! Sejauh apa pun rasa ingin tahumu, semampu mungkin akan Bapak jawab. Atau, mungkin ada 21 22
Ibid., hlm. 120 Ibid., hlm. 121
58
penjelasan Bapak yang belum jelas, Nak? Dengan senang hati akan Bapak ulangi . . . ,‟begitu sabar, Pak Bari memberi kami kesempatan untuk memahami lebih lanjut tentang fotosintesis. .”23 Dalam novel Sang Pelopor, sifat sabar tidak hanya ditunjukkan ketika seorang guru menerangkan materi pelajaran saja, tetapi sifat sabar juga dimiliki guru ketika menghadapi siswa yang membuat kesalahan. Guru yang penyabar lebih bisa mengendalikan emosi dan menjadi sosok pemaaf bagi siswa. Namun, menjadi pemaaf bukan berarti membiarkan siswa yang melakukan kesalahan tanpa ada hukuman apa-apa. Namun, dalam novel ditunjukkan bahwa pemberian hukuman dengan nasihat jauh lebih baik daripada hukuman yang berupa kekerasan fisik. Diceritakan ketika seorang siswa yang membolos sekolah kemudian diajak oleh kepala sekolah melihat sekelompok tukang bangunan (seperti pekerjaan orang tua siswa tersebut) yang sedang bekerja dan kemudian dinasehati yang ternyata cara ini lebih mengena di hati siswanya. Berikut kutipannya: Begitu pula ketika teman kami, Fajar, membolos sekolah karena diajak beli kelinci di pasar kabupaten. Bukan hukuman, juga bukan kata-kata kasar yang diperolehnya. Namun, senyuman lembut Bapak Kepala Sekolah. “Apa pekerjaan bapakmu, Nak Fajar?” tanya beliau, ramah. “Tukang bangunan, Pak . . . ,” jawab Fajar dengan kepala menunduk. “Sekarang, Ananda ikut Bapak, ya?” “Ke mana, Pak?” “Sudah . . . , pokoknya ikut saja di belakang Bapak.” “Anakku, lihatlah bapak-bapak tukang bangunan itu . . . ! Bayangkanlah bahwa satu diantara mereka adalah bapakmu. Jerih payahnya mencari uang adalah untuk membiayai sekolah anaknya. Apa yang kamu pikirkan, seandainya anak yang jadi tumpuan harapannya mengkhianati dengan jalan membolos? Bukankah itu perbuatan yang tidak baik?” ujar sang pimpinan madrasah setelah napasnya kembali tenang. Ada kelembutan yang arif tersimpan di dalam suara dan kalimatnya. 23
Ibid., hlm. 55
59
Fajar tertunduk seketika. Dia tidak sanggup berucap sepatah kata. Cukup guncangan pundak dan air mata yang menganak sungai di sudut matanya sebagai jawaban. . . . Fajar memang telah kehilangan dua jam belajarnya. Namun, dia telah mendapatkan pelajaran yang lebih berharga daripada pelajaran apapun; pelajaran tentang tanggung jawab sebagai anak maupun murid. 24 Sebagai perbandingan, dalam novel Sang Pelopor ditunjukkan pula bahwa hukuman yang berupa kekerasan tidak diinginkan oleh siswanya dan hanya akan menjadikan hubungan guru dan siswa rusak. Seperti pada kutipan “pernah kami membolos karena tidak suka guru matematika kami. Pak guru itu ternyata galak. Akhirnya,
dihari berikutnya, kami harus menjalani sidang demi sidang yang
melelahkan, dari wali kelas, guru BP, sampai kepala sekolah. Sebagai hukuman, kami pun harus membersihkan WC.” 25 Selain kutipan di atas, terdapat pula kutipan yang menunjukkan perasaan tidak senang siswa kepada guru yang sering memberi hukuman yang hal ini berakibat pada ketidaknyamanan siswa dalam proses pembelajaran. Ditunjukkan pada kutipan di bawah ini: Kami berangkat sekolah seolah sekedar menjalani rutinitas yang tidak bertepi, tanpa misi, tanpa visi. Begitu bel berbunyi berarti “ladang penyiksaan” di mulai. Kami memasuki kelas bagai memasuki sebuah penjara yang menyeramkan. Pak guru yang seharunya mengayomi pun menjelma menjadi monster menakutkan. Apalagi, Jika salah satu dari kami tidak mengerjakan PR. Hukuman pasti menghadang. Bagi mereka, PR adalah suatu kewajiban. Mereka tidak sadar, pekerjaan rumah itu telah merampas waktu bersosialisasi dan bermain kami. 26 d. Berakhlak Baik Dalam novel Sang Pelopor, akhlak baik seorang guru juga cukup berpengaruh untuk terciptanya pembelajaran menyenangkan, hal ini dapat di lihat 24
Ibid., hlm. 64 Ibid., hlm. 35 26 Ibid., hlm. 120 25
60
dari kutipan ketika guru melakukan pendekatan keagamaan dalam pembelajaran yakni dengan mengaitkan materi pelajaran dengan sang Khalik. Berikut kutipannya. Setelah sekolah di madrasah, kami jadi tahu bahwa bukanlah hujan yang menjadi sumber penyakit. Tetapi, lemahnya daya tahan tubuhlah yang menyebabkan penyakit menghinggapi badan seseorang. „(Ingatlah), ketika Allah membuat kamu mengantuk sebagai suatu penentraman daripada-Nya, dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk menyucikan kamu dengan hujan itu, dan menghilangkan dari kamu gangguan-gangguan setan dan untuk menguatkan hatimu serta memperteguh dengannya telapak kaki (mu) . . .‟ Melalui kearifan itulah kami diajarkan untuk memandang hujan dengan cara pandang berbeda. Hujan adalah berkah. Air yang turun dari langit itulah sarana menguatkan jiwa dan fisik kami. Untuk menyambut hujan, biasanya kami berdoa bersama dengan mengangkat kedua belah tangan ke langit. “Ya Allah, semoga hujan yang Kau turunkan ini lebat dan membawa manfaat. Amin . . .”27 Selain itu pemahaman keagaman juga diberikan ketika murid mempelajari siklus air hujan. Seperti kutipan dalam novel berikut. “Lihatlah karunia Allah itu, Anakku! Bagaimana Allah menciptakan mendung yang dengan kuasaNya digerakkan angin, lalu dijatuhkan di tempat-tempat yang dipilih Allah. Itulah yang disebut hujan . . . ,” papar Ustad Zahid sambil sesekali tangannya menyeka wajah yang kuyup dibelai air dingin itu. “Bagaimana mendung itu tercipta, Ustadz?” tanya Tias. “Anakku, mendung itu tercipta dari uap air yang dipadatkan, sehingga menyerupai gumpalan awan hitam atas izin Allah.” “Kenapa bisa menguap, Ustadz?” selaku. “Air bisa menguap karena bantuan sinar matahari.” “Mengapa air menguap, padahal bumi sangat membutuhkan air?” tanya fikram, ingin tahu. “Itulah kuasa Allah. Allah menguapkan air untuk menyaringnya. Allah hanya mengambil air yang bersih saja,” jawab Ustad Zahid. Sejenak, ustadz muda itu terdiam. Matanya yang bulat memandang kami. Melihat wajah kami yang begitu antusias, dia pun tersenyum. “Sebagai contoh, air laut. Allah hanya menguapkan air laut saja, sedangkan asin garamnya ditinggal. Seperti kita ketahui, garam amat 27
Ibid., hlm. 69
61
berguna bagi tubuh. Membuat garam juga menjadi mata pencaharian bagi para petani garam. Ketika kita mengeringkan pakaian di bawah sinar matahari, maka yang tertinggal adalah baju kita. Matahari hanya menyisakan yang bersih saja . . . ,‟ jelas sang ustadz, begitu sabar dan detail. “Mungkin, ada yang belum jelas?” tanya beliau. Kami diam saja. . . “Kalau tidak ada yang bertanya, ayo kita ke sungai . . . !” ajak Ustadz Zahid, bersemangat. “Air menguap atas bantuan sinar matahari, lalu terciptalah mendung atas izin Allah. Berarak-arak, uap air itu ditiup angin menuju tempat yang dipilih-Nya. Mungkin di gunung, di laut atau di sawah yang subur. Di sanalah hujan turun. Air yang menggenang sebagian meresap ke tanah, sebagian mengalir ke selokan, lantas menuju sungai. Terakhir sampailah ia ke laut. Menguap, mendung, hujan, sungai, laut, menguap lagi. Begitu seterusnya . . . ,” lanjut Ustadz Zahid, membuyarkan lamunanku tadi. “Kenapa hujan turun di tempat yang salah, Ustadz?” suara si kijang lincah itu mengalihkan perhatian kami dari wajah sang ustadz. “Maksud Ananda . . .?” “Kadang, hujan turun di kota-kota besar dan menyebabkan banjir. Bukankah itu kekeliruan? Akan lebih bermanfaat apabila hujan turun di sawah atau kebun, supaya kita bisa panen lebih banyak,” protes Tias kepada Tuhan. “Hujan tidak pernah turun di tempat yang salah, Anakku. Semuanya sudah ditakar sesuai kadar kebutuhan. Kalaupun terjadi banjir, itu bukan kesalahan Allah, melainkan kesalahan manusia yang tidak menjaga keseimbangan alam. . .”28 Dalam kesempatan lain pun saat kegiatan menanam pohon bersama, Pak Hadi memberikan pengetahuan tentang pentingnya menanam dalam cara pandang Islam. Berikut kutipannya; “Begitu pentingnya menanam, Rasulullah pernah bersabda bahwa apabila sangkakala telah ditiup dan kiamat akan segera datang, sedangkan di tangan kalian masih ada satu benih, maka tanamkanlah. Kita akan memperoleh banyak manfaat dengan menanam. Bahwasanya, pohonpohon itu akan senantiasa bertasbih dan bertakbir memuji-Nya. Dan kita akan bahagia manakala yang menanam mereka adalah kita. Allah akan meridhai apabila kita merawat pepohonan itu dengan teratur. Bahkan, sampai saat ini, kita masih memakan sebagian makanan yang ditanam orang tua kita. Buah-buahan, misalnya. Bahkan, ketika orang tua sudah meninggal, mungkin kita yang akan menikmati hasilnya,” tambah beliau
28
Ibid.,hlm. 75
62
sambil tangannya mengambil beberapa biji untuk ditanam di plastik penyemaian yang telah berisi media tanam. 29 Pendekatan keagamaan juga dilakukan bu Murni ketika meminta muridmuridnya untuk berdoa bersama, bahkan bu Murni juga mengajarkan mereka untuk peduli terhadap sesama, yakni ketika ada salah satu teman sekelasnya yang sakit, bu Murni mengajak anak yang lain untuk menjenguk dan mendoakannya. Berikut kutipannya; “Anak-anakku sekalian, berhubung ada teman kita yang sakit, maka jam terakhir hari ini ditiadakan. Sebagai gantinya, kita akan menengoknya. Namun, sebelumnya kita tutup dengan doa. Jangan lupa berdoa untuk kesembuhan teman kalian . . . ,” demikian pesan guru kami. 30 Pak Hadi selalu mengingatkan kepada murid-murindnya bahwa tujuan bersekolah bukan hanya untuk mendapatkan nilai semata, tetapi juga untuk mempunyai akhlak yang baik dan bermanfaat untuk sesama manusia. Berikut kutipannya; “Anak-anakku, Ingatlah kembali tujuan kalian sekolah di madrasah ini. Apakah karena teman-teman kalian banyak di sini? Ataukah berharap mendapatkan selembar ijazah dengan angka-angka untuk setiap bidang studi? Kalau motivasi belajar anak-anakku hanya sebatas itu, maka kalian termasuk orang yang salah dan kalah. Sebab, kalian telah tertipu oleh sebuah pandangan bahwa nilai hanyalah berupa angka-angka, bukan kebajikan diri. Padahal, sekolah dianggap berhasil apabila ada perubahan menuju yang lebih baik dan kemajuan di semua bidang kehidupan. Sekolah belum dianggap berhasil kalau hanya mampu melahirkan orangorang pintar, tapi minteriorang lain. Pandai, tapi menipu. Itulah sebabnya di sekolah yang kita cintai ini diajarkan akhlak. Bukan sekedar teori-teori yang dihafalkan, namun untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan, sekolah tidak akan memberikan surat kelulusan, sepandai apapun kalian, jika tidak diikuti nilai akhlak yang baik. Ini hanyalah sedikit pembuka dari Bapak. Selanjutnya, seperti biasa, saya minta kalian maju satu-satu untuk memaparkan cita-cita kalian, lantas mengevaluasi
29 30
Ibid., hlm. 232 Ibid., hlm. 55
63
langkah-langkah apa yang telah dilakukan untuk mewujudkan impian kalian. . .”31 “Sekolah tak sekedar transfer ilmu, namun harus bisa memberikan manfaat lebih bagi lingkungannya. Oleh karena itu, kalian harus menunjukkan hasil karya yang bermanfaat bagi orang-orang di dekat kalian, sebelum meninggalkan kelas ini,” katanya sebelum sakit.32
e. Teladan baik Teladan mempunyai arti contoh. Seperti kutipan dalam novel Sang Pelopor, diceritakan seorang guru yang memberikan teladan kepada muridnya yakni dengan memungut sampah (bungkus arem-arem). “Diiringi tangan putih sang ibu guru memungut daun-daun kering dan bungkus arem-arem. Aku tersipu malu karena bungkus arem-arem itu milikku”. 33 Keteladanan juga ditampilkan oleh sosok Kepala Sekolah Madrasah Kampung Sawah yaitu Pak Hadi. Besarnya pengaruh keteladanan seorang guru hingga profesinya dijadikan cita-cita oleh muridnya. Seperti dalam kutipan novel berikut “Dulu, tidak pernah terlintas di benakku untuk bermimpi menjadi pengajar. Pak Hadi, orang tua berwajah teduh itulah yang menuntun nuraniku sehingga akhirnya menetapkan guru sebagai pilihan hidup”.Selain dijadikan teladan oleh muridnya, Pak Hadi juga dijadikan teladan oleh guru-guru Madrasah Kampung Sawah yang lainnya. Hal ini dapat terlihat dalam kutipan “Sesungguhnya, guru-guru kami yang lain pun belajar banyak hal kepada sosok ringkih itu”.34
31
Ibid., hlm. 81 Ibid., hlm. 115 33 Ibid., hlm. 63 34 Ibid., hlm. 119 32
64
f. Memotivasi siswanya Motivasi bagi siswa mempunyai pengaruh yang besar untuk menjalani hari-hari siswa dalam menuntut ilmu, karena tidak jarang dalam menjalani rutinitas sekolah siswa mengalami kebosanan atau di saat siswa menginginkan sesuatu namun terhambat oleh biaya. Seperti yang ada dalam novel Sang Pelopor, berikut kutipannya. Tanggal satu menjelang. Suatu permulaan dalam satu bulan yang sangat ditunggu-tunggu kami, para penghuni kelas lima. Karena di hari itulah semangat kami dipompa lewat kata-kata bijak guru motivasi kami: sang kepala sekolah. Hari-hari dengan segudang kegiatan akan kami lalui dengan cara pandang baru. Karena ibarat energi baterai yang hampir habis, tanggal satu adalah saatnya men-charger ulang semangat kami.”35 Selain itu terdapat kutipan-kutipan lain dalam novel Sang Pelopor yang menyatakan bahwa motivasi dari seorang guru mempunyai arti penting bagi siswa dalam meraih cita-citanya. Berikut kutipan-kutipannya. “Bapak telah mendengar semuanya tentang kalian. Bapak berterima kasih karena kalian telah sudi mempraktikkan sendiri di rumah . . .” ucap Pak Hadi. Entah mengapa, aku merasa ada keharuan yang menyeruak rongga dada ini dalam seketika, tak tercegah. “Itu bagus. Rasa ingin tahu telah mengantarkan kalian menjadi orang yang berani melangkah. Memang, kita jangan hanya berani membayangkan, tetapi juga harus berani mencoba!” Ah, satu semangat yang begitu berarti kembali terhembus lewat kata-kata bijak guru senior kami. Semangat yang telah mendorong kami untuk senantiasa berbuat yang terbaik untuk masa depan dan siapapun. Lakukan apa yang ingin kamu lakukan. Atau, kamu mundur dan orang tidak pernah mengenalmu . . ., nasihat Pak Hadi. Setelah mendengar kalimat sakti itu, segera saja Sulthan kembali bersemangat, terutama untuk mencari solusi. “Lakukan! Atau, kau hanya akan menjadi debu yang segera hilang kala tertiup angin!!!”
35
Ibid., hlm. 80
65
Ajaib! Demi mendengar kata-kata yang mirip mantra itu, spontanitas tangan Sulthan merebut map biru di tangan Pak Hadi, lalu segera berlari kencang.36 Kutipan di atas secara jelas menyatakan bahwa siswa membutuhkan motivasi dari gurunya agar digunakan nanti dalam menjalani hari-harinya yang akan datang. Motivasi yang diberikan oleh guru dalam novel Sang Pelopor tidak hanya dalam bentuk ucapan, tetapi juga dalam bentuk hadiah bagi siswa yang berprestasi. Pemberian hadiah ini dapat dijadikan perangsang bagi siswa yang berprestasi agar selanjutnya siswa mempunyai prestasi yang lebih bagus, sedangkan siswa yang lain termotivasi untuk berprestasi sehingga dalam proses pembelajaranpun siswa lebih bersemangat. Seperti yang terdapat dalam kutipan novel sang Pelopor “Besok, rencananya kami akan ke Bandara. Itu demi menuruti keinginan Wisnu yang bercita-cita sebagai pilot. Itu juga sebagai hadiah untuk Wisnu karena nilainya termasuk yang terbaik. . . Kami dididik untuk menjadi yang terbaik sebelum memperoleh hadiah. Tidak ada yang abadi di dunia ini, termasuk ranking sekolah kami. Setiap bulan pasti ada gebrakan-gebrakan di antara salah satu siswa. Peringkat kelas ibarat piala bergilir. . .”37 Selain itu pemberian hadiah dapat pula berupa kunjungan guru ke rumah siswanya. Bagi siswa kedatangan seorang guru merupakan penghargaan tersendiri. Seperti pada kutipan dalam novel Sang Pelopor “Sore itu adalah hari yang bersejarah bagi rumahku. Sebab kepala sekolahku akan berkunjung. . . Kunjungan itu biasanya karena salah satu murid telah berprestasi di sekolah atau 36 37
Ibid., hlm. 252 Ibid., hlm. 95
66
lingkungannya. Sungguh sebuah kehormatan lantaran Pak Hadi mau berkunjung ke rumahku”.38 g. Dedikasi Tinggi Dedikasi tinggi ini ditunjukan oleh Kepala Madrasah Kampung Sawah, Pak hadi. Diceritakan Pak Hadi mengayuh sepeda berpuluh kilometer untuk mendapatkan informasi demi kemajuan anak didiknya. Berikut kutipannya; Setiap pagi, sebelum menyampaikan pelajaran, beliau mengayuh sepeda hingga puluhan kilometer demi mengejar setumpuk informasi untuk kami. Surat kabar itu edisi kemarin. Setelah dibaca di kecamatan, biasanya akan dibuang atau disimpan di gudang. Pak guru merasa sayang membuang sebuah informasi. Ia pun meminta koran itu untuk dibaca di Madrasah Kampung Sawah.39 Selain itu dedikasi total juga ditunjukkan oleh Pak Hadi ketika dia mengorbankan berhektar-hektar sawahnya untuk pengembangan pendidikan di Madrasah Kampung Sawah. Berikut kutipannya; Tanpa ragu, tanpa pamrih, beliau mendobrak sistem pendidikan di negeri ini. Sang Pelopor itu pun bekerja bukan karena gaji, tapi demi pengabdian total bagi kemajuan desa. Banyak sudah yang dikorbankan Pak Hadi untuk madrasah ini. Beliau serahkan berhektar-hektar sawahnya untuk pengembangan pendidikan kami. Tak salah jika hasilnya adalah anak-anak yang berakhlak dan siap terjun ke masyarakat. 40 Dedikasi total juga dibuktikan Pak Hadi dengan lamanya pengabdian yang dia jalani selama 26 tahun. Berikut kutipannya; Pak Hadi sang kepala madrasah tak jauh berbeda. Setelah 26 tahun mengabdi, baru kemarin beliau diangkat secara resmi sebagai pegawai negeri.
38
Ibid., hlm. 192 Ibid., hlm. 103 40 Ibid., hlm. 115 39
67
Pengabdian yang sempurna juga ditunjukkan oleh guru yang biasa disapa Ustad, yakni Ustad Fairuz dan Ustad Zahid. Meskipun mereka lulusan dari sebuah universitas ternama dengan Indeks Prestasi yang tinggi mereka mau di gaji dengan dua karung gabah kering yang didapatkannya dua kali dalam setahun. Hal ini ditunjukkan pada kutipan “Praktis, mereka seperti ustadz yang mengajar ngaji, namun nggak digaji. Padahal, kedua guru tersebut lulusan sebuah institut agama Islam yang terkenal di Yogyakarta. Indeks Prestasi merekapun tidak mengecewakan. Hanyalah jiwa dan semangat pengabdian yang membaja yang menguatkan langkah kedua ustadz kami itu”. 41 h. Rasa Kasih sayang terhadap siswa Dalam novel Sang Pelopor juga terdapat sifat kasih sayang dari guru. Kasih sayang merupakan syarat mutlak dalam melakukan interaksi dengan anak didiknya, baik di dalam kelas, maupun di luar kelas. Pemahaman guru tentang kasih sayang mendasari bagaimana sikap pendidik dalam menjalankan proses pendidikan, sehingga anak didik dapat belajar dengan suasana kehangatan dan menyenangkan. Kasih sayang dapat terlihat dari wujud konkret diantaranya berupa pelukan, sentuhan fisik, dan nada bicara guru. Seperti yang terdapat dalam novel Sang Pelopor, terdapat wujud kasih sayang seorang guru berupa sentuhan fisik. Sentuhan fisik ini dilakukan dengan elusan di kepala atau tepukan halus di pundak. Seperti pada kutipan “Bu Kasmini pun datang menghampiriku. Beliau mengelus rambutku, mencoba menentramkan gemuruh di dalam dadaku. Hampir saja aku menangis kala merasakan tangan
41
Ibid., hlm. 255
68
lembut itu”.42 juga pada kutipan “Namun, guru kami memberikan aba-aba supaya keluar gedung yang sesak ini. Terlihat gurat kecewa di wajah Wisnu. Orang tua bijaksana itu paham. Dielus kepala Wisnu dengan lembut. „Fotonya nanti di luar saja. Seperti yang kalian lihat, di luar lebih nyaman dan lebih mudah,‟ kata Pak Hadi.”43 Untuk wujud kasih sayang guru yang berupa nada bicara guru, ditunjukkan pada kutipan interaksi antara guru dan ssiwa. Diceritakan guru yang memberi perintah kepada muridnya dengan suara lembut. “Seno, coba kerjakan soal nomor delapan dan terangkan pada temanmu cara termudah untuk menyelesaikannya,” suara lembut Bu Murni timbul tenggelam di antara batangbatang jagung yang hampir dipanen. Saya tidak bisa, Bu Guru . . . ,” ujar Seno, menjawab dengan percaya diri.Tidak apa-apa, Seno. Kamu hanya sedikit belum memahami penjelasan saya,” tanggap Bu Murni, lembut dan pengertian.44 2. Pendekatan melalui Pengkondisian pembelajaran a. Guru Melakukan Pembelajaran di Alam Bebas (Di luar kelas) Maksud dari guru melakukan proses pembelajaran di alam bebas yakni dalam melakukan pembelajaran guru tidak hanya mengandalkan ruang kelas sebagai tempat satu-satunya dalam memperoleh ilmu. Guru memanfaatkan lingkungan sekitar sekolah, agar sisiwa merasakan pengalaman nyata. Seperti yang terdapat dalam novel Sang Pelopor, diceritakan siswa belajar di sawah, pasar, pantai, lapangan, bandara dan kantor polisi. Hal ini dapat dilihat dari
42
Ibid., hlm. 218 Ibid.,hlm. 99 44 Ibid., hlm. 127 43
69
kutipan berikut. “Kami akan menjalani sekolah lapangan di pantai, pasar, bandara atau kemana saja sesuai keinginan dan cita-cita kami.”45 Kegembiraan siswa belajar di alam bebas dapat diketahui dari kutipankutipan berikut, ketika pembelajaran dilakukan di luar kelas. Ah kegembiraan dan kepuasan hati menyeruak seketika di ruang kelas kami yang begitu luas, seakan tak bertepi. Aku sangat tidak setuju sekolah membatasi ruang belajar hanya dibangunan persegi panjang yang sempit dan pengap. Ruang kelas, bagi kami, adalah lapangan, sungai, sawah, dan ladang. Di mana saja ada ilmu, di sanalah kami belajar. Di sawah milik sekolah itulah, kami biasa melakukan praktik menanam padi, mulai dari mengolah tanah, tandur, mengarit, hingga memanen. . . Kendati badan gatal semua karena memanen padi, itu bukanlah masalah bagi kami. Hati kami merasa senang, itulah yang paling penting. 46 Di jendela ini, aku juga bisa melihat anak-anak kelas 4 sedang berolah raga di lapangan. Tapi, setelah kuamati, mereka tidak seperti melakukan olah raga. Ada kata-kata bahasa Inggris yang mereka ucapkan. Ternyata, anak-anak itu tengah menghafalkan kosakata baru sambil bernyayi . . . Ah, mereka pun tertawa bersama. Tanpa ada yang memberikan aba-aba. Begitu menikmati kegembiraan belajar mereka. Begitu bersemangat mengenal hal-hal baru di pagi yang bersinar cerah saat ini. . . . Sesekali diiringi tepuk pundak dan tepuk tangan. Kadang, mereka pun diminta maju untuk menuliskan kosakata baru di papan tulis yang disandarkan di batang waru.47 Seperti kemarin, kami belajar Ilmu Pengetahuan Alam di kebun samping sekolah. Pak Bari membimbing kami semua. Pada hari itu kami membahas foto sintesis yang prosesnya dibantu sinar matahari...Alangkah senang hati kami menerima pelajaran dari semua guru.48 Di bawah pohon cinta yang rindang, kami belajar Matematika...selesai pelajaran Matematika, kami kembali ke kelas. Kami mencuci kaki di sungai kecil yang kami lewati. . . Bagi kami, matematika adalah sawah, gunung, angin sepoi-sepoi, dan wajah teduh sang ibu guru.49
45
Ibid., hlm. 249 Ibid., hlm. 249 47 Ibid., hlm. 52 48 Ibid., hlm. 55 49 Ibid., hlm. 128 46
70
Bahkan, sambil hujan-hujanan, kami bisa belajar tentang kualitas air. Kebutuhan air bagi makhluk hidup. Bahkan, pernah sambil berolahraga di bawah derasnya hujan, kami mempelajari siklus air. 50 Sebab, bagi kami, saung di lereng bukit belakang sekolah ini adalah rumah kami. Karenanya, kami harus peduli. Di sanalah kami bisa belajar bergantian kalau lagi bosan belajar di dalam kelas yang sempit. 51
b. Mengaktifkan siswa Dalam novel Sang Pelopor pembelajaran yang menyenangkan dilakukan juga dengan cara guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk aktif. Terdapat beberapa kutipan dalam novel Sang Pelopor yang menunjukkan pembelajaran yang mengikutsertakan siswa secara aktif. Seperti pada kutipankutipan berikut. “Biarlah anak-anak kita belajar sambil melakukan, bukan membayangkan. Sebab, cita-cita mereka lebih tinggi. Lebih bermakna bagi kehidupan mereka . . .” jawab Pak Hadi sembari tersenyum arif. 52 Selain pernyataan dari kepala sekolah secara terang bahwa siswa belajar sambil melakukan bukan hanya membayangkan. Juga dapat dilihat pada kutipan perintah guru ketika siswa melakukan sekolah lapangan. Berikut kutipannya; “Anak-anakku sekalian, berpencarlah mulai sekarang sesuai kelompok kalian. Tapi, jangan lupa, sekitar satu jam lagi kalian kembali berkumpul bersama Bapak. Bertanyalah kepada pedagang-pedagang itu sesuka kalian, sebanyak yang kalian ingin tahu. Namun, bertanyalah dengan cara yang sopan. Amati dan catatlah yang kalian anggap perlu! Pesan Ustad Zahid kepada kami”. 53 Dalam pembelajaran di dalam kelas pun guru mengaktifkan siswa dengan meminta siswa untuk berkreasi membuat apapun yang mereka bisa. Seperti pada
50
Ibid., hlm.71 Ibid., hlm. 168 52 Ibid., hlm. 230 53 Ibid., hlm. 157 51
71
kutipan “Anak-anaku untuk menunjukkan rasa simpati kita pada mereka, bolelah kita berapresiasi tentang perjuangan mereka dalam bentuk apa pun yang kalian bisa. Puisi, drama, teks doa dan sebagainya. Sekarang, selesaikan tugas kalian dengan tenang. Kalian boleh mendiskusikannya dengan teman kalian,” kata Pak Hadi.”54 Dalam kutipan novel Sang Pelopor terdapat pernyataan yang menunjukkan siswa sangat senang jika kreativitas mereka tersalurkan, seperti pada kutipan berikut “Senin pun datang. Suatu ketika yang bagi sebagian orang merupakan saat yang menyebalkan. Namun, tentunya tidak bagi kami. Hari senin adalah permainan sedunia. Hari untuk menyalurkan kreativitas kami. . . . I love Monday . . . !”55 c. Menyampaikan materi pelajaran dengan menarik (dengan berbagai metode) Dalam novel Sang Pelopor menunjukkan bahwa guru yang memberikan variasi metode dalam pembelajaran juga dapat menjadikan pembelajaran yang menyenangkan bagi siswa karena mata pelajaran yang disampaikan dirasa lebih menarik. Selain metode ceramah, terdapat tiga metode yang terdapat dalam novel Sang Pelopor diantaranya metode bermain, bernyanyi dan demonstrasi. Metode bermain dalam novel Sang Pelopor merupakan metode yang paling sering digunakan dalam pembelajaran. Seperti pada kutipan “Bermain? Rasanya, setiap hari kami bermain di sekolah ini. Semua mata pelajaran diajarkan dengan permainan.Seperti kemarin, kami belajar Ilmu Pengetahuan Alam di kebun samping sekolah. Pak Bari membimbing kami semua. Pada hari itu kami membahas foto sintesis yang prosesnya dibantu sinar matahari”.Menurut siswa, 54 55
Ibid., hlm. 105 Ibid., hlm. 60
72
dengan metode bermain membuat pembelajaran semakin menyenangkan seperti pada kutipan berikut “Begitulah keseharian kami. Belajar kami adalah bermain. Bermain kami adalah belajar. Kami pun merasa betah dan berharap pelajaran tak lekas usai.Dengan pembelajaran serupa ini, kami bahkan kian akrab”.56 Metode bermain juga dilakukan saat pelajaran olahraga, seperti pada kutipan “Kebetulan, sekarang adalah hari Selasa dimana jam pertama adalah olahraga. Belajar kami adalah olah raga, olahraga kami adalah bermain. Kami tidak bisa membedakan antara belajar, olahraga dan bermain karena ketiganya terjadi dalam satu waktu”.57 Menurut siswa, metode permainan yang dilakukan guru dalam
novel Sang
Pelopor
membuat
pembelajaran terasa
lebih
menyenangkan. Seperti pada kutipan “setelah permainan selesai, kami baru tahu apa kegunaan ketiga benda itu; sikat gigi, sisir, dan air. Sebuah permainan yang menyenangkan!”58 Selain metode bermain, di dalam novel Sang Pelopor juga guru mengajar dengan menggunakan metode bernyanyi. Diceritakan ketika siswa menghafalkan kosakata bahasa Inggris dengan bernyayi. Seperti pada kutipan berikut. Di jendela ini, aku juga bisa melihat anak-anak kelas 4 sedang berolah raga di lapangan. Tapi, setelah kuamati, mereka tidak seperti melakukan olah raga. Ada kata-kata bahasa Inggris yang mereka ucapkan. Ternyata, anak-anak itu tengah menghafalkan kosakata baru sambil bernyayi. Para murid kelas 4 itu asyik melafazhkan warna-warna dengan menggunakan contoh benda di sekitarnya. “Sepatu hitam . . . .” “Black . . . !” “Celana merah . . . .” “Red . . . !” “Daun hijau . . . .” 56
Ibid., hlm. 54 Ibid., hlm. 70 58 Ibid., hlm. 135 57
73
“Green . . . !” “Kertas Putih . . . .” “White . . . !” “Gigi kuning . . . .” Ah, mereka pun tertawa bersama. Tanpa ada yang memberikan abaaba. Begitu menikmati kegembiraan belajar mereka. Begitu bersemangat mengenal hal-hal baru di pagi yang bersinar cerah saat ini. . . . Sesekali diiringi tepuk pundak dan tepuk tangan. Kadang, mereka pun diminta maju untuk menuliskan kosakata baru di papan tulis yang disandarkan di batang waru.59 Selain metode bermain dan bernyanyi, dalam novel Sang Pelopor juga terdapat metode demonstrasi. Metode demonstrasi diceritakan ketika guru menerangkan tentang listrik dengan melakukan peragaan menggunkan alat-alat kelistrikan. Seperti pada kutipan “anak-anakku sekalian, perhatikanlah ini! Ini adalah batu baterai 1,5 volt, lalu ini motor listrik, sedangkan ini dinamo. Satu lagi, ini kabel dan lampu bohlam,” kata Pak Hadi sambil menunjukkan satu per satu semua benda di depannya. 60
59 60
Ibid., hlm. 53 Ibid., hlm. 165