94
BAB III METODE PENELITIAN
A. Pendekatan dan Metode Penelitian Tujuan akhir penelitian adalah terumuskannya model konseling teman sebaya positif (Positive Peer Culture) untuk meningkatkan interaksi sosial siswa tunanetra di sekolah inklusif. Model penelitian adalah penelitian dan pengembangan pendidikan (Educational R&D). Untuk mendukung model penelitian R&D, penelitian ini menggunakan metode deskriptif, metode partisipatif kolaboratif, dan metode eksperimen. Metode deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan dan menganalisa: (1) Perilaku siswa tunanetra dalam berinteraksi sosial di sekolah inklusif, dan (2) Keterampilan interaksi sosial oleh siswa tunanetra di sekolah inklusif. Metode partisipatif kolaboratif digunakan untuk memvalidasi instrumen, uji kelayakan model hipotetik, dan uji kelayakan model operasional. Metode partisipatif kolaboratif dilakukan dengan bantuan para ahli bidang konseling (validator isi) serta para konselor sekolah dan guru pembimbing khusus (validator empiris). Metode eksperimen digunakan untuk menguji dan mengevaluasi kebermanfaatan model konseling, yaitu Efektifitas model konseling teman sebaya positif (Positive Peer Culture) untuk meningkatkan interaksi sosial siswa tunanetra di sekolah inklusif. Desain eksperimen yang digunakan adalah penelitian Subyek Tunggal atau Single Subject Research (SSR) dengan Multiple Baseline Design, yang meliputi tiga variasi, yaitu: (1) multiple baseline cross subjects, (2) multiple
Purwaka Hadi, 2012 Model Konseling Positive Peer Culture Untuk Meningkatkan Interaksi Sosial Siswa Tunanetra Di Sekolah Inklusif Universitas Pendidikan Indonesia | Repository.Upi.Edu
95
baseline cross conditions, dan (3) multiple baseline cross variables (Sunanto, 2005: 74). Desain SSR ini untuk mengetahui perkembangan setiap subyek pada suatu kondisi dan setiap jenis keterampilan interaksi sosial siswa tunanetra di sekolah inklusif selama diberikan model atau perlakuan. B. Operasionalisasi Variabel Variabel bebas penelitian ini adalah konseling positive peer culture dengan metode behavioral melalui teknik pembentukan perilaku model. Variabel terikat penelitian ini adalah interaksi sosial siswa tunanetra di sekolah inklusi. Variabel interaksi sosial ini terdiri dari dua aspek, yaitu: (1) Tingkah laku siswa tunanetra di sekolah inklusif; (2) Keterampilan interaksi sosial siswa tunanetra di sekolah inklusif. Aspek-aspek dalam interaksi sosial tersebut didasari oleh konsep-konsep yang dikemukakan para ahli bidang sosial. Libet dan Lewinsohn (Carledge, 1992: 7) menyampaikan bahwa pola interaksi psikososial yang terbentuk pada individu akhirnya akan mewarnai tindakan atau keterampilan interaksi sosialnya. Dalam kegiatan sosial, Morgan (Carledge, 1992: 11) mengemukakan bahwa secara umum keterampilan interaksi sosial dipandang sebagai perilaku yang dipelajari, diterima secara sosial yang memungkinkan orang untuk berinteraksi dengan orang lain yang menimbulkan tanggapan positif dan membantu dalam menghindari tanggapan negatif dari mereka. Menurutnya dalam berinteraksi sosial seseorang melibatkan keinginan secara psikologis untuk berinteraksi secara positif serta mengembangkan
keterampilan
interaksi
sosial.
Dua
pendapat
tersebut
menunjukkan bahwa aspek keterampilan interaksi sosial sangat dipengaruhi oleh
Purwaka Hadi, 2012 Model Konseling Positive Peer Culture Untuk Meningkatkan Interaksi Sosial Siswa Tunanetra Di Sekolah Inklusif Universitas Pendidikan Indonesia | Repository.Upi.Edu
96
pola interaksi psikososialnya. Sehingga kedua aspek tersebut dalam pengkajian perkembangan interaksi sosial harus dibahas secara bersama. 1. Tingkah laku sosial siswa tunanetra di sekolah inklusif. Secara konseptual, Martin (2007: 3) menyampaikan kata-kata yang sering disinonimkan dengan `perilaku` adalah kegiatan, aksi, kinerja, tanggapan, respon, dan reaksi. Menurutnya, pada dasarnya perilaku adalah segala sesuatu yang seseorang ucapkan atau lakukan. Secara teknis perilaku adalah setiap kegiatan otot atau kelenjar dari suatu organisme. Penelitian ini mendeskripsikan bentuk-bentuk perilaku negatif siswa tunanetra yang menghambat proses interaksi sosial yang muncul setelah terjadinya interaksi sosial siswa tunanetra di sekolah inklusif. Secara operasional, indikator konkrit tingkah laku sosial menggunakan identifikasi problem tingkah laku dalam berinteraksi sosial berupa Positive Peer Culture (PPC) Problem-Solving List yang disusun oleh Vorath (1985: 30-31), dengan daftar ini dapat dikenali problem tingkah laku manakah yang dihadapi klien siswa tunanetra dalam berinteraksi sosial di sekolah inklusif, meliputi : (1) Gambaran diri rendah (Self-Image): mempunyai gambaran yang lemah tentang diri sendiri, sering merasakan harga dirinya rendah; (2) Kurang perhatian pada orang lain: perilaku yang
bisa merusakkan hubungan dengan orang lain;
(3) Kurang perhatian pada diri sendiri: perilaku yang bisa merusak diri sendiri; (4) Masalah otoritas: tidak ingin diatur oleh seseorang; (5) Menyesatkan orang lain: menggambarkan bahwa orang lain berperilaku negatif; (6) Mudah disesatkan: klien digambarkan memiliki perilaku negatif
oleh orang lain;
(7) Menjengkelkan orang lain: menganggap negatif kepada orang yang Purwaka Hadi, 2012 Model Konseling Positive Peer Culture Untuk Meningkatkan Interaksi Sosial Siswa Tunanetra Di Sekolah Inklusif Universitas Pendidikan Indonesia | Repository.Upi.Edu
97
merawat/membantu, memperlakukan sebagai musuh; (8) Mudah marah: sering mengganggu atau bikin gusar atau pemarah;(9) Mencuri: mengambil berbagai hal kepunyaan orang lain; (10) Masalah alkohol atau obat: Penyalahgunaan zat-zat aditif yang bisa menyakiti diri; (11) Pembohong: tidak bisa dipercaya untuk menceritakan tentang kebenaran; (12) Menghadapi (fronting): suka berpura-pura dan bukannya riil/ kenyataan. 2. Keterampilan interaksi sosial siswa tunanetra di sekolah inklusif Secara konseptual, pakar ilmu sosial Libet dan Lewinsohn (Carledge, 1992: 7) menyampaikan bahwa pengertian keterampilan berinteraksi sosial adalah sebagai kemampuan yang kompleks untuk menampilkan perilaku baik positif atau negatif, dan bukan perilaku yang tampil karena hukuman oleh orang lain. Dalam konteks kelembagaan, Combs dan Slaby (Carledge, 1992: 9) mengemukakan bahwa keterampilan berinteraksi sosial adalah kemampuan untuk berinteraksi dengan orang lain dalam konteks sosial tertentu dengan cara tertentu yang secara sosial dapat diterima atau dihargai dan pada saat yang sama secara pribadi menguntungkan, saling menguntungkan, atau bermanfaat terutama untuk orang lain atau masyarakat lingkungannya. Greca (Carledge, 1992: 17) mengidentifikasi daerah-daerah
untuk
pembelajaran
keterampilan
interaksi
sosial
yang
berkontribusi positif dalam hubungan teman sebaya, meliputi: tersenyum/tertawa, menyapa orang lain, aktif dalam kegiatan, mengikuti ajakan bersama, terampil berbicara, bekerjasama, dan penampilan/perawatan fisik. Tindakan atau perilaku keterampilan
sosial
yang
seharusnya
dikuasai
oleh
remaja,
menurut
Goldstein,1985, Gershaw, & Sprafkin,1995 (Samad, 2007: 3), meliputi dua unsur, Purwaka Hadi, 2012 Model Konseling Positive Peer Culture Untuk Meningkatkan Interaksi Sosial Siswa Tunanetra Di Sekolah Inklusif Universitas Pendidikan Indonesia | Repository.Upi.Edu
98
yaitu keterampilan sosial awal, keterampilan sosial lanjut, dan ditambahkan oleh Cooks, 2003 (Samad, 2007: 3) yaitu unsur keterampilan sosial reseptif dan ekspresif, meliputi: kemampuan mengenalkan diri (introducing yourself), kemampuan melakukan percakapan (making conversation), menjadi pendengar yang baik (be a good listener), kemampuan memberi pujian (give compliments), dan
kemampuan
menunjukkan
empati
(show
empathy),
yang
penting
dikembangkan dalam membangun interaksi sosial dengan orang lain. Secara operasional, indikator konkrit keterampilan interaksi sosial siswa tunanetra di sekolah inklusif diwujudkan dalam bentuk keterampilan sosial awal: mendengarkan, memulai percakapan, menikmati percakapan, mengajukan pertanyaan, mengucapkan terimakasih, memperkenalkan diri, memperkenalkan orang lain, dan memberi pujian. Keterampilan sosial lanjut: meminta bantuan kerjasama, memberi instruksi, mengikuti instruksi, meminta maaf, dan meyakinkan orang lain. Unsur keterampilan sosial reseptif dan ekspresif yang lain, meliputi: kemampuan mengenalkan diri (introducing yourself), kemampuan melakukan percakapan (making conversation), menjadi pendengar yang baik (be a good listener), kemampuan memberi pujian (give compliments), dan kemampuan menunjukkan empati (show empathy), yang penting dikembangkan dalam membangun interaksi sosial dengan orang lain. 3. Konseling positive peer culture (PPC). Secara konseptual, menurut Vorrath (1985: 9) PPC mengharapkan bahwa seseorang akan menghentikan perilaku tidak responsif pada yang lain dan mulai membantu orang yang lain, PPC berusaha untuk membangun suatu iklim yang
Purwaka Hadi, 2012 Model Konseling Positive Peer Culture Untuk Meningkatkan Interaksi Sosial Siswa Tunanetra Di Sekolah Inklusif Universitas Pendidikan Indonesia | Repository.Upi.Edu
99
ditandai oleh kepercayaan dan keterbukaan, dan orang yang dibantu dan masuk dalam kelompok PPC tidak ditempatkan sebagai terdakwa atau orang sakit, melainkan ia pada hakekatnya adalah dalam proses bantuan, dan peer group nya menunjukkan perhatian yang baik. Adalah aktivitas kelompok sebaya yang ditandai oleh persatuan (association) dan kerjasama tatap muka yang bersifat intim yang benar-benar menyentuh aspek kesiapan psikologis. Snell (2000: 52) menyampaikan bahwa fokus konseling dengan positive peer culture (PPC) adalah membantu dan mengawasi klien untuk dapat mengembangkan harga diri (selfworth), berarti, bermartabat, dan tanggung jawab, agar menjadi merasa terikat dengan nilai-nilai yang positif dalam hubungan dengan orang lain. Azas konselor PPC adalah harus mempedulikan hubungan antar pribadi, berhadapan dengan konseli, dan penuh cinta dalam membantu. Secara operasional, pendekatan pembentukan kelompok PPC dengan mengikuti langkah-langkah (Snell, 2000: 54), sebagai berikut: (a) Selubung (casing), para siswa teman sebaya kelompok peer mencari informasi tentang suatu hal satu sama lain, (b) Batas Uji (Limit Testing), siswa kelompok peer mengungkapkan
kepribadian
dan
perilaku
sebenarnya,
mengungkapkan
pernyataan dan perasaan diri dalam kelompok, siswa kelompok peer mulai mengenali permasalahan diri sendiri, (c) Polarisasi yang bernilai (Polarization of Values), sering terjadi perdebatan dalam kelompok, siswa bermasalah memutuskan benar-benar ingin berubah, mengembangkan tujuan sesuai saransaran kelompok, sistem nilai baru telah terikat dengan suatu perasaan dan pengertian yang kuat tentang kesetiakawanan dan mulai terbentuk identitas
Purwaka Hadi, 2012 Model Konseling Positive Peer Culture Untuk Meningkatkan Interaksi Sosial Siswa Tunanetra Di Sekolah Inklusif Universitas Pendidikan Indonesia | Repository.Upi.Edu
100
kelompok, (d) Budaya teman sebaya positif (positive peer culture), siswa kelompok peer memiliki kekuatan yang kompak, mewujudkan sistem nilai kepedulian timbal balik dan berhubungan, mempercayai kepemimpinan dan siswa ada keinginan menghadapi masalah mereka secara individu. Indikator sudah terbentuknya suatu kelompok positive peers, oleh Snell (2000: 32) ditunjukkan oleh hal-hal sebagai berikut: (1) Peningkatan toleransi mereka terhadap orang lain; (2) Belajar untuk bersimpati kepada siswa yang memiliki kecacatan/ berkebutuhan khusus; (3) Meningkatkan konsep diri mereka; (4) Lebih sadar akan prasangka orang lain; (5) Mengembangkan prinsip pribadi yang baru dengan memahami kelebihan dan kekurangan orang lain;(6) Membangun persahabatan; (7) Belajar untuk memperhatikan orang lain yang adalah berbeda; (8) Mereka cukup rendah hati; (9) Meningkatkan refleksi diri dan melihat tindakan sendiri dalam pandangan berbeda. Teknik konseling yang digunakan untuk memberi bantuan meningkatkan interaksi sosial dengan pendekatan Positive Peer Culture (PPC) adalah dengan mengaplikasikan teknik-teknik konseling behavioral. Model konseling Positive Peer Culture (PPC) untuk meningkatkan interaksi sosial bagi siswa tunanetra di sekolah inklusif ini menggunakan teknik yang disesuaikan dengan problem tingkah laku yang dialami klien siswa tunanetra serta jenis kemampuan interaksi sosial yang akan dikembangkan, yaitu menggunakan teknik pembentukan perilaku model dan teknik Assertive Training.
Purwaka Hadi, 2012 Model Konseling Positive Peer Culture Untuk Meningkatkan Interaksi Sosial Siswa Tunanetra Di Sekolah Inklusif Universitas Pendidikan Indonesia | Repository.Upi.Edu
101
C. Pengembangan Alat Pengumpul Data/ Instrumen Penelitian Penelitian ini menggunakan cara pengukuran sikap dengan Measurement by scales yaitu pengukuran sikap atau perilaku dengan menggunakan kuesioner skala sikap serta menggunakan lembar observasi. Instrumen penelitian ini dikonstruksi untuk memperoleh data tentang: (1) data tingkah laku psikososial siswa tunanetra di sekolah inklusif, dibuat dalam bentuk: (a) kuesioner bagi siswa tunanetra dan kuesioner yang diisi oleh siswa awas yang sekelas dengan masing-masing siswa tunanetra, dilakukan karena siswa awas dalam satu kelas dipandang sebagai sumber informasi utama yang secara langsung mengetahui perilaku sosial siswa tunanetra di kelasnya; (b) lembar observasi berupa pengamatan oleh dua orang pengamat, yaitu oleh konselor sekolah dan guru pembimbing khusus (2) data penguasaan keterampilan interaksi sosial oleh siswa tunanetra di sekolah inklusif yang dikumpulkan melalui kuesioner dan observasi. Untuk mengungkap data penelitian ini diperlukan alat pengumpul data penelitian, yang disajikan dalam tabel berikut:
Tabel 3.1. Data dan Alat Pengumpul Data Penelitian Aspek
Indikator
1. Tingkah laku siswa tunanetra di sekolah inklusif
a. Gambaran diri rendah (Low Self-Image): b. Kurang perhatian pada orang lain (Inconsiderate of others) c. Kurang perhatian pada diri sendiri (Inconsiderate of self)
Alat Pengungkap Kuesioner
Sumber Data Siswa tunanetra (dalam kelas inklusif)
Purwaka Hadi, 2012 Model Konseling Positive Peer Culture Untuk Meningkatkan Interaksi Sosial Siswa Tunanetra Di Sekolah Inklusif Universitas Pendidikan Indonesia | Repository.Upi.Edu
102
d. Masalah otoritas (Authority problem) e. Menyesatkan orang lain (Misleads others) f. Mudah disesatkan (Easily misled) g. Menjengkelkan orang lain (Aggravates other) h. Mudah marah (Easily angered) i. Mencuri (Stealing) j. Masalah alkohol atau obat (Alcohol or drug problem) k. Pembohong (Lying) l. Menghadapi (Fronting) 2. Penguasaan keterampilan interaksi sosial oleh siswa tunanetra di sekolah inklusif
Keterampilan sosial awal: Mendengarkan (be a good listener) Melakukan percakapan (making conversation) : memulai percakapan menikmati percakapan Melakukan perkenalan (introducing): memperkenalkan diri memperkenalkan orang lain Memberi pujian (give compliments) Mengajukan pertanyaan Mengucapkan terimakasih
Siswa awas (kelas inklusif)
Observasi
Kuesioner
Siswa tunanetra (dalam kelas inklusif)
Siswa awas (kelas inklusif)
Observasi
Keterampilan sosial lanjut: Meminta bantuan Kerjasama Memberi instruksi Mengikuti instruksi Meminta maaf Meyakinkan orang lain Menunjukkan empati
Purwaka Hadi, 2012 Model Konseling Positive Peer Culture Untuk Meningkatkan Interaksi Sosial Siswa Tunanetra Di Sekolah Inklusif Universitas Pendidikan Indonesia | Repository.Upi.Edu
103
3. Validitas Instrumen
Kuesioner `Kondisi Interaksi Sosial siswa Tunanetra di sekolah inklusif`
Instrumen Penilaian
Konselor ahli
4. Validitas Model
Model Hipotetik/ teoretik
Instrumen Penilaian Instrumen Penilaian
Konselor ahli Konselor Sekolah
Penilaian
Konselor Sekolah
Model Operasional/ empirik
5. Kualitas Instrumen Aplikasi
a. Pedoman Pembentukan Kelompok Positive Peer Culture (PPC) b. Pedoman operasional Konseling teman sebaya positif (Positive Peer Culture). c. Tayangan Power Point `Bagaimana sikap kita dalam berinteraksi sosial` dan VCD `Hadapilah masalah`.
dan Siswa awas (kelompok PPC + Tim monitor SSR)
Pengembangan alat pengumpul data kuesioner adalah menggunakan skala sikap atau penilaian/pengamatan dengan metode `Likert`s Summated Rating (LSR)`. Prosedur penskalaan adalah dengan metode rating yang dijumlahkan (method of summated rating ) dari Likert. Dalam menentukan nilai skala dengan cara ini, untuk pernyataan bersifat : Favorable (+) Sangat Sesuai Sesuai Ragu-ragu Tidak Sesuai Sangat Tidak Sesuai
(SS) (S) (R) (TS) (STS)
a b c d e
nilai nilai nilai nilai nilai
5 4 3 2 1
Unfavorable (-) a b c d e
nilai nilai nilai nilai nilai
1 2 3 4 5
Purwaka Hadi, 2012 Model Konseling Positive Peer Culture Untuk Meningkatkan Interaksi Sosial Siswa Tunanetra Di Sekolah Inklusif Universitas Pendidikan Indonesia | Repository.Upi.Edu
104
Bentuk laporan data dalam penelitian ini adalah sebuah pernyataan dengan kemungkinan jawaban sebagai berikut: untuk pernyataan tentang tingkah laku siswa tunanetra di sekolah inklusif dan penguasaan keterampilan interaksi sosial oleh siswa tunanetra, alternatif jawabannya adalah: Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Ragu-ragu (R), Tidak Sesuai (TS), Sangat Tidak Sesuai (STS). Kuesioner dikembangkan berdasarkan prosedur dan kebakuan alat ukur, yaitu sebagai berikut: (1) menyusun kisi-kisi kuesioner/instrumen awal; (2) menimbang (judgement) butir-butir pernyataan oleh tiga orang pakar (dua orang Doktor BK dan satu orang Doktor PLB); (3) uji coba dilapangan sebagai dasar penentu tingkat kebakuan pernyataan-pernyataan yang akan digunakan dalam penelitian; dan (4) merumuskan butir-butir item pernyataan untuk alat pengumpul data penelitian. 1. Kisi-kisi kuesioner/instrumen awal Langkah pertama, dengan menyusun kisi-kisi dan merumuskan butir-butir pernyataan kuesioner awal sejumlah 135 item pernyataan untuk aspek `interaksi sosial siswa tunanetra`. 2. Penimbangan instrumen (judgement validity) Langkah kedua, adalah penimbangan instrumen yang dimaksudkan untuk memperoleh kesesuaian antara isi setiap pernyataan dengan indikator variable yang akan diukur. Dengan penimbangan tersebut diharapkan instrumen penelitian layak dipakai. Untuk keperluan penimbangan instrumen peneliti meminta bantuan kepada dua pakar konseling dan satu pakar pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus pada Universitas Pendidikan Indonesia, yang berkualifikasi minimal Doktor pada bidangnya.
Purwaka Hadi, 2012 Model Konseling Positive Peer Culture Untuk Meningkatkan Interaksi Sosial Siswa Tunanetra Di Sekolah Inklusif Universitas Pendidikan Indonesia | Repository.Upi.Edu
105
Koreksi terhadap item yang kurang tepat dan kurang layak, baik mengenai konstruk isi maupun kebahasaannya, oleh peneliti dilakukan revisi atau dibuang sesuai dengan saran-saran para penimbang instrumen tersebut. Untuk lebih mendapatkan kevalid-an tentang keterbacaan naskah instrumen, peneliti melakukan uji keterbacaan terhadap setiap butir item pernyataan dengan meminta bantuan kepada satu guru konselor sekolah dan tiga siswa awas. Setelah divalidasi oleh para pakar kemudian diadakan revisi terhadap item kuesioner, dan ditetapkan sejumlah 131 item pernyataan untuk aspek `interaksi sosial siswa tunanetra di sekolah inklusi`. Instrumen yang telah di revisi sesuai kesalahan yang ditemukan dan saran-saran perbaikan, selanjutnya dilakukan uji coba instrumen. 3. Uji coba instrumen Langkah ketiga, kuesioner diujicobakan dan di hitung bobot nilai skala pernyataannya, maka diperoleh item pernyataan yang dinyatakan valid untuk digunakan sebagai alat pengumpul data, yaitu sejumlah 78 item pernyataan untuk aspek `interaksi sosial siswa tunanetra di sekolah inklusif. Langkah-langkah `try out` atau uji coba instrumen di lokasi penelitian adalah sebagai berikut. a. Lokasi dan Subyek Uji Coba Uji coba instrumen penelitian berupa kuesioner interaksi siswa tunanetra di sekolah inklusif dan sikap siswa awas terhadap siswa tunanetra di sekolah inklusif diberikan kepada responden siswa dalam kelas inklusif, yaitu 40 siswa yang bersekolah di MAN Maguwoharjo, D.I. Yogyakarta.
Purwaka Hadi, 2012 Model Konseling Positive Peer Culture Untuk Meningkatkan Interaksi Sosial Siswa Tunanetra Di Sekolah Inklusif Universitas Pendidikan Indonesia | Repository.Upi.Edu
106
b. Penghitungan Bobot Nilai Skala Pernyataan Setelah dilakukan uji coba instrumen berupa pengisian kuesioner oleh siswa, langkah selanjutnya adalah pengujian bobot nilai skala terhadap instrument dalam bentuk skala sikap. Pengujian bobot nilai skala pernyataan ini dilakukan untuk menguji ketepatan bobot skala setiap pernyataan, sehingga hasil pengukurannya dapat dipergunakan untuk menilai butir item pernyataan mana yang valid untuk dipergunakan dalam pengumpulan data penelitian, sedangkan butir item pernyataan yang tidak valid harus dibuang atau tidak dipergunakan. Sebagaimana disampaikan oleh Azwar (2008: 139) prosedur penskalaan dengan metode rating yang dijumlahkan, dengan asumsi : (a) setiap pernyataan sikap yang telah ditulis dapat disepakati sebagai termasuk pernyataan yang favorable atau pernyataan yang tak-favorabel (b) jawaban yang diberikan oleh individu yang mempunyai sikap positif harus diberi bobot atau nilai yang lebih tinggi dari pada jawaban yang diberikan oleh responden yang mempunyai sikap negatif. Hasil dari pengujian bobot nilai skala pernyataan diperoleh hasil item-item pernyataan yang dinyatakan valid sejumlah 78 butir pernyataan, yaitu item nomor 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 13, 15, 16, 17, 18, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 27, 29, 30, 32, 35, 36, 37, 38, 40, 43, 45, 47, 50, 52, 55, 56, 57, 59, 60, 61, 63, 66, 67, 69, 70, 72, 74, 75, 78, 79, 80, 81, 83, 86, 87, 89, 90, 91, 94, 95, 96, 98, 99, 100, 104, 105, 108, 109, 113, 114, 117, 120, 126, 127, 128, 130, dan 131, sedangkan item pernyataan tidak valid adalah sebanyak 53 item (lihat lampiran
tabel
penghitungan bobot nilai skala). Aspek sikap siswa awas terhadap siswa tunanetra di sekolah inklusif untuk pembentukan kelompok PPC dinyatakan valid sejumlah 25 item pernyataan, yaitu item nomor 1, 3, 4, 6, 7, 10, 11, 12, 14, 16, 18, 21, 22, 26, 27,
Purwaka Hadi, 2012 Model Konseling Positive Peer Culture Untuk Meningkatkan Interaksi Sosial Siswa Tunanetra Di Sekolah Inklusif Universitas Pendidikan Indonesia | Repository.Upi.Edu
107
30, 31, 32, 36, 37, 38, 39, 40, 43, dan 44, sedangkan pernyataan yang tidak valid sebanyak 20 item. Rekap analisis butir/item sejumlah 131 butir, jumlah subyek 40, rata-rata 468.65, dan tingkat reliabilitas instrumen 0.58. 4. Merumuskan butir-butir item pernyataan untuk alat pengumpul data penelitian. Interaksi sosial siswa tunanetra di sekolah inklusif memiliki dua aspek variabel, yaitu: tingkah laku siswa tunanetra dalam berinteraksi sosial di sekolah inklusif dan penguasaan keterampilan interaksi sosial oleh siswa tunanetra di sekolah inklusif. Tabel 3.2. Tabel Distribusi Item/ Butir Pernyataan Kondisi Interaksi Sosial Siswa Tunanetra di Sekolah Inklusif Jumlah Item = 78 butir pernyataan. Total Komponen Obyek Sikap 1. Tingkah laku siswa tunanetra dalam interaksi sosial di sekolah inklusif
42
2. Keterampilan interaksi social oleh siswa tunanetra di sekolah inklusif
36
Total
78
Setelah ditetapkan jumlah total item pernyataan untuk instrumen pengumpul data, maka disusunlah kisi-kisi instrumen tentang kondisi interaksi sosial siswa tunanetra di sekolah inklusi.
Purwaka Hadi, 2012 Model Konseling Positive Peer Culture Untuk Meningkatkan Interaksi Sosial Siswa Tunanetra Di Sekolah Inklusif Universitas Pendidikan Indonesia | Repository.Upi.Edu
108
Tabel 3.3 Kisi-Kisi Instrumen Kondisi Interaksi Sosial Siswa Tunanetra pada Sekolah Inklusif No 1.
Komponen Obyek Sikap `Problem tingkah laku` siswa tunanetra dalam berinteraksi sosial pada Sekolah Inklusif
Nomor Item Positif Negatif
Indikator a. Gambaran diri rendah (Low Self-Image): b. Kurang perhatian pada orang lain (Inconsiderate of others) c. Kurang perhatian pada diri sendiri (Inconsiderate of self) d. Masalah otoritas (Authority problem) e. Menyesatkan orang lain (Misleads others) f. Mudah disesatkan (Easily misled) g. Menjengkelkan orang lain (Aggravates other) h. Mudah marah (Easily angered) i. Mencuri (Stealing) j. Masalah alkohol atau obat (Alcohol or drug problem) k. Pembohong (Lying) l. Menghadapi (Fronting) Jumlah
2.
Penguasaan
∑
4,5
1,2,3,6
6
7,9
8,10
4
11,13
12,14
4
15,16,18
17
4
20,22
19,21
4
24,25
23
3
27
26,28
3
29
30,31
3
32 35
33 34
2 2
37 39,41
36,38 40,42
3 4
20
22
42
44
43
2
45,47
46
3
48
49
2
Keterampilan sosial awal:
keterampilan interaksi sosial oleh siswa tunanetra pada sistem pendidikan Inklusif
a. Mendengarkan (be a good listener) Melakukan percakapan (making conversation): b. memulai percakapan c. menikmati percakapan Melakukan perkenalan
Purwaka Hadi, 2012 Model Konseling Positive Peer Culture Untuk Meningkatkan Interaksi Sosial Siswa Tunanetra Di Sekolah Inklusif Universitas Pendidikan Indonesia | Repository.Upi.Edu
109
No
Komponen Obyek Sikap
Indikator (introducing): d. memperkenalkan diri e. memperkenalkan orang lain f. Memberi pujian (give compliments) g. Mengajukan pertanyaan h. Mengucapkan terimakasih Keterampilan sosial lanjut: i. Meminta bantuan j. Kerjasama k. Memberi instruksi l. Mengikuti instruksi m. Meminta maaf n. Meyakinkan orang lain o. Menunjukkan empaty
Jumlah Jumlah keseluruhan
Nomor Item Positif Negatif
∑
50,52 54
51,53 55
4 2
56,58
57
3
60 62,63,65
59,61 64
3 4
66 68 70 73 76,77
67 69 71 72 74 75,78
2 2 2 1 1 1 4
19
17
36
39
39
78
Berdasarkan kisi-kisi tersebut, kemudian disusun pernyataan-pernyataan yang terdiri dari pernyataan positif (+) sebanyak 39 butir dan pernyataan negative (-) sebanyak 39 butir. Untuk mengukur problem tingkah laku siswa tunanetra dalam berinteraksi sosial terdiri 42 pernyataan dan penguasaan keterampilan interaksi sosial siswa tunanetra terdiri
36
pernyataan.
Jumlah
keseluruhan
item/butir
pernyataan
dalam
kuesioner/instrumen pengumpul data `Interaksi Sosial Siswa Tunanetra di Sekolah Inklusi` adalah 78 butir pernyataan.
Purwaka Hadi, 2012 Model Konseling Positive Peer Culture Untuk Meningkatkan Interaksi Sosial Siswa Tunanetra Di Sekolah Inklusif Universitas Pendidikan Indonesia | Repository.Upi.Edu
110
D. Subyek dan Seting Penelitian Penelitian dilakukan di sekolah reguler MAN Maguwoharjo Yogyakarta yang menyelenggarakan layanan sekolah inklusif di Daerah Istimewa Yogyakarta. Dipilihnya D.I. Yogyakarta sebagai daerah penelitian adalah untuk memperoleh jumlah sampel subyek (Tunanetra klasifikasi low vision berat dan klasifikasi totally blind) yang memenuhi syarat penelitian. Yogyakarta adalah penyelenggara layanan sekolah inklusif dengan siswa tunanetra yang cukup banyak. 1. Subyek penelitian meliputi: a) dua ahli yang memiliki kepakaran bidang konseling dan satu ahli pendidikan anak berkebutuhan khusus yang akan digunakan sebagai validator isi model, minimal bergelar Doktor. b) konselor sekolah dan Guru Pembimbing Khusus yang akan digunakan sebagai validator empiris model operasional sebanyak dua orang dan uji keterbacaan instrumen sebanyak satu orang. c) siswa tunanetra (klasifikasi kurang penglihatan berat dan klasifikasi buta total) yang bersekolah di sekolah inklusif, sebanyak sembilan orang. d) siswa awas yang digunakan dalam uji keterbacaan sebanyak tiga siswa, uji coba kuesioner sebanyak 40 siswa awas dan pengisian kuesioner penelian sebanyak 152 siswa awas. e) siswa awas dan siswa tunanetra yang tergabung dalam kelompok PPC sebanyak 28 siswa (terdiri empat kelompok dan setiap kelompok terdiri tujuh siswa) dan kelompok teman sebaya Non PPC sebanyak 21 siswa (terdiri tiga kelompok/kelas dan setiap kelompok terdiri tujuh siswa).
Purwaka Hadi, 2012 Model Konseling Positive Peer Culture Untuk Meningkatkan Interaksi Sosial Siswa Tunanetra Di Sekolah Inklusif Universitas Pendidikan Indonesia | Repository.Upi.Edu
111
f) tim monitor treatmen desain Penelitian Subyek Tunggal, yaitu kelompok siswa yang bertugas mencatat kemajuan hasil treatmen model konseling Positive Peer Culture pada kegiatan eksperimen Single Subject Research (SSR), sebanyak 7 siswa (satu siswa dalam satu kelas inklusif). 2. Seting penelitian Data di lapangan menunjukkan bahwa seluruh siswa tunanetra yang masuk di sekolah umum/reguler adalah alumni sekolah dasar dan sekolah lanjutan pertama yang masuk dalam layanan Sekolah Luar Biasa (SLB dan SDLB). Sehingga bersekolah di sekolah umum adalah pengalaman baru yang membutuhkan orientasi dan mobilitas lingkungan baru/lingkungan awas, kemampuan berinteraksi dengan siswa awas di sekolah, dan
kemampuan
beradaptasi dengan perilaku-perilaku baru yang muncul dalam pola-pola hubungan sosial di sekolah inklusif. MAN Maguwoharjo Yogyakarta mendistribusikan siswa tunanetra dengan menempatkan satu siswa tunanetra pada setiap kelas yang berbeda. Tujuan dari penempatan ini adalah agar siswa tunanetra dan siswa awas di sekolah segera dapat beradaptasi, sehingga harapan menjadi sekolah yang inklusif terwujud. Kondisi lingkungan sekolah dan perilaku siswa awas pada awalnya dirasakan sangat asing bagi siswa tunanetra. Selama sesi konseling dalam penelitian kondisi dan perilaku ini tidak di ubah, karena tujuan diterapkan penelitian model konseling PPC adalah agar siswa tunanetra segera bisa beradaptasi. Siswa awas dalam sekolah inklusif dibimbing untuk dapat menjadi kelompok sebaya positif yang memiliki validitas dan aksebilitas bagi siswa tunanetra. Selama sesi Purwaka Hadi, 2012 Model Konseling Positive Peer Culture Untuk Meningkatkan Interaksi Sosial Siswa Tunanetra Di Sekolah Inklusif Universitas Pendidikan Indonesia | Repository.Upi.Edu
112
penelitian uji model setiap siswa tunanetra didampingi oleh siswa kelompok postive peer culture (PPC) di kelasnya. Tugas kelompok
PPC adalah
memberikan motivasi kepada siswa tunanetra untuk melakukan tugas interaksi sosial, memberi bimbingan dan contoh berinteraksi sosial, memberi semangat dengan ucapan pujian `...naah gitu loooh..., .... naaah ituu baru Brian (nama tunanetra),...` dan sebagainya. Perubahan perilaku yang terjadi selama sesi konseling atau intervensi uji model pada siswa tunanetra akan dicatat dalam catatan kejadian oleh siswa awas pengamat yang duduk sekelas dengan siswa tunanetra.
E. Prosedur dan Tahap-tahap Penelitian Penelitian ini bertujuan menghasilkan model konseling Positive Peer Culture (PPC) untuk meningkatkan interaksi sosial siswa tunanetra di sekolah inklusif. Prosedur penelitian mendasarkan pada pendekatan penelitian dan pengembangan (research and development), adalah sebagai proses yang digunakan untuk mengembangkan, memvalidasi produk atau model, dan menguji keefektifan model tersebut (Borg and Gall, 1989). Prosedur R&D digunakan karena kajian ini berangkat dari adanya potensi atau masalah, dilakukan dengan menempuh beberapa langkah : Survey awal Potensi dan Masalah – Pengumpulan Data/ informasi – Merancang Desain Produk – Validasi Desain – Revisi Desain – Ujicoba Terbatas Produk – Revisi Produk – Ujicoba Luas Pemakaian – Revisi Produk – Model Akhir, Diseminasi dan Sosialisasi (Sugiyono, 2007: 409).
Purwaka Hadi, 2012 Model Konseling Positive Peer Culture Untuk Meningkatkan Interaksi Sosial Siswa Tunanetra Di Sekolah Inklusif Universitas Pendidikan Indonesia | Repository.Upi.Edu
113
Langkah-langkah penelitian tersebut dapat diringkas ke dalam empat tahap, yaitu: tahap I studi pendahuluan, tahap II pengembangan dan validasi model, tahap III uji lapangan efektifitas model, dan tahap IV diseminasi/ distribusi model, digambarkan dalam skema penelitian sebagai berikut:
Purwaka Hadi, 2012 Model Konseling Positive Peer Culture Untuk Meningkatkan Interaksi Sosial Siswa Tunanetra Di Sekolah Inklusif Universitas Pendidikan Indonesia | Repository.Upi.Edu
114
TAHAP I
Studi Pendahuluan KEGIATAN
HASIL
Survey awal, kaji konsep/literatur, kaji hasil penelitian, Merancang model
Model Hipotetik
TAHAP II Pengembangan & Validasi Model
KEGIATAN
HASIL
Validasi Isi, Validasi Empiris, Revisi Model
Model Operasional TAHAP III Uji Lapangan Efektifitas Model
KEGIATAN Uji Terbatas + Revisi, Uji Efektifitas Model dengan desain Single Subject Research + Revisi Model
HASIL
Model Teruji TAHAP IV
Pengenalan Model Kegiatan: Seminar Nasional, Pembuatan Buku Pedoman
Tahap 1: Studi Pendahuluan Gambar 3.1. Alur Proses Pengembangan Model
Purwaka Hadi, 2012 Model Konseling Positive Peer Culture Untuk Meningkatkan Interaksi Sosial Siswa Tunanetra Di Sekolah Inklusif Universitas Pendidikan Indonesia | Repository.Upi.Edu
115
Tahap 1: Studi Pendahuluan Dilakukan untuk memperoleh berbagai informasi awal, untuk memotret kondisi obyektif di lapangan tentang kesiapan psikologis dan kemampuan interaksi sosial tunanetra, yang akan dijadikan dasar serta digunakan untuk merencanakan atau merancang model teoretik-hipotetik. Kegiatan ini dilakukan dengan survey awal melalui observasi dan wawancara kepada siswa tunanetra dan siswa awas, konselor, Guru Pembimbing Khusus, kepala sekolah. Kegiatan lain adalah menelaah konsep, mengkaji hasil-hasil penelitian yang terkait. Kegiatan meliputi: a) Survey awal, dilakukan untuk memperoleh kejadian aktual dan faktual berkaitan dengan problem sosial dan kemampuan keterampilan interaksi sosial pada tunanetra yang belajar di sekolah inklusif. b) Mengkaji konseptual melalui telaah literatur, untuk memperoleh informasi teoretik berkaitan dengan konseling Positive Peer Culture (PPC) untuk mengembangkan kemampuan keterampilan interaksi sosial. c) Kajian empiris, dilakukan dengan telaah hasil-hasil penelitian yang berkaitan dengan keterampilan interaksi sosial yang relevan. d) Merencanakan dan merancang model awal (Model Hipotetik) konseling Positive Peer Culture (PPC) untuk meningkatkan kemampuan interaksi sosial siswa tunanetra. Tahap 2: Pengembangan dan Validasi Model Model Hipotetik yang telah dirumuskan merupakan landasan untuk memasuki tahap pengembangan dan validasi model hipotetik tersebut. Tahapan ini meliputi kegiatan:
Purwaka Hadi, 2012 Model Konseling Positive Peer Culture Untuk Meningkatkan Interaksi Sosial Siswa Tunanetra Di Sekolah Inklusif Universitas Pendidikan Indonesia | Repository.Upi.Edu
116
a) Validasi Isi, model hipotetik divalidasikan kepada tiga ahli yang memiliki kepakaran dalam bidang konseling, yang berkualifikasi Doktor.
Model
hipotetik yang tervalidasi merupakan model yang sudah valid dalam rumusan isi, kesesuaian teoretik, efisiensi, implementatif. b) Validasi empirik, model hipotetik divalidasikan kepada para praktisi yang terlibat langsung dalam pelaksanaan konseling di lapangan, yaitu konselor serta guru pembimbing khusus yang bertugas pada MAN di sekolah inklusif bagi tunanetra. Validasi praktisi ini dimaksudkan untuk mengkaji model hipotetik dan memperoleh informasi tentang kemungkinan kelayakan aplikasi model konseling tersebut sesuai dengan kondisi obyektif di lapangan/ sekolah. c) Validasi Isi dan Validasi Empirik dari para pakar dan praktisi akan memberikan informasi dan masukan yang akan digunakan peneliti untuk merevisi model hipotetik dan mengembangkan menjadi Model Operasional. Tahap 3: Uji Lapangan Efektifitas Model Model Operasional yang telah dirumuskan, kemudian diaplikasikan dan dilakukan uji keefektifan model di lapangan melalui kegiatan uji operasional atau uji empirik. Kegiatan ini meliputi: a. Uji coba terbatas, dilaksanakan untuk mendapatkan masukan kritis dari guru dan siswa awas maupun tunanetra yang bersekolah di sekolah inklusif dengan melibatkan 2 orang siswa tunanetra dan 6 orang siswa awas. Kegiatan pada tahap ini meliputi: menyusun teknis uji coba terbatas, menunjuk dan bekerjasama dengan konselor sekolah serta Guru Pembimbing Khusus, melaksanakan uji coba (pengisian kuesioner, pembentukan dan bimbingan Purwaka Hadi, 2012 Model Konseling Positive Peer Culture Untuk Meningkatkan Interaksi Sosial Siswa Tunanetra Di Sekolah Inklusif Universitas Pendidikan Indonesia | Repository.Upi.Edu
117
kelompok positive peer culture (PPC), adegan konseling), diskusi dan refleksi sebagai bahan masukan dan revisi model. Setelah dilakukan uji kelayakan dan dilakukan revisi model konseling, langkah selanjutnya adalah uji coba terbatas. Uji coba terbatas ini dilakukan dengan tujuan agar model konseling dapat dipahami oleh pengguna model dan dengan mudah dapat diaplikasikan dilapangan. Uji coba terbatas dilakukan melalui diskusi terfokus (focus group discussion). Dalam diskusi terfokus dipandu langsung oleh peneliti, sedangkan unsur yang dilibatkan dalam uji terbatas adalah konselor, guru pembimbing khusus, siswa awas, dan siswa tunanetra. Dari uji terbatas dihasilkan beberapa saran-saran sebagai masukan untuk perbaikan model operasional dan pedoman operasional model konseling PPC.. Saran-saran yang disampaikan dalam diskusi terfokus tersebut lebih banyak terkait dengan perbaikan redaksi dan penggunaan beberapa istilah teknis yang masih terasa terasing. Beberapa aspek yang dibahas serta saran-saran perbaikan dalam diskusi terfokus, diantaranya: a) tujuan dirumuskannya model konseling PPC; b) peran konselor; dan c) sesi-sesi pelaksanaan konseling PPC. Hasil diskusi terfokus ini menjadi dasar dilakukannya revisi untuk penyempurnaan model konseling operasional sebelum dilakukannya uji lapangan atau uji empirik. b. Sebelum dilakukan uji efektifitas model, diawali dengan `pembentukan konselor sebaya` yang diarahkan untuk memiliki sikap positive peer culture, konselor sebaya tersebut nantinya digunakan sebagai pelaksana model di lapangan. Materi pelatihan adalah berkaitan dengan pembentukan kelompok Purwaka Hadi, 2012 Model Konseling Positive Peer Culture Untuk Meningkatkan Interaksi Sosial Siswa Tunanetra Di Sekolah Inklusif Universitas Pendidikan Indonesia | Repository.Upi.Edu
118
sebaya yang memiliki sikap positif sebagai peer support, bagaimana melaksanakan konseling untuk memecahkan masalah kesulitan berinteraksi sosial bagi tunanetra dalam kelompok positive peer culture. c. Uji Lapangan Efektifitas Model dilakukan menggunakan eksperimen penelitian Subyek Tunggal atau Single Subject Research (SSR) desain Multiple Baseline, yang digunakan untuk mengetahui variasi perkembangan kemampuan interaksi sosial tunanetra di sekolah inklusif selama diberikan model atau perlakuan. Dengan melihat tabel identifikasi problem interaksi sosial siswa tunanetra pada tiap kelas serta tabel masalah interaksi sosial yang tergolong masalah kategori berat, maka uji kelayakan efektifitas model konseling PPC untuk meningkatkan interaksi sosial siswa tunanetra di sekolah inklusif meliputi: Kelompok
Kelas
PPC
XC XE XF XI IPS 2
Nama Siswa Tunanetra Febri Dhono Dodo Setyo
NON PPC
XA XB XD
Dulah Tosin Priyo
Target Behavior 1. bergaul dengan teman awas 2. merespon percakapan dengan gerakan atau ucapan 3. bertanya dalam suatu percakapan
d. Uji kelayakan juga dilakukan dengan metode partisipatif kolaboratif melalui diskusi dengan para ahli, teman sejawat, konselor, dan unsur-unsur yang terlibat dalam pengembangan interaksi sosial, selanjutnya memperbaiki pengembangan model operasional secara kolaboratif. Hasil uji keefektifan model operasional akan dijadikan bahan informasi untuk mengadakan revisi kembali serta menyempurnakan menjadi Model Teruji
Purwaka Hadi, 2012 Model Konseling Positive Peer Culture Untuk Meningkatkan Interaksi Sosial Siswa Tunanetra Di Sekolah Inklusif Universitas Pendidikan Indonesia | Repository.Upi.Edu
119
atau Model Akhir. Model akhir inilah yang akan direkomendasikan untuk dapat dilaksanakan sebagai salah satu model implementatif yang dapat digunakan oleh sekolah. Tahap 4: Diseminasi dan Distribusi Model Kegiatan diseminasi dan distribusi akan dilakukan dengan penyebarluasan model teruji melalui publikasi pada kegiatan seminar nasional, penyusunan serta penerbitan buku dan buku saku panduan pembentukan positive peer culture, yang dilakukan setelah kegiatan pokok penelitian selesai dan dihasilkan Model Teruji.
F. Teknik Analisis Data 1. Analisis Kelayakan Model Konseling positive peer culture untuk Meningkatkan Interaksi Sosial Siswa Tunanetra di Sekolah Inklusif Teknik yang digunakan dalam menganalisa kelayakan model meliputi uji validitas, uji keterbacaan, dan uji kepraktisan. Uji validitas (validity) rasional dan uji keterbacaan (readability) kelayakan model hipotetik dilakukan oleh dua pakar bidang BK dan satu pakar bidang PLB, minimal berpredikat Doktor. Model hipotetik yang sudah dirumuskan dilakukan uji kelayakan model melalui penilaian oleh para pakar (expert judgment). Uji kelayakan model untuk validasi rasional dilakukan melalui konsultasi dan diskusi dengan dua pakar konseling dan satu pakar pendidikan anak berkebutuhan khusus. Para pakar yang dilibatkan untuk memberikan penilaian, pengkajian dan penimbang (uji validitas) model konseling positive peer culture untuk meningkatkan interaksi sosial siswa tunanetra di sekolah inklusif, yaitu: Dr. Mubiar Agustin, M.Pd., Dr. Ipah Saripah, M.Pd, dan Dr. Djadja Rahardja, M.Ed. Purwaka Hadi, 2012 Model Konseling Positive Peer Culture Untuk Meningkatkan Interaksi Sosial Siswa Tunanetra Di Sekolah Inklusif Universitas Pendidikan Indonesia | Repository.Upi.Edu
120
Uji kepraktisan (usebility) dan uji keterbacaan (readability) kelayakan model operasional dilakukan oleh konselor sekolah, guru pembimbing khusus, dan siswa awas di sekolah inklusif. Uji ini dilakukan melalui diskusi terfokus setelah diadakan uji terbatas model konseling positive peer culture untuk meningkatkan interaksi sosial siswa tunanetra di sekolah inklusif. Pokok-pokok penimbangan dan pengkajian yang di lakukan oleh para pakar dan praktisi konseling mencakup aspek struktur model dan isi model. Struktur model meliputi judul, penggunaan istilah, sistematika, keterbacaan, kelengkapan, dan kesesuaian antar komponen model. Sedangkan dari aspek isi model meliputi rasional, tujuan, ruang lingkup, pendukung sistem layanan, peranan konselor, prosedur pelaksanaan, dan evaluasi dan indikator keberhasilan. Hasil uji kelayakan model hipotetik konseling positive peer culture untuk meningkatkan interaksi sosial siswa tunanetra di sekolah inklusif yang dilakukan oleh para pakar diperoleh hasil, yaitu: a) komponen-komponen yang termuat dalam model konseling hipotetik yang dikembangkan sudah memadai sebagai suatu model; b) rasional model dipertegas dengan pendekatan teori yang relevan dan mendukung. Hasil uji kelayakan model operasional diperoleh saran perlu lebih terinci kejelasan tahap-tahap atau sesi-sesi pelaksanaan konseling. Hasil penilaian dan beberapa saran menjadi dasar revisi model hipotetik dan model operasional konseling positive peer culture untuk meningkatkan interaksi sosial siswa tunanetra di sekolah inklusif.
Purwaka Hadi, 2012 Model Konseling Positive Peer Culture Untuk Meningkatkan Interaksi Sosial Siswa Tunanetra Di Sekolah Inklusif Universitas Pendidikan Indonesia | Repository.Upi.Edu
121
2. Analisis Efektifitas Konseling positive peer culture untuk Meningkatkan Interaksi Sosial Siswa Tunanetra di Sekolah Inklusif. Pencatatan data pada desain eksperimen yang dirancang dengan pendekatan penelitian Subyek Tunggal atau Single Subject Research (SSR) adalah pencatatan dengan Observasi Langsung, adalah kegiatan observasi secara langsung yang dilakukan untuk mencatat data variabel terikat pada saat kejadian atau perilaku terjadi. (Sunanto, 2005: 20). Jenis pencatatan data yang menggunakan prosedur observasi secara langsung, meliputi: 1) pencatatan kejadian, yaitu dengan cara memberikan tanda tally pada kertas setiap perilaku terjadi; 2) pencatatan durasi, yaitu pencatatan tentang berapa lama suatu kejadian atau target behavior terjadi; 3) pencatatan latensi, adalah pencatatan terhadap berapa lama waktu yang diperlukan subyek untuk memulai suatu perilaku setelah mendapat stimulus; 4) pencatatan interval, adalah pencatatan yang dilakukan dengan membagi periode waktu observasi kedalam interval waktu yang lebih kecil dan mencatat kejadian yang terjadi pada setiap interval waktu tersebut secara terus menerus (continue); dan 5) pencatatan sampel waktu, adalah pengamatan terjadi atau tidak terjadinya target behavior hanya dilakukan pada akhir setiap interval. Jenis pencatatan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah prosedur observasi secara langsung dengan pencatatan kejadian, yaitu dengan cara memberikan tanda tally pada tabel setiap perilaku/ target behavior terjadi. Pencatatan kejadian ini dilakukan dalam berbagai baseline, meliputi: cross subject, cross conditions, dan cross variables.
Purwaka Hadi, 2012 Model Konseling Positive Peer Culture Untuk Meningkatkan Interaksi Sosial Siswa Tunanetra Di Sekolah Inklusif Universitas Pendidikan Indonesia | Repository.Upi.Edu
Studi Pendahuluan
122
Teknik analisis data dengan sistem pencatatan dan pengukuran Single Subject Research yang analisis datanya dilakukan subyek per subyek (Heppner, 2008: 188), adalah memperolah gambaran kelayakan operasional desain model konseling Positive Peer Culture (PPC) untuk meningkatkan interaksi sosial siswa tunanetra di sekolah inklusif. Komponen analisis data untuk desain multiple baseline adalah dengan metode analisis visual (Sunanto, 2005: 96), yaitu: 1) banyaknya data point (skor) dalam setiap kondisi; 2) banyaknya variabel terikat yang akan diubah; 3) tingkat stabilitas dan perubahan level data dalam suatu kondisi atau antar kondisi; dan 4) arah perubahan dalam kondisi maupun antar kondisi. Penelitian ini menggunakan dua kelompok subyek siswa tunanetra, yaitu: 1) kelompok siswa yang tergabung dalam konseling dengan pendekatan Positive Peer Culture (selanjutnya disebut kelompok PPC); dan 2) kelompok siswa yang tergabung dalam konseling sebaya (selanjutnya disebut kelompok NON PPC). Penggunaan kelompok yang berbeda ini untuk menguji atau melihat perbedaan efektifitas antara konseling sebaya biasa dengan konseling dengan pendekatan Positive Peer Culture untuk meningkatkan interaksi sosial siswa tunanetra di sekolah inklusif.
Purwaka Hadi, 2012 Model Konseling Positive Peer Culture Untuk Meningkatkan Interaksi Sosial Siswa Tunanetra Di Sekolah Inklusif Universitas Pendidikan Indonesia | Repository.Upi.Edu