BAB III METODE PENELITIAN
A. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian saat ini berfokus kepada Kinerja Keuangan Daerah dan tingkat kemandirian daerah. Dimana dalam melakukan analisis tersebut menggunakan rasio keuangan. Antara lain untuk kinerja keuangan daerah menggunakan analisis rasio efektivitas, rasio aktivitas, rasio Efisiensi. Sedangkan untuk tingkat kemandirian daerah menggunakan alat analisis rasio kemandirian dan rasio ketergantungan daerah berdasarkan APBD tahun 20092014. B. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan merupakan data sekunder. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari suatu intansi atau perusahaan terkait. Data yang digunakan antara lain yaitu : 1.
Data pendapatan Daerah. Pada kasus Kota Salatiga pada tahun 2009-2014 bersumber dari Kantor DPPKA Kota Salatiga, untuk Kota Semarang pada tahun 2009-2013 bersumber dari DJPK RI dan pada tahun 2014 bersumber dari BPS Kota Semarang.
2.
Data Pendapatan Asli Daerah (PAD). Pada kasus Kota Salatiga pada tahun 2009-2014 bersumber dari Kantor DPPKA Kota Salatiga, untuk Kota Semarang pada tahun 2009-2013 bersumber dari DJPK RI dan pada tahun 2014 bersumber dari BPS Kota Semarang.
39
40
3.
Data pendapatan transfer. Pada kasus Kota Salatiga pada tahun 2009-2014 bersumber dari Kantor DPPKA Kota Salatiga, untuk Kota Semarang pada tahun 2009-2013 bersumber dari DJPK RI dan pada tahun 2014 bersumber dari BPS Kota Semarang.
4.
Data dana perimbangan. Pada kasus Kota Salatiga pada tahun 2009-2014 bersumber dari Kantor DPPKA Kota Salatiga, untuk Kota Semarang pada tahun 2009-2013 bersumber dari DJPK RI dan pada tahun 2014 bersumber dari BPS Kota Semarang.
5.
Data belanja daerah. Pada kasus Kota Salatiga pada tahun 2009-2014 bersumber dari Kantor DPPKA Kota Salatiga, untuk Kota Semarang pada tahun 2009-2013 bersumber dari DJPK RI dan pada tahun 2014 bersumber dari BPS Kota Semarang.
6.
Data belanja operasi Pada kasus Kota Salatiga pada tahun 2009-2014 bersumber dari Kantor DPPKA Kota Salatiga, untuk Kota Semarang pada tahun 2009-2013 bersumber dari DJPK RI dan pada tahun 2014 bersumber dari BPS Kota Semarang.
7.
Data belanja modal. Pada kasus Kota Salatiga pada tahun 2009-2014 bersumber dari Kantor DPPKA Kota Salatiga, untuk Kota Semarang pada tahun 2009-2013 bersumber dari DJPK RI dan pada tahun 2014 bersumber dari BPS Kota Semarang.
C. Teknik Pengambilan Data Teknik pengambilan data dengan mengunduh dari website resmi Kota Salatiga dan Kota Semarang, mengunduh dari website BPS masing-masing
41
daerah serta mengunduh dari website Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan RI. Selain mengunduh yaitu dengan cara memohon izin pada intansi untuk meminta data yang diperlukan di DPPKA maupun di BPS. Data yang di perlukan adalah data Laporan Realisai APBD. D. Definisi Operasional Variabel Pada penelitian ini, operasional variable yang digunakan adalah : 1. Pendapatan Daerah Pendapatan Daerah berasal dari jumlah pendapatan asli Daerah, dana perimbangan serta lain-lain pendapatan yang Sah. (dalam satuan ribuan rupiah). 2. Pendapatan Asli Daerah PAD berasal dari jumlah penerimaan pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan perusahaan dan kekayaan alam, serta lain-lain PAD yang sah. (dalam satuan ribuan rupiah). 3. Pendapatan Transfer Pendapatan Transfer berdasarkan format SAP berasal dari jumlah transfer Pemerintahan Pusat-dana perimbangan, transfer pemerintahan pusatlainnya, transfer pemerintahan provinsi. (dalam satuan ribuan rupiah). 4. Dana Perimbangan Dana perimbangan didapat dari dana bagi hasil, dana alokasi umum, dan dana alokasi khusus. (dalam satuan ribuan rupiah).
42
5. Belanja Daerah Belanja daerah berdasarkan format SAP terdiri dari belanja operasi, belanja modal dan belanja tak terduga. (dalam satuan ribuan rupiah). 6. Belanja Operasi Belanja yang terdiri dari belanja pegawai, belanja barang, belanja subsidi, belanja hibah, belanja bantuan sosial, belanja bantuan keuangan. (dalam satuan ribuan rupiah) 7. Belanja Modal Belanja yang terdiri belanja tanah, belanja peralatan dan mesin, belanja gedung dan bangunan, belanja jalan, irigasi dan jaringan, belanja aset tetap lainnya dan belanja aset lainnya. (dalam satuan ribuan rupiah) E. Tehnik Analisis 1. Analisis Deskriptif Analisis ini dimaksudkan untuk menggambarkan tentang kondisi keuangan daerah Kota Salatiga dan Kota Semarang dengan melihat pertumbuhan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dari tahun ke tahun. 2.
Analisis Kuantitatif a.
Analisis Kinerja Keuangan Daerah Dalam melakukakan analisis kinerja keuangan daerah menggunakan rasio, yaitu
43
1) Rasio Efektivitas Rasio Efektivitas menggambarkan kemampuan pemerintah daerah dalam melaksanakan pendapatan asli daerah yang telah direncanankan
dengan
membandingkan
target
yang
telah
ditetapkan. Rasio efektivitas berdasarkan Halim (2012: 234) sebagai berikut, Rasio Efektivitas =
Realisasi PAD Target PAD
X 100%
………………..(3.1)
Kinerja daerah dalam melakukan tugas mengelola keuangan akan dikategorikan efektif apabila rasio yang dicapai mencapai minimal sebesar 1 atau 100%. Apabila penghitungan dengan rasio efektivitas ini semakin besar maka kinerja yang dilakukan semakin baik. Tabel 3.1 Indikator Penilaian Efektivitas Keuangan Daerah Persen (1) >100% 90%-100% 80%-90% 60%-80% <60%
Keterangan (2) Sangat Efektif Efektif Cukup Efektif Kurang Efektif Tidak Efektif
Sumber : Depdagri, Kepmendagri No. 90.900.327 Tahun 1996 dalam Bisma dan Susanto (78: 2010) 2) Rasio Efisiensi Rasio
efisiensi
adalah
rasio
yang
menggambarkan
perbandingan antara besarnya biaya yang telah dikeluarkan oleh pemerintah untuk mendapatkan pendapatan dengan realisasi
44
pendapatan dari anggaran yang telah diterima.
Rasio Efisiensi
berdasarkan Halim (2012: 234) sebagai berikut, Rasio Efisiensi =
Jumlah Belanja Realisasi PAD
X 100%
…...…..(3.2)
Kinerja Pemerintahan dikatakan efisien apabila dalam melakukan pemungutan pendapatan rasio yang dicapai pada saat dilakukan penghitungan dibawah 100%. Semakin kecil rasio efisiensi berarti kinerja pemerintah dalam mengelola keuangan daerah semakin baik. Tabel 3.2 Indikator Penilaian Efisiensi Keuangan Daerah Persen (1) >100% 90%-100% 80%-90% 60%-80% <60%
Keterangan (2) Tidak Efisiensi Kurang Efisiensi Cukup Efisiensi Efisiensi Sangat Efisiensi
Sumber : Kepmendagri No. 690.900.327 Tahun 1996 dalam I Dewa Gde dan Hery Susanto (79: 2010) 3) Rasio Aktivitas Rasio Aktivitas merupakan gambaran dimana pemerintah daerah mengutamakan alokasi dananya pada belanja rutin dan belanja pembangunan secara maksimal. Apabila presentasi dari dana yang dialokasikan untuk belanja rutin tinggi, maka presentasi belanja pembangunan yang digunakan untuk fasilitas ekonomi
45
cendrung semakin kecil. Rasio Aktivitas berdasarkan Halim (2012: 236) sebagai berikut, Rasio belanja Operasi
Jumlah Belanja operasi =
Rasio belanja modal
X 100%
….……… .(3.3)
X 100%
…… .(3.4)
Total APBD Jumlah Belanja modal
=
Total APBD
b. Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah 1)
Rasio Kemandirian Rasio kemandirian merupakan alat analisis yang digunakan untuk
mengetahui
kemampuan
pemerintah
daerah
dalam
membiayai program kegiatannya, pembangunan, dan pelayanan pada masyarakat dengan sendiri. Rasio kemandirian berdasarkan bisma dan susanto (2010: 78) sebagai berikut: Rasio Kemandirian =
PAD X 100%
…..………..(3.5)
Dana Perimbangan
Tabel 3.3 Indikator Penilaian Kemandirian Keuangan Daerah Persen (1) 0%-25% 25%-50% 50%-75% 75%-100%
Keterangan (2) Rendah Sekali Rendah Sedang Tinggi
Sumber : Kepmendagri No. 690.900.327/1996 dalam Pramono (2014: 105)
46
Rasio
kemandirian
menggambarkan
ketergantungan
pemerintah daerah terhadap dana ekternal terutama pada pemerintah pusat. Apabila presentasi rasio kemandirian tinggi maka tingkat ketergantungan terhadap pemerintah pusat semakin rendah, begitu pula selanjutnya. Selain itu pula, rasio ini juga menggambarkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah. Apabila rasio kemandirian tinggi maka tingkat partisipasi masyarakat terutama dalam pembayaran pajak dan retribusi yang menjadi pendapatan dalam PAD juga tinggi dan menandakan kesejahteraan rakyat. 2) Rasio Ketergantungan Rasio Ketergantungan merupakan rasio dari penerimaan transfer terhadap total penerimaan daerah, dimana semakin besar nilai rasio tersebut, maka kinerja dalam melakukan pengelolaan keuangan masih belum baik. Hal tersebut menandakan bahwa belum mandirinya daerah tersebut karena belum mampu membiayai belanja daerahnya sendiri dan masih tergantung pada pemerintahan pusat. Semakin kecil nilai rasio ketergantungan maka menandakan bahwa daerah tersebut semakin mandiri. Rasio ketergantungan berdasarkan dari Basri dkk (2013: 83) sebagai berikut:
47
Penerimaan Transfer TKtD =
Total Penerimaan Daerah
X 100% …..……..(3.6)
Namun karena kepentingan analisis, variabel Rasio Ketergantungan diubah menjadi, Pendapatan Transfer TKtD =
Total Pendapatan Daerah
X 100%
….……..(3.7).
Variabel rasio ketergantungan disesuaikan dengan format Laporan Realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (LRAPBD).
Indikator
yang
digunakan
untuk
menilai
ketergantungan keuangan daerah seperti terlampir pada tabel 3.4. Tabel 3.4 Indikator Penilaian Ketergantungan Keuangan Daerah Persen (1) ≤25%
25% - 50%
51% - 75%
76% - 100%
Keterangan (2) Ketergantungan fiskal dinyatakan sangat kecil berarti kinerja anggaran sangat baik Ketergantungan fiskal dinyatakan cukup berarti kinerja anggaran cukup baik Ketergantungan fiskal dinyatakan cukup besar berarti kinerja anggaran kurang baik Ketergantungan fiskal dinyatakan sangat besar berarti kinerja anggaran sangat buruk sekali.
Sumber : (Basri, Syaparuddin dan Junaidi 2013: 83)