BAB III METODE PENELITIAN
3.1.
Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan jenis penelitian survei analitik yaitu suatu
penelitian yang dilakukan tanpa melakukan intervensi terhadap subyek penelitian atau noneksperimental yang bertujuan untuk menjelaskan suatu keadaan atau situasi dengan desain cross sectional, dimana variabel bebas dan variabel terikat yang terjadi pada obyek penelitian diukur dan dikumpulkan pada waktu yang bersamaan. Pendekatan ini digunakan untuk melihat hubungan antara variabel satu dengan variabel yang lain (Notoatmodjo, 2010).
3.2.
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Usaha Penampungan “Butut” Jalan KL.
Yosudarso Km. 7,9 Kelurahan Tanjung Mulia Hilir Kecamatan Medan Labuhan, pada bulan Juli - Oktober 2013.
3.3.
Populasi Dan Sampel
3.3.1. Populasi Penelitian Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pekerja yang bekerja di proses press-packing usaha penampungan “butut” yang berjumlah 20 orang, namun pada saat dilakukan pemeriksaan fungsi paru terdapat 1 orang pekerja fungsi parunya tidak dapat diukur karena kurangnya suplay arus listrik ke Spirometer BTL-08 Pro,
Universitas Sumatra Utara
hal ini diakibatkan adanya penggunaan kipas angin di ruangan tempat pemeriksaan. Oleh karena itu populasi dalam penelitian ini menjadi 19 orang. 3.3.2. Sampel Penelitian Besarnya sampel dalam penelitian ini adalah seluruh populasi (Total Sampling) yaitu sebanyak 19 orang.
3.4.
Metode Pengumpulan Data
3.4.1. Data Primer Data primer diperoleh dengan cara : 1. Pengukuran kadar debu lingkungan kerja proses press-packing dengan menggunakan
Low
Volume
Dust
Sampler
(LVDS),
sedangkan
pengukuran fungsi paru pekerja diukur dengan menggunakan Spirometer BTL 08 Spiro Pro. 2. Wawancara dengan menggunakan kuesioner tentang identitas pekerja meliputi : umur, kebiasaan merokok, masa
kerja, pemakaiaan APD
(masker), riwayat penyakit paru dengan merujuk pada kuesioner penelitian Antonius Sardjanto (Program Studi Pascasarjana Kesehatan Kerja FKM UI) tahun 2012 3.4.2. Data Sekunder Data sekunder diperoleh peneliti bersumber dari data yang dimilki oleh pengusaha penampungan butut.
Universitas Sumatra Utara
3.4.3. Definisi Operasional 1. Kadar debu Konsentrasi debu dalam (mg) tiap (m3) udara yang berada di tempat kerja proses press-packing yang diukur dengan Low Volume Dust Sampler (LVDS) oleh petugas dari Balai Keselamatan dan Kesehatan Kerja (Balai K3) Medan yang dikategorikan menjadi : 1.
Konsentrasi debu diatas NAB (> 3 mg/m3)
2.
Konsentrasi debu dibawah NAB (< 3mg/m3)
Skala : Nominal Pengukuran kadar debu di tempat kerja proses press-packing dilaksanakan pada saat pekerja sedang melakukan kegiatan/aktivitas proses presspacking di empat titik pengkuran yang berbeda dengan lama pengukuran 30 menit tiap satu titik pengukuran. 2. Fungsi Paru Pemeriksaan
fungsi
paru
pekerja
proses
press-packing
dengan
menggunakan spirometer BTL - 08 Spiro Pro oleh petugas analis kesehatan dari Balai Keselamatan dan Kesehatan Kerja (Balai K3) Medan yang dikategorikan menjadi :
1. Normal 2. Tidak normal
Skala : Nominal Pemeriksaan fungsi paru pekerja proses press-packing dilakukan pada saat pekerja sedang bekerja yaitu pukul 10.30-12.00 wib dan dilanjutkan kembali
Universitas Sumatra Utara
setelah jam istirahat yaitu pukul 13.30 wib sampai dengan selesai di ruangan operator penimbangan. 3. Umur Usia pekerja proses press-packing sampai pada saat penelitian ini berlangsung yang ditanyakan pada saat mengajukan kuesioner yang dikategorikan berdasarkan uji median ( lampiran 1) menjadi : 1. ≤ 31 tahun 2. > 31 tahun Skala : Nominal 4. Kebiasaan merokok Aktivitas menghisap rokok yang dilakukan oleh pekerja yang diukur pada saat
wawancara
langsung
dikategorikan menjadi :
kepada
pekerja
proses
press-packing
1. Merokok (Ya) 2. Tidak merokok (Tidak)
Skala : Nominal 5. Masa kerja Lamanya pekerja bekerja di tempat kerja (tahun) dihitung mulai pekerja masuk bekerja di proses press-packing sampai dengan penelitian ini berlangsung yang diukur dengan mewawancarai langsung kepada pekerja proses press-packing yang dikategorikan berdasarkan uji median (lampiran 1) menjadi :
1. ≤ 7 tahun 2. >7 tahun
Universitas Sumatra Utara
Skala : Nominal 6. Pemakaian alat pelindung diri (masker) Penggunaan alat pelindung diri oleh pekerja pada saat melakukan pekerjaan selama jam kerja yang diukur dengan cara wawancara langsung kepada pekerja yang dikategorikan menjadi : 1. Memakai APD (Ya) 2. Tidak memakai APD (Tidak) Skala : Nominal 7. Riwayat penyakit paru Keadaan dimana pekerja pernah / tidak pernah mengalami penyakit saluran pernapasan akut, kronis yang diukur dengan wawancara langsung pekerja proses press-packing, dikategorikan : 1. Pernah sakit (Ada) 2. Tidak pernah sakit (Tidak ada) Skala : Nominal
3.6.
Aspek Pengukuran
3.6.1. Aspek Pengukuran Debu Untuk mengetahui kadar debu di tempat kerja proses press-packing diukur dengan menggunakan Low Volume Dust Sampler (LVDS) apakah > 3 mg/m3 atau < 3 mg/m3.
Universitas Sumatra Utara
3.6.1.1. Prinsip Alat diletakkan pada titik pengukuran setinggi zona pernafasan, pengambilan contoh dilakukan selama beberapa menit hingga satu jam (sesuai kebutuhan dan tujuan pengukuran) dan kadar debu total yang diukur ditentukan secara gravimetri. 3.6.1.2. Peralatan a) Low Volume Dust Sampler (LVDS) dilengkapi dengan pompa pengisap udara dengan kapasitas 5 liter/menit – 15 liter/menit dan selang silikon atau selang teflon. b) Timbangan analitik dengan sensitivitas 0,01 mg c) Pinset d) Desikator, suhu (20 + 1)0C dan kelembaban udara (50 + 5)% e) Flowmeter f) Tripod g) Termometer h) Higrometer 3.6.1.3. Bahan Filter hidrofobik (misal: PVC, fiberglass) dengan ukuran pori 0,5 mm. 3.6.1.4. Prosedur kerja 3.6.1.4.1. Persiapan 1.
Filter yang diperlukan disimpan di dalam desikator selama 24 jam agar mendapatkan kondisi stabil.
Universitas Sumatra Utara
2.
Filter kosong pada tadi kemudian ditimbang sampai diperoleh berat konstan, minimal tiga kali penimbangan, sehingga diketahui berat filter sebelum pengambilan contoh, catat berat filter blanko dan filter contoh masing- masing dengan berat B1 (mg) dan W1 (mg). Masing-masing filter tersebut ditaruh di dalam holder setelah diberi nomor (kode).
3.
Filter contoh dimasukkan ke dalam Low Volume Dust Sampler holder dengan menggunakan pinset dan tutup bagian atas holder.
4.
Pompa pengisap udara dikalibrasi dengan kecepatan laju aliran udara 10 liter/menit dengan menggunakan flowmeter (flowmeter harus dikalibrasi oleh laboratorium kalibrasi yang terakreditasi).
3.6.1.4.4. Pengambilan contoh 1. LVDS dihubungkan dengan pompa pengisap udara dengan menggunakan selang silikon atau teflon. 2. LVDS diletakkan pada titik pengukuran (di dekat tenaga kerja terpapar debu) dengan menggunakan tripod kira-kira setinggi zona pernafasan tenaga kerja. 3. Pompa pengisap udara dihidupkan dan lakukan pengambilan contoh dengan kecepatan laju aliran udara (flowrate) 10 liter/menit. 4. Lama pengambilan contoh dapat dilakukan selama beberapa menit hingga satu jam (tergantung pada kebutuhan, tujuan dan kondisi di lokasi pengukuran). 5. Pengambilan contoh dilakukan minimal 3 kali dalam 8 jam kerja yaitu pada awal, pertengahan dan akhir shift kerja.
Universitas Sumatra Utara
6. Setelah selesai pengambilan contoh, debu pada bagian luar holder dibersihkan untuk menghindari kontaminasi. 7. Filter dipindahkan dengan menggunakan pinset ke kaset filter dan dimasukkan ke dalam desikator selama 24 jam. 3.6.1.4.3. Penimbangan 1.
Filter blanko sebagai pembanding dan filter contoh ditimbang dengan menggunakan timbangan analitik yang sama sehingga diperoleh berat filter blanko dan filter contoh masing-masing B2 (mg) dan W2 (mg).
2.
Catat hasil penimbangan berat filter blanko dan filter contoh sebelum pengukuran dan sesudah pengukuran pada formulir penimbangan berat filter.
3.6.1.4.4. Perhitungan Perhitungan kadar debu total di udara dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
(W2 - W1) - (B2 - B1) Atau C = ----------------------------------(mg/l) V Atau
(W2 - W1) - (B2 - B1) C = ----------------------------------- (103mg/m3) V
Universitas Sumatra Utara
Dengan : C
: Kadar debu total (mg/l) atau (mg/ m3)
W2 : Berat filter contoh setelah pengambilan contoh (mg) W1 : Berat filter contoh sebelum pengambilan contoh (mg) B2 : Berat filter blanko setelah pengambilan contoh (mg) B1 : Berat filter blanko sebelum pengambilan contoh (mg) V
: Volume udara pada waktu pengambilan contoh (l)
3.6.2. Aspek Pengukuran Fungsi Paru Untuk mengetahui keadaan fungsi paru pekerja maka diperiksa dengan menggunakan spirometer untuk mengetahui apakah fungsi paru pekerja proses press-packing dalam keadaan normal atau tidak (restriktif , obstruktif atau kombinasinya) yang dilihat dari
persentase FVC prediksi dan persentase
FEV1/FVC. Fungsi paru dikatakan normal bila kondisi faal paru dalam keadaan sehat/tidak mengalami gangguan yang dapat dilihat dari FVC ≥ 80% dan FEV1 ≥ 75%. Fungsi paru dikatakan tidak normal jika fungsi paru mengalami gangguan meliputi : a. Restriktif -
Restriktif Ringan
: Nilai FVC (60-79%) nilai prediksi.
-
Restriktif Sedang
: Nilai FVC (30-59%) nilai prediksi.
-
Restriktif Berat
: Nilai FVC < 30% nilai prediksi.
b. Obstruktif -
Obstruktif Ringan
: Nilai FEV1/ FVC (60-74%)
-
Obstruktif Sedang
: Nilai FEV1/ FVC (30-59%)
Universitas Sumatra Utara
-
Obstruktif Berat
: Nilai FEV1/ FVC < 30%
c. Kombinasi Restriktif dan Obstruktif Nilai FVC < 80% dan nilai FEV1 < 75%.
Adapun prosedur pengukuran kapasitas fungsi paru dengan spirometer : 1. Alat dihidupkan dengan menekan switch power pada posisi on. 2. Tekan tombol ID 3. Masukkan data pekerja yang diperiksa meliputi : nama, tanggal pemeriksaaan, umur, tinggi badan, jenis kelamin. 4. Pekerja yang akan diperiksa diminta untuk menggit mouth piece yang dihubungkan dengan pipa dari spirometer sedangkan hidung dijepit supaya pernafasan hanya terjadi dari mulut saja. 5. Pekerja yang diperiksa di instruksikan menarik dan menghembuskan nafas sekuat-kuatnya sebanyak 3 kali, bila timbul bunyi tekan tombol ENT dan pekerja yang diperiksa diinstruksikan menarik nafas menarik nafas dan menghembuskan sekuat-kuatnya dalam waktu yang cepat (sampai posisi membungkuk). 6. Tekan tombol stop untuk mengakhiri pemeriksaan. 7. Tekan tombol VC dan FVC dan catat data meliputi : ID, data dan grafik. hasil pemeriksaan spirometer. 8. Tekan tombol print untuk melihat print out.
Universitas Sumatra Utara
Gambar 3.1 Spirometri BTL 08 Spiro Pro
3.6.3. Wawancara dengan kuesioner Untuk mengetahui faktor – faktor yang memengaruhi fungsi paru pekerja, seperti : umur, kebiasaan merokok, masa kerja, pemakaian alat pelindung diri (masker), dan riwayat penyakit paru pekerja yang diukur dengan menggunakan kuesioner yang dijawab oleh responden.
3.7.
Teknik Analisis Data Teknik pengolahan dan analisis data dilakukan dengan uji statistik dengan
menggunakan SPSS versi 16.00 dengan interpretasi hasil sebagai berikut : 1. Jika p value ≤ 0,01 maka hasil uji dinyatakan sangat signifikan. 2. Jika p value > 0,01 tetapi ≤ 0,05 maka hasil uji dinyatakan signifikan. 3. Jika p value > 0,05 maka hasil uji dinyatakan tidak signifikan (Sugiyono, 2007).
Universitas Sumatra Utara
3.7.1. Analisa Univariat Analisa
univariat
dilakukan
secara
deskriptif
untuk
menjelaskan
karakteristik masing-masing variabel yang diteliti. Data tersebut disajikan dalam bentuk tabel frekuensi (Hastono, 2001). 3.7.2. Analisa Bivariat Analisa bivariat digunakan untuk melihat hubungan antara variabel independen (kadar debu) dengan variabel dependen (fungsi paru) dengan menggunakan uji chi square. Namun, setelah dilakukan analisis hubungan kadar debu dengan fungsi paru dengan uji chi square, ternyata kadar debu tidak dapat di uji secara statistik karena hasil pengukuran kadar debu di tempat penelitian masih dibawah Nilai Ambang Batas (kadar debu konstan), sehingga kadar debu tidak dapat di kategorikan menjadi dua kategori. Oleh karena itu hubungan kadar debu dengan fungsi paru tidak dapat di uji secara statistik dengan uji chi square, sedangkan faktor pengganggu/confounding (umur, merokok, masa kerja, pemakaian alat pelindung diri /masker dan riwayat penyakit paru) dengan variabel dependen (fungsi paru) dapat dilakukan analisis dengan menggunakan uji chi square dengan tingkat kemaknaan
p = 0,05, (CI) 95 %.
3.7.3. Analisis Multivariat Berdasarkan analisis bivariat kemudian dilihat variabel mana yang dapat masuk kedalam model multivariat sesuai dengan ketentuan nilai p (p value). Variabel yang memiliki nilai p < 0,25 dapat diikutkan dalam analisis multivariat. Analisis multivariat digunakan pada penelitian ini karena adanya faktor perancu (confounding factor) yang diperhitungkan banyak. Uji statistik yang digunakan
Universitas Sumatra Utara
adalah uji regresi logistik berganda yang bertujuan untuk mengontrol faktor perancu sekaligus mengetahui variabel yang paling siginifikan berhubungan dengan variabel dependen (fungsi paru). Adapun metode uji regresi logistik berganda yang digunakan ialah Backward Stepwise, dimana keunggulan metode ini ialah variabel yang dimasukkan ke dalam model akan dikeluarkan secara otomatis (automatically) dari model multivariat berdasarkan kemaknaan statistik (nilai p) (Murti, 1997).
Universitas Sumatra Utara
BAB IV HASIL PENELITIAN
Gambaran Umum Perusahaan
4.1.
4.1.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian Usaha Penampungan butut ini merupakan usaha sektor informal yang didirikan pada tahun 1998 yang bergerak di bidang press-packing butut/barangbarang bekas. Luas area usaha yang berkisar 5000 m2 ini terletak di Jalan Yosudarso Km 7,8 Medan Kelurahan Tanjung Mulia Hilir Kecamatan Medan Labuhan. Adapun batas-batas areal usaha ini adalah sebagai berikut : 1. Sebelah utara berbatasan dengan gudang distributor surya pro dan perumahan PLN 2. Sebelah selatan berbatasan dengan perumahan cipta rimba jaya 3. Sebelah barat berbatasan dengan rumah penduduk dan café 4. Sebelah timur berbatasan dengan gudang logistik PT. Musimas Pada usaha penampungan butut ini terdapat beberapa proses kerja yaitu proses pensortiran, proses press-packing, proses penimbangan, proses bongkar muat dan proses pemugaran/maintenance mesin. Kapasitas barang yang masuk berubah-ubah sehingga pengusaha tidak dapat memastikan berapa ton barang-barang yang masuk, namun
untuk
kapasitas
barang-barang bekas/butut
yang dikirim
ke luar
(pabrik/perusahaan pengolahan) berkisar 200 ton. Jika kondisi barang yang masuk stabil maka kapasitas pengepakan/packing yang ditargetkan pengusaha ke ialah 2,5 ton perhari (15 ton perminggu) untuk pengpressan kaleng dan 6 ton perhari (36 ton perminggu) untuk pengepressan kardus/kertas/majalah/koran. Adapun barang-barang bekas/butut yang diterima di usaha penampungan butut ini adalah kardus, buku, kertas (HVS,koran), majalah, kertas mix (map, kertas semen, sarang telur, duplex, sampul, kertas manila, dan lain-lain).
Universitas Sumatra Utara
4.1.2. Ketenagakerjaan dan Proses Kerja Seluruh pekerja di usaha penampungan butut ini berjumlah 58 orang yang terdistribusi berdasarkan jenis pekerjaannya dengan rata-rata usia berada diatas 20 tahun. Pekerja di proses press-packing sendiri berjumlah 20 orang dengan mengoperasikan sebanyak 17 mesin dimana satu mesin dioperasikan oleh satu orang terkecuali pada mesin I, III, V, IX, X yang dioperasikan oleh dua orang. Mereka bekerja selama 6 hari dengan 8 jam kerja setiap harinya dimulai dari pukul 08.0017.00 wib dengan jam istirahat pada pukul 12.00-13.00 wib, dan terkhusus hari sabtu hanya bekerja sampai pukul 15.00 wib, namun pada dasarnya jam kerja di usaha penampungan butut ini tidaklah dipaksakan bagi pekerja karena hal ini bergantung pada ketersediaan barang yang masuk, jika barang yang akan dikerjakan dapat selesai sebelum pukul 17.00 maka pekerja dapat pulang. Jadi pada dasarnya pekerja yang bekerja di usaha penampungan butut ini bekerja sesuai dengan ketersediaan/stok barang yang dikerjakan. Pekerja di usaha penampungan butut ini terbagi menjadi pekerja tetap, mingguan dan harian . Terkhusus pekerja proses press-packing semuanya adalah pekerja mingguan. Adapun rincian jumlah pekerja di usaha penampungan butut dapat dilihat pada tabel 4.1.
Universitas Sumatra Utara
Tabel 4.1. Distribusi Pekerja Berdasarkan Jenis Pekerjaannya di Usaha Penampungan “Butut” Kel. Tanjung Mulia Hilir tahun 2013 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Jenis Pekerjaan Jumlah (orang) Press-packing 20 Pensortiran kertas 14 Operator timbangan 2 Operator forklift 1 Operator skopel 1 Checker barang 6 Adm logistic 1 Reparasi alat/pengelasan (teknisi) 2 Bongkar muat 6 Pemugaran mesin dynamo/forklift/skopel dan 2 lain-lain (mekanik) Adm pensortiran 1 11 Kasir (keuangan) 1 12 Adm. Umum 1 13 Jumlah 58 (Sumber : data dari pengusaha tahun 2013)
4.1.3. Cara Kerja Proses Press-Packing Proses press-packing merupakan kegiatan pengepressan/pengempaan barangbarang yang sudah rusak/”butut” dengan menggunakan mesin press yang kemudian dilakukan pengepakan/packing dari hasil pengepressan tersebut. Proses press-packing merupakan salah satu proses kerja dari lima proses kerja yang ada di usaha penampungan butut ini. Adapun proses press-packing di usaha “butut” ini, pertama-tama kondisi mesin yang bekerja secara hidrolik dalam kondisi baik dengan mesin press dalam keadaan tertutup, lalu pekerja memasukkan butut ke dalam mesin press (pada saat memasukkan butut inilah debu tadi terbang). Langkah selanjutnya pekerja menekan tuas ke bawah sehingga bantalan besi press bergerak kebawah menekan butut sampai pada batas maksimum, kemudian tuas ditarik ke atas agar press naik dan berhenti menekan. Butut yang di kempa/press harus memenuhi standard yang telah ditentukan
Universitas Sumatra Utara
perusahaan yaitu berbentuk balok dengan tinggi 120 cm (untuk barang berupa kardus/buku/kertas) dan 80 cm (untuk barang-barang berupa kaleng-kaleng, seng, kawat duri dan lain-lain), namun jika tingginya belum memenuhi standard maka butut ditambah lagi untuk dimasukkan kedalam mesin press sampai sesuai standard yang ditetatapkan oleh perusahaan. Jika tinggi butut sudah sesuai standard maka selanjutnya pintu depan dan pintu belakang mesin press dibuka dan kemudian empat buah kawat dimasukkan keempat selah-selah bantalan besi press dan keempat selahselah alas mesin press untuk diikat diikat secara vertikal (kondisi butut yang di kempa/press dalam keadaan masih di tekan oleh bantalan besi press). Selanjutnya kereta sorong dipersiapkan dengan ban yang ditopang oleh balok kayu, kemudian rantai dikaitkan ke dasar mesin press dan ke bantalan besi press yang berada diatas yang kemudian tuas ditekan keatas sehingga bantalan besi press naik dan alas mesin kempa/press terangkat akibat daya tarik bantalan besi press sehingga packingan butut jatuh tepat di atas kereta sorong, selanjutnya pengepakan/packing butut di sorong untuk di timbang di penimbangan digital.
Universitas Sumatra Utara
4.1.4. Alur Proses Kerja di Usaha Penampungan “Butut” Pada usaha penampungan butut ini terdiri dari beberapa proses kerja. Alur proses kerja di usaha penampungan butut ini dimulai dari barang (butut) yang masuk hingga pengiriman ke pabrik. Alur proses kerja dapat dilihat pada diagram alur proses kerja dibawah ini : Di dalam Truk Barang masuk (I)
Tidak Barang di timbang
Barang Tidak di check ( III)
Ya
Masuk ke sortase kertas ( IV)
( II )
Masuk ke press ( V)
Barang dikirim ke pabrik ( IX)
Barang masuk ke Gudang (VIII)
Barang di timbang ( VII )
Barang di press dan di packing ( VI)
Gambar 4.1 Diagram alur proses kerja
Berdasarkan gambar 4.1 diatas dapat dilihat bahwa pada alur proses pertama barang dari luar (dari pengumpul butut) masuk ke usaha penampungann butut, selanjutnya barang (butut) yang masih di dalam truk/mobil pengangkut langsung di timbang. Setelah butut di timbang selanjutnya dilakukan pemeriksaan oleh pekerja yang bertugas memeriksa (checker) yang dinantinya setelah diperiksa butut langsung
Universitas Sumatra Utara
dipisahkan. Butut dari kaleng dan kardus langsung masuk ke mesin press, sedangkan butut dari jenis kertas masuk ke proses sortiran kertas. Kertas yang telah selesai di sortir meliputi : (HVS, koran), majalah, kertas mix (map, kertas semen, sarang telur, sampul, kertas manila, duplex ) masuk ke proses press-packing untuk dilakukan pengempaan (press) dan pengepakan (packing). Setelah butut selesai dilakukan pengepakan/packing selanjutnya ditimbang kemudian dimasukkan kedalam gudang penyimpanan sementara dan setelah beberapa minggu/bulan butut di kirirm ke pabrik untuk dilakukan pengolahan kembali/daur ulang (recycle).
4.2.
Hasil Penelitian
4.2.1. Analisis Univariat 4.2.1.1. Distribusi Kadar Debu di Usaha Penampungan “Butut” Pengukuran kadar debu di empat titik di usaha penampungan butut yang menjadi lokasi penelitian (lampiran 8) dengan menggunakan Low Volume Dust Sampler (LVDS), diperoleh bahwa kadar debu masih berada dibawah Nilai Ambang Batas (< 3 mg/m3) berdasarkan ketentuan Permenakertrans No.13 tahun 2011 tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika dan Kimia di Tempat Kerja. Hasil pengukuran kadar debu dapat dilihat pada tabel 4.2.
Universitas Sumatra Utara
Tabel 4.2. Data Hasil Pengukuran Kadar Debu di Usaha Penampungan Butut Kel. Tanjung Mulia Hilir Medan tahun 2013 No
Titik Pengukuran
1 2 3 4
Depan mesin press X dan XI Depan mesin press II dan III Belakang mesin press V Depan mesin press XV
Lama pengujian (menit) 30 30 30 30
Hasil pengukuran (mg/m3) 0,014 0,007 0,080 0,020
Ket < NAB < NAB < NAB < NAB
Berdasarkan tabel 4.2 diatas, menunjukkan bahwa titik pengukuran yang memiliki kadar debu yang paling tinggi ialah pada bagian belakang mesin press V dengan konsentrasi 0,080 mg/m3. Tabel 4.3. Distribusi Kadar Debu (mg/m3) di Usaha Penampungan Butut Kel. Tanjung Mulia Hilir Medan tahun 2013 Variabel
Mean
Median
Minimum
Maksimum
Kadar debu
0,02763
0,014
0,007
0,080
Pada tabel 4.3 di atas dapat dilihat bahwa kadar debu di usaha penampungan butut masih dibawah Nilai Ambang Batas (< 3 mg/m3 ) dengan kadar debu berkisar antara 0,007 hingga 0,080 mg/m3 dan rata-rata (mean) sebesar 0,02763 mg/m3 serta median 0,014 mg/m3. 4.2.1.2.
Distribusi Fungsi Paru Pekerja Proses Press-Packing Berdasarkan pemeriksaan kapasitas paru pekerja dengan menggunakan
spirometer
BTL-08 Pro yang dikategorikan menjadi normal dan tidak normal.
Distribusi gangguan fungsi paru disajikan pada tabel 4.4.
Universitas Sumatra Utara
Tabel 4.4. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Fungsi Paru Pekerja Proses PressPacking di Usaha Penampungan Butut Kel. Tanjung Mulia Hilir Medan tahun 2013 Fungsi Paru Normal Tidak normal * Restriktif ringan * Obstruktif ringan * Obstruktif sedang * Campuran (Mixed) Total
Frekuensi 15 4 (1) (1) (1) (1) 19
Persentase (%) 78,9 21,1 (5,27) (5,27) (5,27) (5,27) 100
Keterangan * = Klasifikasi gangguan fungsi paru (angka yang didalam kurung tidak ikutkan dalam penjumlahan) Berdasarkan tabel 4.4 diatas, menunjukkan bahwa mayoritas pekerja (78,9%) tidak mengalami gangguan fungsi paru (normal). Inhalasi debu anorganik di lingkungan kerja cenderung menyebabkan terjadinya pneumokoniosis pada pekerja. Pada umumnya dapat dikatakan bahwa pneumokoniosis menimbulkan gangguan restriktif pada paru . Namun, oleh karena debu anorganik tertumpuk/terdeposit di saluran pernafasan kecil dalam waktu yang lama dan menimbulkan inflamasi kronis (pembengkakan) sehingga menyebabkan timbulnya gangguan obstruktif pada paru (Rahmatullah, 2009). 4.2.1.3.
Distribusi Data Confounding Factor
4.2.1.3.1. Umur Pengukuran umur pada proses press-packing di usaha penampungan butut dikategorikan menjadi usia ≤ 31 tahun dan usia > 31 tahun. Hasil pengukuran tersebut dapat dilihat pada tabel 4.5.
Universitas Sumatra Utara
Tabel 4.5. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Umur Pekerja Proses PressPacking di Usaha Penampungan Butut Kel. Tanjung Mulia Hilir Medan tahun 2013 Umur ≤ 31 tahun > 31 tahun Total
Frekuensi 9 10 19
Persentase 47,4 52,6 100
Berdasarkan tabel 4.5 diatas, menunjukkan bahwa 10 orang (52,6%) pekerja proses press-packing berusia lebih dari 31 tahun. 4.2.1.3.2. Kebiasaan Merokok Pengukuran kebiasaan merokok pada proses press-packing di usaha penampungan butut dikategorikan menjadi merokok (Ya) dan tidak merokok. Hasil pengukuran tersebut dapat dilihat pada tabel 4.6. Tabel 4.6. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Kebiasaan Merokok Pekerja Proses Press-Packing di Usaha Penampungan Butut Kel. Tanjung Mulia Hilir Medan tahun 2013 Merokok Ya Tidak Total
Frekuensi 8 11 19
Persentase (%) 42,1 57,9 100
Berdasarkan tabel 4.6 diatas terlihat bahwa 11 orang (57,9%) pekerja proses press-packing tidak merokok. 4.2.1.3.3. Masa Kerja Pengukuran masa kerja pada proses press-packing di usaha penampungan butut dikategorikan menjadi ≤ 7 tahun dan > 7 tahun. Hasil pengukuran tersebut dapat dilihat pada tabel 4.7.
Universitas Sumatra Utara
Tabel 4.7. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Masa Kerja Pekerja Proses PressPacking di Usaha Penampungan Butut Kel. Tanjung Mulia Hilir Medan tahun 2013 Umur ≤ 7 tahun > 7 tahun Total
Frekuensi 7 12 19
Persentase 36,8 63,2 100
Berdasarkan tabel 4.7 diatas, menunjukkan bahwa 12 orang (63,2%) pekerja proses press-packing di usaha penampungan butut memiliki masa kerja lebih dari 7 tahun. 4.2.1.3.4. Pemakaian APD Pengukuran
pemakaian
APD pada
proses
press-packing
di
Usaha
Penampungan Butut dikategorikan sebagai memakai APD (Ya) dan tidak memakai APD. Hasil pengukuran dapat dilihat pada tabel 4.8. Tabel 4.8. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Pemakaian APD Pekerja Proses Press-Packing di Usaha Penampungan Butut Kel. Tanjung Mulia Hilir Medan tahun 2013 Pemakaian APD Ya Tidak Total
Frekuensi 7 12 19
Persentase (%) 36,8 63,2 100
Berdasarkan tabel 4.8 terlihat bahwa 12 orang (63,2%) pekerja proses presspacking di usaha penampungan butut tidak memakai APD (masker). 4.2.1.3.5. Riwayat Penyakit Paru Pengukuran riwayat penyakit paru pekerja proses press-packing di usaha penampungan butut dikategorikan menjadi memilki penyakit paru (ada) dan tidak memiliki penyakit paru (tidak ada). Hasil pengukuran dapat dilihat pada tabel 4.9.
Universitas Sumatra Utara
Tabel 4.9. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Riwayat Penyakit Paru Pekerja Proses Press-Packing di Usaha Penampungan Butut Kel. Tanjung Mulia Hilir Medan tahun 2013 Riwayat Penyakit Paru Ada Tidak ada Total
Frekuensi 8 11 19
Persentase (%) 42,1 57,9 100
Berdasarkan tabel 4.9 diatas, menunjukkan bahwa 11 orang (57,9%) pekerja proses press-packing di usaha penampungan butut tidak memiliki riwayat penyakit paru. 4.2.2.
Analisis Bivariat
4.2.2.1.
Hubungan Kadar Debu dengan Fungsi Paru Pekerja Proses PressPacking
Hubungan kadar debu dengan fungsi paru tidak dapat dianalisis bivariat dengan menggunakan uji chi-square karena hasil pengukuran kadar debu di tempat penelitian menunjukkan bahwa kadar debu masih berada dibawah Nilai Ambang Batas (< 3 mg/m3), sehingga pengkategorikan kadar debu tidak dapat di kategorikan menjadi dua kategori atau dengan kata lain hanya satu kategori. Oleh karena itu hubungan kadar debu dengan fungsi paru tidak dapat di uji secara statistik dengan menggunakan uji chi-square karena syarat menggunakan uji chi-square data variabel independen dan variabel dependen harus bersifat kategori (Murti, 1997). 4.2.2.2.
Hubungan Umur dengan Fungsi Paru Pekerja Proses Press-Packing Dari 19 pekerja terdapat 2 orang (22,2%) dengan umur ≤ 31 tahun yang
mengalami gangguan fungsi paru, sementara pada umur > 31 tahun juga terdapat 2 orang (20%) yang mengalami gangguan fungsi paru. Hasil pengukuran dapat dilihat pada tabel 4.10.
Universitas Sumatra Utara
Tabel 4.10. Hubungan Umur dengan Fungsi Paru Pekerja Proses Press-Packing di Usaha Penampungan Butut Kel. Tanjung Mulia Hilir Medan tahun 2013 Umur ≤ 31 tahun > 31 tahun Total
Normal f % 7 77,8 8 80 15 78,9
Fungsi Paru Tidak normal f % 2 22,2 2 20 4 21,1
p value
Total f 9 10 19
% 100 100 100
1,000
Berdasarkan tabel 4.10 di atas menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara umur pekerja dengan fungsi paru dengan analisis statistik uji chi square diperoleh p value = 1,000 (p > 0,05). 4.2.2.3.
Hubungan Kebiasaan Merokok dengan Fungsi Paru Pekerja Proses Press- Packing Dari 19 pekerja terdapat 3 orang (37,5%) yang memiliki kebiasaan merokok
mengalami gangguan fungsi paru dan 1 orang (9,1%) yang tidak memiliki kebiasaan merokok mengalami gangguan fungsi paru. Hasil pengukuran dapat dilihat pada tabel 4.11. Tabel 4.11. Hubungan Kebiasaan Merokok dengan Fungsi Paru Pekerja Proses Press-Packing di Usaha Penampungan Butut Kel. Tanjung Mulia Hilir Medan tahun 2013 Kebiasaan Merokok Ya Tidak Total
Normal f % 5 62,5 10 90,9 15 78,9
Fungsi Paru Tidak normal f % 3 37,5 1 9,1 4 21,1
p value
Total f 8 11 19
% 100 100 100
0,033
Berdasarkan tabel 4.11 menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara merokok dengan fungsi paru dengan analisis statistik uji chi square diperoleh p value = 0,033 (p < 0,05).
Universitas Sumatra Utara
4.2.2.4.
Hubungan Masa Kerja dengan Fungsi Paru Pekerja Proses PressPacking Dari 19 pekerja terdapat 1 orang (12,5%) dengan masa kerja ≤ 7 tahun yang
mengalami gangguan fungsi paru, sementara pada masa kerja > 7 tahun terdapat 3 orang (27,3%) yang mengalami gangguan fungsi paru. Hasil pengukuran dapat dilihat pada tabel 4.12. Tabel 4.12. Hubungan Masa Kerja dengan Fungsi Paru Pekerja Proses PressPacking di Usaha Penampungan Butut Kel. Tanjung Mulia Hilir Medan tahun 2013 Masa Kerja
Normal f % 6 85,7 9 75 15 78,9
≤ 7 tahun > 7 tahun Total
Fungsi Paru Tidak normal f % 1 14,3 3 25 4 21,1
p value
Total f 7 12 19
% 100 100 100
1,000
Berdasarkan tabel 4.12, menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara masa kerja dengan fungsi paru dengan analisis statistik uji chi square diperoleh p value = 1,000 (p > 0,05). 4.2.2.5.
Hubungan Pemakaian APD dengan Fungsi Paru Pekerja Proses PressPacking Dari 19 pekerja terdapat 3 orang (25%) yang tidak memakai APD mengalami
gangguan fungsi paru, sementara 1 orang (14,3%) yang memakai APD mengalami gangguan fungsi paru. Hasil pengukuran dapat dilihat pada tabel 4.13.
Universitas Sumatra Utara
Tabel 4.13. Hubungan Pemakaian APD dengan Fungsi Paru Pekerja Proses Press-Packing di Usaha Penampungan Butut Kel. Tanjung Mulia Hilir Medan tahun 2013 Pemakaiaan APD Ya Tidak Total
Normal f % 6 85,7 9 75 15 78,9
Fungsi Paru Tidak normal f % 1 14,3 3 25 4 21,1
p value
Total f 7 12 19
% 100 100 100
0,018
Berdasarkan tabel 4.13 diatas menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara pemakaian APD dengan fungsi paru dengan analisis statistik uji chi square diperoleh p value = 0,018 (p < 0,05). 4.2.2.6.
Hubungan Riwayat Penyakit Paru dengan Fungsi Paru Pekerja Proses Press- Packing Dari 19 pekerja terdapat 1 orang (12,5%) yang memiliki riwayat penyakit
paru mengalami gangguan fungsi paru, sementara 3 orang (27,3%) yang tidak memiliki riwayat penyakit paru mengalami gangguan fungsi paru. Hasil pengukuran dapat dilihat pada tabel 4.14. Tabel 4.14. Hubungan Riwayat Penyakit Paru dengan Fungsi Paru Pekerja Proses Press-Packing di Usaha Penampungan Butut Kel.Tanjung Mulia Hilir Medan tahun 2013 Riwayat Penyakit Paru Ya Tidak Total
Normal f % 7 87,5 8 72,7 15 78,9
Fungsi Paru Tidak normal f % 1 12,5 3 27,3 4 21,1
p value
Total f 8 11 19
% 100 100 100
0,603
Berdasarkan tabel 4.14 menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara riwayat penyakit paru dengan fungsi paru dengan analisis statistik uji chi square diperoleh p value = 0,603 (p > 0,05).
Universitas Sumatra Utara
Dari enam variabel, dua variabel mempunyai hubungan dengan variabel terikat yang telah diuji dengan menggunakan uji chi square yaitu kebiasaan merokok, pemakaiaan APD dan satu variabel yaitu kadar debu tidak dapat di uji signifikansi hubungan dengan fungsi paru. Kedua variabel itu terbukti signifikan dengan p value < 0,05 dan dapat dilanjutkan untuk dilakukan analisis multivariat. Hasil rangkuman pengukuran dapat dilihat pada tabel 4.15. Tabel 4.15. Hasil Analisis Bivariat Hubungan Variabel Bebas Dengan Variabel Terikat Dengan Menggunakan Uji Chi Square No 1 2 3 4 5 6
Variabel Kadar debu Umur Kebiasaan Merokok Masa kerja Pemakaiaan APD Riwayat penyakit paru
p value -
1,000 0,033 1,000 0,018 0,603
Ket TD TB B TB B TB
Keterangan : TD : Tidak Dapat diuji TB : Tidak Berhubungan B
: Berhubungan
4.2.3. Analisis Multivariat Dari analisis bivariat dengan menggunakan uji chi square menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara pemakaiaan APD dan merokok dengan fungsi paru (p<0,05), sehingga kedua variabel tersebut dapat diteruskan untuk dilakukan analisis multivariat. Analisis multivariat variabel bebas dengan variabel terikat menggunakan Uji Regresi Logistik Berganda dengan Metode Backward Stepwise. Hasil analisis regresi logistik berganda disajikan pada tabel 4.16 di bawah ini.
Universitas Sumatra Utara
Tabel 4.16. Hasil Analisis Regresi Logistik Berganda (Metode Backward Stepwise) Variabel Independen Coeff 1,621 Pemakaiaan APD 0,749 Kebiasaan Merokok Varibel dependen : Fungsi Paru
p value 0,038 0,655
Berdasarkan tabel 4.16 diatas menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna/signifikan antara pemakaian APD (masker) dengan fungsi paru dengan p value = 0,038 (p < 0,05). Angka koefisien regresi APD 1,621 menunjukkan bahwa meningkatnya pemkaian APD sebesar 1 maka akan meningkatkan fungsi paru sebesar 1,621 (Richard, 2003).
Universitas Sumatra Utara
BAB V PEMBAHASAN
5.1.
Kadar Debu Pada Proses Press-Packing Kadar debu di empat titik pengukuran masih berada dibawah Nilai Ambang
Batas dengan kadar debu berkisar antara 0,007 hingga 0,080 mg/m3 dan rata-rata (mean) sebesar 0,02763 mg/m3. Artinya ialah kadar debu di usaha penampungan butut ini masih dapat ditoleransi atau dalam hal ini masih dapat diterima (acceptable) pekerja, namun bukan berarti kondisi lingkungan kerja mutlak aman (absolute safety) bagi pekerja (Harianto, 2010). 5.2.
Fungsi Paru Pekerja Proses Press-Packing Berdasarkan hasil penelitian bahwa dari 19 pekerja di proses press-packing
terdapat pekerja yang mengalami gangguan fungsi paru sebanyak 4 orang atau 20,1% meliputi 1 orang (5,27%) obstruktif ringan, 1 orang (5,27%) obstruktif sedang, 1 orang (5,27%) restriktif ringan, dan 1 orang lagi (5,27%) mengalami obstruktif dan restrikitif (campuran) dan yang tidak mengalami gangguan fungsi paru sebanyak 15 orang atau 78,9 %.
5.3.
Hubungan Kadar Debu dengan Fungsi Paru Pekerja Proses PressPacking Hubungan kadar debu dengan fungsi paru tidak dapat dianalisis bivariat
dengan menggunakan uji chi-square karena hasil pengukuran kadar debu di tempat penelitian ternyata masih dibawah Nilai Ambang Batas (< 3 mg/m3) sehingga
Universitas Sumatra Utara
pengkategorikan kadar debu tidak dapat di kategorikan menjadi dua kategori (data tak dapat dikategorikan). Oleh karena kadar debu tak dapat dikategorikan maka hubungan kadar debu dengan fungsi paru tidak dapat di uji secara statistik dengan menggunakan uji chi-square karena syarat menggunakan uji chi-square data variabel independen dan variabel dependen harus bersifat kategori (Murti, 1997). Meskipun kadar debu di usaha penampungan butut dibawah Nilai Ambang Batas, bukan berarti kondisi lingkungan kerja mutlak aman bagi pekerja, karena hasil pemeriksaan fungsi paru menunjukkan adanya pekerja yang mengalami gangguan fungsi paru restriktif akibat menginhalasi debu anorganik. Hal ini sesuai dengan pendapat Rahmatullah (2009) yang menyatakan bahwa pekerja yang menginhalasi debu anorganik dapat menimbulkan pneumokoniosis, dimana pada umumnya pneumokoniosis dapat menimbulkan gangguan fungsi paru restriktif. Namun, jika debu anorganik terdeposit/tertumpuk dalam waktu yang lama di saluran nafas kecil dan menimbulkan inflamasi
5.4.
kronis
maka
dapat
terjadi
gangguan
fungsi
paru
obstruktif.
Hubungan Umur dengan Fungsi Paru Pekerja Proses Press-Packing Berdasarkan analisis bivariat menunjukan hasil uji yang tidak signifikan
antara umur dengan fungsi paru, dengan nilai p = 1,000 (p > 0,05). Hal ini selaras dengan penelitian Khumaidah (2009) bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara umur dengan fungsi paru dengan nilai p = 0,355 (p > 0,05). Pada individu normal terjadi perubahan nilai fungsi paru secara fisiologis sesuai dengan perkembangan umur dan pertumbuhan parunya. Mulai pada fase anak sampai umur
Universitas Sumatra Utara
kira-kira 22-24 tahun terjadi pertumbuhan paru, sehingga pada waktu nilai fungsi paru semakin besar dan bersamaan dengan pertambahan umur membuat nilai fungsi paru mencapai maksimal pada umur 22-24 tahun. Beberapa waktu nilai fungsi paru menetap kemudian menurun secara perlahan-lahan dan pada umur 30 tahun biasanya sudah mulai terjadi penurunan, setelah itu nilai fungsi paru (KVP = Kapasitas Vital Paksa dan VEP1 = Volume ekspirasi paksa satu detik pertama) mengalami penurunan rata-rata
sekitar
20
ml
tiap
pertambahan
satu
tahun
umur
individu
(Rahmatullah, 2009). Menurut naskah lengkap workshop COPD pada pertemuan ilmiah Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi (2003) dalam Sardjanto (2010) menyatakan bahwa meskipun fungsi paru menurun selaras dengan bertambahnya usia, namun hal tersebut tidak pernah berhubungan langsung dengan kejadian gangguan fungsi paru, sehingga memerlukan variabel lain untuk bersama-sama berkorelasi dengan gangguan fungsi paru. Dengan demikian dapat dipahami apabila dalam penelitian ini tidak terdapat adanya hubungan antara umur pekerja dengan fungsi paru, meskipun lebih banyak pekerja yang berusia di atas 31 tahun.
5.5.
Hubungan Kebiasaan Merokok dengan Fungsi Paru Pekerja Proses Press-Packing Berdasarkan analisis bivariat menunjukan bahwa dari 19 pekerja terdapat 3
orang (37,5%) yang memiliki kebiasaan merokok mengalami gangguan fungsi paru dan 1 orang (9,1%) yang tidak memiliki kebiasaan merokok mengalami gangguan
Universitas Sumatra Utara
fungsi paru. Hasil analisis bivariat juga menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara kebiasaan merokok dengan fungsi paru, dengan nilai p = 0,033 (p < 0,05). Hal ini selaras dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Yanri (1996), yang telah melakukan penelitian tentang pengaruh debu semen terhadap kelainan fungsi paru dan penyakit paru di Semen Padang, mendapatkan adanya hubungan yang kuat antara merokok dengan kejadian penyakit paru pada para pekerja. Demikian juga dengan hasil penelitian Sardjanto (2010) didapatkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara kebiasaan merokok dengan kejadian kelainan fungsi paru dengan nilai p = 0,000 (p < 0,05). Menurut Rahajoe dkk (1994) kebiasaan merokok dapat menimbulkan gangguan ventilasi paru karena dapat menyebabkan iritasi dan sekresi mukus yang berlebihan pada bronkus. Keadaan seperti ini dapat mengurangi efektifitas mukosiler dan membawa partikel-partikel debu sehingga merupakan media yang baik tumbuhnya bakteri. Asap rokok dapat meningkatkan risiko timbulnya penyakit bronkitis dan kanker paru (Yunus, 1997). Menurut hasil penelitian Suyono (2001) yang menyebutkan inhalasi asap tembakau baik primer maupun sekunder dapat menyebabkan penyakit saluran pernapasan pada orang dewasa. Asap rokok mengiritasi paru-paru dan masuk ke dalam aliran darah. Merokok lebih merendahkan kapasitas vital paru dibandingkan beberapa bahaya kesehatan akibat kerja. Pengaruh asap rokok dapat lebih besar dari pada pengaruh debu hanya sekitar sepertiga dari pengaruh buruk rokok (Depkes RI, 2003). Menurut Dhaise dan Rabi (1997) tenaga kerja yang perokok dan berada di lingkungan yang berdebu cenderung mengalami
Universitas Sumatra Utara
gangguan saluran pernapasan dibanding dengan tenaga kerja yang berada pada lingkungan yang sama tetapi tidak merokok. Pada penelitian ini terdapat 3 (tiga) orang pekerja yang mengalami gangguan fungsi paru memiliki kebiasaan merokok. Dari ketiga orang tersebut terdapat 2 orang yang mengalami gangguan fungsi paru obstruktif. Kebiasaan merokok dapat menyebabkan gangguan fungsi paru obstruktif yang umumnya ditandai dengan penurunan Forced Expiration Volume in 1 secon (FEV1)/Volume Ekspirasi Paksa detik pertama (VEP1), hal ini selaras dengan pendapat Rahmatullah (2009) yang menyatakan bahwa besarnya penurunan fungsi paru (FEV1) berhubungan langsung dengan kebiasaan merokok (konsumsi rokok). Pada orang dengan fungsi paru normal dan tidak merokok mengalami penurunan FEV1 20 ml pertahun, sedangkan pada orang yang merokok (perokok) akan mengalami penurunan FEV1 lebih dari 50 ml pertahunnya (Rahmatullah, 2009). Oleh karena itu sebaiknya pekerja menghentikan kebiasaan merokok untuk mencegah laju penurunan FEV1. Disamping pengaruh rokok, paparan debu dalam waktu lama di lingkungan kerja dapat menyebabkan terjadinya gangguan fungsi paru obstruktif. Hal ini selaras dengan penelitian yang dilakukan oleh Aditama (2006) bahwa pada pekerja yang berada di lingkungan dengan konsentrasi debu yang tinggi dalam waktu yang lama (> 10 tahun) memiliki risiko lebih tinggi terkena gangguan fungsi paru obstruktif. Berdasarkan hasil analisis regresi logistik berganda didapat bahwa kebiasaan merokok tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan fungsi paru dengan nilai p = 0,655. Dalam penelitian ini tidak dilakukan pendataan tentang lamanya kebiasaan merokok para pekerja yang menjadi subyek penelitian, sehingga bukan tidak mungkin
Universitas Sumatra Utara
terdapat banyak perokok yang memulai kebiasaanya kurang dari masa yang diperlukan untuk terjadinya gangguan fungsi paru.
5.6.
Hubungan Masa Kerja dengan Fungsi Paru Pekerja Proses PressPacking Pada penelitian ini didapatkan bahwa dari 19 pekerja terdapat 1orang (12,5%)
dengan masa kerja ≤ 7 tahun mengalami gangguan fungsi paru dan 3 orang (27,3%) dengan masa kerja > 7 tahun terdapat mengalami gangguan fungsi paru. Analisa bivariat juga menunjukan hasil uji signifikansi, dimana tidak ada hubungan yang signifikan antara masa bekerja dengan fungsi paru. Hal ini ditunjukkan dengan nilai p = 1,000 (p > 0,05). Hal ini selaras dengan hasil penelitian Khumaidah (2009) bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara masa kerja dengan gangguan fungsi paru dengan nilai p = 0,444. Demikian juga hasil penelitian Sardjanto (2010) didapatkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara lama bekerja dan gangguan fungsi paru dengan nilai p = 0,354 (p > 0,05). Menurut Suma‟mur (2009) bahwa masa kerja menentukan lama paparan seseorang terhadap faktor risiko yaitu debu kayu. Semakin lama masa kerja seseorang kemungkinan besar orang tersebut mempunyai risiko yang besar terkena penyakit paru. Hal ini menujukkan bahwa semakin lama seseorang bekerja maka akan semakin lama pula waktu terjadi paparan terhadap debu kayu tersebut. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Aditama (2006) menyatakan bahwa pada pekerja yang berada di
Universitas Sumatra Utara
lingkungan dengan konsentrasi debu yang tinggi dalam waktu yang lama (> 10 tahun) memiliki risiko lebih tinggi terkena gangguan fungsi paru obstruktif. Masa kerja mempunyai kecenderungan sebagai faktor risiko terjadinya obstruksi saluran pernafasan pada pekerja industri yang berdebu sejak mulai mempunyai masa kerja 5 tahun (Hyatt, 2006). Menurut hasil penelitian Suryanta (2009) dalam Sardjanto (2010), menyebutkan bahwa masa kerja tidak mempunyai hubungan langsung terhadap terjadinya gangguan pernafasan tetapi dapat menjadi faktor risiko terjadinya gangguan fungsi pernafasan. Keadaan ini disebabkan oleh karena variabel masa kerja tidak secara langsung atau tidak dapat berdiri sendiri untuk memengaruhi gangguan pernafasan, sehingga memerlukan variabel lain untuk bersama-sama mempengaruhi gangguan fungsi
pernafasan. Kemungkinan lain
yaitu debu
yang terhirup
membutuhkan waktu yang lebih lama untuk dapat menimbulkan gangguan pernafasan, karena setiap jenis debu organik maupun anorganik sampai menimbulkan gangguan pernafasan mempunyai jangka waktu berbeda, tergantung konsentrasi atau kadar serta ukuran debu tersebut dan hal lain kemungkinan adalah adanya kerentanan pekerja terhadap pollutan. Sesuai dengan prinsip di atas maka masa kerja tidak dapat berdiri sendiri sebagai faktor risiko atas terjadinya gangguan fungsi paru.
Universitas Sumatra Utara
5.7.
Hubungan Pemakaian APD dengan Fungsi Paru Pekerja Proses PressPacking Berdasarkan hasil analisis bivariat diketahui bahwa dari 19 pekerja terdapat 3
orang (33,3%) yang tidak memakai APD (masker) mengalami gangguan fungsi paru dan 1 orang (12,5%) yang memakai APD (masker) mengalami gangguan fungsi paru.pekerja yang memakai APD (masker) yang mengalami gangguan fungsi paru. Analisis bivariat juga menunjukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pemakaian APD (masker) dengan fungsi paru, dengan nilai p = 0,018 (p < 0,05). Hal ini selaras dengan penelitian Sardjanto(2010) di PT. KS bahwa pemakaian APD (masker) mempunyai hubungan yang signifikan dengan gangguan fungsi paru dengan nilai p = 0,000. Demikian juga pada penelitian yang dilakukan oleh Ratuhami (2002), yang melakukan penelitian pada pabrik saniter di Jawa Barat, mendapatkan adanya hubungan erat antara pemakaian APD (masker) dan kejadian kelainan fungsi paru dengan nilai p = 0,0002 (p < 0,05). Menurut teori yang dikemukakan oleh Moray IF, Nadel MB dalam penelitian Khumaidah (2009) bahwa pemakaian APD (masker) oleh pekerja industri yang udaranya banyak mengandung debu merupakan upaya untuk mengurangi masuknya partikel debu kedalam saluran pernafasan. Penggunaan masker diharapkan dapat melindungi pekerja dari kemungkinan terjadinya gangguan pernafasan akibat terpapar udara dengan kadar debu yang tinggi. Kebiasaan menggunakan APD (masker) yang baik merupakan cara“aman” bagi pekerja yang berada di lingkungaan kerja berdebu untuk melindungi kesehatan, sedangkan pada lingkungan kerja dengan kadar debu yang rendah dapat diasumsikan bahwa pekerja tidak akan terpajan debu di atas NAB
Universitas Sumatra Utara
meskipun tidak menggunakan APD (masker) dengan baik. Hal ini sesuai dengan Suharyanto (2007) yang menyebutkan alat pelindung diri yang digunakan untuk alat pernafasan bertujuan untuk melindungi alat pernafasan terhadap gas, uap,debu atau udara di tempat kerja yang telah terkontaminasi dan sifat racun atau menimbulkan rangsangan. Tanpa alat pelindung diri, debu akan menimbulkan efek yang lebih buruk, terutama debu respirabel terhadap timbulnya kelainan klinis. Beberapa pekerja di usaha penampungan butut belum memiliki kesadaran yang tinggi terhadap pemakaian APD (masker) padahal pengusaha telah menyediakan APD (masker) setiap kali pekerja melaksanakan pekerjaan di tempat kerja. Beberapa pekerja juga terlihat tidak memakai APD (masker) yang sesuai, hal ini karena beberapa pekerja masih ditemui masih menggunakan kain kasa. Pekerja beranggapan pemakaian APD (masker) menghambat mereka dalam bekerja karena APD (masker) dirasakan tidak nyaman digunakan. APD (masker) yang disediakan seharusnya memenuhi syarat enak dipakai dan tidak membahayakan bagi pekerja dan tidak mengganggu kerja (Suma‟mur, 2009). Hal ini selaras dengan Habsari (2003) yang menyatakan APD yang baik adalah yang memenuhi standar keamanan dan kenyamanan bagi pekerja (safety and acceptation). Apabila pekerja memakai APD (masker) merasa kurang nyaman dan penggunaannya kurang bermanfaat bagi pekerja maka pekerja tersebut akan enggan memakainya,walaupun memakai karena terpaksa/hanya berpura - pura sebagai syarat agar masih diperbolehkan untuk bekerja atau menghindari sanksi perusahaan. APD (masker) yang tepat bagi tenaga kerja yang berada pada lingkungan kerja dengan paparan debu berkonsentrasi tinggi adalah :
Universitas Sumatra Utara
1. Masker penyaring debu Masker
ini
berguna
untuk
melindungi
pernafasan
dari
asap
pembakaran, abu hasil pembakaran dan debu. 2. Masker berhidung Masker ini dapat menyaring debu atau benda sampai ukuran 0,5 mikron. 3. Masker bertabung Masker ini punya filter yang lebih baik daripada masker berhidung. Masker ini tepat digunakan untuk melindungi pernafasan dari gas tertentu. Berdasarkan hasil analisis regresi logistik berganda didapat bahwa pemakaian APD (masker) memiliki hubungan yang signifikan dengan fungsi paru dengan nilai p = 0,038 (p < 0,05).
5.8.
Hubungan Riwayat Penyakit Paru dengan Fungsi Paru Pekerja Proses Press- Packing Berdasarkan hasil analisis bivariat menunjukan, dari 19 pekerja terdapat 3
orang (27,3%) yang memiliki riwayat penyakit paru mengalami gangguan fungsi paru, sementara 1 orang (12,5%) yang tidak memiliki riwayat penyakit paru mengalami gangguan fungsi paru. Hasil analisis juga menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara riwayat penyakit paru dengan fungsi paru. dengan nilai p = 0,603. Hal ini selaras dengan penelitian Sardjanto (2010) bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara riwayat penyakit dan gangguan fungsi paru dengan
Universitas Sumatra Utara
nilai p = 0,056 (p > 0,05). Menurut pendapat Stanford T (1994), menyebutkan bahwa penyakit-penyakit paru seperti : bronchitis, emfisema, asma bronchial, tuberculosa paru dan pneumonia berpengaruh terhadap volume udara dalam paru. Disamping itu penyebab lain seperti trauma dada, kelainan dinding dada dan tumor pada paru juga turut berpengaruh terhadap fungsi paru. Beberapa penyakit paru tersebut akan menimbulkan kerusakan pada jaringan paru dan membentuk jaringan fibrosis pada alveoli. Hal ini menimbulkan hambatan dalam proses penyerapan udara pernafasan dalam alveoli tersebut, sehingga jumlah udara yang terserap akan berkurang. Sesuai dengan prinsip di atas maka riwayat penyakit paru tidak dapat berdiri sendiri sebagai faktor risiko atas terjadinya gangguan fungsi paru.
Universitas Sumatra Utara
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
6.1.
Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat ditarik
beberapa kesimpulan yang diperoleh dari 19 orang pekerja proses press-packing di usaha penampungan butut di Kelurahan Tanjung Mulia Hilir Medan pada tahun 2013 adalah sebagai berikut : 1. Kadar debu di empat titik pengukuran ialah sebagai berikut : a. Kadar debu di depan mesin press X dan XI adalah 0,014 mg/m3 (
Universitas Sumatra Utara
3. Kadar debu di proses press-packing berada dibawah Nilai Ambang Batas (< 3 mg/m3) sehingga hubungan kadar debu dengan fungsi paru tidak dapat di analisis bivariat dengan menggunakan uji chi square. 4. Kebiasaan merokok dan pemakaian APD (masker) berhubungan signifikan dengan fungsi paru. 5. Umur, masa kerja,dan riwayat penyakit paru tidak berhubungan signifikan dengan fungsi paru.
6.2.
Saran Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan maka peneliti memberikan
saran untuk perbaikan sebagai berikut: 1. Pekerja wajib memakai alat pelindung diri (masker) yang telah disediakan setiap melakukan pekerjaan di lingkungan kerja dan menghentikan kebiasaan merokok. 2. Pihak pengusaha harus
mengawasi penggunaan masker secara ketat dan
kontinu setiap kali masuk lingkungan kerja, serta menjamin ketersediaan masker yang aman dan nyaman bagi pekerja (safety and acceptation). 3. Pekerja tidak boleh menggunakan masker yang tidak sesuai standard seperti sapu tangan,kain kasa dan sejenisnya di tempat kerja. 4. Pihak pengusaha wajib memberikan penyuluhan kepada pekerja khususnya pekerja proses press-packing tentang manfaat pemakaian APD (masker) di tempat kerja secara rutin.
Universitas Sumatra Utara