BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Paradigma dan Metode Penelitian Penelitian terhadap ketiga novel Okky ini menggunakan paradigma konstruktivisme. Menurut Guba dan Yvonna S. Lincoln (2009:135-137), paradigma konstruktivisme dibangun oleh dasar ontologi yang relativisme, yaitu realitas adalah konstruksi sosial. Kebenaran realitas bersifat relatif, berlaku sesuai konteks spesifik yang dinilai relevan oleh aktor sosial. Dasar epistemologi konstruktivisme adalah transaksional/subjektivitas di mana pemahaman tentang realitas, atau temuan penelitian adalah hasil interaksi peneliti dengan objek studi. Sedangkan
dasar aksiologi
konstruktivisme menyangkut kepentingan ilmu
pengetahuan terhadap masyarakatnya. Secara metodologis paradigma konstruktivisme menerapkan metode hermeneutika dan dialektika dalam proses mencapai kebenaran. Metode pertama dilakukan melalui identifikasi kebenaran atau konstruksi pendapat orang per orang, sedangkan metode kedua membandingkan dan menyilangkan pendapat orang per orang yang diperoleh melalui metode pertama, untuk memperoleh suatu konsensus kebenaran yang disepakati bersama. Dengan demikian hasil akhir dari suatu kebenaran merupakan perpaduan pendapat yang bersifat relatif, subjektif dan spesifik mengenai hal-hal tertentu (Salim, 2006:72). Kenyataan yang ada dalam sosiologi bukanlah kenyataan objektif, tetapi kenyataan yang sudah ditafsirkan, kenyataan sebagai konstruksi sosial. Alat utama
Universitas Sumatera Utara
dalam menafsirkan kenyataan adalah bahasa, sebab bahasa merupakan milik bersama, di dalamnya terkandung persediaan pengetahuan sosial. Pada gilirannya kenyataan yang tercipta dalam karya menjadi model, lewat mana masyarakat pembaca dapat membayangkan dirinya sendiri. Karakterisasi tokoh-tokoh dalam novel, misalnya, tidak diukur atas dasar persamaannya dengan tokoh masyarakat yang dilukiskan. Sebaliknya, citra tokoh masyarakatlah yang mesti meneladani tokoh novel, karya seni sebagai model yang diteladani. Proses penafsirannya bersifat bolak-balik, dwiarah, yaitu antara kenyataan dan rekaan (Teeuw dalam Ratna, 2011: 6). Kenyataan yang ada dalam sosiologi bukanlah kenyataan objektif, tetapi kenyataan yang sudah ditafsirkan, kenyataan sebagai konstruksi sosial. Alat utama dalam menafsirkan kenyataan adalah bahasa, sebab bahasa merupakan milik bersama, di dalamnya terkandung persediaan pengetahuan sosial. Pada gilirannya kenyataan yang tercipta dalam karya menjadi model, lewat mana masyarakat pembaca dapat membayangkan dirinya sendiri. Karakterisasi tokoh-tokoh dalam novel, misalnya, tidak diukur atas dasar persamaannya dengan tokoh masyarakat yang dilukiskan. Sebaliknya, citra tokoh masyarakatlah yang mesti meneladani tokoh novel, karya seni sebagai model yang diteladani. Proses penafsirannya bersifat bolak-balik, dwiarah, yaitu antara kenyataan dan rekaan (Teeuw dalam Ratna, 2011: 6). Jadi, untuk menganalisis realitas dalam novel, penelitian ini menggunakan metode hermeunetika dan metode deskripsi. Metode hermeneutika mengutamakan ketepatan memahami bahasa teks dalam koteks penafsir dan konteks sosial
Universitas Sumatera Utara
pemakai bahasa tersebut. Di dalam hal ini, novel sebagai genre sastra yang menggunakan bahasa menjadi sumber data penafsiran kehidupan dengan medium bahasa. Ratna (2004:45) mengatakan bahwa, “Karya sastra perlu ditafsirkan sebab di satu pihak karya sastra terdiri atas bahasa, di pihak lain, di dalam bahasa sangat banyak makna yang tersembunyi, atau dengan sengaja disembunyikan.” Metode deskriptif yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analitik dan metode deskriptif komparatif. Menurut Ratna (2004:35), metode deskriptif analitik dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analisis. Sebaliknya, metode deskriptif komparatif dilakukan dengan cara menguraikan dan membandingkan fakta-fakta kehidupan masyarakat sebagai suatu realitas fiksi dan realitas sosial. Berdasarkan penjelasan di atas, maka penelitian ini dilaksanakan dalam paradigma konstruktivisme dengan metode hermeneutika dan deskriptif. Metode hermeneutika
dipilih
untuk menafsirkan kehidupan dan peradaban manusia
dalam novel. Sebaliknya, metode deskriptif yang dipilih adalah deskriptif analitik dan deskriptif komparatif. Deskriptif analitik akan digunakan untuk menganalisis realitas fiksi dan realitas sosial dalam ketiga novel Okky. Sebaliknya, metode deskriptif komparatif akan digunakan untuk membandingkan realitas fiksi dengan realitas sosial. Dengan demikian, tindakan dan kejadian dalam novel sumber data penelitian tidak hanya bergantung pada teks semata-mata melainkan juga pada konteks sosial ketiga novel Okky.
Universitas Sumatera Utara
3.3
Sumber Data dan Data Penelitian Sumber data penelitian ini terdiri atas data primer dan data skunder.
Sumber data primer merupakan data yang berasal dari tiga novel karya Okky Madasari. Ketiga novel yang menjadi data primer penelitian ini merupakan novel yang menggunakan bahasa Indonesia. Ketiga novel tersebut adalah: 1. Judul buku
: Entrok
Pengarang
: Okky Madasari
Penerbit
: Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit
: 2010
Cetakan
: Pertama
Ukuran buku
:20 cm x 13,5 cm
Tebal buku
: 282 halaman
ISBN
: 878-979-22-5598-8
Warna kulit
: Kuning bercampur hijau
Desain kulit
: gambar belakang seorang perempuan sedang mengenakan BH
2. Judul buku
: 86
Pengarang
: Okky Madasari
Penerbit
: Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit
: 2011
Universitas Sumatera Utara
Cetakan
: Pertama
Ukuran buku
:20 cm x 13,5 cm
Tebal buku
: 256 halaman
ISBN
: 978-979-22-6769-3
Warna kulit
: kuning
Desain kulit
: Gambar angka 86 dengan bingkisan, mobil, rumah, dan uang di dalamnya.
Penghargaan
: Lima besar Anugerah Sastra Khatulistiwa Award 2011 yang dijadikan data dua dalam penelitian ini.
3. Judul buku
: Maryam
Pengarang
: Okky Madasari
Penerbit
: Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit
: 2012
Cetakan
: pertama
Ukuran buku
:20 cm x 13,5 cm
Tebal buku
: 280 halaman
ISBN
: 978-979-22-6769-3
Warna kulit
: biru laut
Desain kulit
: gambar seorang perempuan dengan sebuah uamh di atas telapak tangannya.
Universitas Sumatera Utara
Penghargaan
: pemenang Anugerah Sastra Khatulistiwa Award 2011
Sumber data sekunder berupa data pendukung yang diperoleh dari bukubuku, internet, dokumen, wawancara dan catatan lain. Juga dari diskusi-diskusi dan seminar-seminar yang dilakukan. Adapun sumber data dalam penelitian ini dapat dilihat pada bagan berikut: Sumber Data Penelitian
Data Primer
Data Sekunder
Novel Entrok, 86, dan Maryam
Buku, dokumen,internet, dan hasil-hasil diskusi
Wawancara dengan 4 orang informan
Bagan 3.1 Sumber Data Penelitian Data primer merupakan data yang berbentuk teks tertulis yang berasal dari novel Entrok, 86, dan Maryam. Teks novel Entrok, 86, dan Maryam digunakan untuk menjawab masalah struktur naratif dan perjuangan perempuan. Sedangkan data sekunder dalam penelitian ini berupa buku, dokumen,
internet, hasil-hasil
seminar, dan wawancara. Sumber tertulis berupa buku, dokumen, dan internet,
Universitas Sumatera Utara
seeta hasi-hasil seminar yang berkaitan dengan latar sosial penciptaan ketiga novel tersebut dan berkaitan dengan bidang ekonomi, keyakinan, dan hukum. Wawancara dilakukan untuk melihat realitas yang terdapat dalam novel dan dihubungkan dengan realitas sosial dalam kehidupan nyata. Informan dalam penelitian ini berjumlah 4 orang yaitu, orang yang penghasilan istrinya lebih tinggi dari suaminya, pengacara, penganut Ahmadiah, dan bekas narapidana. Wawancara ini dilakukan pada hari Senin, 16 Maret 2015 dan hari Selasa 17 Maret 2015. Daftar wawancara disajikan dalam lampiran dan selanjutnya data penelitian disarikan dalam bentuk bagan yang dapat dilihat di bawah ini,
Data Penelitian
Data Sekunder
Data Primer
Teks berupa kalimat tentang struktur naratif dan perjuangan perempuan dalam novel ketiga novel Okky Teks berupa kalimat tentang struktur naratif dan perjuangan dari sumber data tertulis
Jawaban dari 4 informan tentang realitas sosial dan perjuangan perempuan
Bagan 3.2 Data Penelitian
Universitas Sumatera Utara
3.3 Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data penelitian ini dilakukan dengan metode wawancara dan penelusuran data online. Kedua metode pengumpulan data ini dilaksanakan sesuai urutan berikut ini. (1) Metode analisis isi. Metode ini digunakan untuk menganalisis isi atau teks novel Entrok, 86, dan Maryam. Setiap kata, frasa, dan kalimat yang berkaitan dengan struktur naratif dan perjuangan perempuan diberi tanda dan dijadikan sebagai data dalam penelitian ini. Pemaknaan terhadap teks menggunakan metode hermeneutika atau penafsiran. (2) Metode library research. Metode ini digunakan untuk menelusuri buku-buku dan dokumen lain yang terkait dengan pelitian ini. (3) Metode wawancara. Wawancara dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik wawancara semistruktur (semistructured interview). Menurut Kriyantono (2006:101-102), wawancara ini dikenal juga dengan nama wawancara terarah atau wawancara bebas terpimpin. Di dalam berwawancara, pewawancara berpedoman pada daftar pertanyaan tertulis tetapi memungkinkan mengajukan pertanyaan secara bebas yang terkait dengan permasalahan. Oleh karena itu, peneliti bertindak sebagai pewawancara dengan berpedoman pada daftar pertanyaan dan situasi wawancara. Artinya, daftar pertanyaan dapat mengalami pengembangan sesuai kelengkapan informasi yang disampaikan oleh narasumber. Metode wawancara ini dilakukan untuk menambah informasi tentang realitas sosial yang berkembang di masyarakat. Wawancara dilakukan dengan 4 orang yaitu, orang yang penghasilan istrinya lebih tinggi
Universitas Sumatera Utara
dari suaminya, pengacara, penganut Ahmadiah, dan bekas narapidana. Wawancara ini dilakukan pada hari Senin, 16 Maret 2015 dan hari Selasa 17 Maret 2015. (4) Metode penelusuran data online. Penelusuran secara online untuk melihat peristiwa-peristiwa yang terjadi yang berkaitan dengan realitas yang terdapat di dalam novel, misalnya peristiwa pengusiran jamaah Ahmadiyah di Lombok dan tempat penampungan mereka di gedung Transito. Menurut Bungin (2007:125), pengumpulan data secara online memerlukan pemahaman teknologi informasi komunikasi. Hal ini disebabkan data yang akan ditemukan harus dilacak dengan perangkat teknologi informasi komunikasi. Berdasarkan kemampuan pengaksesan perangkat teknologi ini dilakukan pencarian dari Google ke berbagai situs penyedia data online. Dari Google pengaksesan diarahkan
pada
dua
media
sosial
penyedia
data
online,
yaitu
www.wikipedia.org dan Google Books. Sebaliknya, www.wikipedia.org merupakan penyedia data yang dapat diunduh secara bebas. Meskipun demikian, apabila data yang diperlukan dalam penelitian ini tidak ditemukan pada wikipedia maka dilakukan penelusuran ke berbagai situs yang dapat diakses dan diunduh secara bebas, terutama situs penyedia data sastra feminis Pengaksesan dan pengunduhan dilakukan secara bertahap, yakni sejak bulan Januari 2012 hingga November 2015.
Universitas Sumatera Utara
3.4 Metode Analisis Data Data yang diperoleh dari hasil pengumpulan dokumen dianalisis dengan teknik analisis dokumen atau analisis isi. Hal ini disebabkan penelitian ini merupakan penyelidikan untuk mengumpulkan informasi melalui pengujian novel. Menurut Ratna (2004:49), metode analisis isi memberi perhatian pada isi pesan. Dengan kata lain, sebagaimana diungkapkan oleh Sigit (2003:240), “Analisis dokumen ialah mempelajari apa yang tertulis dan dapat dilihat dari dokumen-dokumen. Dokumen-dokumen itu dapat berwujud buku pelajaran (textbook), karangan, surat-kabar, novel, iklan, gambar, dan sebagainya.” Di dalam penelitian ini, dokumen yang dijadikan bahan penelitian berupa novel yang didukung oleh dokumen lain, yakni artikel jurnal/surat kabar, peta, gambar, dan hasil penelitian yang relevan. Model anaisis dapat dilihat pada diagram berikut ini,
Universitas Sumatera Utara
NOVEL
Teori Chatman
Realitas Fiksi
Struktur Penceritaan
Perjuangan Perempuan dalam bidang hukum
Perjuangan Perempuan dalam bidang Keyakinan
Realitas Sosial
Teori Feminisme
Perjuangan Perempuan
Perjuangan Perempuan dalam bidang Ekonomi
Pola Perjuangan Perempuan Bagan 3.3 : Kerangka Tahapan Analisis Data Berikut ini adalah penjelasan tahapan analisis data dalam meneliti novel Okky Madasari. Hal ini meliputi enam tahap, yaitu sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
(1) Mengklasifikasi, mendeskripsikan, dan menganalisis struktur naratif ketiga novel Okky Madasari menurut bentuk dan substansi struktur naratif. Ketiga novel dideskripsi dan dianalisis realitas fiksinya menurut urutan jenis struktur naratif dan urutan tahun penerbitan pertama novel tersebut. Dengan demikian, setiap novel dianalisis struktur plot, struktur fisik, ras, dan relasi gender, struktur ruang dan waktu, serta struktur transmisi narasi. (2) Mengklasifikasi, mendeskripsikan, dan menganalisis realitas sosial yang relevan dengan realitas fiksi ketiga novel tersebut. Realitas sosial difokuskan pada pengakuan pengarang terhadap materi cerita yang menjadi latar belakang kehidupan tokoh cerita dalam novel tersebut. (3) Merumuskan temuan penelitian sesuai dengan pemaparan realitas fiksi dan realitas sosial ketiga novel tersebut. Temuan dikelompokkan pada dua aspek, yaitu (i) struktur penceritaan dan (ii) wacana feminisme. Struktur penceritaan berhubungan dengan cara pengarang menceritakan kehidupan tokoh-tokoh cerita dalam novel. Sebaliknya, wacana feminisme berhubungan dengan perjuangan para tokoh perempuan dalam bidang ekonomi, hukum, dan keyakinan dalam novel yang terdapat pada realitas fiksi dan realitas historis ketiga novel tersebut. (4) Menganalisis struktur penceritaan realitas fiksi dan realitas sosial ketiga novel karya Okky Madadsari. (5) Menganalisis masalah
perjuangan tokoh perempuan dalam novel yang
berkaitan dengan bidang hukum, ekonomi, dan keyakinan. Setiap masalah dikonstruksikan dengan pola perjuangannya.
Universitas Sumatera Utara
(6) Menyimpulkan hasil analisis penelitian ini dan melihat temuan dalam analisis perjuangan. Penarikan simpulan didasarkan pada rumusan masalah yang dideskripsikan dan dianalisis pada paparan data, temuan penelitian, dan pembahasan temuan penelitian. Penyimpulan hasil analisis penelitian ini dilengkapi oleh saran yang relevan dengan penelitian feminisme terhadap ketiga novel karya Okky Madasari.
Universitas Sumatera Utara
BAB IV PAPARAN DATA DAN ANALISIS DATA PENELITIAN
4.1 Paparan Data Data penelitian ini dipaparkan dari sumber data yang terdiri dari tiga buah novel karya Okky Madasari. Ketiga novel itu adalah Entrok, 86, dan Maryam. Ketiga novel tersebut diterbitkan pertama kali dalam bahasa Indonesia oleh PT Gramedia Pustaka Utama. Entrok dterbitkan tahun 2010, 86 tahun 2011, dan Maryam tahun 2012. Ketiga novel tersebut dijadikan sumber data utama dalam penelitian ini. Pemaparan data penelitian dilakukan dengan memasukkan semua data yang ditemukan di dalam teknik pengumpulan dan teknik analisis data ke dalam tabel yang berhubungan dengan masalah penelitian.
4.1.1
Paparan Data Realitas Fiksi
4.1.1.1 Paparan Data Realitas Fiksi Novel Entrok Paparan data realitas fiksi novel Entrok terdiri dari empat unsur, yaitu struktur plot yang terdiri dari pengenalan, keadaan mulia berkonflik, konflik mulai meningkat, konflik memuncak, pemecahan masalah, dan penyelesaian.; struktur fisik, ras, dan relasi gender; struktur ruang dan waktu; dan struktur transmisi narasi. Paparan data tersebut dapat dilihat pada tabel berikut, No. 1.
Realitas Fiksi Struktur plot
Unsur 1. Pengenalan
Teks Kau mengerti semuanya. Tapi kenapa kau tak mau berkata apa-apa? kau hanya bicara tentang sesuatu yang tak pernah kumengerti. Aku juga sering mendengarmu berbicara dengan orang lain yang juga tidak kuketahui. Kenapa tidak denganku?
Universitas Sumatera Utara
2. Keadaan mulai berkonflik
3. Konflik mulai meningkat
4. Konflik
Lima tahun aku telah melakukan segala cara. Kuhitung hari demi hari dengan keringat yang telah kauberikan padaku. Hanya itu yang membuatku terus bertahan. Kau mengajariku tentang harapan. Dan aku yakin inilah harinya. Akan kubawakan apa yang paling kau inginkan. Aku sudah mendapatkannya. “Ibu, lihat ini, bu. KTP-ku baru. Lihat...lihat...sama seperti punya ibu.” “Apa ini?” “Ka Te Pe, Bu! Ka Te Pe!” “Tape? Aku mau buat tape. Mbok... Simbok...ayo ke pasar, Mbok. Kita cari telo!” “Bukan tape, Bu.” Kataku sambil mengusapusap rambut putih perempuan yang telah melahirkanku ini (En: 12-13). Orang-orang berseragam loreng hijau dengan pistol di pinggang dan bersenapan tinggi datang ke rumah Marni. Komandan tentara itu datang menagih uang setoran keamanan. Biar usaha Marni tidak ada yang mengganggu. Setiap dua minggu sekali tentara ini akan datang ke rumah Marni dan Marni harus menyediakan uang buat mereka. Saat itu Marni sudah berprofesi sebagai rentenir. Dia meminjamkan uang kepada warga yang membutuhkan dengan bunga pinjaman 10%. Ibu memang punya kebiasaan aneh, yang berbeda dibanding dengan orang-orang lain. Setiap hari dia selalu keluar rumah pada tengah malam. Lalu duduk sendirian di bangku di bawah pohon asem di depan rumah. Ibu duduk tenang, memejamkan mata, lalu komat-kamit. Dulu sekali, aku juga melakukan apa yang ibu lakukan. Ibu membangunkanku, lalu kami berdua duduk di bawah pohon asem. Kata Ibu itu namanya berdoa, tirakat. Ibu mengajariku untuk nyuwun. Katanya, semua yang ada di dunia milik Mbah Ibu Bumi Bapak Kuasa. Dialah yang punya kuasa untuk memberikan atau tidak memberikan yang kita inginkan. “Nyuwun supaya jadi orang pintar. Bisa jadi pegawai,” kata Ibu. (En: 55-56) Dua hari setelah pernikahan, Rahayu pergi.
Universitas Sumatera Utara
memuncak
2.
Struktur fisik, ras, dan relasi gender
Marni sudah tidak punya keinginan lagi menahan mereka. Hatinya belum ikhlas menerima pernikahan itu. Biarlah dia tidak melihat Rahayu, agar dia tidak terusterusan menyesali kebodohan anaknya itu. Anak yang selalu didoakan supaya bisa sekolah tinggi-tinggi, bisa menjunjung martabat orangtua, malah berbuat seenaknya sendiri. Dia ingin anaknya menjadi insinyur dan bekerja di pabrik gula, justru menjadi gundik. 5. Pemecah Rahayu pulang ke kampungnya setelah masalah keluar dari penjara. Dia disambut gembira oleh ibunya. Ibunya sudah melupakan semua pertengkaran diantara mereka. Marni merasa seolah-olah hidupnya gairah kembali. Rahayu juga sudah mencairkan segala perbedaan pandangan yang terjadi diantara mereka selama ini. Dia menurut saja, ketika ibunya mau mengawinkan dia. 6. Penyelesaian “Aku di sini terus, Ibu. Menemani Ibu setiap hari,” bisikku sambil mengelus-elus punggungnya. “Lihat ini kamar Ibu. Aku setiap hari tidur di kamar itu.” “Kamu pulang sendiri, Nduk? Mana suamimu yang ganteng itu, Nduk? “Oh .... Ibu!” Ibu.... Ibu... Ibu! Adakah yang bisa aku lakukan untuk menebus semua kesalahanku? “Sssst! Yuk, aku mau cerita.... Dengarkan, Yuk! Nanti ganti kamu yang cerita ya? Ya? Takgendong cucuku.... takgendong....kemana-mana!” (En, 2010:13) 1. Struktur fisik Dalam dua hari, ibu mendatangi pelanggandan ras pelanggannya. Bukan pelanggan barang, tetapi pelanggan utangan. Tidak semua orang akan ditagih, ibu hanya mendatangi orang yang utangnya besar-besar, 25.000-an. Kebanyakan mereka pedagang di pasar Ngranget. Mereka berhutang 25.000, dan sekarang tinggal sisa 15.000 atau 20.000. ada Yu Ningsih pedagang beras, Yu Sri penjual pecel, dan Pak Pahing yang setiap hari berjualan daging. (En, 2010:81) Dari makam memandang jauh ke seberang, kami melihat alat-alat keruk itu bergerak. Makin mendekat. Sudah tiba saatnya. Semua orang berdiri di depan rumah masing-masing. Kubagikan kertas-kertas besar dengan
Universitas Sumatera Utara
2.Relasi Gender.
berbagai tulisan itu. Aku sudah meminta Taufik untuk mengabarkan peristiwa hari ini ke semua koran. Biar kematian kami disaksikan oleh orang-orang seluruh negeri. Tentara-tentara itu datang. Salah seorang diantara mereka berteriak di corong pengeras suara. Masih ada waktu sepuluh menit untuk segera meninggal desa ini. Tak ada yang beranjak. Semua orang berdiri mematung dan mengacungkan tulisan “Jangan Ambil Tanah Kami”. ...Aku masih melihat darah keluar dari keningnya, juga tengkuknya. Aku ingat dia berteriak kesakitan. Tapi aku tak tahu lagi apa yang terjadi setelah itu. (En:253-254) Hari itu Teja pulang ke rumah simbok. Jadilah kami tinggal bertiga di gubuk itu. Simbok memasang papan membagi gubuk kami menjadi dua bagian. Bagian depan dari pintu masuksampai cagak, menjadi tempat untukku dan Teja, simbok menempati sisanya yang dekat dengan pawon .... Malam ini tidur tak sekedar rutinitas penutup hari, melainkan saar pelepas seluruh keinginan dan kepemilikan. Tidur kami menjadi simbol bagaimana pencapaian manusia dalam mendapatkan apa yang diinginkan. Aku kesakitan, dia kegirangan. Aku mengerang, dia senang. Aku menangis, dia tertawa penuh kemenangan. Aku menerawang, dia telah pulas. (En: 48-49) Teja tidak pernah tahu berapa keuntungan yang kami dapat, dia juga tidak pernah meminta. Dia juga tidak tahu apa saja dagangan yang harus dikulak, berapa harganya, dijual berapa. Yang dia tahu hanya mengangkat goni di punggung. Bedanya, dulu di pasar Ngranget, sekarang keliling desa. Yang penting bagi Teja, bisa membeli tembakau linting setiap hari. (En: 49) ...Dia Kyai Hasbi. Kami meniru semua yang ada padanya. Mengikuti semua yang dilakukannya. Tiga istrinya tinggal di sini. Masing-masing dengan kelebihan yangberbeda. Istri pertamanya begitu indah membaca kitab.ditularkannya keahlian itu pada seluruh
Universitas Sumatera Utara
perempuan yang ada di sini. Istri keduanya kadang mengingatkanku pada ibu. Begitu lincah, begitu sigap, mengatur segala kebutuhan padepokan. Istri ketiganya baru dinikahinya tiga bulan lalu. Dia temanku sendiri. Arini. Aku dan Amri yang memperkenalkan mereka. arini yang sedang sebatang kara dan butuh tempat beerlabuh. Kyai Hasbi meminangnya. Sekarang Arini, sebagaimana aku dan Amri, melkengkapi apa yang perlu diketahui santri-santri. Berhitung, berpolitik, hingga mengerti bahasa selain yang ada di kitab dan selain yang setiap hari mereka gunakan. (En: 213)
3.
Struktur ruang dan waktu
1.Struktur ruang
Di rumah, Simbok biasa mengumbar dadanya. Dia hanya memakai kain yang dililitkan di perutnya, bagian atas perut dibiarkan terbuka. Baru ketika keluar rumah, Simbok mengangkat kainnya hingga ke dada, menjadi kemben. ... “Mbok aku mau punya entrok.” “Entrok itu apa , Nduk?” “Itu lho, Mbok. Kain buat nutup susuku, biar kenceng seperti punya Tinah.” Simbok malah tertawa ngakak. Lama tak keluar jawaban yang aku tunggu. Hingga akhirnya dia akhiri tawanya dengan mata memerah. “Oalah, Nduk, seumur-uur tidak pernah aku punya entrok. Bentuknya kayak apa aku juga tidak tahu. Tidak pakai entrok juga tidak apaapa. Susuku tetap bisa diperas to. Sudah, nggak usah neko-neko. Kita bisa makan saja syukur,” kata Simbok. (En: 16-17) “...memasuki tahun 1980, rumah kami sudah dua kali lipat lebar sebelumnya. Awal tahun ini, orang-orang Singget sedang luar biasa gembira. Tiang-tiang besi berdiri di pinggir jalan desa. Kabel-kabel terbentang. Sudah ada listrik di Singget. Rumah-rumah yang hanya sebelumnya diterangi lampu teplok, sekarang terang benderang dengan lampu warna putih atau kuning” (En: 89-90).
2.Struktur waktu
Hari masih gelap saat aku dan Simbok keluar rumah. Tanah dan rumput teki yang kami
Universitas Sumatera Utara
injak basah oleh embun. Ayam berkokok sahut-menyahut, langit di sebelah timur agak memerah. Aku dan Simbok bukan satu-satunya orang yang menyusuri jalanan pagi ini. Di sepan kami, di belakang, juga di samping, perempuan-perempuan memegang tenggok menuju Pasar Ngranget. Kami semua seperti kerbau yang dihela di pagi buta, menuju sumber kehidupan. (En, 2010: 22) 4.
Struktur transmisi narasi
Orang pertama dengan menggunakan kata “aku”
Aku dan Simbok bukan satu-satunya orang yang menyusuri jalanan pagi ini. Di sepan kami, di belakang, juga di samping, perempuan-perempuan memegang tenggok menuju Pasar Ngranget. Kami semua seperti kerbau yang dihela di pagi buta, menuju sumber kehidupan. (En, 2010: 22)
Tabel 4.1 Data realitas fiksi novel Entrok
4.1.1.2 Paparan Data Realitas Fiksi Novel 86 Paparan data realitas fiksi novel 86 terdiri dari empat unsur, yaitu struktur plot yang terdiri dari pengenalan, keadaan mulia berkonflik, konflik mulai meningkat, konflik memuncak, pemecahan masalah, dan penyelesaian.; struktur fisik, ras, dan relasi gender; struktur ruang dan waktu; dan struktur transmisi narasi. Paparan data tersebut dapat dilihat pada tabel berikut, No. 1.
Realitas Unsur Fiksi Struktur plot 1. Pengenalan
Teks Setiap pukul setengah tujuh pagi, gang kecil tanpa nama ini menjadi seperti pasar. Orang-orang bersedakan, berjalan cepat-cepat, berbut mencari celah agar bisa lebih ke depan. Sesekali terdengar teriakan meminta yang berjalan lambat mempercepat langkah. Bau minyak wangi murahan bercampur dengan bau got. Di tiga atau empat rumah petak, pada jam seperti ini, selalu ada ibu-ibu yang sedang mencatur anak mereka di depan pintu, berak beralas koran, lalu dibuang ke dalam got. Di gang kecil ini setiap jam setengah tujuh pagi
Universitas Sumatera Utara
2. Keadaan mulai berkonflik
3. Konflik mulai meningkat
4. Konflik memuncak
5. Pemecah masalah
hidup Arimbi di mulai. Berjalan di antara orangorang yang sama tanpa mengenal nama. Dimulai dari langkah pertamanya keluar dari rumah kontrakan, lalu 250 langkah menuju jalan raya, menunggu bus kecil yang pada beberapa bagian sudah berkarat. (86, 2011: 9-10) “Masih ingat Widodo, to?” tanya Narno. Arimbi mengangguk. Dia masih mengingatnya. Widodo teman SD mereka juga. Sekolah STM, sama seperti Narno. Bapaknya punya sawah sendiri, seperti bapak Arimbi. Selepas STM tak mau cari kerja, hanya keluyuran di kampung dengan motor yang dibeli dari panenan bapaknya. “Jadi pamong dia sekarang. Bayar 40 juta,” jelas Narno. “Hah...?” Arimbi tak percaya. “Jadi pamong bayar 40 juta?” Narno mengangguk “Bayar ke siapa?” “Ya ke desa. Buat kas.” “Aturan siapa?” Arimbi masih tak percaya. “Ya aturaran desa.” (86, 2011: 60) ”...Arimbi merasakan sesak di dadanya. Selama itu ia akan hidup dalam tahanan. Tapi diam-diam ada rasa puas yang tipis bermain-main dalam benaknya. Hakim itu tak bisa dibeli. Perempuan itu dihukum lebih berat darinya” (86, 1011: 170). ketika suatu hari, Arimbi mendengar kabar bahwa ibunya masuk rumah sakit dan harus dioperasi karena penyakit ginjal. Ayahnya sudah menjual kebun jeruknya untuk biaya operasi, tetapi setiap seminggu sekali ibunya harus cuci darah. Setiap cuci darah memerlukan uang satu juta. Mereka membutuhkan uang empat juta setiap bulannya. Arimbi bingung dari mana mereka bisa mendapat uang sebanyak itu. Di penjara, dia tentu tidak bisa berbuat apa-apa. “jadi saya mesti bagaimana?” Arimbi mulai tak sabar. “Biaya semuanya bersih 15 juta.” “Gede banget, Bu! Mana ada tahanan yang sanggup bayar uang segitu? Paling Cuma orangorang elite itu saja yang bisa.” “Ya, kitakan sudah pilih-pilih. Nggak semua orang bisa dapat jatah. Ini kamu dapat jatah kok masih protes.” Bukan protes, Bu.tapi kalau sebesaritu kok ya rasanya terlalu berat.” “Kitakan sudah hitung semuanya. Kamu masih punya gaji, masih punya suami. Masih sama-sama
Universitas Sumatera Utara
muda. Duit segitu buat bebas cepat ya nggak ada apa-apanya. Ya terserah, kalau nggak mau. Tunggu saja dua tahun lagi.” (86, 2011: 217)
2.
Struktur fisik, ras, dan relasi gender
6. Penyelesaian ...Sesak. Sakit. Tapi tak tahu itu apa. Arimbi tak mengeluarkan air mata. Ia juga tak tahu hendak melakukan apa. Semua yang ada di sekelilingnya hanya seperti ruang hampa yang tak memiliki makna. Dia seperti tersesat di tempat gelap. Dia menyerah. Tak mau bersusah-susah mencari celah. Suara jeritan menyadarkannya. Anaknya terbangun. Tangisan anaknya semakin keras. Arimbi tersadar. Ia bergegas ke kamar, mengangkat anaknya dari tempat tidur. Ditimangtimangnya anak itu. Tapi tangisnya malah semakin keras. Air mata Arimbi meleleh. “Kita ke sana ya, Nak. Ketemu ayah ya, Nak. Kita tetap sayang ayah ya, Nak...” (86, 2011: 252) 1. Struktur Diusianya yang sudah 45 tahun, Bu Danti selalu fisik dan ras segar dan cantik. Badannya subur dengan lemak yang menggelembung di perut dan lengan. Dia selalu terlihat modis meski menggunakan seragam. Sepatu dan tasnya selalu berganti setiap dua hari sekali, menyesuaikan dengan warna seragam yang dipakainya. Mukanya putih mengilap dengan tata rias yang lengkap. Pemulas mata, perona pipi, lipstik hingga pulasan maskara dan pembuat bingkai mata, semuanya terpoles sempurna. Rambutnya yang sebahu disasak sebagian, tepat di bagian samping dan atas. Tak pernah ia lupa memakai kalung, giwang, dan cincin. Ada yagn berhias intan, ada yang mutiara, ada juga yang emas kuning polos tanpa hiasan apa pun. (86, 2011: 26) Masih ada satu lagi anak buah Bu Danti. Seorang laki-laki yang sepuluh tahun lebih tua dari Arimbi. namanya Wahendra. Dia masih keponakan jauh Pak Syamsudin, kepala bagian tata usaha di pengadilan ini. Pekerjaannya tak pernah lebih baik dari apa yang dikerjakan Arimbi dan Anisa. Bukan karena malas mengerjakan, tapi memang otaknya tak bisa lagi menghasilkan yang lebh baik. Sifatnya yang rama, supel, dan pandai menyenangkan orang membuat Anisa dan Arimbi tak pernah berhitung saat menyelesaikan pekerjaan yang seharusnya menjadi tanggung jawab Wahendra. Bu Danti juga menyukainya.
Universitas Sumatera Utara
2. Relasi Gender.
Beberapa kali Bu Danti megajak Wahendra saat ada urusan di luar kantor. Wahendra yang punya banyak teman, juga sering membawa temannya ke kantor, mengenalkannya pada Bu Danti. (86, 2011: 28-29) Arimbi mulai membongkar tumpukan kertas di mejanya. Itu semua baha-bahan yang harus diketik ulang, di rapikan, dan di-fotocopy. Arimbi membaca kertas-kerta itu sekilas. Memilih mana yang lebih dahulu dikerjakan. Dia melirik jam, sudah jam setengah dua belas. Jam satu nanti akan ada sidang yang akan diikutinya. Sambil menguap, Arimbi mengambil satu berkas yang sudah ditandai dengan kata “segera” oleh Bu Danti. (86: 27) Mereka bercinta berkali-kali dalam sehari. Tengah malam sebelum tidur, pagi-pagi sebelum Ananta berangkat kerja, dan sore hari setelah Ananta tiba di rumah. Pada hari tertentu mereka makan siang bersama. Ananta sengaja pulang, lalu makan di kamar. Setelah makan mereka kembali bercinta. Lalu Ananta kembali berangkat kalau sudah pukul 01.00, dengan baju yang punggungnya sedikit kusut. (86: 223)
3.
Struktur ruang dan waktu
1. Struktur ruang
Orang tua Arimbi berpikir inilah awal dari terwujudnya sebuah harapan dan doa-doa mereka selama puluhan tahun. Inilah awal dari tingkat derajat yang lebih tinggi bagi keluarga petani yang tidak pernah tahu satu huruf pun. Arimbi menjadi awal perubahan itu. Keturnan keluarga ini tidak akan lagi mengurusi tanah, bekerja dengan baju penuh kotoran setiap hari. Melalui Arimbi, keluarganya akan memasuki golongan baru. Golongan orang-orang terpelajar yang terhormat. Orang-rang yang bekerja dengan pakaian bersih, bertangan halus tanpa otot-otot yang menonjol, berkulit bersih karena terus berada di dalam ruangan. Arimbi menjadi orang kantoran. Bukan lagi wong tani seperti orang tuanya. (86: 19) “...Bangunannya lusuh dan kusam. Cat-catnya sudah pudar dan tak pernah diperbaharui lagi. Kayu pintu-pintunya mulai koyak. Gang ini lebih menyerupai gudang, tempat menyimpan barangbarang loak yang mulai sayang untuk dibuang. Sama sekali tidak menyisakan denyut kehidupan dan tanda-tanda kekinian” (86: 17).
Universitas Sumatera Utara
Bus kembali berjalan pelan-pelan menuju arah selatan, lalu terjebak dalam barisan kenderaan yang sedikit pun tak bisa bergerak. Di depan sana, ada kerumunan orang membawa spanduk dan poster dengan bermacam-macam tulisan. Ada juga gambar raksasa orang berseragam jaksa. Salah satu matanya ditutup dengan spidol warna hitam. Jaksa dalam gambar itu menjadi bajak laut. Di bawah gambar, tulisan “Jaksa Agung” dicoret, diganti dengan “Bajak Agung”. Arimbi meratap dalam hati. Lengkaplah sudah hari ini menjadi hari buruk baginya. Kopaja ini tak akan bergerak sampai demonstrasi selesai. Dan dia akan tetap bersedak-desakan terpanggang matahari yang sedang garang-garangnya. Minyak wangi dan deodoran tidak akan bisa lagi mengalahkan bau apek dan lengket badan sisa keringat yang keluar selama di dalam kopaja. (86: 24-25)
3. Struktur waktu
Pintu yang mereka sandari terbuka. Orang-orang berebut masuk kereta. Ada yang tua ada yang masih anak-anak, laki-laki dan perempuan. Satudua orang memang seperti penumpang. Berbaju rapi dan membawa tas besar. Sisanya adalah pedagang dan peminta-minta. Mereka berebutan berjalan di lorong, menawarkan nasi bungkus yang sudah dingin, minuman, rokok, dan kacang goreng. Sebagian lainnya menyodorkan tangan ke setiap penumpang. Berdiam lama kalau tak diberi, hingga akhirnya orang yang dimintai merasa tak enak dan terpaksa memberi. Ada yang sebisanya memainkan ecek-ecek atau menyanyikan lagu meski tak terdengar suaranya. Tak beranjak ke kursi lain kalau belum mendapat recehan. (86: 118) “... Hari Sabtu dan Minggu semunya menjadi sedikit berbeda. Saat semuanya begitu cair dan bebas, tanpa ada sekat-sekat waktu yang menjadi mesin penggerak atas semua yang dilakukannya. Dua hari itu, jam setengah tujuh pagi tidak lagi menjadi awal kehidupan Arimbi.” (86: 11) “...Semuanya cukup lengkap untuk menyebut hari ini sebagai hari buruk bagi Arimbi. Hari Senin yang dibenci semua orang, hari Senin yang biasanya penuh pekerjaan, dan hari Senin yang selalu penuh kemacetan di setiap ruas jalan” (86: 21).
Universitas Sumatera Utara
4.
Struktur transmisi narasi
“...Arimbi mulai mengemas barang-barangnya mulai jam empat. Diam-diam dia segera meninggalkan mejanya, menyusul Anisa yang selalu pulang lebih dahulu darinya. Ananta sudah menunggu di depan pagar. Mereka tiba di rumah saat hari masih terang. Di kamar Arimbi mereka menonton TV berdua” (86: 90) ketiga Arimbi (86: 1)
Orang dengan menggunakan kata “dia” dan “nama diri”
Tabel 4.2 Data realitas fiksi novel 86
4.1.1.3 Paparan Data Realitas Fiksi Novel Maryam Paparan data realitas fiksi novel Maryam terdiri dari empat unsur, yaitu struktur plot yang terdiri dari pengenalan, keadaan mulia berkonflik, konflik mulai meningkat, konflik memuncak, pemecahan masalah, dan penyelesaian.; struktur fisik, ras, dan relasi gender; struktur ruang dan waktu; dan struktur transmisi narasi. Paparan data tersebut dapat dilihat pada tabel berikut, No. 1.
Realitas Fiksi Unsur Struktur plot 1. Pengenalan
Teks “Januari 2005 Apa yang diharapkan orang yang terbuang pada sebuah kepulangan? Ucapan maaf, ungkapan kerinduan, atau tangis kebahagiaan?...Sudah lewat lima tahun sejak terakhir kali ia menginjakkan kaki di pulau ini” (My:13). Orang Ahmadi lainnya, Rifki menanggung malu saat lamaran. Ia datang bersama keluarga besar, memenuhi janji pinangan yang telah dirancang berbulan-bulan. Tapi di tengah acara, ayah sang gadis berkata lantang, ia tak mau anak perempuannya menikah dengan orang sesat. Anaknya menangis histeris, sambil berusaha menyuruh ayahnya diam. Ibunya terisak. Rifki tersinggung. Betapapun besarnya cinta pada kekasih, Rifki tak terima keluarganya dipermalukan seperti itu. Pertengkaran hebat
Universitas Sumatera Utara
2. Keadaan mulai berkonflik
terjadi. Keduanya saling ngotot, tak mau mengalah. Rifki hilang kesabaran. Ditonjoknya muka calon mertua. (My: 20) ...Baru kemudian, ketika Alam datang, Maryam kembali merasakan apa yang dirasakannya saat mulai dekat dengan Gamal. Maryam juga sengaja membanding-bandingkan keduanya. Wajah mereka yang hampir mirip, sifat dan perilaku yang serupa dan nama mereka yang tak jauh berbeda: Gamal dan Alam. Maryam jatuh cinta. Satu-satnya yang dia pikirkan adalah jangan sampai yang baru didapatnya itu terlepas. Ia tak mau lagi mengulang masa-masa kehampaan yang melelahkan ketika kehilangan Gamal. Dengan Alam, dia tak mau berpikir apaapa lagi, selain ingin berdua selamanya. (My: 25) Alam mengiba. Memohon pengertian dan kasihan dari bunya. Ia berjanji akan membawa Maryam ke jalan yang benar. “Bukankah justru itu kemuliaan seorang laki-laki?” Pertanyaan Alam membuat ibunyapenuh keharuan. Perempuan itu luluh. Ia percaya pada anak kesayangannya. Lagi pula dua minggu ini ia melihat sendiri bagaimana Alam yang dirundung kerisauan. Tak sampai hati dia membiaarkan Alam seperti itu berkepanjangan. Ia yakin, Alam akan membawa Maryam ke jalan yang seharusnya. Tapi dia mengajukan syarat. Ia ingin bertemu Maryam dan bicara dengannya lebih dulu. Alam mengiyakan. (My: 39)
3. Konflik mulai meningkat
Maryam menolak keduanya.ia memilih pergi. Masing-masing menyimpan amarah. Maryam menikah dengan Alam tanpa memberitahu orang tuanya lagi. Semua sudah cukup jelas, pikirnya. Pada akhir tahun 2000, seorang wali nikah dari Kantor Urusan Agama menikahkan mereka. Maryam sah menjadi isri Alam. Ia jadikan Alam sebagai satu-satunya imam dan panutan. Ditinggalkannya semua yang dulu ia yakini... (My: 40) Umar memberikan alat sholat dan Al Quran sebagai mas kawin. Saat suara “sah” diucapkan berkali-kali, air mata Maryam menetes. Bayangan pernikahannya dengan Alam kembali datang. Sangat jelas dan terasa nyata. Maryam
Universitas Sumatera Utara
bahkan merasa semuanya hanya pengulangan. Peristiwa yang sama. Hanya waktu dan tempatnya yang berbeda. Namun, saat pandangannya bertemu dengan bapak dan ibunya, Maryam tahu ini bukanlah pernikahan yang dahulu. ...Ia bergerak cepat untuk membuat bayangan itu segera pergi. Mengikuti petunjuk penghulu untuk beersalaman, minta restu pada orang tua mereka. saat itulah air matanya mengalir deras. Menyatu dengan air mata bapak dan ibunya. Lalu bertemu dengan air mata ibu Umar. (My: 163-164) 4. Konflik memuncak
“Semuanya segera ikut kami ke tempat yang aman. Itu sudah kami sediakan angkutan,” kata komandan polisi itu ketika pintu sudah terbuka. Perempuan-perempuan itu diam. Tak ada memberi tanggapan. Semua menunggu suamisuami mereka mengambil keputusan. “Kami tidak akan pergi!” seseorang yang ada di halaman kembali berteriak. “Kenapa bukan mereka saja yang disuruh pergi?!” “Betul! Ini rumah kami. Kenapa kami yang harus pergi?!” sambung yang lainnya. Komandan polisi mulai kehilangan kesabaran. “Semua terserah kalian!” teriaknya. “Kalau memang mau mati semua di sini, silakan! Kam sudah menawarkan jalan keluar terbaik! Mengungsi dulu biar semuanya selamat!” (My: 226-227) “Wajah ketiga tamu Gubernur itu merah mendengar kata-kata Gubernur. Mulut mereka terkunci. Tapi soeot mata mereka bicara banyak. Kemarahan dan sakit hati” (My: 249). Setelah menikah, Fatimah tinggal bersama suaminya. Satu minggu setelah menikah, dia datang ke Transito, sendiri. Orang tuanya menyambut seperti biasa. Bertanya kabar, tetapi mereka tidak bertanya tentang pernikahan Fatimah. Fatimah pun mengerti. Memang itulah yang diinginkan oleh orang tuanya. Mereka akan menganggap Fatimah belum menikah. Sedikit pun mereka juga tak mau tahu siapa laki-laki yang menjadi suami Fatimah. (My: 258-259)
5. Pemecahan masalah
“Juni 2008 Gedung Transito kian hari kian sesak. Barang-barang bertambah: baju dan
Universitas Sumatera Utara
aneka perkakas. Kamar sempit yang disekat dengan kain itu kini terlihat penuh tumpukan barang. Enam bayi telah lahir di pengungsian ini”( My: 266). “...Pengajian rutin selalu diadakan pada jumat sore. Hari itulah orang-orang Ahmadi dari berbagai tempat di Lombok datang sebagaimana dulu saat mesjid organisasi masih bisa digunakan” (My: 267).
2.
“Rusuh sekali tadi di TV. Orang-orang bentrok di Monas.” Kata Zulkhair. “Gara-garanya ada yagn mau membela kita,” lanjutnya. Zulkhair lalu menceritakan yang dilihatnya. Dimulai dari sekelompok orang-orang yang datang membawa berbagai tulisan untuk membela Ahmadiyah. Lalu kedatangan kelompok lain yang sejak dulu memang tak mau ada Ahmadiyah. Lalu gambar televisi dipenuhi pukulan, tendangan, teriakan, dan orang-orang terluka. “Masih ramai di TV sekarang. Semua berita tentang itu terus,” kata Zulkhair. (My: 269) 6. Penyelesaian “Januari 2011 Saya Maryam Hayati. Ini surat ketiga yang saya kirim ke Bapak. Semoga surat saya kali ini bisa mendapat tanggapan. Hampir enam tahun keluarga dan saudara-saudara kami terpaksa tinggal di pengungsian, di Gedung Transito, Lombok.... Kami mohon keadilan. Sampai kapan lagi kami harus menunggu? (My: 273-275) Struktur fisik, 1. Struktur fisik “Maryam menikah dengan Alam tanpa ras, dan relasi dan ras memberitahu orangtuanya lagi. Semua sudah gender jelas, pikirnya” (My: 40). Maryam memiliki kecantikan khas permpuan dari daerah timur. Kulit sawo matang yang bersih dan segar. Mata bulat dan tajam, alis tebal dan bibir agak tebal yang selalu kemerahan. Rambutnya yang lurus dan hitam sejak kecil selalu dibiarkan panjang memebihi punggung dan selalu dibiarkan tergerai. Di luar segala kelebihan fisiknya, Maryam gadis yang cerdas dan ramah. (My: 24) Ada satu pemuda yang selalu mereka sebutsebut akan cocok dengan Maryam. Namanya Gamal, empat tahun lebih tua daripada Maryam. Sedang mengerjakan skripsi di Teknik Mesin
Universitas Sumatera Utara
ITS. Orangnya ganteng. Kulitnya putih, jauh lebih putih dibanding Maryam yang memang sawo matang. Mereka sudah akrab sejak pertama kali kenalan. (My; 23) 2. Relasi Gender.
3.
Struktur ruang 1. Struktur dan waktu ruang
Sesaat kemudian terdengar suara berisik dari arah jalan. Barisan orang-orang muncul. Memasuki jalan kecil. “Usir! Usir!” teriak mereka. Terdengar bunyi „brak‟ dan „klontang‟. Mereka melempar sesuatu ke rumah yang dilewati. Rumah orang tua Maryam nomor empat dari ujung jalan. Itu artinya mereka akan segera sampai.semua orang kini berdiri bersiap-siap. Pintu rumah ditutup rapat. Ibu Maryam mengunci dari dalam. Hanya laki-laki yang ada di luar. (My:224-225) Gamal benar-benar tak pulang. Bapak-ibunya telah putus asa mencari. Datang ke kampus. Bertemu dosen-dosen dan mahasiswamahasiswa. Tak ada yang tahu soal Gamal. Lagi pula, semua teman seangkatannya sudah jarang berada di kampus. Semua sibuk mengerjakan tugas akhir, bahkan banyak yang sudah lulus. Orang tuanya juga datang ke teman-teman SMP atau SMA, ke siapa pun yang mereka anggap kenal dengan Gamal. Tak ada yang tahu. (My: 29) Gerupuk hanyalah kampung kecil di sudut timur pesisir selatan Lombok. Nyaris tak dikenal. Peta-peta wisata hanya menggambarkan Kuta sebagai satu-satunya nama tempat disepanjang garis pantai itu. Baru tahun-tahun belakangan, ketika orang-orang asing mulai mengetahui ada ombak tinggi di kampung ini, Gerupuk mulai di datangi. Itu pun hanya oleh mereka yang ingin mencari kepuasan berdiri di papan selancar, menakhlukkan ombak yang bergulung tinggi... Tak ada keistimewaan lain yang ditawarkan Gerupuk selain ombak tinggi itu. Ia tak punya pantai indah beerpasir putih, sebagaimana pantai-pantai lain yang berjajar di pesisir ini. Gerupuk adalah deretan erahu-perahu nelayan, Bau amis ikan, dan nelayan-nelayan yang berkulit legam. Setiap orang hidup dari tangkapan ikan, udang, atau teripang. (My: 41) “Meski terpisah dari rumah-rumah penduduk lain, tanah yang dihuni orang-orang Ahmadi itu
Universitas Sumatera Utara
2. Struktur waktu
termasuk kampung Gegerung. Sekitar satu setengah kilometer jauhnya dari perkampungan utama Gegarung, dipisahkan oleh sawah-sawah padi dan sungai”. (My: 83) Januari 2005. Apa yang diharapkan oleh orang yang terbuang pada sebuah kepulangan?ucapan maaf, uangkapan kerinduan, atau tangis kebahagiaan? Tidak semuanya bagi Maryam. Ia pulang tanpa membawa harapan. Ia bahkan tak punya bayangan apa yang akan dijumpainya di kampung halaman. Ia tak berpikir apakah kedatangannya amasih ada yang menantikan, atau malah akan menghidupkan kembali sisa kemarahan. Ia juga tidak tahu apa yang akan dilakukannya di sana. Akankah ia hanya singgah sesaat lalu segera kembali terbang entah ke mana atau akankah ia tinggal selamanya? Entahlah ... Ia hanya ingin pulang. Itu saja. (My: 13) ...Ada juga yang tak butuh waktu terlalu lama untuk membeli. Mereka tersentuh oleh wajah memelas anak itu. Cepat-cepat membeli artinya juga segera bisa menikmati liburan mereka tanpa diganggu oleh pedagang kecil itu lagi. Karena jika tidak, anak itu akan mengikutinya sampai dagangan itu dibeli. Semua anak yang melihat akhinya mengikuti cara itu. Maryam pun demikian, tak peduli apa yang dikatakan turis-turis itu. Tak mengambil hati pada apa yang mereka katakan, yang penting barang harus terjual. Anak-anak senang tiap hari mendapat uang. Jauh lebih senang lagi pemilik toko yang memasok barang. (My, 2012:189)
4.
Struktur transmisi narasi
Orang yang tahu
ketiga serba
Tabel 4.3 Data Realitas Fiksi Novel Maryam
Universitas Sumatera Utara
4.1.2
Paparan Data Realitas Sosial
4.1.2.1 Paparan Data Realitas Sosial Novel Entrok Paparan data realitas sosial novel Entrok terdiri dari empat unsur, yaitu kehidupan spiritual masyarakat Jawa, Kemiskinan, Buruh Perempuan, dan rezim Orde Baru. Paparan data tersebut dapat dilihat pada tabel berikut,
No. 1.
Realitas Sosial Kehidupan spiritual masyarakat Jawa
2.
Kemiskinan
3.
Buruh Perempuan
Uraian Ibu memang punya kebiasaan aneh, yang berbeda dibanding dengan orang-orang lain. Setiap hari dia selalu keluar rumah pada tengah malam. Lalu dudk sendirian di bangku di bawah pohon asem di depan rumah. Ibu duduk tenang, memejamkan mata, lalu komat-kamit. Dulu sekali, aku juga melakukan apa yang ibu lakukan. Ibu membangunkanku, lalu kami berdua duduk di bawah pohon asem. Kata Ibu itu namanya berdoa, tirakat. Ibu mengajariku untuk nyuwun. Katanya, semua yang ada di dunia milik Mbah Ibu Bumi Bapak Kuasa. Dialah yang punya kuasa untuk memberikan atau tidak memberikan yang kita inginkan. “Nyuwun supaya jadi orang pintar. Bisa jadi pegawai,” kata Ibu. (En, 2010: 55-56) “...aku melihat ada beberapa yang tidur di los itu. Kata Teja, mereka pedagang yang tiap hari tidur di pasar. Pedagangpedagnang itu kebanyakan perempuan seumuran Simbok. Mereka tidak pernah memakai entrok, apalagi berniat membelinya” (En, 2010: 22). “...Simbok masih tidur saat aku beranjak ke pancuran di belakang rumah. Didekatnya ada jumbleng. Siapa tahu sakitnya karena aku mau buang kotoran” (En, 2010:30). Hari berganti hari, aku dan Simbok masih tetap mengupas singkong, diupahi dengan singkong. Alih-alih membeli entrok, uang sepeserpun belum pernah kuterima. Pernah suatu kali kuberanikan diri meminta upah uang kepada Nyai Dimah, tapi langsung ditolak oleh Nyai Dimah. Kata Nyai Dimah, ia tidak mampu mengupahi uang. Lagi pula di pasar ini semua buruh perempuan diupahi dengan bahan makanan. Dia menyuruhku bekerja di tempat lain jika tidak percaya.Nyai Dimah memang benar. Kepada siapa pun aku bekerja di pasar ini, aku akan diupahi dengan bahan makanan ...(En, 2010:29- 30). “...Berat satu jun yang berisi penuh air sama saja dengan satu goni berisi singkong. Tidak ada laki-laki yang mengambil air, katanya itu urusan perempuan. Ya jelas lebih enak nguli daripada ngambil air. Nguli diupahi duit, sementara mengambil air tidak pernah dapat apa-apa.” (En, 2010: 37).
Universitas Sumatera Utara
4.
Rezim orde baru
“...Aku dan Simbok bukan satu-satunya orang yang menyusuri jalanan pagi ini. Di depan kami, di belakang, juga di samping, perempuan-perempuan menggendong tenggok menuju Pasar Ngranget. Kami semua seperti kerbau yang dihela di pagi buta, menuju sumber kehidupan.” (En, 2010: 22). “Pak Kyai, sampeyan dengar apa kata orang ini? Mereka semua yang ada di sini sudah jadi pembangkang. Semuanya sudah jadi orang-orang komunis. Sampeyan ada di sini dan tidak melakukan apa-apa?” “Aku tidak ada urusan dengan hal seperti itu. Kami di sini hanya mau mendidik anak-anak. Titik.” “Mun, sekarang semuanya terserah kowe. Yang jelas, minggu depan ini giliran desamu yang dikeruk. Mesin-mesin keruk akan m engangkat tubuh kalian semua. Kowe akan mati tertimbun tanah sendiri. Atau kalau untung, bisa jadi kalian selamat. Tapi hari in seluruh pasukan akan ada di daerah ini. Kalian semua akan tertangkap. Seumur hidup masuk penjara bersamaorang-orang PKI itu. Kalian semua sudah jadi PKI.” (En, 2010: 226).
Tabel 4.4: Paparan Data Realitas Sosial Novel Entrok
4.1.2.2 Paparan Data Realitas Sosial Novel 86 Paparan data realitas sosial novel 86 terdiri dari dua unsur, yaitu praktik suap dan peredaran narkoba di penjara. Paparan data tersebut dapat dilihat pada tabel berikut, No. 1.
Realitas Sosial Praktik suap
Uraian “Masih ingat Widodo, to?” tanya Narno. Arimbi mengangguk. Dia masih mengingatnya. Widodo teman SD mereka juga. Sekolah STM, sama seperti Narno. Bapaknya punya sawah sendiri, seperti bapak Arimbi. Selepas STM tak mau cari kerja, hanya keluyuran di kampung dengan motor yang dibeli dari panenan bapaknya. “Jadi pamong dia sekarang. Bayar 40 juta,” jelas Narno. “Hah...?” Arimbi tak percaya. “Jadi pamong bayar 40 juta?” Narno mengangguk “Bayar ke siapa?” “Ya ke desa. Buat kas.” “Aturan siapa?” Arimbi masih tak percaya. “Ya aturaran desa.” (86,2010: 60) “jadi saya mesti bagaimana?” Arimbi mulai tak sabar. “Biaya semuanya bersih 15 juta.” “Gede banget, Bu! Mana ada tahanan yang sanggup bayar uang segitu? Paling Cuma orang-orang elite itu saja yang bisa.”
Universitas Sumatera Utara
2.
Peredaran narkoba di penjara
(86, 2011:217). Tutik sudah tiga tahun di penjara. Asalnya dari Wonogiri, lebih tua tiga tahun dari Arimbi. Karena merasa berasal dari daerah yang berdekatan, sejak awal dia selalu ramah dan baik pada Arimbi. Sesekali mereka berdua berbicara dalam bahasa Jawa.... (86, 2011: 175)
Tabel 4.5 Data Realitas Sosial Novel 86
4.1.2.3 Paparan Data Realitas Sosial Novel Maryam Paparan data realitas sosial novel Maryam terdiri dari tiga unsur, yaitu diskriminasi dan kekerasan, kontroversi Ahmadiyah di Indonesia, dan kaum marginal. Paparan data tersebut dapat dilihat pada tabel berikut, No. 1.
Realitas Sosial Diskriminasi dan kekerasan
2.
Kontroversi Ahmadiyah di Indonesia
Uraian Duabelas bulan telah membentuk kebiasaan. Dari anak-anak sampai orang tua. Tak ada lagi yang menyebut tentang Gegarung. Tak ada lagi tangisan kesedihan mengingat harta benda kini telah hilang. Semua orang menahan diri, sabar, dan berserah diri. mereka sadar tak ada yang bisa dilakukan selain menjalani apa yang ada. Kamar-kamar tersekat kain itulah tempat mereka kini. Tiga kompor di dekat kamar mandi dan setumpuk piring itulah dapur mereka bersama.kamar mandi, tempat cuci baju, dan satu ruangan di samping bangunan utama yang digunakan untyk salat bersama. Itulah hidup mereka. ... Cerita yang sama diulang-ulang. Rentetan peristiwa di Gegerung hingga bagaimana mereka bertahan sampai sekarang. Pak Khairuddin yang selalu diajak mendampingi Zulkhair. Ia menceritakan semua peristiwa yang dialaminya, sejak di Gerupuk, pengungsian di masjid organisasi, pindah ke Gegerung, hingga sekarang tinggal di Transito. Zulkhair menambahinya dengan berbagai tuntutan dan permintaan. Tamu-tamu pulang dengan meniggalkan harapan besar di benak semua orang. Harapan tentang perubahan, harapan untuk segera kembali pulang ke rumah, dan hidup normal. Lagi-lagi kabar baik itu tak pernah datang. Waktu terus berjalan, tamutamu pun terus berdatangan, harapan tetap ditanam, tapi inilah yang namanya kenyataan (My: 250-251). “Semuanya segera ikut kami ke tempat yang aman. Itu sudah kami sediakan angkutan,” kata komandan polisi itu ketika pintu sudah terbuka. Perempuan-perempuan itu diam. Tak ada memberi tanggapan. Semua menunggu suami-suami mereka mengambil keputusan.
Universitas Sumatera Utara
3.
Kaum marginal
“Kami tidak akan pergi!” seseorang yang ada di halaman kembali berteriak. “Kenapa bukan mereka saja yang disuruh pergi?! “Betul! Ini rumah kami. Kenapa kami yang harus pergi?!” sambung yang lainnya. Komandan polisi mulai kehilangan kesabaran. “Semua terserah kalian!” teriaknya. “Kalau memang mau mati semua di sini, silakan! Kam sudah menawarkan jalan keluar terbaik! Mengungsi dulu biar semuanya selamat!” (My, 2012: 226-227) “Rusuh sekali tadi di TV. Orang-orang bentrok di Monas.” Kata Zulkhair. “Gara-garanya ada yagn mau membela kita,” lanjutnya. Zulkhair lalu menceritakan yang dilihatnya. Dimulai dari sekelompok orang-orang yang datang membawa berbagai tulisan untuk membela Ahmadiyah. Lalu kedatangan kelompok lain yang sejak dulu memang tak mau ada Ahmadiyah. Lalu gambar televisi dipenuhi pukulan, tendangan, teriakan, dan orang-orang terluka. “Masih ramai di TV sekarang. Semua berita tentang itu terus,” kata Zulkhair. (My: 269)
Tabel 4.6 Data Realitas Sosial Novel Maryam
4.1.3 Paparan Data Perjuangan Perempuan 4.1.3.1 Paparan Data Perjuangan Perempuan dalam Bidang Ekonomi Paparan data perjuangan perempuan dalam bidang ekonomi terdiri dari tiga unsur, yaitu perempuan sebagai pelaku bisnis, mempeetahankan hidup, dan meningkatkan taraf hidup. Paparan data tersebut dapat dilihat pada tabel berikut, No. Perjuangan Perempuan 1. Perempuan sebagai pelaku bisnis
Uraian “Di sini malah aman. Lihat sendiri, kamarku jadi pabrik sabusabu,” katanya sambil terbahak-bahak. “Di sini, enggak perlu kucing-kucingan lagi. Yang penting setoran lancar, semua aman. Delapan enaaam!” Arimbi tertawa mendengarnya. Sekarang dia paham, dan sudah bisa membayangkan. Dari sel inilah segala urusan sabu-sabu dikendalikan. Berbagai serbuk obat-obatan yang jadi bahan didatangkan dari luar. Orang-orang yang dari dulu jadi langganan Cik Aling belanja bahan mengantar ke penjara. Petugas-petugas yang sudah mendapat jatah bulanan, membuka pintu lebar-lebar. Kalaupun sesekali ada pemeriksaan, paling hanya berakhir dengan senyuman, tanpa
Universitas Sumatera Utara
2.
Mempertahankan hidup
3.
Meningkatkan taraf hidup
pernah ada penyitaan. Di hari-hari tertentu ada orang-orang yang datang mengambil sabu-sabu. Mereka inilah yang akan mengedarkan ke banyak orang. Tugas Tutik yang menimbang, memebungkus, dan membagikan kepada orang-orang itu. Umi dan Watik hanya membantu di dalam kamar. Dan sekarang Arimbi dan Ananta juga menjadi bagian dari tangan-tangan itu. Sabu-sabu Cik Aling tidak hanya menunggu diambil orang, tapi diantar sendiri oleh orang suruhan Cik Aling, salah satunya Ananta. (86, 2011: 204-205) Aku diam. Aku tahu Simbok benar. Bisa makan tiap hari saja sudah harus disyukuri. Simboklah yang mencari semuanya. Setiap hari ke pasar. Kalau pas untung ya ada pekerjaan, kalau tidak ya mencari sisa-sisa dagangan yang akan dibuang penjualnya. Kadang Simbok menawarkan diri untuk membantu pedagang-pedagang itu. Pekerjaan apapun dilakukan. Imbalannya singkong, ketan, dan pernah sekali waktu baju. Sayangnya, tak ada satu pun yang memberi upah entrok. Samar-samar dalam ingatanku, terbayang Bapak memukul Simbok yang sedang sakit panas dan tidak bisa ke pasar. Kalau Simbok tidak ke pasar, kami tidak akan punya makanan. Dan laki-laki itu dengan seenaknya hanya menunggu makanan. Dia seperti anjing gila yang marah saat kelaparan. Iya. Dia memang anjing gila. Hanya anjing gila kan yang menggigit istrinya yang sedang sakit. saat itu aku sangat ketakutan. Menyembunyikan diri di balik pintu sambil menangis sesenggukan. Laki-laki itu pergi setelah menghajar istrinya dan tak pernah kembali lagi (En, 2010: 17-18). Bu Danti bekerja di kantor pengadilan. Dia juga seorang pegawai negeri. Selain itu, Bu Danti memegang jabatan struktural sebagai ketua seksi panitera persidangan. Bu Danti adalah atasan Arimbi dan Anisa. Bu Danti menyelewengkan jabatan yang dianugerahkan kepadanya. Melalui jabatan ini, Bu Danti menjadi makelar kasus (86, 2011: 49.
Tabel 4.7: Data Perjuangan Perempuan dalam Bidang Ekonomi
4.1.3.2 Paparan Data Perjuangan Perempuan dalam Bidang Keyakinan Paparan data perjuangan perempuan dalam bidang keyakinan terdiri dari dua unsur, yaitu kejawen dan Ahmadiyah. Paparan data tersebut dapat dilihat pada tabel berikut,
Universitas Sumatera Utara
No. 1.
Perjuangan Perempuan Kejawen
Uraian Dulu sekali, aku juga melakukan apa yang ibu lakukan. Ibu membangunkanku, lalu kami berdua duduk di bawah pohon asem. Kata ibu, itu namanya berdoa, tirakat. Ibu mengajariku untuk nyuwun. Katanya semua yang ada di dunia milik Ibu Bapa Bumi Kuasa. Dialah yang punya kuasa untuk memberikan yang kita inginkan. “Nyuwun supaya jadi orang pintar. Bisa jadi pegawai,” kata Ibu. ... Ibu juga rajin selamatan. Seminggu sekali, setiap hari kelahirannya, dia meyembelih ayam untuk dipanggang. Tonah membuat tumpeng kecil, menyiapkan semua ubo rampe. Ada kulupan, jenang merah, dan jenang putih. Ibu memanggil beberapa tetangga laki-laki. Mbah Sambong, perangkat desa yang dipercaya punya kekuatan lebih, membacakan ujub. Bapak dan yang lainnya membaca, “Amin....Amin...!” ... Ibu menyimpan satu tumpeng dan panggang lengkap dengan ubo rampenya di kamarnya. Di taruh di meja samping lemari kaca, beralas baki, ditemani sebatang lilin. Kata ibu, tumpeng dan panggang itu dikirim untuk Mbah Ibu Bumi Bapak Kuasa. Keesokan harinya, ibu akan mengeluarkan tumpeng dan panggang itu. Tonah akan memasaknya kembali untuk makanan kami semua (En, 2010: 55-56). Sesajen dan dupa yang sudah disiapkan dari Madiun diletakkan di samping makam. Ada tumpeng lengkap dengan panggang dan ubo rampe-nya, buah-buahan, dan rokok. Selama tirakat mereka tidak akan berbicara dan makan-minum. Mereka juga dilarang memikirkan hal-hal yang tidak baik. Satu-satunya yang mereka lakukan adalah berdoa memohon berkah (En, 2010:95). Koh Cayadi menceritakan salah satu kebiasaan keluarganya yang diyakini terbukti membantu kelancaran usaha mereka. Sejak bertahun-tahun lalu, tepatnya saat ia masih kanak-kanak di Surabaya, orangtuanya rutin mengajaknya ke Gunung Kawi. Gunung Kawi ada di Malang, kota di selatan Surabaya. Mereka bias pergi naik bus, dengan lama perjalanan dua jam. Di gunung itu, ada makam, yang bisa memberikan berkat bagi orang menziarahinya. Ibu mendengarkan semua itu dengan antusias.ia sangat percaya upaya batin diperlukan untuk membantu seseorang mencapai kemakmuran dan kejayaan. Selama ini ia hanya mengenal Mbah Ibu Bumi Bapak Kuasa. Upaya batinnya baru sebatas memohon di tengah malam, membawa panggang ke makam penguasa desa, dan selametan setiap hari kelahiran (En, 2010:92). Sepanjang perjalanan Koh Cahyadi telah memberitahu apa
Universitas Sumatera Utara
yang akan mereka lakukan di Gunung Kawi. Mereka akan tirakat di sekitar makam Eyang Sujo dan Eyang Jugo. Sesajen dan dupa yang sudah disiapkan dari Madiun diletakkan di samping makam. Ada tumpeng lengkap dengan panggang dan ubo rampe-nya, buah-buahan, dan rokok. Selama tirakat mereka tidak akan berbicara dan makan-minum. Mereka juga dilarang memikirkan hal-hal yang tidak baik. Satu-satunya yang mereka lakukan adalah berdoa memohon berkah (En, 2010:95). Masih pagi begini tak banyak orang yang datang ke rumah Pak Kyai. Aku dan Teja langsung masuk rumah, menemuinya yang sedang melinting tembakau. Aku minta padanya agar Rahayu diberi doa keselamatan. Kuceritakan semua yang diceritakan Rahayu. Kyai Noto mendengarkan sambil mengisap tembakaunya. Dia lalu masuk kamar. Konon, di kamar itu ia semadi dan membuat jampi-jampi. Tak terlalu lama kemudian dia keluar kamar sambil membawa bungkusan kecil. Bungkusan itu isinya gula pasir. Kyai Noto sudah mengirimkan doa-doa dan kekuatannya dalam gula pasir itu. Orang yang diberi tinggal ngemut sewaktu-waktu (En, 2010: 132). 2.
Ahmadiyah
“Ini kampung saya. Lahir di sini. Bapak, ibu, sampai buyut semua lahir dan meninggal di sini,” kata seorang perempuan yang ditanyai. „Tapi bagaimana kalau selamanya tak bisa pulang ke rumah?” tanya wartawan. Yang ditanyai diam. Semua orang yang mendengar juga diam. ... Sudah lama tinggal di sini... apakah terpikir untuk menuruti permintaan orang-orang itu agar bisa kembali ke rumah?” Perempuan itu tampak bingung dengan pertanyaan wartawan. “Maksudnya keluar dari Ahmadiyah, agar bisa pulang lagi ke rumah,” jelas wartawan. Perempuan itu menggeleng. “Namanya orang sudah percaya,” jawabnya. “Semakin susah semakin yakin kalau benar,” lanjutnya. (My, 2012: 272)
Tabel 4.8 Data Perjuangan Perempuan dalam Bidang Keyakinan
4.1.3.3 Paparan Data Perjuangan Perempuan dalam Bidang Hukum Paparan data perjuangan perempuan dalam bidang hukum yaitu, perjuangan perempuan dalam mencari keadilan. Paparan data tersebut dapat dilihat pada tabel berikut,
Universitas Sumatera Utara
No. 1.
Perjuangan Perempuan Perjuangan perempuan dalam mencari keadilan
Uraian Aku membalikkan tubuh. Sekarang mukaku berhadapan dengan mukanya. Mata kami beradu. Gusti, kenapa aku selalu Kauhadapkan dengan orang-orang seperti ini? Orang-orang yang begitu berkuasa dengan seragam dan sepatunya. Orangorang yang menjadi begitu kuat dengan senapannya. Orangorang yang selalu benar karena bekerja untuk negara. Mereka yang selalu mendapatkan uang dengan mudah tanpa sedikit pun mengeluarkan keringat. Dan aku yang tak punya kuasa dan kekuatan, yang selalu saja salah, harus tunduk pada kemauan mereka. Menyerahkan harta yang terkumpul dengan susah payah, dengan segala hujatan orang lain. “Ini urusannya berat. Nggak kayak yang dulu itu.” “Berapa?” “Sampeyan juragan tebu, kan? Satu hektar pasti enteng.” (En, 2010:182-183) “Ya sudah, Pak Teja, Bu Marni, kami ini aparat hanya mau membantu masyarakat. Bikin urusan cepat beres. Kita mau bantu supaya mobil ini bisa segera dibawah ke bengkel, bisa dipakai lagi. Daripada nanti ketahuan atasan-atasan saya malah panjang urusannya. Jadi ya diselesaikan di sini saja.” “Kami ikut saja, Pak,” jawab Teja. “Kalau kecelakaannya seperti ini, ada yang mati, dua puluh orang luka-luka, dendanya satu juta saja. Sudah beres semuanya.” (En, 2010:119). Akan kukejar keadilan sampai ke mana pun. Orang paling bodoh saja tahu harta yang kukumpulkan dengan susah payah itu semua milikku. Lha bagaimana ceritanya, orang yang sama sekali tidak kukenal sekarang akan mendapatkan separoh dari hartaku ini? Dan bagaimana bisa aku yang mencari semuanya malah tidak mendapat apa-apa? Walaupun Rahayu itu anakku, bagaimana bis mereka membagi milikku semau mereka. Biarkan aku sendiri yang mengatur kepada siapa aku memberikan hartaku ini.apakah itu pada Rahayu atau orang lain. Aku menemui komandan Sumardi di markasnya. Siapa lagi yang lebih berkuasa setelah lurah-lurah itu? Hanya mereka orang-orang yang berseragam, orang-orang negara. Pada lakilaki yang telah mengambil satu hektar tanahku ini, kucaritakan semua yang kualami. Aku meminta padanya untuk dicarikan jalan keadilan (En, 2010:196). “Sudah aku hitung-hitung, nanti kamu bisa keluar Desember. Tapi namamu sudah mesti dicatat sekarang. Soalnya mau diajukan pas Agustusan nanti.”
Universitas Sumatera Utara
Arimbi diam, menunggu apa yang sebenarnya hendak dikatakan perempuan yan duduk di depannya itu. “Ya kalau kamu bilang sanggup, nanti namamu diusulkan. Kan siapa-siapa saja yang layak diusulin itu tergantung kita yang ada di lapangan ini.” ”Jadi, saya mesti bagaimana?” Arimbi mulai tak sabar. “Biaya semuanya bersih 15 juta.” (86, 2011: 216-217) Gubernur menerima mereka dengan tiga orang bawahannya. Ia menyalami Zulkhair dengan ramah seperti orang yang sudah lama kenal. “Bawa siapa ini, Pak Zul!” tanyanya ketika melihat Maryam dan Umar. (My, 2012:247) Gubernur mendecak sambil menggeleng, “Sudahlah. Tak ada ujungnya kalau bicara seperti ini,” katanya. “Pilih saja, keluar dari Ahmadiyah lalu pulang ke Gegarung atau tetap di Transito sampai kita temukan jalan keluarnya.” Wajah ketiga tamu Gubernur itu merah mendengar kata-kata Gubernur. Mulut mereka terkunci. Tapi sorot mata mereka bicara banyak. Kemarahan dan sakit hati (My, 2012: 249). Bapak yang terhormat, kami tidak meminta lebih. Hanya minta dibantu agar bisa pulang ke rumah dan hidup aman. Kami tidak minta bantuan uang atau macam-macam. Kami hanya ingin hidup normal. Agar anak-anak kami juga bisa tumbuh normal, seperti anak-anak lainnya. Agar kelak kami juga bisa mati dengan tenang, di rumah kami sendiri. Sekali lagi, Bapak, itu rumah kami. Kami beli dengan uang kami sendiri. Kami punya surat-surat resmi. Kami tak pernah melakukan kejahatan, tak pernah mengganggu siapa-siapa. Adakah alasan yang diterima akal, sehingga kami, lebih dari dua ratus orang, harus hidup di pengungsian seperti ini? Kami mohon keadilan. Sampai kapan lagi kami harus mengunggu? (My, 2012: 274-275).
Tabal 4.9 Data Perjuangan Perempuan dalam Bidang Hukum
4.2 Analisis Realitas Fiksi Realitas fiksi yang dideskripsikan dan dianalisis dalam penelitian ini didasarkan pada cerita dan wacana. Pola cerita didasarkan pada bentuk dan substansi struktur plot; struktur fisik, ras, dan relasi gender; serta struktur ruang dan waktu, sedangkan wacana didasarkan pada bentuk dan substansi struktur transmisi narasi.
Bentuk dan substansi dari cerita dan wacana narasi dalam
Universitas Sumatera Utara
deskripsi dan analisis ini merupakan kondisi objektif yang ada dalam novel karya Okky Madasari yang menjadi sumber data penelitian ini.
4.2.1
Realitas Fiksi Novel Entrok
4.2.1.1 Struktur Plot Novel Entrok Struktur plot sebagai sebuah penceritaan pada hakikatnya terbagi atas tiga bagian, yaitu bagian permulaan, pertengahan, dan bagian akhir suatu cerita. Struktur plot ini akan menentukan apakah cerita beralur maju atau beralur mundur. Oleh karena itu, sinopsis yang menggambarkan pergerakan tokoh harus dideskripsikan dengan cermat, sehingga dapat diidentifikasi perubahan arah berkaitan dengan karakter protagonis dalam menjalani kehidupannya. Menurut Chatman (1980:85), ”Aristotle distinguished between fortunate and fatal plots, according to whether the protagonist‟s situation improved or declined.” (Aristoteles membedakan antara alur yang fatal dan keberuntungan menurut apakah situasi protagonis meningkat atau menurun). Dengan demikian, pendeskripsian struktur plot tersebut akan memperlihatkan protagonis yang sangat baik, tidak begitu jahat, atau luar biasa baiknya. Plot cerita yang digunakan dalam novel Entrok adalah beralur mundur. Novel Entrok diceritakan dalam delapan bagian. Setiap bagian menampilkan tindakan dan kejadian yang berkaitan satu sama lain. Karena novel ini beralur mundur maka pada bagian pertama novel ini akan berkaitan dengan bagian kedelapan. Bagian pertama mengambil judul Setelah Kematian. Peristiwa ini terjadi tahun 1999. Bagian ini memperkenalkan tentang tokoh Sumarni dan
Universitas Sumatera Utara
Rahayu yang menjadi tokoh utama dalam novel ini. Hubungan keduanya adalah hubungan anak dan ibu dan hubungan mereka sudah membaik.
4.2.1.11 Tahap Pengenalan Novel Entrok dibuka oleh Okky Madasari dengan memperkenalkan Rahayu dan Sumarni atau Marni yang memiliki ikatan hubungan anak dan ibu. Marni dan Rahayu, dua generasi yang tak pernah bisa mengerti tentang kehidupan ini, akhirnya menyadari ada satu titik singgung dalam hidup mereka. Keduanya sama-sama korban orang yang punya kuasa, sama-sama melawan senjata dan akhirnya kalah. Kehidupan Marni sudah tidak punya jiwa lagi. Marni mengalami gangguan kejiwaan sedangkan Rahayu selama lima tahun harus berjuang untuk mendapatkan hidupnya kembali. Pola pengenalan ini sekaligus menjadi penutup dalam cerita ini. Pola pengenalan cerita ini antara lain sebagai berikut: Kau mengerti semuanya. Tapi Kenapa kau tak mau berkata apaapa? kau hanya bicara tentang sesuatu yang tak pernah kumengerti. Aku juga sering mendengarmu berbicara dengan orang lain yang juga tidak kuketahui. Kenapa tidak denganku? Lima tahun aku telah melakukan segala cara. Kuhitung hari demi hari dengan keringat yang telah kauberikan padaku. Hanya itu yang membuatku terus bertahan. Kau mengajariku tentang harapan. Dan aku yakin inilah harinya. Akan kubawakan apa yang paling kau inginkan. Aku sudah mendapatkannya. “Ibu, lihat ini, bu. KTP-ku baru. Lihat...lihat...sama seperti punya ibu.” “Apa ini?” “Ka Te Pe, Bu! Ka Te Pe!” “Tape? Aku mau buat tape. Mbok... Simbok...ayo ke pasar, Mbok. Kita cari telo!” “Bukan tape, Bu.” Kataku sambil mengusap-usap rambut putih perempuan yang telah melahirkanku ini (En: 12-13).
Universitas Sumatera Utara
Tahap pengenalan alur dalam cerita ini dipaparkan pengarang dengan bergerak mundur ke belakang yang mengisahkan kembali tentang kehidupan Sumarni menjelang menginjak remaja. Ini ditandai dengan klausa “Kumulai ceritaku saat aku kenal dunia di luar Simbok”(En, 2010:15). Marni dilahirkan saat jaman perang di desa Singget. Ini diketahuinya dari cerita Simboknya. Dia sendiri tak pernah melihat itu semua. Yang dia tahu, tiba-tiba ada yang berbeda di dadanya. Lama-kelamaan Marni merasa tidak nyaman dengan dadanya. Jika dia lari kedua gumpalan yang ada di dadanya terguncang-guncang. Dia heran melihat Tinah, anak pamannya yang dadanya terlihat kencang. Lalu Tinah menjelaskan karena dia memakai entrok atau BH. Marni berharap dia akan memiliki entrok tersebut. Lalu ia meminta kepada ibunya, tetapi ibunya tidak tahu apa itu entrok. Ibunya juga tidak memilikinya. Untuk membeli entrok ibunya juga tidak pernah mempunyai uang. Demi untuk mendapatkan entrok akhirnya Marni ikut ibunya bekerja mengupas ubi di pasar Ngranget. Hanya Nyai Dimah yang mau menawarkan mereka bekerja. Sebagai upahnya mereka mendapatkan ubi. Pekerja wanita tidak mendapatkan duit sebagai upah sedangkan pekerja pria diupah dengan uang. Akhirnya ia memutuskan bekerja seperti yang dilakukan oleh kaum pria. Ia bekerja sebagai kuli angkat barang. Dia membuat suatu perubahan besar dalam tatanan masyarakatnya bahwa perempuan juga bisa mengerjakan pekerjaan kaum lelaki. Marni bekerja sebagai kuli angkat barang. Setelah beberapa lama bekerja, Marni memiliki uang. Dengan uang tersebut dia membeli sebuah entrok. Dia gembira bukan kepalang karena impiannya selama ini sudah tercapai. Bahkan di
Universitas Sumatera Utara
malam hari dia bermimpi bahwa dia memiliki entrok bermacam-macam. Peristiwa ini dapat dilihat pada kutipan novel berikut: Pagi itu aku terbangun dengan kecewa. Segala keindahan dan kebahagiaan itu kenapa hanya ada dalam mimpi? Aku ingin punya entrok berenda. Entrok sutra bertahtakan intan dan permata. Aku ingin semua orang kagum, menatap dengan iri. Aku juga ingin ada orang yang membuatku merasa begitu bahagia. Mengantarkanku ke kerajaan yang indah. Sepanjang perjalanan ke pasar, aku terus memikirkan mimpi itu. Entrok yang baru saja kumiliki tak lagi memberi kebahagiaan. Hari ini kali pertama aku memakai entrok ke pasar. Semuanya terasa biasa saja. Kenapa rasanya lebih bahagia saat dalam mimpi? (En, 2010:41) Keinginan muncul ketika Marni melihat tabungannya sudah banyak. Ia ingin bakulan (jualan) tetapi tidak di pasar, melainkan jualan keliling kampung. Ia membelanjakan sebagain uangnya dan dia mulai berjualan. Setiap hari dia berangkat bersama ibunya ke Pasar Ngranget membeli barang dagangan, lalu pulang dan mampir ke setiap rumah yang ada di sepanjang jalan dan di seluruh desa Singget. Teja yang bekerja sebagai kuli panggul ingin melamarnya. Marni juga merasa dia mencintai Teja. Lalu mereka menikah. Setelah menikah Teja tidak lagi bekerja sebagai kuli panggul di pasar Ngranget, tetapi dia setiap hari membawa barang jualan menemani Marni. Jadi, barang jualan mereka menjadi lebih banyak dibanding ketika Marni masih berjualan sendiri. Tempat yang mereka kelilingi juga semakin banyak. Teja tidak pernah tahu berapa keuntungan yang diperoleh dan juga tidak pernah meminta. Harga barang yang dijual juga dia tidak tahu, yang dia tahu hanya mengangkat goni yang berisi barang jualan di pundak. Yang penting bagi Teja, bisa membali tembakau linting setiap hari.
Universitas Sumatera Utara
4.2.1.1.2 Tahap Keadaan Mulai Berkonflik Keadaan mulai berkonflik eksternal ketika orang-orang berseragam loreng hijau dengan pistol di pinggang dan bersenapan tinggi datang ke rumah Marni. Komandan tentara itu datang menagih uang setoran keamanan. Biar usaha Marni tidak ada yang mengganggu. Setiap dua minggu sekali tentara ini akan datang ke rumah Marni dan Marni harus menyediakan uang buat mereka. Saat itu Marni sudah berprofesi sebagai rentenir. Dia meminjamkan uang kepada warga yang membutuhkan dengan bunga pinjaman 10%. Hari demi hari kehidupan Marni semakin meningkat. Rahayu, anak mereka sudah berusia sepuluh tahun ketika para tentara itu pertama kali datang ke rumah Marni. Rahayu iri kepada para tentara itu. Setiap kali datang, ibunya selalu memberi mereka uang. Selama dua puluh tahun Rahayu selalu mendengar ibunya bercerita tentang sulitnya mencari uang. Tentang cerita jaman dahulu, saat dia berjalan kaki ke pasar Ngranget, hidupnya yang melarat, sampai-sampai tidak bisa beli BH. Ibunya selalu mengulangi cerita itu disertai keinginan agar anaknya bisa sekolah, biar bisa jadi pegawai. Ibunya tidak peduli, dia harus mencari uang dengan susah payah agar anaknya, Rahayu bisa sekolah yang tinggi.
4.2.1.1.3 Tahap Konflik Mulai Memuncak Konflik mulai meningkat saat Rahayu tidak mengerti melihat ibunya masih tekun mengurusi uang recehan yang dikumpulkannya setiap hari. Rahayu juga tidak mengerti tentang ibunya yang tetap percaya kepada arwah leluhur dan memberi makan leluhurnya setiap hari kelahiran ibunya. Ibunya percaya bahwa
Universitas Sumatera Utara
Mbah Ibu Bumi Bapak Kuasa yang memberi mereka rezeki. Peristiwa di atas sejalan dengan kutipan pada novel berikut ini: Ibu memang punya kebiasaan aneh, yang berbeda dibanding dengan orang-orang lain. Setiap hari dia selalu keluar rumah pada tengah malam. Lalu dudk sendirian di bangku di bawah pohon asem di depan rumah. Ibu duduk tenang, memejamkan mata, lalu komat-kamit. Dulu sekali, aku juga melakukan apa yang ibu lakukan. Ibu membangunkanku, lalu kami berdua duduk di bawah pohon asem. Kata Ibu itu namanya berdoa, tirakat. Ibu mengajariku untuk nyuwun. Katanya, semua yang ada di dunia milik Mbah Ibu Bumi Bapak Kuasa. Dialah yang punya kuasa untuk memberikan atau tidak memberikan yang kita inginkan. “Nyuwun supaya jadi orang pintar. Bisa jadi pegawai,” kata Ibu. (En, 2010: 55-56) Marni, perempuan Jawa buta huruf yang masih memuja leluhur. Melalui sesajen dia menemukan dewa-dewanya, memanjatkan harapannya. Tidak pernah dia mengenal Tuhan.
Dia mempertahankan hidup dengan caranya sendiri.
Menukar keringat dengan sepeser demi sepeser uang. Dia merasa tidak bersalah karena dia tidak mencuri, menipu, atau membunuh. Tahun 1977 akan diadakan Pemilu lagi. Pak RT datang ke rumah Marni meminta sumbangan untuk partai pemerintah. Walaupun Marni mengatakan dia tidak punya uang, namun Pak RT tetap memaksa. Seperti biasa, Pak RT mengatakan bahwa ini adalah partai pemerintah, sambil menunjukkan map warna kuning. Semua warga haus memenangkan partasi tersebut, yang tidak mendukung partai ini berarti orang PKI. Mau tidak mau Marni harus menyumbang. Pencoblosan dilakukan pada tanggal 2 Mei 1977. Seperti lima tahun yang lalu, partai berwarna kuning ini menang. Memasuki tahun 1980, listrik sudah mulai masuk ke desa Singget. Pak Lurah membeli Televisi. Marni juga terbius dengan kotak bergambar itu. Dia
Universitas Sumatera Utara
pergi ke Pasar Gede Madiun untuk membali TV. Hanya Koh Cayadi pemilik toko Cahaya yang menjual TV karena Televisi dianggap barang mewah yang hanya bisa dibeli oleh orang-orang tertentu.koh Cayadi tahu bahwa yang membeli TV bukan orang sembarangan, maka dia melayani mereka dengan sangat ramah. Marni dilayani Koh Cayadi dengan baik. Mereka bercerita panjang lebar tentang keluarga, usaha, sampai kepada kepercayaan mereka kepada leluhur yang ikut membantu kelancaran usaha. Ternyata Koh Cayadi seorang menganut leluhur juga. Dia menawarkan kepada Marni untuk ikut berjiarah ke Gunung Kawi dan Marni menyetujuinya. Kepulangan Marni diantar oleh orang-orang Cina menjadi pembicaraan orang-orang Singget. Apalagi Marni pulang setelah Jumat Legi. Sudah sejak dulu orang-orang Tionghoa suka ke Gunung Kawi setiap Jumat Legi untuk mencari pesugihan. Orang-orang Singget juga menuduh Marni mencari pesugihan. Di sekolah Rahayu mendapat olok-olok baru, tidak hanya anak lintah darat tetapi juga anak tuyul. Mereka membicarakannya di mana-mana, tetapi pada malam hari tetap menonton TV di rumah Rahayu. Marni membeli kenderaan roda empat. Dari hasil panen tebu dan cicilan piutang orang, akhirnya dia bisa membeli mobil pikap bekas. Marni berniat minta bantuan Koh Cayadi. Namun, ketika dia datang ke rumah Koh Cayadi, di sana ada beberapa orang tentara. Mereka melarang Marni masuk. Dari Ellen, Marni mengetahui bahwa Koh Cayadi sering pergi secara diam-diam ke Kelenteng dan memberi sumbangan. Padahal, Kelenteng itu sudah ditutup sejak terjadi pemberontakan PKI.
Universitas Sumatera Utara
Pada kampanye putaran teakhir, pak Lurah datang ke rumah Marni. Dia mau meminjam pikap Marni untuk arak-arakan ke kabupaten. Tetapi naas bagi Marni, mobilnya tabrakan dan jatuh ke sungai. Bejo, supir Marni meninggal dunia. Mobil Marni ditahan di kantor polisi. Untuk mengeluarkannya, dia harus membayar denda karena mobilnya sudah mencelakakan orang lain. Kematian Bejo dianggap sebagai tumbal pesugihan. Marni tidak berdaya dituduh seperti itu. Seberat-berat musibah yang dialaminya Marni tetap percaya bahwa Mbah Ibu Bumi Pabap Kuasa akan menolongnya. Dia berdoa suapaya diberi ketenangan dan kemudahan rezeki agar bisa menyrkolahkan anaknya setinggi-tingginya untuk menebus penyesalan dirinya yang menjadi orang bodoh dan tidak kenal huruf. Rahayu memilih kuliah di Jogja. Sejak kepergian Rahayu, Marni merasa kesepian. Apalagi Teja sering tidak pulang karena selingkuh. Marni diam saja mendengar cerita tentang Teja, yang penting Teja tidak menikah lagi. Sudah setahun Rahayu tidak pulang ke kampungnya. Setelah kuliah dua tahun, dia tidak tertarik lagi dengan kuliahnya. Dia sibuk berorganisasi dan pengajian kampus. Saat candi Borobudur dibom bulan Januari 1985. Rahayu dan teman-temannya sedang melaksanakan kegiatan pengabdian masyarakat. Mereka melatih guru-guru ngaji. Para tentara yang menyelidiki kasus pemboman ini, curiga kepada Rahayu dan teman-temannya karena mereka tidak melaporkan kegiatan mereka. Akhirnya mereka dibawah ke markas. Setelah terbukti tidak bersalah mereka dibebaskan.
Universitas Sumatera Utara
4.2.1.1.4 Tahap Konflik Memuncak Konflik memuncak saat Rahayu pergi meninggalkan Marni. Dua hari setelah pernikahan, Rahayu pergi. Marni sudah tidak punya keinginan lagi menahan mereka. Hatinya belum ikhlas menerima pernikahan itu. Biarlah dia tidak melihat Rahayu, agar dia tidak terus-terusan menyesali kebodohan anaknya itu. Anak yang selalu didoakan supaya bisa sekolah tinggi-tinggi, bisa menjunjung martabat orangtua, malah berbuat seenaknya sendiri. Dia ingin anaknya menjadi insinyur dan bekerja di pabrik gula, justru menjadi gundik. Kematian Teja tidak hanya menyisakan kesedihan bagi Marni tetapi juga mendatangkan masalah baru buat Marni. Pada peringatan seratus hari wafatnya Teja, datanglah seorang perempuan dengan seorang anak ke rumah Marni mengaku sebagai istri Teja dan anaknya. Mereka meminta harta warisan supaya dibagi dua. Untuk menyelesaikan masalah ini Marni minta bantuan kepada Pak Lurah, tetapi keputusannya Marni harus membagi setengah dari hartanya. Marni keberatan. Dia minta bantuan kepada Komandan Sumadi. Sumadi meminta seperempat dari harta Marni. Marni menyerah, daripada dia harus kehilangan setengah hartanya. Sekali lagi Marni menjadi korban orang-orang bersenjata. Suatu hari datang seorang Kyai dari desa sebelah meminta bantuan kepada Kyai Hasbi. Mereka akan diusir dari desa mereka karena akan dibangun sebuah waduk. Kyai Hasbi menugaskan Rahayu dan Amri untuk mengatasi masalah itu. Para penduduk tetap bertahan, namun baku hantam tidak dapat dihindarkan. Amri gugur dalam pertempuran itu, Kyai Hasbi mengajak Rahayu pulang ke pondok dan menawarkan diri untuk menikahi Rahayu menjadi istri keempat. Namun,
Universitas Sumatera Utara
Rahayu menolak. Bersama beberapa warga yang lain, mereka tetap bertahan. Akhirnya Rahayu dan orang-orang itu ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara karena dianggap sebagai pemberontak. Maret 1990, pabrik gula Purwadadi sudah bangrut. orang-orang Singget tidak lagi mau membeli gula buatan pabrik tersebut. Mereka lebih memilih gula dari Pasar Gede. Akibatnya, Marni tidak mendapatkan uang lagi dari kebunnya. Penderitaan lainnya juga yang dialami Marni adalah masyarakat sudah tidak mau lagi meminjam uang kepadanya, karena sistem perbankan sudah mulai memasuki desa Singget. Bank tersebut meminjamkan uang dengan suku bunga delapan persen dan dapat dicicil setiap minggu. Walaupun Marni menawarkan kepada warga suku bunganya sama dengan bank, namun orang tidak mau juga meminjam kepada Marni. Walhasil, Marni menyerah pada nasib dan dia mulai gulung tikar. 4.2.1.1.5 Tahap Pemecahan Masalah Pemecahan masalah dilukiskan pengarang dengan menghadirkan tokoh Rahayu pulang ke kampungnya setelah keluar dari penjara. Dia disambut gembira oleh ibunya. Ibunya sudah melupakan semua pertengkaran diantara mereka. Marni merasa seolah-olah hidupnya gairah kembali. Rahayu juga sudah mencairkan segala perbedaan pandangan yang terjadi diantara mereka selama ini. Dia menurut saja, ketika ibunya mau mengawinkan dia. Semua persiapan untuk pernikahan Rahayu hampir selesai. Pelaminan dan teratak sudah berdiri di depan rumah Marni. Surat pernikahan juga sudah diurus, tinggal menunggu siapnya saja. Tiba-tiba seseorang berteriak mengatakan bahwa pernikahan Rahayu tidak bisa diselenggarakan karena Rahayu orang terlibat.
Universitas Sumatera Utara
KTPnya berbeda dengan KTP ibunya. Pihak lelaki tidak mau mencari masalah dengan menikahi Rahayu. Marni pingsan mendengar berita tersebut. Akhirnya dia menjadi seperti orang linglung. Semua harapannya hancur. Dia hanya bisa menyesali nasibnya. Hukum karma telah berlaku atas dirinya.
4.2.1.1.6 Tahap Penyelesaian Penyeselaian masalah tidak digambarkan secara jelas oleh pengarang. Rahayu harus merawat ibunya yang mengalami gangguan kejiwaan dan dia harus memulai lagi hidupnya yang baru. Walaupun dia sudah memperoleh KTP baru, tetapi Rahayu tidak tahu, apakah dia bisa mendapat pekerjaan. Cerita ditutup oleh pengarang dengan menggunakan kalimat percakapan antara Rahayu dan Ibunya sebagai berikut: “Aku di sini terus, Ibu. Menemani Ibu setiap hari,” bisikku sambil mengelus-elus punggungnya. “Lihat ini kamar Ibu. Aku setiap hari tidur di kamar itu.” “Kamu pulang sendiri, Nduk? Mana suamimu yang ganteng itu, Nduk? “Oh .... Ibu!” Ibu.... Ibu... Ibu! Adakah yang bisa aku lakukan untuk menebus semua kesalahanku? “Sssst! Yuk, aku mau cerita.... Dengarkan, Yuk! Nanti ganti kamu yang cerita ya? Ya? Takgendong cucuku.... takgendong....kemana-mana!” (En, 2010:3)
4.2.1.2 Struktur Fisik, Ras, dan Relasi Gender Novel Entrok 4.2.1.2.1 Struktur Fisik Novel Entrok Novel Etrok memiliki tokoh utama berjenis kelamin perempuan bernama Sumarni atau biasa dipanggil Marni. Tokoh utama ini didampingi oleh tokoh
Universitas Sumatera Utara
perempuan juga yaitu Rahayu. Mereka mempunyai ikatan hubungan anak dan ibu. Rahayu dan Marni bersuku Jawa. Marni ditampilkan pengarang sebagai seorang tokoh pekerja keras. Dia memiliki harapan dan keinginan yang kuat dalam hidupnya. Mula-mula dia ingin memiliki sebuah entrok yang biasa saja. Setelah itu, dia menginginkan entrok yang terbuat dari sutra yang bertahtakan emas dan permata. keinginannya ini membuat pemikirannya lebih maju. Dia ingin setara dengan kaum pria, bisa mendapatkan uang, maka dia bekerja sebagai kuli angkat barang. Setelah dia memiliki uang, dia mulai membuka usaha berjualan sayur keliling. Kemudian, Marni mengembangkan usahanya dengan menjual semua peralatan yang dibutuhkan oleh warga. Setelah itu, dia membungakan uangnya. Profil Marni semakin jelas dengan petikan novel beikut, Dalam dua hari, ibu mendatangi pelanggan-pelanggannya. Bukan pelanggan barang, tetapi pelanggan utangan. Tidak semua orang akan ditagih, ibu hanya mendatangi orang yang utangnya besar-besar, 25.000an. Kebanyakan mereka pedagang di pasar Ngranget. Mereka berhutang 25.000, dan sekarang tinggal sisa 15.000 atau 20.000. ada Yu Ningsih pedagang beras, Yu Sri penjual pecel, dan Pak Pahing yang setiap hari berjualan daging. (En, 2010:81) Marni juga digambarkan sebagai sosok yang buta huruf dan
pemuja
leluhur. Melalui sesajen dia menemukan dewa-dewanya. Dan memanjatkan harapannya. Tidak pernah dia mengenal Tuhan. Kepercayaan ini diterimanya sebagai warisan dari ibunya. Prinsip Marni yang menjalani hidup sebagai seorang penganut leluhur terlihat dari semua perbuatannya yang selalu membuat tumpeng di hari kelahirannya untuk dijadikan sesajen.
Universitas Sumatera Utara
Sebagai seorang ibu, Marni dikalahkan oleh pengetahuan. Rahayu yang sudah mengecap pendidikan agama, berseteru dengan ibunya. Dia berdiri tegak melawan leluhur, menantang ibu kandungnya sendiri. Rahayu malu memiliki seorang ibu seperti Marni yang suka membungakan uang. Diam-diam dia membenci ibunya. Rahayu adalah seorang generasi muda yang dibentuk oleh sekolah dan kesenangan hidup. Pemeluk agam Tuhan yang taat. Marni dan Rahayu adalah dua orang yang terikat hubungan darah namun menjadi orang asing bagi satu sama lain selama bertahun-tahun. Marni juga berteman dengan Koh Cahaya, berkebangsaan Cina. Koh Cahaya adalah seorang pedagang barang-barang elektronik. Dia mempunyai kesamaan dengan Marni dalam bidang keyakinan. Dia juga seorang pemuja leluhur. Bersama Marni dan kedua temannya yaitu Ellen dan Sanjaya yang juga berkebangsaan Cina, mereka pergi ke Gunung Kawi untuk melakukan pemujaan. Koh Cahaya selalu terlibat dalam urusan keagamaan mereka. Dia selalu menyumbang dalam acara-acara tersebut. Dia dituduh menyembunyikan buronan PKI. Supaya Marni tidak dipenjara, akhirnya dia menyogok tentara tersebut dengan mengorbankan satu hektar perkebunan tebu miliknya.
4.2.1.2.2 Struktur Ras Novel Entrok Dalam novel ini, struktur ras tidak terlalu menonjol. Di sini lebih banyak membahas tentang masyarakat Jawa. Pertentangan kelas atas dan kelas bawah terlihat dari keadaan ekonomi dan kelas sosial. Masyarakat bawah biasanya bekerja sebagai buruh tani, kuli, tukang becak dan orang upahan. Sedangkan
Universitas Sumatera Utara
kelas menengah keatas adalah orang pemerintahan, Pak RT, Pak Lurah, Pak Camat, dan Pak Bupati, priyayi, pedagang, guru, dan tentara. Orang Cina biasanya tinggal di ibu kota kecamatan, dan kabupaten. Mereka menguasai perdagangan. Koh Cayadi menjual barang-barang elektronik. Sanjaya membuka bengkel, sedangkan Ellen berjualan barang kelontong. Juga banyak orang Cina lainnya yang berjualan di deretan tokoh tersebut.
4.2.1.2.3 Relasi Gender Novel Entrok Di samping menampilkan struktur fisik dan ras, novel Entrok juga menampilkan relasi gender antartokoh cerita. Ada enam cara yang ditampilkan pengarang tetang relasi gender dalam novel ini. Pertama, relasi antara laki-laki dengan perempuan sebagai suami istri. Kedua, relasi antara laki-laki dengan perempuan yang tidak terikat hubungan pernikahan resmi. Ketiga, relasi gender dalam konteks hubungan birokrasi dan elit pemerintah. Keempat, relasi hubungan anak dengan orangtua. Kelima, relasi gender dalam hubungan dagang. Keenam, relasi hubungan kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan. Relasi gender dalam konteks hubungan suami istri dapat diidentifikasi dalam kehidupan Marni dengan Teja, Rahayu dengan Amri, serta Kyai Hasbi dengan ketiga orang istrinya. Ada dua jenis relasi gender hubungan suami istri antara Marni dan Teja. Pertama, dalam hubungan seksualitas, kedudukan Teja lebih tinggi dari Marni. Teja berkuasa atas diri Marni yang dapat diidentifikasi dari kutipan berikut: Hari itu Teja pulang ke rumah simbok. Jadilah kami tinggal bertiga di gubuk itu. Simbok memasang papan membagi gubuk kami menjadi dua
Universitas Sumatera Utara
bagian. Bagian depan dari pintu masuksampai cagak, menjadi tempat untukku dan Teja, simbok menempati sisanya yang dekat dengan pawon .... Malam ini tidur tak sekedar rutinitas penutup hari, melainkan saar pelepas seluruh keinginan dan kepemilikan. Tidur kami menjadi simbol bagaimana pencapaian manusia dalam mendapatkan apa yang diinginkan. Aku kesakitan, dia kegirangan. Aku mengerang, dia senang. Aku menangis, dia tertawa penuh kemenangan. Aku menerawang, dia telah pulas. (En, 2010: 48-49) Kedua, dalam bidang ekonomi rumah tangga, kedudukan Marni lebih tinggi dari Teja. Teja tidak lebih hanya sebagai seorang kuli yang mengangkat barang dagangan Marni. Teja tidak pernah tahu tentang harga barang yang mereka jual dan keuntungan yang diperoleh dari hasil jualan mereka. Teja tidak pernah tahu tentang urusan keuangan keluarga. Teja hanya diberi uang oleh Marni untuk membeli tembakau linting. Jadi, dalam bidang ekonomi Marni lebih berkuasa atas diri Teja. Hal ini dapat dilihat pada deskripsi dibawah ini: Teja tidak pernah tahu berapa keuntungan yang kami dapat, dia juga tidak pernah meminta. Dia juga tidak tahu apa saja dagangan yang harus dikulak, berapa harganya, dijual berapa. Yang dia tahu hanya mengangkat goni di punggung. Bedanya, dulu di pasar Ngranget, sekarang keliling desa. Yang penting bagi Teja, bisa membeli tembakau linting setiap hari. (En, 2010: 49) Relasi gender, sebagai istri kedua dapat dilihat dari hubungan suami istri antara Rahayu dengan Amri. Rahayu menjalani hidupnya dengan keihlasan. Dia tidak pernah menuntut lebih dari Amri. Dia juga menyadari posisinya sebagai istri kedua. Amri harus membagi waktunya untuk kedua istrinya. Setiap hari Jumat, Amri pergi ke Jogja menemui istri tuanya. Dia kembali menelui Rahayu hari Senin pagi. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut: Tiap Jumat pagi, saat kami semua baru saja selesai salat, Amribergegas meninggalkan tempat ini. Disandangnya ransel hitam itu. Malam sebelumnya, aku telah memasukkan tiga baju putih panjang ke tas
Universitas Sumatera Utara
itu. Dengan motornya, dai menuju ke selatan, menembus kabut Merapi yang menghalangi pandangan. Dia akan menemui anaknya. Juga istrinya. Dia pulang ke rumahnya. Di Jogja sana. Lalu pada Senin pagi, bunyi motor yang sudah kunantikan itu terdengar. Aku turun dari kamarku di lantai dua, berjajar dengan kamarkamar gur-guru lainnya. Kucium tanganya. Lalu kubawa jaket yang baru saja dilepaskannya.kami naik bersama-sama. Dia tidur sebentar, sebelum mulai masuk kelas. Setiap minggu, semuanya berulang dalam urusan yang tak pernah berubah. Dalam kedamaian dan keikhlasan yang sama. Adakah yang masih kurisaukan ketika aku telah berjalan lurus menuju kebahagiaan abadi itu? (En, 2010: 209) Relasi gender hubungan suami istri, yang suaminya mempunyai istri lebih dari satu dapat dilihat dalam rumah tangga Kyai Hasbi. Walaupun memiliki istri tiga orang, tidak pernah terdengar keributan diantara para istrinya. Mereka hidup rukun damai. Masing-masing dari mereka memiliki kelebihan tersendiri. Hal ini didukung oleh kutipan berikut: ...Dia Kyai Hasbi. Kami meniru semua yang ada padanya. Mengikuti semua yang dilakukannya. Tiga istrinya tinggal di sini. Masing-masing dengan kelebihan yangberbeda. Istri pertamanya begitu indah membaca kitab.ditularkannya keahlian itu pada seluruh perempuan yang ada di sini. Istri keduanya kadang mengingatkanku pada ibu. Begitu lincah, begitu sigap, mengatur segala kebutuhan padepokan. Istri ketiganya baru dinikahinya tiga bulan lalu. Dia temanku sendiri. Arini. Aku dan Amri yang memperkenalkan mereka. arini yang sedang sebatang kara dan butuh tempat beerlabuh. Kyai Hasbi meminangnya. Sekarang Arini, sebagaimana aku dan Amri, melkengkapi apa yang perlu diketahui santrisantri. Berhitung, berpolitik, hingga mengerti bahasa selain yang ada di kitab dan selain yang setiap hari mereka gunakan. (En, 2010:213) Relasi gender dalam konteks hubungan laki-laki dan perempuan yang tidak terikat pernikahan resmi terjadi dalam kehidupan di beberapa tempat. Peristiwa ini dapat dilihat dengan pemakaian kata-kata seperti sundal dan gendakan. Terdapat beberapa peristiwa yang berkaitan dengan perselingkuhan.
Universitas Sumatera Utara
Relasi gender ini dapat diidentifikasi dari relasi alasan tidak punya anak, sekedar melampiaskan nafsu seksual, suka sama suka, dan pelecehan seksual. Relasi gender hubungan laki-laki dan perempuan yang tidak terikat pernikahan resmi karena tidak punya anak, dapat dilihat dalam hubungan antara Pak Suyat dan Yu Nem atau Iyem. Pak Suyat menikahi Yu Nem secara diamdiam karena dia tidak mempunyai anak dari pernikahannya dengan Yu Parti. Yu Parti tetap saja tidak merelakan suaminya kawin lagi. Ketika ada kesempatan bertemu, Yu Parti langsung melabrak Yu Nem. Perkelahian tidak dapat dihindari lagi. Peristiwa ini didukung oleh kutipan berikut: “Sedulur-sedulur, Si Iyem ini sundal. Suami orang direbut juga,” teriak Yu Parti dengan penuh amarah. Yu Nem yang terlihat takut, terpancing dan mulai marah. Dengan suara tak kalah kencang, dia membalas kata-kata Yu Parti. “Enak saja, nyebut aku sundal. Sampeyan sendiri yang tidak bisa ngeladeni suami, bukan salahku kalau suami sampeyan mau kawin sama aku.”. “Dasar sundal, perebut suami orang,” Yu Parti mulai kehilangan kesabaran. Dia bergerak mendekati tempat Yu Nem berdiri. Dagangan cabe yang ada di los disapu dengan tangannya. Cabe-cabe itu berhamburan ke seluruh los. (En, 2010: 26)
Relasi gender hubungan laki-laki dan perempuan yang tidak terikat pernikahan resmi karena sekedar melampiaskan nafsu seksual dapat dilihat dari hubungan antara suami Bu Jujuk dengan seorang kledek atau peronggeng. Walaupun Bu Jujuk tahu suaminya selingkuh tapi dia tidak mau ribut-ribut. Walaupun hatinya sakit menerima kenyataan itu, tetapi dia tidak bisa berbuat apa-apa. Dia hanya bisa menceritakan kesedihan ini pada Marni. Bu Jujuk juga takut kepada suaminya. “Suamiku itu lho, Ni. Dia gendakan sama kledek. Sudah lama, Ni. Tapi aku diam saja. Aku nggak mau ribut. Nggak mau cari masalah. Tapi
Universitas Sumatera Utara
aku nggak kuat, Ni. Hatiku diiris-iris.” Tangis Bu Jujuk meledak. Hanya kami berdua yang ada di rumah itu. ... Suatu hari, suami Bu Jujuk pulang saat Bu Jujuk untuk kesekian kalinya menceritakan lakon Pak Jujuk dan kledek gendakan-nya. Bu Jujuk yang tak menyadari kehadiran suaminya terus menumpahkan perasaan sambil menagis. Semuanya langsung terhendi saat terdengar teriakan suaminya. Bu Jujuk langsung menghapus air matanya, lalu buru-buru masuk ke rumah. Dari luar kudengar umpatan-umpatan suami Bu Jujuk. “Istri nggak tahu diri! Kerjaannya rasan-rasan terus!” Tak ada jawaban dari mulut Bu Jujuk.lenyap semua umpatan yang sebelumnya dikatakan padaku. Bu Jujuk kembali ke dunianya, dunia yan gpenuh kepatuhan dan ketakutan. (En, 2010:46-47) Relasi gender hubungan laki dan perempuan yang tidak terikat pernikahan resmi karena suka sama suka dapat dilihat dari perselingkuhan Marni dengan Bagong. Perselingkuhan ini terjadi setelah
suami Marni meninggal dunia.
Hubungan ini tidak berlangsung lama. Setelah Pabrik Gula Sidodadi bangkrut, Bagong juga tidak pernah datang lagi ke rumah Marni. Ilustrasi ini dapat dilihat di bawah ini: Malam ini semuanya menjadi lain. Dimulai dengan rasa malu saat dia mulai membuka kain yang menutupi tubuh yang sudah kisut dan nglambir ini, lalu aku tertawa pelan sambil melihat tubuh si Bagong tak lagi ditutupi selembar kain pun. Lalu dadaku berdebar kencang saat tangan berwarna coklat gosong itu menyentuh susuku yang sudah sangat kendor dan bergelantungan seperti pepaya. Tiba-tiba saja ingatanku melayang seandainya aku memakai entrok sejak awal, pasti saat ini susuku masih kencang dan montok. Relasi gender hubungan laki dan perempuan yang tidak terikat pernikahan tanpa memikirkan status dapat dilihat dari hubungan Rahayu dengan Kyai Hasbi. Saat itu yang dirasakan hanyalah kenikmatan tanpa memikirkan status antara mereka berdua. Hali ini juga sudah pernah dilakukan pada malam sebelumnya. Menurut Rahayu, seorang laki-laki dan perempuan dapat melakukan hubungan seksual walaupun tanpa lembaga perkawinan. Ketika berahi sudah berada di
Universitas Sumatera Utara
puncak, maka tidak ada lagi yang bisa menghentikan terjadinya hubungan seksual di luar pernikahan, seperti kutipan berkut: Dan biarkan saja aku menikmati malam ini. Mengulang apa yang kami lakukan tadi malam. Merasakan lagi nikmat dan bahagia yang kami cicipi dalam gelap desa ini. Kyai Hasbi bergerak lebih cepat dan tangkas sekarang. Tidak ada ragu dan malu seperti sebelumnya. Sepertinya dia sudah yakin aku juga menginginkannya. Dia bergerak cepat mencumbu bibir dan dada. Gusti, aku hampir lupa kalau laki-laki ini tiga puluh tahunlebih tua dari aku (En, 2010: 249-250). Relasi gender hubungan laki dan perempuan yang tidak terikat pernikahan karena pelecehan seksual dapat dilihat dari hubungan Ndari dengan pamannya dan Ndari dengan tentara. Ndari duduk dikelas enam SD, usianya baru duabelas tahun. Dia
menjadi korban pelecehan seksual oleh pamannya sendiri, yaitu
Kartono. Padahal pamannya sudah mempunyai istri. Pamannya menyuruh datang ke rumahnya dengan alasan minta dipijat. Dia mengancam Ndari agar kejadian itu tidak diceritakan kepada orang lain. Peristiwa ini terjadi berulang kali. Peristiwa ini dapat dilihat pada kutipan berikut Bersama Kyai Hasbi dan Wagimun, aku mengantar Ndari pulang. Bocah itu telah menceritakansemuanya. Kejadian ini pertama kali terjadi sebulan yang lalu. Paklik-nya yang tinggal di belakang rumahnya menyuruh datang. Ndari diminta mengeroki punggung paklik-nya. Pakliknya sedang masuk angin. Saat itulah, pelan-pelan tangan laki-laki itu menggeranyangi selangkangan Ndari. Jarinya masuk ke lubang kewanitaan Ndari, menembus selaput tipis itu. Ndari kesakitan. Dia menangis. Laki-laki itu menyuruh ponakannya diam. Dua hari kemudian, Ndari kembali disuruh datang. Kali ini dia diminta memijit. Tapi malah laki-laki itu yang memijit dan merogoh tubuh keponakannya sendiri. Ndari tidak menangis. Dia diam. Ketakutan. Lalu kejadian itu terus berulang. Dua hari sekali atau kadang setiap hari. Ndari tidak hanya dirogoh-rogoh. (En, 2010:238) Relasi gender dalam konteks hubungan birokrasi dapat dilihat pada perilaku tentara yang selalu datang ke rumah Marni untuk meminta uang
Universitas Sumatera Utara
keamanan. Hal ini terjadi berulang kali. Di sini ditampilkan bahwa posisi perempuan lebih rendah. Marni selalu tidak pernah menang jika berurusan dengan tentara. Marni harus mengeluarkan uang untuk semua urusan itu. Dengan dalih sebagai uang keamanan, seperti petikan berikut: Obrolan terhenti saat ibu selesai menghitung uang. Tiga tumpuk uang yang diikat dengan karet gelang kini sudah di atas meja. Orang yang dari tadi berbicara paling banyak segera mengambil tumpukan uang itu. Menghitung lalu tertawa lebar. “Begini kok dibilang seret to Yu, seret apanya?” Seret ya seret, Ndan. Cuma setoran buat sampeyan aja yang ngga boleh seret, iya to?” “Lha, ya iya. Inikan buat keamanan sampeyan dan keamanan lingkungan. Iya to? Kalau bukan kami siapa lagi yang ngatur!” (En, 2010:51-52)
Relasi gender dalam konteks hubungan elit politik dalam novel ini juga menampilkan posisi perempuan selalu rendah dan tidak berdaya. Marni harus mengeluarkan uang sumbangan yang tidak sedikit untuk partai setiap kali akan diadakan pemilu. Bukan itu saja, Marni juga harus bersedia meminjamkan mobilnya.
Mereka selalu mengatasnamakan untuk urusan negara. Hal ini dapat
dilihat pada petikan berikut: “wah, membantu gimana ya, Pak Lurah? Kalau sumbangan, kemarin sudah saya titipkan sama pamong.” “iya, sumbangan sudah saya terima. Tapi ini bukan soal uang kok,Yu. Soal uang , kita semua sudah beres. Begini, Pak Camat dan Pak Bupati kan minta orang-orang desa kita untuk arakan keliling Kabupaten, terus nanti siangnya dangdutan di lapangan Singget.” “lha maksudnya saya harus ikut arak-arakan atau bagaimana? “Ndak harus ikut, Yu. Kita Cuma mau dipinjami mobil sehari itu. Namanya buat negara, jadi ya hitungannya sumbangan. Bisa to, Yu?” (En, 2010:113) Relasi gender hubungan anak dengan orang tua dapat dilihat dari hubungan Marni dengan ibunya, Rahayu dengan Marni, Ndari dengan ayahnya.
Universitas Sumatera Utara
Hubungan Marni dengan ibunya berjalan dengan baik. Marni patuh pada ibunya. Dia
tidak pernah membantah apa yang dikatakan oleh ibunya. Mereka
mempunyai kesamaan. Marni dan ibunya sama-sama buta huruf dan memuja leluhur. Kehidupan mereka masih susah. Relasi hubungan mereka saling menghargai satu sama lain. “Aku sudah tidak lagi membagi waktu dengan bekerja di tempat Nyai Dimah. Simbok diam saja, tak menanyakan atau melarang. Saat bersama, kami tidak pernah menyinggung urusan nguli. Simbok juga tidak pernah bertanya tentang upah yang kudapatkan dari nguli. (En, 2010:39). Hubungan Marni dengan Rahayu sangat jauh berbeda dengan hubungan Marni dengan ibunya. Rahayu yang dibesarkan di jaman serba berkecukupan, merasa ada yang tidak beres dengan pekerjaan yang dilakukan oleh ibunya. Apalagi setelah dia belajar agama. Dia membenci ibunya yang sering disebut orang sebagai lintah darat dan pemuja leluhur. Relasi hubungan yang terbangun di antara mereka adalah hubungan pertentangan. Pemikiran Marni tidak sejalan dengan pemikiran Rahayu. Marni ingin menguasa Rahayu, sementara Rahayu ingin menyadarkan ibunya bahwa ibunya telah berbuat dosa. Pandangan Rahayu terhadap ibunya dapat dilihat pada kutipan berikut ...Aku merasa waktu berhenti dan semua temanku sedang memandangku, berbisik-bisik mengatakan aku anak lintah darat. Tiap hari makanan yang kumakan adalah keringat orang-orang susah. Aku bisa sekolah karena ibuku mengisap darah orang lain. Aku malu. Aku marah pada ibu. Dia membuatku ikut berdosa. Aku mulai membencinya. Hari-hari berjalan sangat lambat sejak itu. Makin banyak omongan oran gtentang ibu seiring makin banyak uang yang dikumpulkannya. (En, 2010:89)
Universitas Sumatera Utara
Relasi hubungan antara Ndari dengan ayahnya adalah relasi kuasa. Ayahnya berkuasa atas anaknya. Ndari tidak berani melawan perintah ayahnya sekalipun perbuatannya tidak sesuai dengan ajaran agama. Ndari rela menyerahkan tubuhnya sebagai tumbal pemuas nafsu para tentara karena mengikuti kemauan ayahnya. Peristiwa ini dapat dilihat dari percakapan antara Rahayu dengan Pak Karto atau Kartorejo, ayahnya Ndari. “Pak Karo, maksudnya apa Ndari disuruh ke tempat kerukan?” “Saya Cuma sedang berusaha agar kita tetap bisa tinggal di sini”. “Lha, terus apa yang anakmu lakukan di sana?” Kartorejo diam. Dia memandang anaknya. Ndari ketakutan menunduk semakin dalam. “Ya terserah dia. Apa saja yang bisa dilakukannya. Pokoknya bagaimana caranya agar tentara-tentara yang ada disana itu itu besok tidak ke sini.” “Ngawur! Ngawur kowe, Pak! Anak sendiri malah disuruh nglonte!” (En, 2010:251-252) Relasi gender dalam hubungan dagang dapat dapat diidentifikasi menjadi dua jenis jika dilihat dari kedudukan Marni sebagai rentenir, yaitu lebih tinggi atau berkuasa dan lebih rendah. Kedudukan Marni lebih tinggi atau berkuasa, ketika dia meminjamkan uangnya kepada orang yang kelas sosialnya lebih rendah. Mereka patuh dengan aturan yang dibuat oleh Marni. Mereka tidak pernah ingkar untuk membayar hutangnya. Kedudukan Marni menjadi lebih rendah ketika dia meminjamkan uangnya kepada Pak Wiji, guru ngaji Rahayu. Pak Wiji yang berstatus priyayi, tidak mau membayar hutang. Apalagi Pak Wiji adalah guru anaknya. Pengalamannya berurusan dengan para aparat membuat keberanian dan kekuasaannya menjadi luntur saat berhadapan dengan priyayi. “Pak guru, saya ini nagih duit saya sendiri. Nyata-nyata sampeyan tiga bulan tak pernah bayar cicilan. Malah duit buat beli pupuk. Saya ini
Universitas Sumatera Utara
sawah saja tidak punya.mengumpulkan uang recehan setiap hari. Saya Cuma cari makan. Apa yang dikutuk agama? Agamanya siapa?” “Lho... sampeyan kok malah teriak-teriak di rumahku. Ini rumah priyayi, ndak pernah ada orang teriak-teriak. Lha kalau aku bilang sekarang tidak ada duit, mau gimana? Ya sana, silakan digeledah. Kalau ada duit, ambil!” Ibu tak pernah menggeledah. Keberaniaan dan kekuasaannya atas sesama bakul pasarbagaimanapun luntur saat berhadapan dengan priyayi. Pengalamannya berurusan dengan Komandan Koramil membuatnya lebih berhati-hati setiap berurusan dengan orang-oran gbayaran pemerintah, apa lagi orang itu guru yang mengajar anaknya di sekolah. (En, 2010:84-85) Relasi hubungan kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan digambarkan pengarang melalui tokoh utama dalam cerita ini adalah perempuan. Marni sebagai tokoh utama mempunyai pemikiran ingin setara dengan kaum lakilaki. Dia bekerja sebagai kuli angkat barang. Tidak ada buruh perempuan yang berkerja sebagai kuli angkat barang. Mengangkat barang dianggap sebagai pekerjaan berat yang membutuhkan tenaga besar. Perempuan mengerjakan pekerjaan yang halus dan enteng-enteng saja, seperti mengupas singkong, menumbuk padi, dan menumbuk kopi. Padahal, jika di rumah mereka harus mengangkat air yang beratnya sama dengan segoni singkong. Tidak ada kaum laki-laki yang mau mengerjakan mengangkar air, kata mereka itu urusan perempuan. Dari pemikiran inilah timbul ide Marni untuk bekerja sebagai kuli angkat barang. Peristiwa Marni menjadi kuli angkat barang, diilustrasikan oleh pengarang sebagai berikut, Mbah Noto tidak mencemooh keinginanku untuk ikut nguli. Aneh juga, bukankah orang seperti Mbah Noto yang biasanya ngotot mempertahankan pakem, mengingatkan mana yang ilok dan tidak ilok. Mbah Noto hanya mengingatkanku tidak terlalu ngoyo dan tahu diri. katanya sudah dari sononya tenaga perempuan itu kecil dan tidak bisa bekerja berat. (En, 2010:37)
Universitas Sumatera Utara
Dalam kehidupan ekonomi rumah tangga, peran Marni lebih menonjol dibanding dengan Teja. Teja yang seharusnya menjadi kepala keluarga tidak bisa mencari pekerjaan selain harus membawakan barang dagangan istrinya. Meskipun demikian, Marni tidak pernah menjelek-jelekkan suaminya, walaupun semua urusan keuangan dibawah kendali Marni, yang dapat dilihat seperti pada kutipan berikut: Malam itu Bapak dan Ibu bertengkar lagi. Bapak berubah menjadi begitu bringas. Ibu melawan dengan segala kegalakannya. Aku tahu, ibulah yang mengeluarkan keringat paling banyak atas apa yang didapatknnya selama ini. Bapak hanya membantu, mengantar ke pasar setiap hari, menemani Ibu menagih hutang dari satu rumah ke rumah lain. Bapak tak ada bedanya seperti kuli-kuli dai pasar yang hanya menunggu orang yang butuh diangkatkan barang. Kalau tidak, dia akan diam saja, meskipun tidak makan seharian. Ibu tidak ke pasar, Bapak juga tidak ke pasar. Ibu tidak mendapat uang, kami semua tak akan makan. (En, 2010:74) Marni
juga mempekerjakan buruh laki-laki untuk menebang tebu di
kebunnya. Menebang tebu hanya menjadi pekerjaan buruh lak-laki. Buruh perempuan pekerjaannya menantam padi dan kacang. Ada kebanggaan tersendiri di dalam hatinya karena dia bisa mempekerjakan laki-laki di kebunnya. Marni menjadi juragan tebu. Kedudukannya sudah setara dengan Pak Lurah yang juga memiliki kebun tebu yang luas. Pekerja-pekerja itu duduk mengeliliku sambil menuang teh dari cerek ke gelas. Aku berdiri di tengah mereka yang semuanya laki-laki. Dan aku sekarang akan mengupahi mereka. simbok, lihatlah anakmu ini sekarang. Kita dulu kerja memeras keringat seharian, diupahi telo, bukan uang, hanya karena kita perempuan. Lihatlah sekarang, anakmu yang perempuan ini, berdiri tegak di sini mengupahi para laki-laki. Setiap orang mendapat upah tujuh ratus dari uang yang kumiliki sendiri. (En, 2010:102103)
Universitas Sumatera Utara
4.2.1.3 Struktur Ruang dan Waktu Novel Entrok 4.2.1.3.1 Struktur Ruang Novel Entrok Penggunaan ruang dan waktu cerita dalam novel Entrok terjadi dalam dua masa, yaitu masa kini dan masa lalu. Masa kini dan masa lalu dapat diidentifikasi dari dua pola, yakni penanda ruang dan penanda waktu. Penanda ruang dan penanda waktu terlihat dari pencantuman nama tempat dan tahun untuk menandai tindakan dan kejadian. Setiap bagian dalam cerita ini menampilkan nama tempat dan nama tahun kejadian. Bagian pertama, menceritakan kejadian tahun 1995 hingga bulan Januari 1999 di Singget. Bagian kedua menceritakan peristiwa dan tindakan di singget pada tahun 1950 sampai dengan 1970. Bagian ketiga menceritakan tentang keadaan tahun 1970 sampai tahun 1982. Bagian keempat menceritakan kejadian tahun 1982 dan 1983. Bagian kelima menceritakan peristiwa pada tahun 1984 dan tahun 1985 di Jogjakarta. Bagian keenam menceritakan tentang peristiwa pada tahun 1985 hingga tahun 1989. Bagian ketujuh menceritakan kejadian pada tahun 1987 di Magelang. Bagian kedelapan menceritakan kejadian tahun 1990 sampai tahun 1994. Tokoh Marni dan Simbok juga melambangkan masa lalu. Cara pandang dan cara berpikir mereka masih kuno. Marni dan simbok percaya kepada para leluhur. Mereka yang menurunkan rezeki dan mengatur kehidupan manusia. Untuk itu, mereka harus memberi sesajen dan nasi tumpeng setahun sekali saat Marni berulang tahun. Di samping itu, mereka juga melalukan ritual setiap tengah malam untuk memanjatkan doa.
Universitas Sumatera Utara
Sebaliknya, tokoh Tinah dan Rahayu melambangkan kekinian. Tinah sudah memakai Entrok disaat yang lain justru belum mengenalnya. Sedangkan Rahayu, dari kecil Rahayu sudah mengaji dan mendengar ceramah dari ustad. Dia seorang yang percaya atas kekuasaan Tuhan. Tuhan yang mengatur kehidupan manusia. Setelah dewasa, dia sadar tentang yang dilakukan ibunya menyalahi ajaran agama. Perbedaan ini menimbulkan masalah di antara mereka. Akhirnya, Marni pergi meninggalkan rumah. Penanda ruang masa lalu dapat dilihat dari bentuk rumah orang tua Marni yang masih berdinding tepas, berlantai tanah dan tidak ada kamarnya. Bepergian masih berjalan kaki karena belum ada kenderaan. Untuk membawa barang masih menggunakan tenggok (bakul yang terbuat dari bambu). Marni masih menganut kepercayaan kepada leluhur. Tanda tangan masih menggunakan cap jempol. Makanan pokok sehari-hari terbuat dari singkong. Simbok masih menggunakan kain dan belum menggunakan baju. Simbok juga tidak tahu menahu tentang BH, seperti yang terdapat pada petikan novel berikut: Di rumah, Simbok biasa mengumbar dadanya. Dia hanya memakai kain yang dililitkan di perutnya, bagian atas perut dibiarkan terbuka. Baru ketika keluar rumah, Simbok mengangkat kainnya hingga ke dada, menjadi kemben. Pakaianku saat itu tak berbeda dengan Simbok. Hanya saja, ketika keluar rumah aku tutup lagi dengan baju lengan panjang yang bahannya membuat gerah. Aku punya dua baju seperti itu. Baju itu didapat Simbok dari juragan di Pasar Ngranget sebagai upah mengupas kulit singkong selama enam hari. Simbok, yang tak pernah memakai baju seumur hidupnya, tak mau memakaianya. Ia berikan itu padaku. Bikin gerah, katanya. ... “Mbok aku mau punya entrok.” “Entrok itu apa , Nduk?” “Itu lho, Mbok. Kain buat nutup susuku, biar kenceng seperti punya Tinah.”
Universitas Sumatera Utara
Simbok malah tertawa ngakak. Lama tak keluar jawaban yang aku tunggu. Hingga akhirnya dia akhiri tawanya dengan mata memerah. “Oalah, Nduk, seumur-uur tidak pernah aku punya entrok. Bentuknya kayak apa aku juga tidak tahu. Tidak pakai entrok juga tidak apa-apa. Susuku tetap bisa diperas to. Sudah, nggak usah neko-neko. Kita bisa makan saja syukur,” kata Simbok. (En, 2010:16-17) Penanda ruang masa kini dapat dilihat dari pemakaian benda-benda seperti sepeda, motor, mobil Pikap, TV, jalan sudah diaspal, bangunan rumah Sumarni sudah terbuat dari batu bata yang sudah memiliki kamar tidur dan ruang tamu, dan sudah masuk listrik. “...memasuki tahun 1980, rumah kami sudah dua kali lipat lebar sebelumnya. Awal tahun ini, orang-orang Singget sedang luar biasa gembira. Tiang-tiang besi berdiri di pinggir jalan desa. Kabel-kabel terbentang. Sudah ada listrik di Singget. Rumah-rumah yang hanya sebelumnya diterangi lampu teplok, sekarang terang benderang dengan lampu warna putih atau kuning” (En, 2010:89-90). Struktur ruang cerita tidak dideskripsikan secara terperinci sehingga keadaan kota maupun desa tidak dapat diidentifikasi secara konkret. Penceritaan lebih berpusat pada pada kondisi rumah, pasar, dan jalan. Sebaliknya, struktur waktu ditampilkan dengan konkret sehingga diperoleh informasi akurat bahwa kejadian dalam novel dimulai tahun 1950 hingga tahun 1999. Dengan demikian, struktur ruang dan waktu novel Entrok berpusat di Desa Singget sejak tahun 1950 dari masa kecil Marni bersama ibunya hingga bersama anaknya Rahayu dalam rentang waktu lebih kurang selama 49 tahun. Peristiwa kehidupan dalam novel Entrok menggunakan ruang terbuka dan tertutup sebagai tempat berinteraksi antar tokoh. Di halaman rumah Marni, pasar, halaman Balai Desa, lapangan, jalan, pinggir sungai Kali Manggis, padepokan,
Universitas Sumatera Utara
kuburan, hingga di kebun tebu. Penggunaan ruang tertutup lebih banyak berperan sebagai daerah kekuasaan masing-masing antara laki-laki dan perempuan seperti pawon atau dapur, rumah, kelenteng, toko, penjara, ruang tamu, dan kamar.
4.2.1.3.2 Struktur Waktu Novel Entrok Di samping penggunaan penanda tahun, novel ini juga menggunakan penanda waktu, seperti pagi, siang, sore, dan malam. Secara keseluruhan, penanda waktu pagi mendominasi struktur waktu cerita. Penanda waktu yang lain juga digunakan tetapi waktu penggunaan tidak terus-menerus, bergantung pada keperluan, misalnya waktu malam untuk menonton TV, tidur, berbincang, dan memanjatkan doa kepada Ibu Bapak Bumi Kuasa. Penanda waktu pagi dalam struktur waktu cerita digunakan oleh tokoh cerita untuk memulai pekerjaan pada struktur ruang dan waktu masa lalu dan masa kini. Penanda waktu pagi dalam struktur ruang dan waktu masa lalu digunakan oleh Marni dan ibunya. Waktu pagi dimulai untuk bekerja yang dapat diidentifikasi dalam kutipan berikut ini. Hari masih gelap saat aku dan Simbok keluar rumah. Tanah dan rumput teki yang kami injak basah oleh embun. Ayam berkokok sahutmenyahut, langit di sebelah timur agak memerah. Aku dan Simbok bukan satu-satunya orang yang menyusuri jalanan pagi ini. Di sepan kami, di belakang, juga di samping, perempuanperempuan memegang tenggok menuju Pasar Ngranget. Kami semua seperti kerbau yang dihela di pagi buta, menuju sumber kehidupan. (En, 2010:22) Penanda waktu malam yang banyak digunakan untuk menonton TV, tidur, berbincang, dan berdoa, tetapi juga pernah dipergunakan untuk bertengkar. “Malam itu Bapak dan Ibu bertengkar lagi” (En, 2010:74).
Universitas Sumatera Utara
Penggunaan penanda waktu tidak hanya didominasi oleh penanda waktu kekinian. Pengarang juga memberikan penanda waktu masa lalu. Hal ini dapat diidentifikasi dari pernyataan, “Simbok hanya berkata aku lahir waktu zaman perang. Saat semua orang menggunakan baju goni dan ramai-ramai berburu tikus sawahuntuk digoreng. Aku semua tidak pernah melihat itu semua”(En, 2010:15). Deskripsi ruang cerita novel Entrok melibatkan desa Singget, Pasar Ngranget, Glodok, Magelang, dan Yogyakarta yang dihubungkan dengan daerahdaerah terdekat dalam struktur waktu masa kini dan masa lalu, baik dengan penanda tahun maupun penanda waktu. Desa Singget adalah tempat Marni dan Rahayu dibesarkan. Oleh sebab itu, penceritaan berpusat di Singget. Pasar Ngranget adalah tempat Marni dan Simbok bekerja. Pabrik gula tempat Marni menjual hasil panen tebu terdapat di daerah Glodok. Di sanalah diselenggarakan pesta Temu Temanten Tebu. Yogya adalah tempat Rahayu kuliah. Magelang adalah tempat Rahayu setelah menikah. Pengalihan struktur waktu cerita, dari masa kini ke masa lalu terlihat dari penceritaan kembali ke masa lalu pada bagia kedua yang berangka tahun 1950. Padahal, cerita diawali pengarang dengan menggambarkan kehidupan Marni dan Rahayu yang harus berjuang keras untuk menemukan hidupnya kembali pada tahun 1999. Cerita Entrok merupakan pembayangan kembali oleh Rahayu tentang kehidupan ibunya di masa lalu.
Universitas Sumatera Utara
4.2.1.4 Struktur Transmisi Narasi Struktur transmisi novel Entrok dibangun oleh sudut pandang orang pertama “aku”. Sudut pandang orang pertama digunakan oleh dua narator, yakni Marni dan Rahayu. Dari kedua narator ini, Marni bertindak sebagai narator utama yang menerima pesanan dari narator kedua. Pada bagian pertama dan kelima, pengarang memunculkan orang pertama kata ganti “aku”, sebagai pengganti Rahayu, sedangkan pada bagian yang lain kata ganti “aku” merujuk kepada Marni. Kedua
“aku”
tersebut
sama-sama
memandang,
mengalami,
mendeskripsikan, dan menceritakan hal dan kejadian yang sama, namun terdapat perbedaan antara keduanya. Adanya perbedaan itu sebagai akibat dari tuntutan objektivitas sudut pandang penceritaan yang mempunyai kelebihan dan keterbatasan. Marni dapat menceritakan secara rinci dan teliti tentang perasaan hatinya, namun terhadap Rahayu, dia hanya dapat menceritakan sebatas yang diindranya. Demikian pula dengan Rahayu, mereka mempunyai keterbatasan segala hal yang di luar dirinya. Penggunaan sudut pandang orang pertama
menempatkan pengarang
sebagai pemilik pesan yang disampaikan melalui narator kepada pembaca. Pengarang ikut terlibat dalam cerita. Melalui tokoh “aku” pengarang mengisahkan arus kesadaran dirinya sendiri. Mengisahkan peristiwa dan tindakan serta sikapnya terhadap orang (tokoh) lain kepada pembaca.
Universitas Sumatera Utara
4.2.2 Realitas Fiksi Novel 86 4.2.2.1 Struktur Plot Novel Novel 86 diceritakan dalam sepuluh bagian. Setiap bagian menampilkan tindakan dan kejadian yang berkaitan satu sama lain. Tindakan dan kejadian dalam novel ini berkaitan dengan praktik suap, baik dalam lingkungan kantor pengadilan, di penjara, maupun di kantor tahanan KPK. Di dalam penjara, bukan hanya kasus suap yang ditemukan tetapi juga pelihal seksualitas yang menyimpang dan jaringan narkoba yang dikendalikan dari dalam penjara. Alur dalam novel ini dominan menggunakan alur maju. Alur mundur hanya digunakan untuk menceritakan keadaan masa lalu lewat pembayangan ataupun lamunan yang dilakukan oleh tokoh utama.
4.2.2.1.1 Tahap Pengenalan Novel ini dibuka oleh pengarang dengan menampilkan rutinitas yang dilakukan oleh tokoh utama dalam cerita ini yaitu Arimbi. Arimbi bekerja sebagai juru ketik di kantor pengadilan di Jakarta. Dia hidup hanya dari hasil gajinya saja yang diterimanya setiap bulan. Dengan gaji yang pas-pasan, dia hanya bisa mengontrak sebuah kamar kos yang terletak di daerah kumuh. Tempat Arimbi tinggal digambarkan sebagai berikut: Setiap pukul setengah tujuh pagi, gang kecil tanpa nama ini menjadi seperti pasar. Orang-orang bersedakan, berjalan cepat-cepat, berbut mencari celah agar bisa lebih ke depan. Sesekali terdengar teriakan meminta yang berjalan lambat mempercepat langkah. Bau minyak wangi murahan bercampur dengan bau got. Di tiga atau empat rumah petak, pada jam seperti ini, selalu ada ibu-ibu yang sedang mencatur anak mereka di depan pintu, berak beralas koran, lalu dibuang ke dalam got.
Universitas Sumatera Utara
Di gang kecil ini setiap jam setengah tujuh pagi hidup Arimbi di mulai. Berjalan di antara orang-orang yang sama tanpa mengenal nama. Dimulai dari langkah pertamanya keluar dari rumah kontrakan, lalu 250 langkah menuju jalan raya, menunggu bus kecil yang pada beberapa bagian sudah berkarat. (86, 2011:9-10) Arimbi alumni sebuah kampus swasta di Solo. Dulu ketika dia kuliah, dia juga menyewa sebuah kamar kos yang murah. Orangtuanya hanya mempunyai sepetak kebun jeruk yang dipanen setahun sekali. Nasib Arimbi beruntung bisa menjadi PNS tanpa memakai uang sogok. Sudah empat tahun Arimbi bekerja di sana. Sebagai juru ketik, dia hanya mengerjakan pekerjaan apa yang diperintahkan oleh atasannya. Tugas Arimbi adalah mengetik putusan perkara yang dibuat oleh hakim dan sesekali menghadiri acara persidangan. Arimbi bekerja atas perintah Bu Danti. Tugas Arimbi tidaklah sulit, dia hanya mengetik berkas yang ditandai dengan kata “segera” oleh Bu Danti. Dia bekerja sesuai dengan urutan yang sudah diatur oleh Bu Danti.
4.2.2.1.1 Tahap Keadaan Mulai Berkonflik Tahap pemunculan konflik dilukiskan pengarang dengan kehadiran seseorang yang mengantarkan AC ke kamar kos Arimbi. Hari sabtu dan minggu Arimbi tidak masuk kantor. Bu Danti mengatakan itu hadiah dari seseorang karena Arimbi sudah menolongnya mengetikkan putusan hakim. Arimbi bingung, namun dia senang menerimanya. Arimbi pulang ke kampungnya di Ponorogo hanya sekali dalam setahun, ketika Idul Fitri. Dia akan pulang malam lebaran karena tidak dapat tiket, padahal dia sudah memesan sebulan yang lalu. Itu pun dengan harga yang tinggi, Arimbi
Universitas Sumatera Utara
bertemu dengan Hari, teman sekantornya yang juga akan pulang kampung ke Kediri. Di hari berikutnya, Arimbi berjalan-jalan menyusuri kampungnya. Dia berhenti di pinggir sungai dan bertemu dengan Narno, temannya waktu SMP. Mereka bercerita banyak. Sebelumnya Narno bekerja di Surabaya, setelah di PHK, dia kembali ke kampungnya dan sekarang bekerja mengolah sawah pak Lurah. Mereka membicarakan Widodo, teman mereka waktu SD, dia sudah jadi pamong desa setelah membayar empat puluh juta. Seperti yang terlihat pada kutipan berikut: “Masih ingat Widodo, to?” tanya Narno. Arimbi mengangguk. Dia masih mengingatnya. Widodo teman SD mereka juga. Sekolah STM, sama seperti Narno. Bapaknya punya sawah sendiri, seperti bapak Arimbi. Selepas STM tak mau cari kerja, hanya keluyuran di kampung dengan motor yang dibeli dari panenan bapaknya. “Jadi pamong dia sekarang. Bayar 40 juta,” jelas Narno. “Hah...?” Arimbi tak percaya. “Jadi pamong bayar 40 juta?” Narno mengangguk “Bayar ke siapa?” “Ya ke desa. Buat kas.” “Aturan siapa?” Arimbi masih tak percaya. “Ya aturaran desa.” (86,2011:60) Arimbi masih tidak percaya dengan yang didengarnya dari Narno. Tetapi perkataan Narno semakin nyata, ketika Pak Lurah datang ke rumahnya. Pak Lurah ingin supaya anaknya yang sarjana hukum bisa bekerja di kantornya Arimbi. Pak Lurah minta tolong agar Arimbi mencarikan orang yang bisa mengurus anaknya jadi pegawai negeri. Dia sudah menyiapkan uang seratus juta. Arimbi menabung uang yang didapatnya dari pengacara yang memesan putusan perkara kepadanya. Arimbi sudah punya banyak uang, Arimbi pindah dari kamar kontrakan ke kos-kosan model apartemen. Di tempat kosnya yang baru,
Universitas Sumatera Utara
Arimbi harus mengeluarkan biaya tujuh ratus lima puluh ribu sebulan, Arimbi memakai uang tabungan dari hasil pemberian itu. Sekarang Arimbi tidak perlu memikirkan bagaimana untuk memenuhi kebutuhannya sebulan dengan uang gaji yang diterimanya. Di tempat kosnya yang baru, Arimbi bertemu Ananta. Semula, Arimbi hanya bersikap tidak acuh kepada Ananta. Namun, karena Ananta orangnya luwes dan enak diajak berbicara, akhinya hubungan mereka menjadi lebih dekat. Arimbi yang selama ini tidak pernah berpacaran, merasa tersanjung dengan kehadiran Ananta. Ananda bekerja sebagai petugas survei di perusahaan pemberi kredit motor. Ananta banyak berceirita tentang tingkah nasabah yang sering main kucing-kucingan dengannya. Arimbi juga menceritakan tentang “permainan” di kantornya. Ananta tidak terkejut, bahkan dia mendukung Arimbi. Dikatakannya bahwa bapaknya dulu juga sering melakukan hal sama. Dengan demikian, Ananta memandang kemakelaran bapaknya itu sebagai sesuatu yang baik dan sudah bersifat umum. Semua orang sudah maklum. Jadi, tidak perlu dirisaukan lagi. Arimbi dan Ananta merasa yakin bahwa mereka pasangan yang cocok. Mereka akan melangsungkan perkawinan. Mereka akan menikah di kampung Arimbi. Permainan 86 juga terjadi di saat pernikahan Arimbi. Ananta lupa membuat surat menumpang nikah. Sesaat sebelum akad, Arimbi didatangi petugas KUA dan pamong desa. Pamong desa itu adalah Widodo, teman SD Arimbi. Widodo meminta Arimbi menunjukkan surat menumpang nikah Ananta. Ternyata surat tersebut tidak ada. Namun, si pamong memberi jalan keluar bahwa dengan
Universitas Sumatera Utara
menambah biaya satu kali lipat, surat menumpang nikah sudah bisa dihadirkan. Arimbi membayar dan urusan pun beres. Pernikahan bisa dilangsungkan. Seperti yang terlihat pada kutipan berikut: “Ini sebenarnya bisa dibuat gampang,” Widodo membuka mulut. “Sesama tetangga ya saya bisa bantu. Tapi ada tambahan biayanya. Biar nanti kami yang mengurusnya ke Kecamatan dan Kantor Urusan Agama.” Arimbi sumbringah. Ah, dimana-mana sama saja. Delapan enam, pikirnya dalam hati. Dia sudah paham dengan urusan seperti ini. Yang penting sudah tidak ada masalah lagi. “Jadi saya mesti menambah berapa ini?” “Tiga ratus ribu saja, Mbak. Pokoknya tinggal terima beres. Suratnya bisa jadi nanti malam pas iab,” kata Widodo. Arimbi mengangguk. Dalam hatinya ia mengumpat. Kata bapaknya, orang-orang biasanya hanya 150.000 untuk dapat surat nikah. Sudah termasuk untuk bayaran buat penghulu dan ongkos ngetik surat. Sekarang dia mesti bayar dua kali lipat. Tak apalah, yang penting bers, pikirnya. Toh nanti, di kota, dia bakal segera mendapat gantinya. (86, 2011:133) Setelah menikah, Arimbi dan Ananta tinggal di kamar Arimbi. Bu Danti sebagai panitera pengadilan, menyuruh Arimbi menemui penghubung dan pengacara terdakwa di sebuah restoran. Arimbi segera datang ke restoran tersebut, lalu dia berbicara dengan pengacara dan penghubung, yaitu Sasmita dan Rudi. Sasmita menyerahkan sebuah koper yang berisi uang dua milyar kepada Arimbi. Ternyata, mereka hendak menyogok tiga hakim untuk memenangkan perkara kliennya. Bu Danti menghubungkan dengan tiga orang hakim pemutus perkara. Masing-masing hakim meminta lima ratus juta. Sisanya komisi untuk Bu Danti. Setelah sampai di rumah Bu Danti, Arimbi langsung menyerahkan koper itu kepada Bu Danti. Dia membuka koper itu dan menghitung uangnya. Kemudian dia memberikan komisi Arimbi. Tiba-tiba, pintu diketuk, petugas KPK masuk ke rumah Bu Danti. Bu Danti gelagapan dan menyuruh pembantu menyembunyikan
Universitas Sumatera Utara
koper di kamarnya. Petugas KPK menggeledah seluruh ruangan rumah. Kamar pembantu juga digeledah dan ditemukan uang sogokan milyaran itu. Bu Danti sudah lama menjadi incaran KPK, tetapi baru kali ini mereka bisa menangkap tangan perbuatan Bu Danti. Sial bagi Arimbi, dia terjerat dalam masalah ini. Arimbi mengaku sebagai bawahan Bu Danti, dia ikut digeledah dan petugas menemukan sejumlah uang di dalam tasnya. Arimbi dan Bu Danti diseret ke tahanan.
4.2.2.1.3 Konflik Mulai Meningkat Konflik mulai meningkat saat Arimbi dan Bu Danti ditahan di sel polisi. Di sel ini mereka tidak banyak bicara. Keesokan harinya Bu Danti pindah ke ruang tahanan yang ber-AC. Arimbi meminta kepada Bu Danti agar dia juga ikut pindah. Bu Danti dengan tegas mengatakan, jika ingin pindah kamar harus punya uang. Bu Danti mengatakan delapan enam. Arimbi harus bersesak-sesak dengan sejumlah tahanan lain karena tidak punya uang. Seorang pengacara yang kenal baik dengan Arimbi mengajukan diri selaku pembela Arimbi dengan cuma-cuma. Adrian nama pengacara itu. Motifnya, ingin tenar karena membela tersangka koruptor. Adrian berharap akan banyak koruptorkoruptor berduit lain yang tertarik menggunakan jasanya sebagai pembela mereka nanti. Pengacara Bu Danti mengajak kerjasama dengan Adrian. Mereka akan memberikan uang lima ratus juta kepada Adrian agar Arimbi mau mengubah kesaksiannya. Adrian menyampaikan tawaran itu kepada Arimbi. Demi uang,
Universitas Sumatera Utara
Arimbi rela untuk meniadakan keterlibatan Bu Danti dalam kasus tersebut. Arimbi menekan kemarahannya dan menerima tawaran Bu Danti. Hari-hari berikutnya Arimbi harus menghadapi sidang sendirian. Dia didampingi oleh seorang pengacara dari bantuan negara. Hakim tipikor yang menangani kasus Bu Danti dan Arimbi tidak bisa disogok, berbeda dengan hakim yang ada di tempat kerja Arimbi. Akhirnya, Bu Danti divonis tujuh tahun, Arimbi empat setengah tahun.”...Arimbi merasakan sesak di dadanya. Selama itu ia akan hidup dalam tahanan. Tapi diam-diam ada rasa puas yang tipis bermain-main dalam benaknya. Hakim itu tak bisa dibeli. Perempuan itu dihukum lebih berat darinya” (86, 2011: 170). Arimbi dan Bu Danti dibawa ke penjara perempuan di Jakarta Timur. Arimbi berkenalan dengan Tutik di penjara. Tutik adalah kepala kamar yang ditempati Arimbi. Walaupun di dalam penjara, tetapi Tutik masih bisa mengirim uang untuk anak dan orang tuanya di kampung. Semua dikumpulkan di penjara. Jatah dari sesama tahanan yang mendapat besukan, setoran dari tahanan yang punya banyak uang, juga berbagai pekerjaan yang dilakukan di penjara. Tutik juga bekerja sebagai pembantu Bu Danti untuk membersihkan kamar, menyetrika dan mencuci. Dia mendapat upah lima ratus ribu setiap bulan dari Bu Danti. Bu Danti tinggal di ruangan atas. Tempat tidurnya besar dan empuk. Di kamarnya ada TV berwarna ukuran besar. Di ruangan itu juga ada dapur dengan kompor gas dan oven listrik. Kulkasnya dua pintu yang selalu penuh dengan makanan. Ruangan itu selalu dingin karena ada AC-nya. Kamr mandi ada di
Universitas Sumatera Utara
dalam ruangan itu. Kamar mandi itu baru dibuat begitu Bu Danti menempati ruangan itu. Kamar mandinya kecil tapi bagus dan serba otomatis.
4.2.2.1.4 TahapKonflik memuncak Cerita ini sampai pada klimaksnya, ketika suatu hari, Arimbi mendengar kabar bahwa ibunya masuk rumah sakit dan harus dioperasi karena penyakit ginjal. Ayahnya sudah menjual kebun jeruknya untuk biaya operasi, tetapi setiap seminggu sekali ibunya harus cuci darah. Setiap cuci darah memerlukan uang satu juta. Mereka membutuhkan uang empat juta setiap bulannya. Tutik melihat Arimbi sedih memikirkan hal itu. Lalu Tutik menghibur Arimbi dengan melakukan sesuatu terhadap tubuh Arimbi. Tutik berjanji akan meminjamkan uang kepada Arimbi. Arimbi tidak dapat menolak permintaan Tutik, selain dia kasihan kepada Tutik, sebenarnya dia juga butuh hiburan. Setelah kejadian ini, Arimbi dan Tutik kerap saling memuaskan diri tatkala tahanan lain sudah lelap tertidur.
4.2.2.1.5 Tahap Pemecahan Masalah Tahap pemecahan masalah dalam cerita ini dihadirkan pengarang melalui tokoh Tutik yang memperkenalkan Arimbi kepada Cik Aling. Cik Aling adalah wanita tahanan lama yang
memproduksi sabu-sabu di dalam penjara. Ia
membayar sipir-sipir agar bahan-bahan tersebut bisa masuk. Dari penjara ini Cik Aling meracik dan mengedarkannya ke luar penjara. Cik Aling punya orang-orang yang bisa menjualnya. Tutik memanfaatkan Arimbi agar mau menerima tawaran
Universitas Sumatera Utara
Cik Aling. Imbalan yang didapat cukup untuk membayar pengobatan ibunya setiap bulan. Lalu Arimbi menawarkan pekerjaan ini kepada Ananta suaminya. Ananta hanya mengantarkan pesanan saja ke hotel-hotel yang dirujuk oleh Cik Aling. Arimbi menyampaikan tawaran Cik Aling kepada Ananta untuk mencari pelanggan. Perlu waktu lama bagi Ananta untuk menawarkan barang tersebut. Sampai suatu hari dia berkenalan dengan seorang pelajar STM yang bernama Dodi. Dari dodi, perjalanan ini dimulai sampai akhirnya Ananta mempunyai tujuh orang pelanggan yaitu teman sekolah Dodi. Dari pesanan ini, Ananta mendapat tambahan penghasilan sekitar lima juta enam ratus ribu tiap bulan. Seorang sipir memanggil Arimbi pada Agustus 2007. Dia menjanjikan kepada Arimbi untuk bebas dini dengan persayaratan Arimbi harus membayar lima belas juta. Peristiwa ini didukung oleh percakapan antara Arimbi dengan seorang sipir sebagai berikut: “jadi saya mesti bagaimana?” Arimbi mulai tak sabar. “Biaya semuanya bersih 15 juta.” “Gede banget, Bu! Mana ada tahanan yang sanggup bayar uang segitu? Paling Cuma orang-orang elite itu saja yang bisa.” “Ya, kitakan sudah pilih-pilih. Nggak semua orang bisa dapat jatah. Ini kamu dapat jatah kok masih protes.” Bukan protes, Bu.tapi kalau sebesaritu kok ya rasanya terlalu berat.” “Kitakan sudah hitung semuanya. Kamu masih punya gaji, masih punya suami. Masih sama-sama muda. Duit segitu buat bebas cepat ya nggak ada apa-apanya. Ya terserah, kalau nggak mau. Tunggu saja dua tahun lagi.” (86, 2011:217) Hari kebebasan itu tiba.
Tepat di bulan Desember. Surat kebebasan
Arimbi telah diserahkan kepala penjara. Namun, dia wajib melapor seminggu sekali, hingga dua tahun ke depan. Ia bersalaman dan berpelukan dengan semua
Universitas Sumatera Utara
orang yang dikenal. Tetapi tidak dengan Bu Danti. Saat berpapasan di lapangan, mereka tidak mau saling berpandangan. Arimbi melahirkan bayinya setelah tiga hari kepulangan Ananta. Perempuan dengan kulit merah dan rambut tebal. Arimbi menangis tersedu-sedu saat perawat meletakkan bayi itu di dadanya. Dia lupa pada sakit yang dilaluinya hampir tiga jam. Hanya ada rasa haru, bahagia dan tidak percaya. Dielusnya bayi itu, ditelusurinya setiap sudut tubuhnya. Setelah kelahiran anaknya, Arimbi mulai takut dengan penjara. Dia tidak mau lagi menjenguk Tutik. Tidak ada lagi rasa rindu. Arimbi ingin mendidik anaknya dengan baik. dia menyuruh Ananta berhenti untuk menjual sabu-sabu. Dengan modal yang sudah mereka kumpulkan, Arimbi membuka toko kecilkecilan di depan rumahnya. Arimbi menerima uang lima belas juta dari Ananta sebagai uang muka, nanti sisanya akan diberikan Cik Aling saat Ananta pulang. Arimbi selau gelisah saat Ananta pergi. Dalam segala kekhawatirannya tiba-tiba suara telpon berbunyi. Arimbi segera mengangkat telepon itu. Ternyata itu suara Tutik. Tutik sudah lama menunggu kesempatan ini tiba. Di saat Ananta keluar kota. Namun, Arimbi tidak mau menuruti kemauan Tutik untuk datang ke penjara. Dia mengatakan anaknya masih kecil, tidak bisa ditinggal karena tidak ada yang menjaga. Uang dari Cik Aling mereka pergunakan untuk membeli sebuah mobil kijang model lama yang bisa digunakan untuk mengangkat
belanja bahan
keperluan toko. Sisanya mereka belikan barang belanjaan, sehingga isi toko itu penuh. Arimbi tidak lagi menuntut supaya Ananta berhenti menjual sabu-sabu
Universitas Sumatera Utara
karena semuanya sudah berjalan dengan baik. sampai suatu hari Arimbi melihat gambar suaminya di televisi sedang digiring polisi. Suara di televisi menyebutnya sebagai pengedar. Arimbi merasakan seperti pukulan keras di kepalanya. Lalu dadanya terasa sesak. Dia tidak bisa menangis. Semua ruang terasa gelap. Suara anaknya menyadarkannya, yang dapat dilihat dari kutipan berikut: ...Sesak. Sakit. Tapi tak tahu itu apa. Arimbi tak mengeluarkan air mata. Ia juga tak tahu hendak melakukan apa. Semua yang ada di sekelilingnya hanya seperti ruang hampa yang tak memiliki makna. Dia seperti tersesat di tempat gelap. Dia menyerah. Tak mau bersusah-susah mencari celah. Suara jeritan menyadarkannya. Anaknya terbangun. Tangisan anaknya semakin keras. Arimbi tersadar. Ia bergegas ke kamar, mengangkat anaknya dari tempat tidur. Ditimang-timangnya anak itu. Tapi tangisnya malah semakin keras. Air mata Arimbi meleleh. “Kita ke sana ya, Nak. Ketemu ayah ya, Nak. Kita tetap sayang ayah ya, Nak...” (86, 2011:252)
4.2.2.1.6 Tahap Penyelesaian Tahap penyelesaian alur dalam novel ini diserahkan pengarang kepada pembaca. Novel ditutup hanya dengan menampilkan tokoh Arimbi dengan anaknya yang akan pergi ke penjara untuk menemui suaminya. Pembaca bisa memprediksi bahwa uang Arimbi akan habis untuk menyogok kasus Ananta suapaya hukumannya bisa ringan. Akan terjadi lagi peristiwa di dalam penjara seperti yang dialami oleh Arimbi. Seperti lingkaran setan yang tidak berkesudahan.
Universitas Sumatera Utara
4.2.2.2 Struktur Fisik, Ras, dan Relasi Gender Novel 86 4.2.2.2.1 Struktur Fisik Struktur fisik dalam novel 86 dapat dilihat melalui tokoh utama dan tokoh pendukung dalam cerita ini. Tokoh utama dalam cerita ini adalah Arimbi. Sedangkan tokoh pendukung dilihat melalui penggambaran fisik Bu Danti, Anisa, Wahendra, Ananta, Adrian,Tutik, Narno, Widodo, dan orang tua Arimbi. Arimbi berinteraksi dengan tokoh pendukung, sehingga cerita ini terjalin dengan baik. Arimbi adalah tokoh utama dalam cerita ini. Dia bekerja di kantor pengadilan di Jakarta. Badannya sintal dan mukanya putih. Cara berpikirnya sederhana. Hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup. Ketika atasannya Bu Danti memberi sebuah AC, pikirannya terbuka. Dari sini Arimbi memulai permainan delapan enamnya. Permainan di kantor tempat dia bekerja menjadikan dirinya yang semula lugu berubah menjadi sistem dalam permainan itu. Ananta, suaminya juga mendukung hal tersebut. Ini menjadikan Arini semakin berani. Kebutuhan hidup yang meningkat membuat Arimbi menjadi lebih nekad. Dia masuk penjara karena kasus suap. Dia merasa dijebak oleh Bu Danti. Di penjara, dia menjadi lesbian. Bu Danti adalah atasan Arimbi, Anisa, dan Wahendra. Dia ketua panitera di dalam beberapa kasus. Dia bisa membantu menyelesaikan perkara dengan menyogok hakim dan jaksa. Dia seorang makelar kasus. Dia Dia seorang yang segar dan cantik. Tubuhnya
berusia 45 tahun.
gemuk, tetapi penampilannya
menarik dan modis. Sepatu dan tas selalu disesuaikan dengan warna seragam yang dipakainya. Mukanya putih mengkilap dengan tata rias yang lengkap. Rambutnya
Universitas Sumatera Utara
sebahu dan disasak dibagian samping dan atas. Dai selalu memakai giwang, kalung, dan cincin yang berhiaskan intan dan mutiara. Ada juga yang polos tanpa hiasan apa pun seperti dapat dilihat pada kutipan berikut: Diusianya yang sudah 45 tahun, Bu Danti selalu segar dan cantik. Badannya subur dengan lemak yang menggelembung di perut dan lengan. Dia selalu terlihat modis meski menggunakan seragam. Sepatu dan tasnya selalu berganti setiap dua hari sekali, menyesuaikan dengan warna seragam yang dipakainya. Mukanya putih mengilap dengan tata rias yang lengkap. Pemulas mata, perona pipi, lipstik hingga pulasan maskara dan pembuat bingkai mata, semuanya terpoles sempurna. Rambutnya yang sebahu disasak sebagian, tepat di bagian samping dan atas. Tak pernah ia lupa memakai kalung, giwang, dan cincin. Ada yagn berhias intan, ada yang mutiara, ada juga yang emas kuning polos tanpa hiasan apa pun. (86, 2011:26)
Anisa adalah teman sekantor Arimbi yang sama-sama bawahan Bu Danti. Umurnya lebig tua tiga tahun dari Arimbi, tetapi dia tampak seumuran dengan Arimbi. dia berasal dari timur Inodnesia. Anisa adalah teman akrab Arimbi. Anisa sudah bersuami dan mempunyai seorang anak yang berumur tiga tahun. Suaminya juga pegawai negeri yang bekerja di Sekretariat Negara.
Dalam
“bermain” di pengadilan Anisa lebih pintar dari Arimbi. Ananta seorang yang luwes dalam bergaul. Gaya bicaranya lucu, sehingga menyenangkan untuk diajak berbicara. Dia juga seorang yang romantis. Ananta bekerja sebagai tukang survei kredit sepeda motor. Penghasilannya yang paspasan. Dia adalah suami Arimbi. Ananta sangat sayang kepada Arimbi. Dia tidak pernah selingkuh, meskipun Arimbi di penjara. setelah Arimbi di penjara, dia bekerja untuk Cik Aling sebagai tukang antar sabu-sabu ke pelanggan Cik Aling. Di samping itu, dia juga pengedar sabu-sabu.
Universitas Sumatera Utara
Tutik adalah kepala kamar penjara yang ditempati oleh Arimbi. Dia berasal dari Wonogiri. Umurnya lebih tua tiga tahun dari Arimbi. Badannya besar dan tinggi. Tenaganya juga kuat, dia diisukan masuk penjara karena menghajar orang. Padahal, dia tidak galak dan tidak pernah menghajar orang, tetapi cukup dihormati oleh semua penghuni penjara. Pembawaan Tutik Yang ramah, mudah membuka pembicaraan dengan orang lain. Dia selalu ramah dan baik pada Arimbi. Sifat buruknya adalah dia punya kecendrungan lesbian. Dia masuk penjara karena dituduh menyakiti majikannya. Seperti kutipan berikut: Tutik adalah kepala kamar yang ditempati Arimbi. Setiap kamar memang ada kepalanya. Biasanya orang yang paling ditakuti, yang punya badan paling besar atau yang sudah tinggal paling lama di penjara ini. Biasanya mereka galak, suka memerintah, dan gampang menghajar orang. Badan Tutik memang besar, tetapi dia tak galak dan tak pernah menghajar. Tutiklah yang banyak membantu dan memberi tahu Arimbi sejak pertama kali datang ke sel itu. Tutik sudah tiga tahun di penjara. Asalnya dari Wonogiri, lebih tua tiga tahun dari Arimbi. Karena merasa berasal dari daerah yang berdekatan, sejak awal dia selalu ramah dan baik pada Arimbi. Sesekali mereka berdua berbicara dalam bahasa Jawa.... (86, 2011:175)
4.2.2.2.2 Struktur Ras Struktur ras dalam novel ini mengacu kepada kehidupan masyarakat Jawa yang terkontaminasi oleh kehidupan di Jakarta. Arimbi yang mewakili masarakat Jawa terjebak dalam permainan kehidupan ibu kota. Arimbi gadis desa yang lugu berubah menjadi seorang makelar pengetikan putusan hakim, masuk penjara karena kasus suap, dan menjadi seorang biseksual. Jakarta sebagai ibu kota negara, sudah barang tentu menampilkan ras yang multi kulturalisme. Bu Danti beragama Nasrani, Arimbi beragama Islam. Anisa beragama Islam dan berasal
Universitas Sumatera Utara
dari Makassar. Ada juga yang keturunan Cina, seperti Cik Aling dan beberapa orang yang berkasus di kantor pengadilan tempat Arimbi bekerja.
4.2.2.2.3 Relasi Gender Terdapat beberapa relasi gender dalam novel ini, yaitu relasi gender antara atasan dengan bawahan, suami dengan istri, orang tua dengan anak, hubungan dagang, pertentangan kelas sosial, hubungan seksual di luar pernikahan, hubungan seksual menyimpang, dan kesetaraan gender. Berikut akan dijelaskan satu persatu. Relasi gender antara atasan dengan bawahan dapat dilihat melalui hubungan Bu Danti dengan Arimbi dan Bu Danti dengan Tutik, Kedua relasi ini terikat melalui hubungan kerja. Bu Danti dan Arimbi sama-sama bekerja di Kantor Pengadilan. Bu Danti lebih tinggi kedudukannya dari Arimbi. Bu Danti sebagai ketua panitera dalam menangani beberapa kasus, sedangkan Arimbi sebagai juru ketik putusan hakim. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut: Arimbi mulai membongkar tumpukan kertas di mejanya. Itu semua baha-bahan yang harus diketik ulang, di rapikan, dan di-fotocopy. Arimbi membaca kertas-kerta itu sekilas. Memilih mana yang lebih dahulu dikerjakan. Dia melirik jam, sudah jam setengah dua belas. Jam satu nanti akan ada sidang yang akan diikutinya. Sambil menguap, Arimbi mengambil satu berkas yang sudah ditandai dengan kata “segera” oleh Bu Danti. (86, 2010:27) Relasi gender suami dengan istri dapat diidentifikasi melalui hubungan Arimbi dengan Ananta. Mereka pasangan suami istri yang saling mencintai. Ananta seorang yang setia kepada istrinya. walaupun Arimbi di penjara, Ananta setiap minggu pergi mengunjungi istrinya. Ananta juga tidak pernah selingkuh. Kebahagian mereka semakin lengkap setelah Arimbi hamil dan melahirkan
Universitas Sumatera Utara
seorang bayi perempuan yang mungil. Kemesraan suami istri ini dapat dilihat pada kutipan berikut: Mereka bercinta berkali-kali dalam sehari. Tengah malam sebelum tidur, pagi-pagi sebelum Ananta berangkat kerja, dan sore hari setelah Ananta tiba di rumah. Pada hari tertentu mereka makan siang bersama. Ananta sengaja pulang, lalu makan di kamar. Setelah makan mereka kembali bercinta. Lalu Ananta kembali berangkat kalau sudah pukul 01.00, dengan baju yang punggungnya sedikit kusut. (86, 2011:223) Relasi gender orang tua dengan anak terjadi di dalam keluarga Ananta dan Arimbi. Ananta dan Arimbi adalah anak yang berbakti kepada orang tua dan tahu membalas budi. Walaupun penghasilan mereka kecil, namun mereka tetap mengirim uang kepada orang tua mereka setiap bulan. Ketika ibunya sakit ginjal dan harus cuci darah setiap minggu, Arimbi menanggung semua biaya tersebut. Relasi gender hubungan dagang dapat dilihat melalui hubungan antara Cik Aling dengan Tutik dan Cik Aling dengan Ananta. Cik Aling adalah produsen yang meracik sabu-sabu di dalam penjara.tutik mengedarkan sabu-sabu di dalam penjara yang diproduksi Cik Aling. Salah satu pelanggan Tutik adalah Bu Danti. Relasi gender pertentangan kelas sosial dapat dilihat dari fenomena yang terjadi di dalam kereta api, saat Arimbi dan Ananta pulang kampung. Masyarakat kelas bawah pada umumnya bekerja sebagai pedangang asongan, pengemis, pengamen, preman, buruh, bahkan ada yang pengangguran karena di PHK. Sedangkan masyarakat kelas menengah ke atas diwakili oleh Arimbi, Ananta, Bu Danti, pengacara, dan Hakim yang disebut sebagai orang kantoran. Pertentangan kelas sosial dapat dilihat dari pemikiran orang tua Arimbi yang dapat dilihat dari kutipan berikut:
Universitas Sumatera Utara
Orang tua Arimbi berpikir inilah awal dari terwujudnya sebuah harapan dan doa-doa mereka selama puluhan tahun. Inilah awal dari tingkat derajat yang lebih tinggi bagi keluarga petani yang tidak pernah tahu satu huruf pun. Arimbi menjadi awal perubahan itu. Keturnan keluarga ini tidak akan lagi mengurusi tanah, bekerja dengan baju penuh kotoran setiap hari. Melalui Arimbi, keluarganya akan memasuki golongan baru. Golongan orang-orang terpelajar yang terhormat. Orang-rang yang bekerja dengan pakaian bersih, bertangan halus tanpa otot-otot yang menonjol, berkulit bersih karena terus berada di dalam ruangan. Arimbi menjadi orang kantoran. Bukan lagi wong tani seperti orang tuanya. (86, 2011:19) Relasi gender hubungan seksual di luar pernikahan dapat dilihat melalui hubungan Tutik dengan majikannya dan Ananta dengan Arimbi sebelum menikah. Tutik melakukan hubungan ini atas dasar suka sama suka dan saling membutuhkan. Di awal majikannya sedikit memaksa, namun karena Tutik seorang janda, birahinya terpancing. Berbeda dengan Arimbi dan Ananta. Mereka melakukan atas dasar cinta karena terbukti setelah itu mereka melangsungkan pernikahan. Mereka melakukannya berulang kali. Arimbi tidak bisa menahan gejolak yang ada di dalam dirinya, saat Ananta menghampirinya. Seperti yang terlihat pada kutipan berikut: Arimbi merasakan tangan Ananta bersusah payah meraih dadanya. Memaksa masuk ke balik kerah kaus oblongnya yang sempit. Ananta tak sabar lagi. Dia menarik kaus itu ke atas, dan Arimbi begitu saja mengangkat kedua tangannya. Kaus itu melewati kepala Arimbi, lalu dilempar begitu saja. Tiba-tiba Arimbi malu (86, 2011:89). Relasi gender hubungan seksual menyimpang terbagi dua, yaitu sesama jenis dan dengan lawan jenis. Relasi gender hubungan seksual menyimpang sesama jenis terjadi antara Tutik dan Arimbi. Mereka disebut lesbian karena
Universitas Sumatera Utara
sama-sama perempuan. Mereka melakukan atas dasar saling membutuhkan. Selama dalam masa tahanan, Arimbi dan Tutik kerap kali melakukan hal tersebut. Relasi gender hubungan seksual menyimpang dengan lawan jenis terjadi antara Ananta dan Arimbi. Hal ini terjadi karena keterpaksaan. Saat Arimbi di penjara, Ananta sering menjenguk Arimbi. Mereka saling meremas satu sama lain di ruang besuk, seperti kutipan berikut: ...Awalnya, ketika hasrat itu begitu menggebu dan tak ada cara lain untuk bertemu, mereka hanya ciuman di ruang besuk yang penuh orang. Orang-orang itu tak ada yang peduli. Masing-masing sibuk dengan pembesuknya. Arimbi dan Ananta semakin bergairah. Mereka saling memainkan tanga, meraba dan meremas (86, 2011:186). Relasi yang menuntut kesetaraan gender dapat dilihat dari pemeran tokoh utama dalam cerita ini. Arimbi dan tokoh-tokoh pendamping perempuan lainnya mendominasi cerita. Tokoh laki-laki hanya dijadikan pelengkap saja. Ananta diciptakan untuk melengkapi kehidupan Arimbi. nasibnya tergantung kepada Arimbi. di beberapa peristiwa peran Arimbi lebih menonjol dari Ananta. Ananta selalu menuruti keinginan Arimbi. seolah-olah Ananta tidak memiliki keinginan sendiri.
4.2.2.3 Struktur Ruang dan Waktu Novel 86 Novel 86 dibangun oleh struktur ruang dan waktu masa kini dan masa lalu. Penanda ruang masa kini lebih mendominasi dalam novel ini. Setiap bagian dalam cerita ini menampilkan ruang dan waktu kejadian. Ruang gerak cerita tergantung kepada perjalanan kehidupan tokoh utama yaitu Arimbi. Cerita bergerak maju berdasarkan urutan waktu yang dimulai dari situasi tempat Arimbi bekerja,
Universitas Sumatera Utara
menikah, polemik pekerjaan yang menyebabkan Arimbi masuk penjara, dan kehidupan rumah tangga Arimbi setelah keluar dari penjara.
4.2.2.3.1 Struktur Ruang Penanda ruang masa lalu dapat dilihat dari bentuk rumah orang tua Ananta yang diwariskan oleh kakeknya. Tempat Armbi menyewa kamar ketika dia masih kuliah. Gang tempat Arimbi tinggal terkenal sebagai gang tua. Gang itu dihuni oleh para janda-janda tua yang tidak mempunyai anak. Usia rumah di gang itu lebih tua dari usia orang yang menempatinya. “...Bangunannya lusuh dan kusam. Cat-catnya sudah pudar dan tak pernah diperbaharui lagi. Kayu pintu-pintunya mulai koyak. Gang ini lebih menyerupai gudang, tempat menyimpan barangbarang loak yang mulai sayang untuk dibuang. Sama sekali tidak menyisakan denyut kehidupan dan tanda-tanda kekinian” (86, 2011:17). Penanda ruang masa kini dapat dilihat dari pemakaian benda-benda seperti minyak wangi, deodorant, handphone, AC, kulkas, oven, TV berwarna, banguna rumah Bu Danti yang megah dengan barang-barang mewah di dalamnya, restoran, motor, bus, dan mobil. Makanan seperti ayam penyet, nasi padang, dan KFC. Pakaian seperti jas, dasi, tata rias wajah dan rambut. Kemacetan dan demonstrasi di Jakarta juga menandai masa kekinian, seperti yang terlihat pada kutipan berikut: Bus kembali berjalan pelan-pelan menuju arah selatan, lalu terjebak dalam barisan kenderaan yang sedikit pun tak bisa bergerak. Di depan sana, ada kerumunan orang membawa spanduk dan poster dengan bermacam-macam tulisan. Ada juga gambar raksasa orang berseragam jaksa. Salah satu matanya ditutup dengan spidol warna hitam. Jaksa dalam
Universitas Sumatera Utara
gambar itu menjadi bajak laut. Di bawah gambar, tulisan “Jaksa Agung” dicoret, diganti dengan “Bajak Agung”. Arimbi meratap dalam hati. Lengkaplah sudah hari ini menjadi hari buruk baginya. Kopaja ini tak akan bergerak sampai demonstrasi selesai. Dan dia akan tetap bersedak-desakan terpanggang matahari yang sedang garang-garangnya. Minyak wangi dan deodoran tidak akan bisa lagi mengalahkan bau apek dan lengket badan sisa keringat yang keluar selama di dalam kopaja. (86, 2011:24-25) Ruang cerita novel 86 mengambil tempat di kota Jarkarta dan Jawa Tengah. Di Jakarta meliputi Jakarta Selatan, Jakarta Timur, Tebet, dan Depok. Di Jawa Tengah tengah meliputi Solo, Klaten dan Ponorogo. Jakarta Selatan adalah tempat Arimbi dan Bu Danti bekerja di Kantor Pengadilan. Jakarta Timur adalah tempat Arimbi dan Bu Danti ditahan. Setelah hakim memutuskan perkara Arimbi dan Bu Danti, lalu mereka di bawah ke penjara khusus wanita di Jakarta Timur. Rumah Bu Danti ada di Tebet, sekaligus tempat Arimbi dan Bu Danti ditangkap KPK karena kasus suap. Setelah keluar dari penjara, Arimbi membali rumah yang tempatnya di Perumahan Citayam yang terletak di pinggiran kota Depok. Solo adalah tempat Arimbi menamatkan kuliahnya. Dia kuliah di salah satu perguruan tinggi swasta di Solo. Klaten adalah tempat orang tua Ananta tinggal. Sebelum Arimbi menikah dengan Ananta, mereka mengunjungi rumah tersebut. Ponorogo adalah tempat Arimbi dibesarkan sebelum dia melanjutkan pendidikannya di Solo dan bekerja di Jakarta. Sebelum menikah, Arimbi setiap tahun pulang ke kampungnya saat lebaran tiba. Arimbi juga menikah di kota ini. Peristiwa kehidupan dalam novel 86 menggunakan ruang terbuka dan tertutup sebagai tempat berinteraksi antartokoh. Ruang terbuka di jalan raya, gang, teras rumah, taman, lapangan Monas, sawah, dan pinggir sungai. Penggunaan ruang tertutup lebih banyak berperan sebagai daerah kekuasaan masing-masing
Universitas Sumatera Utara
antara laki-laki dan perempuan seperti kantor, ruang sidang, ruang kerja, kamar tidur, kamar mandi, rumah, sel penjara, ruang besuk, ruang VIP restoran, kantin, ruang tahanan Bu Danti, bengkel, bus, kereta api, stasiun, Beberapa penanda ruang untuk berinteraksi antartokoh dalam novel ini dideskripsikan secara jelas oleh pengarang seperti jalan yang macet akibat demonstrasi, lingkungan Arimbi menyewa kamar, gerbong kereta api, dan penjara. Berikut adalah salah satu cuplikan yang mendeskripsikan ruang tersebut: Pintu yang mereka sandari terbuka. Orang-orang berebut masuk kereta. Ada yang tua ada yang masih anak-anak, laki-laki dan perempuan. Satu-dua orang memang seperti penumpang. Berbaju rapi dan membawa tas besar. Sisanya adalah pedagang dan peminta-minta. Mereka berebutan berjalan di lorong, menawarkan nasi bungkus yang sudah dingin, minuman, rokok, dan kacang goreng. Sebagian lainnya menyodorkan tangan ke setiap penumpang. Berdiam lama kalau tak diberi, hingga akhirnya orang yang dimintai merasa tak enak dan terpaksa memberi. Ada yang sebisanya memainkan ecek-ecek atau menyanyikan lagu meski tak terdengar suaranya. Tak beranjak ke kursi lain kalau belum mendapat recehan. (86, 2011:118)
4.2.2.3.2 Struktur Waktu Novel ini juga menggunakan penanda waktu hari, bulan dan tahun. Hari Sabtu dan Minggu adalah hari libur bekerja bagi Arimbi. Hari itu dipergunakan Arimbi untuk bersantai di kamar kosnya. “... Hari Sabtu dan Minggu semunya menjadi sedikit berbeda. Saat semuanya begitu cair dan bebas, tanpa ada sekatsekat waktu yang menjadi mesin penggerak atas semua yang dilakukannya. Dua hari itu, jam setengah tujuh pagi tidak lagi menjadi awal kehidupan Arimbi.” (86, 2011: 11)
Universitas Sumatera Utara
Senin pertama Juli adalah hari buruk bagi Arimbi. Listrik padam, air di bak mandi kosong. Arimbi pergi ke kantor tidak mandi. Di jalan dia terjebak macet sampai dua jam. “...Semuanya cukup lengkap untuk menyebut hari ini sebagai hari buruk bagi Arimbi. Hari Senin yang dibenci semua orang, hari Senin yang biasanya penuh pekerjaan, dan hari Senin yang selalu penuh kemacetan di setiap ruas jalan” (86,2011: 21). Penanda tahun dapat dilihat di awal cerita yang menggunakan angka tahun 2004. Pada saat itu Arimbi sudah bekerja empat tahun. Rutinitas Arimbi dimulai sejak dia bekerja empat tahun yang lalu. Tanggal 10 Juli 2004 terjadi sebuah kasus pemukulan sumi terhadap istrinya. istrinya menolak berhubungan badan karena sedang sakit. Lalu suaminya menampar istrinya. Arimbi mengikuti kasus persidangan ini di bulan Februari. Pengarang tidak mencantumkan tahun persidangan itu dugelar. Namun, bisa diprediksi bahwa sidang itu diadakan tahun 2005. Di samping penggunaan penanda hari dan bulan, novel ini juga menggunakan penanda waktu, seperti pagi, siang, sore, dan malam. Secara keseluruhan, penanda waktu pagi dan malam mendominasi struktur waktu cerita. Penanda waktu yang lain juga digunakan tetapi waktu penggunaan tidak terusmenerus, bergantung pada keperluan. Penanda waktu pagi dan malam dipergunakan secara bersamaan untuk mengawali dan menutup aktivitas Arimbi setiap hari kerja ketika dia masih bekerja di Kantor Pengadilan. Waktu malam dihabiskan Arimbi du rumah kontrakannya dengan menonton TV dan istirahat. Dia tidak pernah keluar rumah.
Universitas Sumatera Utara
Waktu malam juga dipergunakan untuk berjalan-jalan, bercengkrama, makan, dan menghabiskan malam bersama, setelah Arimbi mengenal Ananta. Hal ini dapat dilihat dari aktivitas yang dilakukan Arimbi setiap hari sebagai berikut: Di gang kecil ini setiap jam setengah tujuh pagi hidup Arimbi dimulai. Berjalan diantara orang-orang yang sama tanpa mengenal nama. Dimulai dari langkah pertamanya keluar dari rumah kontrakan, lalu 250 langkah menuju jalan raya, menunggu bus kecil yang pada beberapa bagiannya mulai berkarat. Di gang kecil ini juga, saat hari mulai gelap, hidup Arimbi berakhir. Ia berada di antara orang-orang yang muncukl di pinggir jalan raya. Melangkah cepat-cepat, berebut mencari celah, mengulang kembali yang terjadi pada pagi hari. Bau minyak wangi murahan telah berganti dengan bau kecut dan penyuk. Muka-muka yang tadi pagi berbedak dan berlipstik merah menjadi penuh minyak. (86, 2011:10) Penanda waktu siang dapat dilihat dari aktivitas Arimbi untuk makan siang dan menghadiri jadwal persidangan jika ada. Jam dua belas Arimbi meninggalkan pekerjaannya dan menuju ke kantin untuk makan siang. Jam satu siang Arimbi memasuki ruang sidang. “... Jam menunjukkan angka satu lewat lima menit saat tiga orang hakim muncul dari pintu di belakang Arimbi. Ruang sidang yang tadinya penuh dengungan kini senyap” (86: 33). Penanda waktu sore dipergunakan pengarang untuk mengakhiri pekerjaan Arimbi di kantor setelah Arimbi mengenal Ananta. Jam tiga sore, pikiran Arimbi sudah meloncat-loncat melewati pagar pengadilan. Dia sudah tidak konsentrasi lagi mengerjakan pekerjaan kantornya.
“...Arimbi mulai mengemas barang-
barangnya mulai jam empat. Diam-diam dia segera meninggalkan mejanya, menyusul Anisa yang selalu pulang lebih dahulu darinya. Ananta sudah menunggu di depan pagar. Mereka tiba di rumah saat hari masih terang. Di kamar Arimbi mereka menonton TV berdua” (86: 90).
Universitas Sumatera Utara
4.2.2.4 Struktur Transmisi Narasi Struktur transmisi narasi merupakan sesuatu yang berhubungan dengan teknik yang dpergunakan pengarang untuk menemukan dan menyampaikan makna karya artistiknya kepada pembaca. Dengan teknik ini, pembaca dapat menerima dan menghayati gagasan pengarang. Struktur transmisi narasi secara garis besar dapat dibedakan ke dalam dua macam, yaitu persona pertama dengan gaya “aku” dan persona ketiga dengan gaya “dia” dengan berbaghai variasinya. Novel 86 dibangun oleh struktur transmisi narasi orang ketiga. Pengarang memilih Arimbi, untuk melukiskan panasnya permainan kasus suap yang tidak hanya di tempat dia bekerja yaitu di kantor pengadilan tetapi di berbagai tempat di sekitar kehidupan Arimbi. Pengarang memilih tokoh yang lugu, khususnya Arimbi yang berasal dari kampung yang masih polos. Dia menrima komisi karena untuk memenuhi kebutuhan hidupnya setiap bulan. Gaji PNS tidak mencukupi. Pelukisan dari sudut pandang orang yang buta politik, justru memberikan efek yang lain, walaupun pelukisannya sederhana seperti yang ada di dalam pemikiran Arimbi. Pengarang menggunakan struktur transmisi narasi orang ketiga “dia” sebagai pengamat. Pengarang menumpahkan perhatian hanya pada tokoh Arimbi tentang yang dilihat, di dengar, dirasakan, dan dialami Arimbi. Arimbi merupakan fokus dan pusat kesadaran cerita. Tokoh cerita yang lainnya seperti Bu Danti, Ananta, dan Tutik, tidak diberi kesempatan untuk menunjukkan sosok dirinya seperti halnya tokoh Arimbi. Berbagai peristiwa dan tindakan yang diceritakan
Universitas Sumatera Utara
disajikan lewat pandangan Arimbi yang sekaligus berfungsi sebagai filter bagi pembaca. Struktur transmisi narasi yang dipilih oleh Okky
dalam novel ini,
menyebabkan pengarang menjadi objektif. Narator bahkan hanya menceritakan segala sesuatu yang dapat dilihat dan didengar atau yang hanya dapat dijangkau oleh indra saja. Narator seolah-olah berlaku sebagai kamera yang berfungsi untuk merekam dan mengabadikan suatu objek yang dalam cerita ini diwakili oleh kehidupan Arimbi. Narator telah memaparkan seluruh yang dilihatnya melalui kehidupan Arimbi, namun untuk sampai kepada hal-hal yang kadar ketelitiannya harus diperhitungkan, diserahkan pengarang kepada pembaca. Narator tidak memberikan komentar yang bersifat subjektif terhadap persitiwa dan tindakan Arimbi dan tokoh-tokoh lainnya. Narator hanya berlaku sebagai pengamat, melaporkan sesuatu yang dialami atau dijalani oleh Arimbi yang menjadi fokus atau pusat arus kesadaran cerita. Narator sama kedudukannya dengan pembaca, dia berada di luar cerita.
4.2.3 Realita Fiksi Novel Maryam 4.2.3.1 Struktur Plot Novel Maryam Alur yang digunakan pada novel Maryam ini adalah alur campuran. Percampuran antara alur maju dan alur mundur. Awalnya adalah kisah Maryam menuju kampung halamannya dengan keinginan kelauarganya mau menerima kehadirannya kembali. Kemudian, kembali ke masa lalu ( alur mundur ) sebelum ia meninggalkan rumah, suami, dan keluarganya. Lalu alur berganti maju saat
Universitas Sumatera Utara
narator menceritakan kehidupan Maryam setelah kembali di tengah keluarganya dan menjalani hidup yang tidak mudah. Penuh dengan liku-liku dan perjuangan yang keras untuk mempertahankan akidahnya.
4.2.3.1.1 Tahap Pengenalan Cerita dimulai dengan memunculkan masalah yang dihadapi oleh Maryam. Maryam ingin pulang ke kampung halamannya, setelah lima tahun dia tidak pernah menginjakkan kakinya di kampung itu lagi. Keinginan ini tiba-tiba saja muncul dibenaknya. Setelah bercerai dengan Alam, Maryam tidak tahu harus pergi kemana, kecuali pulang ke kampungnya dan meminta maaf kepada kebua orang tuanya. Dia berharap orang tuanya mau menerimanya kembali, setelah menyakiti hati mereka karena menikah dengan orang yang tidak sefaham dengan ajaran mereka. “Januari 2005 Apa yang diharapkan orang yang terbuang pada sebuah
kepulangan?
Ucapan
maaf,
ungkapan
kerinduan,
atau
tangis
kebahagiaan?...Sudah lewat lima tahun sejak terakhir kali ia menginjakkan kaki di pulau ini” (My, 2012:13). Ingatan-ingatan masa lalu muncul dalam benak Maryam, mulai dari saat ia bersekolah SMA dan akhirnya melanjutkan pendidikan ke Universitas Airlangga, Surabaya. Pertemuannya dengan Gamal dan perceraiannya dengan Alam. Semua itu tersaji dalam ingatan Maryam dengan utuh. Maryam yang terlahir sebagai seorang Ahmadi, sejak remaja telah memelihara ketakutan. Dia tdak mau mengalami kejadian seperti teman-temannya yang harus menanggung malu dan
Universitas Sumatera Utara
kesedihan karena menikah dengan orang yang berbeda keyakinan. Hal ini dapat diidentifikasi dari kutipan berikut: Orang Ahmadi lainnya, Rifki menanggung malu saat lamaran. Ia datang bersama keluarga besar, memenuhi janji pinangan yang telah dirancang berbulan-bulan. Tapi di tengah acara, ayah sang gadis berkata lantang, ia tak mau anak perempuannya menikah dengan orang sesat. Anaknya menangis histeris, sambil berusaha menyuruh ayahnya diam. Ibunya terisak. Rifki tersinggung. Betapapun besarnya cinta pada kekasih, Rifki tak terima keluarganya dipermalukan seperti itu. Pertengkaran hebat terjadi. Keduanya saling ngotot, tak mau mengalah. Rifki hilang kesabaran. Ditonjoknya muka calon mertua. (My, 2012: 20) Itulah sebabnya Maryam tidak berani pacaran. Sampai lulus SMA tahun 1993, dia berangkat ke Surabaya. Dia diterima di Universitas Airlangga, Fakultas Ekonomi jurusan Akutansi. Maryam tinggal di rumah Pak dan Bu Zul. Mereka penganut Ahmadi juga. Pak Zul adalah teman ayah Maryam sampai SMP. Pak Zul merantau ke Surabaya dan bersekolah di sana.
4.2.3.1.2 Tahap Keadaan Mulai Berkonflik Tahap pemunculan konflik digambarkan pengarang dengan menggunakan alur mundur. Konflik muncul, saat Maryam kuliah dan tinggal jauh dari orang tuanya. Ia tinggal di Surabaya bersama Pak Zul dan Bu Zul. Perkenalan dengan pemuda Ahmadi bernama Gamal membuat Maryam gembira, tetapi hal itu tidak berlangsung lama. Sikap Gamal mulai berubah sejak Gamal pulang dari penelitian di Banten untuk menyelesaikan skripsinya. Gamal yang selama ini sangat patuh kepada orangtuanya, mulai berdebat. Gamal menuduh orangtuanya sesat. Gamal tentu juga meninggalkan Maryam. ...Baru kemudian, ketika Alam datang, Maryam kembali merasakan apa yang dirasakannya saat mulai dekat dengan Gamal.
Universitas Sumatera Utara
Maryam juga sengaja membanding-bandingkan keduanya. Wajah mereka yang hampir mirip, sifat dan perilaku yang serupa dan nama mereka yang tak jauh berbeda: Gamal dan Alam. Maryam jatuh cinta. Satu-satnya yang dia pikirkan adalah jangan sampai yang baru didapatnya itu terlepas. Ia tak mau lagi mengulang masa-masa kehampaan yang melelahkan ketika kehilangan Gamal. Dengan Alam, dia tak mau berpikir apa-apa lagi, selain ingin berdua selamanya. (My, 2012: 25) Alam memberanikan diri menceritakan tentang latar belakang Maryam. Ibunya berteriak histeris, saat Alam mengatakan Marya seorang Ahmadi. Ibunya kecewa dan marah. Kedua orang tuanya menyuruh untuk meninggalkan Maryam. Setiap tidakan Alam selalu diperhatikan ibunya. Dia mau memastikan Alam sudah berpisah dengan Maryam. Alam kembali memujuk ibunya. Dia mengatakan bahwa Maryam tidak seperti penganut Ahmadi lainnya. Maryam selalu sholat bersamanya dan tidak menolak sholat di mesjid mana pun. Dia juga tidak pernah mengikuti pengajian-pengajian Ahmadi. Maryam hanya kebetulan saja terlahir dari keluarga Ahmadi. Alam mengatakan Maryam juga bersedia meninggalkan keyakinannya, jika mereka sudah menikah nanti. Alam mengiba. Memohon pengertian dan kasihan dari bunya. Ia berjanji akan membawa Maryam ke jalan yang benar. “Bukankah justru itu kemuliaan seorang laki-laki?” Pertanyaan Alam membuat ibunyapenuh keharuan. Perempuan itu luluh. Ia percaya pada anak kesayangannya. Lagi pula dua minggu ini ia melihat sendiri bagaimana Alam yang dirundung kerisauan. Tak sampai hati dia membiaarkan Alam seperti itu berkepanjangan. Ia yakin, Alam akan membawa Maryam ke jalan yang seharusnya. Tapi dia mengajukan syarat. Ia ingin bertemu Maryam dan bicara dengannya lebih dulu. Alam mengiyakan. (My, 2012: 39)
4.2.3.1.3 Tahap Konflik Mulai Meningkat Konflik mulai meningkat ketika Maryam akhirnya menikah dengan Alam melalui seorang wali nikah. Pernikahan itu tidak direstui orang tua Maryam,
Universitas Sumatera Utara
karena Maryam memutuskan untuk keluar dari ajaran Ahmadi dan mengikuti keyakinan Alam. Maryam meninggalkan semua keluarga dan saudaranya. Dia tidak pernah pulang ke Lombok. Dia tidak pernah menelepon dan mengirim surat. Orang tuanya pun demikian juga. Mereka menganggap anak perempuannya telah hilang. Mereka kecewa dan menyayangkan keputusan Maryam. Pernikahan itu akhirnya kandas. Belum genap lima tahun menikah, mereka tidak dikaruniai anak. Maryam tidak tahan atas perlakuan mertuanya kepadanya. Maryam juga kecewa terhadap suaminya. Dia menganggap suaminya tidak tulus mencintainya. Maryam memilih bercerai dan dia kembali menyusuri kampung halamannya, menemui orang tuanya. Dia mengetuk pintu rumah tersebut. Pak Jamil, orang yang dulu bekerja pada ayahnya keluar menemui Maryam.
Pak Jamil bercerita, hingga ia
mengetahui kejadian buruk yang menimpa keluarganya saat ia meninggalkan mereka. orangtuanya diusir karena dianggap mereka sebagai orang-orang sesat. Ayahnya memilih pergi meninggalkan desa, daripada mereka dibakar hiduphidup. Rasa bersalah menggelayuti hati Maryam. Ia lalu mencari keberadaan orang tuanya. Melalui ketua organisasi mereka, Zulkhair, Maryam mengetahui bahwa ayahnya tinggal di Gegarung. Zulakhir menceritakan bagaimana orang tua Maryam terusir dari kampungnya dan orang-orang Ahmadi lainnya yang berada di luar kampung Gerupuk. Maryam menangis saat bertemu dengan ibunya. Ibunya juga terharu melihat Maryam. Mereka berdua menangis sambil berpelukan. Adiknya, Fatimah juga meneteskan air mata. Mereka sekeluarga larut dalam duka nestapa. Lalu
Universitas Sumatera Utara
Maryam menceritakan semua yang menimpa dirinya. Orang tua Maryam tidak marah kepadanya, bahkan mereka mererima Maryam kembali dengan tangan terbuka. Maryam sangat bersyukur, ternyata keluarganya menerimanya dengan baik.
4.2.3.1.4 Tahap Konflik Memuncak Tahap Klimaks digambarkan oleh pengarang dengan menghadirkan pernikahan Maryam dan Umar. Pak Khairuddin membuat persiapan untuk upacara pernikahan Maryam dan Umar. Meski yang diundang hanya sesama anggota Ahmadi yang sudah biasa bertemu setiap bulan, namun Pak Khairuddin tetap ingin memberikan yang terbaik. Ini adalah pernikahan pertama yang mereka gelar. Apalagi Bu Ali termasuk orang terpandang di sesama anggota Ahmadi. Pernikahan Maryam digelar pada sore hari. Seluruh penghuni keluarga Ahmadi di komplek itu, berkumpul di rumah Maryam. Beberapa orang membawa hantaran. Rombongan pihak laki-laki terlihat memasuki rumah Maryam. Rombongan Perempuan di dalam rumah, sedangkan laki-laki di luar. Sebelum akad nikah dilangsungkan, mereka mengadakan pengajian terlebih dahulu, baru dilanjutkan dengan ijab kabul. Umar memberikan alat sholat dan Al Quran sebagai mas kawin. Usai akad nikah Maryam meneteskan air mata, seperti yang terlihat pada kutipan berikut: Umar memberikan alat sholat dan Al Quran sebagai mas kawin. Saat suara “sah” diucapkan berkali-kali, air mata Maryam menetes. Bayangan pernikahannya dengan Alam kembali datang. Sangat jelas dan terasa nyata. Maryam bahkan merasa semuanya hanya pengulangan. Peristiwa yang sama. Hanya waktu dan tempatnya yang berbeda. Namun, saat pandangannya bertemu dengan bapak dan ibunya, Maryam tahu ini
Universitas Sumatera Utara
bukanlah pernikahan yang dahulu. ...Ia bergerak cepat untuk membuat bayangan itu segera pergi. Mengikuti petunjuk penghulu untuk beersalaman, minta restu pada orang tua mereka. saat itulah air matanya mengalir deras. Menyatu dengan air mata bapak dan ibunya. Lalu bertemu dengan air mata ibu Umar. (My, 2012: 163-164) Umar bersikap lembut pada Maryam. Hal ini membuat Maryam tersanjung. Untuk mencairkan hubungan di antara mereka, Umar mengajak Maryam ke Sumbawa untuk beberapa hari. Maryam tidak menolak, tetapi di tengah perjalanan tiba-tiba keinginannya untuk kembali ke Gerupuk muncul. Lalu dia mengutarakannya kepada Umar. Umar menyambut ajakan Maryam. Dia juga ingin berkeliling di pulau ini. Maryam mengajak Umar ke pantai. mereka menikmati pantai yang indah. Di situ, Maryam bertemu dengan Nuraini tetangganya di Gerupuk dan teman lamanya. Teman Maryam sejak sejak SD sampai SMA. Nur berjualan sarung khas Lombok menawarkan kepada para turis. Mereka bercerita penuh tawa sebagaimana layaknya dua teman yang sudah lama tidak berjumpa. Nur juga bercerita bahwa dia baru pulang dari Arab Saudi sebagai TKI. Selama di Arab, suaminya Wahid, menikah lagi dan sekarang mereka tinggal dalam satu rumah. Sampai akhirnya mereka bercerita tentang pengusiran keluarga Maryam sekitar empat tahun yang lalu. Nurani bersama dengan Maryam dan suaminya berangkat ke Gerupuk. Maryam langsung menuju ke rumah Nuraini. Maryam bertemu dengan ibu Nuraini dan istri Wahid yang kedua. Maryam disambut dengan hangat oleh ibu Nuraini. Namun, tiba-tiba datang Pak RT dan seorang ustaz ke rumah Nuraini dan mengusir Maryam untuk segera meninggalkan kampung tersebut. Mereka tidak
Universitas Sumatera Utara
mau ada orang yang beraliran sesat mengganggu di kampung mereka. Maryam mengatakan dia hanya ingin bersilaturrahmi, namun Pak RT dengan tegas menolak Maryam. Maryam akhirnya meninggalkan Gerupuk dengan perasaan kesal. Semula Maryam berniat pernikahan ini hanya untuk membahagiakan membahagiakan orang tua mereka. namun, pernikahan ini berubah menjadi pernikahan yang penuh cinta. Hingga Maryam mengandung buah cintanya dengan Umar. Maryam hamil satu bulan. Ibu Umar dan orang tua Maryam tidak henti-hentinya mengucapkan syukur dengan mata yang berbinar. Maryam menjalani pernikahan dengan Umar tanpa beban, tanpa harapan, tanpa kewajiban, tanpa ketakutan. Orang tua mereka telah berlepas tangan. Melihat Maryam dan Umar bisa hidup berdua dengan tenang sudah menjadi kebahagiaan. Untuk mengungkapkan rasa syukur atas kehamilan Maryam, orang tuanya bermaksud untuk mengelar pengajian empat bulanan kehamilan. Memasuki bulan Oktober, kehamilan Maryam berusia empat bulan. Ramadhan jatuh pada bulan ini. Orang tua Maryam memilih hari pada pertengahan Ramadhan untuk melaksanakan pengajiannya. Pengajian akan diakhiri dengan berbuka puasa bersama. Jam empat sore semua orang sudah duduk di tempat yang disediakan. Bapak Maryam membuka acara. Lalu dilanjutkan dengan pengajian dan ceramah oleh ustaz hingga tiba waktu berbuka puasa. Tiba-tiba rumah mereka diserbu oleh warga yang melempar batu dari kejauhan. Ada beberapa orang yang terkena. Dua puluh menit saling melawan, sampai kemudian pasukan polisi datang. Semua
Universitas Sumatera Utara
menahan diri, tidak ada lemparan batu dan adu fisik. Semua diam, hanya suara polisi dengan pengeras suaranya yang terdengar menyuruh semua pengikut Ahmadi mengungsi, seperti kutipan berikut: “Semuanya segera ikut kami ke tempat yang aman. Itu sudah kami sediakan angkutan,” kata komandan polisi itu ketika pintu sudah terbuka. Perempuan-perempuan itu diam. Tak ada memberi tanggapan. Semua menunggu suami-suami mereka mengambil keputusan. “Kami tidak akan pergi!” seseorang yang ada di halaman kembali berteriak. “Kenapa bukan mereka saja yang disuruh pergi?!” “Betul! Ini rumah kami. Kenapa kami yang harus pergi?!” sambung yang lainnya. Komandan polisi mulai kehilangan kesabaran. “Semua terserah kalian!” teriaknya. “Kalau memang mau mati semua di sini, silakan! Kam sudah menawarkan jalan keluar terbaik! Mengungsi dulu biar semuanya selamat!” (My, 2012: 226-227) Umar tidak langsung pulang menuju rumahnya. Mereka singgah ke rumah Pak Zulkhair, pemimpin organisasi mereka. ketika peristiwa semalam terjadi, Pak Zul tidak di tempat karena sakit. Di tengah pembicaraan, mobil polisi datang. Semua orang menjadi tegang. Dua polisi menuju ke arah mereka dan mengucapkan salam dengan ramah. Pak Zul mempersilakan duduk. Pak Zul mengatakan bahwa kaqntor dan mesjid mereka disegel. Tidak boleh digunakan lagi, agar tidak ada lagi kerusuhan. Umar dan Maryam terdiam. Nasib mereka di pengungsian sangat tragis. Ada empat puluh lima kepala keluarga yang mengungsi, lebih kurang dua ratus tiga puluh orang. Sebulan sekali ada petugas Dinas Sosial datang. Mereka membawa beras, mi instan, minyak goreng, dan minyak tanah. Mereka masak di dapur umum yang sempit dengan alat masak seadanya. Mandi bergantian di kamar mandi yang kumuh. Setiap keluarga menyekat ruangan tersebut dengan kain. Anak-anak untuk sementara tidak lagi
Universitas Sumatera Utara
bisa meneruskan sekolahnya. Sebagian mereka yang mempunyai saudara di luar kota mengirim anaknya bersekolah di sana. Anak Umar dan Maryam lahir dalam duka. Seorang bayi perempuan yang sehat dan sempurna. Mereka memberi nama Mandalika, seperti nama seorang putri cantik yang ada di dalam dongeng masyarakat Lombok. Syukuran kelahiran Mandalika diadakan di Gedung Transito. Maryam menyiapkan tumpeng dan aneka masakan. Hari-hari berikutnya, Maryam sering datang ke Gedung Transito bersama putrinya untuk mengunjungi keluarganya dan menghibur para pengungsi lainnya. Maryam mengusulkan untuk mencoba lagi mendatangi pak Gubernur. Melihat niat Maryam yang beersungguh-sungguh ingin memperjuangkan nasib pengungsi, Pak Zul kembali bersemangat. Zulkhair, Maryam, dan Umar datang menemui Pak Gubernur. Mereka disambut dengan baik dan dipersilahkan duduk. Gubernur banyak berbicara tentang Dinas Sosial, membantu orang-orang susah dan pembangunan yang dilakukan sejak dia memerintah. Maryam tidak sabar, ingin menanyakan tentang nasib pengungsi, kapan mereka boleh pulang ke rumah mereka. Pak Gubernur tidak bisa memberi jawaban pasti. Demi keamanan, dia menganjurkan untuk keluar dari Ahmadiyah dan kembali ke Gegarung, atau tetap di Transito sampai ditemukan jalan keluarnya. “Wajah ketiga tamu Gubernur itu merah mendengar kata-kata Gubernur. Mulut mereka terkunci. Tapi sorot mata mereka bicara banyak. Kemarahan dan sakit hati” (My, 2012: 249). Gedung Transito sekarang menjadi pusat kegiatan keagamaan mereka. menggantikan Mesjid Organisasi yang sampai kini tidak bisa digunakan. Usai
Universitas Sumatera Utara
sholat Jumat, Zulkhair memaparkan semua rencananya. Katanya ada tawaran dari London lewat pengurus organisasi di Jakarta. Mereka akan diberikan pinjaman untuk memulai usaha baru. Mereka tidak bisa hanya tinggal diam saja di sini. Mereka harus berusaha bangkit sendiri. Apalagi pasokan bantuan dari Dinas sosial semakin berkurang. Mereka menyambut baik rencana tersebut. Pak Khairuddin memilih akan berjualan kembali. Minggu pertama di bulan November, Fatimah sudah berada di Transito bersama ibunya. Tidak lama kemudian, Maryam datang bersama anaknya. Beberapa saat kemudian, Maryam dan seluruh pengikut Ahmadi menerima kabar Pak Khairuddin kecelakaan. Motornya menabrak truk. Maryam merinding, mereka segera menuju ke rumah sakit. Sepanjang jalan mereka memanjatkan doa. Sesampai di rumah sakit, mereka menumpahkan tangis, melihat Pak Khairuddin sudah tidak bernyawa lagi. Kabar kematian Pak Khairuddin bergerak cepat ke orang-orang di Transito dan seluruh orang Ahmadi di Lombok. Maryam tergagap ketika ditanya tentang pemakaman ayahnya. Ibunya mengatakan akan dimakamkan di Gerupuk. Rohmat, ketua RT menolak pemakaman Pak Khairuddin. Mereka tidak mau orang sesat dimakamkan di situ. Umar marah, lalu memukul muka Rohmat. Orang-orang Gerupuk langsung mengeroyok Umar. Zulkhair berteriak agar semua berhenti berkelahi. Zulkhair mengambil sikap, mengajak Umar pergi dan memakamkan Pak Khairuddin di Mataram.
Universitas Sumatera Utara
4.2.3.1.5 Tahap Pemecahan Masalah Tahap Pemecahan Masalah digambarkan oleh pengarang melalui suasana pengungsian yang semakin penuh sesak. Setelah Pak Khairuddin meninggal dunia, Maryam membawa ibunya ke rumah dengan alasan kondisi Gedung Transito yang semakin sempit. “Juni 2008 Gedung Transito kian hari kian sesak. Barang-barang bertambah: baju dan aneka perkakas. Kamar sempit yang disekat dengan kain itu kini terlihat penuh tumpukan barang. Enam bayi telah lahir di pengungsian ini”( My, 2012: 266). Sudah ada beberapa wartawan di dalam ruangan, menanyai orang-orang tentang kata-kata Gubernur yang ada di koran. Semua orang menjawab tidak mau pindah ke Australia. “Ini kampung saya. Lahir di sini. Bapak, ibu, sampai buyut semua lahir dan meninggal di sini,” kata seorang perempuan yang ditanyai. „Tapi bagaimana kalau selamanya tak bisa pulang ke rumah?” tanya wartawan. Yang ditanyai diam. Semua orang yang mendengar juga diam. ... Sudah lama tinggal di sini... apakah terpikir untuk menuruti permintaan orang-orang itu agar bisa kembali ke rumah?” Perempuan itu tampak bingung dengan pertanyaan wartawan. “Maksudnya keluar dari Ahmadiyah, agar bisa pulang lagi ke rumah,” jelas wartawan. Perempuan itu menggeleng. “Namanya orang sudah percaya,” jawabnya. “Semakin susah semakin yakin kalau benar,” lanjutnya. (My,2012: 272) 4.2.3.1.6 Tahap Penyelesaian Novel ini ditutup dengan epilog yang dinaratori oleh Maryam. Maryam yang mengirimkan sebuah surat sebagai kritik atas sikap acuh tak acuh Gubernur dan pemerintah kepada pengikut Ahmadi selama ini. Kehidupan pengikut Ahmadi di Gedung Transito masih tetap seperti sebelumnya. Harapan Maryam adalah
Universitas Sumatera Utara
keadilan dapat ditegakkan. “Januari 2011 Saya Maryam Hayati. Ini surat ketiga yang saya kirim ke Bapak. Semoga surat saya kali ini bisa mendapat tanggapan. Hampir enam tahun keluarga dan saudara-saudara kami terpaksa tinggal di pengungsian, di Gedung Transito, Lombok.... Kami mohon keadilan. Sampai kapan lagi kami harus menunggu? (My, 2012: 273-275) Tahap penyelesaian alur dalam novel ini tidak dituliskan pengarang secara jelas. Maryam masih harus memperjuangkan lagi nasib dari para pengungsi kaum Ahmadi. Novel ditutup dengan sebuah surat permohonan dari Maryam kepada Bapak Gubernur yang baru terpilih. Pengarang menyerahkan kepada pembaca untuk menentukan berhasil atau tidak perjuangan yang dilakukan Maryam.
4.2.3.2 Struktur Fisik, Ras, dan Relasi Gender Novel Maryam 4.2.3.2.1 Struktur Fisik Keberadaan tokoh cerita dalam novel Maryam dapat diidentifikasi dari deskripsi fisik, ras, dan relasi gender. Novel Maryam digerakkan oleh tokoh Maryam. Tokoh Maryam dikonotasikan sebagai penggerak alur utama dalam teks. Pengarang memberikan kapasitas ruang lebih sehingga tokoh ini mampu mengeksplorasi peranannya secara maksimal. Tokoh Maryam
memiliki
kapabilitas dalam menghadapi lingkungan sosialnya dengan kreasi sehingga mempermudah
langkah
dalam
mengambil
posisi
di
tengah-tengah
lingkungannya. Maryam adalah tokoh utama wanita dalam novel ini yang namanya juga dijadikan sebagai judul. Maryam adalah sosok wanita yang cerdas, tegar, kuat,
Universitas Sumatera Utara
keras kepala, namun ia juga seorang wanita biasa yang ramah, penyayang, lembut dan perasa. Maryam awalnya adalah seorang Ahmadi yang baik, hingga akhirnya ia keluar dari Ahmadi saat menikah dengan Alam secara diam-diam. Setelah menyadari kekeliruannya menikah dengan Alam, dia kembali lagi menjadi keluarga Ahmadi dan menikah dengan Umar. “Maryam menikah dengan Alam tanpa memberitahu orangtuanya lagi. Semua sudah jelas, pikirnya” (My, 2012:40). Alam adalah penyebab konflik dalam cerita ini. Konflik cerita mulai bergerak dengan memunculkan tokoh Alam secara flashback dalam kehidupan Maryam. Pertemuannya dengan Maryam sampai kepada kandasnya pernikahan Maryam dengan Alam. Alam digambarkan sebagai seorang laki-laki yang tidak tegas dalam mengambil keputusan. Semua keputusan bergantung pada ibunya. Dia bekerja sebagai karyawan di perusahaan konstruksi. Dia bukan orang Ahmadi. Sebenarnya, Alam juga sosok yang penyayang dan perhatian. Pak Khairuddin juga ikut membangun alur cerita. Pak Khairuddin adalah sosok ayah yang sangat luar biasa. Dengan sikapnya yang tegas dan cukup keras, namun ia juga seorang ayah yang penyayang. Ia juga peduli terhadap orang lain dan pribadi yang mandiri. Dia generasi kedua dalam keluarganya yang memeluk Ahmadi. “Maryam ingat bapaknya selalu menyumbang banyak. Sudah sepatutnya bagi orang yang punya usaha sendiri hingga bisa membeli pikap…Bapak dan ibu Maryam memberikan dengan penuh keikhlasan, katanya untuk tabungan akhirat” (My, 2012:64). Umar adalah anak Pak Ali dan Bu Ali. Umar terlahir dalam keluarga Ahmadi. Umar adalah seorang anak yang penurut, pekerja keras, dan penyayang.
Universitas Sumatera Utara
Hal ini dapat dilihat saat ayahnya meninggal dunia, Umar menemani ibunya di rumah dan meneruskan usaha ayahnya yang akhirnya semakin maju. Umar aktif memperjuangkan nasib pengikut Ahmadi yang terusir dari kampungnya sendiri. Umar sempat berkuliah di Udayani Jurusan Sastra Inggris. Dia tidak sempat menyelesaikan skripsinya karena ayahnya meniggal dunia. Dia menikah dengan Maryam, semula dia
menikah hanya untuk membahagiakan ibunya, namun
pernikahan itu berubah menjadi pernikahan yang penuh cinta. “Bersama seseorang yang awalnya dinikahi hanya untuk membahagiakan ibunya” (My, 2012:180) . 4.2.3.2.2 Struktur Ras Struktur ras tokoh cerita dalam novel Maryam adalah orang Lombok yang bersuku Sasak. Ini dapat diidentifikasi dengan menggunakan beberapa bahasa daerah yang digunakan di dalam novel ini. Juga setelan sarung Sasak yang dipergunakan Maryam ketika dia menikah dengan Umar. Misalnya dalam percakapan Maryam dan Nur di bawah ini: “Sai aran side?” tanya salah saru perempuan itu pada Maryam (My, 2012:191). “Berembe kabar, Nur?” tanya Maryam. Sengaja ia gunakan bahasa Sasak agar mereka cepat akrab kembali sebagaimana dulu saat masih bertetangga. “Solah,” jawab Nur (My, 2012:192). Dalam upacara perkawinan Maryam dan Umar ditampilkan menu makanan khas Lombok yaitu pelecing. Juga menjadi menu utama di restoran yang mereka kunjungi di Praya. Pelecing adalah makanan
khas Lombok, berupa
kangkung dan sambal, disajikan bersama ayam bakar yang dikenal sebagai ayam
Universitas Sumatera Utara
taliwung. Ini semua merujuk kepada ras masyarakat Lombok. Lokasi yang terdapat dalam novel ini juga merujuk kepada keberadaan masyarakat Lombok. Maryam
tidak
menamakan
anaknya
dengan
nama-nama
agama,
menunjukkan bahwa dia mencintai tanah kelahirannya. Dia memberi nama anaknya Mandalika, nama yang berasal dari Lombok. Nama itu diambil dari cerita Mandalika. Cerita yang sering didengarnya di Gerupuk. Tentang seorang putri cantik yang diperebutkan dua raja dari dua kerajaan besar. Perang besar akan terjadi. Tapi Mandalika memilih pergi. Mengorbankan diri agar perang tidak terjadi. Tragedi ini diabadikan dengan upacara Nyale. Nyale adalah upacara di pantai selatan Lombok yang lahir dari legenda Putri Mandalika. Digelar setahun sekali, biasanya pada bulan Februari atau Maret. Saat itu cacing laut muncul di permukaan dan masyarakat memburunya.
4.2.3.2.3 Relasi Gender Prinsip relasi gender yang menimbulkan pro dan kontra adalah tingkatan kedudukan kaum minoritas dan mayoritas. Secara global, kaum minoritas (di dalam novel ini diwakili oleh pengikut Ahmadiyah), lebih rendah kedudukannya dari kaum mayoritas (di dalam novel ini diwakili oleh umat Islam keseluruhan). Ajaran Ahmadi dianggap sesat dan mereka diusir dari rumahnya sendiri. Bahkan mayatnya pun tidak boleh dikuburkan di pemakaman umum. Posisi prinsip relasi gender tersebut dapat diidentifikasi dari kutipan berikut ini. Sesaat kemudian terdengar suara berisik dari arah jalan. Barisan orangorang muncul. Memasuki jalan kecil. “Usir! Usir!” teriak mereka. Terdengar bunyi „brak‟ dan „klontang‟. Mereka melempar sesuatu ke rumah yang dilewati. Rumah orang tua Maryam nomor empat dari ujung
Universitas Sumatera Utara
jalan. Itu artinya mereka akan segera sampai.semua orang kini berdiri bersiap-siap. Pintu rumah ditutup rapat. Ibu Maryam mengunci dari dalam. Hanya laki-laki yang ada di luar. (My:224-225)
Relasi gender antara anak dan orang tua terlihat dalam dua pola, yaitu anak yang patuh kepada orang tuanya dan anak yang melawan kepada orang tuanya. Anak yang patuh kepada orang tuanya dapat dilihat dari hubungan relasi gender antara Umar dengan ibunya. Dia mau menikahi Maryam yang sudah janda demi untuk membahagiakan ibunya. Dia juga memilih berhenti kuliah setelah ayahnya meniggal, demi menemani ibunya dan melanjutkan usaha yang telah dirintis ayahnya. Contoh lain adalah Maryam yang setelah bercerai dari Alam. Dia memenuhi keinginan orang tuanya untuk menikah dengan pemuda sesama Ahmadi, yaitu Umar. Relasi gender anak yang melawan kepada orang tuanya dapat dilihat dalam kehidupan Gamal. Setelah dia pulang dari Banten untuk menyelesaikan penelitian skripsinya, Gamal kehilangan kepercayaannya terhadap ajaran Ahmadi. Setiap kali diajak oleh ibunya untuk pengajian, dia tidak mau. Katanya karena banyak tugas yang harus diselesaikannya. Dia juga sering tidak pulang ke rumah. Dia sering menginap di rumah kawannya. Sampai akhirnya, dia pergi meninggalkan rumah dan tidak pernah kembali lagi. Seperti pada kutipan berikut: Gamal benar-benar tak pulang. Bapak-ibunya telah putus asa mencari. Datang ke kampus. Bertemu dosen-dosen dan mahasiswa-mahasiswa. Tak ada yang tahu soal Gamal. Lagi pula, semua teman seangkatannya sudah jarang berada di kampus. Semua sibuk mengerjakan tugas akhir, bahkan banyak yang sudah lulus. Orang tuanya juga datang ke teman-teman SMP atau SMA, ke siapa pun yang mereka anggap kenal dengan Gamal. Tak ada yang tahu. (My: 29)
Universitas Sumatera Utara
Secara keseluruhan, relasi gender dalam novel Maryam terjadi antara suami dengan istri, baik dalam keluarga sesama Ahmadi maupun keluarga yang berbeda keyakinan. Di dalam keluarga Ahmadi, konflik suami-istri tidak pernah terjadi. Pernikahan berjalan langgeng dan bahagia. Sebaliknya, dalam keluarga yang menikah berbeda keyakinan, konflik suami-istri tidak dapat diredam yang selalu diakhiri perceraian.
4.2.3.3 Struktur Ruang dan Waktu Novel Maryam 4.2.3.3.1 Struktur Ruang Penggunaan ruang tempat dalam novel ini meliputi Bandara Selaparang, tempat pesawat Maryam mendarat; Surabaya, tempat Maryam kuliah; Jakarta, tempat Maryam bekerja dan bertemu dengan Alam hingga akhirnya menikah; Gerupuk, kampung halaman Maryam; Gegarung, tempat keluarga Maryam tinggal setelah diusir dari Gerupuk; Sumbawa tempat keluarga Umar sebelum pindah ke Mataram; Bali, tempat Maryam berbulan madu; dan Lombok, di Gedung Transito tempat pengungsian kaum Ahmadi. Gerupuk, merupakan salah satu latar tempat dalam novel ini. Gerupuk digambarkan berada di pinggir pantai, dengan ombak tinggi. wisatawan berkunjung ke sana karena tertarik dengan ombak tersebut untuk berselancar. Gerupuk tidak mempunyai pantai yang berpasir putih seperti umumnya pantaipaitai lain yang berjajar di pesisir pulau Lombok. Di sana hanya ada dermaga tempat para nelayan menjual hasil tangkapannya. Tokoh Maryam banyak menghabiskan hidupnya tinggal di sini, mulai dari lahir sampai dia tamat SMA.
Universitas Sumatera Utara
Gerupuk hanyalah kampung kecil di sudut timur pesisir selatan Lombok. Nyaris tak dikenal. Peta-peta wisata hanya menggambarkan Kuta sebagai satu-satunya nama tempat disepanjang garis pantai itu. Baru tahun-tahun belakangan, ketika orang-orang asing mulai mengetahui ada ombak tinggi di kampung ini, Gerupuk mulai di datangi. Itu pun hanya oleh mereka yang ingin mencari kepuasan berdiri di papan selancar, menakhlukkan ombak yang bergulung tinggi... Tak ada keistimewaan lain yang ditawarkan Gerupuk selain ombak tinggi itu. Ia tak punya pantai indah beerpasir putih, sebagaimana pantaipantai lain yang berjajar di pesisir ini. Gerupuk adalah deretan erahuperahu nelayan, Bau amis ikan, dan nelayan-nelayan yang berkulit legam. Setiap orang hidup dari tangkapan ikan, udang, atau teripang. (My, 2012:41) Gegerung, merupakan latar yang juga banyak muncul di dalam novel. Gegerung adalah tempat tinggal kebanyakan orang Ahmadi, termasuk keluarga Maryam setelah mereka mengalami pengusiran di Gerupuk. Perumahan di Gegarung ini khusus dibangun oleh orang-orang Ahmadi yang terusir dari kampung mereka. Rumah ini dibangun dari hasil sumbangan yang dikumpulkan oleh organisasi. “Meski terpisah dari rumah-rumah penduduk lain, tanah yang dihuni orang-orang Ahmadi itu termasuk kampung Gegerung. Sekitar satu setengah kilometer jauhnya dari perkampungan utama Gegarung, dipisahkan oleh sawah-sawah padi dan sungai”. (My, 2012:83) Latar Gedung Transito muncul setelah keluarga Ahmadi diusir dari Gegarung dan mesjid organisasi dilarang untuk dipergunakan. Latar cerita terpusat di Gedung transito. Mulai dari Maryam yang bolak-balik ke gedung tersebut, kehidupan para pengungsi, sampai seluruh kegiatan keagamaan kaum Ahmadi yang terpusat di sana, sejak mesjid organisasi tidak boleh dipergunakan lagi. Mereka mengadakan pengajian, dan sholat bersama di gedung tersebut. Keadaan gedung tersebut juga dipaparkan secara jelas.
Universitas Sumatera Utara
Gedung Transito kian hari terasa kian sesak. Barang-barang bertambah: baju dan aneka perkakas. Kamar sempit yang disekat dengan kain itu, kini terlihat penuh tumpukan barang. Enam bayi telah lahir di pengungsian ini...(My, 2012:266) Lalu wartawan-wartawan itu minta izin untuk berkelilng ke seluruh ruangan. Mengambil gambar ruangan besar yang disekat- sekat untuk menjadi kamar, mewawancarai orang-orang yang bertemu di dalam. Lalu mereka keluar ke arah dapur. Melihat orang-orang memasak di dapur yang digunakan bersama-sama, juga mengintip kamar mandi dan tempat mencuci. (My, 2012:269) Penggunaan ruang cerita dalam novel Maryam terjadi dalam dua masa, yaitu masa kini dan masa lalu. Masa kini dan masa lalu dapat diidentifikasi dari dua pola, yakni penanda tahun dan penanda waktu.
4.2.3.3.2 Struktur Waktu Penanda tahun terlihat dari pencantuman nama bulan yang diikuti tahun untuk menandai tindakan dan kejadian. Misalnya, cerita dimulai dari Januari 2005 dengan ditandai oleh kepulangan Maryam ke kampung halamannya karena bercerai dengan Alam. Hal ini dapat diidentifikasi pada pengalihan struktur waktu cerita, dari masa kini ke masa lalu dalam proses pernikahan Alam dengan Maryam yang diceritakan secara mundur pada akhir tahun 2000. sebagaimana terlihat dalam kutipan berikut ini. Januari 2005. Apa yang diharapkan oleh orang yang terbuang pada sebuah kepulangan?ucapan maaf, uangkapan kerinduan, atau tangis kebahagiaan? Tidak semuanya bagi Maryam. Ia pulang tanpa membawa harapan. Ia bahkan tak punya bayangan apa yang akan dijumpainya di kampung halaman. Ia tak berpikir apakah kedatangannya amasih ada yang menantikan, atau malah akan menghidupkan kembali sisa kemarahan. Ia juga tidak tahu apa yang akan dilakukannya di sana. Akankah ia hanya singgah sesaat lalu segera kembali terbang entah ke mana atau akankah ia tinggal selamanya? Entahlah ... Ia hanya ingin pulang. Itu saja. (My, 2012:13)
Universitas Sumatera Utara
Di samping penggunaan penanda tahun, novel Maryam juga menggunakan penanda waktu, seperti pagi, siang, sore, dan malam. Secara keseluruhan, penanda waktu siang mendominasi struktur waktu cerita. Penanda waktu yang lain juga digunakan tetapi waktu penggunaan tidak terus-menerus, bergantung pada keperluan, misalnya waktu malam untuk pengajian, istirahat,
dan memberi
nasehat kepada anak. Waktu sore digunakan untuk beribadah, pengajian, dan pelaksaaan pernikahan. Waktu pagi digunakan untuk berangkat bekerja, jalanjalan, dan memulai aktifitas.
Penggunaan penanda waktu tidak hanya didominasi oleh penanda waktu kekinian. Novel Maryam memiliki penanda waktu masa lalu. Hal ini dapat diidentifikasi dari penghubungan keadaan Maryam masa kini dengan keadaan Maryam masa lalu. Hal ini terlihat dari karakter Maryam yang mengenang masa kecilnya saat ia bersama teman-temannya menjajakan gelang dan kalung untuk sekedar menambah uang jajan. Hal ini terlihat dari kutipan sebagai-berikut: ...Ada juga yang tak butuh waktu terlalu lama untuk membeli. Mereka tersentuh oleh wajah memelas anak itu. Cepat-cepat membeli artinya juga segera bisa menikmati liburan mereka tanpa diganggu oleh pedagang kecil itu lagi. Karena jika tidak, anak itu akan mengikutinya sampai dagangan itu dibeli. Semua anak yang melihat akhinya mengikuti cara itu. Maryam pun demikian, tak peduli apa yang dikatakan turis-turis itu. Tak mengambil hati pada apa yang mereka katakan, yang penting barang harus terjual. Anak-anak senang tiap hari mendapat uang. Jauh lebih senang lagi pemilik toko yang memasok barang. (My, 2012:189) Berdasarkan penjelasan di atas, deskripsi ruang cerita novel Maryam melibatkan kota-kota utama di Pulau Lombok dalam struktur waktu masa kini dan masa lalu, baik dengan penanda tahun maupun penanda waktu. Struktur ruang
Universitas Sumatera Utara
cerita tidak dideskripsikan secara terperinci sehingga keadaan kota tidak dapat diidentifikasi secara konkret. Hal ini disebabkan penceritaan lebih berpusat pada pemunculan dan pemecahan masalah sehingga pendeskripsian ruang cerita hanya terbatas pada kondisi rumah, pemandangan alam sekitar pantai, Gedung Transito, dan halamannya. Sebaliknya, struktur waktu ditampilkan dengan konkret sehingga diperoleh informasi akurat bahwa kejadian dalam novel dimulai tahun cerita dimulai dari tahun 1993, bulan terakhir tahun 1995, Oktober 1997, awal tahun 2000, Januari 2005, Juni 2008, hingga Januari 2011. Perjalanan hidup Maryam juga disebutkan, misalnya tahun ia lulus sekolah, kuliah, pernikahan sengan Alam, perceraiannya dengan Alam, pernikahanya dengan Umar, penyerbuan terhadap pengikut Ahmadi, hingga saat berada di pengungsian. Perakhir, pengiriman surat permohonan Maryam yang ketiga kepada Bapak Gubernur untuk meminta keadilan atas apa yang telah menimpa pengikut Ahmadi.
4.2.3.4 Struktur Transmisi Narasi Novel Maryam Struktur transmisi novel Maryam dibangun oleh sudut pandang orang ketiga yang serba tahu. Orang ketiga ini dimunculkan pengarang dalam diri Maryam, Umar, Alam, dan lain-lain. Maryam sebagai tokoh utama mendominasi cerita. Kedudukan Maryam sebagai pengikut Ahmadi yang pernah berpaling, menunjukkan bahwa keimanan Maryam lemah. Kegagalannya membina rumah tangga dengan Alam, membuat Maryam tersadar. Dia menikah untuk yang kedua kalinya dengan Umar, seorang Ahmadi. Maryam tersentuh melihat penderitaan
Universitas Sumatera Utara
yang dialami oleh kaum Ahmadi. Mereka dihina, diserang, dan diusir. Maryam membela mereka untuk meminta keadilan kepada pemerintah. Maryam melakukan berbagai cara. Penggunaan sudut pandang orang ketiga yang serba tahu dalam novel Maryam,
menjadikan
pengarang
sebagai
pemilik
pesan.
pengarang
mengomunikasikan pada pembaca melalui narator dan penarasi. Narator utama adalah Maryam. Di samping narator, muncul penarasi yang menjelaskan keadaan tokoh lain dan lingkungan hidupnya. Penarasi ini menjadi jalan masuk pengarang untuk memberi komentar dan deskripsi tertentu untuk memperkuat karakteristik tokoh cerita. Antara narator dan penarasi dalam novel Maryam memiliki kesamaan sudut pandang, yakni menggunakan sudut pandang orang ketiga: dia atau ia atau menyebut nama diri. Berikut ini pemunculan narator utama yang menggunakan monolog dengan bantuan penarasi dalam satu jenis sudut pandang, “Maryam mulai menebak-nebak apa yang sebenarnya ingin disampaikan ibunya. Pikiran itu kemudian muncul begitu saja: ibunya akan mengajaknya untuk kembali sepenuhnya untuk menjadi Ahmadi. Memintanya untuk mau kembali dibaiat, disumpah untuk setia dan selamanya tak akan pernah ingkar. Maryam mulai gentar.” (My, 2012:148-149)
4.3 Analisis Realitas Sosial Realitas sosial adalah kenyataan hidup yang terjadi dalam masyarakat. Karya sastra secara keseluruhan mengambil bahan melalui kehidupan masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
Dengan ciri keatifitas dan imajinasinya, sastra memiliki kemungkinan yang paling luas dalam mengalihkan keberagaman kejadian alam sdemesta dari kualitas kehidupan sehari-hari ke dalam kualitas dunia fiksional. Realitas sosial dapat diidentifikasi dari peristiwa, waktu, tempat, dan pelaku yang terdapat dalam karya sastra yang berkorelasi dengan peristiwa, waktu, tempat, dan pelaku dalam realitas faktual. Di dalam deskripsi dan analisis realitas sosial novel-novel karya Okky Madasari, penelitian ini dipusatkan pada kajian riwayat hidup pengarang yang berkorelasi dengan realitas fiksi dalam novel yang ditulisnya. Oleh karena itu, pendeskripsian dan penganalisisan didasarkan pada isi cerita yang diurutkan sesuai dengan penomoran sumber data penelitian ini.
4.3.1 Realitas Sosial Novel Entrok 4.3.1.1 Kehidupan Spiritual Masyarakat Jawa Keberadaan tokoh Sumarni dan Rahayu dalam teks yang terus melakukan proses interaksi dengan tokoh-tokoh lain dan latar sosialnya secara bertahap mampu memberikan pengaruh dalam terbentuknya pandangan hidup tokoh utama. Mengingat tokoh Sumarni dan Rahayu hidup di lingkungan sosial budaya Jawa yang sarat dengan nilai, norma, konvensi, serta tata aturan baik yang tertulis maupun tidak tertulis, maka pandangan hidup yang ada pada diri Sumarni dan Rahayu adalah pandangan hidup Jawa. Pandangan hidup Jawa bukanlah suatu agama, tetapi suatu pandangan hidup dalam arti yang luas, yang meliputi pandangan terhadap Tuhan dan alam semesta beserta posisi dan peranan manusia di dalamnya. Hal ini meliputi pula
Universitas Sumatera Utara
pandangan terhadap segala aspek kehidupan manusia, termasuk pula pandangan terhadap kebudayaan manusia beserta agama-agama yang ada. Adapun posisi tokoh Sumarni dan Rahayu dalam novel Entrok digambarkan sebagai wanita yang hidup di lingkungan keluarga Jawa yang diinternalisasi dengan nilai kewanitaan, bahwa wanita itu harus mampu menempatkan (memposisikan) diri di bawah laki-laki; pasrah, nrimo, sabar dan ikhlas. Hal itu seperti yang dikemukakan Christina (2004: 24) bahwa kata “wanita” berasal dari kata wani (berani) dan ditata (diatur). Artinya, seorang wanita adalah sosok yang berani ditata atau diatur. Dalam kehidupan praktis masyarakat Jawa, wanita adalah sosok yang selalu mengusahakan keadaan tertata hingga untuk itu pula dia harus menjadi sosok yang mau diatur. Dalam makna yang lain, yaitu “perempuan”, tampaknya tidak cukup bisa menggambarkan kenyataan praktis sehari-hari wanita Jawa. Akar kata “perempuan” adalah empu yang berarti guru. Makna kata ini lebih menggambarkan kenyataan normatif daripada kenyataan praktis sehari-hari. Bahkan, dalam penggunaannya kita lebih sering mendengar kata perempuan dipakai untuk ungkapan hal yang kurang sedap seperti “main perempuan‟, dan lain-lain. Yana (2012: 15-16) mengatakan bahwa, sebagian orang Jawa masih belum dapat memisahkan mitos dari kehidupan mereka. Yang dimaksud orang Jawa adalah orang yang bahasa ibunya adalah bahasa Jawa dan merupakan penduduk asli bagian tengah dan timur pulau Jawa. Berdasarkan golongan sosial, orang Jawa dibedakan menjadi :
Universitas Sumatera Utara
1. Wong cilik (orang kecil), terdiri dari petani dan mereka yang berpendapatan rendah. 2. Kaum priyayi, terdiri dari pegawai dan orang-orang intelektual. 3. Kaum ningrat, gaya hidupnya tidak jauh dari kaum priyayi. Selain dibedakan golongan sosial, orang Jawa juga dibedakan atas dasar keagamaan dalam dua kelompok yaitu : 1. Jawa kejawen, yang sering disebut juga abangan yang dalam kesadaran dan cara hidupnya ditentukan oleh tradisi Jawa pra-Islam.
Kaum priyayi
tradisional hampir seluruhnya dianggap Jawa Kejawen, walaupun mereka secara resmi mengaku Islam. 2. Santri, yang memahami dirinya sebagai orang Islam atau orientasinya yang kuat terhadap agama Islam dan berusaha untuk hidup menurut ajaran Islam. Masyarakat Jawa percaya bahwa Tuhan adalah pusat alam semesta dan pusat segala kehidupan, karena sebelumnya sebelumnya semua terjadi di dunia ini, Tuhanlah yang pertama kali ada. Yang dimaksud pusat yang dalam pengertian ini adalah yang dapat memberikan penghidupan, keseimbangan, dan kestabilan, yang dapat juga memberi kehidupan dan penghubungan dengan dunia atas. Pandangan orang Jawa tentang hal tersebut biasa disebut dengan Kawula Ian Gusti, yaitu pandangan yang beranggapan bahwa kewajiban moral manusia adalah mencapai harmoni dengan kekuatan terakhir dan pada kesatuan terakhir itulah manusia menyerahkan diri sebagai kawula terhadap gustinya (Yana, 2012: 16). Sikap penyerahan diri sebagai kawula terhadap gustinya dialami oleh tokoh Teja. Teja tidak mau berusaha mengubah nasibnya.
Dia seorang kuli
Universitas Sumatera Utara
angkat barang. Ayahnya Mbah Noto juga bekerja sebagai kuli angkat barang. Pekerjaan itu seolah-olah merupakan pekerjaan yang diwariskan dari orang tua ke anak. Setelah menikah Teja juga bekerja sebagai pengangkat barang, hanya saja dia mengangkat barang dagangan Sumarni, istrinya. Teja tidak pernah tahu berapa keuntungan yang didapat oleh Marni. Dia juga tidak tahu berapa harga barang yang dibeli dan dijual. Teja hanya tahu mengangkat barang dagangannya saja. Yang penting bagi Teja, dia bisa membeli tembakau linting setiap hari. Teja tidak pernah berusaha untuk mengetahui tentang cara berdagang. Dia menerima nasibnya sebagai buruh kuli angkat barang yang dianggapnya sebagai suratan yang sudah ditetapkan oleh Sang Pencipta untuknya. Sebagian besar orang Jawa juga termasuk dalam golongan bukan muslim santri yaitu yang telah mencampurkan beberapa konsep dan cara berpikir Islam dengan pandangan asli mengenai alam kodrati dan alam adikodrati. Pandangan hidup merupakan pengalaman hidup. Pandangan hidup adalah sebuah pengaturan mental dari pengalaman hidup yang kemudian dapat mengembangkan suatu sikap terhadap hidup. Ciri khas dari pandangan hidup orang Jawa adalah realitas yang mengarah kepada pembentukan kesatuan antara alam nyata, masyarakat dan alam adikodrati yang dianggap keramat. Orang Jawa percaya bahwa kehidupan mereka telah ada garisnya, mereka hanya menjalankan saja (Yana, 2012:16). Dasar kepercayaan Jawa (Kejawen, Javanisme) adalah keyakinan bahwa segala sesuatu yang ada didunia ini pada hakikatnya adalah satu atau merupakan kesatuan hidup. Javanisme memandang kehidupan manusia selalu berpaut erat
Universitas Sumatera Utara
dalam kosmos alam raya. Dengan demikian maka kehidupan manusia merupakan suatu perjalanan yang penuh dengan pengalaman-pengalaman yang religius. Tokoh Sumarni memiliki pandangan hidup Jawa yang kuat pada ritual nyuwun (berdoa) kepada ruh leluhur, memegang pakem ilok ora ilok, serta sabar dan nrima yang didapat dari tokoh Simbok ibunya. Kaitannya dengan pandangan dunia Jawa yang erat dengan kebatinan, Niels Mulder (1999: 62-64) mengungkapkan bahwa inti penting dari kejawen adalah kebatinan, yaitu pengembangan kehidupan batin dan diri yang terdalam seseorang. Diri terdalam itulah yang sebenarnya menyusun mikrokosmos dari kehidupan yang meliputi segala-galanya. Dalam pandangan kejawen, gerakan diri ini harus mengalir dari luar ke bagian dalam, dari penguasaan yang lahir ke pengembangan yang batin, dari menjadi sungguh-sungguh sadar terhadap situasi sosial sampai menjadi peka terhadap kehadiran “Kehidupan” dan perwujudan “Kehidupan” itu di dalam batin. Alam pikiran orang Jawa merumuskan kehidupan manusia berada dalam dua kosmos (alam) yaitu makrokosmos dan mikrokosmos. Makrokosmos dalam pikiran orang Jawa adalah sikap dan pandangan hidup terhadap alam semesta yang mengandung kekuatan supranatural dan penuh dengan hal-hal yang bersifat misterius. Sedangkan mikrokosmos dalam pikiran orang Jawa adalah sikap dan pandangan hidup terhadap duniaa nyata. Tujuan utama dalam hidup adalahh mencari serta menciptakan keselarasan atau keseimbangan antara kehidupan makrokosmos dan mikrokosmos.
Universitas Sumatera Utara
Dalam alam makrokosmos, maka pusat dari alam semesta adalah Tuhan. Alam semesta memiliki tingkatan yang ditujukan dengan adanya jenjang alam kehidupan orang Jawa dan adanya tingkatan dunia yang semakin sempurna. Alam semesta terdiri dari empat arah utama ditambah satu pusat yaitu Tuhan yang mempersatukan dan memberi keseimbangan. Sikap dan pandangan terhadap dunia nyata (mikrokosmos) dapat tercermin pada kehidupan manusia dengan lingkungan, susunan manusia dalam masyarakat, tata kehidupan manusia sehari-hari dan segala sesuatu yang dapat terlihat oleh mata. Dalam menghadapi kehidupan, manusia yang baik dan benar di dunia ini tergantung pada kekuatan batin dan jiwanya. Bagi orang Jawa pusat di dunia ada pada raja dan keraton. Tuhan adalah pusat makrokosmos sedangkan raja adalah perwujudan Tuhan didunia sehingga dalam dirinya terdapat keseimbangan berbagai kekuatan alam. Jadi raja merupakan pusat komunitas didunia seperti halnya raja menjadi mikrokosmos dari Tuhan dengan keraton sebagai kediaman raja. Keraton merupakan pusat keramat kerajaan dan bersemayamnya raja karena raja merupakan sumber kekuatan alam yang mengalir ke daerah dan membawa ketentraman , keadilan dan kesuburan.
Sementara itu, pakem ilok ora ilok bukan hanya terbatas pada pengertian „pantas tidak pantas‟, melainkan memiliki kandungan makna filosofi, yaitu berisi tentang nilai luhur berkaitan dengan batasan moral mana yang baik untuk dilakukan dan mana pula batasan moral yang tidak pantas untuk dilakukan. Adapun sifat nrima, pasrah, dan ikhlas di sini oleh tokoh Simbok dipandang bukan sebagai kelemahan atau kekalahan, tetapi lebih pada menjaga keselarasan
Universitas Sumatera Utara
hidup dengan cara menjalankan perannya masing-masing. Ratnawati (dalam “Perempuan dan Ajaran Perenialis dalam Serat Wulang Putri”, 2008) mengutarakan pendapat bahwa sabar, legawa dan lila adalah sebuah permainan emosi dalam usaha mengatasi konflik. Penyabar bukanlah bawaan lahir atau kodrat melainkan harus dipelajari terus menerus sepanjang hayat. Sikap nrimo dapat dilihat juga melalui perlakuan Pak Suyat yang menikahi dua orang perempuan, yaitu Yu Parti dan Yu Yem. Suatu hari, Yu Parti baru saja bertengkar dengan Yu Yem. Yu Parti bekerja sebagai pedagang pecal pincuk menuding Yu Yem yang bekerja sebagai pedangang cabe di pasar Ngranget, telah merebut suaminya. Cabe yang ada di los Yu Yem disapunya dengan tangannya sehingga berserakan. Mereka saling jambak dan adu mulut. Tidak ada orang yang berani memisahkan. Melihat Pak Suyat datang, kedua perempuan yang bertengkar itu lalu terdiam. Pak Suyat menarik tangan Yu Parti untuk mengajaknya pulang. Yu Parti menurut dan mereka pun pulang. Hal yang sama juga dialami oleh Sumarni, ketika dia menghadapi Teja yang tidak mau mengubah hidupnya sebagai kuli angkat barang. Marni nrimo sikap Teja yang demikian, walaupun dia harus bekerja membanting tulang untuk menghidupi keluarganya. Di samping itu, Teja juga menikah sirih dengan perempuan lain atau gendakan dengan sinden. Marni tidak peduli dengan perbuatan Teja kepadanya. Marni menganggap gendakan sebagai hal yang wajar dalam kehidupan kaum laki-laki. Pandangan hidup Jawa dalam teks berangkat dari realitas yang ada pada masyarakat Jawa. Walau begitu, pandangan hidup Jawa dalam teks bukanlah
Universitas Sumatera Utara
realitas pandangan hidup Jawa, tetapi hanya refleksi, citraan, atau imaji. Adapun tentang pandangan hidup Jawa dalam teks bertolak dari pembedaan antara dua segi yang fundamental, yaitu segi lahir dan segi batin. Sebagai makhluk alam, manusia merupakan makhluk jasmani, ia memiliki dimensi lahir. Kita mengerti orang lain pertama-tama melalui dimensi lahirnya. Akan tetapi di belakang dimensi lahirnya itu terselubunglah segi batinnya (Franz Magnis-Suseno, 2001: 117-118). Sedangkan tokoh Rahayu dalam novel Entrok diposisikan sebagai wanita Jawa yang hidup di dalam keluarga yang sudah mengalami kemajuan dalam pendangan tentang pendidikan, tapi masih memegang teguh tradisi kejawen. Tokoh Rahayu dihadirkan sebagai anak dari tokoh Sumarni yang memiliki peran sangat besar dalam memberi landasan pendidikan kepada tokoh Rahayu tentang hormat dan memohon kepada ruh leluhur. Sebagai anak yang berpendidikan (lebih-lebih agama Islam), Rahayu kemudian tumbuh menjadi wanita Jawa modern. Adanya interaksi dengan tokoh lain seperti tokoh Pak Wiji dan Amri Hasan membuat dia memiliki pandangan dan keyakinan yang berbeda dengan ibunya. Tokoh Rahayu menjadi wanita yang memiliki karakter keras memegang keyakinan dan cenderung tertutup terhadap perbedaan. Hal itu membuatnya sering bersitegang dengan ibunya. Perkenalan Rahayu dengan tokoh Amri Hasan membuat ia terinspirasi untuk memberontak dari kesewenang-wenangan dan itu bertentangan dengan laku hidup Jawa yang diajarkan oleh ibunya untuk nrima dan pasrah. Tokoh Rahayu menjadi wanita Jawa yang hilang kejawaannya. Dia tidak
Universitas Sumatera Utara
berusaha untuk menghindari konflik demi memperoleh ketenangan dan ketenteraman hidup. Akan tetapi, dia justru lebih memilih menghadapinya daripada harus diam dan pasrah.
4.3.1.2 Kemiskinan Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan. Kemiskinan dapat disebabkan oleh kelangkaan alat pemenuh kebutuhan dasar, ataupun sulitnya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan. Kemiskinan merupakan masalah global. Gambaran kekurangan materi, yang biasanya mencakup kebutuhan pangan sehari-hari, sandang, perumahan, dan pelayanan kesehatan. Kemiskinan dalam arti ini dipahami sebagai situasi kelangkaan barang-barang dan pelayanan dasar. Gambaran tentang kebutuhan sosial, termasuk keterkucilan sosial, ketergantungan, dan ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam masyarakat. Hal ini termasuk pendidikan dan informasi. Keterkucilan sosial biasanya dibedakan dari kemiskinan, karena hal ini mencakup masalah-masalah politik dan moral, dan tidak dibatasi pada bidang ekonomi. Gambaran lain tentang kemiskinan adalah kurangnya penghasilan dan kekayaan yang memadai. Sebagaimana kondisi masyarakat di awal-awal kemerdekan yang masih miskin, kondisi keluarga tokoh Simbok dan Sumarni pun tidak jauh berbeda. Dalam kondisi kemiskinan seperti itu kebutuhan yang paling utama adalah makan.
Universitas Sumatera Utara
“...Aku diam. Aku tahu Simbok benar. Bisa makan tiap hari saja sudah harus disyukuri. Simboklah yang mencari semuanya. Setiap hari ke pasar. Kalau pas untung ya ada pekerjaan. Kalau tidak ya mencaqri sisa-sisa dagangan yang akan dibuang penualnya. Kadang Simbok menawarkan diri untuk membantu pedagangpedagang itu (En, 2010:17-18). Hal itu dipertegas oleh Dhika Harbi (2009:64), bahwa pada masa Orde Lama, mayoritas masyarakat Indonesia pribumi masih tetap bekerja sebagai petani. Elit politik berperan sebagai birokrat negara tanpa basis ekonomi, tak ada pengusaha pribumi yang berarti dan tak ada borjuis yang berperan dalam ekonomi, bahkan yang menguasai perdagangan Indonesia. Hal tersebut membuat kondisi masyarakat Indonesia dalam hal ekonomi menjadi semakin terpuruk. Di samping sebagai petani, masyarakat bekerja sebagai kuli bangunan, kuli angkat barang dan menarik andong, seperti yang dilakukan oleh ayah Tinah, pamannya Sumarni, Mbah Noto, dan Teja. Sedangkan para janda yang tidak mempunyai suami lagi, mereka bekerja sebagai buruh kupas ubi, menanam padi, atau menumbuk kopi untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Sebagian pedagang perempuan juga banyak yang tidak memilik rumah, mereka tidur di los tempat mereka berjualan. “...aku melihat ada beberapa yang tidur di los itu. Kata Teja, mereka pedagang yang tiap hari tidur di pasar. Pedagang-pedagnang itu kebanyakan perempuan seumuran Simbok. Mereka tidak pernah memakai entrok, apalagi berniat membelinya” (En, 2010: 22). Keadaan rumah masyarakat pedesaan waktu itu juga masih banyak yang terbuat dari bambu atau gubuk yang masih berlantai tanah yang dialas dengan
Universitas Sumatera Utara
tikar pandan. Peralatan rumah masih sangat sederhana. Alat masak tradisional dan pawon (tungku tradisional yang terbuat dari batu bata dengan bahan bakar kayu). Masyarakat menggunakan air pancuran untuk air minum, mandi, dan mencuci. mereka membangun WC umum yang masih tradisional yang disebut jumleng, yaitu WC yang dibangun di tempat terbuka, kotoran langsung masuk ke tanah tanpa disiram air. “...Simbok masih tidur saat aku beranjak ke pancuran di belakang rumah. Didekatnya ada jumbleng. Siapa tahu sakitnya karena aku mau buang kotoran” (En, 2010:30).
4.3.1.3 Buruh Perempuan Terjadinya perbedaan pembagian upah ini tidak saja dimaklumi oleh buruh perempuan itu sendiri, tetapi juga tetap dipertahankan oleh Nyai Dimah dan beberapa pengusaha yang mempekerjakan buruh perempuan. Nyai Dimah adalah seorang perempuan yang memperkerjakan Simbok dan Sumarni sebagai buruh pengupas singkong ditempatnya. Nyai Dimah ikut mewariskan budaya patriarki yang memang sudah tertanam di dalam suatu budaya dan telah menjadi kebiasaan. Seperti kutipan yang tampak di bawah ini. Hari berganti hari, aku dan Simbok masih tetap mengupas singkong, diupahi dengan singkong. Alih-alih membeli entrok, uang sepeserpun belum pernah kuterima. Pernah suatu kali kuberanikan diri meminta upah uang kepada Nyai Dimah, tapi langsung ditolak oleh Nyai Dimah. Kata Nyai Dimah, ia tidak mampu mengupahi uang. Lagi pula di pasar ini semua buruh perempuan diupahi dengan bahan makanan. Dia menyuruhku bekerja di tempat lain jika tidak percaya.Nyai Dimah memang benar. Kepada siapa pun aku bekerja di pasar ini, aku akan diupahi dengan bahan makanan ...(En, 2010:29- 30).
Universitas Sumatera Utara
Masyarakat
patriarki
adalah
masyarakat
yang
menganut
sistem
berdasarkan pada kesepakatan laki-laki. Dalam suatu masyarakat tertentu perempuan termarginalisasikan dan dipinggirkan melalui pekerjaan domestik. Dalam pembagian upah pun perempuan selalu dipinggirkan seperti yang terjadi pada kutipan di atas bahwa perempuan selalu mendapatkan opresi yang dilakukan oleh kuasa patriarki tanpa memedulikan beban yang harus diterima oleh perempuan. Kuasa patriarki telah membedakan pembagian upah antara laki-laki dan perempuan membuat para perempuan, dalam hal ini Sumarni, mengalami pemiskinan ekonomi yang menyebabkan keterbatasan untuk mengembangkan kesejahteraannya sebagai manusia. Menurut Sunarijati hal tersebut terjadi karena dalam konsep patriaki, perempuan bukanlah pencari nafkah utama, melainkan pencari nafkah tambahan (2007: 31). Ketika ada perempuan yang bekerja, mereka tidak dibayar dengan uang karena adanya konsep patriarki tersebut. Sunarijati (2007: 31) menjelaskan bahwa perempuan merupakan manusia yang pasrah pada konsep patriarki, tidak ada perlawanan yang dilakukan oleh perempuan. Perempuan pada umumnya selalu menurut dan menerima apa yang terjadi dengan dirinya begitu saja tanpa menuntut haknya sebagai perempuan. Penjelasan Sunarijati dikuatkan dengan pendapat Suseno (2001: 142-143) yang mengatakan adanya konstruksi budaya Jawa yang mengatakan bahwa perempuan Jawa hendaknya bersikap sabar dan nrima. Sabar berarti mempunyai nafas panjang dalam kesadaran bahwa pada waktunya nasib baik pun akan tiba, sedangkan nrima memiliki arti bahwa orang dalam keadaan kecewa dan dalam
Universitas Sumatera Utara
kesulitan apapun bereaksi dengan rasional, tidak ambruk, dan juga tidak menentang secara percuma. Dengan kata lain, perempuan digambarkan sebagai makhluk yang lemah, yang hanya bisa bergantung di bawah kekuasaan laki-laki. Keadaan tersebut yang mengakibatkan munculnya ketidakadilan yang dialami oleh perempuan. Ketidakdilan gender terjadi karena adanya anggapan yang salah terhadap jenis kelamin dan gender. Di masyarakat luas selama ini terjadi pengukuhan pemahaman yang kurang tepat mengenai konsep gender. Yang disebut gender adalah suatu sifat yang melekat pada laki-laki dan perempuan yang dikonstruksikan secara sosial maupun kultural (Fakih, 2010: 8). Konsep gender yang melekat pada masyarakat. Entrok adalah adanya anggapan bahwa pekerjaan mengurus rumah tangga dan mengurus anak adalah pekerjaan perempuan. Secara tidak langsung perempuan dalam budaya patriarki diposisikan pada tugas-tugas domestik tersebut. Laki-laki, baik suami maupun anak tidak diperbolehkan ikut campur dalam pekerjaan domestik karena mereka memiliki tempat bekerja sendiri, yaitu tugas publik. Pembagian kerja antara perempuan dan laki-laki merupakan suatu pemahaman yang salah kaprah sebab perempuan juga dapat mengerjakan pekerjaan publik dan laki-laki pun dapat mengerjakan pekerjaan rumah tangga atau domestik. Bagi Sumarni, pekerjaan publik ternyata lebih menguntungkan daripada pekerjaan domestik dan hal inilah yang menyebabkan perempuan menjadi inferior dan laki-laki menjadi superior.
Universitas Sumatera Utara
Memang benar, di pasar tidak ada perempuan yang nguli, pekerjaan berat mengunakan tenaga besar. Buruh perempuan mengerjakan pekerjaan yang halus dan enteng, seperti mengupas singkong,menumbuk padi, atau menumbuk kopi. Tetapi jika ditelusuri lebih jauh, begitu buruh-buruh perempuan itu sampai di rumah, mereka harus mengerjakan semua pekerjaan yang ada, mengambil air dari sumbernya dengan menempuh perjalanan naik-turun. “...Berat satu jun yang berisi penuh air sama saja dengan satu goni berisi singkong. Tidak ada laki-laki yang mengambil air, katanya itu urusan perempuan. Ya jelas lebih enak nguli daripada ngambil air. Nguli diupahi duit, sementara mengambil air tidak pernah dapat apaapa.” (En, 2010: 37). Pembagian kerja itu terjadi karena adanya konstruksi budaya patriarki yang menciptakan pembagian kelas antara laki-laki dan perempuan. Perempuan dianggap hanya mampu mengerjakan pekerjaan domestik. Jika ada perempuan yang melakukan pekerjaan publik, ia akan menerima penolakan dari masyarakat. Pembagian kerja sebenarnya bukanlah kodrat dari Tuhan, melainkan konstruksi budaya patriarki yang telah mendarah daging. Lebih dari itu, masyarakat beranggapan bahwa jenis kelamin perempuan memiliki semacam kelas tersendiri dalam pelapisan sosial. Lebih tegas, Worsley (SugihastutiSuharto, 2010: 208) menjelaskan tentang adanya pembagian kelas antara laki-laki dan perempuan. Perempuan di masyarakat patriarki merupakan kelas yang lebih rendah dari pada laki-laki. Adanya anggapan itu, membuat perempuan tidak dapat bekerja di luar dari pekerjaan domestik. Kalaupun ada perempuan yang bekerja di
Universitas Sumatera Utara
luar pekerjaan domestik, hanya pekerjaan publik yang ringan dan mudah saja yang dapat dilakukan oleh perempuan. Ketidakadilan yang muncul dalam Entrok terjadi dalam berbagai aspek kehidupan. Karena distereotipekan sebagai makhluk yang lemah, perempuan dikontrol sedemikian rupa oleh anggota keluarganya. Hal ini dapat dilihat ketika tokoh Sumarni yang memiliki pemikiran bahwa bekerja di ranah domestik tidaklah seenak bekerja di ranah publik. Kalau dilihat dalam porsi pembagian kerja, seharusnya perempuan mendapatkan upah yang lebih besar daripada lakilaki. Karena sebenarnya perempuan dapat mengerjakan kedua pekerjaan tersebut, baik pekerjaan di ranah domestik ataupun di ranah publik. Namun, karena adanya konstruksi yang menjadikan perempuan hanya sebagai pelengkap dari laki-laki, maka perempuan tidak dapat berbuat banyak hal selain menerima konstruksi tersebut. “...Aku dan Simbok bukan satu-satunya orang yang menyusuri jalanan pagi ini. Di depan kami, di belakang, juga di samping, perempuan-perempuan menggendong tenggok menuju Pasar Ngranget. Kami semua seperti kerbau yang dihela di pagi buta, menuju sumber kehidupan.” (En, 2010: 22)
4.3.1.4 Rezim Orde Baru Orde Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto yang menggantikan Orde Lama atau masa pemerintahan Presiden Soekarno. Orde Baru berlangsung dari tahun 1966–1998. Dalam jangka waktu tersebut banyak peristiwa yang terjadi mengisi lembar-lembar sejarah Orde Baru. Pada masa Orde Baru kekuasaan sering digunakan sebagai senjata untuk mendapatkan uang. Tidak
Universitas Sumatera Utara
hanya Presiden dan pejabat tinggi negara, orang-orang yang mempunyai jabatan di daerah pun memanfaatkan kedudukan mereka untuk memperkaya diri sehingga terjadi praktik penyalahgunaan kekuasaan yang berujung dengan korupsi. Bahkan aparat keamanan yang seharusnya bertugas untuk melindungi, ikut melakukan praktik penyalahgunaan kekuasaan dengan cara memeras uang rakyat dengan dalih sebagai uang keamanan. Realitas sosial termuat dalam novel Entrok karya Okky Madasari. Pengarang mengambil fakta sejarah pada zaman Orde Baru di Indonesa pada era tahun 1950–1999 sebagai latar dalam novelnya. Dalam novel ini, pengarang menggambarkan kejadian-kejadian yang terjadi pada masa Orde Baru dengan teknik penceritaan tertentu yang menyebabkan pembaca dapat merasakan kejadian yang terjadi pada masa Orde Baru. Isi novelnya mempunyai kedekatan dengan fakta sejarah, yaitu masa Orde Baru. Banyak peristiwa yang terjadi pada masa Orde Baru diangkat dalam novel Entrok, misalnya peristiwa pemboman stupa di Borobudur, kemenangan partai kuning (Golkar) pada pemilu awal di Indonesia, dan praktik-praktik pemerasan oleh tentara terhadap rakyat kecil yang tidak mempunyai kekuasaan. Novel ini memang memiliki nilai dokumenter khususnya dalam ranah politik. Dengan mudah ketika membaca Entrok kita akan menemukan kronik dari berbagai peristiwa politik yang terjadi di tahun 1950-1999. Misalnya soal Pemilu yang mengharuskan pemilih untuk memilih lambang tertentu, peristiwa peledakan candi Borobudur, petrus (pembunuhan misterius), polemik waduk kedungombo,
Universitas Sumatera Utara
dan lain-lain. Ini mengingatkan akan sejarah dan peristiwa sosial dan politik masa lampau yang mungkin nyaris dilupakan. Salah satu contoh adalah kisah penggusuran sebuah kampung untuk dijadikan proyek bendungan. Walau tak disebutkan secara jelas kisah ini akan mengingatkan kita akan waduk Kedungombo. Di kisah ini akan terlihat dengan jelas bagaimana lagi-lagi tentara dikerahkan untuk menekan penduduk desa yang hendak mempertahankan tanahnya agar mau pindah. Cap sebagai kampung PKI kembali menjadi senjata ampuh untuk menakut-nakuti masyarakat agar mau pindah”. Hal ini tergambar dalam novel seperti kutipan berikut: “Pak Kyai, sampeyan dengar apa kata orang ini? Mereka semua yang ada di sini sudah jadi pembangkang. Semuanya sudah jadi orangorang komunis. Sampeyan ada di sini dan tidak melakukan apa-apa?” “Aku tidak ada urusan dengan hal seperti itu. Kami di sini hanya mau mendidik anak-anak. Titik.” “Mun, sekarang semuanya terserah kowe. Yang jelas, minggu depan ini giliran desamu yang dikeruk. Mesin-mesin keruk akan m engangkat tubuh kalian semua. Kowe akan mati tertimbun tanah sendiri. Atau kalau untung, bisa jadi kalian selamat. Tapi hari in seluruh pasukan akan ada di daerah ini. Kalian semua akan tertangkap. Seumur hidup masuk penjara bersamaorang-orang PKI itu. Kalian semua sudah jadi PKI.” (En, 2010: 226) Pemboman candi Borobudur yang dilakukan seorang habib yang buta yag kemudian ditangkap dalam bus di Probolinggo (laporan utamanya ada di Tempo edisi Maret 1985). Juga Kedung Ombo (Kyai yag dimaksud di sini kemungkinan besar adalah mengambil ego Romo Mangun yang menyusup tengah malam ke Kedung dengan beberapa aktivis dan menyamar sebagai guru sekolah membawa peralatan tulis, baca di bunga rampai 70 tahun Romo Mangun terbitan Pustaka Pelajar, 1995). Juga beberapa preman yang mati, adalah latar peristiwa Petrus (penembakan misterius).
Universitas Sumatera Utara
Selain latar tempat dan sosial budaya, latar politik menjadi keadaan sosial yang secara langsung maupun tidak langsung mampu mempengaruhi pola pikir tokoh utama dalam bentuk pandangan hidup. Latar politik dalam teks dapat dibagi ke dalam tiga zaman pemerintahan yang berbeda, yaitu zaman Orde Lama (1950– 1959), zaman Orde Baru (1966–1989), dan awal-awal Reformasi (1999). Peristiwa dalam novel ini tidak terlalu vulgar menceritakan tentang bentuk pemerintahan Orde Lama itu sendiri, tetapi hanya bermain di wilayah efek yang ditimbulkan. Memasuki tahun 1970-an, ditandai pula dengan pergantian bentuk pemerintahan dari Orde Lama ke Orde Baru. Pada zaman peralihan ini kemiskinan tetap menjadi kondisi yang sulit diatasi. Selain itu, efek yang ditimbulkan oleh kebijakan pemerintah sangat dirasakan oleh Sumarni dan Rahayu. Pada masa ini, kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh oknum penguasa terhadap rakyat biasa menjadi gambaran yang sering ditonjolkan dalam beberapa peristiwa. Kondisi lain yang menyaran pada kondisi zaman Orde Baru adalah kesewenang-wenangan dalam hal hukum. Hukum tidak ditegakkan secara benar. Seseorang bisa dihukum hanya karena ia adalah seorang Tionghoa yang masih rajin ke kelenteng, seperti yang dialami oleh Koh Cahyadi. Walaupun kebencian terhadap keturunan Tionghoa oleh keturunan pribumi di Indonesia berawal di era Hindia Belanda, Orde Baru menghasut terciptanya undang-undang anti-China menyusul usahanya menghapuskan total faham komunisme (karena negara China menganut faham komunisme). Walaupun stereotip negatif bahwa orang "Tjina" (istilah untuk Tionghoa-Indonesia kala itu)
Universitas Sumatera Utara
adalah kaya dan serakah adalah umum di saat itu, adanya histeria anti-komunisme setelah peristiwa G30S dan hubungan orang Tionghoa-Indonesia dengan Republik Rakyat Tiongkok memperparah keadaan dengan menyebabkan adanya pandangan bahwa orang Tionghoa juga termasuk kolom kelima (simpatisan rahasia) komunis. Hubungan diplomatik Indonesia dengan China diputus dan Kedutaan Besar China di Jakarta dibakar oleh massa. Undang-undang baru yang mendiskriminasi etnis Tionghoa-Indonesia dalam masa Orde Baru ini termasuk pelarangan tanda-tanda Aksara Tionghoa pada toko-toko dan bangunan lain, penutupan sekolah bahasa Cina, pengadopsian nama yang terdengar "Indonesia", termasuk pembatasan pembangunan wihara Buddha. Masa pemerintahan Orde Baru selanjutnya terus diwarnai dengan kerusuhan yang diwarnai sentimensentimen serupa. Kesewenang-wewenangan oknum penguasa dapat dilihat dari beberapa peristiwa seperti sekelompok orang yang sedang main kartu ditangkat oleh petugas. Saat mereka diinterogasi di kantor Koramil, salah seorang dari mereka buang angin, kemudian mereka dihukum dengan direndam dan disiksa di kali Manggis. Dengan dalih uang keamanan, Sumarni harus menyetor sebagain keuntungan dari hasil jualannya kepada para tentara setiap dua minggu sekali. Koh Cahyadi yang dicap sebagai PKI bersembunyi di rumah Sumarni, ketika tertangkap, Sumarni juga ikut terseret dalam kasus tersebut. Sumarni dituduh telah menyembunyikan tawanan politik. Karena tidak ingin masuk penjara, Sumarni harus merelakan satu hektar sawahnya untuk para tentara tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Peristiwa lain adalah ketika Marni berseteru dengan istri simpanan Teja. Pada peringatan seratus hari wafatnya Teja, datang seorang perempuan dengan seorang anak ke rumah Marni mengaku sebagai istri Teja dan anaknya. Mereka meminta harta warisan supaya dibagi dua. Dia minta bantuan kepada Komandan Sumadi. Sumadi meminta seperempat dari harta Marni. Marni menyerah, daripada dia harus kehilangan setengah hartanya. Seperti kutipan berikut, “...Masalah Endang Sulastri telah selesai. Sesuai janjiku, seperempat hartaku menjadi milik Sumadi.Ya, komandan itu menjadi kaya mendadak. Setelah mendapat satu hektar sawahku, sekarang dia mendapat lagi tanah dan setumpuk kayu jati, yang nilainya sama dengan seperempat dari yang kupunyai” (En, 2010:199). Firdaus (2005:27) mengatakan bahwa pemerintahan Orde Baru terlihat lebih mementingkan kelompok atau golongan tertentu tanpa memperhatikan nasib rakyat. Undang-undang yang responsive dibuat menjadi konservatif. Dengan demikian dalam pelaksanaannya sering terjadi permasalahan dan pertikaian, terutama dalam masalah pembebasan tanah yang nyata-nyata tidak proporsional dan merugikan rakyat. Likuidasi dan pelarangan Partai Komunis Indonesia (dan organisasi terkaitnya) telah menghilangkan salah satu partai politik terbesar di Indonesia. PKI juga merupakan salah satu Partai Komunis terbesar di Komintern, dengan sekitar 3 juta anggota. Seiring dengan upaya berikutnya oleh Soeharto untuk merebut kekuasaan dari Soekarno dengan membersihkan para loyalis Soekarno dari parlemen, pemerintahan sipil di Indonesia secara efektif telah berakhir.
Universitas Sumatera Utara
Faham anti-komunisme kemudian menjadi ciri khas rezim Orde Baru Soeharto dalam 32 tahun selanjutnya. Sejumlah kursi di parlemen Indonesia disisihkan untuk personil militer sebagai bagian dari doktrin "dwifungsi" (fungsi ganda). Di bawah sistem ini, militer mengambil peran sebagai administrator di semua tingkat pemerintahan. Partai-partai politik yang tersisa setelah pembersihan politik kemudian dikonsolidasikan menjadi sebuah partai tunggal, Partai Golongan Karya ("Golkar"). Walaupun Soeharto mengizinkan pembentukan dua partai non-Golkar, (PDI dan PPP) kedua partai ini dibuat supaya tetap lemah selama rezimnya berkuasa. Selain zaman Orde Lama dan Orde Baru, novel ini juga mengambil latar pada awal-awal Reformasi. Kondisi yang mencolok pada zaman ini adalah adanya perubahan perlakuan pemerintah terhadap orang-orang yang dulu (pada zaman Orde Baru) menyandang gelar PKI atau mantan tahanan politik (tapol). Kondisi itu memberikan perubahan pula pada tokoh Rahayu sebagai mantan tahanan politik dengan cap PKI. Sebagai mantan tahanan politik, ia menjadi terkucilkan dari pergaulan masyarakat. Puncaknya adalah ketika ia gagal menikah hanya garagara cap ET (Eks Tahanan Politik) yang tertera di KTP-nya dan Rahayu lansung dicap PKI. Hal itulah yang membuat tokoh Sumarni terguncang jiwanya dan akhirnya menjadi gila. Berikut ini peristiwa-peristiwa realitas sosial yang terlibat langsung dalam perceritaan novel Entrok.
Universitas Sumatera Utara
No.
Peristiwa Sejarah
Tempat Terjadi
Tahun Terjadi
1.
Pemboman Candi Borobudur
2.
Pemilihan
Umum
dimenangkan
Jawa Tengah
1985
yang Seluruh Indonesia
oleh
1970-1995
partai
Golkar 3.
Pemutusan
hubungan Seluruh Indonesia
1970
diplomatik dengan Cina 4.
Pengucilan terhadap PKI
Seluruh Indonesia
1970-1999
5.
Pembunuhan misterius
Seluruh Indonesia
1983
6.
Polemik
waduk
Kedung Magelang
1987
Ombo
Tabel 4.10 Peristiwa Sejarah yang Terjadi pada Masa Orde Baru dalam Novel Entrok
4.3.2 Realitas Sosial Novel 86 4.3.2.1 Praktik Suap Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, suap diartikan sebagai pemberian dalam bentuk uang atau uang sogok kepada pegawai negeri. Suap adalah suatu tindakan dengan memberikan sejumlah uang atau barang atau perjanjian khusus kepada seseorang yang mempunyai otoritas atau yang dipercaya. Suap dalam berbagai bentuk, banyak dilakukan di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Bentuk suap antara lain dapat berupa pemberian barang, uang sogok dan lain
Universitas Sumatera Utara
sebagainya. Adapun tujuan suap adalah untuk mempengaruhi pengambilan keputusan dari orang atau pegawai atau pejabat yang disuap. Suap adalah pemberian yang diharamkan syariat, dan ia termasuk pemasukan yang haram dan kotor. Suap ketika memberinya tentu dengan syarat yang tidak sesuai dengan hukum atau syariat, baik syarat tersebut disampaikan secara langsung maupun secara tidak langsung. Suap diberikan untuk mencari muka dan mempermudah dalam hal yang batil. Suap pemberiannya dilakukan secara sembunyi, dibangun berdasarkan saling tuntut-menuntut, biasanya diberikan dengan berat hati. Suap biasanya diberikan sebelum pekerjaan. Adapun pemberian suap ini dilakukan melalui tiga cara, yaitu : a)
Uang dibayar setelah selesai keperluan dengan sempurna, dengan hati senang, tanpa penundaan pemalsuan, penambahan atau pengurangan, atau pengutamaan seseorang atas yang lainnya.
b)
Uang dibayar melalui permintaan, baik langsung maupun dengan isyarat atau dengan berbagai macam cara lainnya yang dapat dipahami bahwa si pemberi menginginkan sesuatu.
c)
Uang dibayar sebagai hasil dari selesainya pekerjaan resmi yang ditentukan si pemberi uang. Penguasa, pegawai negeri, atau pejabat negara yang memberikan uang
kepada rakyat atau tokoh masyarakat untuk memutuskan menentukan pilihan dalam Pilkada, Pilgub dan Pilpres yang sering disebut money politics juga termasuk kategori suap. Selain itu, setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara
juga dianggap sebagai
pemberian suap,
apabila
Universitas Sumatera Utara
berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban dan tugasnya. Penyuap adalah orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan dan wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut. Selain itu seseorang dianggap sebagai pemberi suap apabila memberi atau menjajikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili. Setiap orang yang menerima hadiah atau janji dengan maksud untuk melakukan sesuatu bagi si pemberi suap yang bertentangan dengan kewajibannya, baik permintaan itu dilaksanakan ataupun tidak dilaksanakan, atau menyukseskan perkaranya dengan mengalahkan lawannya sesuai dengan yang diinginkan atau memberikan peluang kepadanya (seperti tender) atau menyingkirkan musuhnya adalah penerima suap. Dengan demikian dapat dipahami bahwa orang yang menerima suap adalah orang yang memberikan rekomendasi bagi orang lain setelah orang itu memberikan sesuatu kepadanya. Baik orang yang memberi ataupun yang menerima suap, sama-sama mendapatkan hukuman karena dengan melakukan suap tersebut kedua belah pihak telah merugikan pihak lain. Definisi suap di dalam Undang-undang No. 11 tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap Pasal (2) Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang dengan maksud untuk membujuk supaya orang itu berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya, yang berlawanan dengan kewenangan atau kewajibannya yang menyangkut kepentingan umum, Pasal (3) Menerima sesuatu atau janji, sedangkan ia mengetahui atau patut dapat menduga bahwa pemberian sesuatu atau janji itu dimaksudkan
Universitas Sumatera Utara
supaya ia berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya, yang berlawanan dengan kewenangan atau kewajibannya yang menyangkut kepentingan umum. Dalam arti yang lebih luas suap tidak hanya dalam uang saja, tetapi dapat berupa pemberian barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan Cuma-Cuma dan fasilitas lainnya yang diberikan kepada pegawai negeri atau pejabat negara yang pemberian tersebut dianggap ada hubungan dengan jabatanya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya sebagai pegawai negeri atau pejabat negara. Perbuatan suap dilakukan oleh seorang kepada pihak lain baik pegawai negeri,
pejabat
negara
maupun
kepada
pihak
lain
yang
mempunyai
kewenangan/pengaruh. Pemberi suap memperoleh hak-hak, kemudahan atau fasilitas tertentu. Perbuatan suap pada hakekatnya bertentangan dengan norma sosial, agama dan moral. Selain itu juga bertentangan dengan kepentingan umum serta menimbulkan kerugian masyarakat dan membahayakan keselamatan negara. Akan tetapi, kenyataanya banyak perbuatan yang mengandung unsur suap belum ditetapkan sebagai perbuatan pidana, misalnya pemilihan perangkat desa, penyuapan dalam pertandingan olahraga, dan lain sebagainya. Batasan untuk kepentingan umum ditegaskan dalam pasal 2, pasal 3 serta paragraf ke 3 Undang-Undang No 11 tahun 1980 tentang suap, termasuk untuk kepentingan umum kewenangan dan kewajiban yang ditentukan oleh kode etik profesi atau yang ditentukan oleh organisasi masing-masing. Aturan yang menunjuk adanya kekhususan, sebagaimana terdapat dalam perumusan ancaman pidana yang menggunkan perumusan kumulatif ancaman pidana penjara dan
Universitas Sumatera Utara
denda. Ex: ps 2 UU No 11 thn 1980 ( diperuntukan bagi pesuap aktif ), ps 3 undang-undang No 11 tahun 1980 (diperuntukan bagi pesuap fasif) Penyogokan atau praktik suap terekam dengan jelas dalam novel 86. Judul 86 memang teramat singkat, namun di kalangan aparat, sandi 86 sudah begitu populer. Artinya kurang lebihnya adalah "tahu sama tahu". Dalam novel itu, Okky mengisahkan gambaran suap kepada panitera, hakim, petugas Rumah Tahanan Negara (Rutan) ataupun Lembaga Pemasyarakatan (Lapas), pengacara, juga berbagai korupsi-korupsi kecil-kecilan dalam keseharian. Menurut Okky, novel ini memang novel fiksi, tapi berdasarkan riset. Bisa dikatakan sebagai perekam potret kenyataan, tetapi juga tidak bisa dikatakan sepenuhnya sebagai kisah nyata. Riset dilakukan Okky saat masih menekuni profesi sebagai jurnalis hukum pada sebuah media cetak di Jakarta. Dari pengamatannya di lapangan yang digelutinya setiap hari itulah lahir ide awal novel 86. Dalam novel tersebut, Okky menggambarkan praktik-praktik korupsi di dalam pelayanan publik, sistem peradilan, dan lembaga pemasyarakatan. Riset dan bahan-bahan penulisan novel ini, dikumpulkannya selama dua tahun meliput di bidang hukum. Praktik suap dapat dilihat dari beberapa peristiwa seperti peristiwa sebelum tertangkapnya Bu Danti dan Arimbi. Bu Danti sebagai ketua panitera pengadilan, menyuruh Arimbi menemui Rudi dan Sasmita, pengacara terdakwa kasus korupsi di sebuah restoran. Sasmita memberikan sebuah koper kepada Arimbi yang berisi uang dua milyar hendak menyogok tiga orang hakim untuk memenangkan perkara kliennya. Bu Danti menghubungkan dengan tiga orang
Universitas Sumatera Utara
hakim pemutus perkara. Masing-masing hakim meminta lima ratus juta. Sisanya komisi buat Bu Danti. Bu Danti akan memberi Arimbi lima puluh juta. Widodo menyogok saat menjadi pegawai negeri, juga merupakan kasus suap. Hal ini diketahui melalui pembicaraan antara Arimbi dengan sahabat lamanya yaitu Narno. Mereka membicarakan Widodo, teman mereka waktu SD. Widodo sudah menjadi pamong desa dengan membayar empat puluh juta. Hal ini juga senada dengan perkataan Pak Lurah yang menginginkan anaknya menjadi pegawai negeri di kantor Arimbi. pak Lurah sudah menyiapkan uang seratus juta untuk menyogok agar anaknyayang sarjana hukum bisa bekerja di kantor pengadilan. Anak Pak Lurah yang nomor satu, lulusan SMA, juga menyogok untuk bekerja di Pemda sebesar lima puluh juta. Bu Danti mendapat perlakuan yang istimewa di sel tahanan dan di dalam penjara karena dia menyuap para petugas lapas. Bu Danti memesan kamar di lantai atas lengkap dengan dapur, kamar mandi, televisi, dan AC. Kamar mandi itu dibuat setelah Bu Danti menempati ruangan itu. Cik Aling dapat melakukan transaksi jual beli narkoba di dalam penjara juga karena dia menyuap para sipir dan kepala lapas. Cik Aling bisa dengan bebas memasukkan bahan baku pembuatan narkoba dan meraciknya di penjara. Setelah dikemas, barang tersebut siap diedarkan baik di dalam penjara maupun di luar penjara dengan bantuan para sipir yang memberi kemudahan kepada Cik Aling. Setelah dua tahun Arimbi di penjara, dia mendapat keringanan hukuman. Seorang sipir penjara menjanjikan kebebasan Arimbi, jika mau membayar lima
Universitas Sumatera Utara
belas juta. Arimbi menyanggupi. Dia memberikan uang suap tersebut kepada sipir penjara dan Arimbi bisa keluar dari penjara sekitar bulan Desember. Praktik suap kecil-kecilan dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari yang dilakukan oleh Bu Danti, Arimbi, dan Anisa. Para pengacara memberikan uang sebagai upah kepada Bu Danti karena telah mengeluarkan amar putusan hakim. Arimbi dan Anisa sebagai juru ketik, mendapat bagian dari Bu Danti sebagai upah ketik. Arimbi pernah mendapat AC sebagai upahnya. Sejak itu, Arimbi sering mendapat tambahan uang saku dari para pengacara yang mengurus amar putusan hakim kepadanya. Begitu juga dengan Anisa, bahkan Anisa bisa membeli mobil dan rumah yang mewah dari hasil suap yang diterimanya dari para pengacara. Sebelum menikah, Ananta mengajak Arimbi ke kampungnya. Mereka naik kereta api. Ananta sengaja tidak membeli karcis. Saat petugas pemeriksa karcis datang, Ananta segera menyodorkan beberapa lembar uang puluhan ribu. Ananta hanya membayar setengah dari harga karcis yang sesungguhnya. Karena sudah membayar, Ananta dan Arimbi aman di kereta itu. Mereka tidak diturunkan di stasiun terdekat. Peristiwa ini termasuk juga perbuatan menyuap petugas. Ketika sepasang suami istri yang membawa seorang bayi yang tidak mempunyai uang untuk membayar, mereka akan diturunkan di stasiun terdekat. Ananta merasa kasihan dengan orang tersebut, lalu dia memberikan beberapa lembar uang puluhan ribu kepada petugas sebagai uang sogok, sehingga mereka tidak jadi diturunkan. Peristiwa lain adalah peristiwa perkawinan Arimbi dengan Ananta. Ananta tidak membawa surat keterangan dari kepala desanya untuk menumpang nikah di
Universitas Sumatera Utara
desa Arimbi. Dengan memberikan uang sebesar tiga ratus ribu rupiah kepada pamong desa dan petugas KUA, pernikahan Arimbi dapat dilaksanakan dengan baik. Padahal, biasanya biayanya hanya seratus lima puluh ribu rupiah. Dengan membayar dua kali lipat surat numpang nikah bisa dihadirkan. Jadi, Arimbi memberi suap kepada pamong desa sebesar seratus lima puluh ribu rupiah. Suap kecil-kecilan juga dapat dilihat dari peristiwa Ananta berjunjung ke penjara. Setiap kali melewati pintu penjaga, Ananta harus mengeluarkan uang sebagai sogokan kepada penjaga. Jika tidak diberi uang, maka Ananta tidak diperkenankan masuk menemui Arimbi. hal ini juga berlaku pada pengunjung lainnya yang akan memasuki ruang besuk penjara. Novel 86 pernah dibedah di Universitas Paramadina, Jakarta. Hakim PN Jaksel Albertina Ho yang namanya mencuat ketika menyidangkan kasus Gayus Tambunan, ikut hadir sebagai pembahas. Menurutnya, tokoh utama dalam novel karya Okky itu menjadi semacam pesan khususnya bagi orang-orang di PN Jaksel. ”Novel ini justru memberi tahu kami orang-orang di dalam, yang justru malah seringkali tidak tahu apa-apa karena saling merasa tak enak satu sama lain.” kata Albertina. Menurutnya, novel itu mempermudah orang memahami gambaran tentang praktik kotor di lembaga peradilan. Namun Albertina tetap menyodorkan keraguan. ”Yang menjadi pertanyaan kita semua sekarang, benarkah seburuk itu sistem peradilan kita?” tanyanya. Sebab menurut Albertina, yang harus dikritisi tidak hanya hakim dan orang-orang yang berada dalam sistem, tapi juga orang
Universitas Sumatera Utara
yang mau menyuap. ”Dalam novel ini kita lihat sendiri, bagaimana pengacara dan orang-orang berperkara yang mencari-cari cara menyuap.” Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Febri Diansyah yang juga hadir sebagai pembahas novel mengatakan, tulisan Okky merupakan catatan penting dalam pemberantasan korupsi. ”Ada korupsi sehari-hari yang sederhana, hingga korupsi-korupsi besar berupa suap hakim," ujar Febri. ”Di sini terlihat sekali bagaimana orang yang susah payah ditangkap dan dihukum KPK masih mendapat pelayanan enak di LP,” imbuhnya. Dikatakannya pula, novel merupakan cara alternatif untuk mendidik dan mencegah orang korupsi. ”Banyak buku-buku penelitian dan teks tentang korupsi. Tapi itu akan sulit dibaca orang. Novel bisa lebih mudah dipahami,” ulasnya.
4.3.2.2 Peredaran Narkoba di Penjara Peredaran narkoba tidak hanya dilakukan di lingkungan masyarakat, tetapi juga dari balik penjara. Tidak sedikit pengedar yang masih beroperasi kendati sedang menjalani hukuman di balik penjara. Badan Narkotika Nasional (BNN) mendeteksi, sekitar 60 persen peredaran narkoba di Indonesia ternyata dikendalikan dari balik “hotel prodeo”. Sesuai data BNN, setiap tahun hampir pasti ada pengungkapan peredaran narkotika dari balik penjara. Misalnya, pada 2012 ada tujuh narapidana Nusakambangan yang terbukti menjadi otak peredaran narkotika 3,9 kg di Depok. Hal yang sama dilakukan oleh Cik Aling melalui novel 86. Cik Aling mengendalikan peredaran narkoba dari dalam penjara dengan dibantu oleh para
Universitas Sumatera Utara
sipir dan orang-orang kepercayaan Cik Aling. Penggambaran yang ada di dalam novel itu pada sesungguhnya adalah relaitas sosial yang ada di alam nyata, seperti beberapa peristiwa berikut. Pada 2013 seorang terpidana berinisial FI alias JF yang mendekam di Lapas Kembang Kuning, Nusakambangan, juga terbukti menyuruh seorang kurir berinisial BL untuk mendistribusikan sabu-sabu dan heroin di DKI Jakarta. Barang bukti yang diambil dari BL adalah 190 gram sabu-sabu dan 0,4 gram heroin. Tahun lalu atau 2014 terungkap pengendalian peredaran narkotika dari penjara yang lebih besar. Dua terpidana dari Lapas Pontianak bernama Jacky Chandra dan Koei Yiong alias Memey terbukti menyuruh kurir bernama Nuraini untuk menyelundupkan 5 kg sabu- sabu dari Malaysia ke Indonesia. Humas BNN AKBP Slamet Pribadi menjelaskan, yang paling baru adalah kasus Sylvester Obiekwe yang menyuruh kurir bernama Dewi yang ke dapatan membawa 7.622 gram sabu-sabu. Namun, semua pengungkapan itu belum seberapa. Pasalnya, BNN mendapati angka 60 persen peredaran narkotika dikendalikan dari penjara itu karena memang sekarang sedang memantau. Menurut Slamet Pribadi, cara pengendalian penjualan narkoba setiap pengedar hampir sama. Dengan menggunakan alat komunikasi, pengedar menghubungi setiap jaringannya. Mulai kurir hingga bos narkoba. Mereka berupaya mengungkap peredaran narkotik dari hulu hingga hilir. Yang lebih mengkhawatirkan, sebenarnya penjara juga menjadi tempat perekrutan bagi pengedar baru narkoba. Salah satu modusnya, pengedar lama
Universitas Sumatera Utara
menjerat para pengguna narkoba yang lagi meringkuk di tahanan. Pengedar tersebut memberikan bantuan uang kepada pengguna itu. Lalu, setelah bebas, pengguna tersebut menjadi kaki tangan pengedar yang masih berada di dalam penjara. Mereka menjerat dengan hutang. Modus yang sama yang dilakukan oleh Tuti terhadap Arimbi dalam novel 86. Tuti menjerat Arimbi dengan minjamkan uang. Arimbi membutuhkan uang untuk biaya ibunya yang menderita penyakit ginjal. Setiap dua minggu sekali ibunya harus cuci darah. Mula-mula Tuti meminjamkan uangnya kepada Arimbi. Tuti memahami benar bahwa Arimbi membutuhkan uang setiap bulan untuk biaya cuci darah ibunya, akhirnya Tuti memperkenalkan Arimbi kepada Cik Aling. Cik Aling adalah bandar narkoba yang berada di dalam penjara. Dia mengedarkan narkoba dari balik penjara dengan bantuan aparat dan kurir. Arimbi yang terikat dengan kebutuhan untuk pengobatan ibunya, akhirnya menyetujui untuk mengedarkan narkoba melalui sumainya, Ananta. Awalnya, Ananta menolak. Namun, karena dibujuk oleh Arimbi, tuntutan kebutuhan hidup yang meningkat, dan bakti kepada orang tua, akhirnya Ananta bersedia. Anata menjadi kurir dalam peredaran narkoba. Pertama-tama, dia hanya mengantar pesanan di kawasan kota Jakarta saja, namun kemudian dia juga mengantar pesanan sampai ke Surabaya dan Bali. Dengan modus untuk memenuhi kebutuhan, mereka terjerat dalam jaringan pengedaran narkotika. Ada juga cara lain yang baru terungkap. Yaitu, pengedar yang memiliki alat komunikasi (HP) berkenalan dengan orang lain melalui media sosial. Kenalan
Universitas Sumatera Utara
tersebut dimintai bantuan untuk mengedarkan narkoba. ”Semua ini harus dihentikan,” tegasnya. Pengedar yang masih mengendalikan peredaran narkoba itu menyebar hampir di semua penjara Indonesia. BNN belum bisa mengungkapkan penjara mana saja yang terpidananya masih menjalankan bisnis haram tersebut. Kalau penjaranya diungkap, tentu para pengedar di balik penjara lebih waspada dan bisa menghilangkan bukti-bukti yang sudah diketahui BNN.
Jumlah penjara se-
Indonesia sekitar 365. BNN berjanji akan mengungkap semuanya satu per satu. BNN tidak sendirian dalam mengungkap pengedar narkoba dari balik penjara. Banyak sipir yang membantu dengan memberikan informasi. Tentunya para sipir ini yang benar-benar mengetahui kondisi di dalam penjara. Sementara itu, Kepala BNN Komjen Anang Iskandar menuturkan, para pengedar juga memandang bahwa penjara merupakan tempat bisnis yang menggiurkan. Sebab, para pengguna sudah jelas ada di sana, makanya, penjara itu juga disasar untuk bisnis mereka. Pernah suatu kali di salah satu penjara di Jakarta terdapat kepala lapas yang sangat protektif dan tegas. Narkoba tidak bisa beredar di lapas tersebut. Hasilnya, suatu kali ada 150 napi kasus narkoba yang sakau atau ketagihan. Hal ini tentu membuat penjara itu menjadi sangat gaduh. Sedemikian beratnya upaya menghentikan peredaran narkotik ini. Vonis mati Pengadilan Negeri (PN) Tangerang pada 11 September 2004 tidak membuat Silvester Obiekwe alias Mustofa, 50, tobat. Meski berada di dalam sel di Lapas Nusakambangan, warga negara Nigeria itu tetap bisa mengendalikan peredaran narkoba dari balik jeruji besi. Rekam jejak kejahatan Mustofa di dunia
Universitas Sumatera Utara
narkoba cukup mencengangkan. Dia kali pertama ditangkap pada 2004 karena menyelundupkan 1,2 kilogram (kg) heroin ke Indonesia. Dia pun divonis hukuman mati. Selama menunggu eksekusi, dia dikirim ke LP Pasir Putih, Nusakambangan, Jawa Tengah. Bukannya memperbaiki diri, dia malah semakin menjadi-jadi. Pada 2012, aparat Badan Narkotika Nasional (BNN) membongkar penyelundupan 2,4 kg sabu-sabu (SS) dari Papua Nugini. Kurir tersebut ditangkap. Di antaranya, Imam dan Mulyadi. Ternyata, mereka adalah kaki tangan Mustofa. Pada 2014, Mustofa kembali dijemput aparat BNN karena disebut sebagai otak penyelundupan 6,5 kg sabu-sabu di Tanjung Perak, Surabaya. Dua kurirnya, Alex dan Niko, dibekuk. BNN menangkap kurir jaringan Mustofa, yakni perempuan bernama Dewi, dengan barang bukti 7.622 gram sabu-sabu. Kepala BNN Komjen Pol Anang Iskandar menyatakan, meski terdakwa sudah divonis mati, tiga kasus terakhir tetap diproses. Misalnya, kasus pada 2012 dan 2014, berkas Silvester sudah P-21 alias lengkap. Namun, sampai saat ini, dua kasus tersebut belum disidangkan, mungkin karena terdakwa sudah divonis maksimal pada 2004. Petugas BNN menjemput Andi dan Silvester yang mendekam di blok A1 16. Mereka kemudian dibawa ke BNN pusat Jumat (30/1). Dari sel tahanan, aparat menyita sebuah ponsel dan peranti penguat sinyal. Dua alat itu digunakan tersangka untuk berkomunikasi dengan kurir di luar penjara. Sementara itu, Kasubdit Komunikasi Dirjen Pemasyarakatan Akbar Hadi menuturkan, pihaknya mendukung upaya BNN dalam menindak bandar yang masih bermain meski
Universitas Sumatera Utara
dalam masa tahanan. Dia menjelaskan masih ada kelemahan di rumah tahanan (rutan) atau lembaga pemasyarakatan di Nusakambangan. Terutama terkait dengan teknologi, yakni tidak mempunyai alat penyadap.
4.3.3 Realitas Sosial Novel Maryam 4.3. 3.1 Diskriminasi dan Kekerasan Diskriminasi dan kekerasan yang dialami oleh warga pengikut Ahmadi di Gegarung yang dalam novel Maryam adalah realitas sosial yang terdapat pada kehidupan nyata. Wakil Ketua Setara Institute Bonar Tigor Naipospos mengatakan, gambaran diskriminasi ini sengaja dibuka ke permukaan untuk menyegarkan kembali ingatan pemerintah akan hak-hak jamaah Ahmadiyah sebagai warga negara. Letak asrama Transito tak jauh dari pusat kota Mataram, eks gedung transmigrasi. Terutama terhadap jamaah Ahmadiyah yang mengungsi di Asrama Transito Mataram. Sudah tujuh tahun sejak terjadinya penyerangan serius dan pengusiran paksa dari Ketapang, Lingsar, Lombok Barat pada 4 Februari 2006, sebanyak 35 (tiga puluh lima) Kepala Keluarga (KK) atau sekitar 100 (seratus) jiwa kelompok ini hidup dalam ketidakpastian. Selama tujuh tahun, pemerintah hanya memberikan bantuan tidak lebih dari satu tahun. Secara resmi pemerintah menghentikan bantuan pada Januari 2007. Selama itu jamaah Ahmadiyah mengalami pembiaran dan penelentaran sistemik oleh Negara. Hal ini sejalan dengan yang dituliskan Okky dalam novelnya, Duabelas bulan telah membentuk kebiasaan. Dari anak-anak sampai orang tua. Tak ada lagi yang menyebut tentang Gegarung. Tak ada lagi tangisan kesedihan mengingat harta benda kini telah hilang. Semua orang menahan diri, sabar, dan berserah diri. mereka sadar tak ada yang
Universitas Sumatera Utara
bisa dilakukan selain menjalani apa yang ada. Kamar-kamar tersekat kain itulah tempat mereka kini. Tiga kompor di dekat kamar mandi dan setumpuk piring itulah dapur mereka bersama.kamar mandi, tempat cuci baju, dan satu ruangan di samping bangunan utama yang digunakan untyk salat bersama. Itulah hidup mereka. ... Cerita yang sama diulang-ulang. Rentetan peristiwa di Gegerung hingga bagaimana mereka bertahan sampai sekarang. Pak Khairuddin yang selalu diajak mendampingi Zulkhair. Ia menceritakan semua peristiwa yang dialaminya, sejak di Gerupuk, pengungsian di masjid organisasi, pindah ke Gegerung, hingga sekarang tinggal di Transito. Zulkhair menambahinya dengan berbagai tuntutan dan permintaan. Tamu-tamu pulang dengan meniggalkan harapan besar di benak semua orang. Harapan tentang perubahan, harapan untuk segera kembali pulang ke rumah, dan hidup normal. Lagi-lagi kabar baik itu tak pernah datang. Waktu terus berjalan, tamu-tamu pun terus berdatangan, harapan tetap ditanam, tapi inilah yang namanya kenyataan (My, 2012: 250-251).
Baik Pemerintah Kota Mataram, Pemerintah Provinsi NTB maupun Pemerintah Pusat, sama sekali tidak memiliki prakarsa dan usaha menuntaskan kekerasan dan pengungsian ini. Sepanjang tujuh tahun pula, bahkan sejak 1999, diskriminasi dan kekerasan terus dialami oleh jamaah Ahmadiyah Lombok. Bukan hanya jaminan kebebasan beragama/berkeyakinan terenggut, tetapi juga hak-hak dasar sebagai warga negara, seperti hak untuk hidup layak, pendidikan, kesehatan, layanan publik lainnya. Pengungsi di Asrama Transito mengetuk hati setiap orang yang mengunjungi mereka, tetapi gagal menembus hati para penyelenggara negara untuk sekadar berdialog mencari solusi bersama. Sampai sekarang belum ada realisasi konkret dari pemerintah, baru berupa tawarantawaran. Misalnya ditawarkan untuk relokasi ke tempat lain, tetapi ketika jamaah ini merespons, malah tidak ada tindakan nyata. Harapan untuk hidup normal telah terenggut. Para pengungsi harus tinggal di gedung pengungsian dengan beralaskan tikar dan kamar yang disekat dengan
Universitas Sumatera Utara
kain untuk membedakan satu keluarga dengan keluarga yang lain. Sehari-hari mereka menetap di dalam ruangan yang hanya dibatasi kain-kain bekas spanduk sebagai tanda pemisah antara satu keluarga dengan keluarga lain. Tiap keluarga – ayah-ibu serta anak-anaknya – tinggal di ruang petak berukuran 3×3 meter berbatas kain itu. Mereka berbagi tidur, anak-anak belajar, dan memasak di ruang yang sama. Sejak mesjid organisasi mereka di segel dan tidak boleh dipergunakan lagi, mereka menjadikan gedung Transito sebagai pusat kegiatan keagamaan. Setiap Jumat, orang-orang Ahmadi sholat bersama. Seminggu sekali mereka juga mengadakan pengajian yang dihadiri oleh orang-orang Ahmadi di daerah lain. Ustaz muda didatangkan dari Jawa yang ditugaskan oleh organisasi Ahmadiyah untuk memberikan bimbingan khusus di Gedung Transto. Hak-hak korban sebetulnya sudah secara jelas dan tegas diatur dalam berbagai peraturan, seperti UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM, PP 3/2002 tentang Kompensasi, Restitusi, Rehabilitasi terhadap Korban Pelanggaran HAM Yang Berat, UU 13/2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban serta UU 7/2012 tentang Penanganan Konflik Sosial.
Tetapi belum ada petunjuk teknis-nya,
sehingga pelaksanaan peraturan ini tidak jalan di tingkat lapangan. Parahnya, korban Ahmadiyah lebih banyak dianggap sebagai korban konflik horizontal sehingga pemerintah merasa tidak punya tanggung jawab. Selain itu dianggap sebagai bencana sosial, sehingga bantuan pemerintah cenderung terbatas dan temporer.
Universitas Sumatera Utara
Para pengungsi harus mencari pekerjaan untuk menghidupi keluarga mereka. ada yang kembali berdagang, dan bekerja sebagai kuli bangunan. Ada juga narik ojek dan buruh di perkebunan. Mereka tidak bisa menghandalkan bantuan dari pemerintah. Hasil mereka yang pas-pasan dapat menutupi biaya kebutuhan hidup yang selalu cukup untuk makan. Fatimah Azzahra, mahasiswa Universitas Paramadina, menulis di Jurnal “Tempo Institute” dengan judul Pesan Keteguhan dari Pulau Lombok, menjelaskan Esai ini bercerita tentang warga Ahmadiyah Lombok yang sudah mengungsi di Transito sejak 2006 yang belum ada kejelasan nasibnya hingga kini. Mereka mengalami hambatan ekonomi dan sosial, tak bisa pulang ke rumah asalnya. Namun, para pengungsi teguh dalam hadapi segala tekanan dan pengacuhan. Pada 1999, Ahmadiyah Lombok kali pertama mengalami serangan oleh orang-orang yang menginginkan mereka keluar dari keyakinannya. Saat itu masjid Ahmadiyah di Bayan, Lombok Barat dibakar. Satu orang meninggal, dan semua orang Ahmadi di Bayan diusir. Pada 2001, menyusul Ahmadiyah Pancor, Lombok Timur disasar; mereka juga terpaksa pergi dari kampungnya dan mengungsi. Sejak saat itu setidaknya delapan kali warga Ahmadi berpindah tempat mencari penghidupan ke sekitar Lombok-Sumbawa. Ada yang mengungsi ke sanak saudara, ada pula yang kembali berusaha membangun rumah di tempat lain. Namun, tak kurang dari delapan kali itu pula mereka terus-menerus diserang dan diusir. Tahun 2010 beberapa belas kepala keluarga beli tanah dan bangun rumah dari hasil keringat sendiri di daerah Ketapang, tapi lagi-lagi rumah mereka
Universitas Sumatera Utara
disasar dan dibakar. Mengenai hal
ini, laporan sementara Komnas HAM
mengindikasikan adanya sebuah pola yang “sistematis dan meluas”, dua unsur yang menunjukkan adanya pelanggaran berat atas kemanusiaan. Intensitas kekerasan atas nama keyakinan naik drastis pasca-Suharto, lebih-lebih di bawah pemerintahan Yudhoyono setelah mengeluarkan SKB 2008 anti-Ahmadiyah. Sejak 2006, warga Ahmadiyah Lombok tinggal di Transito. Ada pasangan yang menikah di pengungsian, ada perempuan-perempuan mengandung, ada anak-anak yang lahir dan tumbuh besar juga di sana. Lahirlah generasi-generasi Ahmadi. Beberapa anak remaja yang sudah duduk di bangku SMP dikirim ke Surabaya dan Kuningan. Ada yang masih betah dan ada juga yang minta pulang. Dipengungsian ini juga ada yang sudah meninggal dunia. Ada yang lahir, ada yang pergi. Para pengungsi tersebut mengalami begitu banyak hambatan sosial dan ekonomi. Yang paling menyakitkan adalah bahwa jika mereka berterus terang tinggal di Transito, pembuatan KTP mereka tidak diproses. Malah sebagian besar pengungsi tak punya kartu penduduk. Imbasnya, pasangan yang menikah tak bisa memiliki akta nikah, lalu anak-anak pun tak punya akta lahir, yang gilirannya akan kesulitan saat daftar sekolah. Pengungsi yang tak punya KTP tak bisa mendapat akses layanan publik seperti jaminan kesehatan. Status kependudukan yang diabaikan di tempat asal maupun di Transito membuat anak-anak sekolah kesulitan mendaftar beasiswa karena pejabat kelurahan enggan memberikan dokumen pengantar.
Universitas Sumatera Utara
Surat terakhir yang dikirim Maryam kepada Bapak Bupati, juga tidak berhasil memecahkan masalah diskriminasi dan kekerasan yang diterima oleh para pengikut Ahmadiyah. Dalam suratnya, Maryam hanya mohon keadilan, ingin pulang ke rumah dan hidup aman, seperti pada kutipan berikut: Bapak yang terhormat, kami tidak meminta lebih. Hanya minta dibantu agar bisa pulang ke rumah dan hidup aman. Kami tdak minta bantuan uang atau macam-macam. Kami hanya ingin hdup normal. Agar anak-anak kami juga bisa tumbuh normal, seperti anak-anak lainnya. Agar kelak kami juga bisa mati dengan tenang, d rumah kami sendiri. Sekali lagi, Bapak, itu rumah kami. Kami beli dengan uang kami sendiri, kami punya surat-surat resmi. Kami tak pernah melakukan kejahatan, tak pernah mengganggu siapa-siapa. Adakah alasan yang diterima akal, sehingga kami, lebih dari dua ratus orang, harus hdup di pengungsian seperti in? Kami mohon keadilan. Sampai kapan lagi kami harus menunggu? (My, 2012: 274-275)
4.3.3.2 Kontroversi Ahmadiyah di Indonesia Munawar Ahmad (Wahyudi, 2015: 64) menjelaskan bahwa puncak penentangan terhadap Ahmadiyah terjadi semenjak negara-negara Islam melakukan penolakan secara masif melalui Rabita al-Alam al-Islami (Liga Muslim Dunia/ MWL). Pada bulan April 1974, Rabita al-Alam al-Islami merilis fatwa yang menyatakan Ahmadiyah sebagai non-muslim. Kebijakan tersebut diakui oleh Majles-e Sura Pakistan (Majelis Nasional Pakistan). Oleh karenanya, para ulama Indonesia pun turut melakukan hal yang sama. Sejak saat itu JAI (Jemaat Ahmadiyah Indonesia) menghadapi berbagai hambatan dan halangan dalam perkembangannya, baik di bidang penyiaran agama maupun pendidikan. Kaum Ahmadiyah meyakini hal tersebut sebagai penggenapan wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, bahwa pengikut Imam Mahdi
Universitas Sumatera Utara
(pemimpin umat Islam di akhir zaman) akan menghadapi keadaan yang sama seperti para sahabat Rasulullah di masa lalu. Sejak saat itu banyak halangan dan hambatan yang dialami oleh JAI, tetapi tidak mengurangi semangat dan keberanian kaum Ahmadi Indonesia untuk mempertahankan keyakinannya. Di Indonesia, periode 1980-an menjadi masa perjuangan JAI dalam menghadapi tekanan dari pemerintah dan para ulama. Mengikuti keputusan Rabita al-Alam al-Islami, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa nomor 05/kep/Munas/MUI/1980, yang menyatakan bahwa Ahmadiyah sebagai “jemaah di luar Islam, sesat, dan menyesatkan”. Keputusan tersebut diikuti oleh pemerintah dengan melarang kegiatan Jalsah Salanah untuk Khuddam-Athfal dan Lajnah Imaillah yang menjadi kegiatan rutin tahunan JAI. Selain itu kelompok ulama tradisional banyak yang memimpin aksi perusakan masjid-masjid Ahmadiyah. Situasi ini membuat MUI merekomendasikan kepada pemerintah agar menyatakan Ahmadiyah sebagai non-muslim (Wahyudi, 2015: 65). Terlepas dari berbagai tekanan yang dialami, dekade 90-an menjadi periode perkembangan yang cukup pesat bagi jemaah Ahmadiyah di seluruh dunia. Perkembangan tersebut idak lepas dari keputusan Hadhrat Khalifah alMasih IV, Mirza Tahir Ahmad, yang mencanangkan program baiat internasional yang didirikan Muslim Television Ahmadiyya (MTA). Melalui MTA, komunikasi searah yang dilakukan oleh pemimpnnya dapat diterima dengan jernih melalui teknologi yang cukup murah. Tidak tanggung-tanggung, siaran berlangsung dua puluh empat jam penuh tanpa iklan. Mereka menyewa tujuh satelit di luar angkasa. Hal ini dilakukan agar semua anggota dapat melihat perkembangan
Universitas Sumatera Utara
komunitas ini, sekaligus membangun citra mereka sebagai organisasi Islam yang sejuk, damai, dan indah (Wahyudi, 2015: 65). Meskipun demikian, JAI tidak mampu mengikuti laju perkembangan Jemaah Ahmadiyah di dunia Internasional. Namun, masa transisi dari orde baru ke era reformasi mejadi catatan tersendiri badi JAI. Momen ini memberi kesempatan bagi JAI untuk mengabdi kepada masyarakat. Hingga kini, jemaah Ahmadiyah telah tersebar hampir di dua ratus negara, termasuk Indonesia. Mencermati mengenai aksi- aksi kekerasan yang terjadi di Indonesia pascareformasi, selama 14 tahun ini setidaknya terdapat 2.398 kasus kekerasan dan diskriminasi yang terjadi di Indonesia. Yayasan Denny JA mencatat, dari jumbah itu paling banyak kekerasan terjadi karena berlatar agama/paham agama. Di antara banyak kasus tersebut, setidaknya terdapat lima kasus diskriminasi terburuk empat belas tahun era reformasi, dengan kasus pengungsian Ahmadiyah di Mataram menempati peringkat ke-4. Konflik Ahmadiyah di Mataram telah menyebabkan 9 orang meninggal dunia, 8 orang luka-luka, 9 orang mengalami gangguan jiwa, 379 orang terusir dari rumahnya, 9 pasangan suami-istri dipaksa cerai, 3 oramg perempuan keguguran,61 anak-anak harus putus sekolah,45 warga dipersult dalam mengurus adiministrasi KTP ,dan 322 dipaksa keluar dari jemaah Ahmadiyah. Meski tidak menimbulkan korban jiwa yang begitu besar, konflik ini mendapat sorotan tajam dari media. Setelah konflik usai, selama 8 tahun nasib pengungsi belum mendapat kejelasan.
Universitas Sumatera Utara
4.3.3.3 Kaum Marginal Kendati memiliki ribuan penganut dan tersebar di penjuru Indonesia, namun jemaat Ahmadiyah tetap menjadi minoritas. Pemerintah secara jelas mengekang kebebasan kaum Ahmadi untuk bersyiar. Sikap terbaru pemerintah terhadap eksistensi JAI direpresentasikan melalui Surat Ketutusan Bersama (SKB) menteri Agama, Jaksa Agung dan menteri Dalam Negeri RI, No. 3 Tahun 2008, KEP-033/A/JA/6/2008, dan No. 99 Tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut Anggota dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah (JAI) dan Warga Masyarakat. Dalam sambutan tertulis Prof. H. Abdurrahmad Mas‟ud, Ph.D, kepala Puslitbang Kehidupan Beragama, Kementrian Agama RI, menjelaskan bahwa dua putusan tersebut ditetapkan pada 9 Juni 2008, yang pada intinya memberikan perintah kepada JAI untuk menghentikan penyebaran atas tafsir Ahmadiyah, sekaligus kegiatan yang dianggap menyimpang dari pokok-pokok ajaran Islam. Bila mana JAI tidak mematuhinya, maka akan diberikan sanksi menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Di sisi lain, melalui SKB tersebut, pemerintah meminta kepada masyarakat untuk tidak melakukan tindakan-tindakan yang anarkis kepada JAI. Tidak bisa dipungkiri bahwa keputusan ini menuai pro dan kontra di tengah masyarakat. Sebagian masyarakat berpendapat bahwa terbitnya SKB adalah bentuk pemberangusan atau kebebasan beragama dan menjalankan keyakinan. Di sisi lain, ada juga masyarakat yang beranggapan bahwa persoalan JAI bukan semata-mata terkait dengan penyikapan kebebasan beragama, melaikan perlakuan penodaan agama. Penodaan yang dimaksud adalah paham Ahmadiyah
Universitas Sumatera Utara
yang telah salah dalam melakukan penafsiran ajaran Agama Islam (Wahyudi , 2015: 128). Sementara bagi kaum Ahmadi, jelas SKB telah membatasi mereka dalam melakukan dakwa secara terang-terangan. Prof. H. Abdurrahmad melanjutkan, bagi pemerintah penerbitan SKB sepatutnya dapat diapresiasi oleh semua pihak. Dalam hal ini pemerintah memiliki beberapa alasan, antara lain: pertama, kebijakan ini sedikit banyak membantu pengikut Ahmadiyah untuk memahami dirinya sendiri dari kaca mata orang luar, sehingga tidak merasa benar sendiri dan menganggap kelompok lainnya salah. Kedua, mengarahkan masyarakat agar lebih membuka diri terhadap perbedaan pendapat dan tidak melakukan main hakim sendiri bilamana menemukan sekelompok masyarakat yang punya paham keagamaan yang berbeda dengan umat Islam pada umumnya. Ketiga, belajar untuk menyelesaikan semua persoalan umat dengan kerangka penegakan hukum dan penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia (Wahyudi, 2015: 128-129). Menyikapi maksud pemerintah, JAI selaku institusi mengambil sikap kompromi untuk memilih solusi alternatif. Alasan kuat pemerintah
melakukan pelarangan terhadap JAI lebih
didasarkan pada penafsirannya yang tidak lazim menurut keyakinan umat Islam pada umumnya. Khususnya terkait dengan persoalan kenabian Mirza Ghulam Ahmad. Sementara itu, menurut Muhammad Siddik Ji‟an (wakil Amir bidang Tarbiyah PB JAI), soal kenabian dan Al-Mahdi, ilmiah, ayat, dan hadis dipadukan, dimana khataman nabiyyin dipahami oleh JAI dari akar ikatannya. Maka, sebagai muslim wajib meyakini kehadiran nabi Isa yang kedua kalinya di jaman akhir sebagai nabi dan rasul.
Universitas Sumatera Utara
Respon terbaru dari pemerintahan telah menjadikan kesadaran baru di kalangan JAI bahwa sudah saatnya dialog dilakukan dengan pendekatan publikasi tertulis (menggiatkan penulisan ilmiah) yang lebih terbuka dan obyektif, sementara untuk kegiatan peribadatan sebagai muslim dijalankan secara individu per individu dan berjamaah pada masjid-masjid yang masih ada pengelolannya. Fakta adanya perbedaan pandangan, bahkan nyaris terpolarisasi sekalipun, maka pilihan sosial terbaik adalah musyawarah atau dialog. Akan tetapi, acap manusia memilih solusi berupa jalan kekerasan, padahal langkah tersebut tidak pernah dapat menyelesaikan persoalan. Sebaliknya, dalam dialog
ada proses
diskursif yang berujung pada penemuan suatu solusi-solusi dan kesepahaman. Ahmadiyah sejak kelahirannya telah menimbulkan perbedaan teologis di kalangan umat Islam, demikian juga halnya saat kedatangannya ke Nusantara. Perbedaan suda menjadi konsekuensi logis dari kehadirannya, mengingat dasar keyakinan mereka berkaitan erat dengan persoalan aqidah yang dipandang berbeda oleh umat Islam pada umumnya. Menurut Hans Kung (Wahyudi, 2015: 203), dialog harus dilakukan secara demonstratif, yakni mengemukan pendapat sepanjang-panjangnya sesuai kadar kebenaran yang dimiliki dan dipahami seseorang. Oleh karena itu, dialog semestinya tidak mencari kebenaran, melainkan mencari pemufakatan masingmasing pihak yang berselisih paham. Nilai-nilai fundamental dari suatu gerakan kelompok masyarakat pada komunitas marginal adalah menjunjung tinggi dialogis permusyawaratan utnuk menggali kebenaran atau titik temu.
Universitas Sumatera Utara
Pada era reformasi, berbagai macam komunitas bermunculan. Simon pilphott (Qodir, 2011: 2) menyebutnya sebagai berkah demokrasi, sehingga secara otomatis juga menjadi berkah bagi tumbuhnya kelompok-kelompok mayarakat di Indonesia. Wahyuni (2015: 205) menanggapi Bagi anggota JAI, bisa jadi reformasi bukan merupakan berkah, namun menjadi bencana yang menghimpit ruang geraknya. Menyikapi berbagai tekanan dan intoleransi, maka respon JAI yang cenderung ditonjolkan adalah: 1). Jika menyangkut perbuatan hukum, maka yang ditempuh adalah mekanisme hukum; 2). Jika bentuknya teror, ancaman, atau sindiran maka yang dipilih adalah kesabaran dan tidak memancing emosi pihak lain; 3). Jika wujudnya merupakan pengembangan opini publik, maka yang ditempuh adalah jalan klarifikasi, termasuk dengan menerbitkan buku; 4). Jika yang ditekan adalah JAI selaku institusi, maka yang dilakukan adalah memanfaatkan kekuatan jaringannya, baik dalam skala nasional maupun internasional di dalam sitem kekhalifahan Ahmadiyah.
Universitas Sumatera Utara
BAB V PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN
5.1 Struktur Penceritaan Novel Okky Madasari Penelitian ini memusatkan perhatian pada tiga novel Okky Madasari, yaitu Entrok, 86, dan Maryam. Berdasarkan paparan data dan temuan penelitian, ketiga novel tersebut memiliki realitas fiksi dan realitas sosial yang melekat dalam pengalaman hidup pengarangnya. Oleh karena itu, pembahasan struktur penceritaan novel-novel ini terintegrasi dengan pengungkapan peristiwa kehidupan dalam novel dan peristiwa kehidupan yang dialami sendiri oleh pengarangnya. Struktur penceritaan novel yang didasarkan pada pengalaman pengarang novel ini, berfungsi sebagai kerangka cerita. Hal ini disebabkan terdapat peristiwa yang tidak sesuai dengan realitas sosial. Bahkan, terdapat realitas sosial yang disamarkan, seperti penggunaan nama tempat. Penyamaran realitas sosial dalam realitas fiksi didukung oleh pengalaman estetik dan riset yang dilakukan oleh pengarang. Pengarang terlibat langsung dalam kehidupan masyarakat pendukung cerita. Secara umum, struktur penceritaan ketiga novel Okky menggunakan plot flash back dengan latar kejadian di tempat kelahiran dan tempat pengarang bekerja. Akan tetapi, novel-novel tersebut menggunakan struktur transmisi narasi yang bervariatif tetapi menceritakan hal yang relatif sama, yakni perjuangan perempuan dalam memenuhi tuntutan kebutuhan hidup dan mempertahankan
Universitas Sumatera Utara
keyakinan. Oleh karena itu, pengarang novel menggunakan realitas sosial dan menggabungkan dengan realitas fiksi untuk menyamarkan atau tidak berterus terang sedang menghadirkan berbagai kejadian yang pernah dialami dan dilihatnya. Apalagi,
pengarang novel berada di lingkungan tempat novel
diciptakan dan sebelum menulis novelnya pengarang terlebih dahulu mengadakan riset kurang lebih dua tahun untuk setiap penulisan novelnya. Dengan demikian, pengarang memiliki pemahaman yang mendalam tentang problematika kehidupan masyarakat dalam struktur ruang dan waktu penceritaan.
5.1.1 Novel Entrok Novel Entrok yang dijadikan data penelitian ini dibangun oleh struktur penceritaan yang didasarkan pada realitas sosial kehidupan masyarakat Jawa. Masyarakat Jawa yang dijadikan realitas fiksi adalah masyarakat Jawa yang tradisional dan modern. Penggunaan struktur ruang dan waktu terjadi dalam dua masa yaitu, masa kini dan masa lalu. Struktur penceritaan menggunakan alur maju dan alur mundur, dengan kata lain, pada saat cerita berpindah dari masa kini ke masa lalu terjadi juga penceritaan masa lalu dalam kehidupan tokoh cerita Marni dan Rahayu. Flashback novel Enrtrok terjadi pada ruang dan waktu antara tahun 19501994. Struktur penceritaan ruang dan waktu kejadian berada pada desa Sinnget yang dih8ubungkan dengan daerah-daerah terdekat dalam struktur masa kini dan masa lalu. Penceritaan berpusat di Pasar Ngranget tempat Marni dan Simbok bekerja. Kota-kota yang dijadikan latar dalam novel ini sesuai dengan kota tempat
Universitas Sumatera Utara
pengarang pernah tinggal dan kuliah, seperti Magetan, Glodok, Magelang, Madiun, dan Yogyakarta. Realitas fiksi dalam novel Entrok memiliki memiliki realitas sosial dalam tiga aspek, yakni spiritual masyarakat Jawa, buruh perempuan, dan kemiskinan. Realitas spiritual kehidupan masyarakat Jawa, menjadikan Sumarni terikat kepada kepercayaan terhadap memuja leluhur. Marni tidak mengenal Tuhan seperti yang disembah oleh umat Islam. Di KTP tertera bahwa Marni beragama Islam, tetapi dia tetap menjalankan ritual keagamaannya dengan nyuwun kepada roh para leluhurnya. Ritual yang dilakukan Marni sejalan dengan realitas sosial yang dilakukan para pengikut Islam abangan. Realitas sosial dimulai dari kehancuran hidup Sumarni yang dikalahkan oleh orang-orang yang berkuasa. Kemudian, pengisahan beralih pada flashback masa kecil Sumarni hingga masa perkawinannya yang mengalami hidup miskin. Kemiskinan ini menyebabkan Sumarni tidak bisa membeli sebuah entrok atau BH. Keinginannya untuk membeli sebuah entrok menyebabkan Marni berusaha untuk bekerja keras. Dia harus menjadi kuli angkat barang, yang pekerjaan ini bukan diperuntukkan bagi kaum perempuan. Akibat kemiskinan ini juga menyebabkan banyak perempuan lain yang bekerja, walaupun hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan hidup, yakni pangan. Pengisahan realitas sosial juga terlihat pada masa pemerintahan orde baru, beberapa kali pemilu dimenangkan oleh partai Golkar. Masyarakat dipaksa untuk memenangkan partai tersebut. Realitas sosial lain juga bermunculan, seperti pembunuhan misterius, kesewenang-wenangan oleh penguasa, dan kisah Waduk
Universitas Sumatera Utara
Kedungomboh. Mereka harus meninggalkan kampungnya, jika tidak, mereka akan dicap sebagai PKI. Struktur relasi gender dalam novel ini memperlihatkan bahwa status perempuan selalu lebih rendah dari laki-laki. Perempuan dijadikan sebagai istri simpanan dan dijadikan sebagai alat pemuas nafsu birahi. Relasi gender dalam elit birokrasi juga memperlihatkan bahwa kaum perempuan selalu rendah dan tidak berdaya. Marni harus mengeluarkan uang sumbangan untuk partai politik dan Marni selalu harus memberi setoran kepada tentara setiap bulan, dengan dalih sebagai uang keamanan. Kesetaraan gender dapat dilihat melalui tokoh Marni ketika dia bekerja sebagai kuli angkat barang dan ketika dia menjadi juragan tebu. Marni mempekerjakan baruh laki-laki di ladangnya. Berdasarkan penjelasan di atas, novel Entrok karya Okky Madasari dibangun oleh realitas fiksi yang didasarkan oleh realitas sosial kehidupan masyarakat di sekitar pengarang. Dalam realitas fiksi berakhir pada waktu kekinian di mana Rahayu kembali lagi ke desanya, sebagai ruang pengisahan awal dan akhir penceritaan. Dengan demikian, struktur penceritaan novel Entrok bermula dan berakhir pada realitas sosial yang ditata sedemikian rupa dalam bentuk realitas fiksi.
5.1.2 Novel 86 Realitas fiksi dalam novel 86 memiliki latar belakang realitas sosial dalam dua aspek, yakni kasus suap dan peredaran narkoba dari balik penjara. Profesi Arimbi sebagai juru ketik di kantor pengadilan membuat dirinya terjebak dalam
Universitas Sumatera Utara
kasus suap. Semula Arimbi yang polos dan lugu tidak peduli dengan keadaan sekitar. Bu Danti sebagai atasannya, melibatkan Arimbi dalam sebuah permainan. Lambat laun Arimbi terikut dalam permainan tersebut dan terbiasa menerima uang yang dianggap sebagai balas jasa karena dia telah melakukan pekerjaan mengetik putusan pengadilan. Berdasarkan pengakuan Okky sebagai pengarang novel ini, dia mengatakan bahwa novel ini dituliskan berdasarkan riset yang dilakukannya selama dia bekerja sebagai wartawan dalam bidang hukum dan korupsi. Novel ini lahir dari segala keprihatinan pada praktik-praktik korupsi di negara ini. Okky membingkai realitas sosial dalam realitas fiksi dengan baik, sehingga novel ini tidak bersifat menggurui. Alur yang digunakan dalam novel ini dominan menggunakan alur maju. Alu mundur hanya digunakan untuk menceriakan keadaan masa lalu lewat pembayangan ataupun lamunan yang dilakukan oleh Arimbi. Relasi yang menuntut
kesetaraan gender dapat dilihat dari pemeran tokoh utama adalah
perempuan. Peran laki-laki dalam novel ini hanya dijadikan sebagai pelengkap saja. Struktur ruang dan waktu masa kini lebih mendominasi dalam novel ini. Struktur ruang mengambil tempat di Jakartaa. Di halaman tujuh dan delapan novel, pengarang membuat peta tentang perjalanan Arimbi dari tempat kos menuju kantornya, yaitu kantor Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan Rutan Pondok Bambu. Rutinitas di Pengadilan Tinggi Jakarta Selatan dan kehidupan di rutan Pondok Bambu menjadi latar tempat yang mendominasi cerita ini. Realitas sosial terjadi di dua lokasi ini. Pelayanan yang buruk juga terjadi di stasiun kereta
Universitas Sumatera Utara
api yang merupakan bagia dari realitas sosial. Berdasarkan penjelasan di atas, novel 86 dibangun oleh
realitas fiksi yang didasarkan oleh realitas sosial
kehidupan pengarangnya.
5.1.3 Novel Maryam Struktur penceritaan novel Maryam dibangun oleh realitas sosial yang dikemas dalam realitas fiksi. Pengemasan cerita tersebut menjadikan observasi pengarang terhadap kehidupan pengikut Ahmadiyah di Lombok sebagai materi utama penceritaan. Sebagai seorang yang berprofesi sebagai seorang wartawan, sudah barang tentu Okky banyak mengetahui kejadian yang menimpa pangikut Ahmadiyah di Lombok. Menurut pengakuannya, dua tahun dia berada di Lombok untuk menyelesaikan penulisan novel ini. Realitas fiksi yang memiliki latar belakang realitas sosial juga dapat dilacak dari pengakuan Sigit Purnomo Wartawan BBC di Jakarta. Di dalam artikelnya yang berjudul “Nasib Ahmadiyah, Terlantar di Negeri Sendiri”, yang dilansir pada tanggal 3 Agustus 2013 mengakui terdapat beberapa peristiwa yang berkaitan dengan pengikut Ahmadiyah di Lombok. Realitas sosial inilah yang menjadi sumber inspirasi Okky dalam menulis novelnya, baik secara totalitas maupun sebagian kenyataan hidup yang dipindahkan dalam ruang dan waktu. Realitas itu antara lain: 1. Pada 1999, Ahmadiyah Lombok kali pertama mengalami serangan oleh orang-orang yang menginginkan mereka keluar dari keyakinannya. Saat itu masjid Ahmadiyah di Bayan, Lombok Barat dibakar. Satu orang meninggal,
Universitas Sumatera Utara
dan semua orang Ahmadi di Bayan diusir. Pada 2001, menyusul Ahmadiyah Pancor, Lombok Timur disasar; mereka juga terpaksa pergi dari kampungnya dan mengungsi. 2. Pengusiran paksa yang dilakukan oleh masyarakat terhadap pengikut Ahmadiyah merupakan kenyataan yang terjadi di desa Ketapang, Lombok Barat pada tanggal 4 Februari 2006. 3. Di Wisma Transito sehari-hari mereka hidup di dalam ruangan yang hanya dibatasi kain bekas spanduk, kardus atau karung sebagai tanda pemisah antara satu keluarga dengan keluarga lain.Di petak yang sempit dan pengap itu mereka berbagi tidur, memasak dan melakukan aktifitas keluarga lainnya di ruang yang sama penuh dengan keterbatasan. "Kami berada di lingkungan istilah kami Pakumis, padat kumuh dan miskin, karena tujuh tahun mengungsi tinggal di barak-barak dengan ruangan ukuran 3x3 meter bahkan 2x3 meter disekat kain bekas, karung dan kain sisa spanduk" kata Nashirudin Ahmadi, seorang mubaligh Ahmadiyah. 4. Selama tinggal di penampungan, kebutuhan hidup mereka sempat ditopang sembako bantuan pemerintah daerah, tetapi sejak 2007 tidak ada lagi bantuan yang mengalir. 5. Agar tetap bertahan hidup, mereka kerja serabutan, menjadi kuli, mengasong, atau tukang ojek dijalani demi sesuap nasi.
Baik lokasi maupun orang-orang yang ditampilkan pengarang dalam penceritaan tersebut adalah orang-orang yang dikenal oleh pengarang yang
Universitas Sumatera Utara
berprofesi sebagai wartawan. Okky mengakui bahwa dalam menulisan novel ini, dia mengadakan riset selama dua tahun. Berdasarkan pemaparan di atas, sistem penceritaan novel Maryam tetap menggunakan realitas sosial dalam penataan realitas fiksinya. Realitas sosial yang dimasukkan pada realitas fiksi merupakan pengalaman hidup pengikut Ahmadiyah di Lombok. Pengalaman hidup tersebut diceritakan dengan teknik perpaduan antara alur maju dengan alur mundur. Hal ini menyejajarkan perpaduan penceritaan realitas sosial dalam realitas fiksi yang terjadi dalam novel-novel Okky yang lain, seperti novel Entrok dan 86.
5.2 Analisis Semiotik Perjuangan Perempuan dalam Ketiga Novel Okky Madasari Untuk menganalisa unsur semiotik dalam ketiga novel Okky Madasari dengan menggunakan teori semiotik Roland Barthes, maka perlu adanya penafsiran dari setiap kata atau dikenal dengan istilah heuristik, atau disebut dengan semiotik tingkat pertama, dan juga penafsiran secara totalitas yakni dikenal dengan istilah hermeunitik, atau disebut juga dengan istilah semiotik tingkat kedua. Adapun analisis kedua unsur semiotik terhadap perjuangan perempuan dalam ketiga novel Okky tersebut adalah sebagai berikut,
Universitas Sumatera Utara
5.2.1
Analisis Semiotik Perjuangan Perempuan dalam bidang Ekonomi 1.
1.
Pemaknaan Tingkat Pertama
Sabu-sabu Cik Aling tidak hanya menunggu diambil orang, tapi diantar sendiri oleh orang suruhan Cik Aling, salah satunya Ananta (86: 204-205). Secara heuristik (semiotik tingkat pertama) kalimat di atas diinterpretasikan sebagai petanda (signified)
dapat
bahwa Cik Aling adalah
berprofesi sebagai orang yang mengendalikan peredaran narkoba dalam penjara. Sebagai penandanya (signifier) adalah sabu-sabu dan Ananta yang menjadi kurir pengedar narkoba tersebut. 2.
Bapak memukul Simbok yang sedang sakit panas dan tidak bisa ke pasar. Kalau Simbok tidak ke pasar, kami tidak akan punya makanan. Dan laki-laki itu dengan seenaknya hanya menunggu makanan. Dia seperti anjing gila yang marah saat kelaparan (En, 2010: 17-18). Secara heuristik kalimat di atas dapat ditafsirkan bahwa Simbok adalah tulang punggung keluarga. Sebagai penandanya adalah Bapak memukul Simbok karena tidak pergi ke pasar. Petandanya adalah kalau Simbok tidak ke pasar, maka mereka tidak akan bisa makan.
3.
Bu Danti bekerja di kantor pengadilan. Dia juga seorang pegawai negeri. Selain itu, Bu Danti memegang jabatan struktural sebagai ketua seksi panitera persidangan. Bu Danti adalah atasan Arimbi dan Anisa. Bu Danti menyelewengkan jabatan yang dianugerahkan kepadanya. Melalui jabatan ini, Bu Danti menjadi makelar kasus (86, 2011: 49). Secara heuristik kalimat di atas dapat ditafsirkan bahwa Bu Danti adalah seorang pegawai negeri yang bekerja di kantor pengadilan sebagai Kepala Bagian Panitera Persidangan. Sebagai penandanya adalah Bu Danti bekerja di kantor pengadilan. Dia juga seorang pegawai negeri. Selain itu, Bu Danti memegang jabatan struktural sebagai ketua seksi panitera
persidangan.
Universitas Sumatera Utara
Petandanya adalah Bu Danti dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dari penghasilannya sebagai pegawai negeri.
2.
Pemaknaan Tingkat Kedua
1. Sabu-sabu Cik Aling tidak hanya menunggu diambil orang, tapi diantar sendiri oleh orang suruhan Cik Aling, salah satunya Ananta (86, 2011: 204205). Secara hermeunitik (semiotik tingkat kedua) dapat ditafsirkan keberadaan Cik Aling sebagai perempuan pelaku bisnis dengan mengontrol peredaran narkoba dari balik penjara. Cik Aling bukan hanya mengedarkan sabu-sabu di dalam penjara tetapi juga di luar penjara dengan merekrut Ananta sebagai kurir sabu-sabu tersebut. 2. Bapak memukul Simbok yang sedang sakit panas dan tidak bisa ke pasar. Kalau Simbok tidak ke pasar, kami tidak akan punya makanan. Dan laki-laki itu dengan seenaknya hanya menunggu makanan. Dia seperti anjing gila yang marah saat kelaparan (En, 2010: 17-18). Secara hermeunitik dapat ditafsirkan bahwa Simbok harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Kemiskinan yang membelit keluarganya, menyebabkan Simbok harus bekerja setiap hari. Jika satu hari saja dia tidak bekerja, maka mereka tidak bias makan. Penandanya adalah kalau Simbok tidak ke pasar, kami tidak akan punya makanan. Suami Simbok juga tidak punya pekerjaan. Dia seorang yang tidak mempunyai perasaan. Menyuruh istrinya bekerja dan dia akan marah-marah jika tidak ada makanan. Itulah sebabnya, Simbok harus bekerja di pasar, walaupun dia sedang sakit. Makna totalitasnya adalah Simbok bekerja untuk mempertahankan hidup.
Universitas Sumatera Utara
3.
Bu Danti bekerja di kantor pengadilan. Dia juga seorang pegawai negeri. Selain itu, Bu Danti memegang jabatan struktural sebagai ketua seksi panitera persidangan. Bu Danti adalah atasan Arimbi dan Anisa. Bu Danti menyelewengkan jabatan yang dianugerahkan kepadanya. Melalui jabatan ini, Bu Danti menjadi makelar kasus (86, 2011: 49). Secara hermeunitik dapat ditafsirkan bahwa sebagai seorang pegawai negeri, dia sudah dapat memenuhi kebutuhan primer maupun sekunder. Tetapi untuk memenuhi kebutuhan tersier, Bu Danti menambah penghasilannya dengan menjadi makelar kasus. Sehingga penghasilannya sebagai makelar kasus lebih besar jika dibandingkan dengan gajinya sebagai pegawai negeri. Jadi makna totalitasnya adalah Bu Danti bekerja bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya tetapi juga untuk meningkatkan taraf hidupnya ke arah yang lebih tinggi.
5.2.2
Analisis Semiotik Perjuangan Perempuan dalam bidang Keyakinan
1. Pemaknaan Tingkat Pertama 1.
Dulu sekali, aku juga melakukan apa yang ibu lakukan. Ibu membangunkanku, lalu kami berdua duduk di bawah pohon asem. Kata ibu, itu namanya berdoa, tirakat. Ibu mengajariku untuk nyuwun. Katanya semua yang ada di dunia milik Ibu Bapa Bumi Kuasa. Dialah yang punya kuasa untuk memberikan yang kita inginkan. “Nyuwun supaya jadi orang pintar. Bisa jadi pegawai,” kata Ibu (En, 2010: 55-56). Secara heuristik pragraf di atas dapat ditafsirkan bahwa Ibu adalah seorang yang taat kepada keyakinannya. Penandanya adalah kami berdua duduk di bawah pohon asem. Kata ibu, itu namanya berdoa, tirakat. Ibu mengajariku untuk nyuwun. Katanya semua yang ada di dunia milik Ibu Bapa Bumi Kuasa. Ibu melakukan nyuwun kepada Ibu Bapak Bumi Kuasa. Ibu selalu
Universitas Sumatera Utara
bangun tengah malam untuk berdoa dan tirakat. Petandanya adalah ibu seorang yang teguh kepada keyakinannya. 2. Ibu juga rajin selamatan. Seminggu sekali, setiap hari kelahirannya, dia meyembelih ayam untuk dipanggang. Tonah membuat tumpeng kecil, menyiapkan semua ubo rampe. Ada kulupan, jenang merah, dan jenang putih. Ibu memanggil beberapa tetangga laki-laki. Mbah Sambong, perangkat desa yang dipercaya punya kekuatan lebih, membacakan ujub. Bapak dan yang lainnya membaca, “Amin....Amin...!” (En, 2010: 55-56). Secara heuristik kalimat di atas dapat ditafsirkan bahwa Ibu juga rajin membuat selamatan pada setiap hari kelahirannya. Dalam kepercayaan orang Jawa disebut neptu. Penandanya adalah membuat tumpeng kecil, menyiapkan semua ubo rampe. Ada kulupan, jenang merah, dan jenang putih. Seminggu sekali Ibu menyuruh Tonah membuat tumpeng kecil lengkap dengan laukpauknya. 3. Ibu menyimpan satu tumpeng dan panggang lengkap dengan ubo rampenya di
kamarnya. Di taruh di meja samping lemari kaca, beralas baki, ditemani sebatang lilin. Kata ibu, tumpeng dan panggang itu dikirim untuk Mbah Ibu Bumi Bapak Kuasa. Keesokan harinya, ibu akan mengeluarkan tumpeng dan panggang itu. Tonah akan memasaknya kembali untuk makanan kami semua (En, 2010: 55-56). Secara heuristik paragraf di atas dapat ditafsirkan bahwa Ibu membuat dua tumpeng. Satu untuk dimakan dimakan saat diadakan selamatan dan yang satunya lagi dimasukkan ke dalam kamar sebagai persembahan untuk Mbah Ibu Bumi Bapak Kuasa. Sebagai penandanya adalah ibu menyimpan satu tumpeng dan panggang lengkap dengan ubo rampenya di kamarnya. Penanda lain adalah kata ibu, tumpeng dan panggang itu dikirim untuk Mbah Ibu Bumi Bapak Kuasa.
Universitas Sumatera Utara
4.
Sesajen dan dupa yang sudah disiapkan dari Madiun diletakkan di samping makam. Ada tumpeng lengkap dengan panggang dan ubo rampe-nya, buahbuahan, dan rokok (En, 2010:95). Secara heuristik paragraf di atas dapat ditafsirkan bahwa mereka membawa persembahan untuk orang yang diziarahi. Persembahan itu berupa sesajen dan dupa yang diletakkan di samping makam. Sesajen itu berupa tumpeng yang lengkap dengan lauk-pauknya, buah-buahan dan rokok. Penandanya adalah Sesajen dan dupa yang sudah disiapkan dari Madiun diletakkan di samping makam. Ada tumpeng lengkap dengan panggang dan ubo rampe-nya, buahbuahan, dan rokok.
5.
Koh Cayadi menceritakan salah satu kebiasaan keluarganya yang diyakini terbukti membantu kelancaran usaha mereka. Sejak bertahun-tahun lalu, tepatnya saat ia masih kanak-kanak di Surabaya, orangtuanya rutin mengajaknya ke Gunung Kawi. Gunung Kawi ada di Malang, kota di selatan Surabaya. Mereka bias pergi naik bus, dengan lama perjalanan dua jam. Di gunung itu, ada makam, yang bisa memberikan berkat bagi orang menziarahinya (En, 2010:92). Secara heuristik pragraf di atas dapat ditafsirkan bahwa mereka akan pergi berziarah ke Gunung Kawi. Gunung ini dianggap keramat karena di sana ada kuburan orang suci. Penandanya adalah Gunung Kawi ada di Malang, kota di selatan Surabaya. Mereka bias pergi naik bus, dengan lama perjalanan dua jam. Di gunung itu, ada makam, yang bisa memberikan berkat bagi orang menziarahinya.
6.
Selama tirakat mereka tidak akan berbicara dan makan-minum. Mereka juga dilarang memikirkan hal-hal yang tidak baik. Satu-satunya yang mereka lakukan adalah berdoa memohon berkah (En, 2010:95). Secara heuristik pragraf di atas dapat ditafsirkan bahwa Mereka akan bersemedi atau tirakat di kuburan tersebut. Selama bersemedi mereka tidak
Universitas Sumatera Utara
oleh makan dan minum. Mereka harus membersihkan pikiran dari hal-hal yang buruk, lalu berdoa untuk memohon berkah. Penandanya adalah selama tirakat mereka tidak akan berbicara dan makan-minum. Mereka juga dilarang memikirkan hal-hal yang tidak baik. Satu-satunya yang mereka lakukan adalah berdoa memohon berkah. 7.
Dia lalu masuk kamar. Konon, di kamar itu ia semedi dan membuat jampijampi. Tak terlalu lama kemudian dia keluar kamar sambil membawa bungkusan kecil. Bungkusan itu isinya gula pasir. Kyai Noto sudah mengirimkan doa-doa dan kekuatannya dalam gula pasir itu. Orang yang diberi tinggal ngemut sewaktu-waktu (En, 2010: 132). Secara heuristik pragraf di atas dapat ditafsirkan bahwa Kyai Noto adalah seorang dukun yang sakti. Dia bias mengirimkan kekuatan kepada seseorang melalui gula pasir yang telah diberinya jampi-jampi. Orang yang mengulum gula tersebut akan mempunyai kekuatan. Penandanya adalah Kyai Noto sudah mengirimkan doa-doa dan kekuatannya dalam gula pasir itu. Orang yang diberi tinggal ngemut sewaktu-waktu.
8.
Sudah lama tinggal di sini... apakah terpikir untuk menuruti permintaan orang-orang itu agar bisa kembali ke rumah?” Perempuan itu tampak bingung dengan pertanyaan wartawan. “Maksudnya keluar dari Ahmadiyah, agar bisa pulang lagi ke rumah,” jelas wartawan. Perempuan itu menggeleng. “Namanya orang sudah percaya,” jawabnya. “Semakin susah semakin yakin kalau benar,” lanjutnya. (My, 2012: 272) Secara heuristik kalimat di atas dapat ditafsirkan bahwa keyakinan seeorang terhadap kepercayaan yang dianutnya yaitu Ahmadiyah. Ahmadiyah merupakan gerakan Islam yang berpusat di India. Gerakan ini menekankan aspek-aspek ideologis dengan keyakinan bahwa al-Mahdi dipandang sebagai “Hakim peng-islah” atau sebagai “Juru Damai” dan Mirza Ghulam Ahmad
Universitas Sumatera Utara
mengaku telah diangkat Tuhan sebagai al-Mahdi.
Penandanya adalah
“Maksudnya keluar dari Ahmadiyah, agar bisa pulang lagi ke rumah,” jelas wartawan.Perempuan itu menggeleng. “Namanya orang sudah percaya,” jawabnya. “Semakin susah semakin yakin kalau benar,” Dia yakin, semakin susah untuk mendapatkannya, maka semakin jelas kebenaran dari ajaran tersebut. 2. Pemaknaan Tingkat Kedua 1.
Dulu sekali, aku juga melakukan apa yang ibu lakukan. Ibu membangunkanku, lalu kami berdua duduk di bawah pohon asem. Kata ibu, itu namanya berdoa, tirakat. Ibu mengajariku untuk nyuwun. Katanya semua yang ada di dunia milik Ibu Bapa Bumi Kuasa. Dialah yang punya kuasa untuk memberikan yang kita inginkan. “Nyuwun supaya jadi orang pintar. Bisa jadi pegawai,” kata Ibu. Secara hermeunitik dapat ditafsirkan bahwa ibu melakukan meditasi di bawah pohon asem pada malam hari. Ini adalah dasar dari ajaran Kejawen. Kegiatan orang Jawa Kejawen lainnya adalah meditasi atau semedi. Meditasi atau semedi biasanya dilakukan bersama-sama dengan tapabrata (bertapa) dan dilakukan ditempat tempat yang dianggap keramat.
2. Ibu juga rajin selamatan. Seminggu sekali, setiap hari kelahirannya, dia meyembelih ayam untuk dipanggang. Tonah membuat tumpeng kecil, menyiapkan semua ubo rampe. Ada kulupan, jenang merah, dan jenang putih. Ibu memanggil beberapa tetangga laki-laki. Mbah Sambong, perangkat desa yang dipercaya punya kekuatan lebih, membacakan ujub. Bapak dan yang lainnya membaca, “Amin....Amin...!” Secara hermeunitik dapat ditafsirkan bahwa Upacara pokok dalam agama Jawa tradisional adalah slametan atau selamatan, kenduri. Ini merupakan upacara agama yang paling umum di atara para abangan, dan melambangkan persatuan mistik dan sosial dari orang-orang yang ikut serta dalam slametan
Universitas Sumatera Utara
itu. Slametan dan lambang-lambang yang mengiringinya memberikan gambaran yang jelas tentang cara pemaduan antara kepercayaan abangan yang animis dan Budhais-Hindu dengan unsur Islam serta membentuk nilai pokok masyarakat pedesaan. 3. Ibu menyimpan satu tumpeng dan panggang lengkap dengan ubo rampenya di
kamarnya. Di taruh di meja samping lemari kaca, beralas baki, ditemani sebatang lilin. Kata ibu, tumpeng dan panggang itu dikirim untuk Mbah Ibu Bumi Bapak Kuasa. Keesokan harinya, ibu akan mengeluarkan tumpeng dan panggang itu. Tonah akan memasaknya kembali untuk makanan kami semua (En, 2010: 55-56). Secara hermeunitik dapat ditafsirkan bahwa ibu percaya tumpeng tersebut akan dimakan oleh ruh Mbah Ibu Bumi Bapak Kuasa. Walapun secara fisik tumpeng tersebut masih utuh, namun sari makanan tersebut sudah dihisap oleh ruh tersebut, sehingga jika tumpeng itu jika dimakan akan terasa hambar. 4.
Sesajen dan dupa yang sudah disiapkan dari Madiun diletakkan di samping makam. Ada tumpeng lengkap dengan panggang dan ubo rampe-nya, buahbuahan, dan rokok. (En, 2010:95). Secara hermeunitik dapat ditafsirkan bahwa salah satu persyaratan agar doa diterima adalah dengan memberi sesajen dan dupa. Sesajen tersebut yang berupa tumpeng, buah-buahan dan rokok. Mereka percaya bahwa arwa yang ada dikuburan tersebut akan memakan sesajen yang mereka persembahkan.
5.
Koh Cayadi menceritakan salah satu kebiasaan keluarganya yang diyakini terbukti membantu kelancaran usaha mereka. Sejak bertahun-tahun lalu, tepatnya saat ia masih kanak-kanak di Surabaya, orangtuanya rutin mengajaknya ke Gunung Kawi. Gunung Kawi ada di Malang, kota di selatan Surabaya. Mereka bisa pergi naik bus, dengan lama perjalanan dua jam. Di gunung itu, ada makam, yang bisa memberikan berkat bagi orang menziarahinya (En, 2010:92). Secara hermeunitik dapat ditafsirkan bahwa kuburan orang yang dianggap keramat dapat memberikan berkah bagi mereka. Penghormatan kepada orang
Universitas Sumatera Utara
mati diungkapkan dengan jalan membersihkan kuburan yang dipandang sebagai sajian kepada orang yang meninggal itu. 6.
Selama tirakat mereka tidak akan berbicara dan makan-minum. Mereka juga dilarang memikirkan hal-hal yang tidak baik. Satu-satunya yang mereka lakukan adalah berdoa memohon berkah (En, 2010:95). Secara hermeunitik dapat ditafsirkan bahwa mereka percaya dengan berdoa di kuburan akan mendatangkan berkah. Banyak kuburan orang suci di Jawa diaggap keramat, seperti makam para wali. Ribuan orang dari segala pelosok pulau Jawa berjiarah ke makam-makam tersebut untuk mendapat berkah.
7. Dia lalu masuk kamar. Konon, di kamar itu ia semedi dan membuat jampijampi. Tak terlalu lama kemudian dia keluar kamar sambil membawa bungkusan kecil. Bungkusan itu isinya gula pasir. Kyai Noto sudah mengirimkan doa-doa dan kekuatannya dalam gula pasir itu. Orang yang diberi tinggal ngemut sewaktu-waktu (En, 2010: 132). Secara hermeunitik dapat ditafsirkan bahwa mereka percaya kepada dukun. Jampi-jampi yang diberikan oleh Mbah Dukun dapat menghindarkan mereka dari gangguan roh-roh jahat. 8. Sudah lama tinggal di sini... apakah terpikir untuk menuruti permintaan orangorang itu agar bisa kembali ke rumah?” Perempuan itu tampak bingung dengan pertanyaan wartawan. “Maksudnya keluar dari Ahmadiyah, agar bisa pulang lagi ke rumah,” jelas wartawan. Perempuan itu menggeleng. “Namanya orang sudah percaya,” jawabnya. “Semakin susah semakin yakin kalau benar,” lanjutnya. (My, 2012: 272) Secara hermeunitik dapat ditafsirkan bahwa semakin banyak tantangan yang dihadapi untuk mempertahankan keyakinan tersebut, maka dia semakin yakin akan kebenaran ajaran tersebut. Dia juga tidak mau keluar dari keyakinannya walaupun MUI sudah memutuskan bahwa Ahmadiyah adalah aliran sesat. Bahkan dia siap akan kehilangan keluarga dan hartanya. Secara totalitas
Universitas Sumatera Utara
makna kalimat di atas mengacu kepada keyakinan yang teguh kepada Ahmadiyah.
4.2.3 Analisis Semiotik Perjuangan Perempuan dalam bidang Hukum 1.
Pemaknaan Semiotik Tingkat Pertama
1. “Sudah aku hitung-hitung, nanti kamu bisa keluar Desember. Tapi namamu sudah mesti dicatat sekarang. Soalnya mau diajukan pas Agustusan nanti.” Arimbi diam, menunggu apa yang sebenarnya hendak dikatakan perempuan yan duduk di depannya itu. “Ya kalau kamu bilang sanggup, nanti namamu diusulkan. Kan siapa-siapa saja yang layak diusulin itu tergantung kita yang ada di lapangan ini.” ”Jadi, saya mesti bagaimana?” Arimbi mulai tak sabar. “Biaya semuanya bersih 15 juta.” (86, 2011: 216-217) Secara heuristik kalimat di atas dapat ditafsirkan bahwa heuristik kalimat di atas dapat ditafsirkan bahwa Arimbi akan bebas dari penjara bulan Desember jika Arimbi mau membayar Rp. 15.000.000,-. Jika Arimbi menyanggupi maka namanya akan diusulkan pada bulan Agustus dan akan bebas pada bulan Desember. Hal ini ditandai dengan kalimat “Ya kalau kamu bilang sanggup, nanti namamu diusulkan. Kan siapa-siapa saja yang layak diusulin itu tergantung kita yang ada di lapangan ini.” Juga kalimat “Biaya semuanya bersih 15 juta.” 2. Aku membalikkan tubuh. Sekarang mukaku berhadapan dengan mukanya. Mata kami beradu. Gusti, kenapa aku selalu Kauhadapkan dengan orangorang seperti ini? Orang-orang yang begitu berkuasa dengan seragam dan sepatunya. Orang-orang yang menjadi begitu kuat dengan senapannya. Orangorang yang selalu benar karena bekerja untuk negara. Mereka yang selalu mendapatkan uang dengan mudah tanpa sedikit pun mengeluarkan keringat. Dan aku yang tak punya kuasa dan kekuatan, yang selalu saja salah, harus tunduk pada kemauan mereka. Menyerahkan harta yang terkumpul dengan susah payah, dengan segala hujatan orang lain.
Universitas Sumatera Utara
“Ini urusannya berat. Nggak kayak yang dulu itu.” “Berapa?” “Sampeyan juragan tebu, kan? Satu hektar pasti enteng.” (En, 2010:182-183) Secara hermeunitik dapat ditafsirkan bahwa Sumarni berhadapan dengan orang-orang yang mempunyai kuasaan dan senjata. Marni harus mengorbankan satu hektar kebun tebunya jika dia mau dibantu. Jika tidak Marni akan dipenjara. Penandanya adalah “Ini urusannya berat. Nggak kayak yang dulu itu.” “Berapa?” “Sampeyan juragan tebu, kan? Satu hektar pasti enteng.” 3. “Ya sudah, Pak Teja, Bu Marni, kami ini aparat hanya mau membantu masyarakat. Bikin urusan cepat beres. Kita mau bantu supaya mobil ini bisa segera dibawah ke bengkel, bisa dipakai lagi. Daripada nanti ketahuan atasanatasan saya malah panjang urusannya. Jadi ya diselesaikan di sini saja.” “Kami ikut saja, Pak,” jawab Teja. “Kalau kecelakaannya seperti ini, ada yang mati, dua puluh orang luka-luka, dendanya satu juta saja. Sudah beres semuanya.” (En, 2010:119). Secara heuristik paragraf di atas dapat ditafsirkan bahwa aparat meminta uang tebusan sebesar satu juta rupiah. Uang tebusan itu dipergunakan
untuk
menebus mobil Sumarni yang ditahan di kantor polisi karena kecelakaan yang mengakibatkan kematian Bejo dan korban lainya yang luka-luka dan patah tulang. Penandanya adalah kalau kecelakaannya seperti ini, ada yang mati, dua puluh orang luka-luka, dendanya satu juta saja. Sudah beres semuanya. 4. Gubernur menerima mereka dengan tiga orang bawahannya. Ia menyalami Zulkhair dengan ramah seperti orang yang sudah lama kenal. “Bawa siapa ini, Pak Zul!” tanyanya ketika melihat Maryam dan Umar. (My, 2012:247) Gubernur mendecak sambil menggeleng, “Sudahlah. Tak ada ujungnya kalau bicara Bapak Gubernu seperti ini,” katanya. “Pilih saja, keluar dari Ahmadiyah lalu pulang ke Gegarung atau tetap di Transito sampai kita temukan jalan keluarnya.”Wajah ketiga tamu Gubernur itu merah mendengar kata-kata
Universitas Sumatera Utara
Gubernur. Mulut mereka terkunci. Tapi sorot mata mereka bicara banyak. Kemarahan dan sakit hati (My, 2012: 249). Secara heuristik pragraf di atas dapat ditafsirkan bahwa Bapak Gubernur menganjurkan para pengikut Ahmadiyah untuk meninggalkan keyakinan mereka. Hal ini membuat wajah Maryam, Umar, dan Pak Zul memerah menahan amarah. Penandanya adalah “Pilih saja, keluar dari Ahmadiyah lalu pulang ke Gegarung atau tetap di Transito sampai kita temukan jalan keluarnya.”Wajah ketiga tamu Gubernur itu merah mendengar kata-kata Gubernur. Mulut mereka terkunci. Tapi sorot mata mereka bicara banyak. Kemarahan dan sakit hati. 5. Bapak yang terhormat, kami tidak meminta lebih. Hanya minta dibantu agar bisa pulang ke rumah dan hidup aman. Kami tidak minta bantuan uang atau macam-macam. Kami hanya ingin hidup normal. Agar anak-anak kami juga bisa tumbuh normal, seperti anak-anak lainnya. Agar kelak kami juga bisa mati dengan tenang, di rumah kami sendiri. Sekali lagi, Bapak, itu rumah kami. Kami beli dengan uang kami sendiri. Kami punya surat-surat resmi. Kami tak pernah melakukan kejahatan, tak pernah mengganggu siapa-siapa. Adakah alasan yang diterima akal, sehingga kami, lebih dari dua ratus orang, harus hidup di pengungsian seperti ini? Kami mohon keadilan. Sampai kapan lagi kami harus mengunggu? (My, 2012: 274-275) . Secara heuristik pragraf di atas dapat ditafsirkan bahwa melalui surat yang dikirimnya kepada Bapak Gubernur, Maryam meminta bantuan agar mereka bisa kembali pulang ke rumah mereka. Mereka tidak meinta apa-apa. Mereka hanya ingin membesarkan anak-anak mereka di rumah sendiri dan hidup normal. Penandanya adalah Bapak yang terhormat, kami tidak meminta lebih. Hanya minta dibantu agar bisa pulang ke rumah dan hidup aman. Kami tidak minta bantuan uang atau macam-macam. Kami hanya ingin hidup normal.
Universitas Sumatera Utara
Agar anak-anak kami juga bisa tumbuh normal, seperti anak-anak lainnya. Agar kelak kami juga bisa mati dengan tenang, di rumah kami sendiri. 2. Pemaknaan Semiotik Tingkat Kedua
1. Sudah aku hitung-hitung, nanti kamu bisa keluar Desember. Tapi namamu sudah mesti dicatat sekarang. Soalnya mau diajukan pas Agustusan nanti.” Arimbi diam, menunggu apa yang sebenarnya hendak dikatakan perempuan yan duduk di depannya itu. “Ya kalau kamu bilang sanggup, nanti namamu diusulkan. Kan siapa-siapa saja yang layak diusulin itu tergantung kita yang ada di lapangan ini.” ”Jadi, saya mesti bagaimana?” Arimbi mulai tak sabar. “Biaya semuanya bersih 15 juta.” (86, 2011: 216-217) Secara hermeunitik dapat ditafsirkan bahwa Arimbi memberikan uang sogok agar dia bisa mendapat keringanan hukuman. Aparat keamanan bisa disogok untuk melancarkan semua urusan. 2. Aku membalikkan tubuh. Sekarang mukaku berhadapan dengan mukanya. Mata kami beradu. Gusti, kenapa aku selalu Kauhadapkan dengan orangorang seperti ini? Orang-orang yang begitu berkuasa dengan seragam dan sepatunya. Orang-orang yang menjadi begitu kuat dengan senapannya. Orangorang yang selalu benar karena bekerja untuk negara. Mereka yang selalu mendapatkan uang dengan mudah tanpa sedikit pun mengeluarkan keringat. Dan aku yang tak punya kuasa dan kekuatan, yang selalu saja salah, harus tunduk pada kemauan mereka. Menyerahkan harta yang terkumpul dengan susah payah, dengan segala hujatan orang lain. “Ini urusannya berat. Nggak kayak yang dulu itu.” “Berapa?” “Sampeyan juragan tebu, kan? Satu hektar pasti enteng.” (En, 2010:182-183) Secara hermeunitik dapat ditafsirkan bahwa Marni berhadapan dengan orangorang yang memiliki kekuasaan. Secara konotatif “orang-orang yang memiliki kekuasaan” mengandung makna “pejabat pemerintahan”. Sudah menjadi rumor yang beredar di masyarakat
bahwa jika berurusan dengan pejabat
pemerintahan, apalagi aparat keamanan, semua masalah bisa diatasi dengan
Universitas Sumatera Utara
uang. Dengan mengatasnamakan mengayomi masyarakat, mereka justru memeras dibandingkan menolong. 3. “Ya sudah, Pak Teja, Bu Marni, kami ini aparat hanya mau membantu masyarakat. Bikin urusan cepat beres. Kita mau bantu supaya mobil ini bisa segera dibawah ke bengkel, bisa dipakai lagi. Daripada nanti ketahuan atasanatasan saya malah panjang urusannya. Jadi ya diselesaikan di sini saja.” “Kami ikut saja, Pak,” jawab Teja. “Kalau kecelakaannya seperti ini, ada yang mati, dua puluh orang luka-luka, dendanya satu juta saja. Sudah beres semuanya.” (En, 2010:119). Secara hermeunitik dapat ditafsirkan bahwa jika ada uang segala urusan akan beres. Marni menuntut keadilan. Namun, dia tidak berdaya sehingga dia harus masuk dalam lingkaran permainan aparat tersebut. 4. Gubernur mendecak sambil menggeleng, “Sudahlah. Tak ada ujungnya kalau bicara seperti ini,” katanya. “Pilih saja, keluar dari Ahmadiyah lalu pulang ke Gegarung atau tetap di Transito sampai kita temukan jalan keluarnya.”Wajah ketiga tamu Gubernur itu merah mendengar kata-kata Gubernur. Mulut mereka terkunci. Tapi sorot mata mereka bicara banyak. Kemarahan dan sakit hati (My, 2012: 249). Secara hermeunitik dapat ditafsirkan bahwa Bapak Gubernur tidak berani mengambil keputusan untuk mengembalikan pengungsi pengikut Ahmadiyah ke rumah mereka. Mereka hanya memendam kemarahan itu, tetapi mereka sangat sakit hati mendengar perkataan Bapak Gubernur. Maryam nenuntut keadilan sesuai dengan UUD 1945 pasal 29, bahwa setiap warga negara berhak untuk melaksanakan keyakinan dan kepercayaan sesuai dengan agamanya masing-masing. 5. Bapak yang terhormat, kami tidak meminta lebih. Hanya minta dibantu agar bisa pulang ke rumah dan hidup aman. Kami tidak minta bantuan uang atau macam-macam. Kami hanya ingin hidup normal. Agar anak-anak kami juga bisa tumbuh normal, seperti anak-anak lainnya. Agar kelak kami juga bisa mati dengan tenang, di rumah kami sendiri. Sekali lagi, Bapak, itu rumah kami. Kami beli dengan uang kami sendiri. Kami punya surat-surat resmi. Kami tak pernah melakukan kejahatan, tak pernah
Universitas Sumatera Utara
mengganggu siapa-siapa. Adakah alasan yang diterima akal, sehingga kami, lebih dari dua ratus orang, harus hidup di pengungsian seperti ini? Kami mohon keadilan. Sampai kapan lagi kami harus mengunggu? (My, 2012: 274-275). Secara hermeunitik dapat ditafsirkan bahwa Maryam menuntut keadilan kepada Bapak Gubernur terpilih dari segi sisi kemanusiaan. Dari sisi kemanusiaan, setiap warga negara berhak untuk mendapatkan penghidupan yang layak. 5.3 Perjuangan Perempuan dalam Ketiga Novel Okky Madasari Perjuangan perempuan yang tergambar dalam ketiga novel Okky Madasari meliputi perjuangan dalam bidang ekonomi, perjuangan dalam bidang keyakinan, dan perjuangan dalam bidang hukum yang akan dijelaskan satu persatu. Berikut ini adalah tabel perjuangan perempuan dalam novel Okky Madasari. No.
Bidang Perjuangan
Bentuk Perjuangan
Perempuan sebagai Pelaku Bisnis Perjuangan dalam Mempertahankan 1. Ekonomi Hidup Perjuangan dalam Meningkatkan Taraf Hidup 2. Keyakinan Kejawen Ahmadiyah 3. Hukum Perjuangan Perempuan dalam Mencari Keadilan Tabel 5.1 Perjuangan Perempuan dalam Ketiga Novel Okky Madasari 5.3.1 Perjuangan Perempuan dalam Bidang Ekonomi Pasca tahun 1960-an, terjadi perubahan dari kondisi masyarakat sebelumnya. Perempuan tidak lagi duduk manis dan rumah dan mengerjakan tugas-tugas domestik yang rutin dan diwariskan sejak turun-temurun. Realitas
Universitas Sumatera Utara
sosial masyarakat yang berubah itu ditandai dengan banyaknya kaum perempuan yang menempuh pendidikan sekolah menengah umum atau yang sederajat. Bahkan tidak sedikit yang terus belajar sampai ke perguruan tinggi. Dengan persentasi tamatan pendidikan minimal SMP yang makin meningkat, kini perempuan bisa mengerjakan hal-hal produktif yang dapat membantu ekonomi keluarganya. Tidak ada hambatan yang signifikan di masyarakat bagi perempuan yang hendak bekerja, bahkan saat ini masyarakat justru menginginkan anak perempuan mereka bisa bekerja. Merebaknya kaum perempuan bekerja, juga dirasakan di dalam ketiga novel Okky Madasari. Mereka bekerja bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan primer saja, tetapi mereka juga berjuang untuk memenuhi kebutuhan sekunder dan tersier. Dengan bekerja mereka berjuang untuk mengubah nasib. Adapun bentuk Perjuangan perempuan di bidang ekonomi
dalam ketiga novel Okky adalah
perempuan sebagai pelaku bisnis, perjuangan dalam mempertahan hidup, dan perjuangan dalam meningkatkan taraf hidup. Hal ini dapat dilihat pada bagn berikut ini,
Perjuangan Perempuan dalam Bidang Ekonomi
Perempuan sebagai Pelaku Bisnis
Perjuangan dalam Mempertahankan Hidup
Perjuangan dakam Meningkatkan Taraf Hidup
Bagan 5.1 Perjuangan Perempuan dalam Bidang Ekonomi
Universitas Sumatera Utara
5.3.1.1 Perempuan sebagai Pelaku Bisnis Perjuangan perempuan sebagai pelaku bisnis dapat dilihat dalam novel Entrok melalui tokoh Sumarni dan Nyai Dimah. Sedangkan dalam novel 86 melalui tokoh Arimbi, Bu Danti, dan Cik Aling. Kemudian dalam novel Maryam melalui tokoh Maryam, Fatimah, Bu Umar, dan Nuraini. Dengan penggambaran tokoh
para
perempuan
yang
terjun
ke
dunia
usaha,
Okky
ingin
memperlihatkankan para perempuan yang dapat berperan di dua arena yang berbeda, di rumah sebagai makhluk domistik dan di luar rumah sebagai pengusaha atau pekerja. Di rumah, mereka harus menjalankan peran-peran domistiknya mengurus rumah tangga, melayani suami, dan mengurus dan mendidik anak, tetapi ketika di luar rumah mereka memiliki kemampuan yang luar biasa dalam menjalankan perannya perannya sebagai pengusaha. Sumarni dalam novel Enrok, memperjuangkan hidupnya sebagai pelaku bisnis. Marni yang buta huruf mempunyai pemikiran maju. Impiannya akan memiliki entrok telah membawa perubahan dalam hidupnya. Marni mulai mencari kehidupan di luar dari ranah domistik. Setelah Marni menikah dengan Teja, yaitu seorang kuli angkat barang, Marni mulai berpikir untuk menjadi seorang pebisnis. Dia berjualan dari rumah ke rumah, membawa barang dagangan yang dipesan oleh pelanggannya. Dia memulai usahanya dari bawah hingga akhirnya dia menjadi seorang pengusaha yang turut diperhitungkan di kampungnya. Hal ini dapat dilihat pada kutipan di bawah ini, “Laris dagangannya, Mbakyu?” tanyanya pada Ibu. “Ya, syukur, Pak. Namanya juga rezeki.” “Rezeki itu nggak dating sendiri to, Mbakyu… rezeki harus dicari.” “Iya, Pak.” (En, 2010:62).
Universitas Sumatera Utara
Sebelumnya Marni berjualan sebagi pedagang sayuran keliling. Dia memulai pekerjaan ini sebelum menikah dengan Teja. Dia mendapatkan modal dari hasil tabungannya selama dia bekerja sebagai kuli angkat barang di Pasar Ngranget. Awalnya dia menjual sayuran sepanjang jalan yag dilewatinya dari Singget ke Pasar Ngranget dan seluruh desa Singget, seperti yang dapat dilihat pada kutipan berikut, Begitulah yang kulakukan setiap hari. Berangkat dari rumah bersama Simbok ke Pasar Ngranget. Membeli barang dagangan, lalu pulang lagi. Mampir ke setiap rumah yang ada di sepanjang jalan dan di seluruh Singget. Tak butuh waktu lama aku sudah punya langganan-langganan tetap. Ada Bu Jujuk, istri pesuruh kantor kecamatan, Bu Ningsih yang suaminya juragan bata, tiga istri guru, juga semua istri pejabat kelurahan. Meski masih banyak pembeli lainnya, mereka inilah yang selalu belanja tiap hari. Mereka juga sering menitip dibawakan belanja sesuai kemauan mereka (En, 2010:45). Sumarni juga berprofesi sebagai rentenir. Di kampung Singget belum ada orang yang berpikir seperti Marni. Ide ini muncul ketika Yu Minah meminjam uang kepada Ibu untuk membeli obat buat anaknya yang sedang sakit sebesar lima ribu rupiah. Karena Yu Minah tidak mempunyai uang, maka hutang tersebut dicicil setiap hari sebesar seratus rupiah selama tujuh puluh lima hari. Sejak itu, banyak orang yang meminjam uang kepada Marni yang dapat dilihat pada kutipan berikut, Ibu menyerahkan uang lima ribu pada Yu Minah. Yu Minah harus mengembalikan 7.500 yang akan dicicil selama 75 hari. Setiap hari, Yu Minah membayar seratus pada Ibu. Hari berganti hari, entah bagaimana awalnya, makin banyak orang yang meminjam uang pada Ibu. Ibu yang niatnya mendapat untung dari jualan barang, kini mengambil keuntungan dari uang yang dipinjam orangorang. Toh tak berbeda jauh. Mereka sedang butuh uang, bukan barang. Sementara Ibu bakulan, yang mencari keuntungan dengan memutar uangnya. Entah dengan memakainya untuk kulakan barang atau meminjamkannya pada orang begitu saja (En, 2010:68-69).
Universitas Sumatera Utara
Nyai Dimah juga dalam novel Entrok, memperjuang hidupnya sebagai pelaku bisnis. Untuk menghidupi keluarganya, Nyai Dimah berjualan gaplek di pasar Ngranget. Pemikiran Nyai Dimah lebih maju dari penjual singkong lainnya. Kebanyakan pedangang lain, masih menjual singkong-singkong itu apa adanya, tanpa diolah. Harganya tidak jauh berbeda dengan harga yang dibeli dari petani, sehingga keuntungan yang mereka peroleh sedikit. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut, Jualan singkong sudah bertahun-tahun menjadi pekerjaan Nyai Dimah, perempuan yang mempekerjakan kami. Dia membeli singkong dari petani-petani yang mengantar ke pasar. Nyai Dimah yang sudah menunggu di losnya tinggal membayar, lalu menunggu orang-orang seperti Simbok mengupas dan mengolah menjadi gaplek. Orang-orang datang membeli gaplek yang sudah jadi. Gaplek dicampur sambal dan daun singkong adalah makanan yang luar biasa enak. Kulit singkong bias dijual lagi untuk makanan sapi atau kambing (En, 2010:24). Nyai Dimah mengolah singkong tersebut menjadi gaplek. Singkong dikupas, lalu dibelah-belah menjadi bagian yang kecil, lalu dijemur supaya kering. Singkong yang sudah kering ini disebut gaplek. Orang-orang datang membeli gaplek yang sudah jadi. Nyai Dimah membeli singkong dari pedagang, lalu singkong tersebut diolah menjadi gaplek. Nyai Dimah mempekerjakan Simbok sebagai pengupas singkong. Sebagai upahnya, Simbok diberi singkong. Hal ini didukung oleh kutipan di bawah ini, Tidak semua penjual singkong di pasar ini sepintar Nyai Dimah, bisa mengolah singkong menjadi gaplek sebelum dijual. Kebanyakan pedagang masih menjual singkong-singkong itu apa adanya. Harganya tak berbeda jauh dengan harga beli dengan petani, sehingga keuntungan yang didapat ala kadarnya (En, 2010: 24). Dari hasil menjual gaplek, Nyai Dimah bisa membangun rumah yang terbuat dari batu bata dan genteng dari tanah liat. Sesuatu yang luar biasa, jika
Universitas Sumatera Utara
dibandingkan dengan rumah lain, yang masih berdinding gedek dan beratap daun pohon kelapa. Kedua anak Nyai Dimah juga berjualan gaplek. Kios mereka berjauhan. Kios Nyai Dimah berada di depan, sedangkan kios anaknya berada di tengah dan di belakang yang dapat dilihat dari petikan novel berikut ini, Dari duit gaplek, Nyai Dimah bias membangun rumah bata dan bergening tanah liat. Sesuatu yang luar biasa dibandingkan rumah kami yang berdinding gedek dan beratap daun pohon kelapa. Dua anak Nyai Dimah juga berjualan gaplek di pasar ini. Lapak mereka berjauhan. Kalau orang masuk dari pintu depan pasar, lapak Nyai Dimah yang akan dijumpai. Sementara kalau masuk dari belakang, yang berbatas langsung dengan sungai, akan langsung bertemu penjual gaplek yang laki-laki yang tak lain anak pertama Nyai Dimah. Anak perempuannya berjualan di tengah pasar, bersebelahan dengan penjual dawet dan ampyang (En, 2010:24-25). Sosok
perempuan pelaku bisnis lainnya adalah Arimbi. Dalam novel
tersebut, Arimbi berperan sebagai pedagang di rumahnya setelah dia keluar dari penjara. Mulanya Arimbi berdagang kecil-kecilan hingga akhirnya barang dagangannya menjadi banyak. Dia menjual segala barang kebutuhan harian rumah tangga. Dari hasil jualannya tersebut, Arimbi bisa membayar angsuran rumah dan memenuhi
kebutuhan
hidup
keluarga
mereka.
Penghasilan
suaminya
dipergunakan untuk membayar hutang dan biaya pengobatan ibunya yang mengidap penyakit ginjal. Setiap minggu ibunya harus cuci darah. Penghasilan suaminya habis untuk orangtuanya, sehingga Arimbi mencari alternatif lain menjadi pelaku bisnis. Hal ini didukung oleh kutipan novel berikut, Awalnya hanya tetangga sebelah rumah yang belanja ke tokoh Arimbi. Lalu dari mulut ke mulut menyebar, dan pembeli tip hari terus bertambah. Dua hari sekali Arimbi belanja. Selain membeli dagangan yang sudah habis, ia juga membeli barang yang dicari orang tapi belum ada ditokonya. Setiap keuntungan disimpan Arimbi di laci khusus. Uang pokok disimpan di tempat lain…(86, 2011:234).
Universitas Sumatera Utara
Bu Danti menjadi pelaku bisnis bukan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, tetapi untuk mencari status dan prestise. Bu Danti sebagai ketua panitera di kantor pengadilan, mempunyai peluang yang besar sebagai pelaku bisnis dalam menyelesaikan kasus-kasus yang dihadapi para terdakwa, sehingga dia disebut sebagai makelar kasus. Dari makelar kasus ini, Bu Danti dapat membeli sebuah rumah mewah, mobil mewah, dan hampir setiap bulan berlibur dengan anak-anaknya. Setiap pergantian tahun, mereka pergi berlibur ke luar negeri yang dapat dilihat pada kutipan berikut, “Dari Bu Danti ya?” Tanya Pak Made. Iya, Pak. Ibu minta ditandatangani.” Pak Made mengulurkan tangan meminta kertas-kertas yang dipegang Arimbi. Arimbi menyerahkan dan berkata, “Maaf, Pak, belum dijilid. Baru selesai diketik.” Pak Made tak berkata apa-apa. Dia menandatangani cepat-cepat. Lalu mengulurkannya lagi pada Arimbi dan berkata,” Bu Danti dimana?” “Masih di Bali, Pak. Ada seminar.” Pak Made menjawab, “Jalan-jalan terus dia ya.” (86, 2011:101102). Cik Aling menjadi pelaku bisnis sebagai pengedar narkoba sejenis sabusabu dari balik penjara. Cik Aling dibantu oleh beberapa nara pidana lainnya meracik narkoba di dalam penjara. Dia mendatangkan bahannya dari luar dengan bantuan kepala penjara dan sipir penjara. Mereka meracik, menimbang, dan mengemas bahan tersebut. Setelah dikemas, sabu-sabu siap untuk diedarkan. Sebelum masuk penjara, Cik Aling juga berjualan sabu-sabu. Dia berhatihati, dalam setiap gerak langkahnya selalu diawasi oleh polisi. Cik Aling tidak takut pada polisi. Asalkan setoran lancar, dia tetap aman. Hingga suatu hari dia
Universitas Sumatera Utara
dipergoki oleh wartawan dan akhirnya masuk penjara. Di dalam penjara, justru Cik Aling lebih leluasa mengedarkan sabu-sabu tersebut, seperti kutipan berikut, “Di sini malah aman. Lihat sendiri, kamarku jadi pabrik sabusabu,” katanya sambil terbahak-bahak. “Di sini, enggak perlu kucingkucingan lagi. Yang penting setoran lancar, semua aman. Delapan enaaam!” Arimbi tertawa mendengarnya. Sekarang dia paham, dan sudah bisa membayangkan. Dari sel inilah segala urusan sabu-sabu dikendalikan. Berbagai serbuk obat-obatan yang jadi bahan didatangkan dari luar. Orang-orang yang dari dulu jadi langganan Cik Aling belanja bahan mengantar ke penjara. Petugas-petugas yang sudah mendapat jatah bulanan, membuka pintu lebar-lebar. Kalaupun sesekali ada pemeriksaan, paling hanya berakhir dengan senyuman, tanpa pernah ada penyitaan (86, 2011: 204). Cik Aling mempunyai beberapa orang kurir yang siap mengedarkan narkoba tersebut di luar penjara. Dia merekrut anggota baru dengan menjerat mereka dengan meminjamkan uang terlebih dahulu. Setelah mereka terikat hutang, mau tidak mau mereka harus melakukan yang diperintahkan Cik Aling. Salah satu contoh adalah Ananta, suami Arimbi. Arimbi yang membutuhkan uang untuk keperluan berobat ibunya, terpaksa harus menyuruh Ananta untuk membantu Cik Aling. Dari hasil berjualan sabu-sabu ini, Cik Aling bisa hidup tenang dan nyaman di penjara, juga bisa membiayai kebutuhan hidup keluarganya. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut, Di hari-hari tertentu ada orang-orang yang datang mengambil sabusabu. Mereka inilah yang akan mengedarkan ke banyak orang. Tugas Tutik yang menimbang, membungkus, dan membagikan kepada orangorang itu. Umi dan Watik hanya membantu di dalam kamar. Dan sekarang Arimbi dan Ananta juga menjadi bagian dari tangan-tangan itu.sabu-sabu Cik Aling tidak hanya menunggu diambil orang, tapi diantar sendiri oleh orang suruhan Cik Aling, salah satunya Ananta (86, 2011:205). Setelah Pak Ali meninggal dunia, Bu Ali melanjutkan usaha suaminya mengurus madu dan susu kuda Sumbawa. Bu Ali adalah ibunya Umar. Mereka
Universitas Sumatera Utara
mempunyai peternakan kuda dan lebah. Dalam menjalankan bisnisnya Bu Ali dibantu oleh Umar. Untuk mengurus peternakan diserahkan kepada Umar, sedangkan untuk pemasaran dilakukan oleh Bu Ali. setelah Umar menikah dengan Maryam, Bu Ali tidak lagi mengurus penjualan madu dan susu. Semua diserahkannya kepada Umar dan Maryam. Hal ini dapat dilihat dari percakapan antara Bu Ali dan Umar sebagai berikut, “Lumayan juga usaha seperti ini ya, Bu?” Bu Ali mengangguk, “Ya. Lumayan, tapi mana ngerti kita, ke Moyo saja kita malah tak pernah.” Bu Ali dan Umar tertawa bersama. (My, 2012:138) Maryam terjun ke dunia bisnis setelah menikah dengan Umar. Dia membantu pekerjaan suaminya. Dalam keseharian, Maryam dan Umar berbagi peran. Maryam mencatat semua uang masuk dan uang keluar dan membuat pembukuan. Maryam
membuat nama merek dagang mereka. setiap kemasan
madu diberi nama Em‟s Sumbawa Honey dan Em‟s Sumbawa Horse Milk untuk susu. Maryam mengirimkan contoh ke supermarket-supermarket dan restoranrestoran yang ada di Lombok, Bali, dan Jawa. Ada yang menanggapi dan minta dikirimkan seratus kemasan untuk dijual. Dengan bantuan Maryam, usaha mereka semakin meningkat. Hal ini dapat dilihat dari penggalan novel berikut, Dalam keseharian, Maryam dan Umar berbagi peran. Maryam ikut membantu usaha Umar. Mencatat semua uang masuk dan uang keluar, membuat pembukuan modern yang sebelumnya hanya mengandalkan ingatan. Ia juga berkelana di internet, mencari-cri peluang untuk memperluas pengiriman susu dan madu. Maryam juga yang mengusulkan agar mereka membuat merek dagang. Menempelkannya pada setiap kemasan agar semakin dikenal (My, 2012:214). Nuraini sebagai pelaku bisnis karena untuk membantu suaminya memenuhi kebutuhan hidup. Pekerjaan suaminya tidak menentu, terkadang pergi
Universitas Sumatera Utara
ke laut. Mereka mempunyai enam orang anak. Suaminya bukan orang yang tinggal di pinggir laut, oleh karena itu dia menjadi nelayan sebisanya saja. Hasil yang diperoleh juga tidak banyak sehingga dia tidak bisa memenuhi kebutuhan keluarganya. Untuk membantu suaminya, Nur berjualan kain sarung khas Lombok. Dia menawarkan dagangannya kepada para turis sampai ke Kuta. Kadang-kadang dia mendapat hasil yang banyak, terkadang juga tidak mendapat apa-apa. Nur menjalani kehidupan ini dengan ikhlas. Dari hasil berjualan kain tersebut dia tidak berharap banyak yang penting bisa menyekolahkan anaknya yang dapat dilihat pada kutipan berikut ini, Maryam terkejut mendengarnya. Jarang ada pedagang yang menanyakan nama pembelinya. Jangan-jangan orang ini kukenal, pikir Maryam. Maryam memperhatikan perempuan itu lekat-lekat. Rambutnya digelung sembarangan. Kausnya yang putih terlihat dekil. Sarung yang dikenakan, motif bunga-bunga merah, sudah terlihat pudar. Maryam tersenyum saat menyadari ia memang kenal dengan perempuan itu. Walaupun usia sudah banyak mengubah wajah itu, dan waktu telah banyak menghapus ingatan, masih ada yang dikenali Maryam dari perempuan itu. “Nur…” sapa Maryam. Perempuan itu Nuraini. Tetangganya di Gerupuk. Mereka seumuran. Teman sejak kecil (My, 2012:191).
5.3.1.2 Perjuangan Perempuan dalam Mempertahankan Hidup Dalam mempertahankan hidup, manusia harus memenuhi kebutuhan primer. Perjuangan perempuan dalam mempertahankan hidup di jaman orde baru dapat dilihat dalam novel Enrok melalui tokoh Simbok, sedangkan perjuangan perempuan dalam mempertahankan hidup di jaman reformasi melalui tokoh Arimbi dan Tutik yang dapat dilihat dalam novel 86, dan Nurani dalam novel Maryam.
Universitas Sumatera Utara
Keadaan Simbok yang miskin menyebabkan dia harus bekerja keras. Suaminya tidak pernah memberi uang. Untuk mempertahankan hidup Simbok melakukan pekerjaan apa saja. Setiap hari Simbok ke pasar. Simbok menawarkan diri untuk membantu pedagang-pedagang di pasar. Dari hasil pekerjaannya, Simbok memperoleh upah berupa singkong, ketan, atau baju. Jika tidak ada pekerjaan, Simbok mencari sisa-sisa dagangan yang akan dibuang oleh pemiliknya. Kehidupan Simbok sangat memprihatinkan yang dapat dilihat dari kutipan berikut ini, Aku diam. Aku tahu Simbok benar. Bisa makan tiap hari saja sudah harus disyukuri. Simboklah yang mencari semuanya. Setiap hari ke pasar. Kalau pas untung ya ada pekerjaan, kalau tidak ya mencari sisa-sisa dagangan yang akan dibuang penjualnya. Kadang Simbok menawarkan diri untuk membantu pedagang-pedagang itu. Pekerjaan apapun dilakukan. Imbalannya singkong, ketan, dan pernah sekali waktu baju. Sayangnya, tak ada satu pun yang memberi upah entrok Entrok memang terlalu mewah untuk aku dan Simbok. Apa yang masih dipikirkan seorang perempuan kere buta huruf dengan tanggungan seorang anak selain hanya makan? Suaminya, yang konon adalah bapakku, minggat entah kemana. Sejak kapan dia pergi aku juga tak ingat. Samarsamar aku hanya mengingat Bapak meninggalkan kami waktu aku pertama kali bisa mengangkat panci yang airnya mendidih dari pawon. (En, 2010:17). Sebenarnya Simbok memiliki suami, namun suaminya tidak pernah memberinya uang. Suaminya tidak mau bekerja. Suaminya hanya menunggu makanan yang disajikan oleh Simbok. Ketika Simbok demam panas dan tidak bisa ke pasar untuk bekerja, suaminya memukulinya. Dia seperti orang yang kesurupan karena tidak ada makanan. Jika Simbok tidak bekerja, berarti mereka tidak bisa makan.
Sejak peristiwa itu suaminya pergi
dan tidak pernah kembali lagi.
Simbok pasrah menjalani hidupnya. Sebagai seorang wanita Jawa, Simbok hanya bisa nrimo. Setelah suaminya pergi, Simbok harus bekerja lagi untuk memenuhi
Universitas Sumatera Utara
kebutuhan hidup dirinya dan anaknya, Marni. Hal ini dapat dilihat pada kutipan novel berikut, Samar-samar dalam ingatanku, terbayang Bapak memukul Simbok yang sedang sakit panas dan tidak bisa ke pasar. Kalau Simbok tidak ke pasar, kami tidak akan punya makanan. Dan laki-laki itu dengan seenaknya hanya menunggu makanan. Dia seperti anjing gila yang marah saat kelaparan. Iya. Dia memang anjing gila. Hanya anjing gila kan yang menggigit istrinya yang sedang sakit. saat itu aku sangat ketakutan. Menyembunyikan diri di balik pintu sambil menangis sesenggukan. Lakilaki itu pergi setelah menghajar istrinya dan tak pernah kembali lagi (En, 2010: 7-18). Arimbi bekerja sebagai PNS untuk mempertahankan hidup di Jakarta. Dengan gaji yang pas-pasan Arimbi hanya bisa mengontrak sebuah kamar di daerah kumuh. Gajinya setiap bulan habis untuk membayar listrik, ongkos ke kantor, biaya makan sehari-hari, sewa kamar, dan mengirimkan sedikit uang belanja untuk orang tuanya di kampung. Arimbi menyisakan sedikit uangnya untuk ditabung dan tabungan itu akan habis setiap tahunnya untuk keperluan pulang ke kampung di saat lebaran. Hal ini dapat dilihat dari kutipan novel berikut, Bapak dan ibu Arimbi di kampung bangga setengah mati pada anaknya yang sekarang tinggal di Jakarta ini. Kepada setiap orang dia mengatakan anak perempuannya sekarang jadi pegawai kantor pengadilan di Jakarta. Satu kantor bersama jaksa dan hakim. Padahal kenyataannya Cuma menjadi juru ketik dan tukang fotocopy. (86, 2011:12) Tutik bekerja kepada Cik Aling dan Bu Danti sebagai pembantu di dalam penjara. Selain itu, sebagai kepala kamar, Tuti juga sering mendapat uang tambahan dari teman sekamarnya. Tuti berasal dari Ponorogo. Kemiskinan yang menimpa keluarganya, membuat dia nekat bekerja sebagai wanita penghibur, hingga dia memiliki seorang anak tanpa ayah. Kemudian, Tuti berangkat ke
Universitas Sumatera Utara
Jakarta dan bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Setiap bulan Tutik mengirim uang ke kampung untuk biaya orang tua dan anaknya. Sampai akhirnya dia masuk penjara, Tuti berusaha bekerja apa saja, asalkan dia bisa mengirim uang untuk keluarganya yang dapat dilihat pada kutipan berikut, … Empat tahun lalu dia berangkat ke Jakarta, jadi pembantu dari anak seorang tetangga yang tinggal di Ibukota. Digaji 300.000 sebulan, tiga kali lipat dari upahnya saat dia jadi pembantu di desa. Demi uang yang berlipat, dia tinggalkan anaknya yang saat itu baru umur sepuluh bulan bersama ibunya. Suaminya sudah tak jelas ada dimana. Memang sebenarnya mereka tak pernah menikah. Hanya ketemu beberapa kali saat Tutik disuruh majikannya belanja ke pasar. Laki-laki itu kenek bus yang biasa ia tumpangi. “Pancen dasar tukang ngerayu, siang-siang diajak nyoblos ning mburi pasar.” Katanya pada Arimbi. (86, 2011:175). Nuraini bekerja sebagai penjual sarung di pantai Kuta untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Nuraini mempunyai enam orang anak. Dia juga terlahir dari keluarga miskin. Dia pernah bekerja sebagai TKI ke Arab Saudi, namun kehidupannya tetap juga tidak berubah. Ketika dia berangkat ke luar negeri, justru suaminya kawin lagi dan mempunyai anak dari istrinya yang baru. Nuraini tidak bisa hanya mengharapkan uang dari suaminya, apalagi tanggungan suaminya sudah semakin banyak. Berikut ini adalah kutipan yang mendukung peristiwa tersebut, “Majikanku baik. Alhamdulillah. Tidak seperti yang di berita-berita itu,” jelas Nur. Setiap bulan Nur mengirimkan semua gajinya ke rumah. Sebelumnya, suaminya sudah membuka rekening di BRI kecamatan. Suaminya yang setiap bulan mengambil uang kirimannya. Dengan uang itu seluruh keperluan keluarganya dibiayai. Makan dan sekolah anak-anaknya. Dengan uang itu juga, rumah ibu Nur bias sedikit diperbaiki. Punya penghasilan tetap setiap bulan dari pekerjaan istrinya membuat suami Nur yang memang tak akrab dengan laut semakin malas untuk melaut (My, 2012:200-201). Fatimah bekerja di sebuah restoran di bagian menyiapkan hidangan untuk tamu-tamu hotel. Pekerjaan ini baru saja didapatkannya sekitar tiga bulan lalu.
Universitas Sumatera Utara
Sebelumnya, dia sudah banyak memasukkan lamaran ke tempat lain, tetapi tidak ada yang menerimanya dengan bekal hanya ijazah SMA dan pengalaman apa-apa. Dia bekerja delapan jam sehari. Kadang dari pagi sampai sore, terkadang dari siang sampai malam, bergantian dengan pegawai lainnya. Libur satu kali setiap minggu pada hari Rabu dengan gaji Rp. 600.000,- per bulan. Penghasilan ini cukup untuk kebutuhan hidupnya dan sedikit-sedikit ikut menyumbang keperluan rumah, yang dapat dilihat pada petikan novel berikut ini, Maryam paham. Ia pun akan demikian kalau menjadi bapaknya. Hanya Fatimah yang ikut mereka pulang. Fatimah harus bekerja hari ini. Ia akan memakai baju Maryam lalu menuju tempat kerjanya. Aku harus tetap bekerja untuk mempertahakan hidup, juga agar bisa membantu keluarga dan tetangga-tetangga, pikir Fatimah (My, 2012:232).
5.3.1.3 Meningkatkan Taraf Hidup Manusia dalam kehidupannya senantiasa menginginkan kesejahteraan. Manusia menginginkan agar seluruh kebutuhan hidupnya terpenuhi. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya tersebut, manusia melakukan suatu kegiatan dalam bentuk usaha. Banyak usaha yang dapat dilakukan untuk meningkatkan taraf hidup manusia. Mulai dari meningkatkan tingkat pendidikan, harta, tahta atau jabatan dan status sosial serta masih banyak faktor lain yang menjadikan manusia selalu berlomba-lomba meningkatkan taraf hidupnya demi mencapai kesempurnaan hidup. Melalui tingkat pendidikan yang biasanya sekolah hanya sampai lulus SMP dan SMA lalu kerja atau nikah, kini berusaha meningkatkan pendidikan hingga kuliah dan mendapatkan gelar sarjana atau bahkan hingga sampai ke
Universitas Sumatera Utara
jenjang S2 dan S3. Hal ini dapat meningkatkan taraf hidup manusia tentunya, banyak orang percaya bahwa kalau pendidikan yang didapatkan semakin tinggi maka semakin besar pula kesempatan hidupnya untuk meningkat. Hal ini terutama terjadi pada mereka yang bergelar PNS (Pegawai Negeri Sipil), karena tingkat pendidikan merupakan hal yang sangat berpengaruh dalam peningkatan golongan jabatan seorang PNS, dan bila golongan jabatan meningkat maka itu berarti menandakan sebuah peningkatan taraf hidupnya, apalagi bagi PNS Guru atau Dosen yang telah mendapatkan sertifikasi. Meningkatkan taraf hidup dengan harta, harta bisa didapatkan dengan cara bekerja, bekerja apa saja terutama dengan cara yang halal dapat meningkatkan taraf hidup manusia, mulai dari kerja yang bersifat individu/kelompok atau wiraswasta hingga bekerja kepada institusi pemerintahan yang berbasis negeri atau PNS. Bekerja merupakan salah satu cara agar manusia dapat mencukupi kebutuhan hidup, dengan bekerja bisa mendapatkan uang untuk membeli makanan guna menghilangkan rasa lapar, uang bisa digunakan untuk membeli sandang guna menutupi tubuh dan juga dengan uang seseorang bisa mendapatkan papan (tempat tinggal) atau bisa disebut dengan rumah. Itulah tiga hal yang merupakan kebutuhan primer manusia yaitu, pangan, sandang dan papan. Perjuangan perempuan dalam meningkatkan taraf hidup dapat dalam novel Entrok melalui tokoh Sumarni dan 86 melalui tokoh Anisa, Bu Danti, dan Cik Aling. Entrok dalam teks bisa diartikan sebagai simbol wanita sekaligus sebagai simbol perubahan. Hal itu didasarkan pada pembacaan atas teks secara mendalam. Entrok tersebut merupakan simbol wanita memiliki makna ganda, baik ketika ia
Universitas Sumatera Utara
berdiri sebagai simbol yang utuh dan independent tanpa dikaitkan dengan teks, maupun ketika dikaitkan dengan teks secara keseluruhan. Jika dikaitkan dengan teks, entrok tersebut adalah simbol peran wanita yang terbatas hanya di ruang domestik (privat). Simbol entrok dalam teks juga dapat dimaknai sebagai simbol perubahan peran wanita dari ruang domestik ke ruang publik dan dari wanita tradisional menjadi wanita modern. Benda bernama entrok yang ada dihadirkan lewat tokoh Tinah dalam teks menjadi sebuah motif yang selanjutnya mampu merubah pandangan tokoh Sumarni tentang kerja keras. Keinginan yang kuat untuk memiliki entrok membuat tokoh Sumarni menjadi pekerja keras dengan mendobrak pakem ilok ora ilok sekaligus perlahan-lahan bisa lepas dari kemiskinan yang dapat dilihat pada kutipan novel berikut, Pagi itu kami berangkat ke pasar, tanpa menyinggung rencanaku nguli. Simbok sudah yakin aku tak akan melakukan hal yang ra ilok. Padahal dalam hati aku tetapbertekad akan nguli. Akan kutinggalkan Simbok saat dia sibuk mengupas singkong-singkong Nyai Dimah. Aku akan pergi sebentar-sebentar. Setiap selesai ngangkat barang, aku akan kembali sebentar mengupas singkong. Imbok akan mengira aku kebelet atau bermain dengan anak-anak pasar (En, 2010:35). Dalam perkembangan selanjutnya, tokoh Sumarni memiliki kapabilitas dalam menghadapi lingkungan sosial di sekitarnya dengan penuh kreasi. Pada akhirnya dia tumbuh menjadi wanita dengan pribadi yang ulet dan memiliki keinginan yang kuat untuk terus maju. Meskipun begitu, dia tetap tidak bisa sepenuhnya lepas dari sikap pasrah, nrima, ikhlas, dan sabar dalam menghadapi situasi tertentu sebagai laku wanita Jawa.
Universitas Sumatera Utara
Dilihat dari status ibu bekerja, tampak bahwa ibu bekerja lebih berani daripada ibu rumah tangga dalam mengemukakan pendapat. Hal ini dipahami barangkali karena ibu bekerja terbiasa dala posisi dituntut untuk lebih mandiri dalam mengambil keputusan terkait hal-hal yang dihadapi di tempat kerja. Selain itu, ibu bekerja lebih berani berjuang untuk mencapai kesejahteraan. Dengan kata lain, ibu bekerja mendapatkan wawasan berkenaan dengan hal-hal berkaitan dengan perbaikan kesejahteraan. Anisa bekerja di kantor pengadilan sebagai juru ketik, sama dengan Arimbi. Anisa adalah pegawai negeri yang menerima gaji setiap bulannya. Suaminya juga adalah seorang pegawai negeri. Gaji mereka berdua sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Anisa mendapatkan uang sampingan untuk meningkatkan taraf hidupnya. Dari hasil sampingan tersebut Anisa bisa membeli sebuah rumah mewah, mobil, dan berlibur bersama keluarganya setiap tahun, seperti pada penggalan novel berikut ini, Sepanjang malam Arimbi memikirkan kata-kata Anisa. Pantas saja dia punya semuanya, kata Arimbi dalam hati. Arimbi menyebutnya satu per satu. Rumah, mobil… bahkan ada dua mobil di rumahnya, handphone bagus, jam tangan bagus, tas dan sepatu yang macam-macam bentuknya, bisa jalan-jalan, bisa naik pesawat. Arimbi ingat Bu Danti dan segala yang dia punyai. Mobil Bu Danti lebih bagus daripada Anisa. Honda jazz warna merah. Pasti rumahnya juga lebih bagus daripada rumah Anisa. Bu Danti tidak berlibur ke Bandung, tetapi ke Singapura. Jangan-jangan itu juga jatah dari pengacara, pikir Arimbi (86, 2011:71). Bu Danti bekerja di kantor pengadilan. Dia juga seorang pegawai negeri. Selain itu, Bu Danti memegang jabatan struktural sebagai ketua seksi panitera persidangan.
Bu
Danti
adalah
atasan
Arimbi
dan
Anisa.
Bu
Danti
menyelewengkan jabatan yang dianugerahkan kepadanya. Melalui jabatan ini, Bu
Universitas Sumatera Utara
Danti menjadi makelar kasus. Pengacara terdakwa banyak yang minta tolong kepadanya. Tentu saja dengan imbalan yang sangat memadai. Dari hasil makelar kasus ini, Bu Danti mendapatkan penghidupan yang layak dan harta yang berlimpah. Hampir setiap bulan Bu Danti berlibur bersama keluarganya. Di akhir tahun mereka berlibur ke luar negeri. Hal ini didukung oleh ilustrasi novel berikut ini, “ini nanti urusannya sama Pak Dewabrata, Mbi. Aku sudah omong, beres semua. Sudah sering urusan begini sama beliau. Orangnya enak, nggak kebanyakan minta. Kalau yang lain-lain suka bikin repot,” Bu Danti bercerita tanpa ditanya. “Tapi kan hakimnya ada tiga, Bu?” “Iya, yang lain nurut ketuanya. Ini nanti seorang dapat lima ratus,” kata Bu Danti sambil mengambil beberapa bundle uang seratus ribu. Diserahkan uang itu ke Arimbi. “Jatahmu, lumayan kan, buat pengantin baru, bias nyicil buat beli rumah.” (86, 2011:142-143) Cik Aling adalah pengusaha narkoba di dalam penjara. Sebelum masuk penjara, Cik Aling juga berjualan narkoba. Cik Aling bisa hidup nyaman di penjara, dengan ruangan yang luas dan fasilitas kamar yang lengkap. Dari hasil penjualan narkoba ini, Cik Aling dapat menghidupi keluarganya yang dapat dilihat pada kutipan novel berikut ini, “Judulnya dihukum masuk penjara., tapi ternyata usahaku malah makin lancar di sini,” Aling melanjutkan kalimatnya sambil tersenyum. “Kok bias begitu, Cik?” Tanya Arimbi. Ia benar-benar ingin tahu. “Ya iya, di luar dulu aku mesti kucing-kucingan sama polisi. Kalau polisinya gampang, ya kita tinggal kasi duit. Sialnya ya kayak terakhir itu. Ada grebekan bawa wartawan, ya sudah, habis aku di penjara.” Aling berdiri lagi. Berjalan menuju kulkas, mengambil satu kaleng bir. Setelah minum satu tegukan, ia kembali duduk di samping Arimbi dengan memegang kaleng minumannya (86, 2011:204).
Universitas Sumatera Utara
5.3.2 Perjuangan Perempuan dalam Bidang Keyakinan Perjungan perempuan dalam bidang keyakinan meliputi dua jenis yaitu kejawen dan Ahmadiyah. Mereka berjuang untuk mempertahankan keyakinan mereka akan kebenaran yang dianut. Berikut akan dijelaskan satu persatu. Jenis perjuangan ini dapat dilihat pada bagan dibawah ini,
Perjuangan Perempuan dalam bidang Keyakinan
Kejawen (Simbok, Sumarni)
Ahmadiyah (Maryam, Fatimah, Bu Zul, Bu Khairuddin, Bu Ali)
Bagan 5.2 Perjuangan Perempuan dalam Bidang Keyakinan
5.3.2.1 Kejawen Kejawen dapat diungkapkan dengan baik oleh mereka yang mengerti tentang rahasia kebudayaan Jawa. Kejawen ini sering sekali diwakili dengan baik oleh golongan elite priyayi lama dan keturunannya yang menegaskan bahwa kesadaran akan budaya sendiri merupakan gejala yang tersebar luas dikalangan orang Jawa. Kesadaran akan budaya ini sering kali menjadi sumber kebanggaan dan identitas kultural. Orang-orang inilah yang memelihara warisan budaya Jawa secara mendalam sebagai Kejawen. Keagamaan orang Jawa Kejawen ditentukan
Universitas Sumatera Utara
oleh kepercayaan mereka pada berbagai macam roh-roh yang tidak kelihatan yang dapat menimbulkan bahaya seperti kecelakaan atau penyakit apabla mereka dibuat marah atau penganutnya tidak berhati-hati dalam bertindak. Untuk melindungi semua itu, orang Jawa Kejawen memberi sesajen atau caos dahar yang dipercaya dapat mengelakkan kejadian-kejadian yang tidak diinginkan dan mempertahankan batin dalam keadaan tenang. Sesajen yang digunakan biasanya terdiri dari nasi dan aneka makanan lain, daun-daun, bunga serta kemenyan. Sesajen ini dapat dilihat pada kutipan berikut, Sesajen dan dupa yang sudah disiapkan dari Madiun diletakkan di samping makam. Ada tumpeng lengkap dengan panggang dan ubo rampenya, buah-buahan, dan rokok. Selama tirakat mereka tidak akan berbicara dan makan-minum. Mereka juga dilarang memikirkan hal-hal yang tidak baik. Satu-satunya yang mereka lakukan adalah berdoa memohon berkah (En, 2010:95). Contoh kegiatan religius dalam masyarakat Jawa, khususnya orang Jawa Kejawen adalah puasa. Orang Jawa Kejawen mempunyai kebiasaan berpuasa pada hari-hari tertentu misalnya Senin-Kamis atau pada hari lahir, semuanya itu merupakan asal mula dari tirakat. Dengan melakukan tirakat, orang dapat menjadi lebih tekun dan kelak akan mendapat pahala seperti pada kutipan berikut, Dulu sekali, aku juga melakukan apa yang ibu lakukan. Ibu membangunkanku, lalu kami berdua duduk di bawah pohon asem. Kata ibu, itu namanya berdoa, tirakat. Ibu mengajariku untuk nyuwun. Katanya semua yang ada di dunia milik Ibu Bapa Bumi Kuasa. Dialah yang punya kuasa untuk memberikan yang kita inginkan. “Nyuwun supaya jadi orang pintar. Bisa jadi pegawai,” kata Ibu (En, 2010: 55-56). Orang Jawa Kejawen menganggap bertapa adalah suatu hal yang sangat penting dalam hidup. Dan orang yang berabad-abad bertapa dianggap sebagai orang keramat karena dengan bertapa, orang dapat menjalankan kehidupan yang
Universitas Sumatera Utara
ketat dan disiplin tinggi serta mampu menahan hawa nafsu sehingga tujuan-tujuan yang penting dapat tercapai. Kegiatan orang Jawa Kejawen lainnya adalah meditasi atau semedi. Meditasi atau semedi biasanya dilakukan bersama-sama dengan tapabrata (bertapa) dan dilakukan ditempat tempat yang dianggap keramat, misalnya di gunung, kuburan, ruang yang dikeramatkan dan sebagainya. Pada umumnya orang melakukan meditasi untuk mendekatkan atau menyatukan diri dengan Tuhan. Marni pergi ke Gunung Kawi untuk melakukan meditasi atau semedi. Hal ini dilakukannya untuk berdoa kepada sang Pencipta yaitu Mbah Ibu Bapak Bumi Eyang Kuasa, seperti yang dapat dilihat pada kutipan berikut, Koh Cayadi menceritakan salah satu kebiasaan keluarganya yang diyakini terbukti membantu kelancaran usaha mereka. Sejak bertahuntahun lalu, tepatnya saat ia masih kanak-kanak di Surabaya, orangtuanya rutin mengajaknya ke Gunung Kawi. Gunung Kawi ada di Malang, kota di selatan Surabaya. Mereka bias pergi naik bus, dengan lama perjalanan dua jam. Di gunung itu, ada makam, yang bisa memberikan berkat bagi orang menziarahinya. Ibu mendengarkan semua itu dengan antusias.ia sangat percaya upaya batin diperlukan untuk membantu seseorang mencapai kemakmuran dan kejayaan. Selama ini ia hanya mengenal Mbah Ibu Bumi Bapak Kuasa. Upaya batinnya baru sebatas memohon di tengah malam, membawa panggang ke makam penguasa desa, dan selametan setiap hari kelahiran (En, 2010:92). Upacara pokok dalam agama Jawa tradisional adalah slametan atau selamatan, kenduri. Ini merupakan upacara agama yang paling umum diatara para abangan, dan melambangkan persatuan mistik dan sosial dari orang-orang yang ikut
serta dalam slametan itu. Slametan dan lambang-lambang
yang
mengiringinya memberikan gambaran yang jelas tentang cara pemaduan antara
Universitas Sumatera Utara
kepercayaan abangan yang animis dan Budhais-Hindu dengan unsur Islam serta membentuk nilai pokok masyarakat pedesaan. Jika seorang ingin merayakan atau mengeramatkan peristiwa apapun yang berhubungan dengan upacara perseorangan atau jika ia hendak memperoleh berkah atau minta perlindungan dari bencana, maka slametan harus diadakan. Tujuan utama slametan ialah mencari keselamatan dalam arti tidak terganggu oleh kesulitan alamiah atau ganjalan gaib. Setaiap hari kelahirannya Marni selalu membuat selametan dengan membuat tumpeng kecil lengkap dengan lauk-pauknya. Marni menyuruh Tonah untuk membuat dua buah tumpeng, satu untuk dimakan pada acara selametan tersebut dan satu lagi diletakkan di kamar yang dipersembahkan untuk Mbah Ibu Bapak yang Kuasa seperti kutipan berikut, Ibu juga rajin selamatan. Seminggu sekali, setiap hari kelahirannya, dia meyembelih ayam untuk dipanggang. Tonah membuat tumpeng kecil, menyiapkan semua ubo rampe. Ada kulupan, jenang merah, dan jenang putih. Ibu memanggil beberapa tetangga laki-laki. Mbah Sambong, perangkat desa yang dipercaya punya kekuatan lebih, membacakan ujub. Bapak dan yang lainnya membaca, “Amin....Amin...!” (En, 2010: 56). Kebiasaan menyembah arwah orang mati terutama arwah para leluhur atau apa yang disebut cikal bakal, pendiri desa semula, memainkan peranan yang penting secara religius diatara kaum abangan. Yang sama pentingnya adalah penghormatan kepada kuburan-kuburan suci yang disebut keramat. Kata ini berasal dari bahasa Arab „karamah‟ yang berati mulia. Hal ini dilakukan oleh Sumarni dengan mendatangi kuburan yang di gunung, seperti yang terdapat pada kutipan berikut,
Universitas Sumatera Utara
Sepanjang perjalanan Koh Cahyadi telah memberitahu apa yang akan mereka lakukan di Gunung Kawi. Mereka akan tirakat di sekitar makam Eyang Sujo dan Eyang Jugo. Sesajen dan dupa yang sudah disiapkan dari Madiun diletakkan di samping makam. Ada tumpeng lengkap dengan panggang dan ubo rampe-nya, buah-buahan, dan rokok. Selama tirakat mereka tidak akan berbicara dan makan-minum. Mereka juga dilarang memikirkan hal-hal yang tidak baik. Satu-satunya yang mereka lakukan adalah berdoa memohon berkah (En, 2010:95). Banyak kuburan orang suci di Jawa diaggap keramat, seperti makam para wali. Ribuan orang dari segala pelosok pulau Jawa berjiarah ke makam-makam tersebut untuk mendapat berkah. Penghormatan kepada orang mati diungkapkan dengan jalan membersihkan kuburan dan sebagian dengan mengadakan kenduri yang orang Jawa dipandang sajian kepada orang yang meninggal itu. Orang Jawa khususnya abangan percaya kepada kemampuan dukun, yaitu seorang mampu mengendalikan roh-roh melalui ngelmu-ngelmunya. Dengan ngelmu tersebut diharapkan akan mendapat kekuasaan, kekayaan, dan keagungan. Ngelmu tersebut digunakan juga untuk menjamin penyelamatannya di akhirat. Marni melakukan hal ini, ketika Rahayu akan berangkat ke Yogya untuk melanjutkan pendidikan. Marni meminta sesajen kepada dan mengadakan acara kenduri agar Rahayu terhindar dari malapetaka dan mendapat perlindungan dari arwah leluhurnya seperti pada kutipan berikut, Masih pagi begini tak banyak orang yang datang ke rumah Pak Kyai. Aku dan Teja langsung masuk rumah, menemuinya yang sedang melinting tembakau. Aku minta padanya agar Rahayu diberi doa keselamatan. Kuceritakan semua yang diceritakan Rahayu. Kyai Noto mendengarkan sambil mengisap tembakaunya. Dia lalu masuk kamar. Konon, di kamar itu ia semadi dan membuat jampi-jampi. Tak terlalu lama kemudian dia keluar kamar sambil membawa bungkusan kecil. Bungkusan itu isinya gula pasir. Kyai Noto sudah mengirimkan doa-doa dan kekuatannya dalam gula pasir itu. Orang yang diberi tinggal ngemut sewaktu-waktu (En, 2010: 132).
Universitas Sumatera Utara
Perjuangan dalam mempertahankan keyakinan kejawen ini dapat dilihat melalui tokoh Marni dan Simbok dalam novel Entrok. Simbok yang hidup di masa lampau (masyarakat tradisional), tidak mendapat hambatan dalam melakukan ritual kejawennya. Marni yang hidup dalam masa kekinian (masyarakat sudah mengenal agama Islam), dalam mempertahankan keyakinan ini, banyak mendapat hambatan dan pertentangan dari orang lain, bahkan anaknya sendiri. Rahayu, anak satu-satunya ikut memusuhinya. Marni selalu mendapat hinaan dari Pak Waji, guru ngaji di desa itu. Orang-orang desa juga selalu cemooh dirinya. Mereka menganggap dirinya melakukan pesugihan. Namun, Marni tetap pada pendiriannya, dia tetap percaya pada kekuatan Roh Leluhurnya. Marni mendapat pertentangan dari Rahayu. Rahayu yang sudah mengenyam pendidikan agama mengatakan bahwa ibunya pendosa. Ibunya seorang penyembah leluhur yang termasuk dalam perbuatan syirik. Dia bilang hanya Gusti Allah yang boleh disembah. Marni yang tidak pernah duduk di bangku sekolah, sejak kecil diajari orangtuanya nyembah leluhur. Perbedaan pandangan antara Rahayu dan Sumarni menyebabkan jarak mereka makin menjauh. Setelah dewasa, Rahayu pergi meninggalkan ibunya. Walaupun Rahayu pergi meninggalkannya, Marni tetap kepada keyakinannya bahwa dia tidak bersalah jika menyembah leluhur dan keyakinan itu tetap dipertahankannya. Pertentangan antara Marni dan Rahayu dapat dilihat pada cuplikan novel berikut, Aku membenci Ibu. Dia orang berdosa. Aku membenci Ibu. Kata orang, dia memelihara tuyul. Aku membenci Ibu, karena dia menyembah leluhur. Aku malu, Ibu (En, 2010:58).
Universitas Sumatera Utara
Duh, Gusti, apa salah kalau aku mau cari rezeki, punya harta, biar tidak dihina-hina orang? Akukan tidak membunuh orang, tidak mencuri, tidak merampok. Aku hanya bakulan, menyediakan apa yang dibutuhkan orang, mengambil upah buat tenaga dan modalku. Lha kok malah semua orang ngrasani. Malah anakku sendiri, anakku satu-satunya, ikut-ikutan menyalahkanku. Dia bilang aku ini dosa. Dia bilang aku ini sirik. Dia bilang aku penyembah leluhur. Lho… lha wong aku sejak kecil diajari orangtuaku nyembah leluhur kok tidak boleh. Lha buktinya kan setiap aku minta ke leluhur, lewat tumpeng dan panggang yang harganya tak seberapa itu, semua yang kuminta kudapatkan. Dia bilang hanya Gusti Allah yang boleh disembah. Lha iya, tapi wong aku tahu Gusti Allah ya baru-baru ini saja. Lha gimana mau nyuwun kalau kenal saja belum (En, 2010: 100-101). Marni selalu mendapat hinaan dari Pak Waji, guru ngaji di desa itu. Walaupun Pak Waji sudah menasehati dan mengajarkan kepada ibu bahwa apa yang dilakukannya adalah perbuatan dosa, namun ibu tetap bertahan pada pendiriannya. Ibu mengatakan bahwa dia hanya kenal kepada leluhurnya yang sudah diwariskan oleh ibunya. Sedangkan Gusti Allah, dia baru mengetahuinya sekarang. Dia juga belum mengenal Allah, jadi dia tidak tahu cara menyembahnya. Akhirnya, dia tetap teguh kepada keyakinannya. Berikut ini adalah kutipan dari novel yang mendukung hal tersebut, Kata Pak Waji, guru agamaku di SD, Ibu berdosa. Di depan kelas dia berkata, ibuku tak beragama. Ibuku sirik, masih menyembah leluhur, member makan setan setiap hari. Pak Waji juga bilang ibuku punya tuyul. ( En, 2010:57). Ibu menyerah. Dia keluar dari kamarku, menuju halaman belakang, melakukan apa yang telah sejak dulu dilakukannya. Melanjutkan apa yang telah bertahun-tahun dijalaninya. Ia sama sekali tak mau meninggalkan apa yang dia percaya. Sementara aku, hari demi hari mendengar apa yang dikatakan Pak Waji tentang dosa dan neraka. Tentang cara berdoa yang tak pernah dikenal ibu sepanjang umurnya. Aku dan ibu seperti berada di dunia yang berbeda. Tentu saja duniaku yang benar. Aku mendapatkannya di sekolah, yang kata Ibu sendiri tempat kumpulnya orang pintar. Siapa yang lebih benar, Pak Waji yang guru terpelajar atau ibu yang tidak mengenal satu huruf pun? (En, 2010:58).
Universitas Sumatera Utara
Orang-orang desa juga selalu cemooh dirinya. Mereka menganggap dirinya melakukan pesugihan. Kematian Teja suaminya dan Bejo supirnya, dianggap sebagai tumbal pesugihannya seperti pada kutipan berikut, Yu Tini menurut. Dia tidak lagi berteriak, tapi berkata lirih. Tapi aku ikut mendengarnya dengan jelas. “Bejo jadi sajen. Sajen pesugihan.” Duh, Gusti. Dia bilang Bejo jadi sajen. Sajen pesugihan-ku. Pesugihan apa, Gusti? Mbah Ibu Bumi Bapak Kuasa, kesusahan apalagi yang mampir kepadaku? (En, 2010:121). Marni juga percaya akan kekuatan roh orang yang sudah meninggal. Bersama Koh Cayadi dan orang-orang Cina lainnya, Marni pergi berziarah ke makam Eyang Sujo dan Eyang Jugo di Gunung Kawi pada Jumat Legi. Marni percaya bahwa roh yang ada di Gunung Kawi ini bisa memberi kemakmuran bagi orang yang datang berziarah ke situ. Mereka meletakkan sesajen dan dupa di samping makam, lengkap dengan panggang ayam, buah-buahan, dan rokok. Selama tirakat, mereka dilarang makan dan minum, juga berbicara. Mereka juga tidak dibenarkan memikirkan hal yang tidak baik. mereka hanya melakukan doa untuk memohon berkah. Pada hari-hari tertentu, seperti pada hari kelahirannya, Marni membuat tumpeng untuk membuat selamatan. Tumpeng itu dibuat dua buah. Satu tumpeng yang agak kecil, dimakan pada saat Mbah Sambong (Mbah Dukun) selesai membaca doa. Sedangkan satu tumpeng lagi, disimpan di kamar Marni, lengkap dengan panggang ayam dan kue-kue. Di samping tumpeng diletakkan dupa dan sebuah lilin yang menyala. Tumpeng ini dipersembahkan untuk roh leluhurnya. Marni juga nyuwun ke Roh Leluhurnya dengan bangun di tengah malam dan
Universitas Sumatera Utara
bersemedi di bawah pohon asam di belakang rumahnya, seperti pada kutipan novel berikut: Dulu sekali, aku juga melakukan apa yang ibu lakukan. Ibu membangunkanku, lalu kami berdua duduk di bawah pohon asem. Kata ibu, itu namanya berdoa, tirakat. Ibu mengajariku untuk nyuwun. Katanya semua yang ada di dunia milik Ibu Bapa Bumi Kuasa. Dialah yang punya kuasa untuk memberikan yang kita inginkan. “Nyuwun supaya jadi orang pintar. Bisa jadi pegawai,” kata Ibu. ... Ibu juga rajin selamatan. Seminggu sekali, setiap hari kelahirannya, dia meyembelih ayam untuk dipanggang. Tonah membuat tumpeng kecil, menyiapkan semua ubo rampe. Ada kulupan, jenang merah, dan jenang putih. Ibu memanggil beberapa tetangga laki-laki. Mbah Sambong, perangkat desa yang dipercaya punya kekuatan lebih, membacakan ujub. Bapak dan yang lainnya membaca, “Amin....Amin...!” ... Ibu menyimpan satu tumpeng dan panggang lengkap dengan ubo rampenya di kamarnya. Di taruh di meja samping lemari kaca, beralas baki, ditemani sebatang lilin. Kata ibu, tumpeng dan panggang itu dikirim untuk Mbah Ibu Bumi Bapak Kuasa. Keesokan harinya, ibu akan mengeluarkan tumpeng dan panggang itu. Tonah akan memasaknya kembali untuk makanan kami semua (En, 2010: 55-56).
5.3.2.2
Ahmadiyah Perjuangan perempuan dalam Novel Maryam dapat dilihat dari keteguhan
tokoh-tokoh Maryam, Bu Ali, Bu Khairuddin, Fatimah, dan Bu Zul. Para tokoh perempuan ini tetap pada keyakinan mereka, walaupun banyak mendapat cemoohan dari masyarakat setempat. Bahkan tidak jarang mereka mendapat penyerangan dan pengusiran seperti yang terlihat pada kutipan berikut, Sesaat kemudian tersengar suara berisik dari arah jalan. Barisan orang-orang muncul. Memasuki jalan kecil. “Usir! Usir!” teriak mereka. Terdengar bunyi “brak” dan “klontang”. Mereka melempar sesuatu ke rumah yang dilewati. Rumah orang tua Maryam nomor empat dari ujung jalan. Itu artinya mereka akan segera sampai. Semua orang kini berdiri bersiap-siap. Pintu rumah ditutup rapat. Ibu Maryam mengunci dari dalam. Hanya laki-laki yang berada di luar (My, 2012: 224-225).
Universitas Sumatera Utara
Terakhir, mereka harus diungsikan di gedung Transito, karena rumah mereka dibakar, sehingga mereka tidak memiliki tempat tinggal lagi. Namun, mereka tetap pada pendirian mereka. Di Transito mereka tetap mengadakan pengajian sebulan sekali dengan mendatangkan ustad dari Lombok. Mereka juga melaksanakan sholat berjamaah. Setiap hari Jumat, mereka melaksanakan Sholat Jumat. Mereka mengubah gedung transito menjadi tempat peribadatan mereka. Jadi, walaupun mereka sudah dikucilkan, dicemooh, bahkan diusir dari rumahnya mereka tetap mempertahankan keyakinan mereka akan kebenaran ajaran mereka, yaitu Ahmadiyah. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut, Gedung Transito kian hari terasa kian sesak. Barang-barang bertambah: baju dan aneka perkakas. Kamar sempit yang disekat dengan kain itu, kini terlihat penuh tumpukan barang. Enam bayi telah lahir di pengungsian ini...(My, 2012:266) Lalu wartawan-wartawan itu minta izin untuk berkeliling ke seluruh ruangan. Mengambil gambar ruangan besar yang disekat- sekat untuk menjadi kamar, mewawancarai orang-orang yang bertemu di dalam. Lalu mereka keluar ke arah dapur. Melihat orang-orang memasak di dapur yang digunakan bersama-sama, juga mengintip kamar mandi dan tempat mencuci. (My, 2012:269) Maryam yang pernah berpaling dari Ahmadiyah, akhirnya sadar ketika perkawinannya dengan Alam kandas. Maryam kembali ke Lombok dan menikah dengan Umar. Pada mulanya Maryam menikah dengan Umar karena ingin membahagiakan kedua orang tuanya saja. Namun, karena Umar adalah suami yang pengertian dan tidak menuntut banyak kepada maryam, akhirnya maryam menyadari bahwa Umar adalah suami yang cocok untuk dirinya. Pernikahan itu berubah menjadi pernikahan yang penuh cinta. Hingga Maryam mengandung buah cintanya dengan Umar.
Maryam hamil satu bulan. Maryam menjalani
pernikahan dengan Umar tanpa beban, tanpa harapan, tanpa kewajiban, tanpa
Universitas Sumatera Utara
ketakutan. Orang tua mereka telah berlepas tangan. Melihat Maryam dan Umar bisa hidup berdua dengan tenang sudah menjadi kebahagiaan. Bersama Umar, dia hidup tenang dan dapat mejalankan ibadah dengan tenang, seperti pada kutipan berikut, Sabtu siang, orang tua Maryam datang menjenguk. Mereka membawa berbagai buah dan sayur. Ibu Umar memasak banyak lauk dan mengajak mereka makan bersama. Hubungan orang tua Umar dengan orang tua maryam sudah seperti saudara. Meski jarang berkunjung ke rumah masing-masing, mereka selalu bertemu seminggu sekali di pengajian. Kadang di mesjid organisasi, kadang di rumah anggota yang mendapat giliran. Umar dan Maryam juga kerap ikut pengajian. Sekadanr untuk menemani dan mengantar ibu Umar, sekaligus agar bias bertemu dengan orang tua Maryam ( My, 2012: 217-218). Setelah menikah dengan Umar, keyakinan Maryam semakin teguh kepada Ahmadiyah. Hal ini dapat dilihat pada perdebatan antara Maryam dengan tokoh agama yang ada di kampungnya di Gerupuk, saat Maryam kembali mengunjungi kampong halamannya setelah orangtuanya di usir dari kampungnya tersebut. “Bagaimana kalian semua tahu kami mengingkari agama kami?” Maryam makin tak memperhatikan kesopanan. Ia sengaja menyebut dua orang itu dengan “kalian” untuk menunjukkan kemarahan. “Siapa yang tidak tahu kalian orang Ahmadiyah?” balas Rohmat. “Itu bukan berarti kami ingkar…” “Sudahlah, Nak… tak ada gunanya meributkan hal yang sudah jelas. Masih banyak kesempatan ubtuk bertobat,” potong Pak Haji. Masih dengan nada lembut (My, 2012:208). Bu Zul adalah istri dari Pak Zuzali. Mereka adalah keluarga Ahmadiyah yang tinggal di Surabaya. Pak Zul adalah teman ayah Maryam yang berasal dari Praha. Mereka satu sekolah sampai SMP. Pak Zul melanjutkan sekolah di Surabaya dan menjadi guru SD. Ketika Maryam melanjutkan kuliah di Surabaya, Maryam dititipkan orang tuanya pada keluarga ini. Bu Zul sangat menyayangi Maryam. Dia mempunyai dua orang anak, satu laki-laki dan satu perempuan. Bu
Universitas Sumatera Utara
Zul selalu aktif dalam pengajian dan sering ada pengajian di rumah mereka. Bu Zul telah mejadikan ini sebagai kewajiban dan semuanya sudah seperti menempel dalam alam bawah sadar. Ibadah dan pengajian tidak lagi sekadar kebiasaan dan kewajiban, tetapi sudah menjadi kebutuhan yang dapat dilihat pada kutipan novel berikut, Sering ada pengajian di rumah Pak Zul. Pengajian sesama Ahmadi. Setidaknya dua bulan sekali, pada hari Jumat malam. Kalau tidak ada pengajian di rumah itu, berarti pengajiannya ada di rumah keluarga Ahmadi yang lain. Itu berarti Maryam dan dua anak Pak dan Bu Zul harus ikut datang ke rumah keluarga itu. Menyisihkan waktu dari jam 17.00 sampai 20.00. Pengajian-pengajian ini seperti aturan baku yang tak boleh dilanggar. Maryam yang menumpang tahu diri dan merasa tak keberatan. Toh di rumah dulu ia juga selalu harus ikut pengajian. Dua anak Pak dan Bu Zul juga telah mejadikan ini kewajiaban, sebagaimana mereka sejak kecil dididik untuk salat lima waktu. Dua anak Pak Zul, perempuan dan laki-laki, besar di kota besar dan menikmati segala kemajuan tanpa kendor dalam beribadah. Semuanya sudah seperti menempel dalam alam bawah sadar. Ibadah dan pengajian tidak lagi sekadar kebiasaan dan kewajiban, tetapi juga kebutuhan (My, 2012: 22). Bu Ali adalah mertua Maryam. Dia sudah lama menjadi penganut Ahmadi. Bersama Pak Ali, suami dan anaknya Umar. Mereka hidup damai. Setiap seminggu sekali mereka mengikuti pengajian. Mereka tidak mengalami pengusiran. Berikut ini adalah kutipan novel yang mendukung peristiwa tersebut, Dua pasangan yang seumuran itu saling menceritakan diri mereka masing-masing. Pak Ali dan Bu Ali, begitu bapak dan ibu Maryam menyapa tamunya. Mereka pindah ke Lombok karena ingin mengembangkan usaha. Lebih dekat dengan Bali, transportasi lebih gampang, dank arena di sini lebih banyak sesama orang Ahmadi. Lagi pula mereka juga asli orang Lombok. Hanya karena orangtua mereka pindah ke Sumbawa saat muda, mereka seolah lahir sebagai seorang Sumbawa (My, 2012:93). Bu Khairuddin adalah ibu Maryam. Bersama suami dan kedua anaknya mereka meyakini bahwa ajaran Ahmadi adalah benar. Mereka sudah lama menjadi
Universitas Sumatera Utara
pengikut Ahmadi, sejak dari kakek mereka. jadi, mereka terlahir sudah menjadi Ahmadi, walaupun akhirnya keluarga mereka di usir dari Ketapang. Bu Khairuddin beserta yang lainnya ikut mengungsi di Gedung Transito. Demi keyakinan mereka, mereka rela hidup miskin dan menderita. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut, “Memang dulu kenapa bisa diusir dari rumah, Bu?” maryam masih berusaha mendapat jawaban, walaupun tahu ibunya juga tak akan bias menjawab pertanyaannya. Sebagaimana Jamil dan Zulkhair. Ibu Maryam mengangkat bahu. “Sampai sekarang kita juga masih bingung. Sebelumnya tidak pernah ada masalah apa-apa. Sama-sama baik. Tiba-tiba bias beringas seperti itu.” “Ibu tahu siapa saja yang mengusir?” “Ya tahu jelas. Masih hafal sampai sekarang. Semua tetangga kita ikut mengusir.” (My, 2012:105). Begitu juga dengan Fatimah, adik Maryam. Fatimah juga tetap mempertahankan keyakinannya walaupun di sekolah dia dituduh sesat oleh guru agamanya. Nilai agamanya diberi angka lima sebagai peringatan bagi Fatimah. Agar gurunya selalu ingat, bahwa Fatimah tidak sama dengan murid-murid lainnya. Guru agamanya tidak akan meluluskannya sebelum Fatimah dan keluarganya insyaf dan bertobat. Namun, Fatimah tetap pada keyakinannya. Dia berusaha tetap bersekolah di situ, walaupun teman-teman dan gurunya selalu mencemooh dirinya. Sampai akhirnya dia menamatkan sekolah tingkat pertamanya dengan nilai agama angka enam. Kata gurunya biar Fatimah cepatcepat keluar dari sekolah itu dan tidak menjadi beban lagi di sekolah tersebut. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut ini, Maka sekarang mereka hanya bias menggugat nilai agama Fatimah. Bagaimana mungkin anaknya yang selalu masuk sepuluh besar di kelas, mendapat nilai 5 dalam pelajaran agama? Satu-satunya nilai 5 di
Universitas Sumatera Utara
antara pelajaran-pelajaran lain. Bahkan pertama kalinya nilai 5 sejak ia masuk sekolah (My, 2012:75). Setelah digusur dari rumah mereka, Fatimah tidak tinggal di Transito. Ini atas permintaan Maryam. Jadi, dia tinggal di rumah Maryam. Sepulang dari bekerja Fatimah tetap datang ke Gedung Transito untuk melihat kedua orang tuanya. Seminggu sekali dia mengikuti pengajian. Kemudian dia menikah dengan orang yang bukan pengikut Ahmadi, tetapi dia bisa menyesuaikan diri dengan keluarga suaminya dan dia masih diperbolehkan menjadi pengikut Ahmadi seperti kutipan berikut, “Polisi-polisi itu bohong. Kita bukan disuruh pergi sementara agar selamat. Kita diusir. Rumah ini bukan milik kita lagi,” kata Fatimah. Suaranya tidak tinggi. Tapi ada penekanan dan getaran yang siapapun akan tahu ia sedang marah. “Mudah-mudahan tidak seperti itu…” kata Ibu Umar. Ia berusaha membuat semua orang tenang. “Tidak, Bu. Semua sudah jelas. Polisi itu bohong. Kita semua sdah diusir. Sama seperti dulu kita diusir dari Gerupuk, “ kata Fatimah lagi. Tak ada lagi yang bersuara. Dalam hati masing-masing mereka membenarkan kata-kata Fatimah. Tapi untuk mengungkapkannya mereka tak memiliki keberanian. Mereka berusaha membohongi diri mereka sendiri dengan menanamkan harapan bahwa yang dikatakan Fatimah tidak benar. Bahwa polisi memang sedang menjalankan tugasnya. Bahwa orangorang itu sudah ditanfkap dan akan diberikan hukuman. Lalu rumah Gegarung akan bias ditempatii oleh pemiliknya (My, 2012:233). Walaupun menurut pemerintah aliran ini dianggap sesat, namun bagi para penganut Ahmadi mereka tetap yakin akan kebenaran ajaran yang mereka anut. Mereka tidak akan berpaling dari keyakinan tersebut, walau harus mati sekali pun. “Kalau diusir dan dikucilkan itu sudah biasa, kami tidak akan gentar. Iman orangorang Ahmadi tidak bias dikalahkan hanya sekadar oleh penderitaan.” Tutur salah satu pengikut jamaah Ahmadiyah di Medan (hasil wawancara pada tanggal 17 Maret 2015).
Universitas Sumatera Utara
5.3.3 Perjuangan Perempuan dalam Mencari Keadilan di Bidang Hukum Keadilan adalah kondisi kebenaran ideal secara moral mengenai sesuatu hal, baik menyangkut benda atau orang. Menurut sebagian besar teori, keadilan memiliki tingkat kepentingan yang besar. John Rawls, filsuf Amerika Serikat yang dianggap salah satu filsuf politik terkemuka abad ke-20, menyatakan bahwa "Keadilan adalah kelebihan (virtue) pertama dari institusi sosial, sebagaimana halnya kebenaran pada sistem pemikiran". Tapi, menurut kebanyakan teori juga, keadilan belum lagi tercapai: "Kita tidak hidup di dunia yang adil" . Kebanyakan orang percaya bahwa ketidakadilan harus dilawan dan dihukum, dan banyak gerakan sosial dan politis di seluruh dunia yang berjuang menegakkan keadilan. Tapi, banyaknya jumlah dan variasi teori keadilan memberikan pemikiran bahwa tidak jelas apa yang dituntut dari keadilan dan realita ketidakadilan, karena definisi apakah keadilan itu sendiri tidak jelas. keadilan intinya adalah meletakkan segala sesuatunya pada tempatnya (http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum). Di Indonesia, keadilan merupakan hal yang begitu memprihatinkan. Keadilan di indonesia sering kali tidak ditegakan oleh para oknum yang tidak bertanggung jawab. Itu semua terbukti pada berita yang sering dilihat di televisi, para oknum tersebut sering membebaskan orang-orang yang bersalah ataupun menunda-nunda setiap sidang yang telah terjadwal yang mengakibatkan suatu masalah atau kasus tidak terselesaikan. Orang-orang yang bersalah tersebut bisa koruptor, dari kalangan pejabat, mentri-mentri, sampai petinggi negera. Hal ini
Universitas Sumatera Utara
pasti disebabkan oleh uang yang menyebabkan lemahnya keadilan di Indonesia di bidang hukum. Hukum dan peraturan dapat dibeli dengan uang. Penegakan hukum bukan tujuan akhir dari proses hukum karena keadilan belum tentu tercapai dengan penegakan hukum, padahal tujuan akhimya adalah keadilan. Pernyataan di atas merupakan isyarat bahwa keadilan yang hidup di masyarakat tidak mungkin seragam. Akan tetapi jika yang dipersoalkan adalah bidang kehidupan spiritual atau hal yang sensitif, maka yang disebut adil berada lebih dekat dengan hukum. Pengertian tersebut mengisyaratkan bahwa hanya melalui suatu tata hukum yang adil orang-orang dapat hidup dengan damai menuju suatu kesejahteraan jasmani maupun rohani. Sumarni berjuang untuk mencari keadilan saat mobilnya yang mengalami masuk jurang ditahan di kantor polisi. Mereka minta uang tebusan sebesar satu juta rupiah. Marni menuntut keadilan dan meminta mobilnya untuk dikembalikan kepadanya. Marni yang buta huruf tidak tahu sama sekali tentang hukum. Dia meminjamkan kenderaannya kepada Pak Lurah tanpa mendapat uang sedikit pun untuk urusan kampanye partai Golkar. Sekarang mobilnya remuk dan rusak parah, dia harus mengeluarkan uang untuk polisi dan memperbaiki mobil tersebut. Marni merasa diperas oleh aparat. Marni berusaha memperjuangkan haknya, namun polisi tersebut mengancam akan memasukkan dia ke dalam perjara. Perdebatn sengit terjadi, namun Teja (suami Marni) menghentikan semuanya dengan menyetujui kemauan polisi yang dapat dilihat pada kutipan berikut, “Ya sudah, Pak Teja, Bu Marni, kami ini aparat hanya mau membantu masyarakat. Bikin urusan cepat beres. Kita mau bantu supaya mobil ini bisa segera dibawah ke bengkel, bisa dipakai lagi. Daripada nanti
Universitas Sumatera Utara
ketahuan atasan-atasan saya malah panjang urusannya. Jadi ya diselesaikan di sini saja.” “Kami ikut saja, Pak,” jawab Teja. “Kalau kecelakaannya seperti ini, ada yang mati, dua puluh orang luka-luka, dendanya satu juta saja. Sudah beres semuanya.” (En, 2010:119). Marni juga berjuang untuk menyelamatkan dirinya dari jeratan hukum karena dia menyembunyikan Koh Cahyadi di rumahnya. Pada saat itu Koh Cahyadi menjadi buronan karena dia dianggap sebagai orang PKI yang ikut menyumbang untuk Kelenteng. Marni ditahan di kantor polisi karena dituduh telah menyembunyikan Koh Cahyadi. Marni berusaha menyelamatkan diri dari tuduhan tersebut dengan bantuan Sumadi. Sebagai konvensasinya Marni harus kehilangan sepetak kebun tebunya yang dapat dilihat pada kutipan berikut, Aku membalikkan tubuh. Sekarang mukaku berhadapan dengan mukanya. Mata kami beradu. Gusti, kenapa aku selalu Kauhadapkan dengan orang-orang seperti ini? Orang-orang yang begitu berkuasa dengan seragam dan sepatunya. Orang-orang yang menjadi begitu kuat dengan senapannya. Orang-orang yang selalu benar karena bekerja untuk negara. Mereka yang selalu mendapatkan uang dengan mudah tanpa sedikit pun mengeluarkan keringat. Dan aku yang tak punya kuasa dan kekuatan, yang selalu saja salah, harus tunduk pada kemauan mereka. Menyerahkan harta yang terkumpul dengan susah payah, dengan segala hujatan orang lain. “Ini urusannya berat. Nggak kayak yang dulu itu.” “Berapa?” “Sampeyan juragan tebu, kan? Satu hektar pasti enteng.” (En, 2010:182-183) Sumarni juga berjuang untuk mencari keadilan saat Endang Sulastri mengaku sebagai istri Teja setelah tujuh ratus hari sejak kematian Teja. Endang menuntut setengah dari harta yang ditinggalkan oleh Teja. Marni tidak mau memberikannya karena tidak ada bukti sah. Endang membawa seorang anak dan mengatakan bahwa anak itu adalah anaknya dengan Teja. Endang juga mengadu
Universitas Sumatera Utara
ke kantor polisi. Marni berjuang untuk mencari keadilan. Dia meminta bantuan kepada Sumadi, kepala tentara. Sumadi mau membantunya dengan imbalan Marni harus menyerahkan seperempat dari hartanya. Hal ini dapat dilihat pada penggalan novel berikut, Akan kukejar keadilan sampai ke mana pun. Orang paling bodoh saja tahu harta yang kukumpulkan dengan susah payah itu semua milikku. Lha bagaimana ceritanya, orang yang sama sekali tidak kukenal sekarang akan mendapatkan separoh dari hartaku ini? Dan bagaimana bisa aku yang mencari semuanya malah tidak mendapat apa-apa? Walaupun Rahayu itu anakku, bagaimana bis mereka membagi milikku semau mereka. Biarkan aku sendiri yang mengatur kepada siapa aku memberikan hartaku ini.apakah itu pada Rahayu atau orang lain. Aku menemui komandan Sumardi di markasnya. Siapa lagi yang lebih berkuasa setelah lurah-lurah itu? Hanya mereka orang-orang yang berseragam, orang-orang negara. Pada laki-laki yang telah mengambil satu hektar tanahku ini, kucaritakan semua yang kualami. Aku meminta padanya untuk dicarikan jalan keadilan (En, 2010:196). Arimbi menuntut keadilan saat dia ditangkap untuk memperingan hukuman. Selama masa tahanan, Arimbi tidak pernah berbuat kejahatan, sehingga setiap tahun dia mendapat remisi. Kepala sipir menawarkan kepadanya untuk membayar lima belas juta agar dia bisa bebas lebih awal. Arimbi yang dari awal merasa dia tidak bersalah karena dia dijebak oleh Bu Danti menganggap ini adalah kewajaran. Dia menyiapkan uang tersebut dan dia bebas setelah bulan Desember, seperti pada kutipan novel berikut, “Sudah aku hitung-hitung, nanti kamu bisa keluar Desember. Tapi namamu sudah mesti dicatat sekarang. Soalnya mau diajukan pas Agustusan nanti.” Arimbi diam, menunggu apa yang sebenarnya hendak dikatakan perempuan yan duduk di depannya itu. “Ya kalau kamu bilang sanggup, nanti namamu diusulkan. Kan siapa-siapa saja yang layak diusulin itu tergantung kita yang ada di lapangan ini.” ”Jadi, saya mesti bagaimana?” Arimbi mulai tak sabar. “Biaya semuanya bersih 15 juta.” (86:216-2017)
Universitas Sumatera Utara
Mariam
berjuang menuntut keadilan dalam bidang hukum dengan
mendatangi Bapak Gubernur. Sebelumnya mereka juga sudah beberapa kali datang ke kantor gubernur. Gubernur menerima mereka dengan baik, namun tidak dapat memberikan jawaban yang pasti kapan mereka bisa kembali ke rumah masing-masing.
Maryam mempertanyakan nasib mereka, seperti pada kutipan
berikut, Gubernur menerima mereka dengan tiga orang bawahannya. Ia menyalami Zulkhair dengan ramah seperti orang yang sudah lama kenal. “Bawa siapa ini, Pak Zul!” tanyanya ketika melihat Maryam dan Umar. (My, 2012:247) Maaf, Pak Gub, jadi bagaimana nasib kami yan di Transito ini? Kapan bias kembali ke rumah kami?” Tanya Maryam. Ia memotong cerita Gubernur (My, 2012: 248). Gubernur mendecak sambil menggeleng, “Sudahlah. Tak ada ujungnya kalau bicara seperti ini,” katanya. “Pilih saja, keluar dari Ahmadiyah lalu pulang ke Gegarung atau tetap di Transito sampai kita temukan jalan keluarnya.” Wajah ketiga tamu Gubernur itu merah mendengar kata-kata Gubernur. Mulut mereka terkunci. Tapi sorot mata mereka bicara banyak. Kemarahan dan sakit hati (My, 2012: 249). Melalui tokoh Maryam, penganut Ahmadi menuntut keadilan kepada pemerintah. Berdasarkan realitas sosial yang ada di novel ini, nasib kaum Ahmadi di pengungsian tidak kunjung membaik. Mereka mengalami penderitaan yang bertubi-tubi. Mereka harus hidup di ruang 3 x 4 yang hanya disekat dengan kain atau kardus untuk pembatas keluarga yang satu dengan keluarga yang lainnya. Bantuan bahan makanan juga sudah dihentikan, sehingga mereka harus kerja serabutan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Anak-anak yang lahir juga terancam tidak mendapat akte kelahiran, jika diketahui mereka adalah penganut Ahmadi. Untuk mendapatkan KTP sulit.
Universitas Sumatera Utara
Maryam menuntut keadilan dalam bidang hukum, bukan karena dia seorang pengikut Ahmadi, tetapi dia menuntut keadilan atas perlakuan terhadap hak asasi manusia. Walaupun berbeda keyakinan, mereka tetap manusia dan harus diperlakukan layaknya sebagai manusia. Mereka adalah warga negara yang tinggal dalam negara hukum. Jadi, negara harus tegas dalam menentukan nasib mereka. mereka juga memiliki hak untuk hidup layak dan mendapatkan hak hidup yang sama dengan masyarakat lain. Jangan karena mereka memiliki keyakinan yang berbeda, lantas mereka harus didiskriminasikan. Di mata hukum, setiap warga neraga mempunyai hak dan kedudukan yang sama, sesuai dengan UUD 1945 pasal 29, ayat 2 yaitu, “setiap warga negara bebas untuk memilih agam dan keyakinannya dan beribadat sesuai dengan keyakinannya tersebut”. Hal sejalan juga ditegaskan dalam UUD 1945 pasal 27 ayat 1, “setiap warga negara berhak atas penghidupan yang layak”. Berdasarkan undang-undang tersebut, Maryam mencari keadilan dengan menulis surat kepada Gubernur yang baru terpilih dengan harapan mau memperhatikan nasib mereka. Sudah tiga kali Maryam mengirim surat, namun dia tidak putus asa, dia terus berjuang untuk mencari keadilan. Berikut ini adalah penggalan surat Maryam yang ketiga yang dikirimkan untuk Bapak Gubernur yang baru terpilih, seperti pada kutipan berikut: Bapak yang terhormat, kami tidak meminta lebih. Hanya minta dibantu agar bisa pulang ke rumah dan hidup aman. Kami tidak minta bantuan uang atau macam-macam. Kami hanya ingin hidup normal. Agar anak-anak kami juga bisa tumbuh normal, seperti anak-anak lainnya. Agar kelak kami juga bisa mati dengan tenang, di rumah kami sendiri.
Universitas Sumatera Utara
Sekali lagi, Bapak, itu rumah kami. Kami beli dengan uang kami sendiri. Kami punya surat-surat resmi. Kami tak pernah melakukan kejahatan, tak pernah mengganggu siapa-siapa. Adakah alasan yang diterima akal, sehingga kami, lebih dari dua ratus orang, harus hidup di pengungsian seperti ini? Kami mohon keadilan. Sampai kapan lagi kami harus mengunggu? (My, 2012: 274-275).
Universitas Sumatera Utara
BAB VI TEMUAN HASIL PENELITIAN
Pada bab ini diuraikan tentang temuan yang peneliti dapat setelah menganalisis ketiga novel karya Okky Madasari. Temuan itu berupa struktur penceritaan ketiga novel Okky dan perjuangan perempuan. Dari perjuangan perempuan yang digambarkan dalam novel Okky lalu peneliti menemukan pola perjuangannya yang meliputi empat hal yaitu, pola perjuangan perempuan dalam bidang ekonomi, pola perjuangan perempuan dalam bidang keyakinan, dan pola peran perempuan dalam bidang hukum dan sosial politik. Berikut ini adalah penjelasannya yang diuraikan satu per satu.
6.1 Struktur Penceritaan Novel Okky Madasari Struktur penceritaan novel Okky Madasari didasarkan pada realitas kehidupan masyarakat tempat pengarang novel bersosialisasi. Pengarang menjadikan pengalamannya di daerah Yogyakarta dan sekitarnya
sebagai
kerangka cerita novel Entrok. Magetan adalah tempat pengarang dilahirkan dan dibesarkan hingga menamatkan SMA. Setelah itu, pengarang melanjutkan pendidikannya
di
Universitas
Gadjah
Mada,
Yogyakarta.
Pengarang
memanfaatkan pengalaman hidup dari masyarakat yang tinggal di Magetan. Pada novel 86 dan Maryam, pengarang menggunakan pengalamannya saat bekerja sebagai wartawan dalam bidang hukum. Sebagai wartawan, pengarang berkalikali mengikuti kasus persidangan di Pengadilan Tinggi Jakarta Selatan. Bersarkan pengalaman inilah mengarang menulis novel 86. Dalam penulisan novel Maryam,
Universitas Sumatera Utara
penulis mengadakan riset selama dua tahun di Lombok. Riset ini dijadikannya materi cerita dalam pembuatan novelnya. Secara umum, struktur penceritaan novel Okky Madasari menggunakan plot flash back dengan latar kejadian di Jawa Tengah, Jakarta, dan Lombok. Novel-novel tersebut menggunakan struktur transmisi narasi yang bervariatif tetapi menceritakan hal yang relatif sama, yakni tentang perjuangan kaum perempuan. Pengarang dalam ketiga novelnya menggunakan tokoh perempuan. Perjuangan perempuan yang dominan adalah perjuangan dalam bidang ekonomi, keyakinan, dan hukum. Oleh karena itu, pengarang novel menggunakan realitas sosial dan menggabungkan dengan realitas fiksi untuk menyamarkan atau tidak berterus terang sedang menghadirkan berbagai kejadian yang terjadi di masyarakat. Struktur penceritaan ketiga novel Okky Madasari dapat dilihat pada bagan berikut ini,
Universitas Sumatera Utara
Pengalaman Okky Madasari
Realitas Fiksi
Realitas Sosial
Novel Entrok, 86, dan Maryam
Perpaduan Alur Mundur dan Alur Maju
Latar Tempat, Jawa Tengah, Jakarta, dan NTB
6.1 Bagan Struktur Penceritaan Tiga Novel Okky Madasari
6.2 Wacana Perjuangan Perempuan Novel Okky Madasari Tema perjuangan perempuan menjadi tema sentral dalam novel-novel Okky Madasdari yang menjadi fokus penelitian ini. Hal itu dapat diidentifikasi dari tindakan dan kejadian yang dilakukan oleh tokoh-tokoh perempuan dalam realitas fiksi, yang berjuang untuk mempertahankan hidup mereka, baik dalam bidang ekonomi, keyakinan, dan hukum.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan penjelasan di atas, wacana perjuangan perempuan yang tereduksi dalam realitas fiksi novel Okky Madasari terpusat pada bidang ekonomi, kepercayaan, hukum, sosial dan politik. Wacana perjuangan dalam bidang ekonomi memunculkan bentuk-bentuk perjuangan perempuan sebagai pelaku bisnis, perjuangan untuk mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf hidup. Perjuangan dalam bidang ekonomi disebabkan karena kemiskinan, tuntutan kehidupan dan tuntutan pekerjaan. Perjuangan dalam bidang kepercayaan lahir karena atas keyakinan para tokoh cerita terhadap kebenaran yang mereka anut. Kepercayaan ini meliputi kepercayaan terhadap roh leluhur atau yang disebut dengan kejawen dan kepercayaan terhadap ajaran Ahmadi. Kepercayaan ini terus mereka pertahankan, walaupun mereka dianggap sesat. Atas keyakinan ini
mereka mengalami
pengusiran dan harus tinggal di pengungsian dengan batas waktu yang tidak dapat ditentukan. Perjuangan dalam legitimasi hukum berdasarkan Undang-undang Dasar 1945, kebebasan untuk memeluk agama berdasarkan keyakinan masing-masing. Kaum Ahmadi melalui tokoh Maryam, berusaha bernegosiasi dengan pemerintah dan mereka menuntut keadilan. Mereka ingin diperlakukan seperti manusia yang tinggal di negara hukum. Mereka mencari keadilan dalam bidang hukum. Dari perjuangan yang dilakukan dalam ketiga novel tersebut, maka peneleti menemukan pola perjuangannya yang akan dijelaskan satu persatu. Adapun pola perjuangannya dapat dilihat pada tabel di bawah ini,
Universitas Sumatera Utara
No.
Bidang Perjuangan
Pola Perjuangan Memenuhi Kebutuhan Primer: makan, minum, pakaian, dan tempat tinggal Memenuhi Kebutuhan Sekunder:
1.
Ekonomi
faktor lingkungan hidup, tradisi masyarakat, dan faktor psikologis
Memenuhi
Kebutuhan
Tersier:
mempertinggi status sosial 2.
Keyakinan
Bersandar kepada Keyakinan akan Kebenaran Sebuah Ajaran Positif: memperjuangkan hak-hak kaum marginal Negatif: perjuangan mempercepat
3.
Hukum
proses hukum dan membebaskan diri dari tuntutan hukum dengan cara menyogok
Tabel 6.1 Pola Perjuangan Perempuan
6.2.1 Pola Perjuangan Perempuan dalam Ekonomi Perjuangan perempuan di bidang ekonomi dalam realitas fiksi ke tiga novel Okky didasarkan pada pola dasar pemenuhan kebutuhan hidup manusia. Pola pemenuhan kebutuhan tersebut dapat dikategorikan ke dalam tiga jenis. Pertama, memenuhi kebutuhan primer (pokok) adalah kebutuhan minimal yang mutlak harus dipenuhi untuk hidup sebagai layaknya manusia. Kebutuhan primer
Universitas Sumatera Utara
meliputi makanan dan minuman, pakaian, serta tempat tinggal. Kedua, memenuhi kebutuhan sekunder. Kebutuhan sekunder terkait erat dengan faktor lingkungan hidup dan tradisi masyarakat serta faktor psikologis. Orang yang mempunyai kedudukan di masyarakat sering merasa harus mempunyai kebutuhan supaya dipandang layak. Ketiga, memenuhi kebutuhan tersier. Kebutuhan tersier lebih terarah pada tujuan untuk mempertinggi status sosial (prestise) seseorang atau terkait dengan hobi dan kegemaran tertentu. Pola perjuangan tersebut dapat dilihat pada bagan di bawah ini,
Pola Perjuangan Perempuan dalam Bidang Ekonomi
Pemenuhan Kebutuhan Hidup
Kebutuhan Primer
Kebutuhan Sekunder
Makan, Minum, Pakaian, Tempat Tinggal,
Faktor Lingkungan Hidup, Tradisi Masyarakat, dan Faktor Psikologis
Kebutuhan Tersier
Mempertinggi Status Sosial
Bagan 6.2 Pola Perjuangan Perempuan dalam Ekonomi
Universitas Sumatera Utara
6.2.2 Pola Perjuangan Perempuan dalam Bidang Keyakinan Pola perjuangan dalam bidang keyakinan yang dilakukan oleh tokoh perempuan dalam novel Okky memiliki pola yang sama, yakni bersandarkan pada keyakinan akan kebenaran terhadap sebuah ajaran. Baik Kejawen maupun Ahmadiyah mendapat posisi di tengah persaingan moralitas Islam. Sikap pasrah dan berserah diri pada Yang Maha Kuasa menjadi sikap hidup yang ampuh untuk menghadapi kecaman dan tantangan dari berbagai pihak. Pola perjuangan perempuan dalam bidang keyakinan dapat dilihat pada bagan di bawah ini,
Pola Perjuangan Perempuan dalam Bidang Keyakinan
Keyakinan Akan Kebenaran
Kejawen
Ahmadiyah
Sikap pasrah dan berserah diri
6.3 Bagan Pola Perjuangan Perempuan dalam Bidang Hukum
Universitas Sumatera Utara
6.2.3 Pola Perjuangan Perempuan Bidang Hukum Pola perjuangan perempuan dalam mencari keadilan di bidang hukum memiliki pola yang positif dan negatif. Pola positif dapat dilihat dari perjuangan Maryam untuk memperjuangkan hak-hak kaum marginal. Sedangkan pola perjuangan negatif dapat dilihat dari perjuangan Sumarni untuk menuntut keadilan ketika Endang meminta setengah dari hartanya setelah kematian Teja. Marni melakukan hal-hal diluar dari jalur hukum. Begitu juga dengan Arimbi, untuk mempercepat kebebasannya dari penjara. Arimbi memberikan uang sogok kepada kepala sipir penjara sebesar 15 juta rupiah. Hal ini juga sering dijumpai dalam kehidupan nyata. Semua urusan akan cepat selesai jika dibarengi dengan memberian uang, sehingga wajarlah Indonesia menjadi negara terkorup di dunia. Pola Perjuangan perempuan dalam ketiga novel Okky dapat dilihat pada bagan berikut ini, Pola Perjuangan Perempuan dalam Bidang Hukum
Positif
Memperjuangkan Hak-hak Kaum Marginal
Negatif
Perjuangan Mempercepat Proses Hukum dan membebaskan diri dari tuntutan hukum dengan Cara Menyogok
6.3 Bagan Pola Perjuangan Perempuan dalam Bidang Hukum
Universitas Sumatera Utara
6.3 Peran Perempuan dalam Kehidupan Sosial Masyarakat Penggunaan sosok perempuan sebagai tokoh utama dalam novel bukan merupakan suatu kesalahan. Selalu menjadi masalah adalah pencitraan terhadap tokoh tersebut sering kali didasari dugaan gender yang menuntut oposisi biner yang senantiasa dimenangkan oleh pihak laki-laki, sedangkan perempuan sebagai yang tersubordinasi. Perempuan sebagai salah satu kelompok minoritas sampai saat ini masih berada dalam posisi subordinat dibanding laki-laki. Meskipun secara kuantitatif jumlah
perempuan
Indonesia
lebih
banyak
dibanding
laki-laki,
tetapi
kenyataannya tidak ada jaminan bagi hak-hak mereka. Faktor budaya merupakan salah satu penghambat bagi perempuan untuk tampil dalam forum publik. Kuatnya peran laki-laki dalam kehidupan publik sangat menentukan setiap keputusan yang diambil, termasuk keputusan yang menyangkut kehidupan perempuan. Hal ini menempatkan posisi perempuan semakin termarjinalkan, terutama dalam partisipasi politik semata-mata karena mereka adalah perempuan. Peran perempuan dalam mencari posisi dan peran dalam kehidupan sosial masyarakat dapat dilihat dari tokoh Marni, Bu Danti, Rahayu, Maryam, Arimbi. Pendidikan yang diperoleh para perempuan telah mendorong kaum perempuan untuk memasuki lapangan kerja di arena publik. Hal ini menggambarkan bahwa perempuan mulai mencari posisi dan perannya bukan hanya di arena domestik tetapi juga di kehidupan sosial masyarakat. Marni menjadi juragan tebu menunjukkan bahwa perempuan juga layak menjadi pemimpin. Marni mempekerjakan para kaum laki-laki. Marni mencari
Universitas Sumatera Utara
posisi di ranah publik. Walaupun dia seorang perempuan yang buta huruf yang tidak pernah mengenyam pendidikan di sekolah, namun dia
mempunyai
pemikiran yang cemerlang. Dengan bermodalkan keinginan untuk memiliki sesuatu, Marni mengubah pola pikir masyarakat tradisi. Dia mengerjakan pekerjaan yang selama ini tidak pernah dikerjakan oleh kaum perempuan. Nyai Dimah menjadi juragan singkong menempatkan dirinya menjadi perempuan yang eksis di ranah publik. Setiap hari dia berhubungan dengan masyarakat yang membutuhkan hasil jualannya. Dia tidak seperti perempuan lainnya yang hanya berdiam diri di rumah dan mengharapkan uang dari suami mereka. Nyai Dimah mencari posisi di masyarakat dengan berjualan. Dengan demikian, Nyai Dimah ikut berperan dalam kehidupan masyarakat. Rahayu menjadi aktivis kampus ikut memperjuangkan nasib orang yang tertindas. Dia kuliah di Fakultas Pertanian di salah satu universitas negeri di Yogyakarta. Dia meninggalkan kampusnya dan ikut bergabung dengan temantemannya di sebuah organisasi. Dia aktif di pengajian-pengajian dan ikut mengajarkan pengetahuan agama di masyarakat. Maryam ikut berperan di dalam masyarakat dengan memperjuangan hakhak kaum marginal. Bersama suaminya dan ketua organisasi ikut menghadap Pak Gubernur untuk memperjuang nasib mereka. Maryam yang sudah tamat dari pendidikan tinggi merasa ikut bertanggung jawab untuk membantu orang-orang yang tertindas. Walaupun tidak ada realisasi dari bapak gubernur, namun Maryam terus berusaha. Terkahir dia menulis surat kepada bapak gubernur yang baru terpilih agar mau memperhatikan nasib mereka.
Universitas Sumatera Utara
Keunggulan perempuan dalam hal memimpin tidak perlu disangsikan. Banyak perempuan justru lebih mampu memimpin dibandingkan dengan laki-laki. Misalnya perempuan memiliki kelebihan untuk perpikir dan bernalar jauh ke depan. Perempuan pun memimpin dengan hati karena tidak dapat dipungkiri intuisi perempuan lebih peka dan lebih bisa diandalkan dibandingkan dengan lakilaki sehingga hasilnya lebih optimal. Perempuan pun memiliki daya tahan untuk merasakan penderitaan lebih tinggi daripada laki-laki. Peran perempuan dalam mencari posisi dan peran dalam kehidupan sosial masyarakat terjadi dalam dua pola yaitu pertama, eksis dalam dunia perdagangan. Kedua, eksis dalam memperjuangankan nasib kaum tertindas. Dari pola peran di atas, dalam realitas fiksi dan realitas sosial novel Okky Madasari ditentukan oleh tingkat pendidikan. Hal ini didasarkan pada realitas sosial pelaku yang berjuang dalam kehidupan sosial masyarakat yang tidak berpendidikan, mereka hanya bisa eksis dalam dunia perdagangan. Sedangkan Orang-orang yang berpendidikan mereka bisa eksis dalam memperjuangkan nasib kaum tertindas seperti Maryam dan Rahayu.
6.4 Peranan Perempuan dalam Bidang Politik Dalam beberapa tahun terakhir ini, peran wanita dalam ranah politik semakin diperhitungkan. Hal ini memang wajar untuk dilakukan karena peran seorang perempuan bukan hanya menjadi sebuah paradigma yang stagnan, tetapi dengan jiwa semangat progresivitasnya dalam berbagai aktifitas baik itu dalam
Universitas Sumatera Utara
wilayah rumah tangga ataupun profesionalitas suatu pekerjaan. Bahkan, bisa dikatakan ahli atau spesialis dalam bidang tertentu. Hartini (2009: 55) menanggapi bahwa dalam perkembangan kultur pembangunan sumber daya manusia, sebenarnya negara tidak memandang dari segi gender untuk pemerataan dan segala bentuk fasilitas pembangunan untuk membentuk sumber daya manusia yang sempurna dengan tujuan pembangunan bangsa itu sendiri. Hanya saja, dalam kenyataan pelaksanaannya yang justru kelihatan dominan hanya laki-laki. Hal ini disebabkan karena selain adanya kultur budaya Jawa tentang perempuan, juga atas akses publik bagi perempuan terbatas, baik itu oleh norma adat, susila, kesopanan, bahkan norma hukum. Dilihat dari fakta akan peran perempuan sendiri dalam dunia politik sekarang dan dahulu memberikan warna yang berbeda dan mengalami peningkatan yang sangat tajam, sehingga memerlukan suatu aturan yang mengikat atas perubahan paradigma fungsi perempuan itu sendiri. Sejarah perjuangan kaum wanita Indonesia telah mencatat nama-nama wanita yang turut andil dalam aktifitas politik. Perjuangan fisik melawan penjajah telah mengambikan namanama seperti Cut Nyak Dien, Christina Martha Tiahahu, Yolanda maramis, dan lain sebagainya. Dalam pergerakan nasional muncul nama Rasuna Said, dan Trimurti. Sedangkan nama-nama Raden Ajeng Kartini dan Dewi Sartika, telah terpahat sebagai orang yang memperjuangkan hak-hak wanita untuk memperoleh pendidikan yang setara dengan pria (Hartini, 2009: 55). Di dalam novel-novel Okky dapat dilihat perjuangan perempuan untuk mengangkat harkat dan martabatnya dan memperjuangkan perempuan sebagai
Universitas Sumatera Utara
mitra sejajar dengan laki-laki. Marni mendobrak kebiasaan masyarakat Jawa yang berterikat dengan pakem ilok ora ilok. Dia mengangkat harkat dan martabatnya dari masyarakat miskin menjadi masyarakat yang setaraf dengan kaum priyayi. Marni juga menjadi orang yang diperitungkan di desanya. Walaupun dia tidak menjadi pengurus anggota partai politik, tetapi Marni setiap saat aktif dan ikut berpartisipasi dalam kegiatan partai politik. Marni juga menjadi juragan tebu dan mempekerjakan kaum laki-laki sebagai buruhnya. Marni menunjukkan eksistensi dirinya bahwa kaum perempuan bisa sederajat dengan kaum laki-laki. “...Simbok lihatlah anakmu ini sekarang. Kita dulu kerja memeras keringat seharian, diupahi telo, bukan uang, hanya karena kita perempuan. Lihatlah sekarang, anakmu yang perempuan ini, berdiri tegak di sini mengupahi para laki-laki. Setiap orang mendapat upah tujuh ratus dari uang yang kumiliki sendiri” (En, 102-103). Peran Bu Danti sebagai ketua panitera pengadilan di tempatnya bekerja menunjukkan bahwa kaum perempuan sebagai mitra sejajar dengan laki-laki. Kedudukan Bu Danti sejajar dengan para hakim dan jaksa penuntut yang diduduki oleh kaum laki-laki. Bu Danti bisa bekerja sama dengan para hakim dan jaksa penuntut tersebut dengan baik. Dalam era reformasi ini, ada harapan baru bagi Indonesia untuk mewujudkan kehidupan demokrasi sejati yang impikan dan terus diperjuangkan oleh banyak kalangan. Dalam proses demokrasi, persoalan partisipasi politik perempuan yang lebih besar, representasi dan persoalan akuntabilitas menjadi prasarat mutlak bagi terwujudnya demokrasi yang lebih bermakna di Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
Tuntutan bagi partisipasi perempuan yang lebih adil, sebenarnya bukan hanya tuntutan demokratisasi, tetapi juga prakondisi untuk menciptakan pemerintahan yang lebih transparan dan akuntabel. Demokrasi yang bermakna adalah demokrasi yang memperhatikan dan memperjuangkan kepentingan mayoritas penduduk Indonesia yang terdiri dari perempuan. Termasuk juga memperbaiki kehidupan kaum perempuan untuk lepas dari kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan, serta memperlakukan perempuan sebagai mitra sejajar dengan laki-laki. Peran perempuan dalam bidang politik terjadi dalam dua pola yaitu pertama, kaum perempuan sederajat dengan laki-laki. Kedua, kaum perempuan menjadi mitra sejajar dengan kaum laki-laki. Pola peran ini ditentukan oleh keaktifan seseorang di lingkungan tempat dia bekerja. Marni yang aktif di dalam lingkungan masyarakat di desanya sedangkan bu Danti aktif di lingkungan tempat dia bekerja yaitu lingkungan pemerintahan. Marni mampu membuktikan bahwa dia bisa sederajat dengan kaum laki-laki, sedangkan Bu Danti membuktikan bahwa dia bisa menjadi mitra sejajar dengan laki-laki. Pola Peran tersebut dapat dilihat dari bagan berikut ini,
Universitas Sumatera Utara
Pola Peran Perempuan dalam Bidang Sosial Politik
Pola Peran Perempuan dalam Bidang Sosial
Eksis dalam Dunia Perdagangan dan Eksis dalam Memeperjuangkan Nasib Kaum Tertinggal
Pola Peran Perempuan dalam Bidang Politik
Kaum Perempuan Sederajat dengan Kaum Laki-laki dan Kaum Perempuan Menjadi Mitra Sejajar dengan Kaum Laki-laki
Bagan 6.4 Pola Peran Perempuan dalam Bidang Sosial Politik
Universitas Sumatera Utara
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan Dari uraian penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: 1. Struktur penceritaan ketiga novel karya Okky Madasari, seperti struktur alur, struktur ruang dan waktu, struktur fisik, ras, dan relasi gender, serta struktur transmisi narasi menggabungkan realitas fiksi dan realitas sosial kehidupan masyarakat pendukung karya tersebut. Struktur penceritaan novel yang didasarkan pada pengalaman pengarang novel ini, berfungsi sebagai kerangka cerita. Hal ini disebabkan terdapat peristiwa yang tidak sesuai dengan realitas sosial. Bahkan, terdapat realitas sosial yang disamarkan, seperti penggunaan nama tempat. Penyamaran realitas sosial dalam realitas fiksi didukung oleh pengalaman estetik dan riset yang dilakukan oleh pengarang. Pengarang terlibat langsung dalam kehidupan masyarakat pendukung cerita. 2. Analisis semiotik terhadap perjuangan perempuan dalam ketiga novel Okky Madasari menunjukkan bahwa Gagasan Barthes ini dikenal dengan “order of signification”, mencakup denotasi (makna sebenarnya sesuai kamus) dan konotasi (makna ganda yang lahir dari pengalaman kultural dan personal). Pemaknaan tingkat pertama mengarah kepada makna yang dedotatif, makna sebenarnya, atau makna yang terkandung di dalam teks tersebut. Sedangkan pemknaan tingkat kedua merupakan makna konotasi atau makna tidak sebenarnya, atau makna menurut konteks kalimat dan konteks budaya dimana
Universitas Sumatera Utara
teks tersebut dilahirkan. Menurut Roland Barthes pemaknaan tingkat kedua mengarah kepada mitos, dimana mitos tersebut adalah sumber pengetahuan baru. Pemaknaan tingkat pertama dalam menafsirkan perjuangan perempuan dalam
ketiga novel Okky Madasari merujuk kepada makna teks yang
terkandung dalam novel tersebut. Sedangkan pemaknaan tingkat kedua merupakan interpretasi dari peneliti dalam menafsirkan pemaknaan tingkat pertama dikaitkan dengan realitas sosial
yang hidup di masyarakat untuk
melihat perjuangan perempuan dalam ketiga novel Okky Madasari. 3. Terdapat tiga jenis perjuangan perempuan dalam ketiga novel Okky Madasari, yaitu perjuangan perempuan dalam bidang ekonomi, perjuangan perempuan keyakinan, dan perjuangan perempuan dalam bidang hukum. a. Perjuangan perempuan dalam bidang ekonomi meliputi, perjuangan perempuan
sebagai
pelaku
bisnis,
perjuangan
perempuan
dalam
mempertahankan hidup, dan perjuangan merempuan dalam meningkatkan taraf hidup. Perempuan sebagai pelopor dan agen bagi tercapainya perubahan sosial dari masyarakat yang patriarki menuju masyarakat yang senantiasa mempertanyakan adanya ketidakadilan gender yang terjadi di sektor domistik ataupun publik khususnya di bidang ekonomi. Perempuan telah berjuang untuk mengkritisi dan mengatasi diskriminatif di bidang ekonomi yang diakibatkan oleh ketidakadilan gender. Perempuan telah menunjukkan eksistensi dirinya yaitu mampu menyamakan derajatnya dengan kaum laki-laki dengan menjadi pelaku bisnis. Perempuan juga
Universitas Sumatera Utara
berperan dalam mengatasi masalah ekonomi dalam keluarga, terutama untuk mempertahan hidup dan untuk meningkat kesejahteraan hidup. b. Perjuangan perempuan dalam mempertahankan keyakinan meliputi, Kejawen dan Ahmadiyah. Kejawen adalah sumarni telah berjuang untuk mempertahankan keyakinan tersebut walaupun harus mendapat cemoohan dari guru ngaji dan masyarakat setempat. Bahkan dia juga ditentang oleh Rahayu, anaknya sendiri. Namun, dia tetap melaksanakan keyakinannya tersebut walaupun dia harus berpisah dari anaknya. Perjuangan perempuan dalam mempertahankan ajaran Ahmadiyah diwakili oleh tokoh-tokoh perempuan yang mengalami kekerasan, penyerangan, dan pengusiran yang menyebankan mereka harus berada di penggungsian dalam waktu yang cukup lama. Namun, mereka tetap teguh pada pendiriannya. Penderitaan tidak menyurutkan langkah mereka untuk berjuang. c. Perjuang perempuan dalam bidang hukum yaitu perjuangan perempuan dalam mencari keadilan. Dalam hal mencari keadilan, perempuan sudah berjuang dengan mengikuti prosedur yang ditentukan. Mereka mencari keadilan walaupun harapan mereka kandas di tengah jalan oleh permainan uang sogok dan keyakinan yang dianggap aliran sesat. Namun, mereka tetap berjuang.
Universitas Sumatera Utara
7.2 Saran Dengan penggambaran perjuangan tokoh-tokoh perempuan dalam ketiga novel Okky Madasari, peneliti mencoba membuka mata para pembaca agar ikut berperan dan memikirkan nasib kaum perempuan. Oleh karena itu, peneliti berharap agar pembaca menyadari akan pentingnya perjuangan perempuan untuk mengangkat harkat dan martabatnya sebagai manusia merdeka. Perempuan harus menyadari perlunya pemberdayaan perempuan di arena politik dengan mulai lantang dan vokal menyuarakan dan memperjuangkan hakhak perempuan, pemunculkan isu-isu perempuan dan melawan penindasan dan diskriminasi perempuan. Perempuan harus keluar dari kotak jebakan politik untuk kepentingan sesaat dan harus segera melenggang menuju dunia politik yang berwawasan lebih luas dan integral semata-mata demi pemberdayaan perempuan dan pengakomodasian aspirasi perempuan. Gaung suara perempuan di kancah politik selalu diharapkan, asalkan suara tersebut berasal dari hati nurani yang tidak tercemar oleh kepentingan pribadi dan golongan.
Universitas Sumatera Utara