BAB III METODE PENELITIAN
III.A. Pendekatan Kualitatif Bogdan dan Taylor (dalam Moleong 2000) mengatakan bahwa metode penelitian kualitatif merupakan prosedur penelitian yang akan menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Penelitian ini juga digunakan untuk menggambarkan dan menjawab pertanyaan seputar responden penelitian beserta konteksnya. Penelitian kualitatif dalam hal ini dipandang dapat menyampaikan dunia partisipan secara keseluruhan dari perspektif responden sendiri dan yang menjadi instrumen dalam mengumpulkan data adalah peneliti sendiri (Banister, 1994). Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif karena yang ingin diteliti adalah pengalaman subjektif individu mengenai psychological well-being individu yang mengalami kecacatan akibat kecelakaan. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Poerwandari (2001) yang menyatakan bahwa salah satu tujuan penting penelitian kualitatif adalah diperolehnya pemahaman yang menyeluruh dan utuh tentang fenomena yang diteliti, sebagian besar aspek psikologis manusia juga sangat sulit direduksi dalam bentuk elemen dan angka sehingga akan lebih ‘etis’ dan kontekstual bila diteliti dalam setting alamiah, dimana artinya adalah tidak cukup hanya mencari “what” dan “how much”, tetapi perlu juga memahaminya (“why” dan “how”) dalam konteksnya.
Menurut Patton (dalam Afiatin, 1997) kelebihan dari metode kualitatif adalah bahwa dengan prosedur yang khusus menghasilkan data detail yang kaya tentang sejumlah kecil orang dan kasus-kasus. Kelebihan lainnya adalah bahwa pendekatan kualitatif menghasilkan data yang mendalam dan detail serta penggambaran yang hati-hati tentang situasi, kejadian-kejadian, orang-orang, interaksi dan perilaku yang teramati. Penelitian dengan pendekatan kualitatif memberi kesempatan kepada peneliti untuk memperoleh pemahaman yang menyeluruh dan utuh tentang fenomena yang diteliti serta untuk mengungkap hal-hal yang tersimpan dalam pikiran, perasaan dan keyakinan-keyakinan partisipan yang sulit diungkap dengan pendekatan kuantitatif, sehingga dengan menggunakan pendekatan kualitatif, tujuan dari penelitian ini akan tercapai.
III.B. Responden Penelitian III.B.1. Karakteristik Responden Penelitian Sesuai dengan tujuan penelitian ini, maka karakteristik responden yang dipilih adalah individu dewasa awal, yaitu individu yang berada pada rentang usia 26-30 tahun (Hurlock, 2004) yang mengalami kecacatan akibat kecelakaan
III.B.2. Jumlah Responden Penelitian Menurut Poerwandari (2007), penelitian kualitatif bersifat relatif luwes. Oleh sebab itu, tidak ada aturan yang pasti dalam jumlah sampel yang harus diambil untuk penelitian kualitatif. Jumlah sampel pada penelitian kualitatif
diarahkan pada kecocokan konteks (Sarantakos, dalam Poerwandari 2007) dan tergantung pada apa yang dianggap bermanfaat dan dapat dilakukan dengan waktu dan sumber daya yang tersedia. Jumlah responden dalam penelitian ini adalah 3 (tiga) orang karena mempertimbangkan keterbatasan dari peneliti sendiri baik dari segi waktu, biaya maupun kemampuan peneliti. Dengan karakteristik tersebut, jumlah sampel dalam penelitian kualitatif tidak dapat ditentukan secara tegas diawal penelitian. Dalam penelitian ini, jumlah responden yang berpartisipasi adalah dua orang. Hal ini dilakukan dengan mempertimbangkan keterbatasan dari peneliti sendiri baik dari segi waktu, biaya maupun kemampuan peneliti.
III.B.3. Prosedur Pengambilan Responden Patton (dalam Poerwandari, 2001) mengemukakan sepuluh teknik pengambilan sampel namun penelitian ini menggunakan teknik pengambilan sampel berdasarkan teori atau konstruk operasional (theory based/operational construct sampling) dimana sampel dipilih dengan kriteria tertentu berdasarkan teori atau konstruk operasional sesuai dengan studi-studi sebelumnya dan sesuai tujuan penelitian. Hal ini dilakukan agar sampel benar-benar mewakili (bersifat representatif) berdasarkan fenomena yang dipelajari.
III.B.4. Lokasi Penelitian Penelitian ini akan dilakukan di kota Medan dengan mengambil responden yang sesuai dengan karakteristik yang telah ditetapkan sebelumnya.
Hal ini penting dalam memudahkan peneliti untuk melakukan penelitian, mengingat peneliti juga berdomisili di kota Medan.
III.C. Metode Pengambilan Data Lofland & Lofland (dalam Moleong, 2000) berpendapat bahwa sumber utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata dan tindakan. Metode pengumpulan data yang digunakan disesuaikan dengan masalah, tujuan penelitian dan sifat objek yang diteliti. Metode-metode yang dapat digunakan dalam penelitian kualitatif antara lain wawancara, observasi, diskusi kelompok terfokus, analisis terhadap dokumen, analisis dokumen, analisis catatan pribadi, studi kasus, dan studi riwayat hidup (Poerwandari, 2007). Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam (in-depth interviewing). Wawancara mendalam dilakukan dengan maksud untuk memperoleh pengetahuan tentang makna-makna subjektif yang dipahami individu berkenaan dengan topik yang diteliti dan bermaksud melakukan eksplorasi terhadap isu tersebut, satu hal yang tidak dapat dilakukan melalui pendekatan lain (Banister dkk. dalam Poerwandari, 2007). Teknik wawancara yang dilakukan oleh peneliti adalah dengan menggunakan teknik funneling oleh Smith (dalam Poerwandari, 2007) yaitu memulai dari pertanyaan-pertanyaan yang umum dan makin lama makin khusus. Selama
wawancara
dilakukan,
peneliti
menggunakan
pedoman
wawancara agar hal-hal yang ingin diketahui tidak ada yang terlewatkan.
Meskipun demikian, tidak tertutup kemungkinan untuk menanyakan sesuatu di luar pedoman untuk menambah keakuratan data penelitian. Pada saat proses wawancara, juga akan disertai dengan proses observasi terhadap perilaku partisipan. Istilah observasi diarahkan pada kegiatan memperhatikan
secara
mempertimbangkan
akurat,
hubungan
mencatat antara
fenomena
aspek
dalam
yang
muncul
fenomena
dan
tersebut
(Poerwandari, 2007). Observasi dilakukan pada saat wawancara berlangsung untuk melihat bagaimana reaksi calon partisipan ketika peneliti meminta kesediaannya untuk diwawancarai, bagaimana sikap partisipan terhadap peneliti, bagaimana sikap dan reaksi partisipan terhadap pertanyaan-pertanyaan yang diajukan, bagaimana keadaan partisipan pada saat wawancara, hal-hal yang sering dilakukan partisipan dalam proses wawancara dan respon-respon nonverbal dari partisipan. Dalam penelitian ini akan digunakan observasi nonpartisipan dimana peneliti hanya bertindak sebagai peneliti total yang tidak terlibat dalam peristiwa tersebut (Minauli, 2002).
III.D. Alat Bantu Pengumpulan Data Poerwandari (2007) mengatakan bahwa dalam metode wawancara, alat yang terpenting adalah peneliti sendiri. Namun, untuk memudahkan pengumpulan data, peneliti membutuhkan alat bantu. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan alat bantu pengumpulan data antara lain :
III.D.1 Alat Perekam (mp4 player) Menurut Poerwandari (2007), sedapat mungkin suatu wawancara perlu direkam dan dibuat transkripnya secara verbatim (kata demi kata). Tidak bijaksana jika hanya mengandalkan ingatan saja, karena indera manusia terbatas yang memungkinkan peneliti untuk melewatkan hal-hal yang tidak terseleksi oleh indera yang dapat mendukung penelitian. Dengan mp4 player, peneliti tidak perlu mencatat jalannya pembicaraan. Selain itu peneliti dapat melakukan observasi terhadap partisipan selama wawancara berlangsung. Semuanya ini akan memungkinkan tercapainya keakuratan analisa data penelitian. Penggunaan mp4 player juga memungkinkan peneliti untuk lebih berkonsentrasi pada apa yang dikatakan oleh subyek, mp4 player dapat merekam nuansa suara dan bunyi serta aspek-aspek dari wawancara seperti tertawa, desahan dan sarkasme secara tajam (Padgett, 1998). Alat perekam ini akan digunakan selama wawancara berlangsung atas izin dari partisipan. Peneliti mengemukakan bahwa sangatlah penting untuk merekam pembicaraan ini supaya peneliti dapat menganalisa data seakurat mungkin yang nantinya menghasilkan penelitian yang baik pula (Poerwandari, 2007).
III.D.2. Pedoman Wawancara Pedoman wawancara digunakan agar wawancara yang dilakukan tidak menyimpang dari tujuan penelitian. Pedoman wawancara ini juga sebagai alat bantu untuk mengkategorisasikan jawaban sehingga memudahkan pada tahap analisis data. Pedoman ini disusun tidak hanya berdasarkan tujuan penelitian, tapi
juga berdasarkan pada berbagai teori yang berkaitan dengan masalah yang ingin dijawab (Poerwandari, 2001). Pedoman wawancara bersifat semi struktur untuk mengingatkan peneliti mengenai aspek-aspek yang dibahas, sekaligus menjadi daftar pengecek (checklist) apakah aspek-aspek tersebut telah dibahas atau ditanyakan. Pedoman wawancara disusun berdasarkan teori-teori yang telah dijelaskan dalam Bab II sehingga peneliti mempunyai kerangka berfikir tentang hal-hal yang ingin ditanyakan. Dalam pelaksanaannya, pedoman wawancara tidak digunakan secara kaku sehingga tidak menutup kemungkinan peneliti menanyakan hal-hal diluar pedoman wawancara agar data yang dihasilkan lebih akurat dan lengkap.
III.E. Kredibilitas Penelitian Kredibilitas adalah istilah yang digunakan dalam penelitian kualitatif untuk menggantikan konsep validitas (Poerwandari, 2007). Deskripsi mendalam yang menjelaskan kemajemukan (kompleksitas) aspek-aspek yang terkait (dalam bahasa kuantitatif: variabel) dan interaksi dari berbagai aspek menjadi salah satu ukuran kredibilitas penelitian kualitatif. Menurut Poerwandari (2007), kredibilitas penelitian kualitatif terletak pada keberhasilan mencapai maksud mengeksplorasi masalah dan mendeskripsikan setting, proses, kelompok sosial atau pola interaksi yang kompleks. Adapun upaya peneliti dalam menjaga kredibilitas dan objektifitas penelitian ini, antara lain dengan :
1. Memilih calon partisipan yang sesuai dengan karakteristik penelitian, dalam hal ini adalah individu dewasa asal yang berusia 18-40 tahun yang mengalami kecacatan fisik akibat kecelakaan. 2. Membangun rapport dengan partisipan agar ketika proses wawancara berlangsung partisipan dapat lebih terbuka menjawab setiap pertanyaan dan suasana tidak kaku pada saat wawancara. 3. Membuat pedoman wawancara berdasarkan dimensi-dimensi psychological well-being. Kemudian melakukan standarisasi pedoman wawancara dengan dosen pembimbing. Professional judgement di dalam penelitian ini adalah dosen pembimbing penelitian ini. 4. Menggunakan
pertanyaan
terbuka
dan
wawancara
mendalam
untuk
mendapatkan data yang akurat. 5. Melibatkan dosen pembimbing untuk berdiskusi, memberikan saran dan kritik mulai dari awal kegiatan proses penelitian sampai tersusunnya hasil penelitian. Hal ini dilakukan mengingat keterbatasan kemampuan peneliti pada kompleksitas fenomena yang diteliti.
III.F. Prosedur Penelitian III.F.1.Tahap Persiapan Penelitian Pada tahap persiapan penelitian, peneliti menggunakan sejumlah hal yang diperlukan untuk melaksanakan penelitian (Moleong, 2006), yaitu sebagai berikut: a. Mengumpulkan data
Peneliti mengumpulkan berbagai informasi dan teori-teori yang berhubungan dengan gambaran psychological well-being pada seseorang. b. Menyusun pedoman wawancara Agar wawancara yang dilakukan tidak menyimpang dari tujuan penelitian, peneliti menyusun butir-butir pertanyaan berdasarkan kerangka teori dari dimensi-dimensi yang ada untuk menjadi pedoman wawancara. c. Persiapan untuk mengumpulkan data Peneliti mengumpulkan informasi tentang calon responden penelitian dari teman-teman peneliti, panti rehabilitasi, rumah sakit, sekolah, dan yayasan pembinaan
olahraga
cacat.
Setelah
mendapatkannya,
lalu
peneliti
menghubungi calon responden untuk menjelaskan tentang penelitian yang akan dilakukan dan menanyakan kesediaannya untuk berpartisipasi dalam penelitian. Peneliti melakukan pendekatan ke sebuah panti rehabilitasi bagi orang cacat di daerah Pematang Siantar untuk memperoleh data mengenai individu yang mengalami kecacatan yang diakibatkan oleh kecelakaan dan berada pada rentang usia 18-40 tahun. Peneliti sempat berkenalan dan berbincang-bincang dengan seorang pasien, berinisial F, yang berada dipanti rehabilitasi tersebut. Peneliti menyatakan maksud dan tujuan peneliti kemudian F setuju untuk menjadi salah seorang responden peneliti. Namun ketika peneliti meminta waktu F dan menyatakan akan berkunjung serta melakukan wawancara, F menyatakan bahwa F sedang berada di Riau di tempat kedua orangtuanya dan F tidak bisa memastikan kapan akan kembali ke Pematang Siantar lagi.
Kemudian peneliti mencari informasi dari seorang teman peneliti yang pernah mendapatkan perawatan dipanti rehabilitasi tersebut mengenai temantemannya
yang
sesuai
dengan
kriteria
penelitian.
Teman
peneliti
memperkenalkan peneliti dengan H yang tinggal di kota Pematang Siantar. Peneliti mencoba menghubungi H dan meminta kesediaannya menjadi responden penelitian. Namun karena kesibukannya bekerja sebagai salah seorang karyawan di bagian marketing peneliti mengalami kesulitan untuk membuat janji bertemu dengan H dan peneliti memutuskan untuk tidak menggunakan H sebagai responden penelitian. Peneliti lalu mendatangi sebuah yayasan pembinaan olahraga bagi orang cacat yang berlokasi di jalan Stadiun Teladan Medan. Di yayasan tersebut peneliti dikenalkan dengan seorang atlet tenis meja berskala nasional, berinisial A, yang mengalami kecacatan pada tangan kirinya. Peneliti mendapat persetujuan dari A untuk menjadi responden penelitian dan peneliti sempat melakukan wawancara pertama dengan A tetapi ketika peneliti meminta kesediannya untuk melakukan wawancara kedua tiba-tiba A tidak memberikan respon. Peneliti kemudian mencari informasi mengenai keberadaan A dari temantemannya sesama atlet dan peneliti menerima kabar bahwa A sedang berada di pulau Bali selama beberapa minggu untuk mengikuti pertandingan dan temantemannya juga tidak memiliki informasi kapan A akan kembali ke Medan. Dikarenakan ketidakjelasan kapan A akan kembali ke Medan, demi efisiensi waktu maka peneliti memutuskan untuk tidak menggunakan A sebagai responden penelitian.
Yayasan pembinaan olah raga bagi orang cacat tersebut tidak hanya mengenalkan peneliti dengan A tetapi juga memberikan informasi mengenai dua calon responden lagi yang sesuai dengan kriteria penelitian, masingmasing berinisial R dan A. Pada awalnya peneliti bertemu dengan R di yayasan tersebut dan menyatakan maksud dan tujuan peneliti. Namun setelah berbincang-bincang akhirnya peneliti mengetahui bahwa usia R tidak sesuai dengan kriteria penelitian, lebih dari 40 tahun, kemudian peneliti memutuskan tidak menggunakan R sebagai reponden selanjutnya. Keesokan harinya, peneliti bertemu dengan responden A yang sesuai dengan kriteria penelitian kemudian peneliti memutuskan A menjadi responden penelitian. Setelah beberapa waktu peneliti tidak juga mendapatkan responden, peneliti memutuskan untuk memperluas pencarian responden ke sekolah dan rumah sakit. Akan tetapi peneliti tidak juga menemukan calon responden yang sesuai. Peneliti terus mencari informasi dari teman-teman peneliti dan ada seorang teman peneliti yang mengatakan bahwa ia mengenal seorang tetangganya yang mengalami kecacatan karena kecelakaan. Kemudian peneliti diajak untuk bertemu dengan calon responden, berinisial M. Setelah berbincang-bincang dengan M, peneliti baru mengetahui kalau usia responden tidak sesuai dengan kriteria penelitian, lebih dari 40 tahun. Peneliti memutuskan untuk tidak menggunakan M sebagai responden penelitian. Peneliti terus mencari informasi dari teman-teman peneliti dan teman peneliti memberi informasi bahwa teman peneliti tersebut memiliki dua orang kenalan yang cocok dengan kriteria penelitian, masing-masing berinisial Z dan A.
Peneliti kemudian diajak bertemu dengan calon responden Z, menyatakan maksud dan tujuan peneliti kemudian Z menyetujui untuk menjadi responden penelitian. Beberapa hari kemudian peneliti membuat janji bertemu dengan Z tetapi setiap kali peneliti mengajaknya bertemu untuk wawancara, Z selalu tidak bisa dengan berbagai alasan, sehingga akhirnya peneliti memutuskan untuk tidak menggunakannya sebagai responden penelitian. Setelah itu, peneliti diperkenalkan dengan calon responden selanjutnya, berinisial A. Peneliti menyatakan maksud dan tujuan peneliti dan akhirnya A menyatakan kesediaannya menjadi responden penelitian dan peneliti tetapkan menjadi responden kedua. Peneliti terus melakukan proses pencarian untuk calon responden ketiga dengan tetap bertanya kepada teman-teman peneliti dan peneliti mendapatkan informasi bahwa ada dua orang calon responden yang juga sesuai dengan kriteria penelitan yang dibuat oleh peneliti. Calon responden pertama mengalami luka bakar pada seluruh wajahnya akibat upaya bunuh diri, sedangkan calon responden kedua memiliki bekas luka pada kaki kirinya karena jatuh dari pohon. Akan tetapi setelah meninjau kembali kondisi kedua responden dengan teori yang peneliti paparkan pada bab II, peneliti memutuskan bahwa kedua calon responden tersebut tidak bisa peneliti gunakan sebagai responden penelitian. Pada akhirnya peneliti menemui seorang konselor yang pada saat itu sedang memiliki seorang klien yang mengalami kelumpuhan pada kedua kakinya. Peneliti diajak untuk bertemu langsung dengan calon responden tersebut.
Setelah berbincang-bincang akhirnya peneliti menemukan bahwa calon responden
ternyata
mengalami
kelumpuhan
bukan
diakibatkan
oleh
kecelakaan melainkan oleh sebuah penyakit kelainan darah yang dideritanya. Dalam waktu pencarian yang cukup lama, akhirnya peneliti memutuskan hanya menggunakan 2 (dua) responden penelitian saja karena keterbatasan waktu, dana dan kemampuan yang peneliti miliki. d. Membangun rapport dan menentukan jadwal wawancara Setelah memperoleh kesediaan dari responden penelitian, peneliti membuat janji bertemu dengan responden dan berusaha membangun rapport yang baik dengan responden. Waktu yang digunakan peneliti untuk membina rapport adalah selama 10-20 menit di setiap awal pertemuan dan akhir pertemuan. Setelah itu, peneliti dan responden penelitian menentukan dan menyepakati waktu untuk pertemuan selanjutnya untuk melaksanakan wawancara penelitian. Pembangungan rapport dilakukan berkali-kali oleh peneliti. Pembangunan rapport dilakkan dengan berteman dengan kedua responden, sering berbincang-bincang lewat telepon ataupun lewat pesan singkat.
III.F.2. Tahap Pelaksanaan Penelitian Setelah tahap persiapan penelitian dilakukan, maka peneliti memasuki beberapa tahap pelaksanaan penelitian, antara lain: a. Mengkonfirmasi ulang waktu dan tempat wawancara
Sebelum wawancara dilakukan, peneliti mengkonfirmasi ulang waktu dan tempat yang sebelumnya telah disepakati bersama dengan responden. Konfirmasi ulang ini dilakukan sehari sebelum wawancara dilakukan dengan tujuan agar memastikan responden
dalam keadaan sehat dan tidak
berhalangan dalam melakukan wawancara. b. Melakukan wawancara berdasarkan pedoman wawancara Sebelum
wawancara
dilakukan,
peneliti
meminta
responden
untuk
menandatangani ”Lembar Persetujuan Wawancara” yang menyatakan bahwa responden mengerti tujuan wawancara, bersedia menjawab pertanyaan yang diajukan, mempunyai hak untuk mengundurkan diri dari penelitian sewaktuwaktu serta memahami bahwa hasil wawancara adalah rahasia dan hanya digunakan untuk kepentingan penelitian. Setelah itu, peneliti melakukan proses wawancara berdasarkan pedoman wawancara yang telah dibuat sebelumnya. Peneliti melakukan beberapa kali wawancara untuk mendapatkan hasil dan data yang maksimal. Dalam melakukan wawancara, peneliti sekaligus melakukan observasi terhadap responden. Berikut ini adalah jadwal-jadwal dilakukannya wawancara dengan responden penelitian. Tabel 1. Waktu Wawancara dengan Responden I No
Responden
Tanggal
Waktu
Tempat
Wawaancara
Wawancara
Wawancara
1
Responden I
22 Januari 2011
09.20-09.59
Sekretariat B
2
Responden I
22 Februari 2011
12.05-13.01
Sebuah
warung
makan di simpang Jl. Willem Iskandar
Tabel 2. Waktu Wawancara dengan Responden II No
1
Responden
Responden II
Tanggal
Waktu
Tempat
Wawancara
Wawancara
Wawancara
03 April 2011
16.50-18.13
Warung makan di Jl. Iskandar Muda
2
Responden II
17 Mei 2011
16.40-18.10
Warung makan di Jl. Iskandar Muda
c. Memindahkan rekaman hasil wawancara ke dalam bentuk transkrip verbatim Setelah proses wawancara selesai dilakukan dan hasil wawancara telah diperoleh, peneliti kemudian memindahkan hasil wawancara ke dalam verbatim tertulis. Pada tahap ini, peneliti melakukan koding dengan membubuhkan kode-kode pada materi yang diperoleh. Koding dimaksudkan untk dapat mengorganisasi dan mensistemasi data secara lengkap dan mendetail sehingga data dapat memunculkan gambaran tentang topik yang dipelajari (Poerwandari, 2007). d. Melakukan analisa data Bentuk transkrip verbatim yang telah selesai dibuat kemudian dibuatkan salinannya, peneliti kemudian menyusun dan menganalisa data dari hasil transkrip wawancara yang telah dikoding menjadi sebuah narasi yang baik dan
menyusunnya berdasarkan alur pedoman wawancara yang digunakan saat wawancara. Peneliti membagi penjabaran analisa data responden ke dalam dimensi-dimensi dalam psychological well-being. e. Menarik kesimpulan, membuat diskusi dan saran Setelah analisa data selesai dilakukan, peneliti menarik kesimpulan untuk menjawab rumusan permasalahan. Kemudian peneliti menuliskan diskusi berdasarkan kesimpulan dan data hasil penelitian. Setelah itu, peneliti memberikan saran-saran sesuai dengan kesimpulan, diskusi dan data hasil penelitian.
III.F.3. Tahap Pencatatan Data Untuk memudahkan pencatatan data, peneliti menggunakan alat perekam sebagai alat bantu agar data yang diperoleh dapat lebih akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Sebelum wawancara dimulai, peneliti meminta izin kepada responden untuk merekam wawancara yang akan dilakukan dengan mp4 player. Dari hasil rekaman ini kemudian akan ditranskripsikan secara verbatim untuk dianalisa. Transkrip adalah salinan hasil wawancara dalam pita suara yang dipindahkan ke dalam bentuk ketikan di atas kertas.
III.F.4. Prosedur Analisa Data Beberapa tahapan dalam menganalisis data kualitatif menurut Poerwandari (2007), yaitu: a. Koding
Koding adalah proses membubuhkan kode-kode pada materi yang diperoleh. Koding dimaksudkan untuk dapat mengorganisasikan dan mensistemasi data secara lengkap dan mendetail sehingga data dapat memunculkan dengan lengkap gambaran tentang topik yang dipelajari. Semua peneliti kualitatif menganggap tahap koding sebagai yang penting, meskipun peneliti yang satu dengan peneliti yang lain memberikan usulan prosedur yang tidak sepenuhnya. Pada akhirnya, penelitilah yang berhak (dan bertanggung jawab) memilih cara koding yang dianggapnya paling efektif bagi data yagn diperolehnya (Poerwandari, 2007). b. Organisasi Data Highlen dan Finley (dalam Poerwandari, 2007) menyatakan bahwa organisasi data yang sistematis memungkinkan peneliti untuk: 1. Memperoleh data yang baik, 2. Mendokumentasikan analisis yang dilakukan 3. Menyimpan data dan analisis yang berkaitan dalam penyelesaian penelitian Hal-hal yang penting untuk disimpan dan diorganisasikan adalah data mentah (catatan lapangan dan kaset hasil rekaman), data yang sudah diproses sebagiannya (transkrip wawancara), data yang sudah ditandai/dibubuhi kodekode khusus dan dokumentasi umum yang kronologis mengenai pengumpulan data dan langkah analisis. c. Tahapan Interpretasi/analisis Kvale (dalam Poerwandari, 2007) menyatakan bahwa interpretasi mengacu pada upaya memahami data secara lebih ekstensif sekaligus mendalam. Ada
tiga tingkatan konteks interpretasi yang diajukan Kvale (dalam Poerwandari, 2007),
yaitu:
pertama,
konteks
interpretasi
pemahaman
diri
(self
understanding) terjadi bila peneliti berusaha memformulasikan dalam bentuk yang lebih padat (condensed) apa yang oleh responden penelitian sendiri dipahami sebagai makna dari pernyataan-pernyataannya. Interpretasi tidak dilihat dari sudut pandang peneliti, melainkan dikembalikan pada pemahaman diri responden penelitian, dilihat dari sudut pandang dan pengertian responden penelitian tersebut. Kedua, konteks interpretasi pemahaman biasa yang kritiis (critical commonsense understanding) terjadi bila peneliti berpijak lebih jauh dari pemahaman diri responden penelitiannya. Peneliti mungkin akan menggunakan kerangka pemahaman yang lebih luas daripada kerangka pemahaman responden, bersifat kritis terhadap apa yang dikatakan oleh responden, baik dengan memfokuskan pada ’isi’ pernyataan maupun pada responden yang membuat pernyataan. Meski demikian, semua itu tetap dapat ditempatkan dalam konteks penalaran umum : peneliti mencoba mengambil posisi sebagai masyarakat umum dalam mana responden penelitian berada. Ketiga, konteks interpretasi pemahaman teoritis adalah konteks paling konseptual. Pada tingkat ketiga ini, kerangka teoritis tertentu digunakan untuk memahami pernyataan-pernyataan yang ada, sehingga dapat mengatasi konteks pemahaman diri responden ataupun penalaran umum. d. Pengujian Terhadap Dugaan Dugaan adalah kesimpulan sementara. Dengan mempelajari data, kita mengembangkan
dugaan-dugaan
yang
juga
merupakan
kesimpulan-
kesimpulan sementara. Dugaan yang dikembangkan tersebut juga harus dipertajam dan diuji ketepatannya. Begitu tema-tema dan pola-pola muncul dari data, untuk meyakini temuannya, selain mencoba untuk terus menajamkan tema dan pola yang ditemukan, peneliti juga perlu mencari data yang memberikan gambaran berbeda dari pola-pola yang muncul tersebut. Hal ini berkaitan erat dengan upaya mencari penjelasan yang berbeda-beda mengenai data yang sama. Berbagai perspektif harus disesuaikan untuk memungkinkan keluasan analisis serta mengecek bias-bias yang tidak disadari oleh peneliti.
BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini akan diuraikan analisa hasil wawancara dengan para responden penelitian dalam bentuk narasi. Pada bab ini juga akan dikemukakan deskripsi data responden, data observasi, data wawancara, dan interpretasi data. Dengan demikian akan diperoleh dinamika psikologis responden penelitian untuk menjawab pertanyaan penelitian. Selanjutnya pada bab ini akan terdapat kutipan dalam setiap bagian analisa yang akan diberikan kode-kode tertentu karena satu kutipan dapat saja diinterpretasikan beberapa kali. Contoh kode yang digunakan adalah R1. WI/b1922/hal.3, maksud kode ini adalah kutipan pada responden satu, wawancara pertama, baris 19 sampai 22, verbatim halaman 3.
IV.A. Responden I Tabel 3. Gambaran Umum Responden II Identitas
Deskripsi Responden
Nama
Andra
Usia
± 30 tahun
Pekerjaan
Atlet atletik
Jenis kecacatan yang dialami
Cacat kaki sebelah kiri
Mengalami kecacatan pada usia…
± 16 tahun (kelas 1 SMA)
Status pernikahan
Menikah
Kondisi fisik pasangan
Cacat tangan sebelah kanan
Anak ke
Anak ke 3 dari 3
Latar belakang ekonomi keluarga
Menengah ke bawah
IV.A.1. Rangkuman Wawancara Responden pertama dalam penelitian ini, bernama Andra (bukan nama sebenarnya), seorang pria dari suku batak Karo, berusia sekitar 30 tahun, dan beragama Islam. Andra merupakan anak bungsu dari tiga bersaudara dan selama ini hubungannya dengan kedua saudaranya sangat dekat, begitu juga dengan orangtuanya, khususnya dengan ibu. Saat masih duduk di bangku sekolah, kedua orangtua Andra memutuskan untuk berpisah. Andra bersama kedua saudaranya tinggal dengan sang ibu. Situasi dan kondisi tersebut membuat Andra semakin dekat dengan ibu. Pada usia sekitar 16 tahun, Andra mengalami kecelakaan lalu lintas ketika sepeda motor yang dikendarai bersama temannya menabrak sebuah mobil yang tiba-tiba berhenti didepan mereka ketika mereka hendak membelokkan kendaraan mereka di sebuah persimpangan jalan di daerah padang bulan. Kecelakaan ini menyebabkan Andra mengalami patah tulang di bagian kaki kirinya. Ia divonis cacat permanen oleh pihak rumah sakit. Kedua kakinya timpang dan tidak seimbang ketika berjalan. Mengetahui keadaan ini, Andra sangat sedih karena sebelumnya Andra bercita-cita menjadi seorang perwira TNI tetapi setelah kecelakaan terjadi cita-cita itu tidak akan pernah tercapai. Kesedihan yang dialami Andra bertambah besar ketika teman-teman dan kekasihnya memilih
meninggalkannya. Setelah menjalani pengobatan dan kondisinya tidak bisa kembali seperti sedia kala, Andra merasa putus asa. Pada awalnya ia hanya mengurung diri dirumah dan tidak bergaul dengan teman-teman sebayanya yang lain dan dalam keadaan putus asa Andra pernah melakukan upaya bunuh diri. Upaya bunuh diri ini dilakukan beberapa kali tetapi selalu digagalkan oleh ibu dan kedua saudaranya. Pada saat ini, Andra terdaftar sebagai salah seorang atlet atletik berskala nasional dalam nomor lempar. Sebagai seorang atlet, Andra pernah menjuarai beberapa kejuaraan mulai dari tingkat daerah, nasional hingga tingkat Asia. Banyaknya prestasi yang telah diraih oleh Andra dalam berbagai kejuaraan membuatnya
diangkat
menjadi
salah
seorang
pegawai
dalam
instansi
pemerintahan sebagai staf olahraga. Kegiatan Andra sehari-hari sebagai seorang atlet adalah berlatih rutin sebanyak 3 (tiga) kali dalam seminggu. Sedangkan pekerjaannya sehari-hari di kantor adalah mengurus administrasi dan mengikuti rapat yang berkaitan dengan kegiatan olah raga yang akan diselenggarakan, baik tingkat sekolah maupun tingkat daerah. Pada awalnya Andra tidak pernah bercita-cita untuk menjadi seorang atlet apalagi mengikuti kejuaraan dan memenangkannya. Namun semenjak terjadi kecelakaan yang mengakibatkan Andra mengalami cacat fisik permanen, hidup Andra mengalami perubahan, meninggalkan cita-cita semasa sekolah dan memutuskan untuk mengikuti kegiatan yang sesuai dengan kondisi fisiknya yang berbeda dari orang lain yang memiliki fisik lengkap. Melalui seorang dokter, yang fokus mengurusi orang-orang cacat seperti dirinya di sebuah yayasan, yang
merawat ibunya ketika akan operasi, Andra disarankan untuk mengikuti kegiatan ketrampilan yang di fasilitasi oleh pemerintah provinsi Sumatera Utara. Andra menyetujui saran dokter tersebut dan itulah yang merupakan awal Andra berkiprah di dunia orang cacat. Selama sekitar tiga bulan mengikuti ketrampilan, Andra mengetahui adanya kegiatan olahraga yang juga berada dibawah naungan pemerintah provinsi Sumatera Utara. Ketertarikan Andra pada olahraga membuatnya meninggalkan pelatihan ketrampilan tersebut, mengikuti sebuah pertandingan olahraga dan memenangkan pertandingan tersebut. Kemenangan itu menarik perhatian banyak orang sehingga pelatih dan yayasan pembinaan olahraga cacat menawarkannya untuk dilatih menjadi seorang atlet profesional. Tidak hanya memiliki sebuah karir, saat ini Andra juga sudah memiliki pasangan hidup yang juga memiliki kondisi fisik yang cacat pada tangan kirinya. Pada awalnya Andra mengalami kesulitan dan penolakan ketika berusaha menjalin hubungan asmara dengan wanita, khususnya dengan yang memiliki fisik lengkap. Andra dianggap tidak mampu bekerja dan menjadi seorang kepala rumah tangga yang baik bagi pasangannya. Tetapi akhirnya Andra berhasil membuktikan bahwa orang yang cacat seperti dirinya pun mampu mengerjakan banyak hal, bahkan berprestasi.
IV.A.2. Data Observasi Peneliti pertama kali bertemu dengan responden Andra di sebuah yayasan pembinaan olahraga untuk orang cacat. Sebelumnya peneliti membuat janji bertemu dengan Andra dengan perantaraan seorang temannya yang merupakan
atlet tenis meja sekaligus pemain catur skala nasional. Pertemuan pertama itu berlangsung pada Sabtu pagi, tanggal 22 Januari 2011 yang dimulai sekitar pukul 09.10 WIB. Andra datang lebih dulu dari peneliti sehingga ia sempat menunggu kedatangan peneliti selama beberapa menit. Setibanya di yayasan, peneliti menjenguk ke sebuah kamar yang menjadi kamar tidur para atlet pria lalu bertanya mengenai keberadaan responden kepada seorang atlet lain, bernama Jon, yang sudah lebih dulu dikenal peneliti pada kunjungan-kunjungan sebelumnya. Setelah memberitahukan nama dan memastikan bahwa peneliti adalah orang yang memiliki janji bertemu dengannya, Andra keluar dan menemui peneliti. Andra menawarkan untuk berbincang-bincang di luar ruangan. Andra menawarkan sebuah kursi berbahan plastik berwarna biru untuk diduduki peneliti dan mengambil kursi plastik lainnya yang berwarna merah untuk dirinya sendiri. Andra meletakkan tempat duduknya tidak tepat berhadapan dengan peneliti melainkan sedikit miring membentuk sudut sekitar 200. Diantara posisi kami duduk, terdapat sebuah meja berbahan dasar kayu dengan sebuah kursi yang juga berbahan dasar kayu yang berada tepat dibalik meja tersebut. Wawancara berlangsung di sebuah tempat yang biasanya dijadikan tempat parkir kendaraan bermotor oleh para atlet atau tamu yang datang yang ditutupi oleh atap berbahan plastik berwarna kecoklatan dan banyak sampah dedaunan terlihat diatasnya. Dibagian kiri ada ruang khusus yang sehari-harinya dipakai latihan para atlet angkat berat tetapi pada saat itu tidak terpakai karena tidak ada jadwal latihan. Berhadapan dengan ruangan itu, terdapat dua buah toilet yang memperdengarkan suara tetesan air dari keran yang sengaja dibuka. Peneliti dan
responden duduk di kursi yang sehari-harinya memang tersedia di situ yang berada di depan sebuah kamar tidur atlet pria. Jendela kamar atlet tersebut terbuat dari kaca reyben dan pintu kayu dengan garis-garis vertikal di daun pintunya. Kamar atlet pria ini bersebelahan dengan kantor ketua yayasan yang juga memiliki garis-garis vertikal di daun pintunya. Di sebelah kiri kamar tersebut, terdapat kantor sekretariat yayasan dan terdapat sebuah papan pengumuman yang menempel di dinding depan kantor tersebut. Disebelah kiri kantor yayasan terdapat ruang yang agak besar yang sehari-harinya digunakan untuk latihan bagi para atlet tenis meja. Sebelum wawancara dimulai, Andra meminta izin untuk mengambil handphone nya yang tadinya ia tinggalkan di kamar lalu kembali setelah sekitar 1 menit kemudian. Andra adalah seorang atlet yang memiliki tinggi badan sekitar 185 cm dan berat badan sekitar 85 kg. Dengan proporsi tubuh seperti itu, Andra tergolong proporsional dan memiliki badan berisi. Pada wawancara pertama ini Andra datang dengan mengenakan jaket berbahan parasut berwarna abu-abu dengan kombinasi warna merah di bagian depan sebelah kanan hingga tangan, celana keper panjang berwarna abu-abu kehijauan serta mengenakan sendal jepit berbahan dasar kulit berwarna abu-abu yang bagian depannya tidak sepenuhnya tertutup sehingga sebagian jarinya terlihat. Andra memiliki potongan rambut yang pendek dan lurus juga daun telinga yang agak besar bila dibandingkan dengan kepalanya.
Setelah memperkenalkan diri masing-masing, Andra langsung meminta peneliti untuk menyampaikan apa yang ingin ditanyakan kepadanya. Lalu peneliti memulai proses wawancara ketika peneliti merasa Andra sudah mendapatkan posisi duduk yang nyaman. Peneliti kembali menjelaskan tujuan kedatangan peneliti dan bertanya kesediaannya secara langsung untuk diwawancara. Sebelum wawancara dimulai, peneliti meminta izin merekam proses wawancara tersebut. Pada saat wawancara berlangsung, Andra hanya sesekali menatap mata peneliti dan seringnya ia hanya memandang ke depan dan hanya sesekali fokus pada tangannya ketika ia memperagakan atau ingin menekankan sesuatu yang ia bicarakan. Pada awalnya, wawancara berlangsung dengan tenang dan tanpa gangguan tetapi setelah beberapa menit wawancara berlangsung mulai terdengar suara musik dari kamar tidur atlet pria dengan volume yang agak keras yang sedikit menggangu konsentrasi. Diluar itu tidak ada hal lain yang cukup signifikan mengganggu proses wawancara. Pada awalnya, Andra duduk bersandar dikursinya tetapi sesekali ia mencondongkan tubuhnya dan mengetuk-ngetuk meja yang berada di depannya untuk menekankan apa yang dikatakannya. Posisi duduknya agak kaku dan ia terlihat lebih sering bersandar pada kursi tempat duduknya. Pada hampir keseluruhan wawancara berlangsung, Andra mengangkat kaki sebelah kirinya dan menempatkannya diatas kaki sebelah kanannya dalam durasi yang agak lama.
Wawancara pertama ini berlangsung selama lebih dari 35 menit dan setelah wawancara selesai, peneliti melanjutkan menjalin rapport dengan Andra dan pada saat itu Andra mulai terlihat lebih santai dan lebih terbuka dibandingkan pada saat wawancara. Wawancara kedua dilaksanakan di sebuah warung makan kecil yang berada di simpang jalan Willem Iskandar, simpang kampus UNIMED, pada hari Selasa, 22 Februari 2011 pada sekitar pukul 12.05 WIB. Pada pertemuan kali ini, Andra datang dengan mengendarai sepeda motor berwarna hitam, dengan helm half face yang juga berwarna hitam. Andra mengenakan seragam PNS yang berwarna coklat dengan kaos dalam berwarna putih yang terlihat jelas di balik seragamnya yang ditutupi oleh jaket berbahan parasut berwarna putih kombinasi biru dan dibagian belakang jaket terdapat tulisan Sumatera Utara, ia juga memakai sepatu vantofel hitam dengan ujung depannya yang rata. Setelah memarkirkan kendaraannya di tempat parkir yang berada disebelah kanan warung, Andra mengajak peneliti masuk ke warung. Warung itu merupakan sebuah warung terbuka yang terdiri dari dua gerobak makanan yang menawarkan beberapa menu seperti nasi goreng, burger, pisang bakar dan aneka jus buah serta minuman ringan lainnya. Setelah memesan minuman yang diinginkan masing-masing, Andra mengajak peneliti untuk mengambil posisi duduk agak di ujung sebelah kanan, dekat tempat dimana ia memarkirkan sepeda motornya. Andra memilih meja kedua dari ujung. Meja tersebut berwarna dasar hitam yang berukuran sekitar 1 m x 0,5 m dengan gambar sebuah iklan minuman ringan dipermukaannya. Di permukaan meja terdapat sebuah tempat sendok yang
berisi beberapa pasang sendok, sebuah tempat gelas yang berisi beberapa gelas yang ukuran dan warnanya berbeda satu sama lain, serta saos dan kecap manis dalam botol plastik berwarna bening dengan tutup atasnya berwarna biru kehijauan. Andra mengambil posisi duduk membelakangi parkiran sepeda motor lalu mempersilakan peneliti untuk duduk berhadapan dengannya. Walaupun duduk berseberangan, Andra sedikit memiringkan posisi tubuhnya sehingga tidak duduk tepat berhadapan dengan peneliti, hampir sama seperti pada pertemuan pertama. Sebelum wawancara dimulai, peneliti kembali meminta izin kepada Andra untuk merekam percakapan yang akan dilakukan dengan mp4 player dan Andra tidak merasa keberatan. Tidak berbeda jauh dari pertemuan pertama, pada pertemuan kali ini pun, Andra tidak menjaga kontak mata dengan peneliti, hanya memandang lurus ke depan dan sesekali memandang pada peneliti apabila ia merasa ada pertanyaan yang kurang jelas disampaikan. Selama proses wawancara terdapat beberapa gangguan yang disebabkan lokasi warung yang berada di tepi jalan raya, sehingga sering terdengar suara kendaraan yang lalu lalang. Namun begitu, dalam pertemuan kedua ini, Andra terlihat lebih santai, hangat dan bersahabat dibandingkan dengan pertemuan pertama. Hal ini tampak dari senyum dan wajahnya yang lebih segar dibandingkan dengan pertemuan pertama. Wawancara kedua ini berlangsung selama sekitar 1 jam dan hampir selama itu juga posisi kaki kirinya berada di atas kaki kanannya tetapi sesekali ia
menurunkan kaki kirinya selama beberapa menit untuk kemudian dinaikkan kembali.
IV.A.3. Dimensi-Dimensi Psychological Well-Being Individu Yang Cacat Karena Kecelakaan Penerimaan Diri Pada awalnya Andra tidak bisa menerima kondisi fisiknya yang cacat. Ia merasa menyesal dengan keadaan yang menimpanya. Penyesalan yang membuatnya tidak bisa menerima keadaannya ini berlangsung selama sekitar setahun setelah kecacatannya. Andra tidak bisa menerima kondisinya yang cacat karena dengan kondisinya ia banyak mendapat ejekan dari orang-orang disekitarnya. ”Ya waktu tau itu..spontan ya…pasrah aja ya kan...ya udah terjadi tapi kalo ditanya pada waktu itu sampe setahun pun saya masih tidak bisa terima kondisi begini.” (R1. WI/b43-49/hal.2) ”Hanya menyesal lah…menyesal… pada waktu itu ya waktu itu ya dari kejadian sampe setahun itu, itulah... menyesal...ga menerima dengan kenyataan yang saya terima” (R1. WI/b52-59/hal.2) “Ya ga bisa terima lah dengan kondisi yang seperti sekarang ini...istilahnya kan kalo pun ga dalam kerja... orang cacat ini istilahnya engga pun diejek orang, diliat orang aja pun dia sensitif trus mikirnya berbeda...dengan pemikiran seperti itu ga bisa menerima aja” (R1. W2./b1248-1258, hal 13-14) Selain merasa menyesal, Andra juga merasakan kesedihan yang mendalam melihat kondisinya yang cacat. Perasaan sedih karena fisiknya tidak akan bisa
kembali seperti sedia kala ini membuat Andra mengurung diri dirumah dan tidak bergaul dengan teman-teman sebayanya. “Sama sekali tidak keluar.” (R1. W2./b922, hal 3) Ketidakmampuan
Andra
menerima
kondisi
fisiknya
yang
cacat
membuatnya putus asa hingga berupaya bunuh diri. Upaya bunuh diri ini beberapa kali dilakukan oleh Andra tetapi selalu berhasil digagalkan oleh ibu ataupun kedua saudaranya. “Satu mau motong urat nadi, kedua...menyendiri ke tempat yang sepi gitu... disana kan ada pante di sekitar situ...aku kan kadang ke bukitbukitnya gitu karna kayak mana ya... udah terlampau penuh di otak ini...ga terselesaikan... jadi ya gitu lah..” (R1. W2/b2277-2286, hal 44) “Yang mau motong urat nadi itu dirumah...” (R1. W2/b2302-2303, hal 45) “Selalu digagalkan... ada aja jalannya orang tau” (R1. WI/b396-397/hal.13) Menyadari kesedihan Andra yang mendalam dan kerentanannya untuk bunuh diri, keluarga lebih memperhatikan kondisi Andra dengan menyingkirkan benda-benda yang dianggap berbahaya bagi keselamatan Andra. Selain itu, mereka memberikan motivasi yang besar agar Andra bisa tetap semangat menjalani hari-harinya. “Dari situ lah keluarga nonstop jagain saya...” (R1. W2./b358-360, hal 12) “Semua lah disingkirkan...itu lah kan...” (R1. W2/b2320-2321, hal 46) ”Respon keluarga…ya…ga ada…ga ada yang…ga ada yang memojokkan saya. Kalo keluarga itu uda tau keadaan saya begini, keadaan begini,
mereka itu hanya bisa sebatas motivasi. Bagaimanapun itu ya...ga masalah lah...harus semangat lagi lah dia bilang.” (R1. WI/b19-22/hal.3) “Ya…khususnya kalo keluarga besar ya tetap mendukung.” (R1. WI/b246-248/hal.8) “Sangat besar, khususnya ibu…ibu itu bagaimana ya, dia takutnya ya setelah kejadian mau bunuh diri itu...bagaimana saya itu... supaya lagi termotivasi, lepas dari bayang-bayangan ini...dia itu sampe menjaga saya itu...makan...tidur...dia itu selalu ada disisi saya...dan apa pun yang saya mau lakukan itu...mak saya mau ini...dia sangat mendukung... khususnya kalo di keluarga ibu lah yang sangat mendukung untuk saya berperan sampe saat ini. (R1. WI/b763-780/hal.23) Keluarga, terutama ibu mendorong Andra untuk bisa bangkit dari keterpurukannya. Lewat seorang dokter yang merawat ibunya, ibunya menyarankan agar Andra mengikuti kegiatan ketrampilan yang dikhususkan bagi orang cacat. Andra menyetujui usulan tersebut dan saat itulah awal mulanya Andra berkiprah di dunia orang cacat. “Ada keluarga kasih keterangan kalo orang cacat itu ada...ketrampilan... itu tempatnya di Dinas Sosial Pemprov...jadi gabung sama teman-teman yang cacat itu...” (R1. W1/b137-143, hal 5) “Jadi kan cerita sama dokter...dokter itu famili... jadi kan untuk menghibur mamak...namanya orang dioperasi kan perlu dihibur.. jadi dibilang mamak ini... aku sebenarnya bukan takut meninggal dia bilang... adalah satu anakku paling kecil, keadaanya gini gini dia bilang...dokter ini dia yang apa kesehatan di panti-panti atau yayasan yang untuk orang-orang seperti kami ini...yaudah itu lah...ga usah dipikirin... nanti ku tarok dia disana, dia bilang...dari situ dijumpakan aku sama... paman itu...yaudah ga masalah...yang penting mamak sehat dulu ku bilang...setelah mamak sehat yaudah aku dibawa kesitu...” (R1. W2/b1562-1586, hal 23-24) “Di situ lah awal mulanya aku berkiprah di dunia orang cacat...” (R1. W2/b1594-1597, hal 24)
Dukungan yang diberikan oleh pihak keluarga inilah yang perlahan-lahan membuat Andra menerima kondisinya yang cacat. Apalagi ketika mengikuti kegiatan ketrampilan tersebut, Andra melihat ternyata masih banyak orang yang tidak seberuntung dirinya yang walaupun cacat tetapi masih bisa berjalan dengan baik. Hal ini membuat Andra bersyukur dengan keadaannya dan membuatnya mampu menerima keadaan fisiknya yang cacat. “Ikut gabung-gabung, mulai termotivasi, ada semangat... saya termotivasinya...ah, masih adanya yang lebih parah dari saya...orang ini semangat juga apalah... saya masih bisa berjalan, masih bisa kemanamana...dari situ proses-proses saya disini, saya berprestasi...dari situ lah saya semuanya...lepas semua beban-beban saya ini.” (R1. W1/b145-159, hal 5)
Hubungan Positif dengan Orang Lain Pada awal mengetahui kecacatannya, Andra menolak kondisinya karena hal tersebut membuat teman-temannya dan kekasihnya menjauhinya bahkan menganggap kecacatannya itu sebagai sesuatu hal yang sangat buruk yang dapat mengacaukan hidup teman-teman dan kekasihnya yang memiliki fisik normal dan seketika kekasihnya pun memutuskan hubungan dengannya “Waktu itu kan, kami itu kan ada, waktu saya bermain, waktu saya masih normal...itu ada lima lah kami...kompak lah gitu...setelah kejadian itu.... hilang gitu...tidak ada lagi mau mengunjungi atau apa...kayak gitu... kehilangan kontak lah gitu. Saya hubungi pun kayak gitu...katanya udah ga bisa seperti awal saya dulu...udah mengacaukan lah gitu...” (R1. W1/b77-91, hal 3) “Ya itu saya masih pacaran itu…masih belum cacat… kami ada berhubungan… begitu kecelakaan dan terbaring dia mengatakan… kita memutuskan hubungan aja.” (R1. W1/b201-208, hal 7)
Kebanyakan teman-teman dilingkungannya memang memilih untuk menjauhi Andra yang cacat tetapi ada beberapa teman yang masih tetap mau menjalin pertemanan dengan Andra. Mereka mendampingi Andra dalam keterbatasannya dan setia menunggu datangnya jemputan Andra setiap pulang sekolah. “....orang itu...kayak aku waktu mau pulang sekolah.. nungguin sampe jemputan aku itu datang...ya aku bersukur aja punya teman yang mengerti dan bisa menerima aku gitu...” (R1. W2/b2042-2048, hal 37) Tidak hanya dalam lingkungan sekolah bahkan dalam lingkungan masyarakat pun Andra sering dipandang sebelah mata karena fisiknya yang cacat tetapi Andra berusaha tabah dan tidak mengacuhkannya. “Semua masyarakat itu ga sama..ada yang mencemoohkan biarlah...karna dia kan ga marasakan apa yang kurasakan...” (R1. W2/b2005-2010, hal 35)
ya
Berbeda dengan lingkungan sekitarnya, orang-orang yang berada dilingkungan kerjanya tidak pernah membeda-bedakan keterbatasan fisik yang dimiliki Andra. Mereka menghargai perbedaan fisik yang ada dan tidak berfokus pada hal tersebut melainkan pada setiap prestasi yang mampu Andra ukir dengan keterbatasannya yang akhirnya memberikan banyak motivasi bagi individu yang memiliki fisik lengkap. “Malahan saya di kantor ini tidak dapat itu...malah orang itu salut...kau orang gini bisa mampu begini... bahkan teman saya yang normal yang di atletik akhirnya termotivasi nengok kami...orang ini aja mampu berprestasi kenapa kita yang lengkap tidak, mereka bilang...jadi kalo masalah di lingkungan tempat kerjaan...di tempat latihan...itu tidak kami dapatkan karna sebenarnya di lingkungan kami berolahraga itu kan orangorangnya memang udah sangat profesional... orang-orang yang sangat mengerti gitu...baik juga di pekerjaan gitu...jadi masalah-masalah gitu ga ada...malah bangga gitu...”
(R1. W2/b1954-1977, hal 34-35) Hubungan yang kurang baik dengan sebagian besar teman-temannya akibat kondisinya yang cacat tidak merubah kedekatannya dengan anggota keluarga dan dukungan yang didapatkan membuat Andra kembali bersemangat menjalani hidupnya. Sebelumnya, Andra pernah mencoba menjalin hubungan asmara dengan seorang wanita yang memiliki fisik yang lengkap tetapi Andra ditolak oleh pihak keluarganya karena dianggap kecacatannya membuatnya tidak akan mampu menjadi tulang punggung keluarga dan bukanlah seorang kepala keluarga yang baik. “Ada cewek...dikenalin aku sama keluarganya...dibilang keluarganya itu...bapaknya.. padalah bapaknya ini dibilang taat di mesjid lah... dia nazir mesjid...kalo orang kristen bilang yang dituakan gitu lah...trus dibilang kalo orang cacat ini ga bisa...ga bisa jadi kepala keluarga...ga bisa jadi imam...pokoknya ga mampu lah...masih lebih baik tukang becak yang normal daripada orang cacat dia bilang...” (R1. W2/b1891-1906, hal 33) Saat ini, Andra sudah berkeluarga dengan seorang wanita yang juga seorang penyandang cacat genetik pada bagian tangannya. Pada awalnya, Andra tidak ingin menikah dengan sesama penyandang cacat karena ia beranggapan bahwa orang yang cacat itu sangat sensitif perasaannya sehingga ia tidak ingin menyakiti perasaan pasangannya kelak. Namun pada akhirnya, Andra dapat menerima keadaan pasangannya. “Kakak itu pun kondisinya sama…” (R1. W1/b792-793, hal 24) “Saya setelah ikut pun disini...saya itu namanya... pacaran itu sebenarnya ga mau sebenarnya sama sesama...dalam arti bukan apa...saya itu sebenarnya kalo orang cacat ini sebenarnya udah seperti keluarga ya kan...namanya kalo udah pacaran itu bisa saling berantam, saya takut menyakiti...”
(R1. W1/b801-812, hal 24-25) “Makanya saya bilang mungkin itu yang terbaik” (R1. W1/b820-822, hal 25)
Otonomi Mengetahui fisiknya cacat, Andra tetap ingin berusaha mandiri secara finansial dan tidak ingin bergantung pada keluarga, terutama pada ibunya. Andra sempat bekerja selama sekitar 6 bulan disebuah Cafe yang baru didirikan seorang temannya. Andra mengerjakan berbagai jenis pekerjaan di Cafe tersebut. “ Dulu saya kerja itu lama di Cafe..” (R1. WI/b720-721,hal.22) Tidak lama akhirnya ia memutuskan untuk berhenti dari pekerjaan tersebut karena ada ketidakcocokan dengan atasannya yang memintanya untuk membuat laporan keuangan palsu. “Walaupun kita udah menej tapi kan tetap ada atasan kita...walaupun dia bukan pemiliknya tapi terlampau apa ya...dalam masalah kecil dia terlalu...misalnya ada minuman satu...dia suruh aku selundupkan satu kerat...itu diselundupkan untuk uang masuk...begitu juga rokok...jadi aku ga bisa gitu...bentrok kami disitu... bentrok...yaudah...aku lebih baik mundur, kau disini ku bilang.” (R1. W2/b1726-1740,hal.27-28) Setelah keluar dari pekerjaanya di Cafe tersebut, Andra masih belum memiliki arah hidup yang jelas selama beberapa waktu dan ia memutuskan untuk membantu usaha kebun keluarga yang menjadi sumber pemasukan utama bagi keluarganya untuk sementara waktu. “Membantu keluarga... berkebun...menghilangkan stres kan...” (R1. WI/b1755-1757,hal.28)
Penguasaan Lingkungan Setelah selesai menjalani berbagai pengobatan, akhirnya Andra mampu berjalan kembali dengan bantuan tongkat. Andra menggunakan tongkat selama beberapa waktu, termasuk ketika ia kembali ke sekolah. Dengan keterbatasan fisiknya tersebut, orangtua Andra memfasilitasinya dengan becak untuk mengantar jemputnya dari sekolah. “...cuman saya dibujuk... khususnya ibu...udah lah... paling ga minimal kamu tamat SMA...jadi bagaimana saya kondisi begini...naek angkot ga mungkin...ya...fasilitas yang diberikan ibu itu ya selama saya menamatkan SMA itu saya diberikan becak untuk antarkan saya pulang sama antar...antar jemput lah gitu...” (R1. WI/b446-458,hal.14-15) Dalam melakukan tugas-tugasnya sehari-hari, pada awalnya Andra banyak mendapat bantuan perhatian dari kakak dan abangnya. Awalnya mereka memberikan pertolongan karena menganggap Andra tidak mampu melakukan tugas-tugasnya itu tetapi pada akhirnya Andra memperlihatkan bahwa ia tetap mampu beraktivitas seperti biasa. “...cuman ada perbedaannya baik kakak... abang...terlalu berlebihan gitu...nanti asal awak kerjakan yang saya rasa sanggup, dia melarang...dia bilang, gimana kondisi kau begini...” (R1. W2/b1285-1292,hal.14-15) Sejak bisa berjalan kembali hingga saat ini Andra tetap melakukan semua aktivitas sehari-harinya seorang diri tanpa merasa terganggu dengan keterbatasan fisik yang dimilikinya, sama seperti orang-orang yang memiliki kondisi fisik yang normal. “Ga ada ku butuh orang... kalo setelah jalan ya...ga ada tuh...” (R1. W2/b2355-2357,hal.47)
Tujuan Hidup Sejak usia sekolah, Andra bercita-cita menjadi seorang perwira TNI dan untuk mencapai cita-citanya tersebut, Andra telah melakukan banyak upaya, seperti mengikuti kegiatan Paskibraka dan Pramuka namun kecelakaan yang telah menimpanya menggagalkan cita-citanya tersebut. “...itulah memang cita-cita mau masuk tentara dan proses itu memang udah saya lalui semua, kayak Pramuka, lolos juga saat itu saya Paskibra...” (R1. W1/b318-324,hal.10) “TNI…waktu aku kecelakaan itu aja…drap... waktu tertidur...itu ingatanku udah ga ada yang lain...ah, udah gagal aku ini jadi tentara...cuman itu ingatan...abis ingatan itu udah ga ada lagi...” (R1. W1/b310-317,hal.10) Menyadari keterbatasan fisik yang dimilikinya, akhirnya Andra mengubah tujuan hidupnya yang sesuai dengan kondisinya. Dan ketika ada sebuah penawaran untuk dilatih menjadi seorang atlet cacat profesional, Andra meneimanya. Setelah menjalani latihan selama beberapa waktu, diikutsertakan dalam pertandingan dan menang, akhirnya Andra lebih memfokuskan diri pada bidang olahraga yang dahulu menjadi minatnya. “Ada kegiatan olah raga...ku ikutin...menang pulak langsung kan...ditarek lah langsung ke propinsi... dibina...” (R1. W2/b1620-1625,hal.25) “Pertama kan iseng-iseng aja kan...trus maen...menang... dipanggil kan...pada saat itu memang lagi” (R1. W2/b1620-1625,hal.25)
Prestasinya
dalam
dunia
olahraga
membuat
pemerintah
daerah
mengangkatnya menjadi salah seorang pegawai pemerintahan sebagai staf olahraga. Andra diminta melatih atlet-atlet muda. Kecintaannya terhadap dunia
olahraga ini membuat Andra ingin lebih berfokus mengurus yayasan yang telah membesarkan namanya dan membela hak atlet-atlet penyandang cacat yang dianggap selalu mendapat sangat sedikit perhatian baik dari pemerintah daerah maupun pemenrintah pusat. “…mungkin ya dari hasil prestasi ini ya mungkin saya bisa...ya... pemerintah bisa menampung saya jadi PNS...” (R1. W2/b525-531,hal.17) “...akhirnya setelah saya berkecimpung disini ada perhatian pemerintah... tahun dua ribu...sembilan... saya diterima di PNS...” (R1. W2/b416-420,hal.13) “saya ingin... lebih baik lagi perhatian pemerintah itu pada kami ini...setaraf sama atlet non cacat...atlet normal...” (R1. W2/b588-592,hal.18) “Kan SDM di olah raga cacat ini kan masih…masih minim orangnya…kita kan disini kan untuk kedepannya juga untuk teman-teman nanti…kalo bisa kan kita dari atlet terlahirlah… adalah yang nanti bisa memiliki SDM untuk mengangkat harkat dan martabat orang cacat ini (R1. W2/b599-610,hal.19)
Pertumbuhan Pribadi Penghasilannya sebagai atlet dianggap kurang untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Hal itu yang mendorong Andra untuk mencari penghasilan tambahan. Andra pernah melakukan berbagai upaya untuk mendapatkan penghasilan tambahan, diantarannya menjual pulsa kepada teman-temannya dan membuka usaha rumah makan. “kalo dari uang pembinaan aja kurang itu makanya aku diluar jadwal latihan aku itu merayap...” (R1. W2/b2149-2153, hal 40) “ya sebelum aku itu ikut ke pentas nasional aku juga sering kumpul sama teman-teman...aku jual pulsa...kan lumayan... dari situ kan bisa bantu keluarga...”
(R1. W2/b2155-2161, hal 41)
“dulu aku juga buka rumah makan...” (R1. W2/b2167-2168, hal 40)
Usaha yang dirintisnya dengan susah payah itu pada awalnya sangat membantu ekonomi keluarga tetapi pada akhirnya mengalami kebangkrutan ketika Andra meninggalkannya selama beberapa waktu untuk mengikuti latihan dan pertandingan di luar kota. “hancurnya itu waktu aku berangkat Pelatnas...” (R1. W2/b2197-2198, hal 42) “namanya kalo udah bos ga disitu pasti menejnya kan kacau...banyak lah...pulsa juga hancur semua...” (R1. W2/b2201-2204, hal 42) Setelah itu, Andra sempat memulai usaha lainnya, yaitu bisnis saham dengan temannya. Ia hanya cukup memberikan modal dan ia dijanjikan akan mendapatkan keuntungan setiap bulan. Namun, usaha ini pun akhirnya mengalami kebangkrutan dan ia harus mengalami kerugian puluhan juta rupiah yang rencananya akan digunakan sebagai modal untuk menikah. “waktu tahun dua ribu lapan aku mau berumah tangga itu semua dana dari aku...ga ada dari orangtua...waktu itu aku ada bisnis aama teman...aku nanam saham... modal...trus tiap bulannya dia ngasih...sebulan mau antaran...blesss...padahal harapan aku disini...dari antaran juga semuasemua...itu kemaren ada sekitar lima puluh juta...aku udah ga bisa lagi ngomong...eh, yaudah lah memang ini udah resiko awak pikir...ya jalanin aja... apa yang sisa lah untuk berumah tangga... (R1. W2/b2216-2235, hal 42-43) Mengalami beberapa kegagalan dalam dunia usaha, Andra tetap berusaha pasrah karena tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Untuk saat ini, Andra mencari penghasilan tambahan dengan memasarkan rumah yang dikelola oleh temannya.
“itulah ada kawan yang bangun perumahan trus dia minta pasarkan yaudah lah itu yang saya lakukan...” (R1. W2/b2250-2253, hal 43)
IV.B. Responden II Tabel 4. Gambaran Umum Responden II Identitas
Deskripsi Responden
Nama
Andy
Usia
± 26 tahun
Pekerjaan
Karyawan
Jenis kecacatan yang dialami
Cacat kaki sebelah kiri
Mengalami kecacatan pada usia…
± 12 tahun (kelas 1 SMP)
Status pernikahan
Belum Menikah
Kondisi fisik pasangan
-
Anak ke
Anak ke 3 dari 3
Latar belakang ekonomi keluarga
Menengah ke bawah
IV.B.1. Rangkuman Wawancara Responden kedua dalam penelitian ini, bernama Andy (nama samaran), seorang pria dari suku Aceh, berusia sekitar 26 tahun, dan beragama Islam. Bungsu dari tiga bersaudara ini memiliki hubungan yang dekat dengan kedua orangtuanya juga dengan kedua saudaranya.
Pada saat usia sekitar 12 tahun, ketika Andy masih berada di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP), Andy mengalami sebuah kecelakaan yang membuat kedua kakinya timpang dan ketika berjalan kaki kirinya menyeret. Ketika itu ia sedang berjalan bersama dengan teman-temannya dan tiba-tiba saja sebuah vespa berkecepatan tinggi menabraknya dari belakang. Tabrakan itu membuat tubuh Andy terpental dan kehilangan pandangannya selama beberapa saat. Ketika Andy mencoba untuk berdiri, ia tidak bisa menggerakkan kakinya lagi. Kemudian oleh orang yang menabraknya, ia dibawa ke tukang kusuk untuk mendapat pertolongan pertama. Ketika melihat kondisinya kakinya, orangtua Andy memutuskan untuk membawanya ke dukun patah karena kakinya tidak terkilir, melainkan patah tulang pada kaki kirinya. Kecelakaan yang mengakibatkan kecacatan tersebut mengharuskan Andy mendapatkan perawatan di dukun patah selama sekitar tiga hingga empat bulan. Sekembalinya dari pengobatan, Andy mencoba kembali ke aktivitasnya semula sebagai seorang siswa, yaitu bersekolah. Akan tetapi pihak sekolah menolak Andy karena dianggap sudah terlalu banyak ketinggalan pelajaran. Penolakan ini membuat
Andy sangat
sedih.
Melihat
kesedihan
itu,
orangtua
Andy
mendaftarkannya untuk ikut les private agar Andy tetap bisa belajar walaupun tidak disekolah. Pada saat ini, Andy bekerja sebagai salah seorang karyawan di PT. Y Indonesia sebagai salah seorang staf marketing. Pekerjaannya sehari-hari adalah membuat laporan hasil penjualan produk Y di wilayah-wilayah yang menjadi target operasional pasar dari perusahaan tersebut. Selain membuat laporan harian,
saat ini Andy juga banyak membantu survei wilayah-wilayah baru yang akan dijadikan target pemasaran produk mereka selanjutnya serta melakukan training bagi buruh harian perusahaan tersebut. Ditengah-tengah kesibukannya bekerja, Andy masih menyempatkan diri berkumpul dengan teman-teman akrabnya dan menyalurkan hobi bermain musik yang sejak dahulu telah dimulainya. Andy senang bermain gitar. Hobi bermain musiknya ini sempat membuatnya berpikir untuk menjadi seorang musisi ternama kelak tetapi cita-citanya ini tidak mendapat persetujuan dari kedua orangtuanya karena seorang musisi dianggap tidak memiliki masa depan yang jelas.
IV.B.2. Data Observasi Peneliti mengenal Andy dari salah seorang teman peneliti yang juga merupakan teman bermain Andy semasa tinggal di Medan. Peneliti pertama kali bertemu dengan responden Andy di sebuah warung makan di daerah Medan Baru. Beberapa hari sebelumnya peneliti membuat janji temu dengan Andy untuk melakukan wawancara. Pertemuan itu berlangsung pada tanggal 3 April 2011 yang dimulai sekitar pukul 16.10. Andy datang agak telat dari waktu yang telah disepakati dan peneliti sempat menunggu kedatangannya selama beberapa menit. Setelah memberitahukan posisi tempat duduk peneliti yang berada di sudut kanan ruangan pada Andy, akhirnya Andy muncul. Ia bersama seorang teman prianya, yang diperkenalkan sebagai sahabatnya sejak kecil. Andy mengambil posisi duduk berhadapan dengan peneliti dan temannya berada di sisi kanannya.
Sebelum wawancara dimulai, peneliti memulai pembicaraan ringan mengenai teman peneliti yang memperkenalkan peneliti dengan Andy. Andy terlihat antusias bertanya mengenai temannya itu yang memang sudah sejak lama tidak bertemu dengannya setelah keberangkatannya ke luar kota untuk melanjutkan kuliah. Kemudian, Andy meminta izin untuk merokok dan setelah peneliti membolehkan, Andy menyalakan sebatang rokok filter. Andy adalah seorang karyawan perusahaan swasta yang memiliki tinggi badan sekitar 160 cm dan berat badan sekitar 70 kg. Dengan proporsi tubuh seperti ini, Andy tidak tergolong proporsional untuk ukuran seorang pria, malahan cenderung gemuk terutama di bagian perut. Pada pertemuan ini Andy datang dengan mengenakan kaos berwarna merah dengan tulisan ”Indonesia” di bagian depan, celana pendek sepanjang betis yang berbahan dasar jeans berwarna hitam, topi berwarna hitam serta sepasang sendal gunung. Andy memiliki potongan rambut pendek dan lurus dengan bentuk wajah yang bulat. Setelah memperkenalkan kembali diri masing-masing, peneliti kembali menjelaskan tujuan utama peneliti dan meminta persetujuan Andy secara langsung. Andy setuju untuk diwawancara dan meminta peneliti untuk mulai proses wawancara sembari ia merokok. Proses wawancara ini berlangsung lancar karena Andy bersikap kooperatif dan bersahabat, bahkan gaya bicaranya juga santai dan sesekali Andy bercanda. Selama wawancara, tangan Andy selalu bergerak mengikuti arah pembicaraan.
Andy duduk bersandar di kursinya dengan kaki yang diangkat di atas kaki lainnya. Hal ini terus terjadi selama wawancara berlangsung dan terus bergantian setiap sekitar 5 hingga 10 menit. Tempat pertemuan peneliti dengan responden adalah disebuah warung dengan tiga sisi dinding yang terbuka. Warung makan tersebut berada di tepi jalan raya di daerah Medan Baru yang lalu lintasnya tergolong sibuk sehingga banyak terdengar suara klakson kendaraan dan suara-suara tersebut menjadi faktor pengganggu ketika wawancara berlangsung. Meja yang kami tempati merupakan sebuah meja berwarna dasar hitam yang berukuran sekitar 1 m x 0,5 m dengan gambar sebuah iklan minuman ringan dipermukaannya. Di permukaan meja terdapat sebuah tempat sendok yang berisi beberapa pasang sendok, sebuah tempat tisu yang terletak di sisi kanan, sebuah tempat tusuk gigi serta saos dan kecap manis dalam botol plastik berwarna bening dengan tutup atasnya berwarna biru kehijauan. Setelah mengambil posisi duduk yang nyaman, peneliti menawarkan agar Andy dan temannya memesan makanan atau minuman yang mereka suka. Sebelum wawancara dimulai, peneliti kembali meminta izin kepada Andy untuk merekam percakapan yang akan dilakukan dengan mp4 player dan Andy tidak merasa keberatan. Wawancara pertama ini berlangsung selama lebih dari 1 (satu) jam dan setelah wawancara selesai, peneliti melanjutkan menjalin rapport dengan Andy dan Andy terlihat semakin akrab.
Wawancara kedua berlangsung di warung makan yang sama pada hari Selasa, 17 Mei 2011 pada sekitar pukul 16.40 WIB. Pada pertemuan kali ini, Andy datang seorang diri karena temannya sedang berada di daerah Tanjung Morawa untuk menemui teman wanitanya. Andy mengenakan kaos berkerah berwarna merah dengan celana panjang berbahan jeans berwarna hitam, sepatu kets berwarna putih, jam tangan berwarna hitam yang dikenakan di tangan kiri, serta dua untai kalung di balik kaosnya. Pada pertemuan kedua ini pun Andy datang terlambat dari waktu pertemuan yang telah disepakati sebelumnya. Setelah meminta maaf atas keterlambatannya, Andy mengambil posisi duduk berhadapan dengan peneliti. Meja yang peneliti pilih adalah meja yang sama dengan pertemuan sebelumnya yang berada di sudut ruangan. Peneliti memilih meja yang terletak di sudut dengan alasan agar lebih nyaman dari orang yang berlalu lalang di warung makan tersebut. Namun karena posisi warung makan tersebut berada di tepi jalan raya di daerah Medan Baru yang lalu lintasnya tergolong sibuk sehingga banyak terdengar suara klakson kendaraan dan suara-suara tersebut menjadi faktor pengganggu ketika wawancara berlangsung. Sebelum wawancara dimulai, peneliti kembali meminta izin kepada Andy untuk merekam percakapan yang akan dilakukan dengan mp4 player dan Andy tidak merasa keberatan. Proses wawancara kedua ini juga berlangsung lancar karena Andy bersikap kooperatif dan bersahabat, sama seperti dengan pertemuan pertama. Selama wawancara, tangan Andy selalu bergerak mengikuti arah pembicaraan.
Andy duduk bersandar di kursinya dengan kaki yang diangkat di atas kaki lainnya. Hal ini terus terjadi selama wawancara berlangsung dan terus bergantian setiap sekitar 5 hingga 10 menit. Wawancara kedua ini berlangsung selama lebih dari 1 (satu) jam dan setelah wawancara selesai, peneliti melanjutkan menjalin rapport dengan Andy dan Andy terlihat lebih akrab dan semakin banyak bercerita mengenai kehidupan pribadinya.
IV.B.3. Dimensi-dimensi Psychological Well-Being pada Individu Cacat Karena Kecelakaan Penerimaan Diri Sejak mengalami kecacatan pada usia sekitar 12 tahun, Andy merasa sedih karena ia tidak bisa melakukan aktivitasnya lagi dengan leluasa. Kesedihan ini bertambah besar ketika ia ditolak oleh pihak sekolah karena dianggap sudah terlalu banyak ketinggalan pelajaran dibandingkan dengan teman-temannya. Akibat penolakan pihak sekolah itu membuat Andy harus mengulang di tahun depannya. Orangtua Andy menyarankan agari ia pindah sekolah tetapi Andy menolak dan Andy memilih mengulang di sekolah yang sama tanpa pernah merasa trauma akan kejadian yang pernah menimpanya. “sedih, sedih jugak sih cuman gak sampek gimana kali...” (R2. W1./b240-241, hal 5) “lagian pun abang udah gak diterima lagi seumpamanya abang pun masuk sekolah karna udah banyak kali abang terlambat mata pelajaran...itu kan ada berapa bulan kan jadi abang ngulang lah...itu pun ngulang di taun depannya.” (R2. W2/b170-178, hal 4)
“Abang sekolah balek di situ lagi...orangtua kan takutnya abang trauma jadi disuruh pindah sekolah lah kan... ngapain aku pindah sekolah, ku bilang...jadi mau dimana rupanya sekolah, kata orangtua...di sana lah aku lagi balek” (R2. W2./b180-187, hal 4) “Enggak lah, gak trauma lah, makanya disana lagi aku balek.” (R2. W1./b190-192, hal 4) Andy menerima kejadian yang menimpanya dengan lapang dada dengan tidak ada penyesalan. Ia menganggap apa yang dialaminya semata merupakan suatu cobaan dari Tuhan bagi umatNya. “Yah, mau dibilang apa ya...ga bisa bilang apa-apa lagi lah...yang udah terjadi, terjadi lah, pikir abang kayak gitu kan...” (R2. W1./b248-252, hal 6) “Yah, menerima aja lah, istilahnya ga ada penyesalan gitu lah...yah, mungkin ini udah jalan aku, pikirku gitu lah...cuman gak ada mikir, kenapa harus kayak gini itu gak ada...kalo abang memang apa yang terjadi sama abang itu yah abang terima aja gitu...mungkin itu memang udah cobaan sama abang, juga sama keluarga abang, gitu aja...” (R2. W1./b255-267, hal 6) Walaupun bisa menerima kondisinya yang cacat, Andy masih ingin sembuh seperti sedia kala. Keinginan untuk sembuh ini membuat Andy mengkonsumsi setiap obat-obatan yang diberikan padanya, sekalipun rasanya pahit. “Itu obatnya luar biasa lah, Mel...namanya obat kampung lah ya...itu obatnya bermacam-macam...” (R2. W1./b82-85, hal 2) “yaudah lah disitu abang dikasih minyak ikan...ada kayak minyak ikan gitu, nah itu aja lah yang tiap malam di siramkan...” (R2. W1./b92-96, hal 2-3 ) “sama dia ada obatnya juga...dia macam daun ubi tumbuk...itu minumnya kalo gak pake teh manis panas, pake sop.” (R2. W1./b98-102, hal 3)
“kayak daun ubi gitu... daun-daun ramuan itu kan ditumbuk gitu...nah itu sempat juga orangtua abang ga tau cara ngasih minumnya jadi pait kali, ga sanggup lah abang minumnya kan trus ada tetangga yang kasitau kalo dulu anaknya pernah juga kayak abang kan trus dikasi-taunya lah cara minumnya, ditarok di sendok sikit-sikit baru diminum rupanya..trus karna obat kampung itu kan ada juga obatnya abang itu disuruh makan ayam itam.” (R2. W1./b108-124, hal 4)
Hubungan Positif dengan Orang Lain Keadaan yang cacat tidak membatasi hubungan Andy dengan temantemannya di lingkungan sekolah maupun lingkungan tempat tinggalnya. Baik Andy maupun teman-temannya tidak merasa terganggu dengan keterbatasan fisik yang Andy alami. Bahkan pada saat Andy menjalani perawatan, teman-temannya selalu datang menghibur dan tidak ada seorang pun dari antara temannya yang mengucilkan dan mengejek keadaannya yang cacat sehingga ia selalu percaya diri ketika menjalin komunikasi dengan orang lain. “Kalo misalnya mau ngumpul, teman-teman itu banyak datang kerumah abang, istilahnya untuk menghibur abang lah gitu kan, kasih semangat...tapi mereka itu gak ada yang gak mau berkawan gara-gara abang kayak gitu itu gak ada... semuanya datang kerumah abang, tiap malam orang itu datang kerumah, maen-maen gitu kan...” (R2. W1./b283-295, hal 6-7) “Gak...kalo sama teman-teman gak ada masalah...” (R2. W1./b299-300, hal 7) “Biasa aja semua...orang itu nganggapnya macam gak ada kejadian aja gitu semua.” (R2. W1./b219-221, hal 5) “Istilahnya orang itu gak ada ngucilin abang gitu... semuanya biasa aja...” (R2. W1./b198-200, hal 5) “jadi gak ada minder, itu gak ada...buat apa minder karna itu kan udah kejadian, gak bisa disangkal...buat apa minder, gak mau berkawan trus
menutup diri, untuk apa...kan istilahnya diri kita sendiri juga nanti yang rugi kan, bukan orang lain...” (R2. W1./b322-331, hal 7) Komunikasi Andy dengan anggota keluarga, termasuk dengan kedua orangtua, kakak serta abangnya pun terjalin dengan baik, saling memberikan perhatian dan penuh keterbukaan. Andy banyak menerima perhatian, khususnya dari kedua orangtuanya. Mereka berusaha menyenangkan hati Andy dengan menuruti apa yang menjadi permintaan Andy “Yah kalo abang dalam keluarga itu kalo ada masalah gitu selalu lah diceritain sama orang itu, misalnya kalo ada masalah di kerjaan gitu... kayak kakak abang kan dia itu supervisor di U trus abang sekarang di PT. Y, nah itu kan hampir sama dengan U jadi abang selalu cari masukan dari orang itu trus cerita lah kalo abang ada masalah...sama orangtua pun abang gitu juga karna abang itu gak mau nutupin diri karna kan bagi abang nutup diri itu bisa buat abang stres aja...karna abang kalo ada masalah gak bisa itu abang pendam sendiri kalo ada kawan yang bisa abang ajak sharing, abang cerita sama dia... (R2. W1./b1054-1076, hal 21-22) “Dekat lah...makanya kalo di rumah pulang kerja gak ngeliat trus tanyak, buk abang mana...orang itu pun kayak gitu juga, buk si adek mana... pasti ditanyain gitu, istilahnya gak ada cuek-cuekan lah kami semua...” (R2. W1./b1086-1093, hal 22)
Otonomi Setelah menamatkan pendidikannya di bangku SMA, Andy memutuskan untuk bekerja. Selama beberapa tahun bekerja, Andy sudah berkali-kali berpindah-pindah pekerjaan. Keputusan berpindah pekerjaan ini dibuat oleh Andy sendiri tanpa pengaruh orang lain. “...abang kan gak kuliah nya, langsung kerja...” (R2. W1./b645-646, hal 13) “Kalo abang kerjanya udah bolak-balek...”
(R2. W1./b644-645, hal 13) “Wah, banyak lah...di U abang pernah...di kafe-kafe abang pernah...” (R2. W1./b649-651, hal 13) “...dulu abang pernah jadi sales di jalan Perniagaan, ngapain kainkain...seragam-seragam dinas itu” (R2. W1./b655-659, hal 15)
Penguasaan Lingkungan Setelah menjalani masa pengobatan, akhirnya Andy bisa berjalan kembali dengan bantuan tongkat dikedua sisi tubuhnya selama beberapa waktu. Melihat keterbatasan fisik yang dialami Andy dan semangatnya yang besar untuk kembali bersekolah, kedua orangtuanya mendukung semangat Andy untuk bersekolah kembali dengan mengantar jemputnya ke sekolah. Dengan begitu Andy tidak repot untuk naik kendaraan umum. “jadi waktu itu abang lagi semangat-semangatnya untuk sekolah... pake tongkat, pake tongkat lah situ, ngapain malu-malu” (R2. W1./b155-159, hal 4) “karna diliat abang semangat, orangtua abang pun semangat juga ngantarin abang sekolah...” (R2. W1./b160-164, hal 14) Dalam kesehariannya, meskipun dalam keadaan cacat, Andy tetap dapat melakukan semua aktivitasnya sehari-hari tanpa terlalu terganggu dengan kondisi fisiknya. “Aktivitas abang yah seperti biasalah lah abang jalanin... gak ada aku minder mau ngerjain ini itu, gak...” (R2. W1./b389-392, hal 8)
Tujuan hidup Andy memiliki minat yang besar terhadap musik, khususnya gitar, hingga pada usia remaja Andy bercita-cita menjadi seorang pemain musik ternama. Untuk mencapai cita-citanya tersebut, Andy terus berupaya untuk melatih kemampuannya bermain gitar dan sesekali Andy menulis lirik lagu. “ Musik...ngeben-ngeben lah...” (R2. W1./b618, hal 13) “...abang pengen jadi pemusik...” (R2. W1./b812-813, hal 16) “Masih...masih maen kok sampe sekarang”. (R2. W1./b624-625, hal 13) “sekali-sekali nulis-nulis manatau jadi lagu” (R2. W1./b630-631, hal 13) Akan tetapi, cita-cita tersebut tidak mendapat dukungan dari kedua orangtua Andy karena mereka menganggap bahwa menjadi seorang musisi tidak memiliki masa depan yang cerah kemudian Andy pun menuruti permintaan orangtuanya tersebut. Walaupun begitu, pada suatu saat, Andy masih berkeinginan untuk meneruskan cita-cita bermusiknya “ini dari orangtua jugak, orang itu gak setuju...karna dibilang orangtua untuk apa jadi pemusik, bukan Jakarta ini... kalo di Medan mau jadi apa, katanya...” (R2. W1./b823-829, hal 17) “Lagian kan jarang kan kita dengar ben-ben papan atas itu dari medan kan...ada pun ada yang sempat bikin vidio klip trus abis itu tenggelam...” (R2. W1./b835-839, hal 17) “Sebenarnya pengen sih tapi mungkin waktu juga nya kan..” (R2. W1./b843-845, hal 17)
Memiliki fisik yang cacat tidak membatasi Andy untuk memiliki keinginan dan mencapai harapannya. Sebagai seorang anak, Andy ingin sekali membahagiakan orangtuanya dengan hasil kerja kerasnya karena sebelumnya ia sering membuat kecewa kedua orangtuanya. “Kalo sekarang ini cita-citanya yah membahagiakan orangtua aja lah...” (R2. W1./b872-874, hal 18) “prioritas abang sekarang memang orangtua dulu lah... selagi orangtua abang masih idup, ya kita bahagiakan dulu lah...karna dulu itu istilahnya orangtua abang udah pernah lah abang bikin malu gitu kan...” (R2. W1./b894-901, hal 18) Sebagai seorang karyawan Andy juga berharap dapat berkontribusi besar bagi perusahaan tempatnya bekerja dengan prestasi yang dicapainya. Selain itu, Andy juga berharap tidak akan berpindah-pindah pekerjaan lagi. “tapi buat abang, abang itu pengen naek dari prestasi bukan dari menjatuhkan orang, menjelekkan orang trus cari-cari kesalahan kawan, macam lah trus dilaporkan kesalahan orang itu sama atasan...tapi kalo untuk abang, gak mau abang kayak gitu, dari prestasi abang aja lah...ini pun abang berharapnya ini lah abang terakhir kerja karna ingat umur abang pun udah susah kalo mau pindah-pindah kerja lagi...” (R2. W1./b1117-1133, hal 23) Selain itu, Andy juga masih ingin melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi, yaitu dunia perguruan tinggi. Kesibukannya bekerja selama ini membuat Andy tidak berkesempatan untuk melanjutkan kuliah. “Kalo dibilang pengen kuliah ya abang pengen kuliah juga tapi mau gimana lagi ya, abang itu udah gak ada waktu...” (R2. W1./b1136-1140, hal 23)
Pertumbuhan Pribadi Andy merupakan salah seorang karyawan di bagian marketing di PT. Y di kota Medan. Sebagai seorang karyawan, ia menerima setiap tanggung jawab yang dibebankan oleh perusahaan kepadanya, seperti mengerjakan laporan penjualan harian, melakukan survei lapangan mengenai tempat-tempat dimana produk yang mereka akan pasarkan, merekrut serta memberikan training pada buruh harian yang terjun langsung ke lapangan. Keberadaan fisiknya yang tidak lengkap tidak membuat Andy patah semangat dalam mengembangkan potensi yang dimilikinya, terutama dalam pekerjaannya. Andy menikmati setiap tanggung jawab yang dibebankan perusahaan padanya bahkan Andy sangat loyal memberikan waktunya bagi perusahaan. “terakhir ini di PT. Y abang...” (R2. W1./b651-652, hal 13) “Itu lah kalo memang tau ibuk-ibuk Y yang naek sepeda itu, dari situ lah kami buat pelaporan yang dari orang itu... (R2. W1./b707-711, hal 14) “...kan gini...pertama kita survei lah suatu tempat lah gitu kan, misalnya simalingkar lah...trus kita survei lah jalan-jalan apa aja yang ada...kita itu kan udah ada petanya tapi di peta kan gak lengkap sampek gang-gangnya gitu...kita turun ke lapangan trus dari situ lah kita bikin lagi petanya...berapa KK disana, ada kantor, ada sekolah trus itu lah yang kita catat, itu lah yang kita laporkan nanti ke kantor...” (R2. W1./b8715-730, hal 15) “kita ngerekrut ibuk-ibuk yang naek sepeda itu lah, mau gak kerja di Y gitu kan..” (R2. W1./b741-744, hal 15) “kita trening, kita edukasi gitu kan trus mereka itu hanya tinggal menjalankan aja karna orang-orang yang jadi pelanggan itu udah kita dapat...” (R2. W1./b758-764, hal 15)
“...kita bina lah nanti dia kan selama satu bulan trus setelah satu bulan itu kita bina baru lah kita lepas lah dia, kita kasih jalan sendiri...” (R2. W1./b766-771, hal 16) “Yah...Alhamdullilah enak... (R2. W1./b693, hal 14) “Sebenarnya kan kami itu kerjanya cuman lima jam tapi siap pulang kantor itu kan selalu ada briefing gitu, pelaporan hasil kerja... (R2. W1./b695-699, hal 14)
IV.C. Analisis Antar Responden Tabel 5. Rangkuman Gambaran Psychological Well-Being Antar Responden No 1
Dimensi PWB Penerimaan Diri
Responden I • Pada awalnya tidak terima kondisinya yang cacat • Memiliki penilaian yang
Responden II • Bisa menerima kondisinya yang cacat • Menganggap kecacatan
buruk terhadap dirinya
yang dialaminya adalah
karena orang lain juga
suatu cobaan dari Tuhan
menilai buruk kondisinya 2
Hubungan Positif dengan Orang Lain
• Teman-teman dan banyak
• Teman-teman dan orang-
orang disekitarnya
orang disekitarnya bisa
mencemooh keadaanya
menerima keadaannya
yang cacat dan
yang cacat dan masih
menjauhinya
berteman dengannya
• Perhatian orang lain yang diterimanya dinilai sebagai
• Perhatian orang lain yang diterimanya dinilai sebagai
sesuatu hal yang negatif 3
Otonomi
• Memutuskan berusaha
5
• Memutuskan berusaha
mandiri secara finansial
mandiri secara finansial
karena tidak ingin
karena tidak ingin
membebankan keluarganya
membebankan keluarganya
• Memutuskan berpindah
4
sesuatu hal yang positif
• Memutuskan berpindah
pekerjaan karena dianggap
pekerjaan karena dianggap
tidak sesuai dengan dirinya
tidak sesuai dengan dirinya
Penguasaan
• Tidak merasa terganggu
• Tidak merasa terganggu
Lingkungan
melakukan aktivitasnya
melakukan aktivitasnya
sehari-hari
sehari-hari
• Berkeinginan
• Berkeinginan
Tujuan Hidup
mengembangkan potensi
mengembangkan cita-
atlet-atlet muda di dunia
citanya menjadi seorang
olahraga
musisi
• Ingin berperan aktif
• Berkeinginan melanjutkan
membela hak-hak atlet
pendidikannya ke
penyandang cacat yang
perguruan tinggi
sering diabaikan • Berkeinginan melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi
6
Pertumbuhan
• Mencoba berbagai usaha
Pribadi
• Menerima setiap tanggung
untuk memenuhi kebutuhan
jawab yang dibebankan
ekonomi keluarganya
padanya
IV.D. PEMBAHASAN Responden I mengalami kecacatan pada usia 16 tahun. Pada awalnya ia sulit menerima kondisinya karena kecacatannya ini membuatnya ditinggalkan oleh teman-teman dan kekasihnya. Perubahan fisik ini menyebabkan terjadinya perubahan kehidupan pada responden I dan hal ini merupakan stressor yang menuntutnya untuk menyesuaikan diri dan responden I mengalami kesulitan melakukan penyesuaian dengan kondisi barunya yang cacat. Hal ini sejalan dengan teori yang dikembangkan oleh Holmes dan Rahe (dalam Sarafino, 2006) yang menyatakan bahwa kecacatan merupakan salah satu peristiwa dalam hidup yang menyebabkan munculnya stres. Perlahan-lahan seiring berjalannya waktu, responden I mulai bisa bangkit dari keterpurukannya. Ia menemukan suatu yayasan yang menampung hobinya berolahraga yang memberikannya peluang mendapatkan pekerjaan tetap serta menemukan pasangan hidup yang bisa menerima keadaannya yang cacat. Pekerjaan dan adanya dukungan dari pasangannya ini membuat responden I mampu bertahan dan bangkit dari keterpurukannya. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Berkman (dalam Sarafino, 2006) bahwa mendapatkan
dukungan sosial sangat menguntungkan bagi seseorang saat bangkit dari stressor yang sedang dialaminya. Kondisi responden I ini berbeda ketika dilihat pada responden II yang mampu menerima kecacatannya. Kemampuan responden II menerima kondisinya yang cacat dikarenakan ia beranggapan bahwa apa yang dialaminya adalah suatu cobaan yang diberikan oleh Tuhan. Kesedihan yang dialaminya tidak membuatnya terpuruk dan berupaya bunuh diri. Ryff (dalam Keyes, 1995) mengatakan bahwa seseorang yang memiliki penerimaan diri yang baik adalah mereka yang memahami dan menerima berbagai aspek diri termasuk di dalamnya kualitas baik maupun buruk, dan bersikap positif terhadap kehidupan yang dijalaninya. Hal ini dapat terlihat pada responden II tetapi tidak terlihat pada responden I. Responden I menganggap bahwa cacat merupakan suatu keadaan yang buruk dan tidak berdaya sehingga ia merasa malu dan menolak stigma negatif yang melekat pada dirinya. Responden I juga pada awalnya tidak dapat bersikap positif terhadap kehidupan yang ia jalani bahkan ia sempat berkeinginan untuk bunuh diri agar tidak membebankan orangtua dan keluarganya. Dalam kehidupan sehari-hari, responden I pada awalnya banyak mengalami konflik dengan orang-orang di sekitarnya. Mereka mengucilkan dan mencemoohkan
keadaanya
yang
cacat.
Bahkan
teman-temannya
meninggalkannya karena keterbatasan fisik yang dialami oleh responden I. Ia merasa bahwa teman-temannya tidak memberikan dukungan ketika ia dalam masa pengobatan dan pemulihan. Berbeda dengan responden II, ia mampu
mempertahankan hubungan persahabatan dengan teman-temannya. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Hendrick dan Hendrick (1992) yang mengatakan bahwa jika dukungan sosial tidak ada di dalam hubungan persahabatan, maka hubungan persahabatan tersebut tidak akan bertahan lama. Sarason (dalam Zainuddin, 2002) mengatakan bahwa dukungan sosial adalah keberadaan, kesediaan, kepedulian dari orang-orang yang dapat diandalkan, menghargai dan menyayangi kita. Penelitian ini juga menemukan bahwa kedua responden sudah mampu menentukan pilihan yang tebaik untuk masa depannya, yaitu mandiri secara finansial dan mencari pekerjaan yang sesuai dengan mereka. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Ryff (1995) yang mengatakan bahwa sistem nilai individualisme-kolektivisme memberi dampak terhadap psychological wellbeing yang dimiliki oleh suatu masyarakat. Budaya barat memiliki skor yang tinggi dalam dimensi otonomi bila dibandingkan dengan budaya timur Ryff (1995) mengatakan bahwa kemampuan untuk menguasai lingkungan ditandai dengan adanya pengendalian aktivitas eksternal dari individu yang berada di lingkungannya termasuk mengatur dan mengendalikan situasi kehidupan sehari-hari. Dalam penelitian ini, kedua responden memiliki kemampuan penguasaan lingkungan yang sama baiknya. Walaupun setelah selesai menjalani pengobatan mereka diharuskan memakai tongkat, mereka tetap mampu melakukan kegiatan sehari-hari dengan baik tanpa bantuan dari orang lain. Ryff (1995) mengatakan individu yang menilai positif kondisinya adalah individu yang memiliki tujuan dan arah dalam hidup, merasakan arti dalam hidup
masa kini maupun yang telah dijalaninya, memiliki keyakinan yang memberikan tujuan hidup, serta memiliki tujuan dan sasaran hidup yang ingin dicapai dalam hidup. Dalam penelitian ini kedua responden memiliki tujuan hidup yang berbeda di satu sisi dan memiliki persamaan di sisi lainnya. Tujuan hidup terbesar mereka saat ini adalah memberikan kebahagiaan kepada orangtuannya masing-masing. Namun kedua responden masih belum bisa mencapai tujuan tersebut karena penghasilan yang mereka dapatkan masih tergolong rendah. Ryff, dkk (dalam Ryan & Deci, 2001) mengemukakan bahwa salah satu hal yang mempengaruhi tujuan hidup seseorang adalah status sosial ekonomi. Menurut Davis (dalam Robinson & Andrews, 1991), individu dengan tingkat penghasilan yang tinggi memiliki psychological well-being yang lebih tinggi. Tujuan hidup utama responden I, dalam perannya sebagai seorang atlet, adalah menjadi seorang pembina bagi para atlet muda kelak dan memperjuangkan hak-hak para atlet cacat agar tidak selalu mendapat perhatian yang berat sebelah oleh pemerintah pusat dan daerah. Sedangkan responden II masih berharap dapat mengembangkan citacitanya menjadi seorang pemain musik. Ryff (1995) mengatakan bahwa individu yang memiliki pertumbuhan pribadi yang baik ditandai dengan adanya perasaan mengenai pertumbuhan yang berkesinambungan dalam dirinya, memandang diri sebagai individu yang selalu tumbuh dan berkembang, terbuka terhadap pengalaman-pengalaman baru, dapat merasakan peningkatan yang terjadi pada diri dan tingkah lakunya setiap waktu serta dapat berubah menjadi pribadi yang lebih efektif dan memiliki pengetahuan yang bertambah. Pada penelitian ini, kedua responden berusaha untuk bertumbuh
dengan cara yang berbeda-beda. Responden I dalam keinginannya mencapai kemandirian finansial dan menyokong perekonomian keluarga mencoba mengembangkan diri dalam berbagai bidang usaha. Walaupun dalam usahanya responden I pernah mengalami kegagalan beberapa kali tetapi ia mengambil hikmah dari setiap kejadian yang dialaminya. Sedangkan responden II yang bekerja
sebagai
mengembangkan
salah
seorang
pengetahuan
karyawan
dan
swasta
pengalamannya
ingin di
terus
dunia
belajar
marketing.
Responden II menerima berbagai tanggung jawab yang dibebankan kepadanya dan melakukannya dengan senang hati.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
V.A. Kesimpulan Berdasarkan pertanyaan penelitian yang telah dikemukakan pada Bab I sebelumnya, maka pada bab ini akan diuraikan kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian ini, yaitu : Dimensi-dimensi psychological well-being a. Penerimaan Diri Responden I dan responden II berbeda dalam hal penerimaan diri mereka pada awal mengalami kecacatan cacat permanen akibat kecelakaan. Responden I tidak bisa menerima kenyataan bahwa dirinya cacat. Hal ini dikarenakan kondisi tersebut membuatnya tidak bisa lagi mencapai apa yang menjadi cita-citanya sejak kecil, yaitu menjadi seorang perwira TNI yang mengharuskannya memiliki kondisi fisik yang sehat, sedangkan responden II lebih dapat menerima kondisinya yang cacat. Penerimaan diri ini juga dipengaruhi oleh faktor kepribadiannya yang ceria dan terbuka kepada orang-orang disekitarnya sehingga ia tidak merasa down dengan kondisinya yang cacat. b. Hubungan Positif dengan Orang Lain Selama menjalani pendidikannya di SMA, responden I merasa tidak nyaman dengan perlakuan teman-temannya yang selalu mencela dan mengucilkannya karena kecacatannya. Responden I belajar menerima
respon dari lingkungan tersebut hingga ketika ia berprestasi dan banyak orang yang termotivasi melihatnya. Sedangkan responden II tidak merasa hubungan dengan teman-temannya terganggu walaupun ia cacat karena responden II bersikap positif dengan terhadap setiap dukungan yang diperolehnya. c. Otonomi Responden I dan responden II mampu menentukan pilihan yang terbaik untuk masa depannya sendiri tanpa harus bergantung pada orang lain dalam setiap pengambilan keputusan. d. Penguasaan Lingkungan Setelah kecelakaan dan selama menjalani masa perawatan, responden I dan responden II sama-sama bergantung pada orang lain, terutama ibu, untuk membantu melakukan aktivitas sehari-hari. Namun, setelah masa pengobatan selesai dan bisa berjalan kembali, responden I dan responden II bisa melakukan aktivitasnya sehari-hari tanpa bergantung pada orang lain. e. Tujuan Hidup Tujuan hidup responden I dan responden II adalah membahagiakan orangtuanya, berprestasi dalam pekerjaannya saat ini dan mencapai citacitanya yang tertunda bagi responden II, yaitu menjadi seorang musisi. f. Pertumbuhan Pribadi Responden I maupun responden II mempunyai keinginan yang besar untuk terus dapat mengembangkan potensi yang dimilikinya lewat pekerjaan
yang sedang mereka tekuni saat ini. Kegagalan-kegagalan yang pernah dialami responden I dijadikan sebagai pelajaran berharga ketika akan menjalani usaha dikemudian hari. Sedangkan bagi responden II, ia ingin terus belajar mengembangkan pengetahuan dan pengalamannya di dunia marketing dengan menerima berbagai tanggung jawab yang dibebankan kepadanya dan melakukannya dengan senang hati.
2. Dalam penelitian ini ditemukan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi psychological well-being pada individu dewasa awal yang mengalami kecacatan akibat kecelakaan seperti faktor kepribadian dan dukungan sosial.
V.B. Saran Setelah melihat hasil penelitian yang diperoleh, maka peneliti mengajukan beberapa saran sebagai berikut: V.B.1 Saran Praktis a. Bagi individu yang mengalami kecacatan akibat kecelakaan agar lebih terbuka mengenai apa yang mereka rasakan dan pikirkan berkaitan dengan kondisi mereka terhadap keluarga dan teman-teman agar tidak larut dalam kesedihan melihat kondisinya yang terbatas. b. Bagi individu yang mengalami kecacatan akibat kecelakaan agar dapat menerima diri mereka baik menerima keterbatasan fisik yang kini dialami maupun belajar menerima stigma dan perlakuan negatif dari orang-orang
disekitarnya karena penerimaan diri seseorang dapat mempengaruhi kualitas psychological well-beingnya dengan tetap berpikir positif. c. Bagi individu agar lebih menggali hal-hal positif seperti minat-minat pribadi terhadap sesuatu hal dan belajar mengembangkannya. d. Bagi keluarga diharapkan memberi dukungan emosional bagi individu yang cacat, mendampingi individu dalam segala keterbatasannya, mendukung cita-citanya serta memberikan motivasi agar mereka tidak merasa sebagai individu yang terasing dengan keterbatasan fisiknya. e. Bagi lingkungan sosialnya, diharapkan mejaga hubungan pertemanan dengan individu yang cacat akibat kecelakaan dengan dukungan emosional dan motivasi yang positif agar individu tetap bersemangat menjalani hariharinya, tidak mengucilkan dan mencemooh kondisi orang-orang yang cacat.
V.B.2. Saran Penelitian Selanjutnya a. Teori menyatakan bahwa jenis kelamin merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi psychological well-being seseorang. Karena dalam penelitian ini peneliti tidak menemukan responden perempuan maka disarankan agar penelitian selanjutnya dilakukan kepada perempuan untuk melihat dan membandingkan perbedaan psychological well-beingnya. b. Pada penelitian ini, peneliti hanya melakukan penelitian pada individu yang mengalami kecacatan pada kakinya dan tidak pada anggota tubuh yang lain. Pada penelitian selanjutnya disarankan agar melakukan penelitian pada
berbagai jenis kecacatan, misalnya cacat pada tangan, wajah atau anggota tubuh yang lain karena peneliti mendapat informasi dari beberapa responden bahwa perbedaan anggota tubuh yang mengalami kecacatan akan akan ditanggapi berbeda pula oleh setiap individu. c. Disarankan agar melakukan pengambilan data dari orang-orang disekitarnya yang memberikan dukungan sosial bagi individu yang cacat karena kecelakaan. d. Disarankan agar meneliti mengenai trait yang dimiliki oleh individu yang mengalami kecacatan akibat kecelakaan.