BAB III MEDIASI
DALAM
PERKARA
PERDATA. 1.1 Perdamaian sebelum Perma Nomor 1 tahun 2008. Sebagai
metode
penyelesaian
sengketa
secara
damai, mediasi mempunyai peluang yang besar untuk berkembang di Indonesia. Dengan adat ketimuran yang masih mengakar, masyarakat lebih mengutamakan tetap terjalinnya hubungan silaturahmi antar keluarga atau hubungan dengan rekan bisnis daripada keuntungan sesaat apabila timbul sengketa. Menyelesaikan sengketa di pengadilan mungkin menghasilkan keuntungan besar apabila menang, namun hubungan juga menjadi rusak. Mediasi sebenarnya bukanlah metode penyelesaian sengketa yang baru dikenal di Indonesia. Hal ini disebabkan karena pada dasarnya mediasi mempunyai banyak
unsur
yang
sama
dengan
mekanisme 10
musyawarah mufakat yang merupakan ruh penyelesaian sengketa masyarakat Indonesia. Musyawarah ini sama dengan esensi mediasi cara / budaya timur di mana para pihak
berkompromi
dan
saling
mengalah
untuk
mencapai titik temu yang menguntungkan semua pihak hingga tercapai kesepakatan. Penyelesaian
perkara
secara
damai
sebelum
dikeluarkannya Perma No.2 tahun 2003 Jo Perma No. 1 tahun 2008 sudah ada, didalamnya mengatur : (1) Jika pada hari yang ditentukan itu, kedua belah pihak datang maka Pengadilan Negeri dengan pertolongan Ketua mencoba
akan
mendamaikan
mereka.(2)
Jika
perdamaian yang demikian itu dicapai, maka pada waktu bersidang, diperbuat sebuah surat (akte) tentang itu, dalam mana kedua belah pihak dihukum akan menepati perjanjian
yang
berkekuatan
diperbuat
hukum
dan
itu, akan
surat
mana
dijalankan
akan
sebagai
putusan yang biasa. Penyelesaian sengketa melalui upaya damai atau dikenal dengan istilah “ dading “ telah diatur dalam pasal 11
130 HIR/Pasal 154 Rbg dan beberapa peraturan lainnya. Namun upaya damai yang dimaksud dalam peraturan diatas
berbeda
dengan
mediasi
sebagaimana
yang
berkembang sekarang. Perdamaian yang dilaksanakan itu didasarkan pada pasal 130 HIR/ Pasal 154 Rbg dan pasal 1851 KUH Perdata.
Hakim
sebelum
pemeriksaan
perkara
dilakukan harus melakukan tahap mendamaikan dan menawarkan kepada para Pihak untuk melakukan perdamaian. Jadi
pasal
130
HIR
telah
mengatur
lembaga
perdamaian , dimana hakim yang mengadili wajib mendamaikan lebih dahulu pihak yang berperkara sebelum hakim melanjutkan pemeriksaan perkaranya , jadi perdamaian tersebut hanya bersifat anjuran yaitu hakim hanya menawarkan dan bukan sebagai mediator dan pasal tersebut tidak mengatur keharusan bagi hakim
untuk
pihak-pihak.
12
mengusahakan
perdamaian
diantara
3.2Perdamaian setelah Perma Nomor 1 tahun 2008. Penggunaan metode perdamaian secara yuridis formal di Indonesia dimulai dalam UU No. 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan1 dengan memakai terminology perantaraan. Setelah itu mediasi
marak
digunakan
untuk
menyelesaikan
sengketa di akhir tahun 1990-an. Undang-Undang Lingkungan Hidup No. 23 Tahun 1997 memberikan pilihan
kepada
para
pihak
untuk
menyelesaikan
sengketa melalui mediasi, arbitrase atau pengadilan. Mediasi sebenarnya juga sudah diatur dalam UndangUndang yaitu UU No.30 Tahun 1999 tentang Arbitase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.2 Namun hanya satu Pasal saja dalam UU tersebut yang mengatur mediasi sehingga tidak memadai untuk menyelesaikan
Undang-undang ini kemudian digantikan dengan UU No.2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial 2 Pasal 6 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatin Penyelesaian Sengketa. 1
13
sengeketa. Setelah itu barulah banyak bermunculan bidang
yang
memakai
mediasi
sebagai
pilihan
penyelesaian sengketa, seperti perburuhan, sumber daya air, hak atas kekayaan intelektual (merk, paten, desain industri,
dan
rahasia
dagang),
jasa
konstruksi,
perlindungan HAM, perbankan dan asuransi. Semua produk hukum tersebut memakai istilah yang berbedabeda, yaitu perantaraan, pilihan penyelesaian sengketa, kesepakatan atau mediasi. Mediasi di Pengadilan Indonesia didirikan pada tahun 2003 berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung RI No.2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan (selanjutnya mengeluarkan
disingkat PerMA
PerMA Mediasi
Mediasi). tersebut,
Sebelum Mahkamah
Agung RI (MARI) telah berupaya menghidupkan kembali mekanisme perdamaian perkara oleh hakim dengan mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 1 Tahun 2002 mengenai Lembaga Damai. Namun lembaga ini pun tidak berjalan efektif karena bentuknya 14
SEMA yang hanya bersifat himbauan, tidak mengikat pengadilan untuk melaksanakannya. Latar belakang pendirian
mediasi
ini
pengadilan
bertujuan
untuk
mengatasi masalah tumpukan perkara di Mahkamah Agung RI, membuka kesempatan yang lebih lebar bagi para pihak untuk mendapatkan keadilan terutama untuk golongan yang lemah (vulnerable parties)seperti orang miskin dan perempuan, serta untuk mengatasi masalah korupsi di pengadilan. Pada awal pendirian, mediasi di pengadilan hanya dilaksanakan dalam lingkup peradilan umum dengan
membolehkan
peradilan
agama
mempraktekkannya. Namun sejak PerMA Mediasi direvisi pada tahun 2008, peradilan agama juga wajib untuk melaksanakan proses perdamaian perkara ini. Mediasi di pengadilan merupakan proses yang wajib ditempuh oleh para pihak sebelum jatuhnya putusan hakim. Setiap putusan
yang
tidak
berupaya
menempuh
proses
perdamaian ini dinyatakan batal demi hukum. Proses 15
mediasi hanya bisa digunakan untuk mendamaikan perkara perdata, dengan pengecualian beberapa kasus, yaitu perkara yang diselesaikan melalui prosedur : Pengadilan niaga; Pengadilan hubungan industrial; Keberatan atas putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen; Keberatan
atas
putusan
Komisi
Pengawas
Persaingan Usaha. Berdasarkan PerMA Nomor 1 tahun 2008 , pada prinsipnya hakim dan non hakim diwajibkan untuk terlebih dahulu mengikuti pelatihan sertifikasi mediator yang dilakukan oleh lembaga terakreditasi Mahkamah Agung RI. Namun dikarenakan anggaran pelatihan yang terbatas dan jumlah hakim yang banyak, maka PerMA Mediasi memberikan dispensasi kepada pengadilan yang belum memiliki mediator bersertifikat untuk menunjuk hakim
yang
mediator.
16
belum
mengikuti
pelatihan
menjadi
Adapun
pemutusan
perkara,
baik
melalui
pengadilan maupun arbitrase bersifat formal, memaksa, menengok
ke
berdasarkan
belakang,
hak-hak.
berciri
Artinya,
pertentangan, apabila
para
dan pihak
melitigasi suatu sengketa, prosedur pemutusan perkara diatur dalam ketentuan-ketentuan yang ketat dan suatu konklusi pihak ketiga menyangkut kejadian-kejadian yang lampau dan hak serta kewajiban legal masingmasing pihak akan menentukan hasilnya. Kebalikannya, mediasi sifatnya tidak formal, sukarela, melihat ke depan, kooperatif, dan berdasar kepentingan. Seorang mediator
membantu
pihak-pihak
yang
bersedia
merangkai suatu kesepakatan yang memandang ke depan,
memenuhi
kebutuhan-kebutuhannya,
dan
memenuhi standar kejujuran mereka sendiri. Seperti halnya para hakim dan arbiter, mediator harus tidak berpihak dan netral, tetapi mereka tidak mencampuri untuk memutuskan dan menetapkan suatu keluaran
17
substantive,
serta
para
pihak
sendiri
memutuskan
apakah mereka akan setuju atau tidak.3 Karena
itu,
mediasi
sering
dinilai
sebagai
perluasan dari proses negosiasi. Hal ini disebabkan para pihak yang bersengketa tidak mampu menyelesaikan sengketanya sendiri sehingga menggunakan jasa pihak ketiga yang bersikap netral untuk membantu mereka mencapai
suatu
kesepakatan.
Tidak
seperti
proses
ajudikasi, di mana pihak ketiga menerapkan hukum terhadap fakta-fakta yang ada untuk mencapai suatu hasil, maka dalam mediasi pihak ketiga akan membantu pihak-pihak yang bertikai dengan menerapkan nilai-nilai terhadap fakta-fakta untuk mencapai hasil akhir. Nilainilai
itu
dapat
meliputi
hukum,
rasa
keadilan,
kepercayaan agama, etika, moral dan lain-lain.4 Dari sengketa
uraian
melalui
di ADR
atas,
tampak
memiliki
penyelesaian
kebaikan
atau
Garry Goodpaster, 1996, Tujuan Terhadap penyelesaian Sengketa, dalam Seri dasar-Dasar hukum Ekonomi 2, Arbitrase di Indonesia, Jakarta, Ghalia Indonesia, halaman 12-13. 4 Gatot Soemartono, 2006, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, Halaman 122 3
18
keunggulan
daripada
proses
penyelesaian
melalui
ajudikasi. Penyelesaian sengketa melalui ADR jauh lebih efisien dan efektif dibandingkan dengan penyelesaian sengketa
melalui
institusi
ajudikasi,
dimana
penyelesaian lebih cepat, biaya lebih murah, dan paling penting menghasilkan kesepakatan yang dapat diterima para pihak. Para pihak dapat mengatur sendiri cara dan lamanya waktu penyelesaian sengketa dimaksud. Di samping kelebihan – kelebihannya, institusi mediasi ini juga ada kelemahannya, diantaranya : 1. Biasa memakan waktu yang lama; 2. Mekanisme eksekusi yang sulit karena cara eksekusi putusan hanya seperti kekuatan eksekusi suatu kontrak; 3. Sangat digantungkan dari iktikad baik para pihak untuk menyelesaikan sengketanya sampai selesai; 4. Mediasi tidak akan membawa hasil yang baik, terutama jika informasi dan kewenangan tidak cukup diberikan kepadanya, dan
19
5. Jika lawyer tidak dilibatkan dalam proses mediasi, kemungkinan
adanya
fakta-fakta
hukum
yang
penting yang tidak disampaikan kepada mediator sehingga putusannya menjadi bias.5 1. Peran dan Fungsi Mediator Dalam Mediasi Pada dasarnya seorang mediator berperan sebagai “penengah”
yang
membantu
menyelesaikan
sengketa
mediator
akan
juga
yang
para
pihak
dihadapinya.
membantu
para
pihak
untuk Seorang untuk
membingkai persoalan yang ada agar menjadi masalah yang perlu dihadapi secara bersama. Selain itu, guna menghasilkan kesepakatan, sekaligus seorang mediator harus membantu para pihak yang bersengketa untuk merumuskan pelbagai pilihan penyelesaian sengketanya. Tentu saja pilihan penyelesaian sengketanya harus dapat diterima dan juga dapat memuaskan kedua belah pihak. Setidaknya peran utama yang mesti dijalankan seorang mediator
adalah
mempertemukan
kepentingan-
Munir Fuady, 2000, Arbitrase Nasionakl, Alternative Penyelesaian Sengketa Bisnis,Bandung,PT Citra Aditya Bakti, Halaman 50-51
5
20
kepentingan yang saling berbeda tersebut agar mencapai titik temu yang dapat dijadikan sebagai pangkal tolak pemecahan masalahnya. Seorang mediator mempunyai peran membantu para pihak dalam memahami pandangan masing-masing dan membantu mencari (locate) persoalan-persoalan yang
dianggap
penting
bagi
mereka.
Mediator
mempermudah pertukaran informasi, mendorong diskusi mengenai perbedaan-perbedaan kepentingan, persepsi, penafsiran terhadap situasi dan persoalan-persoalan serta
membiarkan,
tetapi
mengatur
pengungkapan
emosi. Di samping itu, seorang mediator membantu para pihak
memprioritaskan
menitikberatkan
persoalan-persoalan
pembahasan
mengenai
tujuan
dan dan
kepentingan umum. Mediator pun akan sering bertemu dengan para pihak secara pribadi. Dalam pertemuan ini yang
disebut
caucus,
mediator
biasanya
dapat
memperoleh informasi dari pihak yang tidak bersedia saling membagi informasi. Sebagai wadah informasi antara para pihak , mediator akan mempunyai lebih 21
banyak informasi menegnai sengketa dan persoalanpersoalan dibandingkan para pihak dan akan mampu menentukan
apakah
terdapat
dasar-dasar
bagi
terwujudnya suatu perjanjian atau kesepakatan.6 Mediator juga memberikan informasi baru bagi para pihak atau sebaliknya membantu para pihak dalam menemukan cara-cara yang dapat diterima oleh kedua belah pihak untuk menyelesaikan perkara. Mereka dapat menawarkan penilaian yang netral dari posisi masingmasing pihak. Mereka juga dapat mengajarkan para pihak bagaimaan terlibat dalam negosiasi pemecahan masalah secara efektif, menilai alternatif-alternatif, dan menemukan pemecahan yang kreatif terhadap konflik mereka.7 Dengan demikian, seorang mediator tidak hanya bertindak
sebagai
penengah
belaka
yang
hanya
bertindak sebagai penyelenggara dan pemimpin diskusi, tetapi ia juga harus membantu para pihak untuk
6 7
Garry Goodpaster, Tinjauan Terhadap…. Op. cit. Halaman. 16 Ibid, Halaman 16-17
22
mendesain menyelesaikan sengketanya sehingga dapat menghasilkan kesepakatan bersama. Dalam hal ini seorang
mediator
mengumpulkan
harus
sebanyak
memiliki mungkin
kemampuan
informasi
yang
nantinya akan dipergunakan sebagai bahan untuk menyusun
dan
mengusulkan
pelbagai
pilihan
penyelesaian masalah yang disengketakan. Kemudian, mediator ini pun akan membantu para pihak dalam menganalisis sengketa atau pilihan penyelesaiannya sehingga
akhirnya
kesepakatan
bersama
dapat
menemukan
sebagai
solusi
rumusan
penyelesaian
masalah yang akan ditindak lanjuti bersama pula. 2.Mediasi Yudisial (Peradilan) di Indonesia Menurut
pendapat
penulis
yang
dimaksud
dengan mediasi yudisial dalam konteks Indonesia adalah proses perdamaian suatu sengketa (mediasi) dalam perkara Perdata dan di pengadilan yang bertindak sebagai penengah (mediator) adalah seorang hakim aktif yang bukan pemeriksa perkara atau anggota majelis hakim pemeriksa perkara yang dilakukan sebelum 23
sidang perkara.Dari definisi tersebut ada beberapa unsur pengertian mediasi yudisial di Indonesia yang perlu dijabarkan
lebih
rinci
untuk
dibandingkan
dengan
pelaksanaan di Negara lain, yaitu: 1. Proses Perdamaian (mediasi) Dalam proses mediasi ini hakim sebagai mediator tidak memiliki kewenangan untuk memutus perkara seperti dalam sidang pengadilan (litigasi). Peran mediator dalam proses mediasi kemudian terbagi dua
: apakah hanya sebagai fasilitator yang
mengatur kelancaran proses mediasi (facilitative approach)
atau
bisa
memberikan
saran
dan
petimbangan hukum (evaluative approach). . 2.
Sengketa perdata Sesuai dengan yurisdiksi mediasi di pengadilan, maka hanya perkara perdata yang bisa dicoba untuk didamaikan.
3.
Dilaksanakan di pengadilan Mediasi yudisial hanya bisa dilakukan didalam lingkup pengadilan untuk menjaga wibawa hakim
24
dan integritas pengadilan sesuai dengan amanat PerMA Mediasi.8 2.
Mediator adalah hakim aktif Hanya hakim yang masih bertugas yang bisa menjadi mediator, bukan hakim yang sudah pensiun seperti yang dipraktekkan di Negara lain, seperti di Amerika Serikat. Sesuai ketentuan PerMA Mediasi, pada prinsipnya hakim juga harus mengikuti pelatihan sertifikasi mediator. Namun bila belum ada, maka hakim
yang
belum
bersertifikasi
bisa
menjadi
mediator.9 3.
Mediator bisa merupakan anggota majelis hakim pemeriksa perkara atau bukan pemeriksa perkara. Kebanyakan
mediasi
yang
berlangsung
selama
pemeriksaan perkara dilakukan oleh anggota majelis hakim pemeriksa perkara. Peran ganda tersebut bisa mengganggu netralitas hakim.
8 9
Perma Mediasi, Pasal 20 ayat 2 Perma Mediasi, Pasal 9 ayat 3
25
4.
Dilakukan sebelum sidang perkara atau selama pemeriksaan perkara berlangsung sebelum jatuhnya putusan majelis hakim pemeriksa perkara.
Sejak revisi PerMA Mediasi pada tahun 2008, proses mediasi
di
pemeriksaan
pengadilan perkara
juga
dilaksanakan
berlangsung,
tidak
selama hanya
dilakukan sebelum sidang perkara. 3.Peluang Pelaksanaan Mediasi Yudisial (Peradilan) Ada
beberapa
faktor
yang
mendukung
implementasi mediasi yudisial dalam sistem peradilan di Indonesia, diantaranya adalah : prosedur penyelesaian sengketa yang cepat, murah dan sederhana; kekuasan di tangan para pihak; kekuatan eksekutorial kesepakatan mediasi; dasar hukum yang kuat sesuai amanat hukum acara perdata; budaya musyawarah dalam penyelesaian sengketa;
otoritas
dan
pengalaman
hakim
dalam
penyelesaian sengketa; dan Peningkatan penggunaan metode ini di dunia internasional. Bab ini menganalisis, secara
26
lebih
mendalam
beberapa
peluang
untuk
memaksimalkan
pelaksanaan
mediasi
yudisial
di
Indonesia. a. Prosedur
Penyelesaian
Sengketa
yang
Cepat,
Murah dan Sederhana Salah
satu
dibandingkan
keunggulan dengan
utama
proses
mediasi
pemeriksaan
bila
perkara
(litigasi) di pengadilan adalah prosedurnya yang relative lebih cepat, murah dan
sederhana. Sinergi antara
kewibawaan hakim dan pengadilan serta keunggulan waktu mediasi yudisial inilah yang membuat metode ini berkembang pesat di seluruh dunia.10 Di Indonesia, proses mediasi yudisial di pengadilan hanya berlangsung kurang lebih
2 (dua) bulan sejak penunjukan mediator
sampai mencapai kesepakatan.11 Waktu ini jauh lebih cepat
disbanding
menghabiskan
waktu
proses 6
persidangan (enam)
bulan
yang untuk
menyelesaikan kasus di tingkat pertama (pengadilan negeri).12 Belum lagi kalau sebuah kasus mencapai Chodosh. Judicial Mediation and Legal Culture Pasal 13 ayat 3 PerMA No. 1 Tahun 2008 12Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 6 Tahun 1992 10 11
27
tingkat banding, kasasi atau peninjauan kembali, kasus tersebut dapat memakan waktu sampai 7 – 12 tahun.13 Dengan sedikitnya waktu yang digunakan untuk menyelesaikan sengketa otomatis biaya yang dikeluarkan juga
lebih
sedikit,
termasuk
biaya
administrasi
pengadilan, jasa advokat, transportasi dan biaya lainnya. Hal ini diperkuat lagi dengan kebijakan PerMA Mediasi yang membebaskan para pihak dari biaya jasa mediator yudisial. Kecuali bila para pihak memilih mediator non hakim, maka mereka harus membayar biaya jasa sesuai tarif dan kesepakatan karena sampai saat ini belum ada standar pengenaan biaya jasa bagi mediator non-hakim yang berpraktek di pengadilan. Namun karena mediator dari
berbagai
mendapat
kalangan
kesempatan
profesi untuk
ini
masih
berpraktek
jarang sebagai
mediator di pengadilan, maka banyak dari mereka yang tidak mengenakan biaya atau pro-bono.14 Selain ingin mendapatkan pengalaman memediasi di pengadilan, M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, Halaman. 154 14 Abdul Syukur, Court Annexed Medition for Settling Family Disputes in Indonesia 13
28
banyak non – hakim (terutama para pensiunan pejabat) yang
memang
ingin
mendarmabaktikan
skill
dan
pengalaman mereka dalam menyelesaikan sengketa. Pengalaman dan prestige yang mereka peroleh juga bisa digunakan untuk modal iklan untuk mencari klien lebih banyak dan mengembangkan jaringan (networking). Prosedur mediasi juga sederhana seperti bernegosiasi dalam kehidupan sehari-hari, tanpa terminology atau prosedur yang tidak dimengerti orang awam. Hakim ketika
berfungsi
sebagai
mediator
tidak
boleh
menggunakan prosedur litigasi peradilan dengan banyak istilah
hukum
yang
membingungkan.
Bahkan
bila
mediator yudisial menggunakan pendekatan fasilitatif seperti yang telah dibahas dalam Bab I, maka hakim sebagai mediator tersebut harus lebih mengutamakan kepentingan
para
pihak
dan
sementara
mengesampingkan posisi dan hak pra pihak serta fakta hukum dalam kasus tersebut dalam rangka mencapai kesepakatan yang mereka inginkan.
29
Sesuai
dengan
Laporan
Penelitian
2010
yang
dilakukan oleh Indonesia – Australia Legal Development Facility,
kesederhanaan
memenuhi
harapan
menginginkan
proses
para
proses
mediasi
pengguna
penyelesaian
ini
keadilan sengketa
akan yang dalam
bahasa yang sederhana, jelas dan tidak teknis.15 Proses mediasi
juga
memenuhi
penyederhanaan
proses
berperkara yang bertujuan untuk meningkatkan akses keadilan masyarakat dan mengurangi arus perkara ke tingkat kasasi seperti yang dicanangkan dalam Cetak Biru Pembaruan Peradilan Mahkamah Agung RI tahun 2010 – 2035. Efisiensi dan efektivitas metode yang dimiliki membuat mediasi semakin mendapat pengaruh dan dukungan hingga
sudah
dipakai
sebagai
bagian
dari
sistem
peradilan di banyak Negara. Mediasi dalam sistem peradilan
memberikan
angin
segar
di
tengah
tersendatnya proses litigasi yang menyelesaikan perkara IALDF, Memberi Keadilan Bagi Para Pnecari Keadilan (giving JusticetoParties)http://www.Ausasid.Gov.AU/Publication/PDF/Justi ce Providing-Bahasa.Pdf, Jakarta< Indonesia-Australia Legal Development Facility-Ausasid, 2010, Halaman 9 15
30
dengan waktu lebih lama, berbiaya tinggi, dan dengan prosedur legal formal yang kompleks. b.
Kekuasan di Tangan Para Pihak Setelah satu keunggulan utama mediasi yang menjadi
pembda dengan metode penyelesaian sengketa yang lain adalah pemberian kehendak atau kekuasaan (power) kepada para pihak untuk menentukan jalannya proses mediasi dan kesepakatan yang dihasilkan. Peletakan kekuasaan pada para pihak inilah yang membuat kesepakatan yang dihasilkan akan lebih memuaskan, bertahan lama, dan dipatuhi para pihak karena semua hal dalam proses mediasi diputuskan sendiri oleh mereka.16 Dalam mediasi, bukan pihak ketiga (hakim atau
mediator
sebagai
penengah)
yang
berhak
menentukan arah, cara dan hasil akhir dari perundingan seperti di pengadilan. Oleh karena itu mediasi juga bisa berguna untuk mengatasi masalah korupsi yang menggerogoti seluruh
Mahkamah Agung RI, Cetak Biru Pembaharuan Peradilan (Bluepint of Judiciary Reform), Jakarta, MARI, 2010, Halaman 30 16
31
sendi hukum di Indonesia. Hal ini dikarenakan kecil kemungkinan bagi pihak penengah untuk mempunyai kesempatan
bermain
curang
demi
kepentingannya
sendiri. Bila para pihak melihat ada dugaan mediator tidak bersikap netral atau berperilaku tidak patut, maka para pihak bisa meminta mediator tersebut diganti atau mundur dari proses mediasi setiap saat apabila mereka inginkan. Hal ini sesuai dengan prinsip dasar mediasi yang memberikan kebebasan bagi para pihak untuk menentukan kemauannya (principle of self-determination). Walaupun
mediator
yudisial
dimungkinkan
untuk
menjadi evaluator dengan kewenangan yang lebih besar untuk memberikan nasehat, pendapat hukum atau bahkan mengusulkan solusi sengketa, kekuasaan tetap berada di tangan para pihak untuk memutuskan. Karena itu, mediasi bisa menjadi ujung tombak reformasi hukum di Indonesia bisa dilaksanakan secara efektif dan konsekuen.
32
c.
Kekuatan Eksekutorial Kesepakatan Mediasi Kekuatan selanjutnya dari proses mediasi yudisial
adalah hasil akhir atau kesepakatan yang dikeluarkan dalam
bentuk
mempunyai
Akta
kekuatan
Perdamaian eksekusi
oleh
yang
pengadilan
sama
seperti
putusan yang berkekuatan hukum tetap (in kracht). Oleh karena itu akta perdamaian bersifat final dan mengikat (binding)
yang
tidak
bisa
diajukan
upaya
hukum
selanjutnya, baik itu banding ke Pengadilan Tinggi ataupun kasasi ke Mahkamah Agung. Kekuatan ini berhubungan erat dan menjamin proses mediasi yang cepat, murah dan sederhana seperti telah dibahas sebelumnya. Kelebihan mediasi yudisial yang lebih final dan mengikat bila berhasil mencapai kesepakatan ini menarik
banyak
Negara
di
dunia
untuk
mengintegrasikan dalam sistem peradilan mereka. Keunggulan inilah yang tidak terdapat dalam mediasi komunitas.
Karena
diselesaikan
oleh
dan
untuk
masyarakat, kesepakatan yang dihasilkan dalam proses ini hanya mengikat para pihak. Dari sudut pandang 33
hukum, kesepakatan ini tidak mempunyai kekuatan eksekutorial. Apabila salah satu pihak tidak mematuhi atau
melanggar
isi
kesepakatan
maka
tidak
ada
kekuatan 9dari Negara yang diwakili oleh pengadilan) yang bisa memaksa pihak yang melanggar tersebut untuk melaksanakannya. Karena itulah PerMA Mediasi mencoba mengintegrasikan kekuatan eksekutorial dalam sistem peradilan dengan kesepakatan yang dihasilkan di luar pengadilan agar kesepakatan mediasi komunitas bisa mempunyai kekuatan eksekutorial. Bila para pihak berhasil
mencapai
kesepakatan
perdamaian
dengan
bantuan mediator bersertifikat(cetak tebal dari penulis) di luar pengadilan, maka kesepakatan tersebut dapat diajukan
ke
pengadilan
yang
berwenang
untuk
memperoleh Akta Perdamaian resmi dari pengadilan dengan cara mengajukan gugatan.17 Akta inilah yang mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama seperti putusan dalam proses litigasi.
17
PerMA Mediasi Pasal 23 ayat 1
34
Pengajuan gugatan ke pengadilan agar kesepakatan di luar pengadilan mempunyai kesepakatan eksekutorial harus disertai dengan kesepakatan perdamaian yang dicapai serta dokumen – dokumen yang membuktikan ada
hubungan
hukum
para
pihak
dengan
objek
sengketa.18 Selain itu, ada beberapa syarat lain yang harus dipenuhi agar kesepakatan di luar pengadilan tersebut memperoleh akte perdamaian dari pengadilan, diantaranya adalah : sesuai kehendak para pihak; tidak bertentangan dengan hukum; tidak merugikan pihak ketiga; dapat dieksekusi; dan dilandasi dengan itikad baik.19 Kebijakan dalam PerMA ini sebenarnya diadopsi dari konsep mediasi Jepang
sokketsu wakai yang
memungkinkan
di
perdamaian
luar
pengadilan
(community mediation) untuk mendapat pengesahan dari pengadilan.20 Namun yang menjadi pertanyaan atau mungkin menjadi kendala dari penerapan ketentuan ini adalah Ibid, Ayat 2 Ibid, Ayat 3 20 MARI, Buku Komentar Peraturan MARI No. 10 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Mediasi di Pengadilan,Jakarta, 2008 18 19
35
Kesepakatan Perdamaian di luar pengadilan tersebut dimediasi oleh mediator yang bersertifikat. Hal ini tentunya memberatkan para pencari keadilan karena masih terbatasnya jumlah mediator yang bersertifikat. Ketentuan ini sebenarnya mendapat sambutan baik dari professional
hukum
dan
masyarakat
menyatakan
bahwa
ketentuan
ini
luas.
akan
Mereka
membuat
semakin banyak masyarakat yang mempunyai peluang untuk memperoleh keadilan (access to justice) terutama dari golongan bawah; dan kesepakatan yang dicapai akan lebih memenuhi rasa keadilan para pihak dan sesuai dengan budaya setempat. Ketentuan ini juga dapat
menghasilkan
perkembangan
hukum
dampak di
yang
Indonesia,
positif yaitu
bagi selain
memenuhi asas peradilan yang cepat, murah dan sederhana, tetapi juga mulai ada pengakuan hukum terhadap
penyelesaian
sengketa
yang
berlaku
di
masyarakat.21
21Abdul
Syukur, Community Mediation in Bali and Papua< Access to Justice in Indonesia.
36
Selain memberikan landasan hukum, usulan Undang – Undang Mediasi ini bertujuan menguatkan peran non – hakim atau professional sebagai mediator di pengadilan sebagia pilihan untuk para pihak selain hakim. Apabila landasan
hukum
ini
tersedia,
maka
keenganan
pengadilan untuk memasukkan non-hakim ke dalam daftar mediator di pengadilan selama ini dapat teratasi dan peran non-hakim bisa diangkatkan. Selain itu, undang – undang tersebut juga mengusulkan agar mediasi tidak hanya bisa dilaksanakan di pengadilan, tetapi juga di kepolisian, kejaksaan atau departemen pemerintah lain hingga bisa menjangkau sasaran yang lebih luas. Dengan demikian undang – undang ini bisa menjadi
payung
hukum
bagi
pelaksanaan
metode
mediasi di berbagai bidang seperti perbankan, asuransi, perburuhan, lingkungan, dan lain-lain agar tidak tercerai berai dan saling berbenturan. Masih
dipikirkan
apakah
usulan
pembentukan
landasan hukum mediasi ini akan membuat undang – undang yang berdiri sendiri atau dengan merevisi 37
Undang – Undang No. 30 Tahun 1999 tentagn Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dalam Undang – Undang tersebut, mediasi sudah dimasukkan sebagai metode alternatif penyelesaian sengketa. Namun hal ini hanya diatur dalam pelaksanaan mediasi. Sampai saat ini usulan undang – undang tersebut masih dalam tahap penyusunan oleh beberapa pihak penggiat mediasi di tanah air. Penulis berharap para aktivis ini bisa saling bekerjasama
dan
bersinergi
untuk
menyusun
dan
menyokong Undang – Undang Mediasi di Indonesia. Sesuai
dengan
perkembangan
zaman,
banyak
masyarakat Indonesia dewasa ini – terutama di daerah perkotaan – ikut terpengaruh oleh era globalisasi yang mengubah perilaku menjadi lebih individualis, enggan berkorban sengketa
hak dan
mendapatkan
dan lebih
kepentingannya memilih
keadilan
atas
ke hak
ketika
terjadi
pengadilan
untuk
dan
kepentingan
mereka. Walaupun demikian, musyawarah tetap dipakai dan diutamakan dalam menyelesaikan sengketa untuk menjaga harmoni di tengah masyarakat. Professor Bruce 38
Barnes, pakar mediasi dari Universitas Hawaii – Amerika Serikat yang lebih banyak mengadakan penelitian dan mempublikasikan wilayah
Asia
budaya –
penyelesaian
Pasifik
(termasuk
sengketa
di
Indonesia),
menyatakan:22 Perhaps due to the absence of a credible court sistem the musyawarah may be the most important institution for conflict resolution in Indonesia, including business, and “civil” disputes as well as criminal disputes. Decisions mde though this process have strong legitimacy in the community since all the parties have been consulted and involved in the process. The process is a collective, consultative decision – making one in which all parties who consider they have an interest in a matter talk it though until a resolution is found. Everthing that is said is considered equally correct, nd is applied towards solving the problem as presented to the group. One of the assumptions as presented to the group. One of the
Bruce Barnes, Culture, Conflict, and Mediation in the asia pacific, Maryland, University Press of America, 2007, Halaman. 109-110
22
39
assumptions is the ultimate result will be consensus (mufakat) among all present, acceptable as approprivate by all parties. (Mungkin karena disebabkan oleh ketiadaan sistem peradilan yang dapat dipercaya, musyawarah merupakan lembaga yang paling penting dalam perkara bisnis, perdata, ataupun pidana. Keputusan yang dibuat dalam proses musyawarah mempunyai legitimasi yang kuat di masyarakat dikareankan semua pihak sudah dimintai pendapat
dan
musyawarah
dilibatkan bersifat
dalam
kolektif
proses.
dan
Proses
pengambilan
keputusan yang konsltatif dimana semua pihak yang merasa mempunyai keterlibatan kepentingan mencoba mencari solusi yang tepat. Semua yang dikatakan dalam proses dianggap benar dan dicoba diterapkan untuk memecahkan masalah dalam kelompok. Satu asumsi yang dihasilkan dari proses ini adalah hasil yang disepakati (mufakat) akan diterima dan dipatuhi oleh semua pihak).
40
Musyawarah merupakan faktor yang sangat penting untuk digunakan bagi kesuksesan pelaksanaan mediasi yudisial di Indonesia. Hakim dapat memaksimalkan ruh yang ada dalam metode ini untuk mendorong dan menyemangati
pihak
yang
bersengketa
untuk
menyelesaikan sengketa mereka secara damai sesuai dengan budaya yang hidup dalam masyarakat. Hakim juga
bisa
meyakinkan
para
pihak
bahwa
dengan
mamakai musyawarah sebagai metode penyelesaian sengketa, maka para pihak akan mendapat beberapa keuntungan, yaitu:23 Menjaga hubungan baik antar para pihak. Hal ini penting terutama dalam sengketa keluarga ataupun perkara bisnis yang lebih berorientasi keuntungan jangka
panjang
dibandingkan
menang
sesaat
kekuasaan
untuk
namun hubungan menjadi rusak; Para
pihak
menentukan
mempunyai
proses
dan
kesepakatan
yang
Himahanto Juwana, Dispute Resolution Prcess in Indonesia, IDE Asian Law Series, No. 21, 2003. 23
41
dihasilkan, tidak seperti di pengadilan dimana aktor utama
adalah
pengacara
dan
hakim
sebagai
pengambil keputusan; Menghindari
proses
litigasi
pengadilan
yang
bermusuhan (adversarial); Metode ini lebih singkat, murah dan prosedurnya sederhana; Sesuai dengan budaya masyarakat Indonesia.
3.3Perma dan hakekat Kekuasaan Yudisial. Mahkamah
Agung
telah
mengeluarkan
instruksi
Nomor 1 tahun 2002 tentang pemberdayaan lembaga perdamaian dengan memerintahkan para hakim agar menjadi
penengah
dalam
dewan
konsiliasi
dan
memberikan saran yang menguntungkan para pihak. Surat edaran ini menekankan kembali pemberdayaan pengadilan tingkat pertama dalam menerapkan upaya damai (lembaga dading) sebagaimana keketentuan dalam pasal 130 HIR/pasal 154 Rbg yang bertujuan agar Mahkamah Agung mengatasi tunggakan perkara. Dan karena dengan instruksi ini lembaga damai belum 42
sempurna
Mahkamah
Agung
mengeluarkan
Perma
nomor 2 tahun 2003 yang mengatur tentang prosedur mediasi
di
Pengadilan
Mahkamah
Agung
RI
dan
disempurnakan dengan dikeluarkannya Perma Nomor 1 tahun
2008
tentang
tentang
prosedur
mediasi
di
Pengadilan. Kata mengadili merupakan rumusan yang sederhana, namun didalamnya terkandung pengertian yang sangat mendasar,
luas
dan
mulia,
yaitu
meninjau
dan
menetapkan suatu hal secara adil atau memberikan keadilan. Pemberian keadilan tersebut harus dilakukan secara bebas dan mandiri. Untuk dapat mewujudkan fungsi dan tugas tersebut, penyelenggaraan peradilan harus bersifat tekhnis profesional dan harus bersifat non politis serta non pertisan. Peradilan dilakukan sesuai standart profesi berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku, tanpa pertimbangan-pertimbangan politis dan pengaruh kepentingan pihak-pihak. Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 secara komprehensif
substansinya
lebih
lengkap
bila 43
dibandingkan
dengan
undang-undang
kekuasaan
kehakiman sebelumnya, sehingga untuk memperkuat dalam penyelenggaraan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan perlu dibarengi dengan upaya membangun dan membentuk hakim yang baik dalam beberapa
perspektif,
diantaranya
dalam
perspektif
intelektual, perspektif etik, perspektif hukum, perspektif kehidupan beragama, perspektif tehnis peradilan dan upaya tersedianya berbagai penunjangnya. Peranan hakim dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman melalui badan peradilan, tidak lain daripada melaksanakan
fungsi
peradilan
dengan
batas-batas
kewenangan yang disebutkan undang-undang, maka dengan telah diundangkannya Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 yang dibarengi dengan upaya-upaya tersebut di atas, diharapkan hakim melalui putusannya sesuai harapan masyarakat dapat menerapkan hukum dengan benar dan adil serta memberi manfaat bagi pencari keadilan dan masyarakat pada masa kini dan masa yang akan datang. 44
ANALISIS Hasil penelitian yang telah dilakukan adalah bahwa
Perma
Nomor
1
tahun
2008
telah
salah
mengintepretasikan HIR Pasal 130 HIR dan atau Pasal 154 RBg yaitu dalam menimbang huruf c yaitu bahwa hukum acara yang berlaku, baik pasal 130 HIR maupun Pasal 154 RBg, mendorong para pihak untuk menempuh proses perdamaian yang dapat diintensifkan proses mediasi kedalam prosedur berperkara di Pengadilan, bahwa dalam hal ini Pengadilan sebagai lembaga Yudisial hanya mendorong para pihak melakukan perdamaian sendiri
dan
hakim
hanya
menganjurkan
atau
menyarankan proses perdamaian tersebut pada hari sidang pertama, dan apabila para pihak menyatakan tidak akan melakukan perdamaian maka sidang akan dilanjutkan,
dalam
hal
ini
Pengadilan
hanya
melaksanakan fungsi sebagai lembaga ajudikasi bukan sebagai lembaga mediasi. Kemudian didalam Perma Nomor 1 tahun 2008 Pasal 2 ayat (3) dinyatakan tidak menempuh prosedur 45
mediasi
berdasarkan
Peraturan
ini
merupakan
pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 130 HIR dan atau Pasal 154 RBg yang mengakibatkan putusan batal demi hukum dan Pasal 7 ayat (1) Pada hari sidang yang telah ditentukan yang dihadiri kedua belah pihak hakim mewajibkan
para
pihak
untuk
menempuh
mediasi
bahwa didalam Pasal 130 HIR dan atau Pasal 154 RBg kewajiban hakim untuk mengupayakan perdamaian dengan memberikan kesempatan untuk berdamai dan sifatnya
hanya
sebagai
anjuran
sehingga
dapat
dikatakan bahwa Para Pihak dipaksa untuk melakukan kewajiban mediasi sebelum perkaranya masuk keranah ajudikasi. Dalam ketentuan Pasal 7 ayat (1) Perma Nomor 01 Tahun 2008 disebutkan, pada hari sidang yang telah ditentukan yang dihadiri kedua belah pihak, hakim mewajibkan para pihak untuk menempuh mediasi. Dari ketentuan
ini
bahwa
proses
mediasi
merupakan
kewajiban pihak-pihak yang berperkara yang mana 46
kalau tahapan mediasi ini tidak dilalui oleh pihak-pihak, maka majelis hakim juga wajib untuk menolak / tidak menerima gugatannya. Dengan
ditetapkannya
Peraturan
Mahkamah
Agung Republik Indonesia (Perma) Nomor 01 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, telah terjadi perubahan fundamental dalam praktek peradilan di Indonesia.Pengadilan
tidak
hanya
bertugas
dan
berwenang memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara yang diterimanya, tetapi juga berkewajiban mengupayakan perdamaian antara pihak-pihak yang berperkara.Pengadilan yang selama ini berkesan sebagai lembaga
penegakan
hukum
dan
keadilan,
tetapi
sekarang pengadilan juga menampakkan diri sebagai lembaga yang mencarikan solusi damai antara pihakpihak yang bertikai. Dimana perdamaian yang semula hanya sebagai anjuran sekarang menjadi kewajiban para pihak,
Pengadilan
mendorong
para
yang pihak
sebelumnya untuk
tidak
berdamai
aktif
sekarang 47
menjadi mediator yang bertugas aktif untuk melakukan perdamaian kepada para pihak. Dalam Perma Nomor 1 tahun 2008 Pasal 21 ayat (1) dinyatakan bahwa Para Pihak atas dasar kesepakatan mereka, dapat menempuh upaya perdamaian terhadap perkara yang sedang dalam proses banding, kasasi, atau peninjauan
kembali
atau
terhadap
perkara
yang
diperiksa pada tingkat banding, kasasi, dan peninjauan kembali sepanjang perkara itu belum diputus, hal ini menunjukkan bahwa perdamaian dapat dilakukan Para Pihak sampai dengan upaya hukum jadi seharusnya perdamaian dalam pemeriksaan tingkat pertama dapat atau
tidak
harus
dilakukan
dan
menjadi
suatu
kewajiban bagi pihak-pihak yang berperkara. A. Prinsip Kekuasaan Yudisial. Kekuasaan kehakiman
yang
kehakiman merdeka
merupakan untuk
kekuasaan
menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan (Pasal 24 48
ayat
1
Undang-Undang
Dasar
pasca
Amandemen).Kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh Mahkamah Agung RI, Badan-badan peradilan lain di bawah Mahkamah Agung (Peradilan Umum, PTUN, Peradilan Militer, Peradilan Agama) serta Mahkamah Konstitusi (Pasal 24 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945). Penyelenggaraan
kekuasaan
Kehakiman
tersebut
diserahkan kepada badan-badan peradilan (Peradilan Umum,
Peradilan
Agama,
Peradilan
Militer,
dan
Mahkamah Agung sebagai pengadilan tertinggi dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta
menyelesaikan
setiap
perkara
yang
diajukan
kepadanya). Akibat terlalaikannya proses mediasidalam penyelesaian
suatu
perkara,
maka
putusan
akan
menjadi batal demi hukum (Pasal 2 Perma No. 1 Tahun 2008). Konsekuensi pada Pasal 2 Perma No. 1 Tahun 2008, barulah dipahami sebagai landasan formildalam melakukan
tahapan
persidangan,
sehingga
setiap
perkara wajib dilakukan mediasi, sementara disisi lain intisari
atau
“tanggungjawab
rasa
keadilan
belum
dioptimalkan oleh pengadilan itu sendiri (meskipun 49
pihak pengadilan bersifat pasif). Berpegang pada Pasal 7 Perma Nomor 1 Tahun 2008 yang disebutkan bahwa: (1) Pada hari sidang yang telah ditentukan yang dihadiri kedua belah pihak, hakim mewajibkan para pihak untuk menempuh mediasi. Berdasarkan Pasal 7ayat (1) di atas, terdapat
suatu
pemahaman
bahwa
mediasi
hanya
wajibdi saat kedua belah pihak yang berperkara hadir di persidangan. Pemahaman ini muncul dengan dasar bahwa mediasi hanya logis dilaksanakan apabila kedua belah pihak berperkara hadir di persidangan.Karena hanya dalam kondisi hadirnya kedua belah pihak tersebut permufakatan dan kesepakatan perdamaian dapat
dilakukan
bahkan
tidak
disyaratkan
harus
dihadiri langsung oleh pihak prinsipal.Adapun kaitannya dengan ketentuan Pasal 2 dan Pasal 4 adalah bersifat pengkhususan. B. erma Nomor 1 tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan dikaitkan dengan hakekat Kekuasaan Yudisial. 50
Dalam menyikapi hal tersebut penulis melihat bahwa dengan dikeluarkannya Perma Nomor 1 tahun 2008 Mahkamah
Agung
hukumnya
telah
karena
telah
salah
Hakim
menerapkan
adalah
pelaksana
KekuasaanYudisial yang tugasnya adalah memeriksa, mengadili
dan
memutus
perkara
sehingga
dengan
dikeluarkannya Perma No. 1 tahun 2008 menambahkan beban tugas Hakim sebagai Ajudikasi dimana ketentuan Undang-undang menyatakan
Dasar
tahun
1945
dengan
tegas
Hakim dalam melaksanakan kekuasaan
Yudisial merdeka dalam campur tangan apapun dan Undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman Nomor 48 tahun 2009 Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) dimana dalam Perma nomor 1 tahun 2008 hakim diwajibkan menjadi mediator
dimana
hakim
dalam
semua
tingkatan
menduduki posisi sentral dalam proses peradilan yang diharapkan dapat menegakkan hukum dan keadilan dengan
menjadi
hakim
yang
baik
yang
memiliki
integritas moral dan profesional yang diharapkan dapat membuat
putusan
yang
baik
yang
mencerminkan 51
keadilan,
kepastian
hukum
dan
kemanfaatan.
Mahkamah Agung sebagai pemegang kekuasaan yudisial tertinggi
di
Indonesia
jawabnya
sebagai
telah
melepaskan
ajudikator
yang
tanggung seharusnya
menjalankan fungsi memeriksa, mengadili dan memutus perkara melalui Perma tentang Mediasi a quo.Faktor yang paling mendukung pelaksanaan mediasi yudisial di Indonesia adalah adanya dasar hukum yang kuat seperti yang diamanatkan dalam hukum acara perdata. Pasal 130 HIR dan 154 Rbg hukum acara tersebut dengan tegas
memerintahkan
hakim
untuk
mencoba
mendamaikan perkara perdata sebelum masuk proses persidangan. Sesuai dengan hierarki sumber hukum Indonesia Perma merupakan produk hukum yang kedudukannya berada dibawah konstitusi negara yaitu UUD 1945, sehingga Perma Nomor 1 tahun 2008 yang mengatur tentang mediasi dimana Hakim sebagai pelaksana ajudikator kemudian 52
perannya
ditambahkan
menjadi
Hakim
mediator adalah bentuk pelanggaran Undang-undang diatasnya. C. pakah Perma Nomor 1 tahun 2008 telah sesuai dengan hukum ? Dalam Undang-undang Kekuasaan Kehakiman Nomor 48 tahun 2009 Pasal 1 ayat (1) disebutkan Kekuasaan Kehakiman adalah Kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum
dan
keadilan
berdasarkan
Pancasila
dan
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Pada ayat (2) disebutkan Hakim adalah Hakim pada
Mahkamah
Agung
dan
Hakim
pada
Badan
Peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan Peradilan
Umum,
Lingkungan
Peradilan
Agama,
Lingkungan Peradilan Militer, Lingkungan Peradilan Tata usaha Negara dan Hakim pada Pengadilan Khusus yang berada dalam Lingkungan peradilan tersebut. Pada ayat 53
(8) disebutkan Pengadilan Khusus adalah pengadilan yang
mempunyai
kewenanangan
untuk
memeriksa,
mengadili dan memutus perkara tertentu yang hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan badan peradilan yang berada dibawah Mahkamah Agung yang diatur dengan Undang-undang. Dalam Undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman Nomor 48 tahun 2009 jelas dinyatakan bahwa pelaksana Kekuasaan Kehakiman adalah Mahkamah Agung dimana Hakim adalah pelaksana ajudikasi yang tugasnya adalah memeriksa, mengadili dan memutus perkara. Dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman dijelaskan Dalam menjalankan tugas dan fungsi Hakim dan hakim konstitusi wajib menjaga kemandirian hakim, dan ayat (2) dijelaskan Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain diluar Kekuasaan Kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, sehingga 54
Kekuasaan Kehakiman adalah Kekuasaan yang merdeka tanpa campur tangan pihak manapun dimana hakim harus menjaga kemandiriannya, dengan menjadikan hakim sebagai mediator sesuai ketentuan Perma akan dikhawatirkan terhadap
adanya
pengaruh yang
pihak-pihak
secara
psikologis
berperkara
maupun
kemandirian hakim, karena prinsip mediasi adalah netral maka harus di carikan mediator yang netral diluar kekuasaan ajudikasi. Karena dalam mediasi apabila Hakim menjadi mediator dikawatirkan akan hilang netralitasnya
jika
membahayakan menjaga
mendengar
kredibilitas
netralitasnya
pemeriksaan
perkara
hakim,
dalam
ketika
informasi harus
proses
proses
akan mampu lanjutan
mediasi
gagal
mencapai kesepakatan. Padahal dalam proses mediasi banyak sekali informasi yang diberikan oleh para pihak yang
tidak
jarang
berisikan
“senjata”
untuk
memenangkan perkara. Mungkin juga ada pihak yang membeberkan kelemahan kasusnya kepada mediator dengan harapan dapat mencapai kesepakatan yang lebih 55
menguntungkan dibanding bila harus mengikuti proses persidangan. Secara logika para pihak yang sudah mau mengikuti proses mediasi tentunya ingin mencapai kesepakatan dengan berbagai alasan, entah karena dianggap lebih menguntungkan secara waktu, biaya dan energi, menjaga hubungan baik, bisa berkesempatan menyampaikan buah pikiran secara bebas, atau sebab lainnya. Penulis berpendapat bahwa kotradiksi kedua kebijakan dalam pelaksanaan mediasi di pengadilan ini merugikan
kepentingan
para
pihak.
Bila
mediator
yudisial dilarang menjadi saksi (yang tidak menentukan hasil akhir atau putusan yang dikeluarkan karena hanya dimintai keterangan), maka sudah seharusnya mediator tersebut juga tidak boleh menjadi pemeriksa perkara yang akan menjatuhkan putusan. Hakim pemeriksa perkara bukanlah malaikat yang bisa tetap menjaga netralitas setelah mengetahui semua informasi dari proses mediasi dan pertemuan terpisah. Karena itu perlu dibuat langkah pengaman dengan melarang mereka menjadi mediator dalam kasus yang sama. Apalagi 56
kemudian PerMA Mediasi juga memberikan hak imunitas (kekebalan) kepada mediator. Namun pada kenyataanya bahwa hakim juga ikut berperan aktif sebagai Hakim Mediasi untuk menyelesaikan suatu perkara ditingkat peradilan atau LitigasiPerma Nomor 1 tahun 2008 pasal 11 ayat (6) Jika pada pengadilan yang sama tidak terdapat
hakim
bukan
pemeriksa
perkara
yang
bersertifikat, maka Hakim Pemeriksa Pokok Perkara dengan atau tanpa sertifikat yang ditunjuk oleh Ketua Majelis Hakim wajib menjalankan fungsi mediator, hal ini
sangat
bertentangan
dengan
undang-undang
kekuasaan kehakiman yang menyebutkan bahwa tugas dan fungsi hakim sebagai ajudikasi yaitu mengadili dan memutus perkara bukan sebagai mediator ditingkat Pengadilan.
Undang-undang
Kekuasaan
Kehakiman
telah menentukan secara eksplisit bahwa tugas dan fungsi pokok Hakim adalah memeriksa, mengadili dan memutus perkara. Namun dalam praktek peradilan perdata di Indonesia tugas dan fungsi Hakim tidak hanya seperti
yang
disebutkan
dalam
Undang-undang 57
Kekuasaan
Kehakiman
saja
namun
dengan
dikeluarkannya PERMA No.1 tahun 2008 tugas Hakim masih harus dibebani dengan tugas yang lain yaitu mendamaikan para pihak yang berperkara menjadi mediator
dalam
mediasi,
sehingga
dapatlah
dilihat
bahwa Undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman sangat bertentangan dengan PERMA No.1 tahun 2008 yang menjadikan Hakim sebagai seorang mediator. Jalan keluar dari persoalan ini menurut penulis, bahwa agar supaya mediasi atau perdamaian dapat lebih hidup lagi atau
berhasil
mencapai
hasil
maksimal
maka
seharusnya Hakim dibebaskan dari tugas dan fungsinya selama ini sebagai mediator untuk mendamaikan para pihak yang berperkara artinya lembaga Hakim mediator dihapuskan, dan membentuk lembaga khusus yaitu lembaga mediasi yang sifatnya ekstra yudisial yang benar-benar fokus pada soal mediasi sehingga Hakim tidak
lagi
dibebani
sebagai
mediator,
jadi
dapat
disimpulkan bahwa Undang-Undang Dasar tahun 1945 dan 58
Undang-Undang
Kekuasaan
Kehakiman
sudah
dengan tegas menyatakan bahwa Lembaga Ajudikasi mempunyai tugas untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara dimana setiap pihak yang datang ke Pengadilan akan mendapatkan putusan dari hakim namun dengan adanya Lembaga mediasi di Pengadilan dimana
para
pihak
yang
datang
ke
Pengadilan
diwajibkan untuk mediasi terlebih dahulu menjadikan lembaga Yudisial yang sebelumnya bertugas memutus perkara
kemudian
menjadi
lembaga
mediasi
telah
melanggar prinsip-prinsip hukum mengenai Kekuasaan Yudisial seperti tercantum dalam Undang-undang Dasar tahun 1945 dan Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009.
59