BAB III LATAR BELAKANG KONFLIK KEPENTINGAN DALAM PWI TAHUN 1970-1971
A. Kondisi Sosial-Politik Awal Orde Baru Terjadinya peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S) menyebabkan enam perwira tinggi dan satu perwira Angkatan Darat meninggal. Untuk mengisi kekosongan Pimpinan Angkatan Darat, maka Presiden Soekarno melantik Mayjen Soeharto sebagai Menteri/Panglima Angkatan Darat pada 16 Oktober 1965. Ketidakpuasan masyarakat terhadap Presiden Soekarno atas penanganan kasus G30S membuat tidak stabilnya kondisi pemerintahan Indonesia. Akhirnya pada 11 Maret 1966 Soekarno mengeluarkan Surat Perintah (Supersemar) kepada Jenderal Soeharto yang berisi perintah untuk atas nama Presiden/Pangti/Pemimpin Besar Revolusi untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu guna terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kestabilan pemerintahan.1 Berlandaskan pada Supersemar tersebut, Soeharto mengambil langkahlangkah yang penting dan memberi arah baru bagi pemerintahan Indonesia. Pada tanggal 12 Maret 1966 ditetapkan pembubaran dan pelarangan PKI, termasuk semua bagian-bagian organisasinya dari tingkat pusat ke daerah beserta semua organisasi yang bernaung dibawahnya. Dalam membenahi kehidupan politik, 1
Soebagijo I.N, PWI Djaya Di Arena Masa, (Jakarta: PWI Jakarta, 1998), hlm 220-223. 51
52
pemerintahan dan ekonomi serta untuk menanggulangi gangguan terhadap stabilitas jalannya pemerintahan, maka Letjen Soeharto mengambil tindakan “pengamanan” terhadap sejumlah Menteri Kabinet Dwikora dan tokoh-tokoh yang terlibat dalam G30S.2 Peristiwa ini selanjutnya digunakan rezim Orba untuk menanamkan kepada masyarakat bahwa masa Orla adalah periode yang penuh kekacauan, dan rezim Orba hadir untuk melakukan penataan dan penertiban. Masyarakat didoktrin untuk selalu bersih dari istilah PKI yang pada Orba dimaknai sebagai bahaya tersembunyi dan setan yang dapat menghancurkan diam-diam, masyarakat dapat memperoleh perlindungan terhadap bahaya PKI tersebut hanya kepada Negara. Doktrin inilah yang menguasai pemikiran masyarakat sejak lahirnya kekuasaan Orba.3 Peralihan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto berlangsung secara bertahap, proses ini dimulai sejak Oktober 1965, kemudian keluarnya Supersemar pada tahun 1966, tahun 1967 Soeharto menjadi pejabat presiden, dan akhirnya menjadi presiden pada tahun 1968 dengan TAP MPRS No. XLIV/MPRS/1968.4 Setelah Orba terbentuk sistem politik yang berkembang bergeser ke suatu situasi politik yang bertolak belakang dengan situasi politik sebelumnya, yaitu dari suatu kondisi yang cenderung ketat atau otoriter pada masa Demokrasi Terpimpin ke arah yang lebih bebas. Warisan Orla dalam wujud konflik-konflik yang meletus
2
Ibid., hlm 223-224. Yudi Latif & Idi Subandy Ibrahim (ed), Bahasa Dan Kekuasaan: Politik Wacana Di Panggung Orde Baru, (Bandung: Mizan, 1996), hlm 31-32. 4 Soebijono, et. al., Dwifungsi Abri Perkembangan dan Peranannya dalam Kehidupan Politik di Indonesia,(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1992), hlm 39. 3
53
dan krisis ekonomi yang mengiringinya telah membangkitkan suatu aliansi besar yang anggota intinya adalah Angkatan Darat, para intelektual sipil anti-komunis dan pengusaha yang berkaitan dengan negara. Bersamaan dengan runtuhnya pemerintahan Soekarno, hilanglah slogan “politik adalah panglima” dan muncul slogan baru “ekonomi adalah panglima”. Slogan tersebut memperoleh dukungan di kalangan anggota anti-komunis maupun rakyat pada umumnya, karena pasca peristiwa G30S krisis ekonomi berkali-kali dialami oleh rakyat sehingga perbaikan ekonomi merupakan hal yang sangat penting.5 Sebagai langkah untuk memajukan ekonomi Indonesia, Presiden yang baru membenahi hubungan politik luar negeri dengan mengakhiri konfrontasi dengan Malaysia dan menjalin hubungan kembali dengan negara-negara Barat. Kapitalis internasional memiliki peranan yang sangat besar dalam memperbaiki perekonomian Indonesia pada awal Orba, bantuan atau hutang luar negeri dan investasi modal-modal asing berhasil diperoleh oleh pemerintah yang akhirnya dapat membantu negara dalam mengatasi krisis ekonomi dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.6 Kemampuan komitmen pimpinan baru pada pemecahan masalah-masalah ekonomi makin diperkuat ketika pemerintah memberikan kesempatan kepada kelompok-kelompok intelektual untuk
menyebarkan
pendapat-pendapat mereka tentang bagaimana memodernisasikan ekonomi dan politik Indonesia. Pemerintah memberi kesempatan dan mensponsori seminar
5
Mochtar Mas’oed, Ekonomi dan Struktur Politik: Orde Baru 1966-1971, (Jakarta: LP3ES, 1989), hlm 62. 6 Akhmad Zaini Abrar, 1966-1974 Kisah Pers Indonesia,(Yogyakarta: LkiS, 1995), hlm 41.
54
tentang ekonomi Indonesia digelar oleh para mahasiswa yang tergabung dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). Kemudian AD juga mengadakan seminar yang sebagian besar tidak mendiskusikan tentang masalah militer, melainkan mendukung kebijakan ekonomi dan politik yang diterapkan oleh pemerintahan Orba.
7
Keberhasilan pemerintah dalam mengatasi krisis dan
menumbuhkan kembali ekonomi Indonesia pada awal Orba telah memberikan legitimasi politik maupun ekonomi terhadap Presiden Soeharto. Kebijakan ekonomi pemerintah yang “berorientasi ke luar” pada tahap selanjutnya justru menimbulkan kekacauan baru bagi perekonomian Indonesia. Kebijakan ini mengharuskan adanya berbagai penyesuaian
yang tidak
menguntungkan rakyat. Program stabilisasi yang drastis, yaitu APBN berimbang, kredit ketat, penyesuaian harga, dan lain-lain mengakibatkan kenaikan harga yang luar biasa pada hampir setiap barang dan jasa serta menimbulkan kemacetan sektor-sektor produktif selama periode 1967-1969. Maraknya penggunaan barangbarang impor membuat tersingkirnya barang-barang hasil dalam negeri yang kemudian menyebabkan kebangkrutan dalam bisnis pribumi, dan akhirnya menimbulkan masalah baru yaitu pengangguran. Hal ini memunculkan ketidakpuasan dalam masyarakat khususnya pemuda dan para politisi antikomunis. Ketidakpuasan itu berkembang menjadi demonstrasi-demonstrasi terbuka menentang program pemerintah yang terjadi pada akhir 1967 sampai 1968.8
7 8
Mochtar Mas’oed, op. cit., hlm 63-64. Ibid., hlm 199-200.
55
Tuntutan dan kritik masyarakat terhadap negara tidak membawa perubahan yang signifikan, seperti yang diungkapkan oleh Akhmad Zaini Abrar bahwa dalam menghadapi tuntutan rakyat pemerintah hanya menciptakan realitas simbolik melalui retorika pejabat negara atau keputusan politik di atas kertas dan bukan realitas politik yaitu suatu realitas kehidupan nyata yang dapat dirasakan dan dinikmati seluruh masyarakat. Posisi negara yang sangat kuat dan dominan menjadi salah satu penyebabnya. Dominasi negara dalam mengendalikan politik Indonesia dapat dilihat jelas dalam pengambilan keputusan politik, negara menjadi sentral otoritas dan kekuasaan untuk menciptakan keputusan-keputusan politik, sementara peran masyarakat tidak menentukan dan bahkan tidak dibutuhkan. Kuatnya negara juga dapat dilihat dari kemampuannya dalam merestrukturisasi masyarakat sesuai dengan kepentingan politik dan ekonominya, seperti “menata” partai-partai politik, DPR, organisasi massa, lembaga hukum, dan lain-lain.9
Gambar 2 Karikatur dalam sebuah suratkabar yang menggambarkan pemecah belahan organisasi masyarakat pada masa Orde Baru. Sumber: Sinar Harapan, 21 Oktober 1970. 9
Akhmad Zaini Abrar, op. cit., hlm 210-212.
56
Program “menata” organisasi massa ini dilakukan dalam rangka pembinaan politik pemerintah yang bertujuan untuk menciptakan stabilitas politik. Rekayasa politik kerap dilakukan oleh pemerintah untuk mencapai tujuan tersebut, tugas rekayasa politik yang dikenal sebagai penggalangan atau rekayasa dari atas ini dibebankan kepada Ali Murtopo sebagai Kepala Operasi Khusus (Opsus). Opsus merupakan Operasi Intelijen yang pada awalnya didirikan oleh Presiden Soeharto untuk melaksanakan proses rekonsiliasi antara Indonesia-Malaysia pada awal Orba. Namun seiring dengan perkembangannya nama Opsus ini melembaga dan menjadi cap bagi segala kegiatan operasi intelijen, tidak saja di bidang militer tetapi juga di bidang politik dalam dan luar negeri. Opsus bermanfaat dalam memperkuat Sekber Golkar dalam rangka memenangkan pemilu 1971. Pelaksanaan operasi biasanya dengan jalan intervensi ke dalam rapat-rapat atau musyawarah partai untuk kemudian “memanipulasi” konvensi-konvensi yang telah ada untuk menciptakan krisis kepemimpinan sehingga pada akhirnya pemerintah memiliki kesempatan untuk mendorong kepemimpinan yang dianggap dapat bekerjasama dengan pemerintah.10 Kemampuan pemerintah dalam menata organisasi sosial politik masyarakat dapat dilihat dalam intervensi yang dilakukan terhadap PNI, IPKI, Parmusi, Persahi, IDI, serta PWI. Intervensi Opsus pada PNI dilakukan dengan berhasil terpilihnya Hadisubeno dan menyingkirkan Hardi yang dikenal sebagai pengecam peranan Dwifungsi ABRI. Lalu disusul dengan rekayasa terhadap
10
Heru Cahyono, Pangkopkamtib Jenderal Soemitro Dan Peristiwa 15 Januari’74, (Jakarta: Sinar Harapan, 1998), hlm 44-45.
57
partai kecil IPKI pada bulan Mei 1970 sehingga kongres tahunannya menghasilkan pimpinan yang pro-pemerintah. Masyarakat merasa jika setiap kali pemerintah hadir dalam suatu Kongres, maka akan tinbul perpecahan dalam golongan tersebut. Diharapkan agar pemerintah segera meninggalkan politik Divide et impera terhadap organisasi-organisasi massa yang terdapat dalam masyarakat.11
B. Kehidupan Pers Indonesia Pada Awal Orde Baru Pelantikan Soeharto dilakukan tanggal 12 Maret 1967, kemudian pemerintahan baru mencanangkan program pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Berpindahnya tampuk kekuassan ke tangan Soeharto membawa perubahan dalam banyak hal. Pembaruan dilaksanakan di berbagai bidang, termasuk penyederhanaan organisasi-organisasi politik serta penetapan Pancasila sebagai satu-satunya asas pembangunan hukum dan perundangundangan, penetapan asas ini salah satunya diterapkan pada pers Indonesia. Pada masa Orba, pers lebih dikenal dengan sebutan pers Pancasila, karena pada masa tersebut pers yang terbit kembali maupun pers yang baru saja lahir menganut falsafah Pancasila. Peletakan dasar-dasar pers Pancasila dan pelaksanaannya diatur dalam Undang-Undang no 11 tahun 1966, yang ditetapkan sebagai Ketentuan-ketentuan Pokok Pers.12
11
Ibid. Aditia Muara Pradiatra, Korupsi Dalam Tajuk Rencana: Analisis Sikap Harian Pedoman Awal Orde Baru 1969-1974, (Skripsi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2012), hlm 13. 12
58
Undang-undang No.11 tahun 1966 diundangkan di Jakarta tanggal 12 Desember 1966 oleh Sekretaris Negara Moch Ichsan. Penyusunan tentang ketentuan-ketentuan pokok pers ini didasarkan pada kenyataan sejarah bahwa pers nasional merupakan salah satu pencerminan dari kehidupan dan kegiatan bangsa dalam perkembangan masyarakat Indonesia serta merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perjuangan bangsa. Adanya ketentuan-ketentuan pokok pers ini diharapkan agar pers dapat menjalankan fungsinya dengan sebaik-baiknya. Undang-undang ini
menjamin kebebasan
pers
dalam
menyatakan dan
menegakkan kebenaran serta keadilan yang berhubungan erat dengan keharusan adanya pertanggungjawaban kepada Tuhan Yang Maha Esa, sehingga sensor pers dan pembreidelan terhadap pers tidak boleh dilakukan.13 Kewajiban pers nasional juga diatur dalam Undang-undang No.11 tahun 1966, dalam Pasal 2 tertulis pers nasional merupakan alat revolusi dan sebagai mass media yang bersifat aktif, dinamis, kreatif, edukatif, informatoris serta mempunyai fungsi kemasyarakatan pendorong dan pemupuk daya pikiran kritis, progresif meliputi segala kehidupan dan penghidupan masyarakat Indonesia. Pers nasional berkewajiban untuk mempertahankan, membela, mendukung Pancasila secara murni dan konsekuen, memperjuangkan pelaksanaan Amanat Penderitaan Rakyat yang berdasarkan Demokrasi Pancasila, memperjuangkan kebenaran dan keadilan atas dasar kebebasan pers, membina persatuan dan kekuatan-kekuatan progresif revolusioner dalam perjuangan menentang imperialisme serta menjadi
13
Djoko Prakoso, Perkembangan Delik Pers Di Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1988), hlm 4-5.
59
penyalur pendapat umum yang kontruktif dan progressif revolusioner. Semua penerbitan pers diharuskan untuk mematuhi dan melaksanakan ketentuanketentuan yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang tersebut.14 Pada awal berdinya rezim Orde Baru, hubungan pers dan pemerintahan berjalan sangat baik, periode ini sering disebut sebagai masa bulan madu antara pemerintah dengan pers. Hal ini karena pemerintah menganggap bahwa kekuatan pers sangat diperlukan dalam menyebarluaskan informasi pembangunaan dari pemerintah ke masyarakat maupun menyampaikan aspirasi masyarakat ke pemerintah. Pada UU Pokok Pers 1966 pasal 4 dijelaskan bahwa terhadap pers nasional tidak ada sensor dan pembredelan. Juga pada pasal 8 terdapat penegasan bahwa setiap warga negara mempunyai hak penerbitan pers yang bersifat kolektif sesuai dengan hakekat Demokrasi Pancasila. Pada pasal 12 tertulis, pemerintah memberikan bantuan berupa fasilitas-fasilitas untuk terjaminnya kehidupan dan kebebasan pers.15 Selain sebagai penyalur informasi, pers digunakan pemerintah yang baru sebagai sarana untuk memerangi komunis. Pada awal kebangkitan Orba, sikap dan perlakuan pemerintah terhadap pers berubah, terutama pers anti-komunis. Penguasa memandang dan memperlakukan pers non-komunis sebagai partnernya untuk memerangi PKI dan simpatisan-simpatisannya. Pemberitaan yang mengeksploitasi segala kekejaman dan kebrutalan PKI terhadap lawan-lawan politiknya sangat efektif untuk meningkatkan kebencian terhadap PKI. Dari
14 15
Ibid., hlm 7-8. Aditia Muara Pradiatra, op. cit., hlm 14.
60
pemberitaan-pemberitaan tersebut AD merasa mendapatkan rekan seperjuangan yang mempunyai pengaruh besar dalam menciptakan opini publik dan politik, yakni pers, untuk memobilisasi massa anti-komunis untuk menghancurkan PKI.16 1.
Pers Nasional Memerangi Pers PKI dan Pers Golongan Kiri Pada masa pemerintahan sebelumnya, yakni Demokrasi Terpimpin, pers
Indonesia mengalami polarisasi sesuai dengan kepentingan politiknya masingmasing. Tanggal 26 Maret 1965, Mayjen Achmadi selaku Menteri Penerangan mengeluarkan Keputusan Menteri Penerangan No.29/SK/M65 mengenai Normanorma Pokok Pers Dalam Rangka Pembinaan Pers Indonesia. Keputusan tersebut mewajibkan media massa untuk berafiliasi dengan partai politik atau organisasi massa yang diakui oleh pemerintah. Berdasar ketentuan terseb59ut, gambaran media massa yang terbit pada masa akhir Demokrasi terpimpin adalah sebagai berikut:17 a. Suluh Indonesia, harian milik PNI dengan 8 Afiliasi b. Harian Rakjat, harian milik PKI dengan 14 afiliasi. c. Duta Masyarakat, harian milik NU dengan 7 afiliasi. d. Banteng Rakjat dan Bintang Timur, harian milik Partinda dengan 5 afiliasi. e. Api Pantjasila, harian milik IPKI dengan 3 afiliasi. f. Nusa Putera, harian milik PSII dengan 4 afiliasi. 16
Akhmad Zaini Abrar, op.cit., hlm 65-67. Yohanes Koko Anton Wibowo, Media Propaganda: Posisi Pers Indonesia Dalam Peristiwa 1965, (Skripsi Fakultas Sastra Dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret, 2004), hlm 137-138. 17
61
g. Sinar Bhakti dan Kompas, harian milik Partai Katolik dengan 4 afiliasi. h. Sinar Harapan, harian yang berafiliasi dengan Parkindo. Selain media massa yang berafiliasi dengan partai politik tersebut, AD menerbitkan suratkabar yang baru terbit setelah BPS dibubarkan, yaitu Berita Yudha dan Angkatan Bersendjata. Berita Yudha lahir dibawah kontrol Kepala Pusat Penerangan AD, sedangkan Angkatan Bersendjata berada dibawah kontrol Kepala Penerangan Staf ABRI, Mayor Jenderal Sugandhi. Kedua suratkabar ini diterbitkan sebagai reaksi dan tindakan politik AD atas dilarangnya sebagian besar pers BPS. Dibubarkannya BPS membuat pers komunis dapat dengan bebas dan leluasa untuk menyebarkan ideologinya. Untuk membendung laju informasi pers komunis itulah, maka AD mengeluarkan harian-harian tersebut.18 Dominasi pers komunis yang sangat kuat pada Demokrasi Terpimpin mengalami perubahan yang sangat besar setelah terjadinya peristiwa G30S. Seluruh pers komunis dan simpatisannya dilarang terbit oleh penguasa militer, terdapat 46 buah suratkabar yang dilarang terbit. Hal ini dilakukan karena PKI dituduh terlibat dan mendukung peristiwa G30S. Berbagai suratkabar yang berafiliasi pada PKI dibreidel secara permanen pada tanggal 1 Oktober 1965. Untuk melihat suratkabar yang dibreidel dapat dilihat pada tabel 1.
18
Akhmad Zaini Abrar, op.cit., hlm 53-54.
62
Kota Jakarta
Tabel. 1 Suratkabar Yang Dibreidel Pasca G30S Suratkabar Harian Rakjat, Kebudayaan Baru, Bintang Timur, Warta Bhakti, Ekonomi Nasional, Gelora Indonesia, Ibu Kota, Huo Chi Pao, Chung Cheng Pao, Suluh Indonesia, Bintang Minggu, dan Berita Minggu.
Bandung
Warta Bandung.
Semarang
Gema Massa.
Yogyakarta
Waspada.
Surabaya
Jalan Rakjat, Jawa Timur, Trompet Masyarakat, Indonesia, dan Generasi.
Palembang
Pikiran Rakjat dan Trikora.
Padang
Suara Persatuan.
Pekanbaru
Sinar Massa dan Berita Revolusi.
Medan
Harian
Harapan,
Gotong
Royong,
Bendera
Revolusi,
Pembangunan, Patriot, Angin Timur, Tavip dan Bintang Rakyat. Sumber: Yohanes Koko Anton Wibowo, “Media Propaganda: Posisi Pers Indonesia Dalam Peristiwa 1965”, Skripsi, 2004, hlm 185.
Pelarangan terbit terhadap suratkabar komunis tersebut berdasar pada Istruksi Menteri Penerangan RI No. 12/Instr/M/65 yang berisi larangan terbit bagi suratkabar baik harian maupun berkala yang dalam pemberitaannya mendukung G30S. Sementara itu delapan suratkabar yang dipercaya mendukung garis politik AD diijinkan terbit kembali, yaitu Kompas, Sinar Harapan, Indonesian Herald,
63
Duta Masyarakat, Fikiran Rakyat, dan lain-lain.
19
Momen ini dijadikan
momentum bagi pihak militer dan pers anti-komunis untuk menjatuhkan PKI beserta simpatisan-simpatisannya. Pasca peristiwa G30S, militer berhasil menguasai dan mengontrol media massa dan pers nasional. Pers militer mendominasi arus opini publik dan politik dmelalui
pemberitaannya
yang
memojokkan
PKI
dan
ajakan
untuk
menghancurkan komunis. Pers lainnya yang terbit kembali juga tidak terlepas dari pengaruh militer, mereka bekerjasama melakukan konspirasi untuk mengganyang PKI. Namun pers yang terbit kembali harus meminta izin khusus kepada penguasa militer agar dapat melanjutkan penerbitannya, karena penguasa perang mengeluarkan aturan yang mewajibkan pemberitaan pers, baik yang berhubungan dengan aktivitas militer maupun aktivitas politik harus sesuai dengan versi penguasa militer.20 Menguatnya posisi militer pasca peristiwa G30S membuat mereka dapat mengendalikan berlangsungnya pers nasional. Pada tanggal 7 Oktober 1965, Kapuspen TNI-AD Brigjen Ibnu Subroto melalui harian Berita Yudha mengumumkan dan mengundang beberapa pemimpin redaksi untuk diberikan pengarahan atau koordinasi dalam rangka memihak garis politik AD dalam rangka menyikapi peristiwa G30S. Terlihat begitu besarnya pengaruh AD dalam mengendalikan pers nasional, karena koordinasi atau pengarahan dalam bidang pers seharusnya dilakukan oleh Departemen Penerangan atau PWI sebagai induk
19 20
Yohanes Koko Anton Wibowo, op. cit., hlm 185. Akhmad Zaini Abrar, op. cit., hlm 55.
64
organisasi wartawan dan media di Indonesia. Tidak hanya media massa yang mengalami pengontrolan, Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) Antara sebagai kantor berita resmi juga dikuasai oleh pihak AD. Dengan hanya menggunakan sebuah surat legalisasi berupa Keputusan Perperda No. KEP04/1965 diambil alih tanpa adanya persetujuan dari Presiden Soekarno.21 Pengaruh pers militer yang dominan dalam peta ideologi pers Indonesia mencerminkan menguatnya pengaruh dan kekuatan politik militer. Yohanes Koko Anton Wibowo dalam skripsinya menggambarkan bagaimana pengaruh pers militer begitu kuat sebagai alat propaganda dalam menghancurkan PKI. Perang propaganda yang dilakukan pers militer pada masa itu merupakan kunci sukses militer dalam menyingkirkan lawan politiknya, karena dengan propaganda tersebut jelas sekali telah merubah kepercayaan publik sehingga dapat membangun sentimen publik dan mengarahkan opini publik untuk memihak kepada militer sehingga dapat dijadikan sebagai justifikasi militer untuk bergerak menghancurkan PKI. 22 Kesamaan tujuan yang dimiliki
pers dan AD dengan sendirinya
membuat keduanya berada dalam hubungan partnership, bukan karena persamaan ideologi dan kepentingan politik diantaranya keduanya melainkan lebih disebabkan oleh kebencian terhadap PKI. Pers memberikan sambutan yang positif bagi gerakan politik AD dan menaruh kepercayaan dan simpati yang besar kepada militer yang dianggap membela rakyat serta sebagai kekuatan yang dapat
21 22
Yohanes Koko Anton Wibowo, op. cit., hlm 187-188. Ibid., hlm 207.
65
mengatasi krisis politik. Hal ini dapat dilihat dari julukan-julukan positif pers untuk mereka. Ahmad Zaini Abrar dalam bukunya mengutip hasil penelitian Agassi menyebutkan bahwa berbagai media memberikannya julukannya masingmasing kepada AD, julukan-julukan tersebut adalah:23 a. Kompas memberikan julukan pada militer sebagai sang juru selamat. b. Kami memberikan julukan pada militer sebagai stabilisator dan unsur dinamis masyarakat Indonesia yang pluralis. c. Suluh Marhaen memberikan julukan kepada militer sebagai pelindung Pancasila dan pelaksana setia amanat rakyat. d. Duta Masyarakat memberikan julukan kepada militer sebagai pendukung utama Orba. e. Mimbar Umum memberikan julukan kepada militer sebagai alat negara dan kekuatan sosial-politik. f. Kedaulatan rakyat memberikan julukan kepada militer sebagai benteng anti-komunis, pengawal utama keamanan dan sebagai kekuatan politik g. Surabaya Post mengatakan militer sebagai simbol prestise nasional. h. Warta Harian mengatakan militer sebagai motor penggerak untuk kemakmuran ekonomi.
23
Akhmad Zaini Abrar, op. cit., hlm 67.
66
2.
Kebebasan Pers dan Kritik-Kritik Tajam Terhadap Pemerintah Setelah suratkabar-suratkabar lama yang dibreidel terbit kembali,
kemudian ditambah dengan terbitnya suratkabar baru yang mayoritas dikelola oleh mahasiswa dan intelektual kampus, maka dominasi pers militer dalam penciptaan opini publik mulai berkurang. Sejak pertengahan 1966 pers indonesia mulai seimbang, tidak ada pers atau kelompok pers yang mendominasi pemberitaan dan menciptakan opini publik serta politik. Pers nasional pada pertengahan 1966 terdiri dari pers militer (Angkatan Bersendjata, Berita Yudha, Ampera, Api Pancasila, Pelopor Baru dan Warta Harian), pers nasionalis (Suluh Marhaen dan El-Bahar), pers kelompok intelektual (Kami, Nusantara, Indonesia Raya, Pedoman), pers kelompok Muslim (Duta Masyarakat, Angkatan Baru, Suara Islam dan Mercu Suar), pers kelompok Kristen (Kompas dan Sinar Harapan), dan pers kelompok independen (Merdeka, Jakarta Times dan Revolusioner). 24 Beragamnya jenis pers yang muncul pada masa Orde baru merupakan salah satu gambaran bahwa pada masa ini pers mendapatkan kembali kebebasannya. Tahun 1966 sampai tahun 1969 pemerintah memberikan kebebasan yang sangat besar terhadap pers. Tahun-tahun pertama Orde Baru membawa harapan bagi
orientasi
media
massa
dalam
membela
kepentingan
rakyat
dan
memperjuangkan keadilan serta tegaknya hukum dan asasi manusia. Pada hakekatnya, kebebasan pers adalah kebebasan untuk menyiarkan tanpa rasa takut ataupun khawatir sedikitpun mengenai berita apa saja yang menurut penilaian dari 24
Ibid., hlm 56-58.
67
wartawan dan redaksi pengasuhnya perlu atau penting untuk diketahui masyarakat. Ditambah lagi dengan adanya landasan hukum yang cukup jelas terhadap kebebasan pers maka pers nasional mendapatkan angin segar dan perkembangan yang cukup signifikan.25 Mengenai kebebasan pers ini tertuang dalam UU No.11 tahun 1966, pasal 3 yang meyebutkan bahwa pers mempunyai hak kontrol, kritik dan korektif yang bersifat konstruktif, dalam pasal 4 ditegaskan bahwa pers nasional tidak akan dikenakan sensor dan pembreidelan, dan pasal 5 menjabarkan mengenai kebebasan pers sesuai dengan hak asasi warga negara Indonesia.26 Pers bebas mulai melakukan kritik-kritik tajam terhadap berbagai kebijakan yang dijalankan oleh pemerintah serta mengangkat suara-suara yang ada dalam masyarakat. Pada tahun 1970 pers mengedepankan pemberitaannya mengenai peningkatan keprihatinan masyarakat atas berbagai masalah sosial, ekonomi dan politik. Misalnya tuntutan mengenai harga-harga yang makin melambung dan pembaharuan struktur politik lama. Selanjutnya pers juga memusatkan perhatiannya pada perlakuan pemerintah yang melancarkan politik devide et empera nya kepada organisasi massa. Intervensi yang dilakukan pemerintah pada urusan intern berbagai organisasi sosial-politik masyarakat santer diberitakan di berbagai suratkabar baik di ibukota maupun daerah-daerah.27
25
Aditia Muara Pradiatra, op. cit., hlm 18. J.C.T. Simorangkir, Pers, SIUPP, dan Wartawan, (Jakarta: Gunung Agung, 1986), hlm 37-38. 27 Akhmad Zaini Abrar, op. cit., hlm 113-122. 26
68
3. Munculnya Tindakan Anti-Pers dari Pemerintah Semakin kerasnya kritik-kritik tajam yang diluncurkan pers terhadap pemerintah mengakibatkan berubahnya sikap penguasa terhadap pers, ditandai dengan dimulainya tindakan-tindakan anti-pers yang dilakukan oleh penguasa. Bagi penguasa rezim Orba kritik-kritik tajam yang dilakukan pers terhadap pemerintah dapat mengganggu stabilitas politik nasional, sehingga suara-suara pers yang berbeda dengan pendapat pemerintah harus dihilangkan. Tekanantekanan terhadap pers dilakukan dan selalu dibenarkan dengan alasan untuk menjaga kesatuan nasional dan stabilitas politik.28 Perubahan sikap pemerintah terhadap pers disebabkan karena kekuasaan Orba yang semakin bertambah kuat dan besar, serta tidak adanya lagi penghalang atau lawan politik AD untuk meratakan kekuasaannya. Selain itu sejak tahun 1967 sikap pers semakin kritis terhadap kekuasaan Orba membuat penguasa berhatihati terhadap pers. Pemerintah mulai menunjukkan sikapnya yang anti-pers, walaupun pada awalnya mereka cenderung lebih menahan diri untuk melakukan tindakan-tindakan yang keras terhadap pers. Perubahan ini terjadi pada tahun 1969, ketika penguasa tidak lagi menganggap pers sebagai partner dan sebagai bagian dari koalisi kekuasaan Orba. Namun tindakan anti-pers yang dilakukan
28
Haris Firdaus, Konstruksi Kompas Dalam Dua Blog: Analisis Wacana Kritis tentang Konstruksi Harian Umum Kompas dalam Blog Kompas Inside dan Inside Kompas, (Skripsi Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret, 2009), hlm 488.
69
masih terbilang wajar, penyelesaian kasus pers yang melakukan pelanggaran diselesaikan lewat jalur hukum atau pengadilan bukan dengan pembreidelan.29 Sikap menahan diri penguasa terhadap pers menurut Akhmad Zaini Abrar disebabkan oleh tiga alasan. Alasan pertama, masih dibutuhkannya pers untuk melegitimasi etis dan politis rezim Orba untuk mengidentifikasi dirinya sebagai penguasa yang demokratis sesuai dengan amanat yang diemban, yaitu melaksanakan dasar negara Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen sehingga dapat membedakan dirinya dengan penguasa atau rejim yang sebelumnya. Alasan kedua, kesadaran bahwa belum adanya konsolidasi yang kuat di tubuh militer yang menjadi penyokong jalannya Orba, realitas politik yang belum stabil dan maraknya “demam demokratisasi” dalam masyarakat membuat kekuatan-kekuatan politik negara belum siap untuk berhadapan dengan kekuatan masyarakat tersebut, sehingga militer atau penguasa menghindari tindakantindakan yang anti-demokrasi seperti pembreidelan terhadap pers. Alasan ketiga, persepsi penguasa mengenai kritik-kritik tajam dari pers masih dapat ditolerir dan juga dipandang cukup bermanfaat untuk memperbaiki diri sesuai dengan harapan masyarakat.30 Langkah yang dilakukan untuk menekan kebebasan pers dengan mengeluarkan Peraturan Menteri Penerangan No.03/1969 yang menjelaskan mengenai masalah SIT. Pada Bab IV pasal 11,12 dan 13 diterangkan bahwa kepada penerbitan yang telah enam bulan berturut-turut tidak terbit, setelah tiga
29 30
Akhmad Zaini Abrar, op. cit., hlm 68-69. Akhmad Zaini Abrar, op. cit., hlm 70.
70
bulan dari tanggal SIT yang telah diserahkan pada yang bersangkutan tidak dipergunakan atau belum menerbitkan maka SIT dikenakan pembatalan. Adanya pembaruan peraturan mengenai SIT ini sangat bertolak belakang dengan kebebasan pers yang sebelumnya telah dijamin dalam Undang-undang No. 11 tahun 1966. Namun Menpen menegaskan bahwa SIT terpaksa diadakan berhubung dengan banyaknya berita yang mengandung unsur pornografi. 31 Menyikapi kasus pornografi yang meluas di kalangan pemberitaan pers PWI Pusat bersama dengan PWI Jaya dan SPS mengeluarkan pernyataan bersama yang memperingatkan anggota organisasi-organisasi itu untuk mencegah praktekpraktek pemberitaan pornografis. Pernyataan tersebut dikeluarkan tanggal 17 April 1969 yang berisi: a. Pembinaan terhadap pers nasional pada dasarnya merupakan kewajiban organisasi PWI dan SPS bersama-sama Pemerintah. b. PWI dan SPS akan melakukan tugas pembinaan itu dengan jalan melakukan tuntutan menurut ketentuan-ketentuan organisasi. Tugas tersebut akan berhasil dengan baik apabila Pemerintah sendiri melakukan tugas dan pelaksanaan pembinaannya secara aktif pula. c. Khusus mengenai pornografi, usaha mencegah pers yang mengandung unsur porno harus dilakukan dengan
jalan pembinaan dan
mengefektifkan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku dalam masa
31
Soebagijo I.N., Sejarah Pers Indonesia, (Jakarta: Dewan Pers, 1977), hlm 159-160.
71
transisi seperti kewajiban-kewajiban memikul tanggungjawab dalam memperoleh SIT. d. Bilamana usaha pembinaan tersebut tidak ditaati, kedua organisasi akan melakukan tindakan-tindakan disiplin organisasi, misalnya skorsing atau penarikan dukungan terhadap rekomendasi SIT. e. Penarikan dukungan terhadap rekomendasi SIT dari PWI dan SPS dengan
sendirinya
membebankan
kewajiban
bagi
Pemerintah
(Departemen Penerangan) untuk mencabut SIT. f. Kedua organisasi tidak sependapat jika tindakan pencabutan SIT dilakukan berdasarkan penilaian tanpa berkonsultasi dahulu dengan PWI dan SPS. 32 Menpen Budiarjo juga menegaskan bahwa pemerintah tidak akan melakukan pembreidelan terhadap pers. Menurutnya pembreidelan yang dilakukan pers tidak ada manfaatnya, karena kehidupan pers sangat erat kaitannya dengan nasib para wartawan. Mengenai kasus pornografi yang sering dimuat dalam suratkabar, pemerintah telah mengeluarkan peringatan dan pemanggilan terhadap
pimpinan
penerbitan
yang
bersangkutan.
Namun
mengingat
kesejahteraan wartawan yang sangat berkaitan dengan hidup matinya suratkabar maka untuk membreidel suatu suratkabar pemerintah masih menggunakan tepo seliro.33
32 33
Ibid., hlm 169 Kompas, 15 Februari 1971.
72
C. PWI Dalam Pemerintahan Orde Baru 1.
Pemecatan Anggota PWI Pasca G30S Pada peralihan sistem pemerintahan dari Demokrasi Terpimpin ke Orba,
PWI berada dibawah kepemimpinan Karim D.P yang merupakan salah satu wartawan golongan kiri. Kepengurusan ini merupakan masa kepengurusan terakhir bagi para wartawan kiri yang kemudian pasca peristiwa G30S berganti kepengurusan baru yang disponsori pihak AD. Sehubungan terjadinya peristiwa G30S, PWI mengeluarkan perintah pemecatan terhadap anggota yang diduga terlibat peristiwa G30S, ini berarti pemecatan terhadap seluruh wartawan kelompok kiri. Perintah harian PWI dengan No.14/PP/1965 ini dikeluarkan pada tanggal 12 Oktober 1965 yang ditandatangani oleh Mahbub Djunaidi dan Satya Graha. Isi dari perintah Harian PWI tersebut adalah sebagai berikut:34 a. Sambil menantikan Kongres PWI ke-XII yang akan datang, memecat untuk sementara dari kedudukan dan keanggotaan PWI mereka yang suratkabar,
majalahnya
diberhentikan
penerbitannya
akibat
pemberitaan, tajuk atau pojoknya yang bernada mendukung gerakan kontra-revolusioner Gestapu. b. Menginstruksikan agar untuk tetap menjaga jalannya organisasi akibat terjadinya pemecatan sementara anggota yang mempunyai jabatan sebagai
anggota
Pengurus
Cabang
Perwakilannya
hendaknya
pengisian lowongan jabatan dilakukan dengan musyawarah mufakat.
34
Yohanes Koko Anton Wibowo, op. cit., hlm 191.
73
c. Menginstruksikan kepada segenap anggota PWI untuk melaksanakan dengan baik amanat PYM Presiden Soekarno dalam rangka menciptakan suasana tenang dan tertib untuk penyelesaian politik akibat Gerakan Kontra-revolusioner yang menamakan dirinya Gestapu serta membantu alat-alat negara memulihkan keamanan. Akibat dari dikeluarkannya Perintah Harian PWI tersebut, maka wartawan-wartawan dari berbagai suratkabar beraliran kiri mengalami pemecatan. Misalnya dari Harian Rakjat, Kebudajaan Baru, Bintang Timur, Warta Bhakti, Gelora Indonesia dan Ekonomi Nasional. Pada tanggal 26 dan 27 Oktober terjadi pemecatan pada seluruh cabang PWI di Indonesia, di Jakarta terjadi pemecatan sebanyak 44 wartawan. PWI Surabaya memecat 36 wartawan, sedangkan di Medan memecat 29 wartawan. Untuk melihat nama-nama wartawan yang dipecat oleh PWI lihat tabel 2. Tabel. 2 Wartawan Suratkabar Golongan Kiri Di Jakarta yang Dipecat PWI Suratkabar Harian
Rakjat
Kebudajaan Baru
Nama Wartawan dan Nyoto, M. Naibaho, Macfud, Zain Nasution, J.H.M Samosir, Sjamsudin, Amarzam Ismais Hamid, Liliek Margono, Baroto, Zazamir Hamzah, Nurzaman, Wahjudi, Samtlar, Erma, Moedjalih, Aris Pranowo, Tantiwang Boen, Hardjito, Dwijono, Agam Wispi, Bambang Sukowati Dwantoro, Banda Harahap, Nurlan, Amir
74
Djaja, Pardede Simon, Isman Muljadi, Salim, Machmud Jusmanoor, Dahono, Sukiman, Sutopo, Hurbakti, Udjang Rana, Juliarsi, Mula Naibaho, Surjono, Sunarjo, Kasimah Widjaja, Lim Swie Tang, Malon Tampubolon, Sunardjo, A. Kohar Ibrahim, Sutikno WS, Toga Tambunan. Warta Bhakti
A. Karim D.P., Sadeli Setiawan, Suwardja, Sjafei Saleh, Amir Alwi, Ang Hong To, Amaran Bakar, Drs. Sujono, Djanadi, Bujung Sjahri, Djampok Lampung, Zaidin Wahab, Naniek Soemarni R., Fachruddin Rambe, Zaclulisljas, M. Zain Hamid, Prof. Dr. Oei Hong Peng, Tan Hwie Kiat, Ng Tot Kie Oen, Tio Keng Hok, Ng Poen Kie, Tjla Pen Hwa, Januar Arief, Djoni Hendra S, Nj. Lies Said, Lie Eng Soo, Wong A Slang, Tan Noo Pow, Lie Boen Hui, Ong Welly, Pang So Jai, Law Siong Kim, Oey Sam Hway, Oey Hok Tjin, M. Sjarief Saleh, Tan Djoek Paw, Lia Boen Hoew, Djamil Werjo Sudarno.
Bintang Timur
Hasjim Rachman, A.A. Harahap, Tom Anwar, Josef Semaun, Anwary Z, Yoni R.H. Mulijakusuma, Eka Rahendra, R.R Sudarsih, Sri Noerasih, Herry Dwie Teti, M. Rais Rajab, Rasjid Al, Le Siong Djien, Achmad Terbina, Idris S.H, Thammrie Tahar, Idries H.S., H. Azhari, Lie Siong Seng, Boer Haswir D, Mahalan Haibaho, Soehanda Atmanegara.
75
Ekonomi Nasional
A. Umar Said, S. Sutadiredja, Christ Hutabarat, Mardjono, Kustar H. Djajaatmadja, Adil Nan Arif, Nj Sri Soekatno, So Siek Hoe, Eko Sunarijusni, Rahaju, Tono Hurin Manung, Lukimin, Thamrin Tobing.
Ibu Kota
Chikmatin, Liung Lioeng Koen, Mosoe Sen, Tjie Kong Hoe, Ten Kui Fong.
Gelora Indonesia
Hari Judhi, Hanif Ginting, R. Harie Soeharto, Ruslan, J.A. Bachtiar Riwi.
LKBN Antara
Djawoto, Soepeno, Soeroto, Walujo, F.Palenewan, Kadir Said.
Sumber: Yohanes Koko Anton Wibowo, “Media Propaganda: Posisi Pers Indonesia Dalam Peristiwa 1965”, Skripsi, 2004, hlm 191-194.
Dua minggu setelah dikeluarkan perintah pemecatan terhadap wartawan golongan kiri, PWI segera melaksanakan Kongres ke-XII di Jakarta pada tanggal 4-7 Nopember 1965. Kongres menghasilkan kepengurusan PWI yang baru yakni, Mahbub Djunaidi sebagai Ketua Umum, Jakob Oetama sebagai Sekretaris Jenderal, dan Moh. Nahar sebagai Bendahara. Keputusan yang dicapai yaitu pemecatan terhadap anggota PWI yang ditahan untuk pemeriksaan yang berwajib, dan anggota-anggota PWI yang berasal dari Orpol serta Ormas yang dibekukan karena terlibat G30S. Kongres meninjau kembali mengenai keputusan Kongres sebelumnya yang menempatkan Djawoto sebagai Sekretaris Jenderal Persatuan Wartawan Asia-Afrika (PWAA), karena Djawoto merupakan salah satu wartawan yang mengalami pemecatan, sehingga kedudukannya dalam PWAA
76
tersebut diserahkan kepada pengurus baru yaitu Jakob Oetama. Peraturan Dasar dan Peraturan Rumah Tangga PWI serta masalah Kode Ethik Jurnalistik juga menjadi salah satu bahasan dalam Kongres PWI ke-XII.
35
Kongres juga
menghasilkan pembentukan Dewan Kehormatan Pers yang anggotanya terdiri dari pejabat birokrasi pemerintahan sipil dan militer. Anggota-anggota Dewan Kehormatan Pers terdiri dari Menpen Achmadi, Jaksa Agung, Direktur Penerangan Staf Angkatan Bersenjata Brigjen Sugandhi, Kolonel Nawawi, Drs. Frans Seda (Menteri Perkebunan), H.M. Djambek, H. Aminuddin Aziz serta beberapa anggota lainnya yang mewakili seluruh cabang PWI di seluruh Indonesia.36 Masuknya tokoh militer dalam Dewan Kehormatan pers menunjukkan kontrol militer yang sangat kuat terhadap media massa. PWI sebagai organisasi profesi wartawan juga turut terbawa dalam arus kekuasaan militer tersebut. PWI semakin menampakkan jati dirinya sebagai salah satu instrumen keberhasilan politik pihak militer dalam menghancurkan G30S. Organisasi ini memantapkan langkahnya dalam mendukung kebijakan-kebijakan yang diambil oleh militer dalam rangka penumpasan PKI. Keberhasilan militer dalam menjadikan PWI sebagai partnernya sudah terlihat sejak Kongres PWI ke-XII di Jakarta. Pada Kongres tersebut, Menpen Mayjen Achmadi berpidato dan memerintahkan agar para wartawan sebagai alat revolusi harus menumpas habis gerakan kontrarevolusi G30S. Hal yang sama juga diucapkan oleh Mayjen Soeharto yang 35
Soebagijo I.N., Abdurrachman Surjomiharjo, P.Swantoro, Lintasan Sejarah PWI, (Jakarta: PWI Pusat, 1977), hlm 35-36. 36 Yohanes Koko Anton, op. cit., hlm 196-197.
77
menyatakan PWI harus dibersihkan dari oknum-oknum kontra-revolusi. Pidato kedua pejabat militer ini kemudian menjadi perintah dan legalisasi bagi PWI untuk membuat peraturan pemecatan wartawan golongan kiri yang terlibat dalam peristiwa G30S. Berawal dari perintah tersebut, kemudian PWI merumuskan mengenai “Kriteria Wartawan G30S” dan dengan rumusan ini setiap anggota wartawan yang memasuki kriteria dapat dipecat dari keanggotaan PWI. Isi dari “Kriteria Wartawan G30S” adalah sebagai berikut:37 a. Anggota PWI yang menjadi anggota Parpol/Ormas yang terlibat dalam gerakan kontra-revolusioner G30S. b. Anggota PWI dari suratkabar dan
majalah karena ada indikasi
mendukung gerakan kontra-revolusioner G30S. c. Anggota
PWI
yang
karena
tulisannya/sikapnya/ucapannya
mengindikasikan terlibatnya anggota tersebut pada gerakan kontrarevolusi G30S. d. Anggota PWI yang ditahan oleh pemerintah karena terlibat dalam gerakan kontra-revolusioner G30S.
2.
Piagam Pasir Putih dan Dukungan PWI Terhadap Pemerintahan Orde Baru Dominasi militer dalam bidang pers dan keberhasilannya dalam
menggandeng PWI dapat dilihat pada Konferensi Kerja PWI di Pasir Putih, Jawa Timur. Konferensi ini diselenggarakan pada tanggal 13-15 Oktober 1966 37
Ibid.
78
menghasilkan Piagam Pasir Putih dan Deklarasi Wartawan Indonesia. Dua hal tersebut merupakan bentuk dukungan organisasi pers kepada pemerintahan yang baru, yaitu pemerintahan Orde Baru, dan menolak terhadap pemerintahan yang lama, yaitu pemerintahan Soekarno. Hal ini sejalan dengan tuntuntan masyarakat yang menuntut mundurnya Presiden Soekarno. Isi dari Deklarasi Wartawan Indonesia adalah sebagai berikut: a. Kami wartawan Indonesia adalah warga negara Kesatuan Republik Indonesia yang bersendikan Pancasila dan berlandaskan UUD ’45. b. Kami Wartawan Indonesia adalah pendukung, pengawal, serta pembela ideologi negara dan UUD ’45 dan bertanggung jawab dan konsekwen c. Kami wartawan Indonesia memegang teguh kepribadian Indonesia, berwatak kesatria, berjiwa patriot dalam membela kebenaran dan keadilan dengan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. d. Kami wartawan Indonesia mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa, kepentingan rakyat dan negara. e. Kami wartawan Indonesia di dalam melaksanakan tugas dan fungsinya senantiasa menjunjung Kode Ethik Jurnalistik serta memelihara kesatuan dan persatuan wartawan Indonesia sebagai korps profesi. 38
38
36-37.
Soebagijo I.N., Abdurrachman Surjomiharjo, P. Swantoro, op. cit., hlm
79
Piagam Pasir Putih berisi mengenai keputusan untuk mengeluarkan Nota Perubahan PD dan PRT serta Kode Ethik Jurnalistik sekaligus pernyataan mental dalam bentuk sebuah “Piagam” yang mengikat seluruh organisasi dan anggota PWI di seluruh Indonesia. Perubahan PD dan PRT didasari oleh perkembangan politik dan ketatanegaraan menuju penyusunan suatu Orde Baru.39 Terlihat bahwa PWI sudah menyesuaikan program-programnya agar sesuai dengan laju pertumbuhan pemerintahan Orba. Bentuk lain dukungan PWI terhadap pemerintah terlihat dari hasil keputusan Konferensi Kerja Gabungan BPK (Badan Pengurus Kongres) – PWI Pusat di Kinilow Manado tanggal 17-21 Juni 1969. Hasil keputusan konferensi secara aklamasi mendukung peraturan Menpen No.02.Per/Menpen/69 tentang syarat atau pengakuan seseorang agar resmi dinyatakan berprofesi sebagawai wartawan Indonesia maka orang tersebut harus merupakan anggota PWI. Keputusan ini mendapat dukungan dari cabang-cabang PWI kecuali cabang Jakarta. 40 Harmoko yang merupakan pengurus PWI Jaya sangat menentang keras keputusan tersebut, menurutnya keputusan itu tidak mencerminkan penghayatan terhadap aspirasi pokok profesi kewartawanan karena yang menciptakan wartawan bukan PWI atau pemerintah, melainkan pers itu sendiri. Keadaan ini bertentangan dengan PD/PRT PWI yang tidak pernah membebankan paksaan dan kewajiban terhadap wartawan untuk berserikat dalam PWI. Tindakan PWI Jaya mendapat dukungan dari sejumlah cendekiawan, budayawan dan wartawan 39
Ibid. Lais Abit, Prabowo, Togi Simanjuntak, Wartawan Terpasung: Intervensi Negara Di Tubuh PWI, (jakarta: Institut Studi Arus Informasi, 1998), hlm 84. 40
80
Indonesia, isu ini ramai dibicarakan di suratkabar-suratkabar khususnya di Jakarta yang menuntut agar Menpen Budiarjo mencabut kembali peraturan tersebut. Peraturan yang dikeluarkan Menpen dianggap sebagai pembatasan kemerdekaan pers karena mengandung unsur-unsur yang mengikat kebebasan wartawan dengan mengontrol PWI. Hal ini menimbulkan ketidakpuasan Harmoko terhadap kepemimpinan Mahbub Djunaidi.41 Kontrol pemerintah terhadap PWI secara jelas dilakukan saat Kongres PWI ke-XIV di Palembang tahun 1970. Pada Kongres Palembang mayoritas cabang-cabang PWI lebih condong kepada kehendak agar organisasi wartawan dipimpin oleh mereka yang dapat membawa pers Indonesia yang lebih bebas dan terbebas dari bimbingan Negara.42 Untuk menetralisir PWI dari unsur wartawan idealis yang cenderung bersifat oposan pemerintah memajukan wartawanwartawan yang bersifat kompromis yang dapat bekerjasama dan dapat membantu kekuatan politik pemerintah dalam rangka konsolidasi kekuatan dalam menghadapi pemilu 1971. Keadaan ini menjadi alasan utama bagi penguasa untuk mempercepat pergantian Mahbub Djunaidi sebagai Ketua PWI periode 1968-1971. PWI menyelenggarakan Kongres ke-XIV di Palembang tahun 1970 setahun lebih cepat dari waktu semestinya, hal ini menunjukkan keberhasilan kekuatan kelompok wartawan kompromis mendesak dominasi kelompok wartawan idealis dalam kepemimpinan PWI. Namun hal tersebut ternyata menimbulkan konflik
41 42
Ibid., hlm 85-87. Merdeka, 17 Oktober 1970.
81
karena kelompok wartawan idealis menolak adanya campur tangan pihak luar ke dalam PWI. 43
D. Konflik Kepentingan Persatuan Wartawan Indonesia 1970-1971 1. Kongres PWI ke-XIV di Palembang Tahun 1970 Konflik kepentingan yang terjadi dalam PWI diawali dengan berlangsungnya Kongres PWI ke-XIV di Palembang pada tanggal 14-19 Oktober 1970. Kongres ini memiliki dampak panjang yang tidak hanya mengguncangkan tubuh PWI sendiri namun juga menarik perhatian masyarakat Indonesia karena melahirkan kepengurusan kembar di tingkat pusat. Dua kepengurusan tersebut adalah PP PWI-Rosihan dan PP PWI-Diah. Pemilihan pengurus pusat dilakukan dalam Kongres dengan membentuk formatur yang terdiri dari berbagai cabang PWI yaitu Jakarta (Zulharmans), Makassar (Arsal Alhabsyi), Banjarmasin (A.S. Musaffa), Surabaya (A.Azis) dan Medan (Mayor A. Manan Karim). Terdapat dua konsep formatur, konsep pertama menghendaki agar formatur terdiri dari Ketua Sidang Mohammad Ali B.A, sekretaris sidang (cabang Manado), seorang dari pengurus lama dan dua orang dari cabang (dikenal sebagai Pola Yogya). Konsep kedua menghendaki agar formatur terdiri dari masing-masing satu orang dari cabang Banjarmasin, Makassar, Medan, Jakarta dan Surabaya (dikenal sebagai Pola Besuki).44
43
Afrizal Munir, PWI Dalam Kostelasi Politik Orde Baru 1966-1985, (Skripsi Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1992), hlm 79. 44 Sinar Harapan, 23 Oktober 1970.
82
Penentuan konsep formatur dilakukan dengan pemungutan suara. Hasil dari pemungutan suara Pola Yogya mendapat 31 suara, sedangkan pola Besuki mendapat 36 suara. Sehingga pemilihan pengurus dilakukan sesuai dengan formatur Pola Besuki. Pada saat tepilihnya formatur, peserta Kongres tidak ada yang keberatan atau menyatakan tidak setuju terhadap terpilihnya pola Besuki. Unggulnya Pola Besuki dalam pemungutan suara sudah sesuai dengan PRT PWI tentang pengaturan pemilihan Pengurus Pusat dalam pasal 16 ayat 1 yang berbunyi “Pengurus Pusat dipilih oleh Kongres” dan ayat 2 yang berisi “Tata tertib pemilihan Pengurus Pusat ditetapkan oleh Kongres dengan persetujuan suara terbanyak dengan memperhatikan dasar-dasar musyawarah”.45
Gambar 3. Hasil voting pemilihan pola formatur pada Kongres PWI ke-XIV Sumber: Ekspress, 7 Nopember 1970 Formatur yang terpilih mengadakan rapat selama tiga jam untuk membentuk kepengurusan PWI. Saat formatur akan menyerahkan hasil pengurus pusat untuk periode 1970-1973, Ketua Sidang Kapten Ali B.A menunda sidang yang akan membacakan hasil kerja formatur. Saat sidang kembali dibuka, Ketua
45
Kompas, 27 Oktober 1970.
83
Sidang bukannya menerima berita acara hasil para formatur tetapi membuka babak baru dengan memberikan kesempatan kepada wakil Yogya Subadhi dari Suluh Marhaen yang menggugat bahwa pemilihan formatur bertentangan dengan pasal 24 PRT ayat 1e yang berbunyi “Keputusan Kongres diambil dengan hikmah kebijaksanaan musyawarah sehingga rapat memperoleh kata sepakat yang bulat dari semua utusan yang hadir. Apabila hal ini tidak dapat dilaksanakan maka dilakukan pemungutan suara baik secara lisan maupun tulisan (rahasia) dan mendapat hasil persetujuan dari sekurang-kurangnya 2/3 jumlah suara utusanutusan yang hadir. Apabila jalan diatas ini juga tidak dapat dilaksanakan, maka diadakan penentuan suara terbanyak biasa dari para utusan yang berhak memberikan suara. Abstain dalam pemungutan suara dipandang tidak memberikan suara dan tidak dihitung dalam jumlah suara yang masuk”. Adanya protes yang datang dari Subadhi ini membuat kegaduhan dalam kongres, utusan cabang Banjarmasin menyatakan keheranannya mengapa hal tersebut tidak digugat sebelumnya, para formatur juga menyatakan protesnya atas munculnya gugatan Subadhi tersebut.46 Tindakan sepihak Ketua Sidang dalam menunda jalannya sidang dan membuka kesempatan kepada Subadhi untuk melayangkan gugatannya tidak disetujui oleh sebagian besar para peserta kongres, sehingga peserta kongres
46
Sinar Harapan, 23 Oktober 1970. Delegasi PWI cabang Yogyakarta menolak bahwa suara Subadhi merupakan suara PWI Yogyakarta, disebutkan kemudian bahwa Subadhi membawa polanya sendiri dan segala sesuatu yang dilakukannya dalam kongres akan menjadi tanggung jawabnya sendiri dan Subadhi bertindak secara pribadi. Lihat Kompas,29 Oktober 1970. Pengumuman lengkap yang dikeluarkan PP PWI-Rosihan dapat dilihat pada lampiran 2.
84
mendesak kepada Ketua Panitia Pusat Kongres PWI ke-XIV untuk bersedia menerima hasil formatur dan membacakannya kepada peserta kongres. Kemudian Ketua Panitia Pusat membacakan hasil formatur tersebut yang berisi:47 1. Susunan Pengurus Baru PWI Pusat periode 1970-1973, yang terpilih menjadi Ketua Umum adalah Rosihan Anwar, dan Sekjennya adalah Jakob Oetama. 2. Sebuah rencana yang menghendaki agar Kongres menerima baik H. Mahbub Djunaidi, bekas Ketua Umum PWI Pusat sebagai anggota Dewan Kehormatan PWI, mengingat jasa-jasanya bagi PWI. Setelah membacakan hasil dari para formatur tersebut, Ketua Panitia Pusat Kongres PWI ke-XIV menutup sidang dan menyatakan sidang selesai. Kemudian pada malam harinya tanggal 19 Oktober 1970 diadakan malam penutupan Kongres. 48 Terpilihnya Rosihan Anwar jelas tidak sejalan dengan kebijaksanaan pemerintah yang menghendaki agar pengurus organisasi politik, organisasi kemasyarakatan dan organisasi profesi adalah orang-orang yang dianggap bisa bekerjasama dengan pemerintah. Oleh karena itu, bersamaan dengan dilaksanakan penutupan kongres, pada pukul 24.00 tanggal 19 Oktober 1970 kelompok yang tidak menyetujui terpilihnya Rosihan Anwar sebagai Ketua Umum melaksanakan sidang dibawah pimpinan Ketua Sidang. Sidang kemudian
47 48
Ibid. Ibid.
85
menghasilkan kepengurusan lain diluar kepengurusan Rosihan Anwar. B.M. Diah terpilih menjadi Ketua Umum hasil dari sidang lanjutan ini.49 Pemilihan B.M. Diah dilakukan melalui formatur yang terdiri dari 5 orang, yaitu Ketua Sidang Moh. Ali B.A, Simo Sangkay (Manado), Tarmizi Iljas (Tanjung Pinang), Farchan Jacoeb (Pontianak) dan J. Lasamahu (Ambon). Menurut grup formatur Pola Yogya sidang ini dianggap sebagai sidang lanjutan dari sidang sebelumnya yang telah ditunda sehingga tidak memerlukan kuorum. Oleh karena itu, meskipun grup Pola Besuki tidak hadir maka sidang lanjutan itu harus dianggap sah.50 Diumumkannya Rosihan Anwar sebagai Ketua Umum PWI merupakan suatu usaha dari oknum-oknum tertentu yang memaksakan kemauannya sendiri karena hasil kepengurusan tersebut diumumkan tanpa persetujuan Ketua Sidang. Atas dasar inilah maka mereka melakukan sidang lanjutan dibawah pimpinan Ketua Sidang yang sah, yakni Moh. Ali B.A. Hasil sidang lanjutan diumumkan oleh Ketua Sidang Kongres yang bernomor 001/kongres_PWI_IV//1970, yang menjadi Ketua Umum adalah B.M. Diah dan Sekretaris Jenderalnya P.G. Togas. Dengan demikian Kongres PWI ke-XIV di Palembang telah menghasilkan dualisme kepemimpinan dalam PWI. 51 Susunan dua PP PWI mulai diumumkan ke masyarakat sehari setelah Kongres Palembang berakhir. Pengumuman tersebut dikeluarkan pada berbagai media yang menjadi pendukungnya disertai dengan
49
penjelasan mengenai
Kompas, 21 Oktober 1970. Sinar Harapan, 24 Oktober 1970. 51 Merdeka, 21 Oktober 1970. Pengumuman lengkap PP PWI-Diah dapat dilihat pada lampiran 1. 50
86
jalannya Kongres Palembang. Suratkabar Merdeka milik B.M. Diah dan Suluh Marhaen serta Api Pancasila mengumumkan kepengurusan PWI-Diah, dalam pengumuman tersebut yang menjadi Ketua Umum adalah B.M. Diah dan Sekretaris Jenderalnya adalah P.G. Togas. Sedangkan kepengurusan PWI-Rosihan diumumkan pada suratkabar Pedoman, Kompas, dan Pos Kota yang menjadi Ketua Umum adalah Rosihan Anwar, dan Sekretaris Jenderalnya Jacob Oetama. Susunan lengkap kepengurusan PWI-Diah dan PWI-Rosihan dapat dilihat dalam tabel 3. Tabel. 3 Susunan Pengurus Pusat PWI Hasil Kongres ke-XIV Palembang Tahun 1970-1973 Jabatan
PWI-Rosihan
PWI-Diah
Ketua Umum
Rosihan Anwar
B.M. Diah
Ketua-ketua
- L.E. Manuhua
-
Manai Sophian
- Kol. Sugiarso Surojo
-
H.M. Hamidy
Sekjen
Jakob Oetama
P.G. Togas
Wakil Sekjen
Zein Effendi
T. Jously Sjah
Bendahara
H.M. Said Budairy
Deddy Sumitro
Wakil Bendahara
R.P. Hendro
Moegianto
Sumber: Merdeka, Kompas 20 Oktober 1970. Masalah dualisme kepemimpinan yang dialami oleh organisasi wartawan ini menurut S. Tasrif dikarenakan adanya usaha-usaha dari golongan-golongan
87
yang mengumpulkan kekuatan untuk merebut posisi pimpinan dalam PWI, dan hal ini merupakan hal yang wajar terjadi saat Kongres. Pada kasus PWI dua kelompok yang muncul adalah kelompok wartawan profesi yang ingin memurnikan profesi wartawan (Rosihan Anwar) dan didukung oleh sebagian besar anggota Kongres, serta kelompok politik (B.M. Diah). Dalam masyarakat pertentangan-pertentangan itu tidak dapat dihilangkan karena berfungsi bagi perkembangan dan perubahan struktur sosial. 52 Perbedaan kepentingan menjadi landasan munculnya dua kelompok yang memiliki perbedaan pendapat sehingga memunculkan konflik kepentingan dalam PWI. 53 Kelompok wartawan profesi mendukung Rosihan Anwar karena sifatnya yang liberalis sehingga diharapkan dapat membawa PWI menjadi organisasi yang independen, sedangkan kelompok wartawan politik mendukung B.M. Diah karena sifatnya yang menginginkan PWI menjadi partner pemerintah dalam rangka konsolidasi negara.54 B.M. Diah pernah menjadi anggota Dewan Nasional, Menteri Penerangan dalam Kabinet Ampera. Pada masa menjadi Menteri Penerangan tahun 1967, subsidi atas kertas koran dicabut pemerintah. Hal ini tentu memberikan penilaian negatif dari kalangan pers. 55 Selain dianggap sebagai pro-pemerintah, B.M. Diah juga dikatakan
52
Margaret M. Poloma, Sosiologi Kontemporer, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2003), hlm 138. 53 Elly M. Setiadi & Usman Kolip, Pengantar Sosiologi: Pemahaman Fakta Dan Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi Dan Pemecahannya, (Jakarta: Kencana, 2011), hlm 283. 54 Merdeka, 22 Februari 1970. B.M. Diah mengharapkan jika pers dan pemerintah dapat bekerjasama dalam rangka pembangunan negara, serta mempertahankan UUD 1945 dan Pancasila sebagai landasan pers nasional. Dalam menjalankan fungsinya sebagai alat kontrol sosial pers agar dapat menjadi partner dan pendukung pemerintah dalam melaksanakan kebijakannya. Lihat lampiran 23. 55 Afrizal Munir, op. cit., hlm 84.
88
mendapat dukungan dari Opsus yang pada masa orba melakukan rekayasa politik pada organisasi-organisasi massa untuk dapat menciptakan kepemimpinan organisasi yang dianggap dapat bekerjasama dengan pemerintah. 56 Pencalonan B.M. Diah tidak disukai oleh PWI Jaya yang dipimpin oleh Harmoko dan beberapa cabang lainnya (Surabaya, Medan, Makassar dan Banjarmasin). Harmoko dan Zulharmans melihat bahwa calon yang akan mereka ajukan (Zein Effendi) tidak akan menang menghadapi Diah, mereka lalu menjagokan Rosihan Anwar. Hal inilah yang menjadi alasan PWI Jaya untuk melakukan dukungan yang kuat terhadap Rosihan dan menolak keras kepengurusan Diah.57 Penolakan Harmoko dan cabang-cabang PWI terhadap calon Ketua PWI yang pro-pemerintah sangat kuat karena ketidakpuasannya terhadap kepemimpinan Mahbub Djunaidi (Ketua PWI 1968-1970) yang pada Konferensi Kerja di Manado tahun 1969 menyetujui syarat atau pengakuan terhadap seseorang wartawan harus merupakan anggota PWI. Hal ini dianggap sebagai bentuk pembatasan kebebasan wartawan oleh pemerintah. Oleh karena itu mereka mencalonkan Rosihan Anwar yang dianggap lebih independen.58 2.
Perang Wacana Dalam Suratkabar Pendukung PP PWI Munculnya
dualisme
kepemimpinan
dalam
organisasi
profesi
kewartawanan tentu saja menimbulkan kehebohan di kalangan media massa. 56
Heru Cahyono, ibid. Tribuana Said (ed), H. Rosihan Anwar Dengan Aneka Citra, (Jakarta: Kompas, 1992), hlm 147. Belakangan Rosihan mengatakan jika sekiranya ia sudah tau sejak semula kekuatan-kekuatan apa yang berdiri di belakang kelompok B.M. Diah yaitu bahwa Opsus turut mengaturnya, maka ia akan menolak pencalonannya. 58 Lais Abit, Prabowo, Togi Simanjuntak, ibid. 57
89
Bukan hanya suratkabar di ibukota saja yang memuat berita seputar konflik dalam organisasi wartawan tersebut, koran-koran di daerah juga diliputi oleh pemberitaan seputar konflik PWI. Sehari setelah berakhirnya Kongres PWI keXIV di Palembang berbagai media sudah mulai memberitakan mengenai kericuhan yang terjadi dalam Kongres. Berita yang dimuat tidak hanya satu atau dua judul saja, bahkan dalam satu hari pada koran yang sama dapat memuat sampai beberapa judul dengan tema yang sama, yakni perpecahan dalam tubuh PWI. Dalam harian Ampera misalnya, pada tanggal 26 Oktober 1970 harian ini memuat berita “Pengurus Pusat PWI diterima Menpen” pada halaman pertamanya, masih di halaman yang sama dimuat pula pernyataan bahwa “PWI Djaya Menolak PWI Diah”. Di halaman kedua Ampera memuat mengenai kepengurusan PWIDiah yang berjudul “Ketua PWI Jang Baru”.59 Hal ini menunjukkan bahwa berita konflik PWI ini sudah menjadi fokus tersendiri sejak Kongres Palembang berakhir, namun pemberitaanya hanya seputar pengumuman yang dikeluarkan kedua Pengurus Pusat PWI dan bagaimana jalannya Kongres dengan versi yang berbedabeda dalam masing-masing suratkabar.
Gambar 4. Guntingan suratkabar mengenai pertentangan yang terjadi dalam Kongres PWI ke-XIV di Palembang Sumber: Merdeka, 17 Oktober 1970. Merdeka, 20 Oktober 1970. Kompas, 21 Oktober 1970
59
Kompas, 29 Oktober 1970.
90
Gambar 5. Karikatur dalam suratkabar yang menggambarkan dukungan pemerintah terhadap PP PWI Diah. Sumber: Pos Kota, 29 Oktober 1970. Sinar Harapan, 22 Oktober 1970. Keadaan pemberitaan yang awalnya hanya seputar Kongres menjadi heboh dan memuncak setelah dikeluarkannya pengumuman secara sepihak oleh Deppen dalam TVRI dan Antara untuk menyiarkan kepengurusan versi Diah saja. Reaksi beruntun mulai bermunculan setelah itu, hampir seperempat dari halaman pertama suratkabar di Jakarta dan daerah menyiarkan perang dingin antara PWIRosihan dan PWI-Diah. Saat suasana masih panas, tiba-tiba Menpen mengeluarkan pengumuman yang mengakui sahnya PWI-Diah. Pernyataan yang dikeluarkan pada tanggal 24 Oktober 1970 berisi pengakuan hanya ada satu Pengurus Pusat yang mewakili wadah organisasi pers, yaitu PWI yang diketuai oleh B.M. Diah sebagaimana yang telah diputuskan oleh Kongres PWI ke-XIV di Palembang. 60 Keputusan yang dikeluarkan Menpen ini menambah ramainya perang dingin antara suratkabar pendukung masing-masing pihak. Perang dingin terkait konflik PWI yang dimuat dalam berbagai suratkabar saling balasmembalas dan saling menyebut valid-tidak valid. Berita-berita mengenai PWI 60
Warta Berita, 25 Oktober 1970. Isi pernyataan Departemen Penerangan mengenai masalah PWI dapat dilihat pada lampiran 3.
91
disajikan dalam berbagai karikatur dan tajuk pojok dan ulasan-ulasan menghiasi berbagai suratkabar Indonesia. Pengakuan terhadap PP PWI-Diah menurut Brigjen Harsono (Dirjen Pers & Grafika) dilakukan dengan mempertimbangkan tiga alternatif. Alternatif pertama membiarkan segala sesuatu terjadi dan pemerintah tidak mencampuri urusan intern PWI. Kedua, pemerintah memperhatikannya dengan mengusahakan mendamaikan kedua pihak yang bersengketa. Ketiga, pemerintah menentukan sikap dan memilih salah satu pihak. Mengenai tiga alternatif ini Menpen berpendapat bahwa alternatif pertama akan merugikan masyarakat dan membuat persoalan PWI semakin berlarut-larut, sedangkan alternatif kedua dilihat tidak ada kemungkinannya, sehingga hanya alternatif ketiga yang dapat dilaksanakan oleh pemerintah.61 Sikap Menpen mengakui kepengurusan B.M Diah menimbulkan tanggapan dari berbagai pihak. Banyak yang menganggap tindakan Menpen bukan merupakan tindakan yang tepat dan dapat memperkeruh keadaan. Bung Hatta mengatakan bahwa tindakan Menpen Budiardjo bertentangan dengan keputusan Kongres PWI dan sekaligus merupakan pelanggaran terhadap demokrasi. Dirjen Khusus Departemen Dalam Negeri Wang Suwandhi S.H. mengatakan tindakan merestui salah satu pihak bila terjadi perpecahan dalam organisasi masyarakat adalah tidak tepat sama sekali.62 Wartawan generasi muda langsung menemui Menpen dan meminta agar tidak mencampuri urusan intern
61 62
Sinar Harapan, 30 Oktober 1970. Soebagijo I.N, op. cit., hlm 231.
92
PWI, keberpihakan yang dilakukan pemerintah merupakan salah satu bentuk pelanggaran terhadap kemerdekaan pers, jika pemerintah ingin menjaga ketertiban umum hendaknya semua penyelesaian yang diambil harus didasarkan pada pasal 28 UUD 1945 yang menjamin kemerdekaan untuk berserikat bagi masyarakat Indonesia.63 Tidak semua pihak menyalahkan keputusan Menpen yang mengakui PWI-Diah, ada juga yang setuju dan mendukung sepenuhnya. Menteri Dalam Negeri Amirmachmud, berpendapat jika segala kebijaksanaan yang ditempuh Menpen dalam masalah PWI Pusat adalah benar dan ia mendukung sepenuhnya. Amirmachmud
yakin
dalam
melaksanakan
kebijaksanaannya
pemerintah
mempertimbankannya dengan itikad baik sehingga beleid pemerintah tidak mungkin merugikan karena kebijaksanaan pemerintah untuk kepentingan nasional. Deputi KSAD Letjen M. Jasin juga menyatakan dukungannya terhadap keputusan yang diambil Menpen. Sekelompok wartawan muda yang tergabung dalam Kelompok Wartawan Reporter Ibukota menegaskan mendukung beleid Menpen Budiardjo tentang pengakuannya terhadap PP PWI-Diah.64 Diakuinya PP PWI-Diah oleh Menpen menunjukkan bahwa B.M. Diah memperoleh kemenangan atas konflik PWI. Kedekatannya dengan pemerintah menjadi faktor penting dalam memperoleh kemenangannya atas Rosihan Anwar. Pengakuan politis Menpen atas PP PWI-Diah pada perkembangan selanjutnya ternyata menyulitkan Menpen Budiarjo, karena dukungan terhadap PP PWI-
63 64
Berita Yudha, 27 Oktober 1970. Soebagijo I.N, loc. cit.
93
Rosihan sangat besar. PWI-Rosihan menolak hasil keputusan Menpen yang mengakui kepengurusan B.M. Diah. Pada tanggal 25 Oktober 1970 PP PWIRosihan
mengadakan
rapat
yang
menghasilkan
keputusan
bernomor
6/Sek/2/sd/1970 berisi penolakan atas keputusan Menpen. PP PWI-Rosihan tetap pada pendiriannya, di tambah dengan pernyataan ke-16 cabang/perwakilan PWI tanggal 19 Oktober 1970 yang dianggap sebagai pengulangan pemberian kepercayaan kepada PP PWI-Rosihan. Selanjutnya Rosihana mempertimbangkan kemungkinan untuk memajukan gugatan di Pengadilan agar membatalkan keputusan Deppen tersebut. 65 Pernyataan PP PWI-Rosihan yang menyatakan bahwa 16 cabang/perwakilan dianggap mendukungnya dibantah oleh Suluh Marhaen dalam headline yang berjudul “Apa Guna Kongres Kalau Anggap2an Dianggap Sjah”. Melihat keadaan cabang-cabang saat Kongres dan pasca Kongres yang menunjukkan banyak perubahan, misalnya cabang Jakarta yang saat Kongres memiliki satu suara namun pasca Kongres terpecah menjadi dua, sama halnya dengan cabang Bandung, Banjarmasin, Palu dan Makassar. Berita-berita yang saling bantah banyak terjadi pada masing-masing suratkabar pendukung PP PWI.66 Pada suratkabar Pos Kota tanggal 7 Nopember 1970 dimuat keterangan bahwa berita yang dilansir oleh Merdeka hanya sekedar isapan jempol. Sebelumnya Merdeka memuat mengenai wawancaranya terhadap Rusli Desa 65
Sinar Harapan, 26 Oktober 1970. S. Tasrif selaku kuasa dari Rosihan mendaftarkan gugatannya ke Pengadilan Negeri Jakarta tanggal 9 Nopember 1970. terdiri dari 35 gugatan, Menpen sebagai tergugat 1 dan PWI-Diah sebagai tergugat 2. Gugatan PP PWI Rosihan dapat dilihat pada lampiran 6-9. 66 Suluh Marhaen, 2 Nopember 1970.
94
wartawan Angkatan Bersenjata edisi Kalimantan Selatan yang mengatakan bahwa wartawan-wartawan
daerah
Banjarmasin
mendukung
PP
PWI
dibawah
kepemimpinan Diah. Di dalamnya disebutkan adanya Petisi Sabtu dari wartawanwartawan Banjarmasin dengan tujuan mendukung PWI-Diah. Menurut suratkabar Mimbar Mahasiswa yang terbit di Banjarmasin wawancara yang dilakukan terhadap Rusli Desa tidak pernah terjadi, keterangan yang sama juga disampaikan oleh Rusli Desa yang menyatakan bahwa dirinya tidak pernah merasa memberikan wawancara dengan wartawan Merdeka.67
Gambar 6. Headline suratkabar Merdeka yang dibantah oleh Berita Yudha. Sumber: Merdeka, 27 Oktober 1970. Berita Yudha, 29 Oktober 1970. Pada salah satu kesempatan harian Merdeka memuat berita mengenai diakuinya kepengurusan B.M. Diah oleh Menpen dengan judul “Sambutan Positip atas Kep. Pemerintah”. Dalam berita yang dimuat pada tanggal 27 Oktober 1970 tersebut disebutkan bahwa keputusan pemerintah dalam mengakui hanya satu PWI
dibawah
pimpinan
B.M
Diah
adalah
cukup
supel
dan
dapat
dipertanggungjawabkan baik politis maupun yuridis, disebutkan bahwa pendapat tersebut keluar dari beberapa perwira menengah dan tinggi di Departemen Hankam. Berita tersebut dinyatakan tidak valid oleh suratkabar Berita Yudha dengan alasan sumber yang dicantumkan tidak valid. Penyebutan “Beberapa 67
Pos Kota, 7 Nopember 1970.
95
perwira menengah dan tinggi di Departemen Hankam” ditulis oleh Merdeka tanpa menyebutkan siapa dan dalam jabatan apa. Ketua Puspen Hankam juga menyatakan bahwa seharusnya Merdeka menyebutkan secara jelas nama dari perwira yang dimaksud dalam berita tersebut dan menjelaskan untuk keterangan pers mengenai Hankam seharusnya saluran resminya adalah Penerangan Hankam.68 Perang wacana lainnya terjadi dalam suratkabar Kompas dan Suluh Marhaen mengenai suratkabar yang menyatakan dukungannya kepada PP PWIRosihan. Pada Kompas dimuat berita mengenai “47 Penerbitan di Jakarta Mendukung Sikap dan Beleid PWI Jaya”. 69 Suluh Marhaen membantah hal ini dengan menyatakan bahwa 5 penerbitan (Suara Baru, Suara Indonesia, Ekonomi, Perintis Minggu) yang dikatakan turut mendukung Rosihan tidak tahu menahu mengenai statemen PWI Jaya yang mendukung Rosihan. Marhaen menyebutkan bahwa pertemuan yang dilakukan PWI Jaya mengundang para penerbit di Jakarta dilakukan untuk memberikan laporan-laporan, bukan untuk menyatakan persetujuan dan dukungan atas PWI-Rosihan. Kompas membalas bantahan tersebut dengan menjelaskan bahwa ke-lima penerbitan yang disebutkan diatas secara sadar menerima dan menyetujui pernyataan dukungannya terhadap PWIRosihan. Dengan adanya pemberitaan-pemberitaan yang bertolak belakang seperti ini tentunya menimbulkan kebingungan di kalangan masyarakat.70
68
Berita Yudha, 29 Oktober 1970. Kompas, 26 Oktober 1970. Lihat lampiran 17. 70 Kompas, 2 Nopember 1970. Lihat juga Suluh Marhaen, 2 Nopember 1970. 69
96
Pemberitaan sekitar soal PWI yang sudah saling berat sebelah pada proses selanjutnya akan memberikan efek pecah belah atau mengadu domba antar pejabat-pejabat pemerintah dan juga pada masyarakat. Kebebasan pers seharusnya digunakan untuk menunjang pembangunan dan perkembangan negara, bukan untuk menimbulkan kegoncangan-kegoncangan yang akan mengancam stabilitas negara. Presiden Soeharto menyampaikan harapannya terhadap pers dalam pidatonya yang dikemukakan saat ulang tahun PWI ke-25 di Solo yang berisi sebagai berikut: Konflik antara kepentingan pribadi atau kepentingan golongan dan kepentingan umum memang sering terjadi, terutama di lingkungan pers yang sedang menuju dewasa dan belum menyadari bagaimana peranannya di dalam masyarakat dan lebih-lebih di lingkungan pers yang tujuannya hanya meniup sensasi untuk mengeduk keuntungan yang sebesar-besarnya. Setiap wartawan juga benar-benar menyadari profesinya cukup mengetahui apa yang dimaksud dengan etik dan tanggungjawab pers, sosial dan etik kewartawanan yang merupakan pilar-pilar yang menunjang tumbuh dan tegaknya pers yang bebas. Jaminan atas kebebasan pers tidak dapat dilepaslan dari kesadaran akan tanggungjawab dan tatakrama pers. Tanggungjawab pers harus merupakan jamiman bahwa ia tidak akan digunakan dengan wenang-wenang, tidak memanipulasi berita atau memutar balik fakta dan tidak akan secara sadar melancarkan hasutan-hasutan atau mebentuk pendapat umum yang bertentangan dengan kepentingan nasional. Pers merupakan alat yang efektif untuk menggerakkan seluruh daya manusia yang dimiliki dalam kancah pembangunan. Pers disamping memberi penerangan sekaligus juga mendidik rakyat. Tetapi dilain pihak, pers juga dapat menjadi suatu kekuatan negatif yang bukannya mempercepat, tetapi justru merintangi usaha-usaha pembangunan. Presiden mengharapkan agar para wartawan dan pers Indonesia pada umumnya, benar-benar menyadari tanggungjawabnya terhadap masyarakat, fungsinya sebagai salah satu perwujudan demokrasi Pancasila dan potensi perannya didalam proses pembangunan. Untuk itu wartawan Indonesia harus bersatu. Pers Indonesia tidak mungkin dapat menjadi kekuatan pemersatu bangsa, apabila ia sendiri tidak dapat menyatukan dirinya, setidak-tidaknya persatuan dalam pandangan dan dasar berpijak pers yang bebas dan bertanggungjawab.71
71
Merdeka, 22 Februari 1971.
97
Patut disayangkan bahwa perpecahan yang terjadi dalam organisasi wartawan selain membawa akibat-akibat kelemahan dalam bidang organisasi juga menimbulkan ekses-ekses yang tidak diharapkan. Polemik dan saling tuduh antara koran pendukung dan koran lawan pengurus PWI yang satu dengan yang lain semakin menjadi-jadi. Dalam tulisan-tulisan yang mereka keluarkan nampak bahwa argumen-argumen yang sehat sudah menjadi kabur. Justru kata-kata dan kalimat-kalimat yang sebenarnya tidak patut ditulis oleh wartawan sebagai pembimbing pendapat umum terlihat lebih menonjol. Tulisan dalam koran-koran lebih bertendens memukul lawan ketimbang mengemukakan dasar-dasar yang sah dan kuat.72 3.
Integrasi Pengurus Pusat PWI Pertikaian yang terjadi dalam PWI menarik perhatian banyak pihak,
mereka menyayangkan jika konflik ini terus berlarut-larut karena dianggap akan mengganggu stabilitas nasional, apalagi dalam rangka menghadapi Pemilu yang akan dilaksanakan pada tahun 1971. Oleh karena itu, meskipun perpecahan ini merupakan urusan intern PWI berbagai pihak mencoba untuk mendamaikan dua Pengurus Pusat yang ada dalam PWI. Menpen meskipun sudah mengakui PWIDiah menyarankan untuk melaksanakan Kongres PWI lagi untuk menyelesaikan pertentangan-pertentangan yang timbul. Selain Menpen, banyak pihak yang
72
61.
Subagijo I.N. Sejarah Pers Indonesia, (Jakarta: Dewan Pers, 1977), hlm
98
menghendaki agar PWI mengadakan Kongres Luar Biasa (KLB) untuk menyelesaikan perpecahan yang ada dalam organisasi profesi wartawan tersebut.73 Saran mengadakan KLB ditolak oleh B.M. Diah karena ia berpendirian bahwa dalam kongres tersebut tidak mungkin dilakukan pemilihan pengurus baru. PP PWI-Diah mengeluarkan keterangan pers melalui Sekjen P.G. Togas yang menjelaskan bahwa PD/PRT PWI memang memungkinkan diadakan suatu KLB jika sekurang-kurangnya seperdua dari cabang-cabang atau perwakilan PWI menghendakinya karena ada sesuatu persoalan yang penting agar dapat diselesaikan dalam forum kongres, tetapi apapun alasan yang digunakan dalam melaksanakannya sudah ditekankan bahwa KLB tidak mempunyai wewenang untuk mebicarakan soal kepengurusan Pusat. Selain itu pelaksanaan KLB dianggap tidak memungkinkan karena akan membutuhkan dana yang tidak sedikit. 74 Oleh karena itu, perlu dilaksanakan upaya lain dalam menyelesaikan masalah-masalah dalam PWI. Dua PP PWI telah mengadakan pertemuan pada 28 Oktober 1970 untuk membahas penyelesaian dari masalah-masalah yang timbul dalam Kongres PWI ke-XIV di Palembang. Selain itu, pertemuan yang berlangsung selama satu jam ini juga membahas mengenai adanya pengakuan Pemerintah atas salah satu PP 73
Dalam PRT PWI pasal 22 dijelaskan bahwa Kongres Luar Biasa dapat dilakukan apabila dianggap perlu untuk menyeselaikan suatu permasalahan jika permintaan diadakannya Kongres sekurang-kurangnya seperdua jumlah cabang/perwakilan yang membawa sekurang-kurangnya seperdua jumlah suara anggota biasa. Kongres ini diadakan untuk membicarakan masalah-masalah yang mendesak kecuali pergantian PP, perubahan-perubahan PD/PRT dan Kode Ethik. Lihat Soebagijo I.N., Abdurrahman Surjomihardjo, P. Swantoro, op. cit., hlm 103102. 74 Warta Berita, 3 Nopember 1970.
99
PWI. Pada pertemun tersebut muncul ide untuk menyelesaikan masalah PWI dengan jalan arbitrase namun jalan ini ditolak oleh B.M. Diah karena menurutnya jika mengambil jalan arbitrase berarti ia mengakui kelemahannya, sedangkan dirinya sudah dianggap sah oleh Menpen. Sebagai pengurus yang diakui pemerintah, B.M. Diah mengemukakan dalam usaha mengutuhkan PWI kembali maka akan direncanakan pertemuan-pertemuan yang serupa untuk selanjutnya.75 Selain usaha-usaha yang dilakukan oleh PP PWI, solusi untuk menyelesaikan konflik PWI datang dari cabang-cabang yang menginginkan terwujudnya persatuan dalam organisasi PWI. Prakarsa mempersatukan PWI muncul dari cabang Surabaya (Tajib dan Subagio) dan Yogyakarta (Wonohito, Abdurachman, H. Basuni dan Jusaac M.R.). Mereka meminta beberapa wartawan senior untuk berperan sebagai mediator dan melakukan negosiasi-negosiasi antara pihak Rosihan Anwar dan B.M. Diah untuk menemukan alternatif-alternatif mengenai solusi konflik. Langkah mediasi ini diambil karena dua PP PWI Pusat dianggap tidak bisa menyelesaikan konfliknya sendiri. Wartawan-wartawan senior yang terlibat dalam usaha mendamaikan PWI ini terdiri dari lima orang, yaitu Adam Malik76, Sumanang77, S.K. Trimurti78, Asa
75
Berita Yudha, 29 Oktober 1970. Adam Malik merupakan wartawan yang sudah aktif sejak masa pergerakan, ia turut berperan dalam pendirian kantor berita Antara. Pada tahun 1970 Adam Malik sedang menduduki jabatan sebagai Menteri Luar Negeri. 77 Sumanang merupakan wartawan perjuangan yang juga turut mendirikan kantor berita Antara, ia terpilih menjadi Ketua Umum PWI pertama pada Kongres wartawan yang pertama di Solo pada 9 Februari 1946. 78 Surastri Karma Trimurti mulai aktif dalam bidang jurnalistik saat bergabung dengan Partindo. Ia dikenal sebagai wartawan kritis dan anti-kolonial. 76
100
Bafagih79 dan Mochtar Lubis80. Pada tahap selanjutnya dilaksanakan pertemuanpertemuan antara lima wartawan senior dan dua PP PWI untuk mencari penyelesaian terhadap konflik yang terjadi dalam organisasi wartawan tersebut. 81 Pertemuan pertama diadakan pada tanggal 4 Nopember 1970 di kediaman Adam Malik, dihadiri oleh lima wartawan senior dan kedua PP PWI. Ditawarkan dua alternatif untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi, pertama adalah membentuk caretaker pengurus yang hanya bertugas sebagai administratif dan mempersiapkan Kongres PWI tahun depan, kedua adalah dua PP PWI kembali kepada pengurus lama yang demisioner. Pertemuan ini akhirnya dinyatakan bahwa kedua belah pihak akan mengadakan konsultasi untuk mengatasi persoalan PWI. Sementara itu Adam Malik menyerukan kepada pers untuk tidak mempertajam soal PWI dalam media massa dengan menghentikan pemberitaan yang saling memihak di media massa.82 Pertemuan kedua dilakukan pada tanggal 13 Nopember 1970, pada pertemuan ini akan ditanyakan kepada kedua belah pihak sampai berapa jauh mereka bisa menerima diadakannya KLB. Namun pertemuan kedua tidak menghasilkan apa-apa karena B.M. Diah tidak datang dengan alasan sedang sakit. Pertemuan ketiga dilaksanakan pada tanggal 26 Nopember 1970 di kediaman resmi Menteri Luar Negeri. Pertemuan ini dihadiri oleh Rosihan Anwar dan Jacob
79
Asa Bafagih merupakan wartawan sejak masa pergerakan, pernah menjadi Pemimpin Redaksi Pemandangan pada tahun 1953. 80 Mochtar Lubis juga turut dalam pendirian kantor berita Antara. Namanya tidak dapat dipisahkan dari harian yang didirikannya yaitu Indonesia Raya. 81 Berita Yudha, 5 Nopember 1970. 82 Pikiran Rakyat, 5 Nopember 1970.
101
Oetama, sedangkan B.M. Diah tidak hadir dengan alasan ada undangan Menpen untuk berbuka puasa bersama pemimpin-pemimpin redaksi di ibukota. B.M. Diah hanya mengirimkan suratnya yang menyatakan bahwa persoalan kepengurusan PWI Pusat sudah selesai, apabila Pengurus Pusat pimpinannya dianggap tidak sah maka boleh ditempuh dengan jalan hukum, dan karena gugatan Rosihan Anwar sudah diajukan ke Pengadilan maka pengurus B.M. Diah akan tunduk kepada keputusan Pengadilan. Diserukan agar lima wartawan senior untuk menghentikan jasa-jasa baiknya dalam hal menyatukan PWI dengan ucapan terimakasih. 83 Setelah tiga kali mengadakan pertemuan dan tidak menghasilkan hasil yang signifikan, dan setelah membaca isi surat yang dikirimkan oleh B.M. Diah yang menolak usaha perdamaian oleh lima wartawan senior, maka mereka berpendapat bahwa usahanya mengembalikan keutuhan PWI Pusat tidak dapat dilanjutkan lagi. Hal ini mengalami kesulitan karena kedua Pengurus Pusat sudah menganggap bahwa masing-masing dirinya sah, adanya putusan Menpen yang mengakui PWI-Diah dinilai lebih mempersulit usaha mengembalikan keutuhan dalam organisasi induk wartawan tersebut.84 Usul untuk mendamaikan dua PP PWI Pusat juga muncul dari Hakim Ketua Sidang yang menangani kasus sengketa PWI di Pengadilan. Pada Sidang ke-III yang berlangsung pada 23 Januari 1971 Hakim Ketua mengusulkan diadakannya perdamaian antara pihak-pihak yang berselisih. Usul ini pada mulanya disambut baik oleh pihak Rosihan, Diah dan juga Menpen. Tasrif yang
83 84
Kompas, 2 Desember 1970. Ibid.
102
menjadi kuasa penggugat mengatakan bahwa sejak semula mereka juga bersedia untuk mengadakan perdamaian jika para tergugat juga menghendaki hal yang sama. Namun, meskipun masing-masing pihak sudah bersedia untuk berdamai tetap saja kesepakatan perdamaian tidak tercapai karena adanya perbedaan pendapat mengenai cara-cara perdamaiannya. Tasrif menginginkan syarat-syarat perdamaian dibicarakan terlebih dahulu, namun syarat-syarat tersebut ditolak oleh pihak tergugat dengan alasan mereka tidak bersedia mendengarkan usul-usul perdamaian jika gugatan belum dicabut. Hakim Ketua menyatakan bahwa sidang telah mencapai jalan buntu karena tidak tercapainya “meeting of mind” antara pihak-pihak yang bersengketa mengenai syarat-syarat perdamaian. 85 Meskipun demikian, masing-masing pihak masih akan dilaksanakan pertemuan-pertemuan selanjutnya dalam rangka mencari penyelesaian konflik PWI tersebut. Hasil dari serangkaian pertemuan Rosihan-Diah akhirnya menghasilkan kesepakatan integrasi antara dua Pengurus Pusat. Soebagijo I.N mengatakan sebagaimana halnya perpecahan dalam tubuh PWI tidak ada yang membayangkan terlebih dahulu, demikian pula tak ada seorangpun dari pihak luar yang menduga bahwa kedua pihak yang semula begitu tegang tiba-tiba diberitakan telah berhasil mengadakan integrasi. Dua Pengurus PWI yaitu B.M. Diah dan Rosihan Anwar menemui Menpen Budiardjo di Deppen dan melaporkan bahwa kedua Pengurus PWI kini telah bersatu dalam suatu integrasi yan dilakukan pada tanggal 6 Maret 1971.86
85 86
Kompas, 25 Januari 1970. Soebagijo I.N., op. cit., hlm 240-241.
103
Terdapat tiga pokok penyelesaian tertuang dalam pernyataan integrasi yang disepakati masing-masing pihak. Tiga hal pokok tersebut adalah Pengurus Pusat PWI pimpinan B.M. Diah dan Pengurus Pusat PWI pimpinan Rosihan Anwar disatukan dalam integrasi yang sama, dalam integrasi itu masing-masing pihak beserta pengurus tetap menduduki jabatannya masing-masing, misalnya B.M. Diah dan Rosihan Anwar tetap masing-masing Ketua Umum, demikian pula para ketua, sekjen, wakil sekjen, bendahara dan wakil bendahara. Terakhir adalah pembagian Pengurus Pusat yang telah diintegrasikan akan dibicarakan bersama. Dalam pernyataan tersebut Rosihan Anwar menyatakan mencabut kembali gugatan terhadap Menpen dan B.M. Diah di Pengadilan Negeri.87
Gambar 7. Suasana sebelum dilangsungkannya penandatanganan naskah penyatuan kembali kepengurusan PWI, dari kiri Menpen Budiarjo, B.M. Diah, dan Rosihan Anwar. Sumber: Merdeka, 8 Maret 1970 Mengenai pengurus cabang-cabang dan perwakilan PWI disepakati untuk sementara waktu lembaga-lembaga kepengurusan itu berada dalam status quo sampai tercapainya pedoman dari Pengurus Pusat sesuai dengan tujuan integrasi. Pengurus Pusat juga sependapat untuk segera meyelenggarakan Kongres PWI 87
Merdeka, 8 Maret 1971.
104
secepat mungkin untuk mempertanggungjawabkan integrasi tersebut sesuai dengan pasal 22 Peraturan Dasar PWI. B.M Diah menyatakan bahwa integrasi ini dilakukan atas kemauan sendiri dari kedua belah pihak, dan tidak ada campur tangan dari pihak manapun.88 Sebagai lanjutan dari pernyataan integrasi pada tanggal 19 Maret 1971 diadakan pertemuan antara ketiga pihak yang berselisih di gedung PWI Pusat. Mereka mengadakan persepakatan perdamaian berkenaan dengan integrasi yang telah dicapai pada 6 Maret 1971. Ketiga pihak itu ialah PWI-Rosihan, PWI-Diah dan Menpen yang diwakili oleh Tedjo Sumarto sebagai Kepala Biro Hukum Departemen Penerangan. Hasil dari persepakatan perdamaian tersebut ialah PP PWI Rosihan dan B.M. Diah akan bekerjasama bertindak keluar maupun kedalam PWI sebagai “Satu Pengurus Pusat”.89 Bersatunya PWI dilanjutkan dengan serah terima jabatan PP PWI lama kepada PP PWI baru yang belum dilaksanakan. Upacara dilakukan pada tanggal 23 Maret 1971 di Kantor PWI Pusat dan dihadiri oleh hampir seluruh pengurus hasil integrasi. Naskah serah terima kepengurusan PWI ditandatangani oleh sembilan orang anggota pengurus, yaitu enam orang dari pengurus baru dan tiga orang dari pengurus lama.90 Kepada cabang-cabang PWI yang turut mengalami perpecahan dalam kepengurusannya diserukan agar mengadakan follow up integrasi di tingkat cabang. PP PWI menyarankan diadakannya fusi atau penyatuan dari keseluruhan unsur kedua Pengurus Cabang dengan penentuan kedudukan atau jabatan dan 88
Ibid. Lais Abit, Prabowo, Togi Simanjuntak, op. cit., hlm 81-82. 90 Warta Berita, 28 Maret 1971. 89
105
pengaturan kerja menurut kebijaksanaan kolektif, dalam melaksanakan fusinya kedua unsur Pengurus akan melakukan rapat anggota gabungan yang selanjutnya akan menghasilkan kepengurusan yang baru.91 Setelah terjadi penggabungan pihak-pihak yang bertikai, PWI berusaha meningkatkan konsolidasi dan profesionalisme wartawan. Hubungan di antara pihak-pihak yang terlibat konflik kembali normal dan harmonis. Keadaan ini terjadi karena konflik kepentingan yang melanda PWI menghasilkan win and win solution di mana kedua belah pihak tetap berada pada posisinya masing-masing.92 Pada masa kepengurusan B.M. Diah dan Rosihan Anwar, PWI melaksanakan program pendidikan bagi wartawan untuk meningkatkan kualitas dan kemampuan kerja anggota PWI. Tahun 1971 PWI memulai program Karya Latihan Wartawan yang bekerjasama dengan Deppen, diangkat Rosihan Anwar sebagai Direktur program Karya Latihan Wartawan. Langkah integrasi yang dilakukan dua PP PWI disempurnakan dalam Kongres PWI ke-XV di Tretes tahun 1973. Sebenarnya masih kuat keinginan pengurus lama untuk bertahan, namun untuk menghindari terjadinya konflik kembali maka kedua pihak tidak dicalonkan lagi.93
91
Angkatan Bersenjata, 29 Maret 1971. Wirawan, op. cit., hl,, 126. 93 Afrizal Munir, op. cit., hlm 86. 92