BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. GAMBARAN SINGKAT LOKASI 1. Sejarah Berdirinya Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jawa Tengah II Provinsi Jawa Tengah mempunyai dua Kantor Wilayah (Kanwil) Direktorat Jenderal Pajak. Pada tanggal 10 Januari 2007 terbit SE - 1/PJ/2007 tentang Petunjuk Pelaksanaan Dalam Rangka Reorganisasi Kantor Pusat Dan Instansi Vertikal Direktorat Jenderal Pajak Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 131/PMK.01/2006 Dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 132/PMK.01/2006 maka berdiri Kantor Wilayah Direkotorat Jenderal Pajak Jawa Tengah I terletak di kota Semarang. Sedangkan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jawa Tengah II terletak di kota Surakarta tepatnya Jalan M.T. Haryono No.5 Manahan. Duabelas Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama di lingkungan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jateng II yaitu : a) Kantor Pelayanan Pajak Surakarta; b) Kantor Pelayanan Pajak Sukoharjo; c) Kantor Pelayanan Pajak Boyolali; d) Kantor Pelayanan Pajak Karanganyar; e) Kantor Pelayanan Pajak Klaten; f) Kantor Pelayanan Pajak Magelang; g) Kantor Pelayanan Pajak Cilacap; h) Kantor Pelayanan Pajak Purwokerto; i) Kantor Pelayanan Pajak Purbalingga; j) Kantor Pelayanan Pajak Kebumen; k) Kantor Pelayanan Pajak Purworejo; l) Kantor Pelayanan Pajak Temanggung;
43
44
2. Visi Dan Misi Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jawa Tengah II 1) Visi Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jawa Tengah II Menjadi institusi pemerintah penghimpun pajak negara yang terbaik di wilayah Asia Tenggara. 2) Misi Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jawa Tengah II Menyelenggarakan fungsi administrasi perpajakan dengan menerapkan Undang-Undang Perpajakan secara adil dalam rangka membiayai penyelenggaraan negara demi kemakmuran rakyat.
3. Dasar Hukum, Tugas Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jawa Tengah II 1) Dasar Hukum Peraturan Menteri Keuangan Nomor 206.2/PMK.01/2014 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Instansi Vertikal Direktorat Jenderal Pajak. 2) Kedudukan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak yang selanjutnya dalam Peraturan Menteri Keuangan ini disebut Kantor Wilayah adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Pajak yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Direktur Jenderal Pajak yang dipimpin oleh seorang kepala. 3) Tugas Kantor
Wilayah
mempunyai
tugas
melaksanakan
koordinasi,
bimbingan teknis, pengendalian, analisis, evaluasi, penjabaran kebijakan serta pelaksanaan tugas di bidang perpajakan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
4. Struktur Organisasi Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jawa Tengah II
Unit Fungsional
Unit Eselon IV
Unit Eselon III
Unit Eselon II
Seksi Data dan Potensi
Seksi Bimbingan konsultasi
Seksi Bimbingan Ekstensifikasi
Seksi Dukungan Teknis Komputer Seksi Bimbingan Penagihan
Seksi Administrasi Penyidikan
Seksi Bimbingan Pemeriksaaan
Bidang Pemeriksaan, Penyidikan, dan Penagihan Pajak
Subbagian Bantuan Hukum dan Pelaporan
Seksi Hubungan Masyarakat
Seksi Bimbingan Pelayanan
Seksi Bimbingan Penyuluhan
Bidang Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat
Subbagian Tata Usaha dan Rumah Tangga
Seksi Pengurangan, Keberatan Banding IV
Seksi Pengurangan, Keberatan Banding III
Seksi Pengurangan, Keberatan Banding II
Seksi Pengurangan, Keberatandan Banding I
Bidang Pengurangan, Keberatan dan Banding
Kantor Pelayanan Pajak Madya dan Pratama
Kelompok Jabatan Fungsional
(Sumber: Seksi P2Humas Kanwil Direktorat Jenderal Pajak Jawa Tengah II)
Gambar 4: Bagan Organisasi Direktorat Jenderal Pajak Kantor WilayahSurakarta
Seksi Bimbingan Pengenaan
Seksi Bimbingan Pendataan dan Penilaian
Bidang Kerjasama, Ekstensifikasi dan Penilaian
Subbag Keuangan
Bidang Dukungan Teknis dan Konsultasi
Subbagian Kepegawaian
Bagian Umum
Direktorat Jenderal Pajak
Kantor Wilayah
45
46
5. Fungsi dan Tugas Setiap Seksi di Bidang Pemeriksaan, Penagihan, Intelejen, dan Penyidikan dalam Kaitannya dengan Pelaksanaan Penagihan Pajak Dalam melaksanakan tugasnya, Bidang Pemeriksaan, Penagihan, Intelijen, dan Penyidikan menyelenggarakan fungsi: 1) pelaksanaan teknis pemeriksaan oleh petugas pemeriksa pajak yang ditunjuk oleh kepala kantor; 2) pelaksanaan administrasi kegiatan pemeriksaan perpajakan; 3) pemberian bimbingan teknis pemeriksaan dan penagihan pajak; 4) pemberian bimbingan administrasi pemeriksaan dan penagihan pajak; 5) bantuan pelaksanaan penagihan; 6) pemantauan pelaksanaan teknis dan administrasi pemeriksaan dan penagihan pajak; 7) pelaksanaan teknis dan administrasi kegiatan intelijen perpajakan; 8) pelaksanaan administrasi penyidikan termasuk pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan; dan 9) penelaahan hasil pelaksanaan pekerjaan pejabat fungsional pemeriksa pajak dan petugas pemeriksa pajak yang ditunjuk oleh kepala kantor (peer review). a) Seksi Administrasi dan Bimbingan Pemeriksaan mempunyai tugas: Melakukan pelaksanaan teknis dan administrasi pemeriksaan pajak, bimbingan teknis pemeriksaan, pemantauan pelaksanaan kebijakan teknis pemeriksaan, dan penelaahan hasil pelaksanaan pekerjaan pejabat fungsional pemeriksa pajak dan petugas pemeriksa pajak yang ditunjuk oleh kepala kantor (peer review). b) Seksi Bimbingan Penagihan mempunyai tugas: Melakukan bimbingan teknis dan administrasi penagihan, pemantauan pelaksanaan kebijakan teknis penagihan, dan bantuan pelaksanaan penagihan pajak.
47
c) Seksi Intelejen mempunyai tugas: Melakukan
penanganan
informasi,
data,
laporan,
dan
pengaduan, serta kegiatan intelejen perpajakan lainnya di lingkup Kantor Wilayah yang menjadi wewenangnya. d) Seksi Administrasi Bukti Permulaan dan Penyidikan mempunyai tugas: Melakukan administrasi pemeriksaan bukti permulaan dan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, serta pemantauan pelaksanaan kebijakan teknis pemeriksaan bukti permulaan dan penyidikan. 6. Realisasi
Pencapaian
Penerimaan
Pajak
di
Kantor
Wilayah
Direktorat Jenderal Pajak Jawa Tengah II Setiap kantor wilayah Direktorat Jenderal Pajak memiliki target penerimaan yang berbeda antara satu kantor wilayah satu dengan kantor wilayah lain dengan patokan setiap tahunnya. Salah satu kantor wilayah yang membahawahi 12 (dua belas) kantor pelayanan pajak menargetkan penerimaan pajak yang harus diterima bertambah setiap tahunnya. Adapun disajikan dalam bentuk tabel target dan realisasi penerimaan pada tahun 2013 sampai dengan tahun 2015 yang dicapai oleh Direktorat Jenderal Pajak Kanwil II Jawa Tengah Surakarta sebagai berikut: Tabel. 2. Target dan Realisasi Penerimaan DJP Kanwil II Jateng (Tahun 2013-2015) Tahun
Target
Penerimaan
%capai
2013 2014
Rp. 6.543.608.889.000,00 Rp. 6.615.060.853.994,00
Rp.5.269.803.010.958,00 Rp. 6.873.942.736.617,00
85.15% 103.91%
2015
Rp. 10,056,254,790,988,00
Rp. 8,794,924,915,427,00
87.46%
( Sumber: Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jawa Tengah II)
48
Berdasarkan tabel diatas dapat dikatakan pada tahun 2014 Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jawa Tengah II (Kanwil Jateng II) mengalami kenaikan yang cukup signifikan dari tahun sebelumnya yakni pada tahun 2013. Menurut sumber berita dari website resmi pajak Kanwil Jawa Tengah II meraih peringkat pertama nasional untuk kinerja penerimaan dibandingkan dengan kantor wilayah lain diseluruh Indonesia (http://www.pajak.go.iddiakses pada 29 Februari 2016 pukul 19.00). Namun prestasi tersebut hanya dapat bertahan pada tahun 2014 karena pada tahun berikutnya di tahun 2015 penerimaan sektor pajak di Kanwil Jateng II ini pun mengalami penurunan yang cukup signifikan.
B. Pelaksanaan Penyanderaan di Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jawa Tengah II berdasarkan Undang-UndangNomor 19 Tahun 2000 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 Tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa 1. Pengusulan penyanderaan oleh Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jawa Tengah II Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jawa Tengah II baru memulai melakukan penagihan pajak melalui penyanderaan pada tahun 2015.Berdasarkan wawancara dengan salah satu
pegawaidi Kantor
Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jawa Tengah II (Kanwil Jateng II) pada seksi Bimbingan Penagihan yakni Bapak Nindi Darifki, S.H, M.H, penyanderaan dalam lingkup perpajakan dibawah kinerja Direktorat Jenderal Pajak sudah mulai diterapkan sejak muncul Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-218/PJ/2003 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyanderaan dan Pemberian Rehabilitasi Nama Baik Penanggung Pajak yang Disandera. Rencana pengusulan penyanderaan oleh Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jawa Tengah II merencakan kepada wajib pajak yang membandel sebenarnya pada tahun 2009 dan 2010 namun karena Kanwil
49
Jateng II tidak serta merta langsung melakukan penyanderaan terhadap wajib pajak mengingat penyanderaan sendiri harus dilaksanakan dengan sangat selektif dan hati-hati dalam penerapannya misalnya apabila terjadi kesalahan yang dilakukan oleh pejabat fiskus, wajib pajak dapat mencari celah
untuk
mengajukan
gugatan
terhadap
teknis
pelaksanaan
penyanderaan tersebut, serta mengingat hal lain bahwa penyanderaan membutuhkan biaya cukup besar karena negara harus mengeluarkan biaya terlebih dahulu untuk biaya penagihan walaupun pada akhirnya memang biaya tersebut akan dikembalikan oleh wajib pajak yang telah disandera. Maka dari itulah penyanderaan pada tahun 2009 dan tahun 2010 tersebut sangat dihindari dan dilakukan upaya lain terhadap wajib pajak yang akan diusulkan penyanderaan yakni dengan cara konseling misalnya dengan persetujuan utang pajak tersebut akan dicicil pembayarannya,atau denganmemberikan keterangan kepada wajib pajak terkait kemudahan pembayaran pajak, memberikan informasi adanya upaya hukum keberatan apabila wajib pajak merasa keberatan atas ketetapan besarnya pajak yang harus dibayar. Beberapa upaya konseling tersebut dilakukan pada tahun 2009 dan tahun 2010 sehingga usulan penyanderaan pada kedua tahun tersebut dapat dihindari. Penagihan pajak melalui penyanderaan mulai diusulkan kembali pada tahun pelaksanaan penyanderaan 2015, tercatat ada tiga orang wajib pajak yang akan diusulkan ke Kementerian Keuangan. Tiga orang tersebut penulis tidak diperbolehkan mengetahui siapa saja yang diusulkan karena menjadi rahasia negara sesuai yang tertera dalam Pasal 34 UndangUndang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas UndangUndang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan. Sejak saat diusulkan ke Kementerian Keuangan hanya satu wajib pajak yang disetujui untuk diterbitkan surat perintah penyanderaan, dan kedua wajib pajak lainnya masih terdapat pemeriksaan yang kurang lengkap terkait petunjuk bahwa wajib pajak diragukan itikad baiknya sehingga usulan penyanderaan terhadap dua wajib pajak tersebut ditolak,
50
namun kepada satu wajib pajak disetujui karena telah dari hasil pemeriksaan berkas perkara telah terpenuhi oleh Direktorat Jenderal Pajak Pusat. Wajib pajak tersebut berinisial “DW” yang mempunyai jumlah utang pajak sebesar Rp3.909.846.655 (tiga milyar sembilan ratus sembilan juta delapan ratus empat puluh enam ribu enam ratus lima puluh lima rupiah) dan berdomisili di Purwokerto Jawa Tengah (lampiran 1).
2. Proses Pelaksanaan Penyanderaan terhadap DW Berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 Tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa
Undang-Undang Penagihan Pajak menegaskan proses pelaksanaan penagihan dilakukan secara adil dan memberikan kepastian hukum serta untuk mendorong peningkatan kesadaran dan kepatuhan masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya guna untuk menegakkan hukum di Indonesia. Sebagai kajian mengenai pelaksanaan peyanderaan menyangkut beberapa aspek seperti apa saja yang dilakukan dalam proses penyanderaan, siapa yang melakukan, dimana penyanderaan tersebut dilakukan, kapan pelaksanaan penyanderaan dilaksanakan yang mana terkait pula aspek jangka waktu dan bagaimana pelaksanaanya, dan tentunya melibatkan poin-poin guna mengkaji aspek-aspek tersebut. Dalam penelitian ini, kajian mengenai pelaksanaan penyanderaan penulis membagi menjadi tiga proses analisis dari data yang telah diperoleh dari Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jawa Tengah II (Kanwil Jateng II) ditinjau melalui 3 (tiga) tahapan yakni pada proses penetapan penyanderaan, proses realisasi penyanderaan itu sendiri, dan terakhir proses penghentian pelaksanaan penyanderaan, berikut hasil analisa terkait pelaksanaan penyanderaan terhadap wajib pajak yang mempunyai utang pajak di Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jawa Tengah II
51
(Kanwil Jateng II) yakni penyanderaan yang dilakukan terhadap penunggak pajak berinisal DW: a. Proses Penetapan Penyanderaan Dasar adanya penetapan penyanderaan ini berawal dari proses penagihan pajak yang telah dilakukan oleh Kanwil Jateng II dimulai pada tanggal 6 Desember 2012ditetapkan 85 (delapan puluh lima) atas ketetapan
Surat
Ketetapan
Pajak
Kurang
Bayar
(SKPKB)yang
diakumulasikan dari utang pajak pada tahun 2007, 2008, 2009 atas Pajak Pertambahan Nilai jenis barang kena pajak yang kesemuanya merupakan pajak kurang bayar dengan total kurang bayar tersebut sebesar Rp3.909.846.655 yang telah jatuh tempo serta tidak dilunasinya besarnya pajak yang harus dibayarkan setelah adanya surat ketetapan pajak kurang bayar (SKPKB) tersebut. Tindakan penagihan pertama kali terbitnya surat teguran pada bulan Februari tahun 2013 dan Februari tahun 2014 atas dua penetapan yang sebelumnya diajukan upaya hukum keberatan, namun dengan dikeluarkannya surat teguran tersebut DW tidak pula melakukan pelunasan pajaknya, dan akhirnya dilakukan penagihan berikutnya yakni dikeluarkan surat paksa pada bulan Maret tahun 2013 dan Maret tahun 2014. Tahapan penagihan sampai dengan
tahapan pemblokiran
rekeningmilik DW yang tersimpan dalam salah satu bank swasta di Indonesia, terhitung sejak awal bulan April 2013, sampai dengan dilakukan tahap penyitaan namun tidak dapat dilaksanakan dikarenakan karena semua barang bergerak mapun barang tidak bergerak milik DW telah diatas namakan orang lain yakni seperti tanah dan rumah milik DW. Terhadap tahapan penyitaan terhadap harta kekayaan DW tidak dapat dilakukan pelunasan utang pajaknya. Berbagai upaya penagihan telah dilakukan dan akhirnya dipilih upaya terakhir yakni penyanderaan terhadap DW, dengan prosedur berawal dari proses penetapan berdasarkan Surat Perintah Penyanderaan yang diterbitkan oleh kepala Kantor Pelayanan Pajak Purwokerto dengan tembusan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jawa Tengah
52
II (Kanwil Jateng II) setelah memperoleh izin tertulis dari Menteri Keuangan. Berdasarkan surat permohonan izin penyanderaan (lampiran 2) yang dikeluarkan oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak Purwokerto tercantum beberapa ketentuan yakni adanya identitas penanggung pajak yang akan disandera, jumlah utang pajak yang belum dilunasi, tindakan penagihan pajak yang telah dilaksanakan, uraian tentang adanya petunjuk bahwa penanggung pajak diragukan itikad baik dalam pelunasan utang pajak. Adapun uraian DW diragukan itikad baiknya adalah sebagai berikut: 1) Penanggung Pajak tidak merespon himbauan untuk melunasi utang pajak dengan bukti DW tidak segera melunai sekalipun telah diterima surat teguran dan surat paksa kepadanya; 2) Penanggung Pajak tidak menjelaskan/tidak bersedia melunasi utang pajak baik sekaligus maupun angsuran dengan bukti terhadap utang DW telah dilakukan konseling untuk pelunasan utang pajak namun DW tetap tidak bersedia melunasi; 3) Penanggung pajak memindahtangankan barang yang dimiliki atau yang dikuasai dalam rangka mengehentikan atau mengecilkan kegiatan perusahaan, atau pekerjaan yang dilakukannya di Indonesia dengan bukti ketika akan dilakukan penyitaan harta milik DW telah dipindah tangankan dan akhirnya tidak dapat dilakukan penyitaan. Permohonan izin penyanderaan yang diberikan oleh Kementerian Keuangan secara tertulis dan dikirim melalui Direktorat Jenderal Pajak Pusat (DJP Pusat) dan diserahkan kepada kepala Kantor Pelayanan Pajak Purwokerto. Surat permohonan izin penyanderaan yang dikeluarkan oleh Kementerian Keuangan ini sebelumnya telah dilakukan tahapan pengecekan ulang atau review terkait dengan kelengkapan data permohonan izin penyanderaan dan proses penagihan pajak oleh Kanwil II Jateng yang dilakukan sebelum akhirnya memutuskan untuk dilakukan pengusulan penyanderaan terhadap DW (lampiran 3). Setelah menerima
53
izin tertulis tersebut terbit Surat Perintah Penyanderaan (lampiran 4) yang dikeluarkan oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak Purwokerto yang telah bekerja sama dengan Kementerian Hukum dan HAM beseta kepolisian Purwokerto dan Banyumas melalui surat edaran dirjen pajak perihal permintaan bantuan pelaksanaan penyanderaan (lampiran 5) untuk dihubungkan kepada kepala rumah tahanan Banyumas untuk penitipan sandera ditempat tertentu yakni rumah tahanan Banyumas (Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Nindi Darifki S.H, M.H selaku karyawan bagian seksi Penagihan di Kanwil Jateng II pada tanggal 19 Februari 2016 pukul 15.30 WIB). Surat perintah penyanderaan tersebut memuat adanya dasar pertimbangan dan dasar hukum penyanderaan, pelaksana penyanderaan, identitas penanggung pajak, alasan penyanderaan, tempat penyanderaan, lamanya penyanderaan, izin penyanderaan, penerimaan surat perintah penyanderaan yang diserahkan kepada penanggung pajak yang ditanda tangani oleh penanggung pajak yang disandera dan jurusita pajak yang ditunjuk. Sedangkan pada surat permintaan bantuan pelaksanaan penyanderaan memuat adanya pelaksana penyanderaan dari perwakilan kepolisian
resort
Banyumas,
identitas
penanggung pajak
yang
dikeluarkan oleh kepala kantor pelayanan pajak Purwokerto melalui tembusan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jawa Tengah II. Menurut analisa penulis, proses penetapan penyanderaan telah dilakukan melalui beberapa tahapan penagihan yakni mulai dari penagihan pajak pasif dengan dikeluarkannya Surat Ketetapan Kurang Bayar yang mana hal ini merupakan dasar adanya penagihan pajak seperti yang tercantum dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UndangUndang Nomor 16 Tahun 2009 (selanjutnya disebut UU KUP) dan adanya upaya hukum keberatan yang diajukan oleh DW, selanjutnya
54
penagihan pajak pasif tidak mampu membuat DW untuk segera melunasi utang pajaknya maka tahapan berikutnya yakni penagihan pajak secara aktif akhirnya dilaksanakan. Penagihan pajak secara aktif ini diawali dengan diterbitkan surat teguran dengan mendasar pada ketentuan pada Pasal 9 ayat (2) dan ayat (3) UU KUP, Pasal 4 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor 85/PMK.03/2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor 24/PMK.03/2008 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penagihan Dengan Surat Paksa Dan Pelaksanaan Penagihan Seketika dan Sekaligus (selanjutnya disebut PMK-24/2008 stdd PMK-85/2010), Pasal 8 ayat (1) PMK-24/2008 stdd PMK-85/2010, Pasal 48 ayat (8) Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak Dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan (selanjtnya disebut PP-74/2011) yang telah disesuaikan jangka waktu setelah satu bulan sejak ketetapan yang diberikan kepada DW telah jatuh tempo dan berkekuatan hukum tetap (inkracht). Tahapan penagihan pajak secara aktif setelah dikeluarkannya surat teguran dan pada kenyataannya tidak berhasil untuk membuat DW membayar utang pajaknya adalah dengan dikeluarkan surat paksa dengan jangka waktu pemberitahuan surat paksa sejak 1 (satu) bulan jatuh tempo pembayaran setelah dikeluarkan surat teguran, hal ini telah sesuai dengan Pasal 8 ayat (1) huruf a UU PPSP, Pasal 12 PMK-24/2008 stdd PMK 85/2010. Sejak diterbitkan dan dilaksanakan surat paksa, dikarenakan surat paksa memberikan kewenangan kepada petugas petugas penagihan pajak untuk melaksanakan eksekusi langsung (parate executie) dalam penyitaan atas barang milik Penanggung Pajak (Dodik Syamsu Hidayat, 2014 : 19). Penyitaan dilaksanakan dengan pemblokiran rekening “DW” sesuai dengan Pasal 2 KMK-563/2000Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor 563/KMK.04/2000 tentang Pemblokiran dan Penyitaan Harta Kekayaan Penanggung Pajak Yang Tersimpan Pada Bank Dalam Rangka Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa yang berbunyi:
55
(1) “Dalam melaksanakan penagihan pajak dengan Surat Paksa, Jurusita Pajak berwenang melaksanakan penyitaan terhadap harta kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank. (2) Penyitaan terhadap harta kekayaan Penanggung Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan dengan pemblokiran terlebih dahulu.” Proses penagihan pajak secara aktif melalui penyanderaan akhirnya ditempuh karena beberapa upaya telah dilakukan namun DW tetap tidak mau melunasi utang pajaknya atau dapat dikatakan penyanderaan merupakan upaya yang dilakukan sebagai upaya terakhir agar tidak terjadi kesewenang-wenangan dan tidak bertentangan dengan rasa keadilan. Hal ini sesuai dengan Penjelasan Pasal 33 ayat (1) UndangUndang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa (selanjutnya disebut UU PPSP) dimana pelaksanaan penyanderaan terhadap DW sebagai bahan pertimbangan untuk mengajukan izin penyanderaan telah dilakukan upaya penagihan aktif yang sebelumnya telah diterangkan di atas, selanjutnya upaya penagihan aktif melalui penerbitan surat teguran, surat paksa melalui penyitaan dan pemblokiran namun hal tersebut tetap tidak berhasil membuat DW membayar utang pajaknya. Penyanderaan dapat dilaksanakan setelah permohonan izin penyanderaan yang diajukan oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Purwokerto selaku kepala KPP yang berhak berwenang mengeluarkan surat permohonan izin tersebut kepada Kementerian Keuangan melalui tembusan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jawa Tengah II selaku pembimbing pelaksanaan penyanderaan yang akan dilakukan oleh KPP Purwokerto. Dari surat permohonan izin tersebut telah memuat hal-hal yang harus tercantum
seperti yang tertuang dalam peraturanyang berlaku
yakni Pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 137 Tahun 2000 tentang Tempat dan Tata Cara Penyanderaan, Rehabilitasi Nama Baik
56
Penanggung Pajak dan Pemberian Ganti Rugi dalam Rangka Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa(selanjutnya disebut PP-137/2000), Pasal 3 ayat (1) Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep-218/ PJ/ 2003 tanggal 30 Juli 2003 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyanderaan dan Pemberian Rehabilitasi Nama Baik Penanggung Pajak yang disandera (selanjutnya disebut KEP-218/PJ/2003) dengan ketentuan bahwa uraian petunjuk bahwa Penanggung Pajak tidak merespon himbauan untuk melunasi utang pajak, Penanggung Pajak tidak menjelaskan/tidak bersedia melunasi utang pajak sekaligus maupun angsuran, Penanggung Pajak tidak bersedia menyerahkan hartanya untuk melunasi utang pajak, Penanggung Pajak memindahtangankan barang yang dimiliki atau yang dikuasai dalam rangka menghentikan atau mengecilkan kegiatan perusahaan, atau pekerjaan yang dilakukan di Indonesia. Selain itu adanya identitas penanggung pajak untuk menunjukan secara jelas siapa wajib pajak yang akan disandera, jumlah utang pajak yang belum dilunasi guna untuk menerangkan syarat dari penyanderaan telah terpenuhi yakni lebih dari 100.000.000 (seratus juta rupiah), uraian penagihan yang telah dilaksanakan guna untuk memenuhi ketentuan bahwa penyanderaan dilaksanakan karena berbagai upaya penagihan pajak tidak dapat membuat DW membayar utang pajaknya dan sebagai upaya terakhir. Permohonan izin penyanderaan yang diajukan oleh Kepala KPP Purwokerto kepada Menteri Keuangan melalui Direktorat Jenderal Pajak Pusat. Izin penyanderaan dari Menteri Keuangan pun tidak serta merta didapatkan pelaksanaanya karena pelaksanaan penyanderaan harus dilaksanakan secara selektif, maka Direktorat Jenderal Pajak Pusat melakukan review terhadap pelaksanaan penagihan pajak yang sebelumnya telah dilakukan oleh KPP Purwokerto kepada DW serta melakukan analisa terhadap proses penagihan tersebut agar tidak terjadi kesalahan dan ketidakadilan bagi wajib pajak yang akan disandera (DW) serta disesuaikan dengan Pasal 33 ayat (1) UU PPSP terkait dengan
57
syarat termasuk didalamnya syarat kualitatif dan syarat kuantitaf yang diperbolehkan untuk dilakukan penyanderaan. Proses penetapan selanjutnya apabila telah mendapatkan izin tertulis dari Kementerian Keuangan langsung dikirim kepada Kepala KPP Purwokerto untuk segera diterbitkan seketika diterimanya izin tersebut, hal ini didasarkan pada Pasal 5 PP 137/2000. Surat perintah tersebut berisikan pertimbangan dan dasar hukum adanya penyanderaan untuk kepentingan penagihan pajak dalam rangka mengamankan penerimaan keuangan negara serta dengan dasar hukum Pasal 33 UU PPSP, PP 137/2000, PMK Bersama Kementerian Keuangan dan Kementerian Hukum dan HAM Nomor 294/KMK.03/2003 M02.UM.09.0, Surat Paksa dan Berita Acara Pemberitahuan Surat Paksa, dan surat izin penyanderaan dari Menteri Keuangan. Identitas Penanggung Pajak agar penyanderaan dilaksanakan ditujukan kepada pihak yang tepat. Lama penyanderaan yang disesuaikan dengan aturan yang berlaku yakni paling lama 6 (enam) bulan dan dapat diperpanjang untuk selama-lamanya 6 (enam) bulan, pelaksanaan penyanderaan dapat dilaksanakan pada bulan yang ditentukan pada surat perintah penyanderaan, tempat penyanderaan agar jelas wajib pajak yang berdomisili di Purwokerto akan ditempatkan di Rumah Tahanan Banyumas. Hal terpenting dari surat perintah penyanderaan ini adalah memuat bukti surat perintah penyanderaan tersebut telah disampaikan kepada wajib pajak atau diterima oleh yang bersangkutan terhadap wajib pajak tersebut. Sebelum dilakukan proses penyanderaan Kepala KPP Purwokerto meminta bantuan pelaksanaan penyanderaan kepada perwakilan kepala kepolisian resort Banyumas melalui surat edaran dirjen pajak perihal permintaan bantuan pelaksanaan penyanderaan. Surat tersebut memuat identitas perwakilan pelaksana dari kepolisian resort Banyumas dan identitas penyanderaan terhadap wajib pajak atau penanggung pajak agar pihak yang akan disandera tidak salah pihak pada saat penangkapan
58
penyanderaan dilakukan. Pada saat pelaksanaan penyanderaan telah disandera
dalam
rumah
tahanan,
pengawasan
dan
pelimpahan
penyanderaan diberikan kepada kepala rumah tahanan banyumas, sehingga diperlukan adanya koordinasi terlebih dahulu kepada kepala rumah tahanan Banyumas melalui kepolisian resort setempat dengan persetujuan dari Kementrian Hukum dan HAM. Proses penetapan penyanderaan yang telah dilaksanakan oleh Kanwil Jateng II terhadap wajib pajak DW disajikan dalam bentuk alur sebagai berikut:
Penerbitan SKPKB (Surat Ketetapan Kurang Bayar)
Saat jatuh tempo tidak dilunasi
Tahapan Penagihan Pajak Surat Teguran
Pelaksanaan penyanderaan dapat segera dilakukan
Saat jatuh tempo tidak dilunasi
Tahapan Penagihan Pajak Surat Paksa
Saat jatuh tempo tidak dilunasi Eksesuksi langsung penyitaan melalui pemblokiran Pemblokiran tidak mencukupi
Mendapat izin dari Kementerian Keuangan segera diterbitkan Surat Perintah Penyanderaan oleh Kepala KPP Purwoketo
Kepala KPP Purwokerto mengajukan permohonan izin penyanderaan kepada Menteri Keuangan
Gambar 5. Proses penetapan penyanderaan terhadap DW
59
b. Proses Pelaksanaan Penyanderaan Proses penyanderaan dapat dilaksanakan ketika surat perintah penyanderaan diterbitkan oleh Kepala KPP Purwokerto pada tanggal 26 Juni 2015. Isi dari surat perintah penyanderaan tersebut menyebutkan bahwa pelaksanaan belum dapat dilaksanakan seketika dikarenakan pada tanggal tersebut bertepatan saat ibadah puasa yang dijalankan oleh DW, pelaksanaan penyanderaan ditunda sampai dengan ibadah yang sedang dijalankan oleh DW selesai dilakukan dan jatuh pada tanggal 29 Juli 2015. Tepat pada tanggal 29 Juli 2015 jurusita pajak pada KPP Purwokerto bersama dengan perwakilan resort Banyumas beserta 2 (dua) orang saksi lain yakni Kepala Seksi Bimbingan Penagihan Bapak Jaya Kusuma, S.H,M.H dan salah satu perwakilan dari DJP Pusat melaksanakan perintah penyanderaan langsung kerumah DW yang sebelumnya telah dilakukan pengamatan dari seksi intelejen Kanwil II Jateng untuk memantau kegiatan DW agar tidak melarikan diri, selain itu pemantauan dilakukan agar pada saat eksekusi penyanderaan petugas dapat dengan mudah menangkap wajib pajak karena telah diketahui secara pasti keberadaan wajib pajak yang dimaksud. Penyanderaan dilakukan pada saat DW sedang berada dikediaman DW yakni berada di daerah Purwokerto. Jurusita pajak menyampaikan dan membacakan secara langsung surat perintah penyanderaan sebagai dasar penyanderaan yang ditujukan kepada DW dan bukti bahwa DW merupakan pihak yang benar untuk dilakukan eksekusi penyanderaan. Surat perintah penyanderaan tersebut diterima, dan didengar langsung oleh DW. Proses penangkapan DW pun seketika terjadi setelah surat tersebut diterima oleh DW, namun saat penangkapan DW menolak untuk
dibawa
oleh
petugas
Kepolisian
dan
menolak
untuk
menandatangani berita acara penyanderaan (BAP). Terjadi tarik menarik antara petugas dengan keluarga DW namun guna ketegasan petugas DW
60
tetap harus ditangkap karena hal tersebut telah menjadi kewajiban petugas untuk menangkap DW dan menjebloskan ke rumah tahanan untuk di sandera sementara waktu. Keluarga
DW
akhirnya
ditenangkan
oleh
petugas
resort
Banyumaslain dan DW berhasil untuk dibawa ke rumah tahanan walaupun dengan kondisi DW tidak menerima dan menolak untuk menandatangani surat perintah penyanderaan. Jurusita pajak KPP Purwokerto tetap mencatat BAP tersebut yang menerangkan bahwa penyanderaan telah dilaksanakan pada tanggal 29 Juli 2015 dan telah dianggap telah menerima walaupun tanpa mendapatkan tanda tangan dari
DW.
Jususita
pajak
menyerahkan
salinan
surat
perintah
penyanderaan dan salinan berita acara penyanderaan (BAP) kepada kepala rumah tahanan Banyumas. Salinan berita acara penyanderaan tersebut juga diserahkan kepada DW sebagai penanggung pajak yang disandera dan salinan tersebut juga diserahkan kepada Bupati Banyumas. Berita acara penyanderaan (lampiran 6) yang dibuat oleh jurusita pajak memuat beberapa hal yakni nomor dan tanggal surat perintah penyanderaan, bertindak berdasarkan surat paksa yang dikeluarkan oleh KPP Purwokerto, izin tertulis dari Menteri Keuangan, identitas jurusita pajak, identitas saksi penyanderaan, identitas penanggung pajak, tempat penyanderaan, besarnya utang pajak penanggung pajak, alasan penyanderaan, berita acara penyanderaan ini di tanda tangani oleh penanggung pajak yang bersangkutan, jurusita pajak yang melakukan penyanderaan pada waktu itu, kepala rumah tahanan Banyumas, dan saksi yakni Bapak Jaya Kusuma S.H,M.H beserta 1 (satu) orang perwakilan dari Dirjen Pajak Pusat. Sebelum memasuki tempat penyanderaan, “DW” terlebih dahulu dilakukan penggeledahan seperti pemeriksaan alat elekronik yakni
61
handphone dan semacamnya, serta pengecekan kesehatan, yang dilakukan oleh polisi wanita yang mendampingi proses penyanderaan. Selain itu dilakukan penerimaan penanggung pajak yang disandera yang akan dicatatkan dalam buku register daftar penanggung pajak yang disandera, penerimaan tersebut dilakukan dengan cara penelitian surat perintah penyanderaan, pencocokan nama penanggung pajak yang disandera, penggeledahan badan atau barang, pengambilan sidik jari, pengambilan foto, dan pemeriksaan kesehatan oleh dokter rumah tahanan. Hasil dari penggeledahan menunjukkan bahwa DW tidak membawa alat elektronik maupun benda lain yang berbahaya. Sedangkan pada hasil pengecekan kesehatan, DW dinyatakan sehat dan dapat
dilanjutkan
untuk
dimasukkan
kedalam
rumah
tahanan.
Pengekangan sementara waktu dirumah tahanan Banyumas dilakukan terhadap DW dalam surat perintah penyanderaan paling lama selama lamanya 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal 29 Juli 2015. Pada saat ditempatkan di rumah tahanan Banyumas DW telah dipisahkan dengan tahanan tersangka pidana lain. Sehubungan dengan hal tersebut, untuk kegiatan makan sehari-harinya DW tetap bersama makan dengan tahanan pidana lain dan menggunakan pakaian yang sama dengan tahanan pidanan lainnya. Selama dalam proses penyanderaan DW mendapatkan kunjungan dari keluarga yang telah mendapatkan izin tertulis dari kepala KPP Purwokerto (lampiran 7) yang memuat beberapa hal yakni nomor surat, identitas kepala KPP yang berwenang, identitas pengunjung penanggung pajak yang disandera, identitas penanggung pajak yang disandera dan tanda tangan yang telah disetujui oleh kepala KPP Purwokerto. Setiap 3 (tiga) kali dalam seminggu DW telah dikunjungi oleh keluarganya selama 30 (tiga puluh) menit untuk setiap kali kunjungannya. Kunjungan yang dilakukan oleh keluarga DW sekaligus mendapatkan kiriman makanan dan bahan bacaan serta informasi yang mana petugas
62
mengizinkan DW mendapatkan kiriman tersebut yang telah dibawa kan oleh keluarga pengunjung. Selain mendapatkan kunjungan dari keluarga, DW juga menerima kunjungan dari pengacaranya guna memperoleh informasi untuk dapat keluar dari rumah tahanan tersebut. Proses penyanderaan pada tanggal pertengahan bulan Agustus DW mengalami depresi akibat penyanderaan yang ia alami sehingga menyebabkan DW
jatuh sakit. Ketika mengetahui DW jatuh sakit
kepala rumah tahanan Banyumas memberikan pelayanan kesehatan dengan mendatangkan dokter rumah tahanan Banyumas yang sedang bertugas untuk memeriksa kondisi DW dan menyampaikan kepada Kanwil Jateng II serta kepala KPP Purwokerto akan kondisi DW. Hasil dari pemeriksaan dokter setempat memberikan saran untuk dibawa kerumah sakit di wilayah Banyumas terdekat dengan permohonan izin dari kepala kantor KPP Purwokerto (lampiran 8) yang memuat beberapa hal nomor surat, identitas kepala KPP Purwokerto, rekomendasi dari dokter yang memeriksa dirumah tahanan, izin dirawat dirumah sakit, lamanya perawatan, identitas penanggung pajak yang disandera. Setelah mendapatkan izin dari kepala KPP Purwokerto, DW dilarikan ke rumah sakit yang telah diberitahukan kepada kepolisian resort Banyumas untuk mengawal DW selama proses perawatan.Selama 3 (tiga) hari sesuai dengan rekomendasi dari dokter, DW kembali memulih dan dinyatakan sehat, DW dikembalikan ke rumah tahanan Banyumas untuk kembali melanjutkan proses penyanderaan yang belum berakhir.Biaya perawatan di rumah sakit selama 3 (tiga) hari tersebut diakumulasikan dengan biaya penyanderaan mulai dari awal penahanan hingga akhir untuk selanjutnya ditambahkan ke dalam utang pajak yang sebelumnya telah ditetapkan kepada DW. Atas pelaksanaan penyanderaan ini, DW menggunakan haknya untuk mengajukan gugatan terhadap proses pelaksanaan penyanderaan
63
selama ini dengan didasarkan pada PERMA No. 1 Tahun 2000 Tentang Lembaga Paksa Badan yang diwakili kuasa hukumnya yakni Djoko Susanto. Atas gugatan tersebut Kanwil Jateng II dengan diwakili kuasa hukum yang mana merupakan wewenang dari Sub Direktorat Bantuan Hukum Direktorat Jenderal Pajak yakni beranggotakan Endah Ambar Arum, Jana Kumara dan Lilis Nur Faizah, menerima gugatan tersebut dan menghadiri setiap persidangan berlangsung (Lampiran 9). Proses persidangan sebelum pembacaan gugatan tahapan awal yakni mediasi berlangsung dan dilaksanakan pada awal September 2015 antara DW dengan perwakilan bantuan hukum melakukan perundingan dengan pembuatan Akta Perdamaian untuk pencabutan penyanderaan yang sedang dialami oleh DW dengan kesepakatan DW akan membayar setengah dari utang pajaknya secara tunai, dan setengahnya lagi akan diangsur yang salah satu angsurannya akan memberikan 3 (tiga) sertifikat untuk pelunasan utang pajaknya. Dengan
kesepakatan
yang
terjadi
antara
“DW”
dengan
Kementerian Keuangan dalam hal ini diwakili Bantuan Hukum Direktorat Jenderal Pajak, akhirnya Kementerian Keuangan memberikan izin kepada DW untuk melakukan pelepasan penyanderaan kepadanya pada akhir September 2015. Proses penyanderaan dinyatakan berakhir setelah mendapatkan persetujuan dari Kementerian Keuangan. Menurut analisa penulis, proses pelaksanaan penyanderaan yang dilakukan terhadap DW telah memenuhi prosedur penyanderaan yang berlaku. Penyanderaan yang diawali dengan adanya izin dari Kementerian Keuangan yang seketika diterbitkan surat perintah penyanderaan merupakan dasar adanya penyanderaan, hal tersebut berhubungan dengan Pasal 33 ayat (2) UU PPSP dimana penyanderaan terhadap penanggung pajak dalam hal ini DW harus didasarkan dengan adanya surat perintah penyanderaan yang diterbitkan oleh kepala KPP yang bersangkutan.
64
Selanjutnya setelah diterbitkan surat perintah penyanderaan tersebut yang bertepatan sedang dilaksanakan ibadah puasa yang dijalankan oleh DW maka penyanderaan ditunda dan dilanjutkan seusai ibadah yang dijalankan DW selesai. Pelaksanaan penyanderaan yang tidak boleh dilakukan dalam hal Penanggung Pajak sedang beribadah tercantum dalam Pasal 33 ayat (5) UU PPSP, Penjelasan Pasal 8 ayat (3) PP-137/2000, Pasal 7 ayat (2) KEP-218/PJ/2003. Pelaksanaan penyanderaan dilakukan oleh jurusita pajak KPP Purwokerto yang terealisasi pada tanggal 29 Juli 2015 dengan jalan menyampaikan langsung surat perintah penyanderaan dan memberikan langsung kepada DW pada saat berada dikediamannya di kawasan Purwokerto dengan disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi dari Kepala Seksi Bimbingan Penagihan yakni Bapak Jaya Kusuma, S.H,M.H dan salah satu perwakilan dari DJP Pusat. Dari realisasi penyanderaan tersebut telah sesuai dengan Pasal 8 ayat (1) dan Pasal 9 ayat (1) PP-137/2000 bahwa pelaksanaan penyanderaan dimulai dari dilaksanakan surat perintah penyanderaan yang disampaikan secara langsung kepada Penanggung Pajak yang bersangkutan dan penyanderaan itu sendiri dilaksanakan oleh jurusita pajak dengan disaksikan 2 (dua) orang penduduk Indonesia yang telah dewasa, dikenal oleh Jurusita pajak dan dapat dipercaya. Kemudian salinan surat perintah penyanderaan tersebut diberikan kepada kepala rumah tahanan Banyumas sebagai kepala tempat penyanderaan
dimana
penanggung
pajak
yang
bersangkutan
ditempatkan, hal ini didasarkan pada Pasal 7 ayat (5) KEP-218/PJ/2003 bahwa salinan surat perintah penyanderaan disampaikan kepada kepala rumah tahanan negara. Sehubungan wajib pajak yang disandera menolak untuk menerima dan menandatangi surat perintah penyanderaan jurusita pajak tetap meninggalkan surat perintah penyanderaan dikediaman DW dan surat perintah penyanderaan tersebut dianggap telah diterima serta sah mempunyai kekuatan hukum tetap mengikat sesuai dengan Pasal 7
65
ayat (4) KEP-218/PJ/2003. Berita acara pelaksanaan penyanderaan didasarkan pada Pasal 9 ayat (4) PP-137/2000 yang memuat beberapa hal bahwa pelaksanaan penyanderaan telah dilaksanakan pada waktu yang tertera dalam surat perintah penyanderaan dilakukan oleh jurusita berwenang yang pada KPP Purwokerto yang telah disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi dan telah melaksanakan penyanderaan terhadap penanggung pajak yang semestinya dengan ditandatangani oleh jurusita pajak, dan saksi yang bersangkutan sesuai Pasal 8 ayat (1) KEP218/PJ/2003. Namun dalam hal ini kondisi yang terjadi berita acara pelaksanaan penyanderaan terdapat kolom untuk ditandatangani oleh penanggung pajak yang bersangkutan yakni DW. Berita acara pelaksanaan penyanderaan telah disampaikan kepada pihak yang bersangkutan yakni kepada kepala rumah tahanan negara, penanggung pajak yang disandera, dan Bupati Banyumas hal tersebut sesuai dengan Pasal 8 ayat (3) KEP-218/PJ/2003. Proses penyanderaan terjadi yakni saat DW ditempatkan dalam rumah tahanan namun sebelumnya dilakukan penerimaan yang dicatat dalam buku register daftar penanggung pajak yang disandera serta penggeledahan terlebih dahulu sesuai dengan Pasal 5 ayat (1), (2), (3) PMK Bersama Kementerian Keuangan dan Kementerian Hukum dan HAM No. 294/KMK.03/2003 M-02.UM.09.01 yang mana penggeledahan terhadap penanggung pajak yang bersangkutan dilakukan oleh petugas wanita. Penanggung pajak saat ditempatkan di rumah tahanan dipisahkan dengan tahanan tersangka pidana lain sesuai dengan Pasal 4 ayat (1) PMK Bersama Kementerian Keuangan dan Kementerian Hukum dan HAM No. 294/KMK.03/2003 M-02.UM.09.01 namun pemisahan tersebut tidak dilakukan berdasarkan jenis kelamin Penanggung Pajak seperti yang tertera dalam Pasal 4 ayat (2) tahanan tersangka pidana lain sesuai dengan Pasal 4 ayat (1) PMK Bersama Kementerian Keuangan dan Kementerian Hukum dan HAM No. 294/KMK.03/2003 M-
66
02.UM.09.01 yang berbunyi “Pemisahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan berdasarkan jenis kelamin Penanggung Pajak yang disandera”, dimana dalam hal ini DW dipisahkan secara tersendiri diruang tahanan tanpa memperhatikan adanya tahanan wanita lain yang dapat dijadikan satu dalam penempatan penyanderaan. Selama proses penyanderaan berlangsung DW telah terpenuhi hak untuk mendapatkan beberapa hal yang tertuang dalam Pasal Pasal 9 KEP-218/PJ/2003 seperti hak untuk mendapatkan kunjungan dari keluarga dan pengacara dengan mendapatkan persetujuan kepala KPP yang berwenang melalui surat izin kunjungan penanggung pajak yang disandera yang memuat beberapa hal identitas kepala KPP yang berwenang untuk memberikan izin kunjungan yang ditujukan kepada keluarga dan atau pengacara yang disetujui untuk melakukan kunjungan terhadap penanggung pajak yang disandera dengan ditandatangani oleh Kepala KPP Purwokerto sebagai pemberi izin kunjungan yang berwenang. Selain hak untuk mendapatkan kunjungan terpenuhinya hak memperoleh pelayanan kesehatan yang layak yang dibuktikan saat DW jatuh sakit mendapatkan pelayanan kesehatan mendatangkan dokter rumah tahanan Banyumas yang sedang bertugas untuk memeriksa kondisi DW dan menyampaikan kepada Kanwil Jateng II serta kepala KPP Purwokerto akan kondisi DW. Kondisi lain juga ditunjukan dengan telah diberikan izin dari kepala KPP Purwokerto kepada DW untuk dirawat dirumah sakit diluar rumah tahanan sesuai dengan Pasal 11 ayat (1) KEP-218/PJ/2003 yang memuat beberapa hal identitas kepala KPP yang berwenang memberi izin, dengan didasarkan oleh surat keterangan dokter yang diberikan oleh dokter yang berwenang terhadap identitas penanggung pajak yang berwenang mendapatkannya. Penanggung pajak yang disandera juga memperoleh hak mendapat makanan yang layak termasuk menerima kiriman dari keluarga, melakukan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya.
67
Hak lain yang diperoleh oleh penanggung pajak yang disandera adalah diberikan kesempatan untuk mengajukan gugatan selama jangka waktu penyanderaan sesuai dengan Pasal Pasal 34 ayat (3), ayat (7) UU PPSP, Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) PP 137/2000, Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2) KEP-218/2003 dimana gugatan diajukan hanya kepada Pengadilan Negeri dan diajukan pada saat penyanderaan berlangsung terkait prosedur penyanderaan yang selama ini tujukan kepada penanggung pajak yang disandera. c. Proses Penghentian Penyanderaan Proses penyanderaan terhadap DW berakhir ketika mendapatkan persetujuan
dari
Kementerian
Keuangan
melalui
mediasi
saat
berlangsung tahapan persidangan atas gugatan yang diajukan DW dilakukan antara DW dengan pihak Kementerian Keuangan yang diwakili dengan kuasa hukum dari Direktorat Jenderal Pajak Pusat di bidang Bantuan Hukum. Dari proses mediasi tersebut terjadi kesepakatan antara keduanya dengan persejutujuan dengan pembuatan Akta Perdamaian untuk pencabutan penyanderaan yang sedang dialami oleh DW dengan kesepakatan DW akan membayar setengah dari utang pajaknya secara tunai, dan setengahnya lagi akan diangsur yang salah satu angsurannya akan memberikan 3 (tiga) sertifikat untuk pelunasan utang pajaknya. Dari hasil kesepakatan tersebut, DW dinyatakan bebas dari penyanderaan saat dikeluarkan surat pertimbangan dari Menteri Keuangan yang diserahkan kepada Direktur Jenderal Pajak dengan pertimbangan: a. DW sudah membayar utang pajak 50% atau lebih dari jumlah utang pajak/sisa utang pajak, dan sisanya akan dilunasi dengan angsuran;
68
b. DW sanggup melunasi utang pajak dengan menyerahkan harta kekayaannya yang sama nilainya utang pajak dari biaya penagihan pajak untuk ditindaklanjuti sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Proses penghentian penyanderaan terhadap DW mendapat rekomendasi dari Kementerian Keuangan pada akhir 28 September 2015 dengan mekanisme Kepala KPP Purwokerto mengusulkan permohonan rekomendasi ke Menteri Keuangan melalui Direktur Jenderal Pajak dalam hal ini Direktut Pemeriksaan, Penyidikan, dan Penagihan yang disertai fotokopi surat pernyataan penyerahan harta kekayaan DW, fotokopi surat pelunasan utang pajak dengan keterangan dibayar 50% sisa dibayar dengan angsuran. Setelah usulan permohonan rekomendasi tersebut sampai kepada Direktur Jenderal Pajak langsung mengajukan ke Menteri Keuangan agar mendapatkan rekomendasi secara tertulis dan segera mengirimkan melalui pos kilat tercatat kepada Kepala KPP Purwokerto. Tepat pada tanggal 28 September 2015 Kepala KPP Purwokerto menerima rekomendasi tertulis tersebut, tepat tanggal 29 September Kepala KPP Purwokerto memberitahukan secara tertulis melalui surat pemberitahuan pelepasan (lampiran 10) kepada kepala rumah tahanan Banyumas untuk melepaskan DW dari penyanderaan karena telah mendapatkan rekomendasi tertulis dari Menteri Keuangan. Surat
pemberitahuan
pelepasan
tersebut
memuat
identitas
penanggung pajak yang disandera, alasan penanggung pajak dinyatakan bebas dengan ditandatangani oleh Kepala KPP yang bersangkutan dengan tembusan Kepala Kantor Wilayah DJP Jawa Tengah II.Surat pemberitahuan pelepasan yang dikirim secara langsung melalui perwakilan salah satu karyawan KPP Purwokerto diterima langsung oleh kepala rumah tahanan Banyumas. Kemudian kepala rumah tahanan
69
Banyumas
menentukan
tanggal
pelepasan
sesuai
dengan
diberitahukannya surat pemberitahuan pelepasan yang telah diterima pada tanggal 29 September 2015. Setelah dinyatakan bebas dari penyanderaan kepala rumah tahanan menemui DW dan langsung membebaskan DW dengan memberikan informasi bahwa DW bebas dengan rekomendasi Menteri Keuangan. Sah dinyatakan bebas kepala rumah tahanan Banyumas segera memberitahukan secara tertulis kepada kepala KPP Purwokerto perihal DW yang disandera telah dilepas dari penyanderaan dan telah keluar dari rumah tahanan Banyumas. Kepala KPP Purwokerto menerima secara langsung surat tersebut dan akhirnya proses penyanderaan terhadap DW resmi dinyatakan telah berakhir dengan masa penyanderaan selama 3 (tiga) bulan dengan rincian penyanderaan pada tanggal 29 Juli 2015 hingga pelepasan pada tanggal 29 September 2015. Menurut analisa penulis, proses penghentian penyanderaan terhadap DW telah berjalan sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku mulai dari pengusulan rekomendasi dari Kepala KPP Purwokerto selaku kepala kantor yang bersangkutan kepada Menteri Keuangan karena sebelumnya telah terjadi kesepakatan pelunasan utang pajak yang dibayarkan 50% (lima puluh persen) dan sisa secara angsuran serta menyerahkan 3 (tiga) buah sertifikat untuk jaminan pelunasan dari DW untuk pelunasan utangnya dimana hal ini tercantum dalam Pasal 34 ayat (1) huruf d UU PPSP, Pasal 14 ayat (1) huruf d KEP-218/2003. Pengusulan rekomendasi yang ditujukan kepada Menteri Keuangan melalui Direktur Jenderal Pajak diberikan dengan persayaratan yang telah tertera pada Pasal 14 ayat (4) KEP-218/2003 dimana penanggung pajak telah membayar utang pajak 50% atau lebih dari jumlah utang pajak/sisa utang pajak, dan sisanya akan dilunasi dengan angsuran dan penanggung pajak menyanggupi melunasi utang pajak dengan menyerahkan harta kekayaannya yang sama nilainya
70
dengan utang pajak dan biaya penagihan pajak untuk ditindaklaknjuti sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Penerimaan rekomendasi dari Menteri Keuangan kepada kepala kantor yang bersangkutan
dalam hal ini KPP Purwokerto melalui
Direktur Jenderal Pajak dikirim dengan pos kilat tercatat sesuai dengan Pasal 15 ayat (2) KEP-218/2003 yang mana penyampaian rekomendasi diharuskan dengan
cepat dikirim kepada
kepala kantor
yang
bersangkutan. Setelah diterimanya rekomendasi dari Menteri Keuangan dalam jangka waktu 24 jam wajib memberitahukan secara tertulis kepada kepala rumah tahanan apabila penanggung pajak akan dilepas dari penyanderaan yang mana hal ini tercantum dalam Pasal 16 ayat (1) KEP-218/2003 pada kenyataan yang terjadi penerimaan rekomendasi yang
diterima
tanggal
28
September
2015
dan
selanjutnya
pemberitahuan kepada kepala rumah tahanan diberitahukan pada tanggal 29 September 2015 yang mana hal ini jangka waktu 24 (dua puluh empat) jam telah terpenuhi. Pemberitahuan tertulis tersebut melalui surat pemberitahuan pelepasan yang mana dibuat oleh kepala KPP yang bersangkutan dengan persetujuan Kepala Kantor Wilayah DJP Jawa Tengah II dengan berisikan identitas penanggung pajak yang mana agar terjadi kepastian penanggung pajak yang akan dilepas tidak salah pihak. Kemudian selain identitas penanggung pajak terdapat pula alasan pelepasan dengan melingkari salah satu syarat yang telah terpenuhi. Diterima secara langsung surat pemberitahuan pelepasan oleh kepala rumah tahanan yang berwenang segera membebaskan penanggung pajak yang disandera dan memberitahukan secara tertulis kepada Kepala KPP yang berwenang bahwa penangggung
pajak
yang disandera
telah dilepas
dari
penyanderaan, hal ini berdasarkan pada Pasal 17 ayat (2) KEP-218/2003. Proses penyanderaan pun telah berakhir dengan dilepaskan penanggung pajak melalui tahapan yang belaku sesuai dengan diuraikan diatas.
71
Sebagai pelaksana penagihan pajak yakni DJP Kanwil II Jateng, penagihan
pajak
dengan
menggunakan
upaya
terakhir
yakni
penyanderaan dilaksanakan dengan melalui beberapa tahapan yang sebelumnya telah dilaksanakan namun utang pajak yang belum juga dilunasi oleh penunggak pajak. Tahapan pelaksanaan penyanderaan dalam analisis yang disampaikan oleh penulis dikategorikan mejadi 3 (tiga) yakni pertama pada proses penetapan penyanderaan, kedua proses realisasi penyanderaan itu sendiri, dan ketiga pada proses penghentian penyanderaan yang mana hal ini merupakan akhir dari proses pelaksanaan penyanderaan. Penagihan pajak melalui upaya terakhir yakni penyanderaan pun akhirnya dilakukan, yang sebelum dilaksanakan penyanderaan ini telah diupayakan adanya gelar perkara untuk memeriksa kembali data-data yang berhubungan dengan utang pajak penunggak pajak yakni DW guna menghindari adanya kesalahan pemeriksaan terkait pengambilan keputusan untuk dilakukannya penyanderaan. Hal ini menandakan adanya
DJP
Kanwil
II Jateng berupaya
untuk
melaksanakan
penyanderaan dengan sangat hati-hati dan selektif agar tidak menimbulkan ketidakadilan bagi penunggak pajak yang akan disandera. Menurut analisa penulis, dampak adanya penyanderaan yang telah dilakukan oleh Kanwil Jateng II sebenarnya adalah untuk memberikan “efek domino” terhadap para penunggak pajak lain yang tetap tidak mau membayar pajak. Penyanderaan yang telah dilaksanakan oleh Kanwil Jateng II memberikan pelajaran bagi penunggak pajak lain untuk patuh terhadap pembayaran pajak. Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu pegawai seksi P2 Humas Kanwil Jawa Tengah II yakni Bapak Iwan menjadi bukti terkait dengan adanya peningkatan penerimaan pada tahun 2015 tercatat bulan Oktober realisasi penerimaan pajak hanya sebesar 54% (lima puluh empat persen) atau sebesar Rp. 5.494.924.915.427 (lima triliun empat ratus sembilan puluh empat miliar sembilan ratus dua puluh empat juta sembilan ratus lima belas ribu empat ratus dua puluh
72
tujuh rupiah)
dari target penerimaan, namun setelah dilakukannya
penyanderaan realisasi penerimaan pajak meningkat hingga akhir Desember 2015 yakni sebesar Rp. 8.794.924.915.427 (delapan triliun tujuh ratus sembilan puluh empat miliar sembilan ratus dua puluh empat juta sembilan ratus lima belas ribu empat ratus dua puluh tujuh rupiah) dari realisasi penerimaan pajak.Sebagai dampak lain dari adanya penyanderaan ini yakni memberikan “efek jera” kepada penunggak pajak yang telah disandera agar segara melunasi utang pajaknya, guna memberikan pemasukan kepada negara yang mana pajak itu sendiri digunakan untuk kemakmuran masyarakat pada umumnya dan untuk wajib pajak itu sendiri pada khususnya. Analisis pelaksanaan penyanderaan diatas yang dilakukan terhadap DW oleh Kanwil Jateng II menjelaskan beberapa aspek yang dapat penulis peroleh yakni sebagai berikut: a. Bahwa proses pelaksanaan penyanderaan yang dilakukan terhadap DW oleh Kanwil Jateng II telah disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, terbukti data yang diperoleh penulis yang terjadi dilapangan menunjukkan Kanwil II Jateng melaksanakan penyanderaan dengan mengacu kepada buku pedoman penagihan pajak (lampiran 11) yang mana didalam buku tersebut berisi pedoman penagihan pajak terkhusus penyanderaan dengan dasar hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan yakni UU KUP sebagai patokan utama dan UU PPSP sebagai penjelasan lebih lanjut mengenai prosedur pelaksanaan penagihan pajak dalam hal ini adalah pelaksanaan penyanderaan, serta beberapa ketentuan lain dibawah UU PPSP yang mengatur secara lebih
spesifik
tentang
petunjuk
dan
teknis
pelaksanaan
penyanderaan itu sendiri. Pelaksanaan penyanderaan terhadap DW mulai dari penetapan penyanderaan melalui surat perintah penyanderaan, selanjutnya proses pelaksanaan penyanderaan itu sendiri dilaksanakan langsung dengan dasar surat perintah
73
penyanderaan yang diterima dan di dengar oleh DW, hingga proses penghentian penyanderaan dengan alasan adanya rekomendasi dari Kementerian
Keuangan,
keseluruhan
proses
tersebut
telah
diterapkan sesuai peraturan yang berlaku sesuai dengan peraturan perpajakan khususnya penagihan pajak melalui penyanderaan. b. Bahwa pelaksanaan penyanderaan terhadap DW yang berawal dari adanya utang pajak yang tidak segera dilunasinya, dan seluruh proses penagihan utang pajak tersebut telah diupayakan oleh Kanwil Jateng II namun tetap tidak dilunasi pula. Akhirnya penyanderaan sebagai penagihan pajak terakhir dipilih untuk menagih utang pajak DW yang terhitung sejak tahun 2007 hingga tahun
2012.
Hasil
dari
penagihan
utang
pajak
melalui
penyanderaan ini telah berhasil dilakukan dengan implikasi adanya pelunasan utang pajak oleh DW yang sebelumnya tidak segera dilunasi dalam hal ini pajak telah terbayar dan dapat ditagih oleh Kanwil Jateng II. Selain itu Kanwil Jateng II menjadikan penyanderaan yang berhasil dilaksanakan ini sebagai sarana untuk penagihan pajak selanjutnya kepada penanggung pajak yang membandel. Penyanderaan merupakan efek jera (detterent effect) yang artinya terhadap wajib pajak yang telah disandera diharapkan akan meningkatkan kesadaran untuk patuh dalam pembayaran utang pajak. Efek jera ini timbul karena adanya rasa malu bagi wajib pajak yang disandera seolah-olah kehilangan nama baiknya. Hal ini selain berdampak kepada wajib pajak yang disandera, dampak lain akan dirasakan kepada wajib pajak lainnya (efek domino) yang mempunyai utang pajak untuk segera melunasinya dikarenakan rasa takut apabila tidak segera melunasi pajak akan disandera seperti yang terjadi terhadap DW yang secara nyata Kanwil Jateng II dengan tegas telah memutuskan untuk melakukan penagihan utang pajak melalui penyanderaan, yang akhirnya tingkat kepatuhan wajib pajak untuk membayar kewajiban
74
perpajakan menjadi meningkat. Utang pajak yang dapat dilunasi tersebut pada akhirnya masuk kedalam penerimaan negara yang mana pajak ini sendiri digunakan untuk kesejahteraan masyarakat itu sendiri. Jadi pelaksanaan penyanderaan ini telah memberikan dampak baik itu untuk pemasukan negara dan untuk masyarakat pada khususnya. c. Bahwa pelaksanaan penyanderaan terhadap DW telah memenuhi hak dan kewajiban sebagaimana yang telah ditentukan baik itu ditujukan kepada wajib pajak yang disandera maupun untuk pejabat yang berwenang melakukan penyanderaan. Hak dan kewajiban bagi DW ditunjukan dengan adanya beberapa ketentuan diperoleh untuk DW semasa penyanderaan sedang berlangsung seperti adanya hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik telah didapatkan oleh DW, selain itu adanya hak untuk mengajukan gugatan terhadap pelaksanaan penyanderaan yang ditujukan kepadanya telah digunakan oleh DW. Sedangkan bentuk kewajiban yang telah dilaksanakan oleh DW yakni secara tertib menaati peraturan yang berlaku selama berada dirumah tahanan Banyumas, sehingga selama masa penyanderaan DW telah menunjukkan perilaku yang baik. Hak dan kewajiban yang ditujukan kepada petugas yang berwenang dalam hal ini adalah Kanwil Jateng II melalui bidang penagihan pajak dan jurusita pajak KPP Purwokerto sebagai pelaksana penagihan pajak aktif, sesuai dengan peraturan yang berlaku sebagai pelaksana penagihan pajak jurusita pajak berkewajiban menjalankan penagihan pajak apabila terdapat utang pajak yang tidak segera dilunasi setelah jatuh tempo pelunasan, sehingga dari penagihan pajak tersebut nantinya akan masuk ke dalam penerimaan negara (dalam hal ini berperan atas nama negara dalam bidang penerimaan negara atau keuangan negara). Selain itu petugas juga berkewajiban menjaga data yang menjadi rahasia negara terkait identitas lengkap wajib pajak yang
75
telah disandera, maupun rahasia terkait dokumen-dokumen yang berkaitan dengan pelaksanaan penyanderaan. Adapun hak yang diperoleh bagi pelaksana penagihan pajak tersebut adalah mendapatkan perlakuan yang selayaknya dari wajib pajak, sebagai pihak yang dapat dikatakan memaksa, perlu mendapatkan perlindungan dari kuasa hukum apabila wajib pajak mengajukan gugatan akibat dari pelaksanaan penyanderaan yang dilakukan terhadap DW tersebut. Analisis pelaksanaan penyanderaan yang telah dirangkum dalam tiga aspek tersebut berhubungan dengan penegakan hukum telah dilakukan oleh Kanwil II Jateng karena wajib pajak melanggar aturan yang berlaku untuk melakukan pembayaran utang maka dilakukan penegakan agar hukum tersebut dapat ditegakkan sesuai dengan semestinya.Sesuai dengan teori pelaksanaan dari Sudikno Mertokusumo bahwa pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal, damai, tetapi dapat terjadi juga karena pelanggaran hukum. Dalam hal ini hukum yang telah dilanggar itu harus ditegakkan yang nantinya hukum itu akan menjadi kenyataan. Pelaksanaan hukum yang dimaksud adalah dilakukannya penagihan utang pajak oleh Kanwil Jawa Tengah II yang dikarenakan adanya pelanggaran hukum dimana pelanggaran hukum tersebut berupa tidak dibayarnya kewajiban pembayaran pajak yang telah diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Penegakan hukum tersebut ada tiga unsur yang harus selalu diperhatikan yakni kepastian hukum, kemanfaatan, dan keadilan.Ketiga unsur yang berkaitan dengan penegakan hukum tersebut pada kasus pelaksanaan
penyanderaan
menunjukkan
adanya
penyanderaan
yang
oleh
DW
penerapan
ditujukan
bahwa
hukum
kepada
DW,
kepastian
dalam dan
hukum
pelaksanaan dari
adanya
penyanderaan tersebut memberikan kemanfaatan bagi negara dan
76
masyarakat dalam hal pelunasan utang pajak sebagai wujud implikasi pelaksanaan penyanderaan tersebut. Unsur keadilan bahwa pelaksanaan penyanderaan dilakukan melalui beberapa pertimbangan sebelumnya dan ditujukan bagi wajib pajak yang memenuhi syarat-syarat yang diatur untuk mendapatkan persetujuan dilakukannya penyanderaan. Apabila ditinjau dari upaya yang dapat mempengaruhi penegakan hukum dari Soerjono Soekanto seperti faktor hukumnya sendiri, adapun pelaksanaan penyanderaan yang dilakukan terhadap DW merupakan wujud dari penegakan hukum yang dipengaruhi oleh campur tangan hukum yang semakin luas ke dalam bidang kehidupan masyarakat. Hukum yang berwujud peraturan perundang-undangan dalam bidang perpajakan mengatur adanya kewajiban pembayaran pajak untuk mencapai pembangunan nasional. Agar wajib pajak tertib dalam pembayaran pajak maka dibentuklah aturan tersebut, namun perlu adanya penegakan hukum bagi yang tidak mematuhi peraturan tersebut yang mana terdapat penagihan pajak melalui penyanderaan. Pelaksanaan penyanderaan ini diharapkan agar hukum yang dibentuk untuk membayar kewajiban pajak dapat berjalan efektif, sehingga pihak lain tersebut akhirnya mematuhi peraturan tersebut. Faktor kedua adalah penegak hukum itu sendiri, yang mana pelaksanaan penyanderaan sebagai penegakan hukum dijalankan oleh pelaksana penagih pajak, apabila dalam hal penyanderaan dilakukan oleh jurusita pajak. Adanya pelaksana penagih pajak ini medorong adanya penegakan hukum apabila terjadi kesenjangan yang ada didalam peraturan yang berlaku. Selanjutnya adanya faktor sarana atau fasilitas yang mendukung, dalam hal ini kasus pelaksanaan penyanderaan terhadap DW dapat dilaksanakan dengan sarana yang memadai mulai dari tersedianya rumah tahanan yang sebelumnya telah dilakukan kerjasama dengan pihak kepolisian setempat dan mengajukan izin kepada Kementerian Hukum dan HAM, organisasi pada pelaksana
77
penagih pajak itu sendiri dalam hal ini adalah Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan yang berada dibawah komando Direktorat Jenderal Pajak dengan wewenang yang tertinggi yakni Kementerian Keuangan. Faktor
masyarakat
dalam
hal
ini
menyangkut
masalah
ketidakpatuhan, adanya penegakan hukum disebabkan karena adanya ketidakpatuhan masyarakat terhadap hukum itu sendiri. Pelaksanaan penyanderaan yang dilakukan terhadap DW merupakan bentuk dari awal ketidakpatuhan pembayaran kewajiban pajak, yang mana pelaksanaan tersebut dilakukan dengan cara penagihan pajak melalui penyanderaan. Maka dari itu, penegakan hukum dengan wujud pelaksanaan aturan dapat dijalankan. Namun adanya penegakan ini diharapakan masyarakat dapat menuju derajat kepatuhan terhadap hukum bukan semakin tidak mematuhi aturan yang berlaku. Faktor terakhir adalah faktor budaya yang mana penegakan hukum dipengaruhi oleh kebudayaan mendasari adanya nilai-nilai norma yang merupakan konsepsi-konsepsi mengenai apa yang dianggap baik (sehingga dianuti) dan apa yang dianggap buruk (sehingga dihindari). Dengan adanya budaya yang telah mendasar dalam diri masyarakat pelaksanaan penyanderaan yang telah berhasil dilaksanakan sesuai dengan peraturan yang ada sebagai wujud dari penegakan hukum dapat menjadikan masyarakat tersebut mengenal apa yang seharusnya dihindari yang mana kewajiban perpajakan dapat dipenuhi pembayarannya dengan adanya kesadaran dari masyarakat itu sendiri. Jadi dapat dikatakan penerimaan kas negara yang diperoleh dari sektor pajak merupakan penerimaan negara terbesar yang menjadi kewenangan Kementerian Keuangan melakukan upaya penegakan hukum bagi wajib pajak yang tidak menaati hukum dengan tidak membayar kewajiban pajak tersebut melalui tindakan penagihan pajak secara bertahap dan cara terakhir dilakukan melalui upayapelaksanaan penyanderaan.
78
3. Hambatan Pelaksanaan Penyanderaan (Gijzeling) Di Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jawa Tengah II Penyanderaan (Gijzeling) meski sudah lama diatur tetapi banyak wajib pajak yang tidak memahami, terkhusus masyarakat awam (Wida Astuti, 2007: 60). Bahkan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jawa Tengah II (Kanwil Jateng II) baru pertama kali menerapkan pelaksanaan penyanderaan di tahun 2015 yang telah terselenggara pelaksanaannya secara baik. Selama masa pelaksanaan penyanderaan yang pertama kali baru saja diterapkan oleh Kanwil Jateng II bukan tanpa hambatan (kendala). Menurut hasil wawancara dengan salah satu bagian pada seksi Penagihan yakni Bapak Nindi Darifki, S.H,M.H memberikan keterangan terkait hambatan yang timbul pada saat pelaksanaan penyanderaan terhadap wajib pajak (penunggak pajak) yang berinisial “DW” (selanjutnya disebut DW) adalah sebagai berikut: a.
Keadaan sosial yang dimaksudkan adalah hambatan yang terjadi diluar prosedur penyanderaan namun berada dalam internal (keadaan dari dalam) diri seseorang yang disandera itu sendiri, sebagai gambaran yakni: 1.
Keluarga DW pada saat dilakukan penangkapan untuk disandera dengan membacakan surat perintah penyanderaan terhadap DW terjadi adu mulut dan adanya tarik menarik yang dilakukan oleh keluarga DW yang bersikeras mempertahankan DW agar tidak ditangkap dan disandera, hal ini menyebabkan pihak petugas fiskus dalam hal ini adalah jurusita pajak dan Kanwil Jateng II meminta bantuan kepada kepolisian untuk menangkap DW secara tegas.Selain itu, setelah DW berhasil ditangkap dan masuk ke dalam rumah tahanan setiap harinya pada bulan Agustus keluarga DW mendatangi Kantor Pelayanan Pajak Purwokerto untuk meminta pelepasan terhadap DW dengan jalan berunding. Namun bukan hasil kesepakatan yang
79
didapatkan justru tampak pada pernyataan keluarga DW bersikeras yang menganggap bahwa DW tidak mempunyai utang pajak seperti yang telah ditetapkan oleh petugas fiskus. Hal ini membuat beban pekerjaan petugas fiskus yang pada saat itu Kantor Pelayanan Pajak menjadi bertambah karena keras kepala keluarga DW serta merasa terganggu dengan sikap keluarga “DW” yang meminta pelepasan dengan cara menangis dan berusaha untuk memaksa petugas fiskus untuk melakukan pengecekan ulang terkait penetapan utang yang ditujukan kepada “DW”. 2.
Keluarnya uang kas negara untuk membiayai biaya tambahan penagihan karena “DW” jatuh sakit yang disebabkan depresi akibat
penyanderaan
yang
ditujukan
kepadanya.
Biaya
perawatan yang dikeluarkan oleh negara untuk perawatan selama di rumah sakit. Hal ini telah menambah personel dalam pelaksanaan penyanderaan tersebut. Hambatan pada angka 3 (tiga) tersebut diatas, bukan menjadi hambatan berat dikarenakan sakit yang diderita oleh DW bukan kehendak dari kemauan “DW” sendiri namun sudah menjadi takdir dari Tuhan. b.
Selama masa penyanderaan adanya gugatan yang ditujukan kepada Kanwil Jateng II dan KPP Purwokerto, hal ini menyebabkan adanya pekerjaan lebih bagi Kanwil Jateng II dan KPP Purwokerto untuk menanganinya.
c.
Adanya banyak Surat Ketetapan Kurang Bayar yang harus dibayar oleh DW dan kesemuanya mempunyai jatuh tempo yang berbedabeda membuat utang pajak yang seharusnya dapat dilaksanakan penyanderaan pada tahun 2013 terlebih dahulu menjadi ditunda untuk menunggu utang pajak yang lain, hal ini dilakukan agar untuk memberikan kesempatan bagi DW untuk dapat melunasi utang pajak yang telah ditetapkan terlebih dahulu dengan cara diangsur atau
80
dengan cara pembayaran lain yang dirasa meringkan DW. Dalam hal lain untuk menunjukkan adanya itikad baik dari Kanwil Jateng II bahwa penyanderaan telah dilaksanakan dengan sangat hati-hati dan selektif melalui beberapa upaya penagihan lain secara baik, namun dengan berbagai bentuk upaya kompromi DW tetap beralasan tidak membayar utang pajaknya, akhirnya upaya penagihan terakhir menjadi pilihan Kanwil Jateng II yakni dilakukannya penyanderaan. d.
Tempat penyanderaan yang khusus untuk DW yang berdomisili di Purwokerto
belum
disediakan
tersendiri
oleh
Kementerian
Keuangan, hal ini mengakibatkan penitipan DW dilakukan di Rumah Tahanan Negara Banyumas yang sebelumnya telah dilakukan kerjasama terlebih dahulu kepada pihak Kepala Rumah Tahanan Negara Banyumas dengan Kepolisian setempat melalui Kementerian Hukum dan HAM. Upaya yang dilakukan oleh Kanwil Jawa Tengah II dalam mengatasi hambatan yang terjadi pada pelaksanaan penyanderaan dalam rangka penagihan pajak dengan dilakukannya upaya konseling atau himbauan kepada DW dimana konseling dengan melakukan arahan kepada DW untuk memberikan kesempatan agar segera dilunasi utang pajaknya sebelum petugas bersikap tegas dengan penagihan pajak melalui penyanderaan, pelunasan tersebut dapat disepakati secara berangsur tanpa harus dilunasi sekaligus. Secara lebih luas, solusi untuk menangani hamabatan dalam pelaksanaan penyanderaan dengan meniadakan penyanderaan itu sendiri, karena penyanderaan merupakan upaya terakhir yang sebenarnya bias dihindari dengan jalan penagihan lain untuk dapat dilunasinya utang pajak bagi wajib pajak, hal ini berkaitan dengan penegakan hukum yang mana apabila peraturan tidak dapat dijalankan sesuai aturan maka perlu dilakukannya tindakan dari pejabat untuk menegakkan aturan tersebut.
81
Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jawa Tengah II (Kanwil Jateng II) sebagai pejabat yang berwenang dalam menangani perpajakan dengan wajib pajak menerapkan metode penegakan hukum bukan hanya melalui penagihan pajak. Berdasarkan hasil wawancara kepada salah satu pegawai Kanwil Jateng II seksi Bimbingan Penagihan yakni Bapak Nindi Darifki, S.H, M.H terdapat dua metode yang selama ini telah diterapkan oleh Kanwil Jateng II yakni: a. Metode Persuasif, berupa: 1) Himbauan kepada wajib pajak sebelum utang pajak tersebut jatuh tempo, 2) Konseling atau bimbingan kepada wajib pajak untuk melakukan
arahan
terkait
keringanan
dalam
metode
pembayaran, atau bisa secara musyawarah antara wajib pajak dengan pejabat perpajakan apabila wajib
pajak
yang
mengalami keberatan besarnya pajak setelah dilakukan Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan (PAHP). b. Metode Represif, berupa: 1) Pemeriksaan, ketika ada kejanggalan adanya praktek tidak jujur terhadap besarnya pajak yang seharusnya dibayar, dilakukan adanya pemeriksaan terhadap asset dan lainya, untuk menyesuaikan kebenaran Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) yang dilaporkan oleh wajib pajak. 2) Penyidikan, apabila terdapat wajib pajak yang melakukan pelanggaran diranah pidana, sebagai contoh melakukan pemalsuan faktur. 3) Penagihan pajak, merupakan upaya penegakan apabila wajib pajak tidak membayar utang pajak yang telah jatuh tempo, adanya Surat Ketetapan Pajak (SKP) merupakan dasar adanya penagihan pajak, terbit surat teguran, terbit surat paksa yang
82
selanjutnya dapat dilakukan penyitaan, pencegahan, maupun penyanderaan terhadap wajib pajak yang menunggak pajak. Penyanderaan sebagai salah satu bentuk upaya penagihan pajak yang merupakan metode dari penegakan hukum dibidang perpajakan merupakan upaya penagihan terakhir yang ditempuh bagi pejabat yang berwenang. Melalui metode preventif hingga metode represif tersebut diharapkan penagihan melalui penyanderaan dapat ditekan bahkan dihindari agar hambatan yang dapat muncul dalam pelaksanaan penyanderaan ini dapat dihindari pula. Namun perlu diperhatikan pula metode penagihan tersebut dilakukan apabila wajib pajak tidak segera membayar utang pajaknya. Artinya dalam hal ini diperlukan pula kesadaran bagi wajib pajak itu sendiri agar dengan sendirinya membayar pajak tanpa perlu adanya tagihan dari petugas yang berwenang. Apabila wajib pajak yang mempunyai kewajiban dalam membayar pajak dengan sadar patuh untuk membayar kewajibannya tersebut, tentu penagihan pajak tidak akan dilakukan oleh petugas yang berwenang dalam hal ini upaya penagihan pajak terakhir yakni penyanderaan pun dapat dihindari dan tidak akan diterapkan kepadanya. Pajak yang merupakan kewajiban yang telah diamanatkan oleh UndangUndang diperuntukkan semata-mata untuk penerimaan negara yang nantinya hasil dari pajak itu sendiri akan dirasakan kembali kepada wajib pajak yang telah memenuhi kewajiban perpajakan. Oleh karena itu, inilah yang mejadi korelasi antara penagihan pajak secara lebih mengerucut lagi ialah penyanderaan sebagai salah satu metode dalam penegakan hukum (law enforcement) dengan penerimaan negara, yang mana memang pada kenyataannya penerimaan negara diharapkan tanpa adanya penagihan, namun melalui kesadaran yakni kepatuhan pajak (tax compliance) dari wajib pajak itu sendiri.