BAB III GEOLOGI UMUM
3.1 Geologi Regional Cekungan Sumatra Selatan merupakan cekungan yang berbentuk asimetris, dibatasi oleh sesar dan singkapan batuan Pra-Tersier yang mengalami pengangkatan di bagian barat daya sepanjang Bukit Barisan. Wilayah ini di bagian timur laut dibatasi oleh Paparan Sunda, di bagian selatan dan timur oleh Tinggian Lampung dan suatu busur yang paralel dengan pesisir bagian timur Sumatra. Tinggian Lampung merupakan unsur yang memisahkan Cekungan Sumatra Selatan dan Cekungan Sumatra Tengah (Gambar 3.1).
. Gambar 3.1. Tatanan tektonik Cekungan Sumatra Selatan (Pertamina BPPKA, 1997 dalam Sapiie dkk., 2008). Menurut AMI Study Group (1994), sejarah geologi Cekungan Sumatra Selatan berhubungan erat dengan aktivitas tektonik di wilayah Asia Tenggara dan dikontrol oleh interaksi antara Lempeng Samudera Hindia yang bergerak ke utara, Lempeng 21
Samudera Pasifik yang bergerak ke arah barat, dan Lempeng Eurasia yang relatif stabil. Batuan yang tersingkap di cekungan tersebut sebagian besar tersusun atas lapisan batuan berumur Tersier walaupun sejumlah blok yang mengalami pengangkatan di cekungan tersebut (Pegunungan Tigapuluh dan Duabelas) berumur Pra-Tersier. Batuan yang tersingkap di Bukit Barisan tersusun atas batuan metamorf berumur Paleozoikum dan Mesozoikum serta batuan beku yang berumur Tersier hingga Resen (De Coster, 1974). Geologi permukaan Blok Jabung umumnya tersingkap di sekitar Pegunungan Tigapuluh (Gambar 3.2). Berdasarkan penampang geologi dari Peta Lembar Muarabungo (Simandjuntak dkk., 1994) dan Lembar Jambi (Mangga dkk., 1993), stratigrafi dan struktur pada cekungan terdiri dari urutan batuan sedimen Tersier yang telah mengalami perlipatan dan penyesaran. Oleh karena itu, geologi pada daerah penelitian dapat dibagi menjadi dua satuan batuan utama, yaitu satuan batuan dasar berumur Pra-Tersier dan satuan batuan berumur Tersier. Berdasarkan peta geologi pada Gambar 3.2, dapat ditunjukkan penampang A-B (Simandjuntak dkk., 1994) dan penampang C-D (Mangga dkk., 1993). Berdasarkan penampang A-B, maka dapat diketahui urutan pengendapan batuan di daerah penelitian (Simandjuntak dkk., 1994), yang dimulai dengan pengendapan Formasi Air Benakat (Tma) yang terdiri dari batulempung dengan sisipan batupasir halus dan batupasir glaukonitan, kemudian secara selaras diatasnya diendapkan Formasi Muara Enim (Tmpm) yang terdiri dari batupasir tufan, batulempung tufan pasiran, dan batulempung berfosil. Setelah itu terendapkan Formasi Kasai (Qtk) yang terdiri dari tuf dan tuf pasiran dan secara tidak selaras diatasnya terendapkan endapan rawa (Qs), yang terdiri dari lanau dan lempung. Hal yang korelatif juga ditemui pada penampang C-D, dengan urutan batuan dari yang paling tua di daerah penelitian menurut Mangga dkk. (1993) dimulai dari pengendapan Formasi Air Benakat (Tma) yang terdiri dari perselingan batulempung dan batupasir, lanau, serpih, dan lapisan tipis pasir kuarsa atau lanau kuarsa, kemudian dilanjutkan dengan pengendapan Formasi Muara Enim (Tmpm) yang terdiri dari perselingan antara batupasir tufan dan batulempung tufan, perselingan batupasir kuarsa dan batulempung kuarsa, 22
bersisipan batubara dan oksida besi, kemudian secara selaras diatasnya diendapkan Formasi Kasai (Qtk), yang terdiri dari perselingan antara batupasir tufan dan batulempung tufan. Endapan rawa (Qs) yang terdiri dari pasir, lanau dan lempung, kemudian endapan alluvium (Qa), yang terdiri dari kerakal, kerikil, pasir, lanau, dan lempung, terendapkan secara tidak selaras di atas permukaan Formasi Kasai.
2.1.1 Kerangka Tektonik Cekungan Sumatra Selatan dibentuk oleh tektonik ekstensional yang berarah timur-barat, yang bekerja saat Mesozoikum Tengah, kemudian seiring dengan aktivitas pembentukan pegunungan (orogeny) saat Kapur Akhir hingga Eosen, terbentuk konfigurasi cekungan yang terdiri dari setengah graben yang membagi cekungan ini menjadi empat sub-cekungan. Menurut AMI Study Group (1994), Cekungan Sumatra Selatan terbentuk dari tiga fasa tektonik utama, yaitu: 1. Fasa ekstensi (Paleosen Akhir-Miosen Awal), membentuk graben-graben yang berarah utara-selatan dan terisi oleh sedimen berumur Eosen hingga Miosen. 2. Fasa sagging (Miosen Awal-Pliosen Awal) dengan kegiatan tektonik yang relatif tenang namun terbentuk sesar-sesar normal pada akhir fasa. 3. Fasa kompresi (Pliosen-Resen), melibatkan batuan dasar, inversi cekungan, dan pembalikan dari sesar normal yang membentuk antiklin-antiklin sebagai perangkap utama hidrokarbon pada cekungan ini Sejak Tersier Awal, Paparan Sunda telah menunjam dan sistem subduksi yang saat ini berlokasi di bagian barat lepas pantai Sumatra dan selatan Jawa dimulai saat Oligosen Akhir. Pengangkatan Bukit Barisan akibat subduksi terjadi pada Miosen Akhir hingga Plio-Pleistosen (Bishop, 2001). Pada Eosen hingga Oligosen terbentuk cekungan rift atau kompleks setengah graben di sepanjang bagian selatan Paparan Sunda.
23
Skala 1:250.000
A
B
C
D
Gambar 3.2. Peta geologi regional Cekungan Sumatera Selatan, Lembar Muarabungo (Simandjuntak dkk., 1994) dan Lembar Jambi (Mangga dkk., 1993). 24
Cekungan rift terbentuk akibat peristiwa tektonik ekstensional oleh pergerakan Lempeng Australia ke arah timur dan Lempeng India ke arah barat, serta rotasi Pulau Kalimantan. Sebagian besar sesar normal yang berada pada cekungan ini telah teraktifkan kembali dan sebagian telah mengalami pembalikan selama fasa kompresi dan inversi cekungan saat Miosen hingga Plio-Pleistosen (Bishop, 2001).
3.1.2 Stratigrafi Urutan stratigrafi pada Cekungan Sumatra Selatan merefleksikan sejarah tektonik pada wilayah tersebut. Menurut De Coster (1974), awal sedimentasi terjadi pada topografi Tersier yang kasar dengan relief tinggi dan rendah, yang dihasilkan oleh sistem tektonik divergen Tersier Awal. Stratigrafi dan litologi umum dari satuan berumur Tersier pada Cekungan Sumatra Selatan khususnya pada Blok Jabung, SubCekungan Jambi ditunjukkan pada Gambar 3.3.
Kompleks Pra-Tersier Menurut AMI Study Group (1994), lapisan batuan berumur Pra-Tersier atau batuan dasar pada Cekungan Sumatra Selatan terdiri dari granit, batuan metamorf, metasedimen, andesit, dan dolomit atau batugamping berumur Paleozoikum hingga Mesozoikum. Pada sejumlah wilayah, lapisan ini dinyatakan berumur Kapur Akhir hingga Paleosen-Eosen Awal, yang berada di bawah urutan lapisan batuan sedimen berumur Tersier serta dikelompokkan menjadi Pra-Tersier. Batuan metamorf dan batuan sedimen yang berumur Paleozoikum dan Mesozoikum telah mengalami perlipatan dan penyesaran yang intensif serta telah mengalami intrusi oleh batuan beku selama Mesozoikum Tengah. Kompleksitas hubungan struktur pada batuan yang lebih tua dapat dilihat pada singkapan di Bukit Barisan.
25
Gambar 3.3. Stratigrafi umum Blok Jabung, Sub-Cekungan Jambi, Cekungan Sumatra Selatan (PetroChina, 1998 dalam Saifuddin dkk., 2001).
Formasi Lahat Menurut AMI Study Group (1994), Formasi Lahat terdiri dari batuan sedimen kontinental seperti tufaan dan sedimen klastik kasar. Formasi ini terbentuk pada fasa awal siklus transgresif yang dibatasi oleh ketidakselarasan di bagian atas dan bawahnya. Sedimen klastik kasar pada Formasi Lahat terdiri dari batupasir, batulempung, breksi, lapisan batubara yang tipis dan tuf, yang diendapkan pada lingkungan kontinen, seperti kipas aluvial maupun endapan sungai teranyam. Secara umum, sedimen berumur Eosen-Oligosen Awal terdiri dari lapisan tebal yang mencakup
batupasir
berbutir
halus-kasar
perselingan
dengan
serpih
atau
batulempung, tuf, dan lapisan batubara yang tipis (Bishop, 2001). Keberadaan serpih kaya organik berwarna cokelat tua hingga hitam non-karbonatan dan batubara pada 26
formasi ini penting pengaruhnya dalam kemunculan hidrokarbon. Berdasarkan pentarikhan umur dari sampel serpih dan tuf, yang ditentukan dari spora-polen dan umur K-Ar, Formasi Lahat diperkirakan berumur Eosen Tengah-Oligosen Awal.
Formasi Talang Akar Formasi ini diendapkan di atas Formasi Lahat, yang terdiri dari batupasir dari dataran delta, batulanau, dan serpih yang bergradasi ke arah cekungan menjadi batupasir marin dan serpih, kemudian menjadi serpih marin (AMI Study Group, 1994). Sedimen klastik yang terendapkan terbentuk saat siklus regresif. Pengendapan Formasi Talang Akar terdiri dari lingkungan fluvio-deltaik (Talang Akar Bawah) dan deltaik-marin (Talang Akar Atas). Bagian bawah Formasi Talang Akar mempunyai kualitas reservoir yang baik dan merupakan penghasil minyak utama di Cekungan Sumatra Selatan. Kontak dengan Formasi Lahat adalah tidak selaras di bagian tepi cekungan dan paraconformity pada wilayah palung serta selaras dengan Formasi Gumai. Ketebalan dari Formasi Talang Akar beragam dari 410 hingga 610 meter. Umur sekuen Talang Akar adalah Oligosen Akhir dan Miosen Awal dari analisis foraminifera.
Formasi Baturaja Formasi ini terdiri dari batugamping dan serpih yang terakumulasi pada platform lokal sebagai karbonat terumbu yang mempunyai relief rendah. Sedimentasi karbonat terjadi pada Miosen Awal, ketika penurunan muka laut menyebabkan karbonat Baturaja tersingkap dan mengalami pelarutan. Ketebalan Formasi Baturaja beragam, mulai 20 m hingga 150 m. Fasies pada Formasi Baturaja yang berperan sebagai reservoir untuk eksplorasi dan produksi hidrokarbon adalah wackestone koral-alga dan packstone dengan berkembangnya porositas sekunder (AMI Study Group, 1994).
27
Formasi Gumai Pengendapan karbonat pada Formasi Baturaja di Cekungan Sumatra Selatan diakhiri oleh peristiwa transgresi yang tersebar dengan luas dan dalam, yang kemudian mengawali pengendapan serpih marin Gumai pada keseluruhan cekungan (Bishop, 2001). Formasi Gumai yang berumur Miosen Awal-Miosen Tengah mewakili fasa akhir dari transgresi Neogen dengan berkembangnya fasies laut dangkal hingga dalam pada lingkungan energi sangat rendah. Formasi ini diendapkan secara selaras di atas Formasi Baturaja. Formasi Gumai merupakan satuan batuan yang paling tersebar dengan luas pada satuan berumur Tersier, yang terendapkan selama transgresi maksimum yaitu saat Miosen Awal. Formasi ini dicirikan dengan adanya serpih marin yang mengandung fosil dan lapisan tipis dari batugamping glaukonit dan batulanau. Tepi cekungan muncul pada fasies laut dangkal dengan batulanau dan batupasir halus serta batugamping yang muncul dengan serpih sebagai penciri sistem deltaik (AMI Study Group, 1994).
Formasi Air Benakat Menurut Bishop (2001), satuan ini dianggap terendapkan selama tahap awal siklus regresif, yang tersusun atas serpih dengan batupasir glaukonit dan batugamping dari lingkungan neritik dengan dasarnya berangsur hingga lingkungan laut dangkal.
Formasi Muara Enim Satuan ini terendapkan di laut dangkal hingga wilayah payau, dataran delta serta lingkungan nonmarin yang terdiri atas batupasir, batulempung, dan lapisan batubara. Batas bagian bawah dari formasi ini di wilayah selatan cekungan ditandai dengan adanya lapisan batubara dan pada wilayah palung Jambi oleh batupasir glaukonit. Ketebalan lapisan batubara menipis dari selatan ke utara pada Cekungan Sumatra Selatan, sedangkan ketebalan formasi beragam dengan ketebalan maksimum
28
hingga 450-750 meter, dengan umur diinterpretasikan Miosen Akhir hingga Pliosen (Ginger dan Fielding, 2005).
Formasi Kasai Menurut Ginger dan Fielding (2005), satuan ini terendapkan selama pembentukan pegunungan Plio-Pleistosen dan sebagian besar merupakan produk erosi yang berasal dari pengangkatan Bukit Barisan dan Pegunungan Tigapuluh serta dari pengangkatan lipatan yang terbentuk di dalam cekungan selama pembentukan pegunungan tersebut. Formasi Kasai terdiri batupasir tufaan, batulempung serta lapisan tipis batubara dengan beragam variasi ketebalan dan komposisi. Kontak bagian dasar biasanya berada pada ketebalan terendah lapisan tufaan. Satuan ini muncul pada sinklin yang terbentuk selama pembentukan pegunungan dan tidak dijumpai pada lipatan antiklin. Formasi ini berumur Pliosen-Pleistosen berdasarkan peristiwa pembentukan pegunungan pada saat itu.
Sedimen Kuarter Sedimen Kuarter yang terendapkan di atas sedimen Tersier dan batuan dasar Pra-Tersier serta dibatasi oleh ketidakselarasan terdiri dari breksi, batupasir, dan batulempung serta produk vulkanik yang berasal dari Bukit Barisan (AMI Study Group, 1994).
3.1.3 Struktur Geologi Menurut AMI Study Group (1994), Cekungan Sumatra Selatan merupakan suatu cekungan busur belakang (back-arc basin) berumur Tersier yang berada di antara blok mikro-kontinen stabil, yang disebut sebagai Paparan Sunda, dan zona subduksi aktif di antara Lempeng Samudera Hindia yang bergerak ke arah utara dan Lempeng Eurasia yang stabil. Cekungan ini terbentuk saat Tersier Awal (EosenOligosen) dengan sejumlah graben berkembang akibat sistem subduksi yang bersifat 29
miring (oblique) dari Lempeng Samudera Hindia yang menunjam ke bawah Lempeng Asia Tenggara serta membentuk sesar mendatar menganan pada cekungan busur belakang tersebut. Arah dari sistem graben tersebut serupa dengan sistem sesar mendatar menganan. Dalaman yang terdapat pada Blok Jabung (Geragai, Betara, dan Tungkal) serta di bagian selatan (Depresi Jambi dan Ketaling Timur) terbentuk oleh sesar mendatar. Pada Cekungan Sumatra Selatan hampir semua elemen struktur merupakan hasil dari fasa awal kompresi, yang berasosiasi dengan periode vulkanisme andesitik yang berdampingan dengan Rangkaian Bukit Barisan (Gambar 3.4). Aktivitas puncak diinterpretasikan terjadi saat Pliosen dan Pleistosen, yang secara lokal masih berlangsung hingga saat ini. Graben atau dalaman tersebut terisi oleh sedimen nonmarin hingga marin yang tebal berumur Eosen-Oligosen dari Formasi Lahat dan Talang Akar. Secara struktur wilayah yang tinggi menerima sedimen hanya saat Formasi Talang Akar terbentuk, seiring dengan peristiwa transgresi marin. Formasi Gumai terendapkan di sebagian besar cekungan ketika Miosen Awal saat transgresi maksimum terjadi dan masih dipengaruhi oleh tektonik ekstensional. Bagaimanapun, saat Miosen Tengah, subduksi dan pergerakan lempeng menyebabkan kompresi pada sistem tektonik konvergen dan mengawali siklus regresif dalam sedimentasi. Tipe struktur saat ini dipengaruhi oleh rezim transpresi utama sepanjang Pulau Sumatra. Menurut Pulunggono dkk. (1992), pembentukan cekungan busur belakang Sumatra Selatan terjadi saat Paleogen akibat pergerakan blok yang menunjam sepanjang sesar mendatar berarah WNW-ESE (Lematang) dan N-S berumur PraTersier, yang menjadi sesar normal seiring dengan sejarah pengisian cekungan saat Tersier. Tektonik kompresif saat Neogen menyebabkan inversi wilayah blok sesar sepanjang sesar yang berarah WNW-ESE.
30
Gambar 3.4. Elemen struktur utama pada Cekungan Sumatra Selatan yang berumur Eosen-Oligosen (orientasi NE-SW) serta struktur inversi yang berumur PlioPleistosen (Ginger dan Fielding, 2005). Perkembangan struktur maupun evolusi cekungan sejak Tersier merupakan hasil interaksi dari ketiga arah struktur utama yaitu, struktur yang berarah timurlautbaratdaya, struktur yang berarah baratlaut-tenggara, dan struktur yang berarah utaraselatan (Suta dan Xiaoguang, 2005). Struktur geologi berarah timurlaut-barat daya berasosiasi dengan terbentuknya sistem graben di Cekungan Sumatra Selatan. Struktur lipatan yang berkembang diakibatkan oleh pengaktifan kembali sesar-sesar normal (graben) tersebut pada periode kompresif Plio-Plistosen yang berasosiasi dengan sesar mendatar (wrench fault). Namun, intensitas perlipatan pada arah ini tidak begitu kuat. Pola struktur berarah baratlaut-tenggara sangat mendominasi di daerah Sub-Cekungan Palembang (Pulunggono dan Cameron, 1984). Manifestasi struktur pola ini saat ini berupa perlipatan yang berasosiasi dengan sesar naik yang terbentuk akibat gaya kompresi Plio-Pleistosen. Struktur geologi berarah utara31
selatan juga terlihat di Cekungan Sumatra Selatan. Pola struktur yang pada awalnya dimanifestasikan dengan sesar normal (graben), pada periode tektonik PlioPleistosen teraktifkan kembali
sebagai
sesar mendatar yang sering kali
memperlihatkan pola perlipatan di permukaan.
3.2 Geologi Daerah Penelitian Wilayah Blok Jabung, Sub-Cekungan Jambi, berada di bagian utara dari Cekungan Sumatra Selatan. Analisis stratigrafi daerah penelitian dilakukan berdasarkan data log sumur yang dilengkapi dengan data deskripsi serbuk bor dan inti batuan samping, pada Sumur Lili-1, Bakung-1, dan Melati-2, dengan lokasi ditunjukkan pada Gambar 3.5 dan 3.6.
Gambar 3.5. Peta lokasi Sumur Lili-1, Kenanga-3, Bakung-1, dan Melati-2 (PetroChina, 2005 dalam Sapiie dkk., 2008).
32
Gambar 3.6. Lokasi sumur pada peta geologi regional Lembar Muarabungo (Simandjuntak dkk., 1994) dan Lembar Jambi (Mangga dkk., 1993). Struktur
geologi
daerah
penelitian
dilakukan
dengan
menganalisis
penampang seismik yang melalui Sumur Lili-1, Kenanga-3, Bakung-1, dan Melati-2, dengan batas litologi merupakan hasil validasi dengan data stratigrafi yang dianalisis dari log sumur dan deskripsi serbuk bor serta inti batuan samping.
3.2.1 Stratigrafi Pada wilayah penelitian dilakukan korelasi antara Sumur Lili-1, Bakung-1 dan Melati-2, dengan lokasi ditunjukkan pada Gambar 3.5 dan 3.6, yang dianalisis berdasarkan data log sumur, seperti resistivitas dan sinar gamma dengan litologi berdasarkan data deskripsi serbuk bor (cutting) dan inti batuan-samping (side-wall core). Stratigrafi daerah penelitian dapat ditunjukkan pada Gambar 3.7 dan Lampiran A, B, C, dan D. Sumur-sumur di daerah penelitian, yaitu Sumur Lili-1 mempunyai kedalaman hingga 4700 kaki, Sumur Bakung-1 mempunyai kedalaman hingga 7826 kaki, dan Sumur Melati-2 mempunyai kedalaman hingga 11273 kaki. Pada sumur-sumur ini ditemui pengendapan Formasi Talang Akar Bawah yang terdiri dari batupasir berbutir kasar perselingan dengan serpih, batulempung, dan batubara yang tipis pada 33
lingkungan pengendapan fluvio-deltaik serta dicirikan dengan pola agradasi pada log dan penipisan lapisan batupasir. Awal peristiwa transgresi pada daerah penelitian ditandai dengan pengendapan Formasi Talang Akar Atas yang diendapkan pada lingkungan deltaik hingga marin, tersusun atas batupasir dan serpih perselingan dengan batubara dan batugamping serta dicirikan oleh pola log yang bersifat menghalus (fining upward) dari pengendapan Formasi Talang Akar Bawah. Pada formasi ini, lapisan batulempung semakin menebal dan ditandai oleh kemunculan lapisan batugamping. Pengendapan Formasi Baturaja sebagai lapisan karbonat yang tipis terjadi pada daerah penelitian, transgresi terus berlangsung dan mencapai puncaknya seiring dengan pengendapan Formasi Gumai di lingkungan marin, yang terdiri dari serpih, batulempung, dan napal. Pola log menunjukkan nilai resistivitas dan sinar gamma yang relatif tinggi. Peristiwa transgresi mencapai puncaknya dengan pengendapan Formasi Gumai, yang terdiri dari serpih dengan lapisan batugamping dan batulanau yang tipis. Pada formasi ini terdapat lapisan batulempung yang relatif tebal dengan pengendapan lapisan batupasir. Pola log pada pengendapan Formasi Gumai bersifat agradasi. Akhir peristiwa transgresi mengawali pengendapan regresif, yang ditandai dengan pengendapan Formasi Air Benakat yang terdiri dari perselingan batupasir, serpih, dan batubara. Pada formasi ini, lapisan batupasir semakin menebal dan pola log bersifat agradasi. Formasi Muara Enim terdiri dari batupasir dengan sejumlah lapisan batulempung dan batubara dengan pola log bersifat agradasi, dan Formasi Kasai terdiri dari perselingan batulempung dan batupasir tufan ditandai pola log mengkasar (coarsening upward).
34
Gambar 3.7. Stratigrafi daerah penelitian.
3.3 Struktur Geologi Menurut Sapiie dkk. (2008), struktur yang berkembang di Blok Jabung, SubCekungan Jambi merupakan hasil dari empat periode tektonik yang berbeda. Periode pertama saat Mesozoikum Tengah, terbentuk batuan dasar yang telah mengalami penyesaran dan perlipatan yang menjadi bagian dari satuan batuan Pra-Tersier dengan beragam litologi. Periode kedua, pada Tersier Awal, dicirikan oleh sesar berarah NE-SW, yang berasosiasi dengan blok sesar dan setengah graben. Periode ketiga terjadi saat Oligosen dengan sesar mendatar menyebabkan reaktivasi sesar
35
terdahulu. Periode terakhir terjadi saat Pleistosen akhir yang mereaktivasi dan menginversi sesar yang lebih tua. Wilayah penelitian Blok Jabung, Sub-Cekungan Jambi didominasi oleh struktur berarah NW-SE dan NE-SW. Struktur berarah NE-SW mengontrol distribusi graben berumur Paleogen (Sapiie dkk., 2008). Berdasarkan analisis geologi regional (Gambar 3.6) tidak dijumpai adanya struktur yang teridentifikasi di permukaan, sedangkan pada wilayah penelitian dilakukan analisis struktur bawah permukaan melalui penampang seismik yang melewati Sumur Lili-1, Kenanga-3, Bakung-1, dan Melati-2, seperti ditunjukkan pada Gambar 3.8. Berdasarkan analisis tersebut, dapat diketahui adanya sesar normal yang mengontrol pengendapan batuan sedimen di wilayah penelitian akibat tektonik ekstensional dengan sejumlah antiklin yang terbentuk akibat reaktivasi sesar normal.
3.4 Sintesis Geologi Pengendapan batuan sedimen pada Blok Jabung dimulai sejak Eosen Akhir hingga Oligosen Awal dengan endapan syn-rift yang membentuk fasies marin dari Formasi Talang Akar. Sedimen mengisi setengah graben, onlap dengan batuan dasar yang berumur Pra-Tersier. Geometri batuan dasar Cekungan Sumatra Selatan dikontrol oleh struktur berarah NE-SW dan NW-SE, yang berkembang selama Tersier dan saat sedimen terendapkan. Formasi Talang Akar ini terbagi menjadi Formasi Talang Akar Bawah yang terdiri dari batupasir berbutir kasar perselingan dengan serpih, batulempung, dan batubara yang tipis dengan bagian atas formasi ini ditandai oleh kemunculan lapisan batubara, serta Formasi Talang Akar Atas yang terdiri dari batupasir perselingan dengan serpih karbonatan dan batulempung serta batupasir serpihan yang tipis dan batugamping.
36
LILI-1
KENANGA-1
BAKUNG-1
MELATI-2
Gambar 3.8. Struktur geologi pada daerah penelitian.
37
Pada Miosen Awal, pada wilayah penelitian dilanjutkan dengan pengendapan Formasi Baturaja sebagai lapisan karbonat yang tipis. Selama Miosen Awal hingga Miosen Tengah, transgresi terus berlangsung dan mencapai puncaknya seiring dengan pengendapan Formasi Gumai di lingkungan marin, yang terdiri dari serpih, batulempung, dan napal, perselingan dengan batupasir karbonatan dan batupasir glaukonit berbutir halus dan berasosiasi dengan endapan post-rift. Akhir peristiwa transgresi pada Miosen tengah secara regional berhubungan dengan pengangkatan Bukit Barisan di bagian barat dan mengawali pengendapan regresif yang berlangsung hingga saat ini, yaitu Formasi Air Benakat yang terendapkan pada dataran delta dan delta-front serta terdiri dari perselingan batupasir, serpih, dan batubara, Formasi Muara Enim, yang terdiri dari batulempung dan serpih dengan sisipan batupasir dan batubara, dan Formasi Kasai yang terdiri dari perselingan batulempung, batupasir litik berbutir kasar dan batupasir tufaan, juga merupakan sekuen regresif.
38