BAB III DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA ARKEOLOGI
A. SITUS CERUK UATTAMDI Penelitian Peter Bellwood pada tahun 1991 dan 1994 meliputi dua situs di Pulau Kayoa, Maluku Utara, yaitu Situs Ceruk Uattamdi I dan Situs Ceruk Uattamdi II. Dalam penelitian tersebut hanya Situs Ceruk Uattamdi I saja yang banyak menghasilkan data arkeologi yang akan dibahas dalam tulisan ilmiah ini. 1. Situs Uattamdi I Situs Uattamdi I merupakan sebuah ceruk peneduh1 pada tebing koral setinggi 6 m di Tanjung Pompom, pantai barat Pulau Kayoa. Tepatnya di sebelah barat laut kampung Guruapin, ibu kota kecamatan Kayoa. Situs Uattamdi terletak pada koral terjal yang terangkat naik karena gerakan tektonik, dan berjarak 60 meter dari garis pantai saat ini. Dataran pesisir selebar 60 meter tersebut terbentuk oleh sedimentasi pelapukan hasil pembukaan lahan bagi pertanian kelapa pada masa baru-baru ini.2
1
Berbeda dengan gua, ceruk merupakan bentuk gua yang lebih sederhana. Biasanya tidak memiliki stalaktik dan stalakmit, keseluruhan bagian rongga mendapat sinar matahari, dan batas imajinernya hanya sampai batas yang temaram. Agung Wiratno, ”Perbedaan Bentuk Budaya Masyarakat Penghuni GuaGua Prasejarah Di Jawa Timur Dan Sulawesi Selatan”, Skripsi (Yogyakarta: Fak. Sastra UGM, 1998), hlm. 12-13. 2
Peter Bellwood, Goenadi Nitihaminoto, Gunadi, Agus Waluyo, Geoffrey Irwin, “The Northern Molluccas as A Crossroads between Indonesia and the
44
Peta 3.1. Keletakan situs Ceruk Uattamdi, Pulau Kayoa, Maluku Utara Sumber: Microsoft Encarta Reference Library (2003), dengan modifikasi.
Penelitian terhadap situs ceruk peneduh Uattamdi, Pulau Kayoa telah dilakukan oleh Peter Bellwood pada tahun 1991 dan 1994. Pada tahun 1991 di situs tersebut telah dilakukan ekskavasi pada kotak AB7 dan kotak D4 – D9. Kotak AB7 terletak pada dinding timur situs tersebut, sedangkan kotak D4 – D9 yang berukuran 6 m², berada di tengah-tengah situs tersebut digali membujur arah Pacific”, dalam Sudaryanto dan Alex Horo Rambadeta (eds), Antar Hubungan Bahasa dan Budaya di Kawasan Non-Austronesia, (Yogyakarta: PSAP-UGM, 2000), hlm. 212.
45
utara-selatan. Kemudian pada tahun 1994 dibuka kotak C4 – C7 dan E4 – E9, yang berada disebelah utara dan selatan kotak D4-D9. Kotak C4 – C7 berukuran 4 m², sedangkan kotak E4 – E9 berukuran 6 m².
Gambar 3.1. Keberadaan kotak ekskavasi pada Situs Ceruk Uattamdi Sumber: Peter Bellwood, 2000, dengan perubahan bahasa.
Ekskavasi dilakukan dengan metode spit, dengan interval spit 5 cm. Deposit yang diekskavasi, disaring dengan ayakan yang lubangnya berukuran 2,5 sampai 3 mm.3 Seluruh hasil ekskavasi pada tahun 1991 dan 1994, telah menghasilkan 17 kotak gali dengan luas 16 m², dengan titik ekskavasi terdalam 120 cm.
3
Peter Bellwood, Excavations in Uattamdi Rockshelters, Kayoa Island, (tidak dipublikasikan, a), hlm. 2. Lihat gambar 3.2.
46
Berdasarkan hasil ekskavasi dapat diketahui bahwa pada situs tersebut terdapat empat lapisan litologi yang utama, dengan beberapa lapisan sisipan. Seluruh deposit budaya berada pada layer A – D (dari atas ke bawah), sedangkan lapisan E merupakan lapisan pasir pantai yang streril. Lapisan E memiliki ketinggian yang sama dengan ketinggian pantai saat ini, hal ini mengindikasikan bahwa ketinggian air laut sepanjang garis pantai tidak berubah sejak awal masa penghunian situs tersebut (3500 BP).4 Di bawah lapisan E merupakan lapisan batu koral yang merupakan bed rock situs ceruk peneduh Uattamdi. 2. Situs Uattamdi II Selain situs Uattamdi I, Peter Bellwood juga melakukan penelitian pada situs Uattamdi II yang berjarak 75 meter di sebelah barat laut situs Uattamdi I. Situs ini berada di bawah sebuah blok koral besar yang terangkat naik. Lapisan atas Situs Uattamdi II hanya terdiri dari pasir pantai modern dan berjarak hanya 17,5 meter dari garis pantai. Di situs Uattamdi II digali sebuah test pit berukuran 1 x 1 meter, yang berada di tengah-tengah lantai situs tersebut. Situs ini hanya menghasilkan lapisan budaya setebal 30 cm di atas lapisan pasir pantai yang steril. Gerabah yang ditemukan pada lapisan permukaan dan lapisan budaya hanya terdiri dari gerabah slip merah modern dan gerabah upam Mare. Berdasarkan pada data yang dihasilkan tersebut, situs Uattamdi II diperkirakan hanya berumur tidak lebih tua dari 100 atau 200 tahun yang lalu.
4
Peter Bellwood, Goenadi Nitihaminoto, Gunadi, Agus Waluyo, Geoffrey Irwin, loc.cit. Lihat gambar 3.2.
47
B. HASIL EKSKAVASI DAN ANALISIS SEBELUMNYA DATA ARKEOLOGI SITUS UATTAMDI Berdasarkan pada tujuan penelitian, yaitu untuk mengetahui sejarah penghunian serta dinamika budaya pada situs ceruk peneduh Uattamdi, maka dalam tahap ini akan dipaparkan hasil analisis terhadap data arkeologi yang pernah dilakukan sebelumnya. Pada bagian ini juga akan dilakukan pembahasan terhadap hasil analisis tersebut, sehingga hasil analisis tersebut menjadi lebih valid dan relevan untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini. Di samping itu, analisis data arkeologi yang dilakukan, diharapkan juga dapat digunakan untuk menjawab permasalahan kedua mengenai proses migrasi-kolonisasi manusia di kawasan Maluku Utara. 1. Stratigrafi Menurut Bellwood5, berdasarkan pada ciri-ciri struktur lapisan tanah pada kotak D4-D9 yang digali, di Situs Uattamdi terdapat lima jenis lapisan tanah. Penentuan stratigrafi tersebut diperoleh berdasarkan kenampakan penampang timur kotak D4-D9. Seluruh lapisan tanah tersebut memiliki tekstur pasiran, dengan komposisi utamanya adalah matrikulasi pasir koral. Berdasarkan analisis ukuran butir diketahui bahwa lebih dari 80 % seluruh lapisan tanah tersebut mengandung pasir. Kandungan lempung terbesar ada pada layer C, yang juga paling kaya kandungan data arkeologinya. Selain koral lempung, seluruh lapisan tanah tersebut bertekstur sedikit kasar.
5
Periksa: Peter Bellwood, op.cit..
48
Gambar 3.2. Gambar penampang stratigrafi situs ceruk Uattamdi Sumber: Peter Bellwood, (2000), dengan modifikasi
Permukaan kotak gali C4-C7, D5-D7 dan E5-E6 sebagian besar tertutup oleh lapisan abu berwarna putih. Berdasarkan informasi penduduk lokal, abu tersebut merupakan sisa aktivitas evaporasi garam laut. Lapisan A memiliki ketebalan ± 25 cm, berwarna abu-abu gelap. Lapisan ini merupakan lapisan tanah sub-modern. Lapisan A hanya sedikit menghasilkan data arkeologi, hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh aktivitas penguburan tempayan yang dilakukan pada masa antara lapisan A dan B. Tidak adanya gerabah gores Mare pada lapisan A menunjukan bahwa situs ini tidak digunakan setelah 910±110 BP.6 Lapisan B merupakan lapisan pasir koral yang berwarna kuning terang dan memiliki ketebalan ± 20 cm. Pada lapisan ini terdapat banyak potongan batu apung laut (pumis) yang keras. Kemungkinan besar batu apung tersebut masuk ke dalam ceruk karena ombak pasang yang disebabkan oleh aktivitas erupsi dan gempa vulkanik gunung berapi Makian, di Pulau Makian sebelah utara Pulau
6
Mahirta, “The Development of the Mare pottery Tradition in the Northern Moluccas”, paper disampaikan dalam IPPA Congres, Melaka, 1998, hlm. 125.
49
Kayoa. Lapisan B banyak menghasilkan bekal kubur yang ditemukan pada beberapa lubang dangkal yang digali bagi penguburan tempayan. Kemungkinan besar pada masa tersebut yang merupakan lantai ceruk adalah batas antara lapisan A dan B. Pertanggalan yang dihasilkan dari lapisan B adalah 2330±70 BP dari dasar lapisan kubur tempayan. Pertanggalan tersebut didapatkan dengan konteks fragmen tempayan kubur, dengan bekal kubur sebuah cangkang kerang yang besar dari spesies Turbo marmoratus. Diperkirakan pada lapisan ini, aktivitas penguburan berlangsung pada pertanggalan tersebut dan berlanjut hingga 1190±70 BP. Berdasarkan pola sebaran data arkeologi secara vertikal, tinggalan dari lapisan B (masa logam) berbeda sekali dengan data yang dihasilkan pada lapisan C (pra-logam). Lapisan C memiliki ketebalan ± 35 cm, umumnya berwarna abu-abu gelap. Pada lapisan ini terdapat lapisan sisipan berupa runtuhan bongkahan stalaktit setebal ± 20 cm dan abu berwarna abu-abu terang setebal ± 10 cm. Dari arang yang dihasilkan lapisan sisipan abu perapian tersebut didapatkan pertanggalan 2610±170 BP. Dari kuantitas artefak dan abu perapian yang dihasilkan, diperkirakan bahwa pada masa tersebut situs Uattamdi dipergunakan secara intensif, walaupun langit-langit gua mengalami keruntuhan. Dari persebaran bongkah runtuhan secara horizontal, diperkirakan bahwa runtuhan tersebut dipindahkan dari sisi utara ke sisi selatan ceruk. Hal tersebut kemungkinan dilakukan untuk membersihkan sisi utara ceruk yang merupakan zona hunian, dari bongkahan yang dapat mengganggu aktivitas manusia.
50
Lapisan D memiliki ketebalan ± 20 cm pada umumnya berwarna abu-abu terang dan pada beberapa bagian berwarna abu-abu gelap. Lapisan D merupakan campuran antara pasir koral dan tanah. Pada lapisan ini terdapat sisipan lapisan tanah berwarna coklat kekuningan setebal ± 10 cm dan sisipan abu berwarna abuabu terang setebal ± 5 cm dan panjang ± 2 m, mengindikasikan adanya aktivitas hunian yang cukup intensif. Lapisan tanah yang lebih terang dimulai pada bagian dasar lapisan E dan berangsur-angsur berubah menjadi berwarna lebih gelap pada bagian atasnya yang berbatasan dengan lapisan C. Berdasarkan tinggalan data arkeologi dapat diketahui bahwa lapisan D memiliki keterkaitan budaya dengan tinggalan dari lapisan C. Pertanggalan dari lapisan D adalah 3260±70 BP dan 3440±110 BP yang diambil dari dasar dan permukaan lapisan ini, dengan materi kerang laut. Lapisan E yang memiliki ketebalan 20 - 30 cm merupakan lapisan pasir koral berwarna kuning terang dan merupakan lapisan yang streril dari data arkeologi, dengan pertanggalan 3530±70 BP. Di bawah lapisan E terdapat lapisan batu koral yang merupakan bed rock situs ceruk peneduh Uattamdi. Situs ceruk peneduh Uattamdi terbentuk dari koral yang terkikis oleh sapuan ombak laut dan lapisan E terbentuk dari tanah sekitar ceruk yang terhempas masuk ke dalam ceruk. Hal ini mengindikasikan bahwa situs tersebut baru dihuni ketika ombak sudah tidak masuk ke dalam ceruk, dan berdasarkan data arkeologi memang tidak ada data yang menunjukan hunian masa pra-keramik. Pada situs tersebut juga telah dilakukan pertanggalan yang dilakukan di Laboratorium Radiocarbon ANU, antara lain adalah:
51
No. Lab.
Layer dan Spit
Radio karbon (BP)
Kalibrasi BP (versi3.0)
Material sampel
7772
A5
900±100
928-695
Arang
7773
B1
1190±70
1175-988
Arang
9322
B2
2330±70
1879-1715
Kerang laut
7774
B4
390±190
550-0
Arang
7775
C3
2610±170
2860-2378
Arang
9323 10959 10957 9320 7776 9321
D1 D2 D3 D3 D4 E
3260±70 3410±140 2850±120 650±180 3440±110 3530±70
2973-2798 3830-3459 3159-2781 725-512 3342-2971 3364-3176
Kerang laut Arang Arang Arang Kerang laut Kerang laut
Konteks Budaya Kubur tempayan, mata uang Cina Kubur tempayan, manikmanik kaca Kubur tempayan, manikmanik kaca Sama dengan 7773 dan 9322 (?) Gerabah slip merah, manik-manik kerang, alat Sama dengan 7775 Sama dengan 7775 Sama dengan 7775 Sama dengan 7775 (?) Sama dengan 7775 Steril
Tabel. 3.1. Pertanggalan pada Situs Ceruk Uattamdi Sumber: diterjemahkan dari Peter Bellwood, (2000) dan (tidak diterbitkan). Keterangan : Untuk pertanggalan yang material sampelnya menggunakan kerang laut dikurangi 450 tahun sebelum dilakukan kalibrasi. Pertanggalan dilakukan oleh John Head di Laboratorium Radiokarbon, ANU.
2. Data Artefaktual Artefak merupakan data yang sangat penting dalam ilmu arkeologi, karena di dalamnya terkandung informasi mengenai aspek kognisi dan tingkah laku manusia pendukung budaya yang bersangkutan. Pentingnya pembicaraan mengenai data artefaktual pada kajian perpindahan manusia karena, manusia membawa unsur-unsur budayanya ketika mereka bermigrasi, dan dengan
52
memperhatikan distribusi karakteristik budayanya maka dapat diketahui persebaran manusia pendukungnya.7 1. Artefak Batu Artefak batu yang ditemukan pada situs Uattamdi antara lain adalah: beliung persegi, tatal, dan alat serpih. Artefak-artefak tersebut terbuat dari batuan tersilika (sejenis chert) yang jenisnya beragam.8 Secara umum seluruh artefak tersebut berasal dari lapisan C dan D. a. Beliung Beliung yang ditemukan di Situs Uattamdi berjumlah 4 buah. Salah satu artefak tersebut memiliki ukuran panjang 10 cm, lebar 5 cm dan tebal 3 cm, dengan bentuk penampang oval.9 Selain itu, pada situs Uattamdi juga ditemukan sebuah pahat yang merupakan variasi bentuk dari beliung persegi. Artefak tersebut memiliki penampang membundar dengan ukuran panjang 7 cm dan diameter 2 cm.10 Seperti morfologi beliung persegi pada umumnya, sebagian besar permukaan beliung persegi dari Situs Uattamdi juga telah mengalami proses pengupaman, sehingga jejak urut-urutan pembuatannya juga sudah tidak dapat diamati.
7
Irving Rouse, Migrations in Prehistory, Inverring Population Movement From Cultural Remain (New Haven: Yale University, 1986), hlm. 4. 8
Informasi dari Daud Aris Tanudirdjo, staf pengajar jurusan Arkeologi,
9
Lihat gambar 3.3. dan 3.11.a
UGM. 10
Lihat gambar 3.11.c
53
Gambar 3.3. Beliung dari Situs Ceruk Uattamdi Sumber: Peter Bellwood, 2000.
b. Serpih Serpih yang ditemukan pada Situs Uattamdi berjumlah 25 buah. Pada umumnya serpih tersebut berukuran 3 - 5 cm.11 Artefak tersebut terbuat dari bahan batuan tersilika sejenis rijang (chert). Selain serpih, pada situs Uattamdi juga ditemukan tatal sebanyak 11 buah. Diantaranya terdapat 3 buah tatal yang berasal dari beliung persegi.12 Sampai saat ini belum ada analisis yang mendalam yang dilakukan terhadap artefak-artefak tersebut.
11 12
Lihat gambar 3.4.
Peter Bellwood, Goenadi Nitihaminoto, Gunadi, Agus Waluyo, Geoffrey Irwin, loc.cit. Lihat gambar 3.5.
54
Gambar 3.4. Serpih dari Situs Ceruk Uattamdi Sumber: Peter Bellwood, 2000.
Gambar 3.5. Tatal dari Situs Ceruk Uattamdi Sumber: Peter Bellwood, 2000, dengan modifikasi
55
2. Alat Tulang dan Kerang a. Lancipan tulang Lancipan yang ditemukan di Situs Uattamdi, berjumlah 5 buah dan keseluruhannya berasal dari bahan tulang.13 Lancipan merupakan artefak yang memiliki bentuk meruncing pada bagian tajamannya dan berbentuk menyerupai jarum besar. Lancipan tulang dibentuk baik dari batang tulang panjang yang utuh maupun bagian dari tulang panjang yang dibelah secara vertikal. Pada situs Uattamdi, dua buah lancipan terbuat dari duri ikan dengan sedikit dimodifikasi. Selain terlihat bekas pemakaian, juga nampak sedikit pengasahan untuk menambah ketajaman. Pada situs ini juga ditemukan dua buah lancipan berujung ganda dan sebuah lagi yang belum dapat ditentukan bentuknya apakah termasuk lancipan berujung tunggal ataukah lancipan berujung ganda yang patah. Ketiganya terbuat dari fragmen tulang mamalia yang berukuran sedang. Sedangkan lancipan yang diragukan bentuknya terbuat dari bahan tulang tibia wallabi. Ketiga lancipan tersebut dikerjakan dengan metode pemotongan dan penyerutan, selain itu juga terlihat bekas pengasahan. Sebelum dilakukan pengerjaan, dilakukan pemanasan dengan api untuk menambah kekuatan.14
13 14
Lihat gambar 3.6. dan 3.11. g
Juliette Pasveer dan Peter Bellwood, Bone Point from the Northern Moluccas, Indonesia (belum dipublikasikan), hlm. 4.
56
Gambar 3.6. Lancipan tulang dari Situs Ceruk Uattamdi Sumber: Juliette Pasveer dan Peter Bellwood, (tidak dipublikasikan).
Seluruh lancipan yang ditemukan di Situs Uattamdi berasal dari lapisan C, hanya satu buah yang ditemukan pada lapisan A yang kemungkinan disebabkan oleh faktor intrusi karena aktivitas penguburan tempayan pada lapisan A dan B. Pada umumnya lancipan berfungsi sebagai jarum untuk menjahit, ujung tombak menangkap ikan dan sebagai aksesoris untuk menghiasi hidung seperti yang masih banyak dipakai oleh beberapa etnis di Papua.15 b. Serut Serut dari cangkang kerang yang ditemukan di Situs Uattamdi berjumlah 6 buah. Seluruh artefak tersebut berasal dari lapisan C. Bahan baku artefak tersebut berasal dari cangkang kerang mutiara, yang berukuran 7 cm.16 Kerang mutiara termasuk dalam super famili Pterioidea, famili Pteriidae. Kerang mutiara memiliki persebaran yang sangat luas di kawasan perairan tropis. Kerang dari jenis ini memiliki empat spesies, antara lain: Pinctada mangaritifera dan Pinctada 15 16
Ibid., hlm. 8.
Peter Bellwood, Goenadi Nitihaminoto, Gunadi, Agus Waluyo, Geoffrey Irwin, op.cit., hlm. 239. Lihat gambar 3.11. h dan k
57
penguin yang tersebar di perairan Indo-Pasifik17 serta Pinctada martensii dan Pinctada maxima yang tersebar di perairan Pasifik barat. Habitat kerang mutiara adalah perairan dangkal dengan kedalaman kurang dari 25 m. Selain memproduksi mutiara, jenis kerang ini pada cangkang bagian dalamnya berwarna mengkilat.18 Karena bagian tepiannya yang tajam, maka cangkang dari jenis ini juga digunakan sebagai alat. c. Pisau Pisau dari cangkang kerang yang ditemukan di situs Uattamdi berjumlah 3 buah. Keseluruhan temuan tersebut berasal dari lapisan C. Sampai saat ini belum dapat diketahui spesies kerang yang cangkangnya dimanfaatkan untuk membuat artefak tersebut. Hal ini disebabkan oleh faktor pengerjaan yang menghilangkan ciri penanda spesifik suatu jenis spesies kerang. Definisi pisau yang digunakan untuk menyebut alat ini oleh Bellwood, mungkin berhubungan dengan aspek fungsionalnya yaitu untuk memotong. Di Pasifik (Talepakemalai), pisau dan serut kerang mutiara digunakan untuk menyiapkan umbi-umbian, akar dan buah-buahan untuk diolah dan dimasak.19
17
Perairan Indo-Pasifik mencakup kawasan seluruh perairan pantai Samudra Indonesia dan Samudra Pasifik, kecuali pantai barat Amerika, pantai timur Asia bagian utara, pantai Australia selatan dan Selandia Baru. 18
Kenneth R. Wye, The Encyclopedia of Shells (London: Quantum Books Ltd, 1996), hlm. 244-245. 19
Patrick Vinton Kirch, The Lapita Peoples, Ancestors of the Oceanic World, (Cambridge: Blackwell Publisers, 1997), hlm. 214.
58
d. Mata kail Mata kail dari cangkang kerang yang ditemukan di situs Uattamdi hanya berjumlah satu buah. Seperti artefak cangkang kerang lainnya, artefak ini juga ditemukan pada lapisan C. Berdasarkan pada perbandingan bahan baku mata kail dari situs ini dengan mata kail yang masih digunakan pada beberapa etnis di Kepulauan Pasifik, maka kemungkinan besar fungsi artefak tersebut juga digunakan untuk menangkap ikan.20 Munculnya mata kail di Situs Uattamdi mengindikasikan bahwa manusia pendukung situs tersebut melakukan eksploitasi sumber daya laut. e. Cakram Cakram yang ditemukan di Situs Uattamdi berjumlah 6 buah. Artefak tersebut berbentuk melingkar diameter berukuran 7 cm.21 Cakram berasal dari bagian puncak cangkang kerang famili Cypraeidae (kauri) yang dipotong secara horisontal. Kerang famili Cypraeidae memiliki ciri-ciri tekstur permukaan yang sangat halus, mengkilat seperti porselen, dan kaya akan variasi dan pola yang berwarna-warni. Kerang ini memiliki variasi jenis mencapai 200 spesies, dengan persebarannya yang luas di perairan kawasan Indo-Pasifik. Sebagian besar habitat kerang jenis ini adalah perairan dangkal yang mendapat cukup sinar matahari sampai kedalaman 25 m dan beberapa jenis yang hidup di laut dalam sampai
20
Patrick Vinton Kirch, “Subsistence and Ecology”, dalam Jesse D. Jennings, ed., The Prehistory of Polynesia, London: Harvard University press, hlm. 300-302. 21
Lihat Gambar 3.11. f
59
kedalaman 500 m.22 Mengingat belum adanya analisis lebih lanjut, maka fungsi artefak ini belum dapat diketahui. Ada beberapa pendapat mengenai fungsi artefak ini, mungkin artefak ini digunakan sebagai sendok, dan di Pasifik (Hawaii) ada juga yang digunakan sebagai pemberat mata kail.23 f. Beliung kerang Beliung kerang adalah artefak berbentuk beliung yang terbuat dari cangkang kerang. Tetapi tidak seluruh morfologi beliung kerang menyerupai bentuk beliung batu. Hal ini disebabkan oleh faktor pemilihan bahan baku beliung kerang tersebut, sehingga untuk cangkang kerang dari jenis tertentu tidak selalu menghasilkan bentuk beliung kerang yang mirip dengan beliung batu.24 Pada situs Uattamdi sebuah beliung kerang ditemukan dari lapisan dasar layer D, bersama dengan artefak kerang lainnya. Secara kontekstual, lapisan C dan D memang didominasi oleh berbagai jenis artefak yang terbuat dari cangkang kerang.25 Hal tersebut mungkin berhubungan dengan aspek ketersediaan sumber bahan baku. Beliung kerang dari situs tersebut berasal dari cangkang kerang spesies Tridacna gigas, famili Tridacnidae, kelas Pelecypoda.26 Tridacna gigas merupakan spesies yang paling besar dalam famili Tridacnidae. Persebaran 22
Ibid., hlm. 82-89.
23
Lihat: Patrick Vinton Kirch, op.cit., (1997) hlm. . dan Peter Bellwood, Man’s Conquest of the Pacific, (Auckland: Collins, 1975), hlm. 319. 24
Hannibal Hutagalung, “Pemanfaatan Situs Gua Golo, Pulau Gebe (Maluku) Sebagai Hunian Kala Pleistosen Akhir-Holosen”, Skripsi Sarjana, (Yogyakarta: Fak. Sastra UGM, 1999), hlm. 29. Lihat Gambar 3.10. 25 26
Lihat Tabel 3.2. hlm 72.
Peter Bellwood, Goenadi Nitihaminoto, Gunadi, Agus Waluyo, Geoffrey Irwin, loc.cit. Lihat gambar 3.10. b
60
kerang ini meliputi seluruh kawasan perairan Indo-pasifik. Jenis kerang ini merupakan jenis yang hidup di laut dangkal sampai kedalaman 25 m, dan hidup menempel pada koral maupun bebatuan pada dasar laut dangkal. memiliki variasi ukuran lebar antara 30 sampai 137 cm dengan berat mencapai 230 kg.27 Ada beberapa cara proses pembuatan beliung kerang. Berdasarkan analisis Goenadi Nitihaminoto28, proses pembuatan beliung kerang Tridacna dimulai dengan pemilihan bahan baku, yaitu rusuk yang dianggap bagus dari cangkang kerang yang besar atau sedang. Rusuk yang dipilih untuk bahan baku beliung kerang adalah rusuk bagian tengah, dan jarang diambil dari rusuk bagian pinggir. Pemotongan dilakukan secara vertikal pada bagian kiri dan kanan rusuk sampai pada bagian pangkal (umbo). Pemotongan kedua dilakukan secara horizontal pada rusuk yang telah terpisah, sesuai dengan ukuran yang dikehendaki. Untuk cangkang kerang yang berukuran sedang, pemotongan dilakukan hanya satu kali pada bagian dekat umbo. Bagian bibir dibiarkan alami sehingga tetap tajam dan berfungsi sebagai tajaman. Untuk cangkang kerang yang terlalu besar, pemotongan horizontal dilakukan dua kali pada dekat bagian umbo dan bibir rusuk, sesuai dengan keserasian dan dilakukan penajaman.
27
Hannibal Hutagalung, op.cit., hlm. 29. dan Kenneth R. Wye, op.cit., hlm. 263-264. 28
Goenadi Nitihaminoto, Beliung Kerang situs Golo, Pulau Gebe: Sebarannya di Maluku Utara dan daerah Pasifik (tidak dipublikasikan, 1996), hlm. 4-5.
61
Tahap penyempurnaan dilakukan dengan pengupaman pada bagian-bagian pemotongan untuk menambah kehalusan dan keserasian, agar dapat dipakai dengan nyaman. Seperti beliung batu pada umumnya, beliung kerang juga diberi tangkai dari bahan non-litik untuk efektivitas penggunaan. Melihat morfologinya yang mirip dengan beliung batu, kemungkinan besar alat ini juga memiliki fungsi yang tidak jauh berbeda dengan beliung batu.
3. Aksesoris Berdasarkan pada bahan baku pembuatnya, aksesoris yang ditemukan di situs Uattamdi terdiri aksesoris kerang dan kaca. Aksesoris kerang terdiri dari gelang dan manik-manik kerang, sedangkan aksesoris kaca hanya manik-manik kaca monokrom. Gelang kerang yang ditemukan berjumlah 6 buah29, manikmanik kerang berjumlah 17 buah30 dan manik-manik kaca berjumlah 118 buah. Berdasarkan distribusi sebarannya secara vertikal, pada umumnya aksesoris kerang berasal dari lapisan C dan D, sedangkan aksesoris kaca monokrom berasal dari layer A dan B, dengan konteks kubur tempayan.31 Pada dasarnya fungsi aksesoris lebih bersifat estetis, yaitu sebagai perhiasan. Selain itu, pada beberapa situs dan etnis tradisional yang masih hidup di Indonesia, manik-manik juga ada yang berfungsi sebagai penanda status sosial,
29
Lihat gambar 3.10 e dan j.
30
Lihat gambar 3.10. i.
31
Lihat Tabel no. 3.2. dan Gambar 3.10.
62
alat tukar dan alat pemujaan.32 Pada situs Uattamdi, aksesoris yang berfungsi estetis ditunjukkan oleh gelang dan manik-manik kerang pada lapisan C dan D, karena temuan tersebut berasosiasi dengan peralatan sehari-hari. Sedangkan aksesoris yang ditemukan dengan konteks kubur tempayan, seperti pada lapisan A dan B kemungkinan memiliki fungsi ideoteknis, yaitu sebagai bekal kubur.
4. Artefak logam Artefak logam yang ditemukan di situs Uattamdi terdiri dari: beberapa fragmen besi, beberapa fragmen tembaga/perunggu dan dua buah mata uang Cina yang tidak berangka tahun. Seluruh artefak tersebut berasal dari lapisan A dan B, dengan konteks kubur tempayan.33 Sifat temuan yang sangat fragmentaris, menyebabkan tidak dapat diketahui bentuk asli dan fungsi artefak tersebut yang sesungguhnya. Akan tetapi berdasarkan konteks temuannya dengan kubur tempayan, diperkirakan artefak tersebut berfungsi sebagai bekal kubur.
5. Gerabah Gerabah adalah salah satu jenis artefak yang dibentuk dengan metode penambahan, berbeda dengan alat batu dan tulang atau cangkang kerang yang dibuat dengan metode pengurangan. Gerabah terbuat dari bahan baku tanah liat,
32
Rusmajani Setyorini, ”Manik-manik di Beberapa situs Gunung Kidul (Studi Tentang Teknologi dan Tipologi), Skripsi (Yogyakarta: Fak. Sastra UGM, 1990), hlm. 95. 33
Lihat Tabel no. 3.2.
63
selain itu juga digunakan temper (bahan tambahan) yang berasal dari bahan seperti misalnya: pasir, sekam, rumput yang sudah kering, grog, dan bubukan kerang. Penggunaan temper ditujukan untuk mendapatkan kualitas hasil yang lebih baik.34 Teknik pembuatan gerabah dimulai dengan pengolahan bahan baku, pembentukan dan pembakaran. Ada beberapa teknologi pembuatan gerabah, antara lain adalah: teknik tangan, roda putar dan tatap pelandas.35 Berdasarkan pengamatan, rupanya gerabah Uattamdi dibuat dengan teknik tangan, hal tersebut diketahui dengan banyaknya bekas tekanan jari pada bagian dalam fragmen gerabah tersebut. Berdasarkan atribut teknik hiasnya, gerabah yang ditemukan pada ekskavasi di Situs Uattamdi terdiri dari dua macam yaitu: gerabah slip merah dan gerabah hias gores. Pewarnaan merah dihasilkan dengan cara dipoleskan seperti cat. Hal tersebut nampak dari beberapa fragmen gerabah yang slip merahnya tidak merata. Motif hias gores dihasilkan dengan menggunakan alat tertentu, motif yang digambarkan adalah motif hias geometris. Motif hias tekan dihasilkan dengan menekankan suatu alat, selain itu ada juga yang ditekan dengan jari pada bagian bibir. Perbedaan teknik tersebut terlihat dari motif hias yang dihasilkan.
34
Vincas P. Steponaitis, Ceramic, Chronology and Community Patterns, An Archaeologycal Study at Moundville (New York: Hancourt Brace Jovanovic, 1983), hlm. 20. 35
Yogi Piskonata, “Strategi Subsistensi Pendukung Budaya Situs Gua Macan, Tinjauan Berdasarkan Data Ekskavasi”, Skripsi (Yogyakarta: Fak. Sastra UGM, 1996), hlm. 41.
64
Berdasarkan distribusi sebarannya secara vertikal, pada umumnya gerabah slip merah ditemukan pada lapisan C dan D,36 sedangkan gerabah hias gores berasal dari masa yang lebih kemudian, yaitu dari lapisan A dan B.37 Pada lapisan budaya ini, dua buah tempayan kubur telah dapat direkonstruksi, dan kemungkinan masih terdapat beberapa buah lagi. Sebuah fragmen gerabah berkarinasi yang kaya akan motif hias gores dan aplikasi pada bagian leher dan motif hias tekan pada bibir bagian atas ditemukan pada layer akhir.38 Sampai saat ini, gerabah dari jenis tersebut tidak ditemukan pada situs lainnya di kawasan Maluku Utara.
Gambar 3.7. Gerabah slip merah dari lapisan C dan D Sumber: Peter Bellwood, 2000 36
Lihat gambar 3.7. dan 3.8.
37
Lihat gambar 3.9. dan 3.10.
38
Peter Bellwood, Goenadi Nitihaminoto, Gunadi, Agus Waluyo, Geoffrey Irwin, op.cit., hlm. 212-213.
65
Gambar 3.8. Gerabah slip merah dari lapisan C dan D
Sumber: Peter Bellwood, 2000
66
Gambar 3.9. gerabah hias gores dari lapisan A dan B Sumber: Peter Bellwood, tidak dipublikasikan Keterangan: Gambar 3.9. a. motif hias teknik aplikasi dan tekan pada bagian atas tepian b. motif hias teknik tekan jari pada bagian luar tepian c. motif hias teknik gores dengan motif geometris d.motif hias teknik aplikasi e. motif hias teknik gores pada bagian atas bibir
67
Gambar 3.10. Gambar tempayan kubur dari lapisan A dan B Sumber: Peter Bellwood, (tidak dipublikasikan) Gambar 3.10. a. motif hias teknik gores b. motif hias teknik aplikasi c. motif hias teknik aplikasi dan tekan jari
Berdasarkan analisis komposisi yang dilakukan Mahirta (1996), pada umumnya gerabah di Maluku Utara dari lapisan bawah menggunakan temper
68
pasir koral, sedangkan gerabah dari lapisan atas menggunakan temper pasir yang mengandung kuarsa (non koral).39 Pada umumnya penggunaan temper koral bertujuan untuk meningkatkan suhu pembakaran dan mengurangi pecah dan perubahan bentuk yang disebabkan perubahan komposisi bahan. Selain itu, pembakaran di atas 500°C mengakibatkan perubahan mineral aragonit dan kalsit yang terkandung dalam koral menjadi mineral kristalin, sehingga meningkatkan daya kedap air.40 Di samping itu, penggunaan temper pasir pada gerabah bermanfaat untuk meningkatkan kekuatan struktur dan kekompakan, selain itu juga menjadikan permukaan gerabah lebih halus dengan hasil goresan dan teraan yang lebih rapi.41
6. Batu Masak Batu masak adalah batu-batuan alami yang dimanfaatkan oleh manusia untuk mengolah makanan. Batu masak dimanfaatkan untuk menyimpan panas yang akan digunakan untuk memasak atau mengolah makanan. Pada situs Uattamdi, artefak ini ditemukan pada layer C dan D, dan sedikit pada lapisan A dan B. Seperti halnya cangkang kerang dan tulang binatang, artefak ini mengalami puncak frekuensinya pada lapisan C.42
39
Mahirta, op.cit., hlm. 121.
40
Vincas P. Steponaitis, op.cit., hlm. 20.
41
Ibid., hlm. 67.
42
Peter Bellwood, op.cit., hlm. 3.
69
Keberadaan jenis batuan vulkanik di situs ini cukup menarik perhatian, mengingat situs Uattamdi berada di daerah karst. Kemungkinan besar jenis batuan ini berasal dari bagian tengah Pulau Kayoa yang struktur batuannya bersifat vulkanik. Pemilihan bahan batuan vulkanik diasumsikan karena jenis batuan ini merupakan jenis yang cukup baik untuk mempertahankan panas dari perapian yang akan dimanfaatkan untuk memasak. Keterangan: a. beliung batu b. beliung kerang c. pahat batu d. pahat dari pulau Pitcairn e. gelang kerang conus dari Buwawansi f. cakram kerang cowrie g. lancipan tulang h. serut kerang muiara i. manik-manik kerang j. fragmen gelang kerang Trocus k. serut kerang mutiara
Gambar 3.11. Kumpulan artefak dari situs Ceruk Uattamdi, kecuali d dan e Sumber: Peter Bellwood, (2000).
70
3. Data Non-Artefaktual 1. Fragmen Tulang Manusia Tulang manusia di Situs Uattamdi ditemukan pada layer A spit 3 sampai layer B spit 4. Pada layer tersebut tulang manusia ditemukan dalam konteks kubur tempayan dengan artefak lainnya yang diindikasikan sebagai bekal kubur, seperti misalnya: manik-manik kaca monokrom, manik-manik kerang, sebuah cangkang kerang besar, fragmen logam (besi dan tembaga/perunggu) dan mata uang Cina.43 Tulang manusia tersebut ditemukan dalam keadaan sangat fragmentaris, hanya beberapa potongan tulang ditemukan pada lapisan B dan sebuah tempurung kepala yang terkubur terbalik pada sebuah lubang yang dangkal. Sifat data yang fragmentaris tersebut membuat analisis yang dilakukan sampai saat ini belum dapat mengungkapkan informasi yang maksimal mengenai manusia pendukung budaya situs tersebut.44
2. Fragmen Tulang binatang dan Cangkang Kerang Berdasarkan analisis yang dilakukan oleh T.F. Flannery, Situs Uattamdi menghasilkan sisa fauna babi, anjing dan kuskus (Phalanger ornatus). Selain berdasarkan ekofak, lancipan tulang yang terbuat dari bahan tulang ikan dan tibia wallabi (Dorcopsis muelleri mysoliae) juga ditemukan pada lapisan C. Hal ini mengindikasikan bahwa kemungkinan besar manusia pendukung budaya tersebut
43
Lihat tabel no. 3.2.
44
Peter Bellwood, op.cit., hlm. 4.
71
juga mengkonsumsi berbagai jenis fauna tersebut. Keseluruhan data tersebut berasal dari lapisan C dan D Situs Uattamdi. Di Situs Uattamdi, sisa cangkang kerang dan tulang binatang yang dikonsumsi tersebar pada lapisan C dan D. Secara kuantitas, frekuensi tertinggi terdapat pada lapisan C dan jarang jumlahnya pada lapisan A dan B.45 Berdasarkan distribusi ekofak secara vertikal, maka dapat diketahui bahwa aktivitas perburuan dan pengumpulan sumberdaya makanan (khususnya sumber daya marin) lebih dominan pada lapisan C dan D, dan mencapai puncaknya pada lapisan C. Hal tersebut menurun intensitasnya dan mungkin punah pada lapisan A dan B, yang disebabkan oleh perubahan budaya manusia pendukung situs tersebut.
4. Distribusi Vertikal Data Arkeologi Situs Uattamdi Berdasarkan distribusinya secara vertikal, tinggalan data arkeologi pada Situs Uattamdi memiliki dua karakteristik yang berbeda, yaitu: a. Lapisan A dan B: Data arkeologi yang dihasilkan, antara lain adalah: manik-manik kaca, fragmen perunggu/tembaga, dua mata uang Cina, fragmen besi, fragmen tempayan kubur, fragmen tulang manusia, gerabah motif hias gores dengan temper kuarsa (non koral).
45
Peter Bellwood, op.cit., hlm. 5.
72
b. Lapisan C dan D: Data arkeologi yang dihasilkan antara lain adalah: Beliung yang diupam, pahat, alat serpih, tatal, lancipan tulang, gelang dan manik-manik kerang, serut kerang mutiara, pisau kerang, cakram kerang kauri, mata kail, batu masak vulkanik, cangkang kerang, fragmen tulang kus-kus, babi, anjing dan gerabah poles merah dengan temper koral Layer dan Spit A1 A2 A3 A4 A5 B1 B2 B3 B4 C1 C2 C3 C4 C5 C6 C7 D1 D2 D3 D4 -
*
a
b
c
d
e
f
g
h
i
Tabel 3.2. Jenis temuan secara umum dari Situs Uattamdi Keterangan: a : beliung yang diupam b : serpih dan tatal c : lancipan tulang d : gelang dan manik-manik kerang e : alat kerang (beliung kerang, serut, pisau, cakram, mata kail)
j
k
l
m
n
73
f g h i j k l m n
: batu masak vulkanik, sangat sedikit pada layer A dan B : fragmen tulang hewan dan cangkang kerang, sedikit pada layer A dan B : gerabah temper koral : gerabah temper non koral : manik-manik kaca : fragmen perunggu/tembaga dan *dua mata uang Cina : fragmen besi : fragmen tempayan kubur : fragmen tulang manusia
C. KRONOLOGI PENGHUNIAN SITUS CERUK UATTAMDI Berdasarkan pada pengamatan distribusi data arkeologi secara vertikal pada Situs Uattamdi, terdapat dua karakter tinggalan data arkeologi yang berkaitan dengan jenis-jenis aktivitas manusia yang berbeda, sehingga mengindikasikan dua masa penghunian yang berbeda. Oleh karena itu, harus diperhatikan pula keterkaitan antara berbagai jenis data arkeologi dengan pertanggalannya. Berdasarkan pada hal tersebut, maka dapat diintepretasikan bahwa pada situs tersebut terdapat dua fase budaya, yaitu: 1. Fase I dengan data arkeologi berupa: Beliung, pahat, serpih dan tatal, alat tulang, berbagai jenis alat kerang, aksesoris kerang, batu masak vulkanik, gerabah slip merah dengan temper koral, cangkang kerang dan tulang binatang (babi, anjing dan kuskus). Pertanggalan 3300 - 2300 BP. 2. Fase II dengan data arkeologi berupa: Manik-manik kaca, gerabah hias gores dengan temper kuarsa (non koral), fragmen tembaga/perunggu, mata uang Cina, fragmen besi, fragmen tempayan kubur, dan fragmen tulang manusia. Pertanggalan 2000 BP - 1000 BP.
74
Layer dan spit
A 0-5 A 5-10 A 10-15 A 15-20 A 20-25 B 0-5 B 5-10 B 10-15 B 15-20 C 0-5 C 5-10 C 10-15 C 15-20 C 20-25 C 25-30 C 30-35 D 0-5 D 5-10 D 10-15 D 15-20 E pre-hunian
Beliung persegi dan Tatal
Serpih
Lancipan tulang
Gelang kerang
Alat kerang
1
1 beliung, 1 tatal 1 tatal
1 tatal 2 tatal 1 beliung 1 beliung, 1 tatal 1 beliung, 1 tatal 1 tatal
1 2 2 6 3 4 2 3 1
2 1
1 1 2 1
Serut, pisau Pisau Kail, 2 cowry Pisau, cowry Serut
2 2 5 3
Manik-manik gelas
2 1 2 9 7 8 17 17 21 15 13 3 3
Tembaga / Perunggu
Mata uang Cina Mata uang Cina
Besi
Fraghmen tempayan kubur
1
3 8 5 5 9 13 8 3
1 1
1 1
1
Tulang manusia
* * * * * * *
Pertanggalan C14 BP
928-695 1175-988 1879-1715 550-0 (?)
2860-2378
3 cowry
2973-2798 2
2 1
Manik-manik kerang
1
2 cowry Beliung kerang
Tabel 3.3: Distribusi Deposit Budaya Secara Vertikal Di Situs Ceruk Uattamdi, Pulau Kayoa Sumber: Peter Bellwood, Goenadi Nitihaminoto, Gunadi, Agus Waluyo, Geoffrey Irwin, (2000), dengan perubahan bahasa
725-512 (?) 3342-2971 3364-3179
75
Fase
Pertanggalan (BP)
a b
c
d
e
Jenis Temuan f g h i j
k
l
m n
1000 I 2000 II
3000
-
4000 Tabel 3.4. Kronologi budaya Situs Ceruk Uattamdi
Keterangan: a : beliung yang diupam b : serpih dan tatal c : lancipan tulang d : gelang dan manik-manik kerang e : alat kerang f : batu masak vulkanik g : tulang binatang dan cangkang kerang h : gerabah slip merah, temper koral i : gerabah gores, temper non koral j : manik-manik kaca k : fragmen perunggu/tembaga dan dua koin Cina l : fragmen besi m : fragmen tempayan kubur n : fragmen tulang manusia
Berdasarkan pada konteks dan data arkeologi yang dihasilkan pada lapisan C dan D, maka dapat diperkirakan bahwa pada masa penghunian fase I, situs Uattamdi dipergunakan sebagai tempat hunian. Istilah hunian ini mengacu pada arti tempat tinggal, dengan berbagai aktivitasnya yang bersifat profan, seperti berlindung, mengolah makanan dan bukan aktivitas yang berhubungan dengan kegiatan sakral. Hal tersebut terlihat dari jenis-jenis artefaknya yang lebih mencerminkan sebagai peralatan hidup sehari-hari. Di lain pihak pada masa penghunian fase II, diperkirakan Situs Uattamdi mengalami peralihan fungsi sebagai tempat penguburan dan tidak dipergunakan sebagai tempat hunian. Intepretasi ini didasarkan pada konteks data arkeologi yang dihasilkan dari fase
76
tersebut (lapisan A dan B), yang mengindikasikan sebagai situs penguburan tempayan dengan berbagai jenis bekal kuburnya. Berdasarkan data lapisan stratigrafi, dapat diketahui bahwa Fase I (lapisan C dan D) berada di bawah lapisan B yang merupakan pasir pantai koral. Kelihatannya pasir pantai tersebut tertimbun di dalam ceruk karena ombak pasang atau faktor lainnya. Berdasarkan sebarannya secara vertikal, pada lapisan B fragmen gerabah yang ditemukan sangat banyak pada bagian atas dan dasar lapisan tersebut (lapisan B spit 1 dan 4). Gerabah pada lapisan B4 diindikasikan bagian dari lapisan C, sedangkan gerabah pada lapisan B1 diperkirakan memiliki hubungan dengan aktivitas penguburan tempayan dari lapisan A.46 Berdasarkan hal tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa antara Fase I dan II terdapat sebuah lapisan perantara ketika situs tersebut ditinggalkan, yaitu lapisan B dengan komposisi pasir koral dan pumis.47 Perbedaan fungsi situs dan data arkeologi yang dihasilkan pada kedua fase tersebut memunculkan hipotesis bahwa, situs tersebut dimanfaatkan oleh dua komunitas budaya yang berbeda pada tiap masa penghuniannya. Berdasarkan distribusi data arkeologi secara vertikal, dapat diketahui bahwa penghunian Fase I situs Uattamdi dilakukan oleh manusia pendukungnya secara berkesinambungan, walaupun pada masa penghuniannya pernah terjadi peristiwa runtuhnya atap ceruk tersebut. Pada Fase II, situs tersebut pernah terjadi
46
Peter Bellwood, The Earthenware pottery from the North Moluccan Excavation, (tidak dipublikasikan, b), hlm. 7. 47
Lihat pembahasan stratigrafi lapisan B.
77
aktivitas penguburan tempayan, walaupun demikian tidak pernah terjadi penggalian lubang yang besar dan dalam, sehingga tidak terjadi kerusakan yang berarti pada situs tersebut.48 Kemungkinan besar tempayan kubur diletakkan dalam lubang dangkal yang digali pada bagian atas lapisan B. Kemudian setelah tempayan kubur tersebut rusak atau pecah, fragmen-fragmennya ditemukan dari mulai bagian atas lapisan B dan di seluruh lapisan A. Munculnya beberapa manikmanik monokrom pada lapisan C kemungkinan besar disebabkan oleh proses intrusi ke bawah dari lapisan di atasnya. Selain itu, sebuah lancipan tulang yang ikut ditemukan pada lapisan B kemungkinan disebabkan oleh keteradukan pada saat aktivitas penguburan tempayan dari Fase II. Data arkeologi yang paling signifikan untuk mengetahui manusia pendukung suatu budaya adalah tulang manusia. Pada Situs ceruk Uattamdi data tersebut hanya ditemukan pada Fase II, sedangkan pada Fase I tidak ditemukan tulang manusia. Fragmen tulang yang ditemukan tersebut adalah beberapa potongan tulang ditemukan pada lapisan B dan sebuah tempurung kepala yang terkubur terbalik pada sebuah lubang yang dangkal. Walaupun tulang manusia ditemukan pada Fase II, karena sifat datanya yang sangat fragmentaris, sampai saat ini belum dapat diketahui jenis ras manusia pendukung budaya pada Fase II. Pada Fase I, karakteristik tinggalan Situs Uattamdi yang bercampur antara unsur budaya Austronesia dan Non-Austronesia pada satu lapisan budaya, menimbulkan permasalahan yang kompleks bagi rekonstruksi kronologi situs tersebut. Pada Fase I data arkeologi yang mengindikasikan unsur budaya Non-Austronesia 48
Peter Bellwood, op.cit., (tidak dipublikasikan, a), hlm. 4.
78
adalah artefak tulang, sisa cangkang kerang, translokasi hewan, cara pengolahan makanan, dan pola pemukiman. Di lain pihak, data arkeologi yang mengindikasikan unsur budaya Austronesia adalah beliung, gerabah dan domestikasi anjing dan babi.
D. KAJIAN DATA ARKEOLOGI SITUS CERUK UATTAMDI, DALAM PERSPEKTIF REGIONAL Dalam kajian migrasi-kolonisasi manusia pada masa prasejarah, keberadaan suatu situs tidak dapat dipandang sebagai sebuah situs yang berdiri sendiri. Oleh karena itu, harus diperhatikan situs-situs lainnya yang memiliki keterkaitan dalam skala ruang dan waktu. Begitu juga halnya dalam kasus situs ceruk peneduh Uattamdi. Untuk menentukan hipotesis sejarah penghunian situs Uattamdi yang objektif, maka akan dilakukan perbandingan budaya dengan situssitus lainnya dari kawasan Maluku Utara dan sekitarnya. Beberapa situs di kawasan tersebut yang juga akan dibicarakan di sini antara lain adalah: Gua Golo (32000 BP), Um Kapat Papo (7100 BP), Wetef, dan Buwawansi (9100 BP) di Pulau Gebe, Gua Siti Nafisah (5500 BP) di Pulau Halmahera, Gua di Tanjung Pinang (9400 BP), Daeo (15000 BP), Sambiki Tua, dan Sabatai Tua di Pulau Morotai dan beberapa situs lainnya dari kepulauan Talaud, Filipina, Kalimantan Utara dan Melanesia.49
49
tersebut.
Dalam kurung adalah pertanggalan tertua yang dihasilkan dari situs-situs
79
Peta 3.2. Persebaran situssitus di Asia Tenggara Kepulauan bagian timur Sumber: Microsoft Encarta Reference Library (2003), dengan modifikasi.
1. Aspek Budaya Fase I Pada fase I budaya Uattamdi (3300-2300 BP), data arkeologi berupa beliung, gerabah, tulang babi dan anjing, mengindikasikan bahwa pada fase budaya tersebut telah hadir komunitas Austronesia di kawasan Maluku Utara, yang membawa berbagai unsur budaya baru. Situs-situs lainnya di kawasan Maluku Utara yang telah dihuni sejak akhir Plestosen dan awal Holosen, pada masa yang sejaman dengan situs Uattamdi tidak menghasilkan himpunan data tersebut, kecuali gerabah yang muncul belakangan. a. Gerabah Sampai saat ini, pertanggalan yang dihasilkannya gerabah situs Uattamdi merupakan yang tertua di kawasan Maluku Utara. Gerabah juga ditemukan di Situs Golo (2000 BP), Buwawansi (1400 BP), Um Kapat Papo (1500 BP), Daeo 2
80
(2000 BP), di Situs Tanjung Pinang (2000 BP), Sambiki Tua (700 BP) dan Situs Siti Nafisah (2000 BP).50 Secara tipologi, gerabah Fase I Uattamdi memiliki kesamaan bentuk dengan gerabah dari Bukit tengkorak (3000 BP)51, Madai, dan Baturong (4000 BP)52 di Sabah dan Leang tuwo Mane’e (4500 BP)53 di Talaud. Dibandingkan dengan gerabah dari Leang Tuwo Mane’e, gerabah Uattamdi berasal dari masa yang sedikit lebih muda. Kesamaan antara gerabah Uattamdi dengan Leang Tuwo Mane’e ditunjukkan dengan bentuk tepian yang sederhana dan tidak tebal dan bentuk badan yang tinggi membundar. Bentuk tepian yang sederhana juga merupakan unsur dominan pada gerabah Madai, tetapi gerabah dari situs ini memiliki motif hias permukaan yang berjarak lebih luas dari pada gerabah Uattamdi dan Leang Tuwo Mane’e. Gerabah Bukit Tengkorak fase awal memiliki bentuk tepian yang lebih tebal dan garis tengah yang lebih lebar dari pada gerabah dari situs-situs lainnya di atas. Walaupun demikian, gerabah Bukit Tengkorak sebagian memiliki bentuk yang sederhana dengan bentuk kaki melingkar dan didominasi dengan penggunaan slip merah, seperti gerabah 50
Peter Bellwood, Goenadi Nitihaminoto, Gunadi, Agus Waluyo, Geoffrey Irwin, op.cit., hlm. 233-234. 51
Peter Bellwood dan Peter Koon, ””Lapita Colonists leave boats unburned!”, The question of Lapita Links with Island Southeast Asia”, Antiquity 63, (1989), hlm. 617. 52
Peter Bellwood, “Archaeological Research in the Madai-Baturong Region, Sabah”, Bulletin Indo Pacific prehistory Association 5, (Canberra: ANU, 1984), hlm. 49. 53
Peter Bellwood, “Holocene Flake and Blade Industries of Wallacea and Their Prodecessors”, dalam V.N. Misra dan Peter Bellwood ed., Recent Adveances in Indo-Pacific Prehistory, (New Delhi: Oxford & IBH Publishing Co., 1978), hlm. 200. Pertanggalan tersebut meragukan, karena berasal dari satu radiokarbon saja dan tidak terlalu tepat, pertanggalan ini mungkin sedikit lebih muda, hanya sekitar 3600 BP. Lihat: Peter Bellwood, op.cit., (2000), hlm. 328.
81
Uattamdi. Pada seluruh tinggalan tersebut terdapat suatu kesamaan, yaitu penggunaan slip merah pada penyelesaian akhir pengerjaan permukaan gerabah tersebut.54 Disamping berbagai kesamaan yang terdapat pada gerabah dari berbagai situs tersebut, juga ada beberapa ciri perbedaan yang kemungkinan disebabkan oleh faktor inovasi lokal. Berdasarkan pada perbandingan tersebut dapat disimpulkan bahwa seluruh tinggalan gerabah dari situs-situs tersebut memiliki akar budaya yang berdekatan. Persebaran gerabah di situs-situs tersebut mengindikasikan adanya persebaran komunitas Austronesia di sekitar kawasan yang bersangkutan.
Gambar 3.12. Gerabah neolitik Madai Sumber: Peter Bellwood, (1984), dengan modifikasi.
54
Peter Bellwood, op.cit., (tidak dipublikasikan, b), hlm. 6. Lihat gambar 3.12., 3.13., dan 3.14.
82
Gambar 3.13. Gerabah neolitik Leang Tuwo Mane’e
Sumber: Peter Bellwood, (1980).
Gambar 3.14. Gerabah neolitik Bukit Tengkorak Sumber: Peter Bellwood, (tidak diterbitkan). Keterangan: Bandingkan gambar 3.12., 3.13. dan 3.24. dengan gambar 3.7. dan 3.8.
83
Perbandingan komposisi mineral gerabah dari beberapa situs di Maluku Utara membuktikan bahwa tidak ada kesamaan komposisi mineral bahan baku gerabah dari situs-situs di kawasan tersebut. Ada kemungkinan bahwa pada masa tersebut gerabah dibuat lokal di daerah masing-masing. Bertolak dari hasil analisis yang menggunakan Scaning Electron Microscope (Lihat: Mahirta, 1996) dan kondisi geologis, dapat diperkirakan bahwa gerabah situs ceruk Uattamdi dibuat di Pulau Kayoa, karena baik bahan baku maupun bahan temper tersedia melimpah di pulau tersebut.55 Dalam hal ini, Pulau Kayoa memiliki bahan baku tanah liat dan pasir koral yang melimpah. Walaupun belum pernah dilakukan analisis geologi pada temper yang digunakan, tetapi dapat diperkirakan bahwa gerabah dengan temper pasir kuarsa juga dibuat di daerah tersebut. Selain dari Pulau Kayoa sendiri (Gunung Tigalalu), mineral kuarsa mungkin berasal dari pantai yang berseberangan dengan pulau vulkanis Makian yang masih aktif di sebelah utaranya. Lebih jauh, hal tersebut mengindikasikan bahwa pada masa tersebut telah ada komunitas Austronesia yang bermukim di pulau tersebut atau pulau lainnya di Maluku utara. b. Beliung Seperti gerabah, beliung batu yang diupam juga merupakan faktor intrusi yang di bawa oleh arus budaya baru yaitu Austronesia, karena pada masa sebelumnya komunitas Non-Austronesia yang ada di kawasan Maluku Utara tidak mengenal artefak tersebut. Ada pendapat bahwa kehadiran beliung persegi merupakan indikasi adanya subsistensi pertanian. Akan tetapi keberadaan suatu 55
Lihat data kondisi lingkungan Pulau Kayoa pada Bab II.
84
artefak sangat dipengaruhi oleh konteks ruang, waktu serta bentuk budaya manusia pendukungnya, sehingga belum berarti temuan beliung persegi di Situs Uattamdi juga langsung berhubungan dengan subsistensi pertanian. Seperti misalnya di situs Gua Duyong, keberadaan temuan beliung persegi sebagai bekal kubur komunitas Non-Austronesia diindikasikan benda tersebut diperdagangkan sebagai benda bernilai prestis oleh orang Austronesia kepada komunitas pemburupengumpul.56 Ada kemungkinan bahwa kasus semacam itu juga terjadi di situs Uattamdi, melihat konteks temuannya yang berada pada lapisan yang bercampur antara ciri Austronesia dan Non-Austronesia. Pahat dari situs Ceruk Uattamdi secara morfologi sangat mirip dengan yang ditemukan di Pulau Pitcairn.57 Kemungkinan besar alat tersebut berhubungan dengan aktivitas pengerjaan kayu. Berdasarkan artefak tersebut dapat diketahui bahwa situs Uattamdi tidak hanya memiliki hubungan yang erat dengan situs-situs neolitik di Asia Tenggara Kepulauan, tetapi juga berkaitan dengan penyebaran manusia sampai ke kawasan Pasifik. Hal tersebut ikut memperkuat teori bahwa, keberadaan manusia di Kepulauan Pasifik berasal dari Asia Tenggara Kepulauan. c. Artefak Tulang Keberadaan artefak tulang di situs Uattamdi pada fase I tidaklah mengherankan, mengingat beberapa situs lainnya di kawasan Maluku Utara telah mengembangkan artefak dari bahan-bahan serupa sejak masa yang lebih lampau. 56
Peter Bellwood, op.cit., (2000), hlm. 326.
57
Periksa: Peter Bellwood, ibid., pada keterangan lampiran foto 34.
85
Di kawasan Maluku Utara, lancipan tulang juga terdapat di situs Daeo 2 (6500 BP), di situs Siti Nafisah (5500 BP) dan di Gua Golo (8000 BP) sejak masa praneolitik.
Gambar 3.15. Lancipan tulang dari situs Daeo 2
Gambar 3.16. Lancipan tulang dari Situs Siti Nafisah
Sumber: Juliette Pasveer dan Peter Bellwood, (tidak dipublikasikan)
Berdasarkan bahan baku dan teknologi pembuatannya terdapat kesamaan diantara tinggalan dari beberapa situs tersebut. Pemanfaatan tulang mamalia sebagai lancipan juga terdapat di Daeo 2, Golo dan dominan digunakan di Situs Siti Nafisah. Penggunaan bahan baku tulang ikan juga terdapat pada Situs Siti Nafisah, sedangkan tulang wallabi menjadi bahan baku pilihan utama di situs Gua Golo, Pulau Gebe. Teknik pengerjaan artefak dari berbagai situs tersebut juga memiliki kesamaan, yaitu diawali dengan pemotongan, penyerutan, dan pengasahan. Selain itu, sebelum dilakukan pengerjaan, juga dilakukan pemanasan dengan api.58 Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa budaya Uattamdi 58
Juliette Pasveer dan Peter Bellwood, op.cit.,
86
Fase I, memiliki kesinambungan budaya dengan tradisi pra-neolitik dari kawasan Maluku Utara pada umumnya.
a
b Gambar 3.17. Lancipan tulang dari situs Golo
Sumber: Juliette Pasveer dan Peter Bellwood, (tidak dipublikasikan) Keterangan: Bahan baku lancipan dari Daeo 2 adalah tulang mamalia, sedangkan lancipan dari Siti Nafisah adalah tulang ikan. Bahan baku lancipan tulang dari Golo adalah: a. Lancipan tulang kedua dari kiri berasal dari bahan tulang tibia wallabi b. Lancipan tulang kedua dari kiri berasal dari bahan tulang fibula wallabi Lancipan lainnya tidak dapat diketahui asal bahannya. Bandingkan dengan gambar 3.6.
d. Alat Kerang Di Maluku Utara, selain di situs Uattamdi pada masa sebelumnya di situs Golo dan Buwawansi sudah dikenal artefak beliung kerang. Keletakan Situs-Situs tersebut di pinggir pantai berpengaruh bagi penyediaan sumber bahan baku artefak cangkang kerang. Bahkan di situs tersebut bahan bakunya tidak hanya berupa kerang dari spesies Tridacna gigas, tetapi lebih bervariasi, yaitu spesies Cassis cornuta dan Hippopus hippopus. Perbedaan morfologi cangkang kerang
87
yang disebabkan oleh perbedaan spesies, tentunya juga menyebabkan perbedaan teknologi pembuatan. Di situs Golo, beliung kerang Tridacna gigas dan Hippopus hippopus digunakan pada 14000 BP sampai 9000 BP, sedangkan beliung kerang Cassis cornuta digunakan pada 4500 BP sampai 2000 BP.59
Gambar 3.18. Beliung kerang Hippopus (atas) dan Tridacna (bawah) dari Pulau Gebe Sumber: Peter Bellwood, (2000). Keterangan: Kiri : tampak ventral Kanan : tampak dorsal
Di situs lainnya, yaitu di Gua Duyong (Tabon) empat buah beliung kerang Tridacna ditemukan bersama sebuah beliung persegi, beberapa aksesoris dari bagian atas cangkang kerang Conus yang dilubangi sebagai bekal kubur. Unsur budaya ini berada pada satu strata dengan layer budaya yang kaya akan alat serpih-bilah, sedikit temuan neolitik dan tanpa gerabah, dengan pertanggalan 2.680 BC.60 Di kawasan lainnya, di kepulauan Melanesia Barat, di situs ceruk Pamwak (Manus Island) beliung Tridacna ditemukan dengan konteks batu masak vulkanik dengan pertanggalan 10.000 BP.61 Berdasarkan pada data tersebut dapat
59
Periksa: Hannibal Hutagalung, op.cit., hlm. 52.
60
Robert B. Fox, The Tabon Caves, Archaeological Explorations and Excavations on Palawan Island, Philippines (Manila: National Museum, 1970), hlm. 60-62. 61
Matthew Spriggs, The Island Melanesians, (Oxford: Blackwells, 1997), hlm. 59-60.
88
disimpulkan bahwa komunitas Non-Austronesia di kawasan Melanesia Barat dan Maluku Utara telah mengenal teknologi pembuatan beliung kerang sejak masa pra-neolitik, sebelum kedatangan Austronesia. Selain itu dapat diintepretasikan bahwa beliung kerang dari situs Uattamdi mewakili unsur budaya NonAustronesia.
Gambar 3.19. Beliung kerang Tridacna dari Gua Duyong Sumber: Rintaro Ono, (tidak dipublikasikan)
Selain di kawasan tersebut, beliung kerang juga ditemukan di Kepulauan Jepang dan Mikronesia. Menurut Shijun Asato62 berdasarkan tipologinya beliung kerang dari situs-situs di Kepulauan Okinawa (2500 BP), memiliki kesamaan bentuk dengan beliung kerang dari Filipina dan sedikit kemiripan dengan Micronesia yang bentuknya lebih kecil. Selain itu, beliung kerang dari ketiga kawasan tersebut memiliki memiliki kesamaan bahan baku, yaitu kerang Tridacna. Berdasarkan perbandingan morfologi, bahan baku dan pertanggalan tersebut dapat diperkirakan bahwa teknologi beliung kerang menyebar dari Maluku Utara ke Jepang lewat Filipina. 62
Shijun Asato, “The Distributions of Tridacna Shell Adze in the Southern Ryukyu Islands”, dalam Peter Bellwood, ed., Bulletin of Indo-Pacific Prehistory, vol.1 (1990), hlm. 283 dan 290.
89
Gambar 3.20. Beliung kerang Hippopus dari Mikronesia
Gambar 3.21. Beliung kerang Cassis dari Mikronesia
Sumber: Rintaro Ono, (tidak diterbitkan). Keterangan: Gambar 3.20. Beliung kerang dari Situs Golo dan Buwawansi (hanya deret bawah tengah), Pulau Gebe pertanggalan 12.000-9000 BP. Bandingkan dengan gambar 3.18. beliung kerang dari situs Tonaacaw, Pulau Truk (kiri) dan situs Lamotrek, Pulau Carolines, Mikronesia berasal dari lapisan atas temuan permukaan. Gambar 3.21. beliung kerang dari situs Mortlocks, Pulau Truk, Mikronesia dengan pertanggalan 1500 AD. Bandingkan dengan jenis beliung kerang serupa dari situs Golo pada Hannibal Hutagalung (1999).
Keberadaan artefak cakram, serut, pisau dan mata kail dari cangkang kerang di situs ceruk Uattamdi merupakan perkembangan baru bagi prasejarah Maluku Utara. Situs-situs lainnya di kawasan tersebut, pada masa pra-neolitik tidak menghasilkan kumpulan jenis artefak ini. Walaupun demikian, eksploitasi sumberdaya marin telah dimulai sejak masa pra-neolitik. Perkembangan tersebut mengindikasikan semakin intensifnya eksploitasi marin oleh manusia pendukung budaya situs Uattamdi Fase I.
90
e. Aksesoris Kerang Di situs Melolo (Sumba Timur), aksesoris kerang ditemukan bersama artefak batu, logam, kaca, dan gerabah. Selain itu, di situs Camplong aksesoris kerang berasosiasi dengan serut, alat batu, tulang dan gerabah. Di situs Bui Ceri Uato dan Uai Bobo (Timor), aksesoris kerang berasosiasi dengan beliung, mata kail dari kerang, tulang babi, dan gerabah dengan pertanggalan antara 2500 hingga 2000 SM.63 Menurut Kirch64, setelah kedatangan Austronesia, beberapa benda seperti: berbagai macam aksesoris kerang, obsidian, rijang, gerabah beserta bahan dan tempernya dan batu oven menjadi benda bernilai prestise yang menjadi komoditi pertukaran antar kawasan, seperti yang terjadi pada kawasan Melanesia pada masa Lapita. f. Domestikasi dan Translokasi Hewan Berdasarkan analisis yang dilakukan oleh Flannery, spesies babi dan anjing yang ditemukan di situs Uattamdi merupakan spesies yang diperkenalkan oleh manusia, karena kedua hewan tersebut bukan merupakan fauna asli pulau Kayoa. Memang sampai saat ini belum dapat diketahui secara detail spesifikasi spesies kedua hewan tersebut, tetapi jelas berasal dari spesies yang telah
63
Pertanggalan yang dihasilkan dari situs ini agak kontroversial. Sumber: Bagyo Prasetyo, “Distribusi Artefak Kerang Masa Prasejarah di Indonesia, Dalam Perbandingan”, Pertemuan Ilmiah Arkeologi, Buku V, (Jakarta: Puslitarkenas, 1989), hlm. 19 dan 22. dan Peter Bellwood, ibid., hlm. 335-337. 64
Periksa: Patrick Vinton Kirch, The Lapita Peoples, Ancestors of the Oceanic World, (Cambridge: Blackwell Publisers, 1997), hlm. 227-255.
91
didomestikasi. Menurut Groves65, spesies babi yang endemik kepulauan Indonesia adalah Sus celebensis dari Sulawesi, jenis ini juga terdapat secara liar di Timor, Flores dan Halmahera. Sus scrofa cf. vittatus yang terdapat di Sumatra, Jawa, Kepulauan Sunda kecil sampai Sumba, berasal dari spesies yang hidup di kawasan Eurasia secara liar, sedangkan babi yang ada di Nugini merupakan hibridisasi antara spesies Sus scrofa Vittatus dengan Sus celebensis. Kehadiran babi dan anjing di situs Uattamdi, dijadikan ciri penanda bagi kedatangan Austronesia di kepulauan Maluku Utara. Disamping babi, dan anjing, hewan yang juga dijadikan indikasi kedatangan Austronesia di Pasifik adalah ayam, dan tikus (Rattus exulans). Keberadaan kuskus (Phalanger ornatus) dan wallabi (Dorcopsis muelleri mysoliae) di situs ceruk Uattamdi (3300 BP), Pulau Kayoa mengindikasikan adanya translokasi selektif oleh manusia yang dilakukan dari Pulau Halmahera, daerah asal fauna tersebut. Di situs lainnya, Phalanger juga ditemukan di Golo (setelah 10.000 BP), Um Kapat Papo (6500 BP), Siti Nafisah (5000 BP) dan Daeo (13.000BP). Hal tersebut berbeda dengan wallabi yang kemungkinan didatangkan dari Misool lewat Halmahera. Wallabi juga ditemukan di situs Golo (7400 BP), Um Kapat Papo (7000 BP) dan Wetef (8500 BP) di Pulau Gebe, serta di Situs Siti Nafisah (5000 BP) di Pulau Halmahera. Translokasi wallabi terjadi kira-kira pada sekitar 8000 BP, setelah spesies tersebut menjadi hewan endemik di Misool
65
Colin P. Groves, “Domesticated and Commensal Mammals of Austronesia and Their Histories”, dalam Peter Bellwood, James J. Fox, Darrell Tryon (eds), The Austronesians: Historical and Comparative Perspectives, (Canberra: ANU, 1995), hlm. 160.
92
terpisah dari spesies asalnya di Papua Daratan, bersamaan dengan naiknya air laut yang memisahkan pulau-pulau di Daratan Sahul pada 10.000 BP. Selain itu, bandikot juga ditemukan di situs Siti Nafisah (5000 BP), tetapi kemungkinan berasal dari spesies endemik Halmahera.66 Berdasarkan data tersebut dapat ditarik hipotesis bahwa komunitas Non-Austronesia telah mengenal translokasi hewan antar pulau sejak masa yang cukup tua. Disamping itu, hal tersebut juga mengindikasikan bahwa pelayaran antar pulau telah berkembang sebelum kedatangan orang Austronesia di kawasan Maluku Utara. g. Cara Pengolahan Makanan Penggunaan batu masak untuk mengolah makanan juga banyak dikenal di beberapa situs di Maluku Utara sejak masa pra-neolitik. Batu masak vulkanik selain di Situs Uattamdi juga di gunakan di situs Golo (mulai 32.000 BP), di situs Daeo 2 (15000 BP), di situs Um Kapat Papo (5000 BP) dan di Siti Nafisah (5500 BP). Sampai saat ini penggunaan batu masak vulkanik untuk mengolah makanan masih banyak di jumpai pada berbagai etnis Non-Austronesia di Melanesia. Studi etnografi di kawasan Melanesia pada masyarakat Alipe, cara pemanfaatan batu masak adalah sebagai berikut: Pertama kali harus dibuat lubang dengan kedalaman dan lebar sesuai dengan jumlah dan ukuran bahan makanan yang hendak dimasak. Kemudian pada dasar lubang tersebut dinyalakan api. Setelah api menyala cukup besar, batu masak yang telah disiapkan sebelumnya dimasukkan
66
T.F. Flannery, P. Bellwood, J.P. White, T. Ennis, G. Irwin, K. Scubert, and K. Balasubramaniam, “Mammals from Holocene Archaeologycal Deposit on Gebe and Morotai Islans, Northern Moluccas, Indonesia”, Australian Mammalogy, Vol. 20 Num. 3 (1998), hlm. 398
93
ke dalam nyala api dan ditunggu sampai batu-batu tersebut membara. Abu sisa kayu pembakaran kemudian dikeluarkan, sedangkan batu masak tetap di dalam lubang. Selanjutnya, bahan makanan dibungkus dengan daun-daunan lalu diletakkan di atas batu masak yang merah membara. Kemudian, lubang ditutup dengan rumput untuk menjaga kestabilan suhu dan daun-daunan yang beraroma agar makanan yang dihasilkan menimbulkan aroma yang nikmat. Tahap terakhir, makanan dibiarkan selama beberapa jam sampai siap untuk dikonsumsi.67 Hal ini memperkuat pendapat bahwa penggunaan batu masak di situs Uattamdi merupakan unsur budaya Non-Austronesia. Disamping batu vulkanik, jenis batuan lain yang juga dimanfaatkan untuk batu masak adalah batu koral, seperti di Situs Golo, Pulau Gebe.68 Adalah sangat menarik ketika menemukan batu masak vulkanik di situs yang lingkungan sekitarnya yang tidak menghasilkan bahan batu tersebut. Berdasarkan pengamatan geologis diperkirakan bahwa jenis batuan tersebut berasal dari daerah tengah Pulau Kayoa yang berstruktur batuan beku. Berdasarkan hal tersebut, dapat diperkirakan terdapat dua kemungkinan yaitu: komunitas pendukung budaya Fase I Uattamdi memiliki daerah cakupan sampai bagian tengah Pulau Kayoa dan yang
67
Axeel Steenberg, New Guinea Gardens: A Study of Husbandary with Paralles in Prehistoric Europe, (London: Academic press Inc., 1980), hlm. 201202. 68
Peter Bellwood, Goenadi Nitihaminoto, Gunadi, Agus Waluyo, Geoffrey Irwin, op.cit., 2000, hlm. 209-210.
94
kedua terdapat interaksi antara komunitas penghuni situs Uattamdi di bagian barat Fase I dengan bagian tengah Pulau Kayoa.69 Ditemukannya gerabah dan batu masak vulkanik dalam satu lapisan budaya merupakan fenomena yang cukup menarik. Berdasarkan hal tersebut dapat diperkirakan bahwa manusia pendukung budaya Fase I situs Uattamdi tidak menggunakan gerabah untuk memasak makanan, namun hanya dimanfaatkan sebagai wadah saja. Hal tersebut juga didukung dengan tidak adanya jelaga yang menempel pada bagian luar gerabah. Pada masa sebelumnya orang Austronesia telah mengenal tungku dari tanah liat untuk memasak makanan yang dapat dibawa ketika bepergian, seperti yang saat ini masih digunakan oleh etnis pengembara laut Bajo di kawasan Sabah-Sulu. Data arkeologi yang menghasilkan tungku tanah liat adalah, situs Hemudu, di Zhejiang pada 4500 SM dan Bukit Tengkorak, di Sabah pada kira-kira 300 SM sampai awal milenium pertama Masehi.70 Penggunaan gerabah untuk memasak memang sangat cocok dengan pola konsumsi komunitas Austronesia, yaitu bahan makanan yang bersumber dari bijibijian, seperti padi dan jewawut. Berbeda dengan pengolahan bahan makanan dari umbi-umbian dengan menggunakan batu masak, seperti yang masih dilakukan oleh masyarakat Non-Austronesia di kawasan Melanesia. Berdasarkan bukti-bukti tersebut dapat diketahui bahwa penghuni situs Uattamdi Fase I telah terpengaruh unsur budaya Austronesia.
69
Pulau Kayoa memiliki panjang 20 km, lebar 7 km, dan luas 150 km, lihat deskripsi mengenai kondisi lingkungan Pulau Kayoa pada Bab sebelumnya. 70
Peter Bellwood, op.cit., (2000), hlm. 330 dan 332
95
h. Situs Hunian Penggunaan gua dan ceruk peneduh sebagai situs hunian sudah umum digunakan oleh komunitas Non-Austronesia di Kawasan Maluku Utara sebelum kedatangan Austronesia. Sebagian besar situs-situs gua dan ceruk di kawasan tersebut berasal dari masa pre-neolitik. Bahkan Situs Gua Golo di Pulau Gebe telah dihuni setidaknya sejak 32.000 BP. Penggunaan situs ceruk peneduh Uattamdi sebagai situs hunian pada masa Fase I, kemungkinan besar juga dilakukan oleh komunitas Non-Austronesia yang telah mendiami kawasan Maluku Utara sejak masa yang lebih tua. Masa hunian yang relatif muda (3300 – 2300 BP) kemungkinan besar disebabkan oleh faktor pembentukan situs tersebut yang cukup lambat sehingga lambat pula untuk layak dihuni. Dari data geologis diketahui bahwa pengangkatan koral di Pulau Kayoa baru terjadi sejak 2 juta tahun yang lalu. Kemungkinan besar situs tersebut baru layak dihuni ketika ombak sudah tidak masuk ke dalam ceruk pada 3500 BP. Hal tersebut nampak jika kita mengamati lapisan pra-hunian yang murni terbentuk dari pasir koral pantai dan memiliki ketinggian yang sama dengan ketinggian air laut saat ini.71 Jika menengok kembali situs-situs Austronesia awal di Cina daratan dan Taiwan, rupa-rupanya komunitas Austronesia telah mengenal sistem pemukiman menetap, dan berkelompok di tempat terbuka dalam bentuk perkampungan. Situssitus pemukiman rumah panggung antara lain terdapat di Xitou, Kequitou dan 71
Lihat juga: Peter Bellwood, Goenadi Nitihaminoto, Gunadi, Agus Waluyo, Geoffrey Irwin, op.cit., 2000, hlm. 212.
96
Tanshishan di Fujian, situs Hemudu di Zhejiang dan di Guangdong. Situs-situs tersebut berumur 5200 dan 4200 SM. Rumah-rumah tersebut berdenah persegi yang dibangun dengan teknik lubang dan pasak yang amat rapi dan didirikan di atas deretan tumpukan kayu kecil. Kemudian pada masa selanjutnya muncul situs desa seluas 40-80 hektar di Peinan yang bertarik 1500 dan 800 SM. Situs rumah panggung juga terdapat di Feng pi t’ou di Taiwan yang dihuni 2500-500 SM dan situs Dimolit di Luzon utara, yang dihuni 2500-1500 SM.72 Berdasarkan data linguistik, kosa kata Austronesia mengenai rumah dan unsur-unsurnya ditemukan di seluruh kawasan barat dan timur persebaran bahasa ini. Bahkan kata *Rumaq (Ind. Rumah) telah muncul sejak awal perkembangan bahasa Austronesia di Taiwan.73 Pola pemukiman budaya Lapita di Pasifik, pada umumnya terdiri atas beberapa rumah panggung yang berada di pinggir pantai atau pulau kecil diseberangnya, seperti di Kepulauan Mussau dengan luas 7 hektar. Indikasi mengenai situs tersebut biasanya ditandai dengan pecahan gerabah, tungku dari tanah, dan bekas perapian.74 Berdasarkan bukti etnografi, sampai saat ini sistem pemukiman terbuka tradisional dengan rumah panggung masih banyak ditemukan pada masyarakat Austronesia, seperti: rumah gadang (Minang), lamin (Dayak), 72
Ibid., hlm. 309, 315, 319, dan 323
73
Robert Blust, “Austronesian culture history: some linguistic inferences and their relations to the archaeological record”, dalan Peter Van de Velde, eds., Prehistoric Indonesia, (USA: Foris Publications, 1984), hlm. 220. 74
Matthew Spriggs, “The Lapita Culture and Austronesian Prehistory in Oceania”, dalam Peter Bellwood, James J. Fox, Darrell Tryon (eds), The Austronesians: Historical and Comparative Perspectives, (Canberra: ANU, 1995), hlm. 118.
97
tongkonan (Toraja). Dilain pihak, bentuk pemukiman komunitas non-Ausronesia di kawasan Indonesia timur, secara arsitektural memiliki perbedaan yang mencolok dengan rumah panggung Austronesia, seperti: honai (Dani). Di Maluku Utara sendiri, bentuk rumah panggung masih dapat dijumpai pada arsitektur tradisional di Pulau Halmahera dan sekitarnya.75 Aspek mengenai bentuk pemukiman orang Austronesia memang masih menjadi perdebatan karena situs-situs yang mengindikasikan kedatangan komunitas tersebut sangat bervariasi, dari situs pemukiman terbuka sampai situs gua yang terkadang justru digunakan oleh komunitas pemburu-pengumpul NonAustronesia.76 Berdasarkan hal tersebut maka pemukiman perkampungan terbuka tidak mutlak harus menjadi indikasi kedatangan orang Austronesia di kepulauan Indonesia. Di Timor, indikasi mengenai pola ekonomi pertanian biji-bijian (jewawut) dan buah-buahan serta pemeliharaan babi dan translokasi hewan antar pulau justru berasal dari situs-situs gua, seperti: Bui Ceri Uato dan Uai Bobo.77 Berdasarkan pengamatan lingkungan yang dilakukan oleh Santoso Soegondho78, dapat diketahui bahwa karakteristik situs neolitik di Waidoba dan 75
Untuk bentu-bentuk arsitektur rumah tradisional di Halmahera, lihat laporan penelitian Adhi Moersid, “Arsitektur Tradisional di Halmahera dan Sekitarnya”, dalam E.K.M Masinambouw ed., Majalah Ilmu-Ilmu Sastra Indonesia, Jilid VIII No. 3 Nomor Istimewa (III) Halmahera dan Raja Ampat, (Jakarta: Depdikbud, 1980), hlm. 385-308. 76
Matthew Spriggs, “The Dating of the Island Southeast Asian Neolithic: an attempt at chronometric hygiene and linguistic correlation”, Antiquity 63, (1989), hlm. 587. 77 78
Lihat : Peter Bellwood, op.cit., (2000), hlm. 335-337.
Periksa: Santoso soegondho, op.cit. hal yang sama juga terjadi di situs Bukit Fato, Pulau Mare, Lihat: Mahirta, op.cit..
98
Taneti berada di bagian puncak bukit yang cukup luas dan rata pada bagian puncaknya. Hasil pengamatan tersebut mungkin berguna jika ingin mencari situs pemukiman Austronesia di kawasan Maluku Utara. Minimnya data mengenai situs pemukiman yang menunjuk langsung kolonisasi Austronesia di kawasan Maluku Utara kemungkinan disebabkan oleh sedikitnya penelitian mengenai prasejarah Austronesia di kawasan tersebut, sehingga sedikit pula data yang tersedia untuk dikaji. Tidak terdapatnya bukti situs perkampungan terbuka Austronesia di Pulau Kayoa pada khususnya dan di Maluku Utara pada umumnya, kemungkinan hanya merupakan bias ketersediaannya data arkeologi. Badai tropis dan Tsunami yang sering melanda kawasan perairan tropis merupakan fenomena alam yang berpotensi untuk menghancurkan situs-situs pemukiman terbuka Austronesia yang terletak di pesisir pantai.
2. Aspek Budaya Fase II Di kawasan Maluku Utara, sampai saat ini situs ceruk Uattamdi merupakan satu-satunya situs hunian yang berubah menjadi situs penguburan dalam tempayan. Kemungkinan besar kasus yang terjadi pada situs Uattamdi, seperti yang terjadi di situs Agop Atas.79 Kedua situs tersebut nampaknya masih diduduki oleh komunitas pemburu-pengumpul pada masa neolitik, tetapi kemudian digantikan sebagai situs penguburan tempayan pada masa logam. Hal tersebut berbeda dengan situs Tabon dan Manunggul (sebelum 200 SM) yang
79
Lihat: Peter Bellwood, op.cit., (2000), hal. 432-434.
99
sejak masa neolitik sudah dimanfaatkan sebagai situs penguburan tempayan oleh komunitas Mongoloid.80 Seperti telah disinggung di muka, pada Fase II data arkeologi berupa tulang manusia yang tersedia bersifat sangat fragmentaris, oleh sebab itu intepretasi mengenai komunitas manusia yang mendukung fase budaya tersebut mengalami kesulitan, sehingga belum jelas benar siapa manusia pendukung budaya kubur tempayan tersebut, komunitas Non-Austronesia atau Austronesia. a. Tradisi Penguburan Tempayan Selain di Maluku Utara, situs kubur tempayan di Indonesia juga ditemukan di Lesung Batu (Sumatra Barat), Pugung Tampak (Lampung), Tile-tile (Selayar), Anyer dan Buni (Jawa Barat), Plawangan (Jawa Tengah), Bukala Gilimanuk (Bali), Lewoleba, Melolo, Lambanapu, Kolana (Alor), Leang Buidane (Talaud), Paso dan Talikuan di Minahasa.81 Sayangnya, banyak diantara situs yang telah diteliti tersebut tidak memiliki pertanggalan yang baik, sehingga agak sulit untuk mengadakan perbandingan diantaranya. Di sekitar kepulauan Indonesia, persebaran kubur tempayan di Asia Tenggara mencakup suatu kawasan yang cukup luas, yaitu terdapat di Niah (Serawak), Tabon (Palawan), Sa-Huynh (Vietnam), Bahn Na Di (Thailand), dan
80 81
Periksa: Robert B. Fox, op.cit., hlm. 46.
D.D. Bintarti, “Tempayan Kubur di Indonesia”, Pertemuan Ilmiah Arkeologi V, Buku I (Jakarta: Puslitarkenas, 1989), hlm. 32.
100
Taiwan.82 Melihat daerah persebarannya yang cukup luas, maka secara khusus aspek budaya kubur tempayan situs Uattamdi hanya akan dibandingkan dengan beberapa situs terdekat seperti Leang Buidane, Tabon dan Niah. Walaupun demikian tidak menutup kemungkinan untuk membandingkan dengan situs yang letaknya lebih jauh. b. Ciri rasial manusia pendukung budaya kubur tempayan. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, pada umumnya rangka yang dikuburkan dalam kubur tempayan memiliki ciri ras Mongoloid, seperti Leang Buidane (700 AD), Tabon (1500 BC-300 AD) dan Niah (1500-750 BC). Hanya situs Anyer (200-500 AD) yang memiliki ciri ras Australo-Melanesid dan Melolo (100-500 AD) yang memiliki ciri ras campuran antara keduanya.83 Karena belum diadakan penelitian lebih mendalam pada sisa tulang dari Uattamdi, maka dapat diperkirakan bahwa ciri ras sisa tulang manusia dari situs tersebut memiliki beberapa kemungkinan yaitu: Mongoloid, Australo-Melanesid, atau campuran antara keduanya. c. Bekal Kubur Tradisi penguburan dalam tempayan di kawasan Kepulauan Sulawesi, Laut Sulu, Borneo bagian utara, Kepulauan Talaud dan Filipina bagian tengah dan selatan pada umumnya menyertakan benda-benda bekal kubur yang relatif seragam walaupun juga ada perbedaannya. Benda-benda tersebut ditempatkan di 82
Endang Widijastuti, “Penguburan dalam Tempayan di Indonesia, dan Perbedaan dengan Asia Tenggara lainnya ”, Skripsi, (Yogyakarta: Fak. Sastra, Univ. Gadjah Mada, 1998), hlm. 48 83
Periksa: Ibid., hlm. 58 dan 75
101
dalam atau sekitar tempayan, yang antara lain adalah: bejana tembikar yang umumnya berukuran lebih kecil, manik-manik, gelang dan artefak logam.84 Berdasarkan pada kesamaan komposisi bekal kubur tersebut dapat diketahui bahwa manusia pendukung kubur tempayan Situs Uattamdi memiliki hubungan yang lebih dekat dengan situs kubur tempayan dari kawasan Kepulauan Sulawesi, Laut Sulu, Borneo bagian utara, Kepulauan Talaud dan Filipina bagian tengah dan selatan dari pada dengan situs kubur tempayan dari kawasan Indonesia bagian selatan. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa ciri ras manusia pendukung budaya situs-situs kubur tempayan di wilayah yang berkaitan dengan situs Uattamdi adalah ras Mongoloid, maka dapat ditarik hipotesis bahwa ciri ras manusia dari situs Uattamdi juga memiliki ciri ras tersebut. Di samping ditemukan manik-manik kerang, manik manik kaca juga ditemukan dalam jumlah yang cukup banyak. Selain di situs Uattamdi, manikmanik kaca juga ditemukan di Manunggul (200 SM) dan Tabon, sedangkan di Leang Buidane dan Agop tidak ada. Walaupun demikian di ketiga situs tersebut (kecuali Uattamdi), terdapat manik-manik batu agat hitam dengan hiasan etsa berwarna putih dan manik-manik carnelian berwarna merah berfaset dengan bentuk bundar atau memanjang. Manik-manik Carnelian juga ditemukan di Buni, Gunung Kidul dan Gilimanuk. Berdasarkan pada keberadaan kedua artefak tersebut, maka dapat diindikasikan adanya hubungan antara kepulauan Indonesia dengan situs-situs di sepanjang sungai Gangga dan Indus di India. 84
Peter Bellwood, op.cit., (2000), hlm. 426. Untuk perbandingan bendabenda bekal kubur dari situs Niah, Tabon dan Leang Buidane, lihat Endang Widijastuti, ibid., hlm. 64.
102
Gambar 3.22. Manikmanik dari Leang Buidane, Talaud Sumber: Peter Bellwood, (1975), dengan modifikasi.
Selain di Situs Uattamdi, artefak-artefak logam yang tidak jelas bentuknya juga ditemukan di Leang Buidane bersama dengan fragmen gelang dan kapak corong. Di Leang Buidane tiga belah cetakan setangkup dari tanah liat yang dibakar mengindikasikan adanya pencetakan logam di tempat tersebut. Hal yang serupa diperkirakan juga terjadi di Agop Atas pada pertengahan millenium pertama SM, sedangkan di lain pihak, dalam masalah logam Situs Uattamdi mungkin hanya sebatas sebagai konsumen saja. Koin Cina dari Uattamdi yang tidak bertanggal mengindikasikan adanya hubungan secara tidak langsung dengan Asia daratan. Peter Bellwood85 menyatakan bahwa kumpulan artefak Situs Uattamdi dari masa penguburan tempayan (Fase II) memiliki hubungan dengan artefak dari jaman logam awal di Kepulauan Indonesia lainnya, pada masa 2000 - 1000 BP. Ada dua hipotesis yang dapat disarankan berdasarkan pada perbandingan kumpulan artefak tersebut. Persamaan-persamaan yang didapatkan kemungkinan besar disebabkan oleh meluasnya dan meningkatnya arus pelayaran antar pulau di
85
Peter Bellwood, op.cit., (tidak diterbitkan, a), hlm. 8.
103
Kepulauan Indo-Malaysia, yang memungkinkan terjadinya pertukaran informasi dan pengetahuan diantara berbagai etnis di kawasan tersebut. Di lain pihak, kekhususan lokal mungkin menyebabkan agak berbedanya benda-benda bekal kubur tersebut. d. Tempayan Kubur dan Gerabah Walaupun di kawasan Talaud yang berdekatan juga terdapat tradisi penguburan tempayan, tetapi terdapat perbedaan dengan Situs Uattamdi yang memiliki bentuk tempayan kubur lebih ramping dari pada Talaud dan pada bagian bibirnya terdapat motif hias tekan. Di lain pihak, Talaud memiliki kotak dari tembikar yang tidak ditemukan di Uattamdi. Bekal kubur bejana tembikar yang berukuran kecil rupanya juga ditemukan di situs Uattamdi dengan bentuk yang berkarinasi, bagian dalam berslip merah, bagian luar berhias gores dan tekan. Gerabah tersebut berasosiasi dengan sebuah cangkang kerang besar Turbo marmoratus yang kemungkinan digunakan sebagai bekal kubur dengan pertanggalan 2000 BP.86 Gerabah ini memiliki persamaan dengan yang gerabah serupa dari Leang Buidane dan Agop Atas.
86
Ibid., hlm. 8.
104
Gambar 3.23. Gerabah masa logam dari Leang Buidane
Gambar 3.24. Gerabah masa logam dari Agop Atas
Gambar 3.25. Gerabah masa logam dari Madai Sumber: Gambar 3.23. Peter Bellwood, (1980). Gambar 3.24. Peter Bellwood, (2000). Gambar 3.25. Peter Bellwood, (1980). Keterangan: bandingkan ketiga gambar tersebut dengan gambar 3.8.
105
Bagian alas gerabah (pedestal) yang ditemukan di situs Uattamdi, mirip dengan yang ada di Bukit Tengkorak dan gerabah Non-Indian dari Sembiran. Gerabah berkarinasi dan motif hias gores dan tekan dari Fase I Uattamdi sejajar gerabah dari situs-situs di kawasan Maluku Utara lainnya, seperti Um Kapat Papo (1500 BP), Buwawansi (1800 BP), Tanjung Pinang (2000 BP), serta gerabah jaman logam di Talaud dan Sabah pada masa 2000 – 1000 BP.87 Selain itu, Santoso Soegondho juga melaporkan telah ditemukan gerabah coklat kemerahanmerahan dengan motif hias garis dan geometris dengan teknik hias gores pada bagian leher dan teknik tekan pada bagian bibir di Waidoba dan Taneti yang termasuk dalam kecamatan Kayoa.88 Selain memiliki kesamaan dengan situs-situs yang sejaman di Maluku Utara, gerabah gores Uattamdi juga memiliki persamaan dengan kompleks garabah Kalanay di Filipina. 89 Kesamaan tersebut terletak pada pola motif hias pita yang diisi dengan hiasan dengan susunan berulang ditempatkan pada sekeliling leher secara horizontal.90 Gerabah Kalanay di temukan di situs Batungan, Kalanay dan Marinduque. Teknik hiasnya meliputi gores, tekan, ukir dan cat. Unsur motif hias biasanya berupa garis-garis bergelombang, meander, zig-zag, garis-garis diagonal dan segi empat. Menurut Solheim II, gerabah Kalanay memiliki kesetaraan dengan gerabah Sa-Huynh dari Asia Tenggara 87
Lihat: Ibid., hlm. 9.
88
Santoso Soegondho, op.cit., hlm. 238.
89
Gerabah dari jaman logam di Asia Tenggara Kepulauan, oleh Peter Bellwood disebut gerabah gores, sedangkan oleh W.G. Solheim II disebut gerabah Sa-Huynh-Kalanay. 90
Lihat gambar gerabah gores dari Uattamdi pada Gambar 3.8.
106
daratan.91 Berdasarkan pada berbagai kesamaan motif hias gerabah pada kawasan Indonesia Timur bagian utara dan Kepulauan Filipina, maka dapat diketahui bahwa kedua kawasan budaya tersebut memiliki keterkaitan secara kultural dan akar budaya yang sama yaitu berhubungan dengan persebaran orang Austronesia. e. Catatan Etnografi dan Jejak Linguistik Berdasarkan pada perbandingan artefak yang dihasilkan dari beberapa situs kubur tempayan, Peter Bellwood menyarankan bahwa tradisi ini merupakan perkembangan lokal di kepulauan pada jaman logam dengan pertanggalan 200 SM sampai 1000 M.92 berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa, tradisi penguburan tempayan muncul setelah kehadiran orang Austronesia di kepulauan Indonesia. Berdasarkan penelitian Othman Mohd. Yatim93, sampai saat ketika penelitian tersebut dilakukan, tradisi penguburan tempayan masih dilakukan oleh etnis Kadazan dan Murut di Borneo Utara. Penguburan dalam tempayan yang dilakukan merupakan penguburan sekunder setelah dilakukan penguburan primer. Penguburan primer dilakukan dengan membiarkan mayat di tempat terbuka, di dalam gua, dan di tempat tertentu lainnya dalam masa yang ditentukan. Kemudian penguburan sekunder dilakukan oleh ahli waris dengan cara mengumpulkan 91
Sumber: Sumijati Atmosudiro, “Gerabah Prasejarah di Liang Bua, Melolo dan Lewoleba: Tinjauan Teknologi dan Fungsinya”, Disertasi, (Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 1994), hlm. 109-153. 92 93
Peter Bellwood, op.cit., (2000), hlm. 4425-426 dan 441.
Othman Mohd. Yatim, “Penggunaan Tembikar dalam Masyarakat Malaysia”, Siri Koleksi Tembikar Muzium Negara No. 2, (Kuala Lumpur: Jabatan Muzium, 1981), hlm. 33-35.
107
bagian tulang tertentu setelah mayat hancur dalam penguburan pertama, untuk disimpan dalam tempayan. Bagi orang Kadazan, penguburan dalam tempayan dilakukan bagi orang-orang kaya sehingga menyertakan bekal kubur yang seperti tembikar yang berharga. Pada orang Murut, tutup kubur tempayan diberi hiasan kayu yang diukir cantik dan digantungkan manik-manik yang berwarna-warni. Selain itu, juga disertakan lampu kecil dan digantungkan beberapa helai daun terap kering dengan bentuk mulut dan mata untuk mengusir roh-roh jahat. Di lain pihak, sampai saat ini tidak ditemukan tradisi penguburan tempayan pada masyarakat Non-Austronesia, sehingga nampaknya tradisi tersebut memang merupakan budaya masyarakat Austronesia. Berdasarkan pengamatan Alfred Russel Wallacea yang mengunjungi pulau Kayoa pada tahun 1858, penduduk Pulau Kayoa memiliki ciri ras campuran antara Mongoloid dan Melanesid. Mereka memiliki pertalian darah yang erat dengan penduduk di Ternate dan Jailolo. Mata pencaharian mereka sebagian besar adalah berladang dan membuat perahu.94 Dari data linguistik, hasil penelitian Masinambow dan Yoshida yang memetakan bahasa-bahasa di kawasan Maluku Utara, sampai saat ini penduduk Pulau Kayoa menggunakan bahasa Kayoa yang termasuk dalam rumpun bahasa Austronesia.95 Walaupun demikian bahasa Kayoa lebih khusus dan sedikit memiliki kemiripan dengan bahasa lainnya di pulau94
Alfred Russel Wallace, Menjelajah Nusantara, Ekspedisi: Alfred Russel Wallace abad ke-19, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), hlm. 178. 95
Haryo S. Martodirdjo, “Perkembangan Bahasa dan Budaya Daerah Perbatasan Rumpun Bahasa Austronesia dan Non-Austronesia di Halmahera”, dalam Sudaryanto dan Alex Horo Rambadeta (eds), Antar Hubungan Bahasa dan Budaya di Kawasan Non-Austronesia, (Yogyakarta: PSAP-UGM, 2000), hlm. 76.
108
pulau sekitarnya di kepulauan Maluku Utara.96 Kemungkinan besar, persamaan tersebut disebabkan karena bahasa-bahasa tersebut berasal dari rumpun yang sama yaitu Austronesia, sedangkan kekhususan diantaranya lebih disebabkan oleh perbedaan dialek, interaksi dengan bahasa non-Austronesia yang ada di Maluku Utara bagian utara, dan perkembangan lokal. Berdasarkan data tersebut dapat diketahui bahwa Pulau Kayoa telah kedatangan komunitas agrikultural yang berbahasa Austronesia, walaupun demikian kedatangan kelompok tersebut tidak sepenuhnya menggantikan komunitas Non-Austronesia yang telah ada di pulau tersebut sejak masa sebelumnya. Kemungkinan besar interaksi yang positif menjadikan kedua kelompok manusia tersebut berintegrasi menjadi budaya Kayoa, walaupun pada akhirnya unsur budaya Austronesia nampak menjadi lebih dominan dari pada unsur Non-Austronesia.
3. Kronologi Budaya Situs Ceruk Uattamdi Berdasarkan pembahasan hasil analisis data arkeologi dalam perspektif kawasan Maluku Utara, maka dapat diintepretasikan kronologi budaya situs ceruk Uattamdi, Pulau Kayoa, adalah sebagai berikut:
96
Alfred Russel Wallace, op.cit., hlm. 178.
109
Fase I (3300 – 2300 BP) •
:
Situs ceruk Uattamdi merupakan situs pemukiman komunitas NonAustronesia yang sudah mengenal budaya neolitik, berdasarkan artefak tulang, sisa cangkang kerang, translokasi hewan, cara pengolahan makanan, pola pemukiman, dan perbandingan etnografi.
•
Pada fase ini telah muncul komunitas Austronesia di kawasan tersebut dengan membawa unsur-unsur budaya baru, berdasarkan beliung batu yang diupam, gerabah, domestikasi anjing dan babi.
•
Pemukiman terbuka komunitas Austronesia berada di tidak jauh dari situs Uattamdi.
•
Interaksi antara komunitas Non-Austronesia dengan Austronesia.
Fase II (2300 – 1000 BP) •
:
Situs ceruk Uattamdi, merupakan situs penguburan tempayan Austronesia, berdasarkan bekal kubur, gerabah, data linguistik, dan data etnografi.
•
Semakin kuatnya dominasi budaya Austronesia, sehingga komunitas NonAustronesia terdesak dan berintegrasi dengan komunitas Austronesia.
•
Semakin meluas dan meningkatnya jaringan pelayaran dan perdagangan antar pulau di kawasan Maluku Utara dan sekitarnya.
•
Kawasan Kepulauan Indonesia bersiap untuk menghadapi budaya Global.97
97
Istilah yang diberikan oleh Daud Aris Tanudirjo, untuk salah satu fenomena budaya yang terjadi akibat proses migrasi-kolonisasi manusia.