BAB III ANALISIS STRUKTUR CERITA RAKYAT KABUPATEN CIANJUR
3.1. Kedudukan Sastra Lisan Sunda di Kabupaten Cianjur Sastra lisan Sunda merupakan titik awal dari perkembangan adanya sastra Sunda secara tertulis. Sastra lisan dapat digunakan untuk memperkaya khasanah kesusasteraan Sunda bahkan Indonesia. Sastra lisan dapat mengisi kekosongan yang terjadi bila para pengarang membutuhkan fariasi, atau dikatakan sebagai penunjang sastra tertulis. Sekarang ini sudah banyak para pakar yang telah menganggap sastra lisan, baik untuk kepentingan ilmu maupun kepentingan kehidupan yang lainnya dengan adanya penggarapan masalah, jelas bahwa sastra lisan itu merupakan materi yang dapat menciptakan kondisi yang dapat memungkinkan berkembangnya sastra Sunda yang bercorak baru dan selaras dengan perkembangan zaman. Dilihat dari kenyataannya, sastra lisan tidak terlepas dari kehidupan masyarakat, dan sastra lisan itu seperti juga sastra tertulis yang merupakan pancaran dari masyarakat pemeluknya. Dengan uraian diatas dapatlah disimpulkan bahwa sastra lisan di kabupaten Cianjur itu memiliki fungsi sebagai berikut : 1. Sebagai alat untuk mewariskan tat cara hidup, adat istiadat dan kebiasaan sehari-hari. 2. Sebagai alat untuk mewariskan kepercayaan
3. Sebagai alat untuk menyampaikan pendidikan, baik pendidikan secara lahir (berupa ilmu pengetahuan) maupun pendidikan batin, moral, etika, dan agama. 4. Sebagai cara untuk menyampaikan asal-usul kejadian dan hal-hal yang mengandung berita atau sejarah. 5. Sebagai alat untuk hiburan, mengisi waktu senggang, baik waktu yang terluang diantara pekerjaan penduduk sehari-hari, maupun waktu yang sengaja disediakan dalam acara tertentu.
3.2. Penutur Cerita dan Kesempatan Bercerita Dari hasil pendataan dan wawancara di lapangan yang dilakukan melalui perekaman di daerah tempat penutur sendiri , bahwa para penutur cerita umumnya berasal dan dibesarkan di daerah masing-masing sehingga mereka dapat lebih mengenal dengan baik daerahnya beserta cerita tersebut. Cerita lisan yang dikumpulkan adalah cerita yang disampaikan oleh penutur yang tinggal di kecamatan-kecamatan yang ada di Kabupaten Cianjur. Perekaman cerita dilakukan tidak jauh dari tempat-tempat kejadian yang terkandung dari ceritanya, bahkan mencoba membuktikan atau melihat peninggalan-peninggalan ceritanya. Hanya sebagian kecil saja cerita yang direkam bukan di dekat tempat kejadian. Semua penutur umumnya orang-orang yang dianggap mengenal dengan baik dearah di wilayahnya masing-masing dan mampu memberikan informasi tentang daerahdaerahnya. Semua penutur merupakan asli orang Kabupaten Cianjur yang sehari-hari menggunakan bahasa Sunda.
Pengetahuan tentang cerita-cerita yang dimiliki oleh para penutur umumnya merupakan warisan dari keluarganya, seperti dari nenek, kakek, ayah, ibu, atau keturunan tokoh yang mereka terima secara turun temurun. Sebagian lagi disebabkan cerita itu sangat terkenal dalam lingkungannya sehingga cerita itu terpelihara di daerahnya.
3.3. Analisis Unsur Instrinsik Cerita Legenda 3.3.1. Sasakala Talaga Warna (Kec. Pacet) 3.3.1.1. Sinopsis Syahdan, dahulu Talaga Warna merupakan sebuah kerajaan yang bernama Prambonan. Rajanya memiliki putri bernama Mayangsari, yang terkenal sangat cantik. Karena kecantikannya itulah Mayangsari sangat terkenal ke segala penjuru dunia, sehingga banyak raja-raja yang hendak menjadikannya sebagai premeswari, tapi tak satupun lamaran dari raja-raja tersebut yang diterima. Salah seorang yang melamar adalah Prabu Manyir dari kerajaan Argabelah. Dia terkenal sebagai raja yang gagah, sakti, bengis dan alim. Lamaran Prabu Manyir disampaikan oleh patihnya, Aria Kalasusela. Sebelum lamarannya dari Prabu Manyir tiba, telah datang pula lamaran dari Raden Layung Kumendung, anak angkat dari Mahawiku Dewi Centringnmanik dari padepokan Buana Pancatengah. Lamaran layung Kumendung tidak disampaikan secara langsung, melainkan meminta bantuan dan mewakilkan kepada Patih Gajah Panambur dari kerajaan Batungampar (rajanya Dewi Gelanggading). Hal itudilakukan karena Layung Kumendung merasa dirinya tidak sederajat dan tidak seimbang dengan Dewi Meyangsari.
Lamaran dari Layung Kumendung tidak diterima, dan ketika Patih Gajah Panambur hendak undur diri dari Kerajaan Prambonan, datanglah Patih Kalasusela yang membawa lamaran Prabu Manyir, lamarannya pun ditolak. Kalasusela merasa terhina dan murka, karena dikira lamarannya ditolak disebabkan Putri Dewi Mayangsari telah menerima lamaran dari Layung Kumendung. Akhirnya Patih Kalasusela bertarung dengan Patih Gajah Panambur. Melihat kejadian itu, Raja Prambonan melerainyadengan bijaksana, lalu mengumumkan sayembara bahwa siapapun akan diterima menjadi menantunya asal sanggup membuat dua telaga “Talaga Warna” yang dikerjakan dalam semalam. Sayembara tersebut disambut baik oleh kedua patih yang berseteru. Untuk mewujudkan persyaratan tersebut, Dewi Centrikmanik memohon bantuan kepada Raden Suryakencana, putra kajian Dewi Citrawati. Berkat bantuan Suryakencana, pembuatan telaga kembar pun dapat dirampungkan. Bersamaan dengan selesainya pengerjaan telaga tersebut, datanglah Prabu Manyir dengan patih dan rakyatnya, untuk memulai pengerjaan pembuatan talaga. Melihat pesaingnya telah selesai membuat telaga, Prabu Manyir berang, dan terjadilah
peperangan
sampai
akhirnyaPatih
Gajah
Panambur
dapat
mengalahkannya. Setelah perang usai, Raden Layung Kumendung datang lagi ke Prambonan untuk mengukuhkan lamarannya, tapi alangkah terkejutnya Layung Kumendung karena ketika tiba di kerajaan disodori persyaratan tambahan, yaitu harus membawa sebikul permata. Melalui Patih Gajah Panambur, Layung Kumendung meminta bantuan lagi kepada Raden Suryakencana, dan setelah permata tersebut tersedia, dia
berangkat lagi ke Prambonan untuk mempersenbahkan persyaratan tersebut. Akhirnya lamarannya diterima. Kerana sudah gagal melamar Dewi Mayangsari, Prabu Manyir berbalik arah melamar Dewi Gelanggading, ratu Batungampar, tapi juga ditolak. Tidak kepalang murkanya Prabu Manyir, kemudian kerajaan Batungampar diporakporandakannya berubah bentuk menjadi gunung. Datang Gajah Panambur. Melihat negerinya hancur, Gajah Panambur menjadi garam, kemudian Prabu Manyir ditangkap dan dilemparkannya pula, kemudian menjelama menjadi sebuah gunung. Setelah kedaan aman, Gajah Panambur pergi ke Buana Pancatengah untuk menyaksikan pernikahan Layung Kumendung dengan Dewi Mayangsari. Tanpa diduga, saat pernikahan berlangsung Dewi Mayangsari berbuat ulah, dia menghias setiap helai rambutnya dengan permata. Kemudian raja menasehatinya, karena disamping jelek juga memperlihatkan keserakahan, tapi Dewi Mayangsari bukannya menerima teguran dari ayahnya tersebut, melainkan malah marah dan melempari wajah ayahnya dengan bakul tempat permata tersebut. Sontak kejadian tersebut itu membuat raja marah, kemudian raja berdiri dari tempat duduknya keluarlah air memancur. Alangkah kecewanya pula Dewi Centringmanik yang menyaksikan kejadian tersebut, dan tanpa disadari dari mulutnya keluar kutukan bahwa kerajaan Prambonan akan berubah menjadi telaga yang airnya berkilauan seperti permata. Setelah itu, Dewi Centringmanik, Patih Gajah Panambur, dan Raden Layung Kumendung kembali ke pertapaan. Layung Kumendung kemudian dikenal dengan
nama Eyang Nagasari. Sepeninggal mereka kerajaan Prambonan berubah menjadi telaga yang sekarang disebut “Talaga Warna”.
3.3.1.2. Alur/Plot Alur cerita Sasakala Talaga Warna dapat diskemakan sebagai berikut : Maharaja Prambonan mempunyai seorang putri yang sangat cantik, Dewi Mayangsari. Banyak raja-raja yang hendak menjadikannya sebagai prameswari. Dewi Mayangsari selalu menolak. Datang lamaran dari Raden Layung Kumendung. Dewi Mayangsari juga menolak. Kemudian datang pula lamaran dari Prabu Manyir, juga ditolak. Terjadi pertarungan antara utusan Layung Kumendung dengan utusan Prabu Manyir. Raja Prambonan mengadakan sayembara (pemenangnya berhak mempersunting Dewi Mayangsari). Pemenangnya Layung Kumendung. Dewi Mayang sari mengajukan persyaratan tambahan (sebakul permata). Layung Kumendung dapat memenuhinya. Saat pernikahan berlangsung, Dewi Mayangsari menghias setiap helai rambutnya dengan permata. Raja melarangnya. Dewi Mayangsari marah dan melempari raja dengan bakul tempat permata. Raja murka. Dewi Centringmanik mengutuknya. Layung Kumendung, Dewi Centringmanik, dan Gjah Panambur kembali ke pertapaan. Kerajaan Prambonan menjadi telaga. Adapun peristiwa yang dialami Dewi Mayangsari adalah sebagai berikut : Dewi Mayangsari selalu menolak lamaran raja-raja – datang lamaran dari Raden Layung Kumendung – ditolak – datang pula lamaran dari Prabu Manyir – juga ditolak – raja mengadakan sayembara – pemenangnya Layung Kumendung – Dewi Mayangsari menghiasi tiap helai rambutnya dengan permata – raja melarangnya –
Dewi Mayangsari melempari raja dengan bakul tempat permata – raja murka – timbul kutukan dari Dewi Centringmanik – pernikahan tidak terjadi. Layung Kumendung dapat melewati beberapa rintangan dalam hidupnya. Peristiwa yang dialaminya adalah sebagai berikut : - Layung Kumendung merindukan Dewi Mayangsari – Mahawiku Dewi Centringmanik bingung karena Layung Kumendung tidak sederajat dengan Dewi Mayangsari – Dewi Centringmanik maminta bantuan Eyang Uja – Eyang Uja memohon pertolongan Patih Gajah Mada Panambur dari kerajaan Batu Ngampar – Gajah Panambur menyampaikan lamaran Layung Kumendung – Lamaran ditolak – Gajah Panambur bertarung dengan Patih Aria menang – Layung Kumendung diberi syarat tambahan (sebakul permata) – Layung Kumendung berhasil memenuhinya – Dewi Mayangsari menghias tiap helai rambutnya dengan permata – Raja Prambonan murka – Dewi Centringmanik mengutuknya – Layung Kumendung, Dewi Centringmanik, dan Gajah Panambur kembali ke pertapaan – Kerajaan Prambonan menjadi telaga – pernikahan tidak terjadi. Pertalian antar bagian-bagian alur tersebut merupakan hubungan sebab-akibat, sebagai penanda hubugan yang logis, yang juga disertai dengan permainan aksioma, yaitu bahwa perilaku tidak tepuji dan serakah akan mendatangkan bahaya dan keburukan. Hal tersebut muncul terutama disebabkan oleh prilaku Dewi Mayangsari yang menghias rambutnya gengan permata, serta tidak menerima nasehat ayahnya, malah melempari wajah ayahnya dengan bakul permata. Kejadian tersebut telah menimbulkan kekecewaan Mahawiku Dewi Centringmanik, sehingga tanpa disadarinya keluarlah kutukan untuk Kerajaan Prambonan.
3.3.1.3. Pelaku/Penokohan Pelaku pada Sasakala TalagaWarna terdiri atas : 1. Raja Prambonan (tidak disebutkan namanya), seorang yang arif dan bijaksana. 2. Dewi Mayangsari, putri raja Prambonan, sangat cantik, jelek perangainya. 3. Layung Kumendung, anak angkat Mahawiku Dewi Centringmanik. 4. Dewi Centringmanik, seorang mahawiku, seorang pertapa yang sakti di Buana Pancatengah. 5. Eyang Uja, seorang maharesi yang sering dimintai pertolongannya. 6. Dewi Gelanggading, raja Batungampar. 7. Gajah Panambur, patih kerajaan Batunagmpar, seorang panglima perang yang sangat digjaya. 8. Raden Suryakencana, putra Dewi Citrawati dari negara Kajinan, sangat sakti dan sering dimintai pertolongan. 9. Dewi Citrawati, ibunda Raden Suryakencana dari negara jin. 10. Prabu Manyir, raja Argabelah, seorang yang gagah, berani, sakti, bengis dan lalim. 11. Aria Kalasusela, patih Kerajaan Argabelah, seorang yang sakti dan bengis. Berdasarkan peranannya dalam struktur alur, pelaku utama dalam Sasakala Talaga Warna adalah Layung Kumendung dan Dewi Mayangsari. Kedua pelaku itulah yang terlibat dalam pokok peristiwa cerita. Pelaku-pelaku lainnya berperan sebagai pelaku tambahan atau pembantu.
Adapun berdasarkan wataknya, Layung Kumendung sebagai tokoh yang memiliki tabiat baik, merupakan tokoh protagonis, sedangkan Prabu Manyir dan Patih Aria Kalasusela sebagai lawannya, merupakan tokoh antagonis. 3.3.1.4. Latar/Setting Kejadian dalam cerita ini berlatarkan beberapa tempat, yaitu : 1. Prambonan, kerajaan yang dikutuk oleh Dewi Centringmanik menjadi telaga. 2. Buana Pancatengah, padepokan tempat belajar dan betapa Raden Layung Kumendung dan Mahawiku Dewi Centringmanik. 3. Argabelah, kerajaan yang dipimpin oleh Prabu Manyir dan patihnya Aria Kalasusela. 4. Batungampar, kerajaan yang dipimpin oleh Dewi Gelanggading dan patinya Gajah Panabur. 5. Kerajaan jin, tempat Raden Suryakencana dan Dewi Citrawati. 6. Hutan, tempat bertempur antara Gajah Panambur dengan Aria Kalasusela. 7. Talaga (talaga warna), penjelmaan dari kerajaan Prambonan yang dikutuk. Penyebutan nama tempat tersebut tidak disertai dengan gambaran atau deskripsi konkret tentang keadaan (situasi), serta tidak pula digambarkan suasana saat peristiwa cerita berlangsung. Demikian juga latar waktu, tidak disebutkan sama sekali dan tidak tertera sepanjang jalinan cerita.
3.3.1.5. Tema dan Amanat Tema yang tersirat dalam legenda ini adalah percintaan atau asmara yang terbingkai dalam struktur kekuasaan. Bagi seorang putra non-kerajaan atau
masyarakat umum, bukan hal yang mudah untuk memilih pasangan hidup atau jatuh cinta kepada seorang putri raja, karena tidak sederajat. Hal ini dialami oleh Layung Kumendung, yang terpaksa meminta bantuan Patih Gajah Panambur dari kerajaan Batungampar untuk menyampaikan lamarannya kepada Dewi Mayangsari, putri kerajaan Prambonan. Dalam hal ini, putri raja jodohnya adalah putra raja, atau malah sekalian raja. Hal yang sering muncul dalam cerita-cerita klasik, yaitu diselenggarakannya sayembara untuk menentukan pendamping putri raja jika pelamrnya banyak. Sayembara ini pun beragam jenisnya, mulai dari kesanggupan membuat membuat atau mengadakan sesuatu, danau atau gunung misalnya, atau ajimat dan erhiasan tertentu, sampai duel maut dalam sebuah pertarungan. Ini pun terjadi dalam cerita Talaga Warna. Tentu saja yang berhak bersanding dengan putri raja adalah pemenangnya, yaitu sang hero. Tema lainnya yang menjiwai cerita ini adalah tema moral, yang juga sekaligus sebagai amanat cerita. Amanat seperti ini pun kerap dijumpai dalam ksah-kisah klasik: bahwa yangjujur dan baik akan selamat serta mendapatkan kebahagaiaan, serta yang perilakunya menyimpang dan nista, akan mengalami penderitaan dan siksaan. Hal tersebut di antaranya dialami oleh Dewi Mayangsari yang dikutuk oleh Dewi Centringmanik setelah melempar ayahnya dengan bakul permata. Cerita ini mengandung nilai kemasyarakatan (di samping legenda sebagai salah satu genre sastra), yaitu penggambaran strata sosial yang dilestarikan dalam perjodohan. Hal tersebut pernah dianut oleh sebagian masyarakat pada masa lampau, seperti tergambar dalam ungkapan : emas jeung emas, perak jeung perak,
tambaga jeung tambaga, artinya harus sebanding dan sederajat dan sederajat, orang kaya jodohnya dengan orang kaya, ningrat dengan ningrat, dan dalam cerita ini anak raja harus dengan anak raja. Nilai sosial atau kemasyarakatan yang tergambar dalam konteks tersebut juga digradasikan dengan nilai moral yang disimbolkan melalui prilaku dan watak tokohnya yang menyimpang seperti disebutkan diatas.
3.3.2. Sasakala Batununggal (Desa Cihea) 3.3.2.1. Sinopsis Setelah menempuh perjalanan yang sangat melelahkan. Tumenggung Nampabaya dan Tumenggung Lirbaya beristirahat di sebuah hutan yang dikenal angker, dengan disertai dua orang pengawalnya, Nayakerta dan Nayakerti. Saking lelahnya kedua Tumenggung tersebut tertidur pulas di atas batu. Ketika itu, terjadi hujan deras dan menimbulkan banjir besar, tapi karena sangat kelelahan, mereka terus lelap. Di tengah malam, kedua pengawalnya terbangun, alangkah mereka terkejutnya ketika menyaksikan junjungannya sudah tidak ada di tempat. Kemudia mereka berteriak-berteriak dan menangis. Sementara itu, kedua tumenggung sama sekali tidak menyadari bahwa mereka telah terbawa banjir, dan ketika terbangun, keduanya merasa heran karena sudah berada di bawah pohon pinang di atas parung. Setelah mengamati daerah sekelilingnya, barulah mereka menyadari bahwa dirinya telah terbawa air bah. Mereka dapat selamat karena keduanya memiliki ilmu Kleneng Putih.
Ketika mereka tertidur lelap, keduanya bermimpi didatangi seorang lelaki bertubuh tinggi besar dan berjanggut. Lelaki itu berkata bahwa mereka harus kembali ke tempat semula. Kedua bersaudara itu dinasehati bahwa bila di perjalanan menemukan sebuah jejak besar, agar diikuti, dan jika jejak tersebut berakhir di jalan buntu, akan menemukan sebuah benda (pusaka) yang sangat berguna bagi raja. Barang tersebut dapat menyebabkan sangat dicintai oleh raja. Setelah menyampaikan petuahnya, lelaki tua itu menghilang kembali. Setelah peristiwa itu, batu besar tempat Tumenggung Nampabaya dan Tumenggung Lirbaya tertidur disebut Batununggal oleh masyarakat Cihea, lokasinya berada di kecamatan Bojongpicung.
3.3.2.2. Alur/Plot Alur pada Sasakala Batununggal dapat diskemakan sebagai berikut : Tumenggung Nampabaya dan Tumenggung Lirbaya dengan disertai dua orang pengawalnya, Nayakerta dan Nayakerti, menempuh perjalanan panjang yang sangat melelahkan. Keduanya beristirahat di hutan dan tertidur di atas sebuah batu. Dating hujan dan banjir besar. Kedua Tumenggung tersebut hanyut terbawa banjir. Dalam tidurnya mereka bermimpi bertemu seorang lelaki. Lelaki itu menasehati agar kedua Tumenggung tersebut kembali, dan jika menemukan sebuah jejak yang besar harus diikuti karena jejak tersebut merupakan petunjuk tentang sebuah benda (pusaka) yang sangat berguna bagi raja. Lelaki tersebut kemudian menghilang kembali. Sejak peristiwa itu, batu besar tempat Tumenggung Nampabaya dan Tumenggung Lirbaya tertidur disebut Batununggal.
Laju alur dalam legenda ini sangat linear sehingga mudah untuk diikuti serta tidak menimbulkan banyak tafsir. Di samping itu, alur yang digunakan pun merupakan alur tunggal, yang tidak memiliki persimpangn atau anak alur lainnya. Hal tersebut dapat menunjukan bahwa legenda ini sebenarnya merupakan fragmen dari keseluruhan cerita yang mengisahkan Tumenggung Nampabaya dan Lirbaya (bandingakan dengan Sasakala Pasir Asahan), artinya cerita ini hanya merupakan sebagian kisaha yang menceritakan kejadian yang dialami oleh kedua tokoh tersebut, dengan berlatar di sekitar atau meliputi terjadinya penamaan daerah Batununggal.
3.3.2.3. Pelaku/Penokohan Pelaku pada legenda Batununggal terdiri atas : 1. Nampabaya, seorang tumenggung 2. Lirbaya, seorang tumenggung 3. Nayakerta, seorang pengawal 4. Nayakerti, seorang pengawal 5. Lelaki tua, tinggi besar dan berjanggut, merupakan sosok yang hadir dan memberi nasehat dalam mimpi Nampabaya dan Lirbaya. 6. Tokoh sentral dalam cerita ini adalah Nampabaya dan Lirbaya. Kedua tokoh tersebut merupakan pusat pengisahan sehingga apapun yang dilakukannya termasuk bekas tempat tidur mereka (batu) menjadi monumental. Adapun Nayakerta, Nayakerti, dan lelaki tua, merupakan tokoh pembantu atau tokoh tambahan.
3.3.2.4. Latar/Setting Latar atau tempat kejadian dalam cerita ini yaitu di hutan, tempat beristirahat dan tertidurnya Nampabaya dan Lirbaya. Tempat lain yang terasa yaitu sebuah area yang disebut parung, yang ada pohon pinangnya, ketika kedua tumenggung tersebut terjaga kembali dari tidurnya setelah terbawa dan dihanyutkan banjir. Tidak ada penyebutan latar waktu dalam cerita ini, hanya suasana yang jelas tergambar sepanjang cerita, misalnya ketika dua pengawal (Nayakerta dan Nayakerti) kehilangan tuannya; tergambar sangat pilu, bahkan menangis dan berteriak-teriak. Suasana lain juga tampak ketika Nampabaya dan Lirbaya dinasehati oleh seorang lelaki tua dalam mimpinya. Kedua tumenggung tersebut sangat khidmat menyimak petuah lelaki tua tersebut.
3.3.2.5. Tema dan Amanat Tema dalam cerita ini adalah kepatuhan dalam menjalankan tugas yang dikemas dalam bingkai petualangan atau ekspedisi. Pengemban tugas dan petualang dalam kisah ini yaitu Nampabaya dan Lirbaya yang secara bertanggung jawab menjalankan tugasnya sampai suatu hari sangat kelelahan dan beristirahat di sebuah hutan, bukan hanya kepada kepada raja, kepatuhan kedua tumenggung ini pun tampak ketika dinasehati oleh lelaki tua dalam mimpinya, yaitu agar segera kembali ke tempat semula, serta jika dalam perjalanan kembali tersebut mendapatkan sebuah benda pusaka, maka serahkanlah kepada raja, niscaya akan semakin disayang oleh raja. Tampak sekali bahwa kedua tumenggung itu sangat setuju terhadap nasehat
lelaki tua itu, dan sedikitpun tidak tersirat bahwa mereka akan melanggarnya, termasuk menyerahkan benda (pusaka) kepada raja jika menemukannya. Kepatuhan inilah, di samping sebagai tema, juga amanat yang dikndung dalam cerita ini, bahkan sekaligus merupkan nilai, yaitu nilai etis yang harus dilakukan oleh setiap pengemban amanah atau tugas. Selain tema, amanat, atau nilai yang terkandung secara implicit, cerita ini merupakan kisah tentang penamaan suatu tempat yang dalam genre sastra disebut lagenda. Oleh karma itu, cerita ini dari segi bentuknya memiliki nilai sastra, walaupun dari segi teknik membangun konflik dan suasana cerita tidak begitu unggul bahkan mungkin sangat lemah, sehingga secdara keseluruhan nilai sastranya memang tidak cukup baik.
3.3.3. Sasakala Pasir Asahan (Desa Cihea) 3.3.3.1. Sinopsis Nampabaya dan Lirbaya serta dua orang pengawalnya, Nayakerta dan Nayakerti, sempat mengambil beberapa sarang burung wallet dalam melanjutkan perjalanan panjangnya untuk menyusuri jalan yang dianjurkan oleh lelaki tua dalam mimpinya, menuju arah selatan. Sesampainya di daerah perbukitan, tepat di jalan buntu seperti yang diamanatkan lelaki tua dalam mimpinya tersebut, mereka menemukan bebatuan yang bentuknya bermacam-macam, di antaranya ada yang menyerupai batu asahan. Kemudian Nampabaya dan Lirbaya mengambil satu yang paling besar, lalu dipatahkannya. Begitu terpotong, tampak di dalamnya terdapat sebuah permata. Permata itu kemudian dipakai untuk mengasah pedang Nayakerta. Setelah diasah,
oleh Nampabaya pedang tersebut dicobatebaskan ke paha Nayakerti, dan ternyata Nayakerti terluka hingga mengeluarkan banyak darah. Segeralah Nampabaya mengusap paha Nayakerti. Sekejap itu pula luka Nayakerti sembuh kembali. Atas peristiwa itu, mereka menjadi was-was, sebab sebelumnya mereka terkenal, terutama di Mataram, sebagai orang sakti yang tidak mempan senjata tajam, tapi sekarang kenyataannnya lain, setelah pedannya diasah dengan batu permata. Kemudian Nampabaya mengambil dan membawa pulang beberapa batu asahan dan menyuruh agar yang lainnya dibuang ke curug (air terjun) Cihea. Setelah itu mereka segera kembali ke Mataram untuk menyerahkan barang temuannya tersebut. Alangkah senangnya Sultan Agung ketika menerima persembahan tersebut, dan sebagai penghargaan atas pengabdian kedua tumenggung itu, Sultan menganugrahkan kekuasaan kepada Nampabaya sebagai Dalem Cihea, sedangkan Lirbaya diangkat menjadi patihnya. Mereka pun dilengkapi dengan pakaian kebesaran, gamelan, senjata pusaka, perlengkapan rumah tangga, serta bebrapa pengawal dan pasukannya. Kini, tempat ditemukannya batui berbentuk asahan tersebut oleh masyarakat sekitarnya dinamakan Pasir Asahan, terletak di Desa Kemang. Sebagian masyarakat beranggapan bahwa tempat tersebut keramat, serta dipercaya pula bahwa bebatuannya memiliki banyak khasiat.
3.3.3.2. Alur/Plot
Alur cerita SasakalaPasir Asahan dapat diskemakan sebagai berikut : Nampabaya, Lirbaya, Nayakerta, dan Nayakerti melanjutkan perjalanan. Di jalan buntu menemukan bebatuan yang bentuknya menyerupai batu asahan. Nampabaya dan Lirbaya mengambil satu dan mematahkannya. Di dalam patahan batu tersebut terdapat permata. Pedang Nayakerta diasah dengan permata. Pedang ditebaskan ke paha Nayakerti. Nayakerti terluka dan mengeluarkan banyak darah. Nampabaya mengusap paha Nayakerti. Sekejap luka Nayakerti sembuh kembali. Nampabaya, Lirbaya Nayakerta, Nayakerti dikenal sebagai orang yang tak mempan senjata tajam. Setelah pedang diasah dengan batu permata, jadi tembus. Meraka was-was. Nampabaya mengambil dan membawa pulang beberapa batu asahan. Nampabaya menyuruh membuang batu asahan sisanya ke curug (air terjun) Cihea. Mereka segera kembali ke Mataram untuk menyerahkan barang temuannya tersebut. Sultan Agung senang menerima persembahan itu. Nampaknya diangkat menjadi Dalem Cihea. Tempat ditemukannya batu berbentuk asahan dinamakan Pasir Asahan. Alur dalam legenda ini hampir mirip dengan alur pada cerita Sasakala Batununggal (SB). Selain datar, juga tidak ada gejolak yang menimbulkan kejutan cerita, walaupun memang ada beberapa peristiwa luar biasa atau ajaib, di antaranya ketika Nayakerti ditebas pahanya dan terluka, kemudian luka itu diusap oleh Nampabaya serta seketika itu sembuh kembalai, tapi penyajian peristiwa itu dinarasikan secara verbal sekali, sehingga tidak ada teknik maupun segi intrisik cerita yang disampaikan melalui kepekatan ikonisitas. Bisa jadi, keseluruhan pengaluran dalam cerita ini tidak jauh berbeda dengan SB karena memang kisah ini
merupakan kelanjutan, sehingga semestinya secara keseluruhan merupakan satu cerita, karena baik tokoh maupun jalinan peristiwanya masih merupakan satu kesatuan, tetapi karena cerita ini penyebarannya secara lisan, maka terjadi pemenggalan pengisahannya, sesuai dengan latar tempat yang dikisahkannya.
3.3.3.3. Pelaku/Penokohan Pelaku pada Sasakala Pasir Asahan terdiri atas: 1. Nampabaya, seorang tumenggung 2. Lirbaya, seorang tumenggung 3. Nayakerta, seorang pengawal 4. Nayakerti, seorang pengawal 5. Lelaki tua, tinggi besar dan berjanggut,k merupakan sosok yang hadir dan memberi nasehat dalam mimpi Nampabaya dan Lirbaya. 6. Sultan Agung, Raja Mataram.
3.3.3.4. Latar/Setting Beberapa nama tempat yang disebutkan dan menjadi latar dalam cerita ini, antara lain: 1. Cihea, yaitu sebuah wilayah kadeleman yang dipimpin oleh Nampabaya. 2. Curug Cihea, adalah sebuah air terjun yang terletak di Cihea, tempat dibuangnya sebagian batu yang menyerupai asahan. 3. Mataram, nama sebuah kerajaan di Jawa, yang kerap menarik upeti dari kerajaan-kerajaan kecil atau kedaleman.
4. Perbukitan, sebuah kawasan yang dilalui oleh rombongan Nampabaya dan kawan-kawan. 5. Arah selatan, yaitu arah yang harus ditempuh oleh Nampabaya dan kawankawan dalam meneruskan perjalannnya sesuai petunjuk lelaki tua dalam mimpinya. 6. Jalan buntu, sebuah jalan sebagai tanda atau tempat ditemukannya jenis bebatuan yang menyerupai asahan serta di dalamnya mengandung batu permata.
Tidak ada penyebutan latar waktu dalam cerita ini, tetapi gambaran suasana cerita sangat jelas kentara, misalanya kegembiraan Nampabaya dan kawan-kawan ketika menemukan bebatuan seperti yang disebutkan oleh lelaki tua dalam mimpinya. Begitu pun kegembiraan raja Mataram ketika menerima persembahan dari Nampabaya, yaitu batu hasil penemuan tersebut. Tergambar pula bagaimana was-wasnya perasaan Nampabaya dan kawan-kawan ketika mengetahui bahwa permata yang terdapat dalam batu tersebut jika dipakai untuk mengasah pedang, maka pedang tersebut akan dapat menembus tubuh mereka, padahal selama ini mereka, khususnya di Mataram, sangat dikenal tidak mempan senjata tajam. Keseluruhan suasana cerita tersebut menyatu dalam jalinan peristiwa yang intern serta sekaligus menimbulkan multi tafsir, misalnya kegembiraan raja Mataram ketika menerima persenbahan bebatuan (batu asahan), tampak gembira. Hal tersebut dapaty ditafsirkan karena memang merasa bahagia memiliki bawahan yang taat dan patuh, atau bisa pula karena dia mengetahui bahwa jika batu tersebut dipatahkan, di dalamnya terdapat batu permata yang dapat dipakai untuk mengasah
pedang, serta jika pedang telah diasah dengan batu permata tersebut, maka pedang itu dapat menembus menembus tubuh Nampabaya dan Kawan-kawan, yang selama ini dikenal kebal senjata tajam. Demikian juga tindakan Nampabaya dan kawankawan yang menyerahkan batu temuannya tersebut kepada raja Mataram, dapat ditafsirkan beragam. Bisa jadi satu sisi hal tersebut menunjukan sikap ketaatan dan kepatuhan Nampabaya dan Kawan-kawan dalam menjalankan tugas, tapi dapat pula berarti bahwa mereka sangat konyol dan sembrono, karena mereka sudah mengetahui bahwa batu (permata) tersebut dapat menyebabkan kekebalan mereka hilang, tetapi tetap saja batu tersebut dipersembahkan kepada Sultan Agung Mataram, yang jika suatu saat terjadi konflik antar mereka, akan mudah Nampabaya dan kawan-kawan ditangani dan terkalahkan. 3.3.3.5. Tema dan Amanat Tema yang termaktub dalam cerita ini adalah tentang pengabdian dan kepatuhan dala menjalankan tugas, yang dimajemukan dengan kisah petualangan atau ekspedisi. Adalah Nampabaya dan Lirbaya serta dua orang pengawalnya, yang secara terus-menerus melakukan pencarian terhadap barang (benda) pusaka. Ternyata barang bertuah tersebut diiperolehnya di sebuah jalan buntu dekat perbukitan. Hal itu bisa didapatkannya berdasarkan petunjuk seorang lelaki tua dalam mimpinya. Benda yang dicari-cari, dan ternyata (sebenarnya), membahayakan dirinya karena dapat menghilangkan kekebalan terhadap senjata tajam, mereka serahkan kepada Sulata Agung Mataram. Tentu saja Sultan Agung sangat senang dan gembira, karena mungkin dia merasa mempunyai bawahan yang sangat taat dan
patuh terhadap segala perintahnya, atau bisa juga dia senang karena disamping persembahan tersebut sebagai pertanda kepatuhan, juga kasiat benda itu yang dapat digunakan untuk mengatasi sekaligus mencari titik lemah Nampabaya dan kawankawan. Ketaatan dan kepatuhan inilah, amanat yang tersirat dari kisah ini, apalagi biarpun hatinya was-was, Nampabaya dan kawan-kawan tetap saja dengan tulus dan tanpa berprasangka buruk menyerahkan barang temuannya tersebut. Hal itulah yang menunjukan bahwa mereka memang benar-benar loyal dan penuh dedikasi dalam mengemban sebuah misi.
3.3.4. Eyang Saparantu (Kp. Saparantu Ds. Kademangan) 3.3.4.1. Sinopsis Di Cibalagung ada sebuah kadaleman yang disebut Kadaleman Cikadu, dipimpin oleh R.A. Natamanggala I. dikenal sebagai pemimpin yang arif dan bijaksana, sehingga disayangi rakyatnya. Di daerah lain, di wilayah Cirebon, hidup seorang pemuda berbadan tegap, tampan, gagah, dan sakti, bernama Longgar jaya./ pada suatu hari terbesit dalam pikiran Longgar Jaya untuk mengembara guna menambah ilmunya. Bertahun-tahun ia mengembara, hingga suatu hari tiba di sebuah hutan, dan dilihatnya ada sebuah gua, kemudian ia masak dan bersemedi di situ. Setelah
berhari-hari bersemedi, pada suatu malam, ia didatangi seorang kakek berpakaian putih-putih dan berjanggut panjang. Kakek tersebut berpesan agar Longgar jaya segera menghentikan pengembaraannya untuk kemudian mengabdi pada Negara dan mengamalkan ilmunya. Ia disuruh pergi kea rah barat, di sana ia akan menemukan sebuah kadaleman. Ketika Longngar Jaya membuka matanya, di hadapannya telah ada sebuah tongakat. Dengan berbekal tongkat itulah, Longgar Jaya berangkat menuju arah yang ditunjukan oleh si kakek tersebut. Kelak, ia sampai di sebuah kadaleman, kemudian ia mengabdikan diri di situ. Longgar Jaya terbilang seorang yang jujur dan cakap serta sakti, oleh sebab itu ia diangkat menjadi pengikut R.A. Natamanggala I. Di akhir hayatnya, Longgar Jaya mengubah namanya menjadi Eyang Saparantu. Kata saparantu berasal dari kata samporang dan ratu, artinya tempat melakukan musyawarah. Eyang Saparantu kemudian menancapkan tongkatnya hingga tumbuh menjadi pohon besar dan berbuah, serta buahnya berkhasiat dan sangat ajaib. Kata saparantu kemudian diabadikan menjadi nama sebuah wilayah, yaitu Kampung Saparantu, serta menjadi nama sebuah pohon, yaitu pohon Saparantu.
3.3.4.2. Alur/Plot Alur dalam cerita ini dapat diskemakan sebagai berikut. R.A. Natamanggala I. dalem Cikadu, terkenal sebagai pemimpin yang arif dan bijaksana, sehingga disayangi rakyatnya. Di daerah, ada seorang pemuda bernama Longgar jaya. Ia bertekad untuk mengembara guna menambah ilmunya. Dalam pengembaraannya ia bersemedi di sebuah gua. Dalam persemediaannya Longgar Jaya didatangi seorang
kakek berpakaian putih-putih dan berjanggut panjang. Longgar Jaya disuruh segera menghentikan pengembaraannya untuk kemudian mengabdi kepada Negara dan mengamalkan ilmunya. Kakek tersebut meninggalkan sebuah tongkat untuk Longgar Jaya.Longgar Jaya menempuh perjalanan hingga sampai di kadaleman Cikadu. Ia mengabdikan diri di situ. Ia diangkat menjadi pengikut Natamanggala I karena dianggap cakap dan jujur. Di akhir hayatnya Longgar Jaya berganti nama menjadi Eyang Saparantu. Nama tersebut diabadikan menjadi nama sebuah daerah, yaitu Kampung Saparantu, dan nama sebuah pohon, yaitu pohon Saparantu. Adapun peristiwa yang dialami oleh Longgar Jaya, yaitu : - ia berniat untuk mengambara – ia bersemedi di sebuah gua – mendapatkan petunjuk – melakukan perjalanan kembalai – tiba di Kabupaten Cikadu – ia mengabdikan diri dan diangkat menjadi pengikut Natamanggala I – Longgar Jaya berganti nama menjadi Eyang Saparantu – nama tersebut diabadikan menjadi nama sebuah daerah dan nama pepohonan. 3.3.4.3. Pelaku/Penokohan Pelaku dalam cerita ini terdiri atas : 1. Natamanggala I, Dalem Cikadu yang terkenal arif dan bijaksana. 2. Longgar Jaya, seorang yang jujur dan cakap serta gemar mencari ilmu dan semedi, pada akhirnya sempat berganti nama menjadi Eyang Saparantu. 3. Kakek, berpakaian putih-putih dan berjanggut panjang, merupakan sosok yang hadir dalam mimpi Longgar jaya ketika sedang bersemedi di sebuah gua. Tokoh utama yang menjadi pusat pengisahan pada cerita ini adalah Lomgar Jaya. Hampir seluruh jalinan cerita dan bagian-bagian peristiwa mengisahkan tokoh
ini bahkan penamaan daerah yang kemudian disebut sebagai Kampung Saparantu, berasal dari nama tokoh ini. Adapun tokoh lainnya seperti Natamanggala I dan kakek tua yang hadir dalam mimpi Loanggar jaya, merupakan tokoh tambahan atau tokoh pembantu.
Latar/Setting Ada beberapa penyebutan nama tempat dalam cerita ini, yaitu : 1. Cibalagung, nama sebuah wilayah yang didalamnya terdapat Kadaleman Cikadu. 2. Cikadu, nama sebuah kadaleman yang dipimpin oleh Natamanggala I. 3. Cirebon, nama sebuah daerah yang menjadi kampong halaman Longgar jaya. 4. Kampung saparantu, yaitu nama sebuah kampong yang penamaannya diambil dari nama Eyang Saparantu alias Longgar jaya. Di samping itu, ada juga penyebutan nama tempat lain yang memiliki arti umum, yaitu hutan, tempat tinggal Longgar jaya dalam pengembaraannya; gua, tempat bersemedinya Longgar Jaya; arah barat, arah mata angin yang harus ditelusuri longgar jaya berdasarkan petunjuk kakek tua dalam mimpinya; kadaleman, tempa tujuan yang harus dicari oleh Longgar Jaya untuk mengabdikan diri. Latar waktu yang disebut dalam cerita ini, antara lain : 1. Malam, yaitu ketika Longgar Jaya menerima ilham atau petunjuk dalam tidur dan mimpiny, agar ia segera menghentikan pengembaraannya dan kemudian mengabdikan diri kepada Negara.
2. siang dan malam, yaitu rentang dan silih bergantinya waktu yang harus dilalui Longgar jaya untuk menemukan sebuah kadaleman guna mengabdikan diri. 3. Akhir hayat, menunjukan akhir masa hidup Longgar jaya, ketika (sebelumnya) dirinya sempat berganti nama menjadi Eyang Saparantu. Gambaran suasana cerita sejak awal hingga akhir relative datar, tanpa ada konflik atau gejolak yang berarti, walaupun tidak dapat dinafikan munculnya suasana tertentu pada bagian cerita tertentu pula, misalnya suasana khusuk dan khidmat ketika Longgar jaya bersemedi di gua dan menerima petunjuk dari kakek tua dalam mimpinya. Suasana lainnya yaitu sikap tenang pada diri Longgar Jaya, baik ketika dia berangkat untuk mengembara maupun ketika dia berhenti semedi untuk kemudian mencari kadaleman guna mengabdikan diri.
Tema dan Amanat Tema pokok yang mewarnai cerita ini adalah pengabdian dan kesejatian hidup, hal tersebut tergambar terutama dari seluruh kisah yang dialami Longgar jaya. Inti pesan yang bisa ditangkap adalah bahwa hidup memang harus berguna. Tidak cukup banyak ilmu, keahlian dan kecakapan, jiak tidak diamalkan dan tidak dirasakan manfaatnya oleh orang banyak. Oleh karena itu, pengabdian merupakan lading amal yang melimpah dan sekaligus mulia, jika dilakukan dengan ikhlas dan penuh kesungguhan. Dan, tentu, keharuman nama setelah seseorang tiada, akan terus mewangi seiring dengan manfaat yang dipetik oleh masyarakat banyak dari
yang pernah diamalkan semasa hidupnya, sehingga pepatah yang menyatakan “gajah mati meninggalakan gading, harimau mati meninggalakan belang‟ merupakan sebuah kado istimewa yang semestinya diterima oleh orang seperti itu, semisal Longgar Jaya.
Sanghyang Tapak (Kp. Babakan Ds. Leuwikoja) 3.3.5.1. Sinopsis Alkisah, seorang tokoh bernama Eyang haji Manggurat Datar, beristrikan Candra Wulan. Sepasang suami istri ini memimpin sebuah wilayah kekuasaan serta memiliki pengaruh sangat kuat di masyarakat. Mereka menjadi pelindung dan tumpuan hati warga. Semasa pemerintahannya, Haji Manggurat Datar memiliki seorang pembantu utama dengan pangkat demang. Orang kepercayaannya tersebut bernama Eyang Demang Candra Manggala. Segala sikap dan tindakan demang inisangat arif, bijaksana, serta mampu menjaga wibawa. Hal tersebut menimbulkan rasa tentram dan kenyamanan bagi warga. Semasa pemerintahannya, Haji Manggurat Datar membuat dua tanda peninggalan, yaitu sebuah batu panjang yang diatasnya terdapat telapak kaki kirinya, sedangkan telapak kai kanannya terdapat pada sebuah pohon. Tapak kai tersebut timbul sebagai titik pijakan ketika Haji manggurat datar terbang menuju Bogor. Di kawasan Bogor pun terdapat tapak kaki Haji Manggurat Datar pada sebuah batu besar. Peninggalan kedua yaitu sebuah batu besar menyerupai kasur. Batu tersebut bekas Candra Wulan, istri Haji Manggurat datar, melahirkan.
Berawal dari peninggalannya tersebut, berupa tapak kaki, Haji Manggurat Datar dijuluki Syanghyang Tapak. Nama tersebut kemudian diabaikan menjadi nama sebuah wilayah yang terletak di tangah hutan. Oleh sebagaian masyarakat, tempat itu dianggap keramat. Untuk mencapai tempat tersebut terlebih dahulu harus mendaki gunung, kemudian melewati semak-semak dan pepohonan besar.
3.3.5.2. Alur/Plot Alur cerita Sanghyang Tapak dapat diskemakan sebagai berikut : Eyang Haji Manggurat Datar bersama Candra Wulan, istrinya, memimpin sebuah wilayah serta memiliki pengaruh sangat kuat di masyarakat. Rakyat merasa terlindungi dan diayomi oleh kepemimpinannya. Haji Manggurat Datar memiliki seorang pembantu utama yaitu Eyang Demang Candra manggala. Haji Manggurat datar membuat dua tanda peninggalan, yaitu telapak kaki dan sebuah batu besar menyerupai kasur, bekas Candra Wulan melahirkan. Berkat peninggalannya tersebut Haji Manggurat datar dijuluki Sanghyang Tapak. Alur kisah ini, seperti rentetan peristiwa yang sering diceritakan warga Desa Leuwikoja, merupakan alur sorot balik. Pengisahan terlebih dahulu menceritakan sebuah lokasi yang disebut Sanghyang Tapak. Tempat tersebut terletak di tengah hutan dengan medan tempuh yang cukup sulit dilalui. Setelah penggambaran tentang daerah Sanghyang Tapak, barulah kisah dimulai dengan menceritakan Ikhwal haji Manggurat Datar berkaitan dengan kiprahnya dalam mengelola daerah kekuasaannya yang dipandang sangat berhasil, karena di samping sikapnya yang arif dan bijaksana, juga mampu menjadikan daerahnya makmur dan sejahtera.
Setelah penjabaran cerita itu, ditimpali dengan kisah berikutnya tentang pemberian gelar Sanghyang Tapak kepada Haji Manggurat Datar, dengan latar belakang bahwa Haji Manggurat Datar telah meninggalkan beberapa bekas telapak kakinya di beberapa tempat.
3.3.5.3. Pelaku/Penokohan Beberapa pelaku yang menggerakan cerita Sanghyang Tapak, yaitu : 1. Haji Manggurat Datar, seorang yang arif dan bijaksana, yang mampu membawa rakyatnya menjadi makmur dan sejahtera, dijuluki sebagai Sanghyang Tapak. 2. Candra Wulan, istri Haji manggurat Datar, yang turut menjadikan daerah pimpinan Haji Manggurat Datar menjadi tentram. 3. Eyang Demang Candra Manggala, orang kepercayaan Haji Manggurat Datar berpangkat demang. 4. Rakyat, pelaku kolektif, masyarakat yang dipimpin oleh Haji Manggurat Datar.
3.3.5.4. Latar/Setting Latar tempat sebagai arena berlangsungnya peristiwa cerita dalam legenda Sanghyang Tapak antara lain : 1. Hutan, tempat (beradanya0 sebuah kawasan yang disebut Sanghyang Tapak sebagai tempat yang dianggap keramat.
2. Gunung, kawasan yang mengitari wilayah Sanghyang Tapak, jalan yang harus dilalui menuju Sanghyang Tapak. 3. Bogor, nama tempat yang dituju Haji Manggurat Datar dengan cara terbang, serta meninggalkan sebuah jejak di tempat tersebut, yaitu sebuah tapak kaki. Tidaka ada penyebutan latar waktu dalam cerita ini, sedangkan suasana cerita berlangsung dalam sebuah kedaan yang tentram, adem, dan tenang. Hal tersebut antara lain disebabkan karena Haji Manggurat Datar yang dibantu Eyang Demang Candra Manggala, memerintah dan mengelola wilayahnya dengan arif dan bijaksana, sehingga ketentraman, kemakmuran dan kesejahteraan dapat tercipta.
Tema dan Amanat Tema dan sekaligus amanat yang diusung ini adalah pemerintahan yang adil dan makmur, dengan berlandaskan kepada sikap pemimpinnya yang arif dan bijaksana. Menghormati sesame dan menyayangi seluruh rakyatnya, merupakan, merupakan cerminan figure seorang pemimpin yang layak menjadi panutan rakyatnya, seperti tergambar dalam prilaku Haji Manggurat Dtar beserta istrinya, Candra Wulan, serta Eyang Demang Candra Manggala, seorang demang, orang kepercayaan Haji Manggurat Datar.
Surya Kancana (Kec. Cikalong Wetan) 3.3.6.1. Sinopsis Prabu Siliwangi mempunyai anak bernama Mundingsari. Mundingsari mempunyai anak diberinama Mundingsari Leutik. Mundingsari Leutik mempunyai
anak bernama Pucuk Umum, yang tinggal di Banten Girang. Pucuk Umum mempunyai anak bernama Sunan Parnggangsa. Putra sulung Sunan Parunggangsa seorang laki-laki bernama Sunan Wanafsi. Sunan Wanafsi menjadi raja di Talaga (Majalengka). Ia mempunyai anak di antaranya Sunan Ciburang. Sunan Ciburang terkenal dengan kesaktiannya, ia kebal terhadap senjata tajam serta taat beribadat. Sunan Ciburang mempunyai anak bernama Raden Arya. Raden Arya terkenal sebagai orang yang taat beragama. Suatu hari ia meninggalkan ayahnya untuk berkelana menuju arah barat, hingga akhirnya sampai di Sagaraherang. Sambil bermukim di sana, ia terus memperdalam ilmu agama. Kemudian ia mempunyai seorang anak yang diberi nama Arya Wiratanudatar. Kelak, dialah yang menjadi Dalem Cikundul. Arya Wiratanundatar tumbuh menjadi dewasa sebagai seorang anak laki-laki yang gagah, tampan, dan suka bertapa. Benyak perempuan yang mengharapkan dirinya, tap selalu ditolak. Suatu ketika ia bertapa di atas Batu Agung (Pucuk Batu Agung) dengan khusuk tanpa tergoda, siang malam senantiasa memuji Tuhan. Ada tiga hal yang diinginkannya dari tapa tersebut, yaitu ingin diberi ketetapan hati dalam keimanannya, ingin mendapatkan kebahagiaan di alam baqa, dan ingin mendapatkan keturunan yang kelak menjadi pemimpin Negara. Selesai bertapa selama empat puluh malam, datanglah seorang wanita yang sangat cantik, yang membuat Arya Wiratanudatar merasa tak percaya atas yang dilihatnya, sebab baru kali itu ia melihat wanita secantik itu. Kemudian ia bertanya tentang nama, alamat, dan tujuan perempuan itu mendatanginya. Tanpa tedeng
aling-aling perempuan tersebut menjelaskan jati dirinya, bahwa dia seorang putrid jin bernama Indang Sukesih, dengan maksud hendak menyerahkan diri untuk menjadi istri Wiratanudatar. Akhirnya pernikahan terjadi, Arya Wiratanudatar masuk kea lam jin. Dari pernikahan ini Wiratanudatar mempunyai dua orang anak, yaitu Indang Kancana dan Surya Kancana. Kedua anak ini tumbuh dengan baik, tetapi sangat nakal sehingga orang tuanya kewalahan. Oleh sebab itu, keduanya dibuang, Indang Kancana dilemparkan kea rah timur dan jatuh di Gunung Kumbang, sedangkan Surya Kancana dilemparkan kea rah selatan dan jatuh di Gunung Gede.
3.3.6.2. Alur/Plot Alur cerita Surya Kancana dapat diskemakan menjadi sebagai berikut. Raden Arya Wiratanudatar, Dalem Cikundul, merupakan keturunan kedelapan dari Prabu Siliwangi. Dia seorang pertapa dan taat beragama. Ketika menginjak dewasa dia merupakan seorang lelaki yang tamoan dan gagah. Banyak perempuan yang ingin diperistri. Dalam sebuah pertapaan dia di datangi seorang perempuan dari negeri kajinan, Indang Sukesih. Arya Wiratanudatar menikah dengan Indang Sukesih di Negara jin. Mereka mempunyai anak dua, Indang Kancana dan Surya Kancana. Kedua anaknya tersebut sangat nakal. Indang Sukesih dan Wiratanudatar kewalahan mengurus anaknya tersebut. Anaknya dibuang. Indang Kancana ke Gunung Kumbang dan Surya Kancana ke Gunung Gede. Alur yang digunakan dalam cerita ini merupakan alur maju. Cerita ini dimulai dengan silsilah keluarga, mulai dari Prabu Siliwangi sampai Aria Wiratanudatar,
sampai akhirnya mempunyai anak Surya Kancana. Alur kisah ini sangat linear sehingga mudah diikuti, walaupun ada kemungkinan pendengar atau pembaca cerita akan mempunyai kesulitan dalam mengingat nama tokoh-tokoh, terutama tokohtokoh keturunan Prabu Siliwangi yang cukup banyak disebutkan dalam kisah ini.
3.3.6.3. Pelaku/Penokohan Nama pelaku dalam legenda Surya Kancana adalah sebagai berikut : 1. Prabu Siliwangi, merupakan titik tolak pengisahan, sebagai leluhur dari tokohtokoh dalam cerita ini. 2. Mundingsari, putra Prabu Siliwangi. 3. Mundingsari Leutik, putra Mundingsari. 4. Pucuk Umum, putra Mundingsari Leutik, tinggal di Banten Girang. 5. Sunan Parunggangsa, putra Pucuk Umum 6. Sunan Wanafsi, raja Talaga, putra sulung Sunan Parunggangsa. 7. Sunan Ciburang, putra Sunan Wanafsi, terkenal sakti, ia kebal terhadap senjata tajam dan sangat taat beribadah. 8. Raden Arya, putra Sunan Ciburang, seorang yang taat beragama dan seorang pertapa. 9. Arya Wiratanudatar, putra Raden Arya, Dalem Cikundul, menikah dengan putrid jin, Indang Sukesih. 10. Indang Sukesih, putri kajinan, istri Arya Wiratanudatar. 11. Indang Kancana, anak Wiratanudatar dari Indang Sukesih, sangat nakal. 12. Surya Kancana, anak Wiratanudatar dari Indang Sukesih, sangat nakal.
Tokoh yang paling banyak dikisahkan dalam legenda ini adalah Arya Wiratanudatar, sejak dia remaja dan rajin bertapa, samapai menemukan jodohnya dengan putrid jin. Oleh sebab itu, wlaupun yang diangkat menjadi bahan cerita ini adalah tokoh Surya Kancana, tetapi segala latar belakang kehidupan Arya Wiratanudatar paling menonjol dan banyak dikedepankan, karena persoalan tersebut sekaligus merupakan latar belakang kelahiran dan kehidupan Surya Kancana. Hal tersebut malah menjadi simpul yang dapat dinurut: mengapa Surya Kancana lahir? Dan turunan darimana dia? Serta mengapa pula perilakunya sangat nakal sehingga perlu diasingkan ke Guinung Gede?. Adapun tokoh lainnya yang cukup banyak jumlahnya, mulai dari prabu Siliwangi hingga Raden Arya, memiliki peranan yang relative sama dalam jalinan peristiwa cerita. Mereka hanyalah pelaku pelengkap dan tambahan, yang berfungsi mendukung dan mengukuhkan posisi pelaku utama.
3.3.6.4. Latar/Setting Beberapa nama tempat sempat disebutkan dalam legenda ini, antara lain : 1. Pajajaran, nama sebuah kerajaan di Tatar Sunda yang dalam legenda ini rajanya bernama Prabu Siliwangi. 2. Banten Girang, tempat tinggalnya Prabu Pucuk Umum, anaknya Mundingsari Leutik. 3. Talaga, nama sebuah kerajaan kecil yang terletak di Majalengka. 4. Barat, arah mata angina sebagai arah jalan yang harus ditempuh oleh Raden Arya.
5. Sagaraherang, tempat bermukim (sementara) Raden arya. 6. Cikundul, yaitu suatu daerah administrative (kadaleman) yang terletak di wilayah Cianjur. 7. Gunung Kumbang, tempat dibuang atau diungsikannya Indang Kancana. 8. Gunung Gede, tempat dibuangnya Surya kancana. Tidak terdapat dan tidak disebutkan latar waktu dalam cerita ini, tetapi suasana cerita jelas tergambar sepanjang jalan cerita. Ada suasana khusuk dan khidmat, seperti adegan bertapa, ada juga suasana jengkel, misalnya ketika Arya Wiratanudatar dan Indang Sukesih menghadapi kenakalan Surya Kancana dan Indang Kancana.
3.3.6.5. Tema dan Amanat Tema yang diangkat dalam legenda ini yaitu tentang silsilah keturunan yang berimplikasi terhadap pemegang kekuasaan di sebuah kerajaan. Sebuah legitimasi rupanya menjadi suatu hal yang sangat penting, karena berkaitan dengan imej atau citra seseorang di masyarakat. Oleh sebab itu tak pelak jika mengurai asal muasal atau silsilah seorang penguasa atau raja, puncaknya dapat ditentukan akan mengambil simpul keturunan dari Prabu Siliwangi, seperti pada legenda ini. Tema cerita tersebut sekaligus menyiratkan amanat, bahwa jika dalam sebuah rantai ada yang berprilaku ganjil, maka ia hendaknya rela menjalani hukuman, seberat apapun, sesuai serta sebanding dengan tingkat kesalahannya, seperti diasingkannya Indang kancana dan Surya Kancana karena dianggap terlalu nakal oleh ibu-bapaknya.
Kadaleman Cikadu (Kp. Cikadu, Ds. Jamali, Kec. Mande) 3.3.7.1. Sinopsis Cikadu merupakan sebuah wilayah yang terletak di daerah Cibalagung, dengan dalemnya Raden Aria Natamanggala, seorang yang gagah perkasa, cicit Sunan Wanafri Cirebon dan cucu Pangeran Girilaya. Semenjak remaja hingga dewasa, Natamanggala mempunyai kebiasaan mengembara dan bertapa. Dalam sebuah semedinya, ia mendapat petunjuk harus berangkat kea rah timur, maka sampailah ia ke Kerajaan Mataram. Setiap ia singgah di suatu tempat, ia selalu mengganti namanya, mula-mula ia mengganti namanya dengan Babad Angsa, kemudian ganti lagi menjadi Babad Kinayungan. Sesampainya di Mataram, ia mengabdikan diri di situ, sambil ditugaskan menyebarkan agama Islam. Walupun ia dipercaya, ia tidak merasa puas, tetapi ingin mengembara lagi. Kemudian ia laksanakan niatnya tersebut ketika pulang dari sebuah kegiatan penyebaran agama, ia tidak pulang ke Mataram, melainkan langsung meloloskan diri kea rah barat, hingga sampai di kadaleman Cipamingkis (Bogor sekarang) yang dipimpin oleh Eyang Cipamingkis, pamannya sendiri. Setelah lama tinggal di kadaleman, Natamanggala dinikahkan dengan putrid dalem, kemudian ia disuruh mencari tempat untuk membuka kadaleman baru. Sampailah Natamanggala dan istri di sebuah hutan. Kemudian ia membuka hutan tersebut menjadi sebuah perkampungan (Cikadu sekarang), dan berdatanglah orang-orang untuk bermukim di daerah itu.
Suatu hari ia kedatangan sembilan orang Bugis, pelarian dari Cipamingkis. Orang-orang tersebut pernah mengacau di Cipamingkis karena gagal mendapatkan pusaka dalem dan urung niatnya untuk memperistri putri dalem. Maksud kedatangan mereka pun tiada lain untuk meminta kembali putrid dalem. Tentu saja Kinayungan geram, hingga akhirnya terjadi pertarungan, dan orang-orang Bugis tersebut dapat dikalahkan dengan senjata pusaka Dalem Cipamingkis. Seusai pertarungan, Kinayungan bermaksud mengembalikan pusaka tersebut kepada Dalem Cipamingkis, tetapi malah dihadiahkannya kepada istrinya. Setelah peristiwa itu, Kinayungan meneruskan pembangunan Cikadu hingga menjadi kadaleman yang besar dan makmur. Demikian juga penyebaran agama Islam sangat pesat di kadaleman ini. Tersiarlah kabar ke Mataram bahwa ada sebuah kadaleman baru yang dipimpin oleh Kinayungan. Alangkah tersinggungnya sultan, kemudian ia mengirimkan utusannya untuk menangkap Babad Kinayungan. Ketika utusan tiba di Cikadu, Kinayungan segera tahu dan segeralah ia mengganti namanya menjadi Prabu Sacakusumah, maka niscaya orang yang dicari oleh utusan tersebut yaitu babad Kinayungan tidak terdapat di cikadu, maka kembalilah utusan itu ke Mataram. Dari Mataram utusan tersebut disuruh kembali ke Cikadu untuk menangkap Prabu Sacakusumah. Kabar itupun segera sampai kepada Prabu Sacakusuma, maka segeralah ia mengganti namanya menjadi Sukma Muda. Ketika utusan sampai dan mencari nama Prabu Sacakusumah, tidak ia dapatkan di Cikadu, maka kembalilah ia ke Mataram. Dari Mataram ia disuruh kembali dan harus menangkap Sukma Muda, karena Sukma Muda diyakini sebagai Babad
Kinayungan. Kali ini Natamanggala tidak dapat mengelak, ia hanya berpesan bahwa ia akan dating ke Mataram dengan dikirimnya sebuah tombak pusaka dari Mataram. Dengan mengendarai tombak pusaka tersebut pergilah Natamanggala ke Mataram. Sesampainya di kadaleman ia tidak disambut dengan kemarahan, melainkan dengan penuh rasa senang dan keramahan Sultan. Kemudian ia diajak berbincang tentang asal-usul dan silsilah, yang ternyata ia memiliki tali persaudaraan dengan Sultan. Setelah itu Kinayungan diberi gelar menjadi Aria Natamanggala I. kemudian ia kembali lagi ke Cikadu. Dala menjalankan roda pemerintahannya, Natamanggala I dibantu oleh dua orang patih, yaitu Eyang Singkerta dan Eyang Singakerti, serta seorang penasehat, yaitu Kiai Penghulu Muhammad Soleh. Dibawah kepemimpinannya, kadaleman Cikadu berkembang sangat pesat, sampai akhiranya Natamanggala I wafat, dan dimakamkan di Cikadu, sehingga terkenal dengan sebutan Dalem Cikadu.
3.3.7.2. Alur/Plot Alur cerita Sasakala Kadaleman Cikadu dapat diskemakan sebagai berikut Raden Aria Natamanggala merupakan cucu Pangeran Girilaya atau cicit Sunan Wanafri Cirebon. Kesukaannya adalah mengembara dan bertapa. Ia mendapatkan petunjuk untuk pergi kea rah timur. Mengabdi di Kerajaan Mataram. Ia sempat mengganti namanya menjadi Babad Angsa, kemudian ganti lagi menjadi Babad Kinayungan.
Ia minggat dari mataram. Pergi ke kadaleman Cipamingkis. Nikah dengan putrid dalem. Mendirikan kadaleman baru (Cikadu). Dating sembilan orang BVugis hendak mengambil istrinya. Terjadi pertarungan. Orang-orang Bugis tewas. Cikadu menjadi kadaleman yang besar dan makmur. Sultan Mataram mengetahui keberadaan Kinayungan dengan kadaleman barunya. Sultan mengirimkan utusan menangkapnya. Kinayungan mengganti nama menjadi Prabu Sacakusumah. Utusan tidak menemukan Kinayungan dan kembali ke Mataram. Utusan kembalkai dating untuk menangkap Prabu Sacakusumah. Kinayungan mengganti namanya lagi menjadi Sukma Muda. Utusan tidak menemukan Prabu Scakusumah dan kembali ke Mtaram. Utusan dating lagi untuk menangkap
Sukma
Muda
karena
diyakini
sebagai
babad
Kinayungan.
Natamanggala tidak dapat mengelak. Ia dating ke Mataram dengan menunggangi tombak pusaka. Ia ternyata memiliki tali persaudaraan dengan sultan. Ia diberi gelar Natamanggala I.
3.3.7.3. Pelaku/Penokohan Tokoh atau pelaku pada cerita ini adalah : 1. Natamanggala, demang Cikadu, seorang petapa dan gemar mengembara, sering berganti nama diantaranya menjadi Babad Angsa, Babad Kinayungan, Prabu Sacakusumah, dan Sukma Muda. 2. Sunan Wanafri, buyut Natamanggala. 3. Pangeran Girilaya, kakek Natamanggala. 4. Eyang Cipamingkis, paman Natamanggala.
5. Putri dalem, istri Natamanggala, anak Eyang Cipamingkis. 6. Sultan, raja Mataram. 7. Hulubalang, utusan Sultan Mataram untuk menangkap Natamanggala. 8. Eyang Singakerta, patih Kadaleman Cikadu. 9. Eyang Singakerti, patih Kadaleman Cikadu. 10. Kyai Penghulu Muhammad Soleh, penasehat Kadaleman Cikadu. 11. Orang Bugis, berjumlah sembilan orang, buronan yang pernah mengacau di Kadaleman Cipamingkis.
3.3.7.4. Latar/Setting Beberapa nama temapat yang disebutkan dalam cerita ini adalah : 1. Cikadu, sebuah kadaleman yang terletak di kawasan Cibalagung (Kec. Mande). 2. Cirebon, tempat asal Sunan Wanafri. 3. Kerajaan Mataram, sebuah kerajaan yang dikunjungi natamanggala berdasarkan petunjuk dalam semedinya. 4. Cipamingkis, sebuah kadaleman (sekarang Bogor) yang dipimpin oleh Eyang Cipamingkis, paman Natamanggala. 5. Gua dan Hutan, tempat mengembara dan bertapanya Natamanggala. 6. Arah timur, arah perjalanan yang harus ditempuh oleh Natamanggala berdasarkan petunjuk semedinya. Seperti pada legenda lainnya, tidak ada penyebutan latar waktu dalam keseluruhan jalinan cerita. Seluruh peristiwa walaupun berlangsung dalam hitungan tahunan, semenjak Natamanggala remaja hingga beristri dan menjadi dalem Cikadu,
tapi secara eksplisit tidak terdapat keterangan waktu, baik penyebutan nama hari, bulan, maupun tahun, juga tidak disebutkan terjadinya peristiwa cerita yang merujuk pada keterangan waktu seperti pagi, siang, malam, dan lainnya. Suasana cerita yang tergambar dalam legenda ini cukup beragam, ada suasana khusuk dan khidmat, yaitu ketika Natamanggala bersemadi, ada suasana tertantang dan penasaran, yaitu ketika Natamanggala kabur dari Mataram, ada pula suasana marah dan garam, yaitu ketika Natamanggala disatroni sembilan orang Bugis yang hendak mengambil istrinya hingga terjadi pertarungan yang menewaskan sembilan orang Bugis tersebut, ada juga suasana tegang dan was-was, yaitu ketika Natamanggala dicari dan hendak ditangkap oleh hulubalang utusan Sultan, serta ada suasana senang dan gembira, yaitu ketika diketahui bahwa silsilah Natamanggala dan Sultan Mataram ternyata memiliki pertalian persaudaraan.
3.3.7.5. Tema dan Amanat Pokok cerita yang menjiwai seluruh peristiwa dalam leginda ini adalah berpadunya antara jiwa petualang dan petapa dengan tekad untuk mengabdi serta keteguhan hati untuk mempertahankan dan menjaga harga diri. Hal tersebut tergambar semenjak Natamanggala bersemedi, kemudian mengabdi ke Mataram dan kembali kabur untuk bertualang, mengabdikan diri di kadaleman Cipamingkis, serta bertarung dengan sembilan orang Bugis yang hendak merampas istrinya, hingga menewaskan orang Bugis tersebut.
Eyang Jambalan (Kp. Jamali, Ds. Jamali. Kec. Mande) 3.3.8.1. Sinopsis Setelah Natamanggala I wafat, pimpinan kadaleman dilanjutkan oleh putranya, yaitu Natamanggala II. Dia memerintah sangat arif dan bijaksana. Di samping memfokuskan pada bidang pemerintahan, juga melanjutkan program ayahnya, yaitu syiar agama. Dalam melaksanakan tugasnya, Natamanggala II dibantu oleh dua orang Patih, yaitu Eyang Patih Mangku Nagara dan Eyang Patih Manggung Nagara. Selama pemerintahannya, kedaleman Cikadu pernah disatroni tujuh orang Bugis yang hendak membalas dendam atas kematian rekannya sewaktu bertarung dengan Natamanggala I. oaring Bugis tersebut maksudnya hendak mencari Natamanggala I, tetapi karena sudah wafat, rasa dendam tersebut mereka lampiaskan kepada putranya, Natamanggala II. Betapa murka kedua patihnya mendengar tantangan dari orang Bugis itu. Mereka bersiaga untuk menghadang tantangan tersebut, tetapi Natamanggala II melarangnya karena dia dianggap bahwa dendam tersebut ditunjukan kepada ayahnya, dan bahwa ayahnya telah wafat, maka putranyalah yang harus menanggungnya. Natamanggala II segera melesat ke suatu tempat yang sekarang disebut Jamban, diikuti ketujuh orang Bugis. Pertarungan berlangsung cukup lama, namun
akhirnya orang-orang Bugis tersebut kewalahan dan tewas. Konon ceceran darah mereka masih terlihat segar di daerah Jamban sampai tahun tiga puluhan. Setelah itu, Natamanggla II meneruskan pembangunan kadaleman disertai dengan syiar Islam, sehingga banyak bermunculan pondok-pondok pesantren, di antaranya di Kanayakan yang dipimpin oleh Kyai Haji Muhammad Soleh atau dikenal Eyang Kanayakan. Natamanggala II wafat pada usia lanjut. Ia dimakamkan di Cibalagung. Kecamatan Mande, sesuai keinginannya. Kini ia dikenal dengan sebutan Eyang Jamban.
3.3.8.2. Alur/Plot Alur cerita Eyang Jamban dapat diskemakan sebagai berikut. Natamanggala I wafat. Pimpinan kadaleman dilanjutkan Natamanggala II. Dia dibantu oleh dua orang Patih, yaitu Eyang Patih Mangku Nagara dan Eyang Patih Manggung Nagara. Dating tujuh orang Bugis yang hendak membalas dendam atas kematian rekannya sewaktu bertarung dengan rekannya sewaktu bertarung dengan Natamanggala I. kedua patih hendak menghadangnya. Natamanggala II menghadapinya seorang diri. Ketujuh orang Bugis tersebut tewas. Ceceran darahnya terlihat segar di daerah Jamban sampai tahun tiga puluhan. Natamanggala II meneruskan pembangunan kadaleman dan syiar Islam. Bermunculan pondok-pondok pesantren, di antaranya di Kanayakan yang dipimpin oleh Kyai Haji Muhammad Soleh atau dikenal Eyang Kanayakan. Natamanggala II wafat, dimakamkan di Cibalagung Kecamatan mande. Kini ia dikenal dengan sebutan Eyang jamban.
Peristiwa yang dialami Natamanggala II meliputi : - naik tahta menjadi dalem menggantikan ayahnya – dia menjalankan pemerintahan dengan arif dan bijaksana – dating tujuh orang Bugis yang hendak membalas dendam – kedua patihnya bermaksud menghadangnya – Natamanggala II menghadapinya sendiri – ketujuh orang Bugis tersebut tewas – Natamanggala II melanjutkan pembangunan kadaleman dan syiar agama – bermunculan pondok pesantren termasuk di Kanayakan – Natamanggala II wafat – dimakamkan di Cibalagung – ia dikenal dengan sebutan Eyang Jamban. Alur cerita legenda Eyang Jamban merupakan alur maju. Cerita dimulai ketika Natamanggla I, kemudian datang orang Bugis yang hendak membalas dendam sampai akhirnyamereka tewas, Natamanggala II meneruskan pembangunan di akdaleman, hingga akhirnya dia wafat. Munculnya kelompok orang bugis yang hendak membalas dendam, merupakan „penyedap‟ cerita yang memberikan rasa „pedas‟ pada legenda ini, sehingga ceritanya tidak datar, apalagi dalam mengatasinya, Natamanggala II mengahadapinya secara kesatria. Hal tersebut mampu memberikan rasa takjub dan tamasya pada batin pembaca atau apresiator kisah ini.
3.3.8.3. Pelaku/Penokohan Tokoh atau pelaku pada cerita ini adalah sebagai berikut : 1. Natamanggala I, Dalem Cibalagung, ayah Natamanggala II. 2. Natamanggala II, penerus tahta kadaleman Cibalagung, seoranmg pemimpin yang berjiwa kesatria, dijuluki sebagai eyang Jamban.
3. Eyang Patih Mangku nagara, Patih Kadaleman Cibalagung masa Pemerintaha Natamanggala II. 4. Eyang Patih Manggung Nagara, Patih Kadaleman Cibalagung masa Pemerintaha Natamanggala II. 5. Kyai Muhammad Soleh, penasehat kadaleman sejak masa pemerintahan Natamanggala I, pemimpin Pondok Pesantren Kanayakan, disebut juga Eyang Kanayakan. 6. Tujuh orang Bugis, merupakan kawan dari sembilan orang bugis yang tewas ketika bertarung melawan Natamanggala I. Pusat pengisahan dan tokoh utama pada cerita ini adalah Natamanggala II. Adapun tokoh-tokoh lainnya seperti Natamanggala I, Eyang Patih Mangku Nagara, dan Kyai Muhammad Soleh, merupakan tokoh pembantu atau tokoh tambahan. Berdasarkan watak dan perilakunya, Natamanggala II merupakan tokoh protagonist. Ia merupakan sosok yang memperjuangkan hak dan nilaki kebenaran, sedangkan tujuh orang Bugis merupakan tokoh antagonis, yang datang ke Kadaleman Cibalagung dianggap ingin mengacau, yaitu membalas dendam atas kematian sembilan orang rekannya pada masa pemerintahan Natamanggala I.
3.3.8.4. Latar/Setting Beberapa nama tempat yang disebutkan dalam kisah ini adalah : 1. Cibalagung, kedaleman yang dipimpin oleh Natamanggala II atau Eyang Jamban. 2. Jamban, tempat bertarungnya antara Natamanggala II dengan tujuh orang Bugis.
3. Kanayakan, (kawasan) Pondok Pesantren yang dipimpin oleh Kyai Muhammad Soleh alias Eyang kanayakan Suasana yang tergambar dalam cerita ini antara lain rasa kemarahan dan geram dari Eyang Patih Mangku nagara dan Eyang Patih Manggung nagara, ketika ke Cibalagung datang tujuh orang Bugis yang hendak membalas dendam. Selain itu, juga ada suasana semangat dan rasa damai di masyarakat ketika mereka melakukan pembangunan di kadaleman, termasuk membangun pondok-pondok pesantren. Tidak terdapat penyebutan latar waktu, baik hari, bulan, tahun, jam dan yang lainnya dalam cerita ini.
Tema dan Amanat Ide pokok dalam cerita cerita ini adalah tentang rasa tanggung jawab yang diwujudkan dalam bentuk pengabdian dan kepemimpinan. Hal tersebut terutama tergambar dalam tokoh Natamanggala II. Bahwa mengemban suatu kepercayaan, terutama menjadi pemimpin, hendaknya dilakukan dengan baik dan benar sesuai dengan aturan dan norma serta bersandar kepada ajaran agama. Dengan demikian, pembangunan yang dilakukan, khususnya di Kadaleman Cibalagung, disamping mengejar segi jasmaniah –material, juga aspek rihaniah-spiritual. Hal tersebut di antaranya terwujud selain masyarakat menjadi makmur dan damai, juga merasa tentram dan damai, juga merasa tentram dan tenang. Hal lainnya yang tergambar dari cerita ini adalah bahwa rasa tanggung jawab tidak bisa dilemparkan kepada pihak lain, tetapi harus dihadapi sendiri apapun resikonya. Hal tersebut tergambar ketika ke Cibalagung datang orang Bugis yang
hendak membalas dendam kepada Natamanggala I, dan ternyata telah wafat, maka Natamanggala II sebagai putranya dengan mantap dan siap menghadapinya, walupun patihnya menghalangi dan mengkhawatirkan keselamatannya. Dalam al ini Natamanggala II beranggapan bahwa dendam yang ditunjukan kepada ayahnya, tentu saja harus dihadapi oleh putranya, bukan oleh orang lain. Dari peristiwa itu terlihatlah rasa tanggung jawab pribadi Natamanggala II sebagai dalem Cibalagung, yang tidak mengorbankan orang lain untuk keselamatan dirinya, melainkan menghadapi berbagai ancaman dari luar dengan jiwa ksatria.
Dalem Pulo (Kp. Kaum Kaler Ds. Kademangan) 3.3.9.1. Sinopsis Kadaleman Cibalagung berakhir ketika masa pemerintahan Natamanggala IV. Ketika itu wilayahnya meliputi bagian barat Muka Cianjur, bagian timur Sungai Citarum, bagian selatan Cirata Kec. Karang Tengah, dan Bagian utara daerah Nyampay Kabupaten Cianjur. Pemerintahan Natamnggala IV dibantu oleh dua orang patih, yaitu Eyang Nurbayan dan Eyang Nurbayin, serta penasehat kadaleman yaitu Kyai Panghulu Muhammad Sobari. Pada masa pemerintahan Natamanggala IV terjadi “Perang Pangawelan”, yaitu perang melawan Cina. Pada waktu yang telah ditentukan, yaitu hari Sabtu, Natamanggala IV beserta balatentaranya menyerbu Cina yang berada di wilayah utara, padahal di Cibalagung ada kepercayaan pantangan bahwa hari sabtu tidak
boleh pergi kea rah utara, jika hal tersebut dilakukan sama dengan menjemput malapetaka. Natamanggala mempunyai delapan orang putra. Ketika dia wafat, putranya tersebut masih kecil-kecil, sehingga tidak ada yang meneruskan pemerintahan di kadaleman. Akhirnya kadaleman Cibalagung runtuh kerena tidak ada penerusnya. Natamanggala IV dimakamkan di daerah Pulo Cibalagung, sehingga disebut Dalem Pulo.
3.3.9.2. Alur/Plot Alur cerita Dalem Pulo dapat diskemakan sebagai berikut. Kedaleman Cibalagung diperintah oleh Natamanggla IV. Wilayahnya meliputi bagian barat derah muka Cianjur, bagian timur Sungai Citarum, bagian selatan Cirata Kec. Karang Tangah, dan bagian utara derah Nyampay Kabupaten Cianjur. Natamanggala IV dibantu oleh patih Eyang Nurbayan dan Eyang Patih Nurbayin, serta penasehatnya Kyai Penghulu Muhammad Sobari. Terjadi “Perang Pangawelan”, perang melawan Cina. Pasukan Natamanggala IV menyerbu Cina di wilayah utara pada hari sabtu. Di Cibalagung ada pantangan bahwa pada hari sabtu tidak boleh pergi kea rah utara. Natamanggala IV mempunyai delapan orang putra. Putranya masih kecil-kecil. Natamanggala IV wafat. Tidak ada yang meneruskan di kadaleman. Kadaleman Cibalagung runtuh. Alur cerita Dalem Pulo merupakan alur sorot balik. Cerita dimulai dengan kisah runtuhnya Kadaleman Cibalagung. Setelah itu dinarasikan berbagai keadaan
dan peristiwa yang terjadi di kadaleman, mulai dari batas-batas wilayah, struktur pemerintahan, perang melawan Cina, pantang orang Cibalagung, struktur pemerintahan, putra Natamanggala IV yang masih kecil-kecil, tidak ada regenerasi di kadaleman, sampai melingkar kembali pada peristiwa runtuhnya Kadaleman Cibalagung. Konflik cerita terletak pada peristiwa perang melawan Cina, walaupun situasi berlangsungnya peristiwa tersebut tidak digambarkan sama sekali, sehingga kurang memainkan emosi pembaca ataui apresiator. Hal yang ditonjolkan malah pantangan orang Cibalagung yang tidak boleh berpergian pada hari sabtu kea rah utara, sehingga seolah-olah penyerbuan terhadap Cina yang dilakukan pada hari sabtu merupakan penyebab runtuhnya Kadaleman Cibalagung.
3.3.9.3. Pelaku/Penokohan Tokoh dalam legenda ini adalah : 1. Natamanggala IV, Dalem terakhir di kedaleman Ciabalagung. 2. Eyang
Nurbayan,
Patih
Kadaleman
Cibalagung
masa
Pemerintahan
Patih
Kadaleman
Cibalagung
masa
Pemerintahan
Natamanggala IV. 3.
Eyang
Nurbayin,
Natamanggala IV. 4. Kyai Penghulu Muhammad Sobari, penasehat Kadaleman Cibalagung masa Pemerintahan Natamanggala IV. Tokoh utama yang menajadi pusat pengisahan dalam legenda ini adalah Natamanggala IV, sedangkan tokoh-tokoh lainnya merupakan tokoh pembantu atau
tokoh tambahan. Oleh sebab itu, segala peristiwa yang terjadi pada kisah ini berasal dan bermuara pada diri Natamanggala IV.
3.3.9.4. Latar/Setting Beberapa latar tempat yang disebutkan dalam legenda ini adalah sebagai berikut 1. Cibalagung, merupakan wilayah kadaleman. 2. Muka Cianjur, batas sebelah barat kadaleman Cibalagung. 3. Sungai Citarum, batas sebelah timur kadaleman Cibalagung. 4. Cirata Kec./ karang Tengah, batas sebelah selatan kadaleman Cibalagung. 5. Nyampai, batas sebelah utara kadaleman Cibalagung 6. Pulo,
nama
tempat
di
wilayah
Cibalagung,
tempat
dimakamkannya
Natamanggala IV sehingga dikenal sebagai Dalem Pulo. 7. Utara, merupakan arah mata angina yang tidak boleh dituju oleh warga Cibalagung pada hari sabtu, sebab diyakini dapat mendatangkan malapetaka. Suasana yang tergambar dalam cerita ini di antaranya suasana korban perang atau semangat perjuangan/patriotisme, terutama pada adegan “Perang Pangawelan”. Selain itu, juga ada suasana mistis atau aura supranatural, yaitu pada pendeskripsian pantangn atau larangan tidak boleh berpergian kea rah utara pada hari asbtu bagi warga Cibalagung. Suasana lain adalah keprihatinan, yaitu ketika Natamanggala IV wafat, sedangkan anak-anaknya masih kecil, maka tidak ada yang meneruskan memegang kekuasaan di kedaleman Cibalagung. Hal tersebut telah menimbulkan runtuhnya kadaleman karena tidak ada regenerasi kepemimpinan.
3.3.9.5. Tema dan Amanat Pokok cerita yang diangkat dalam legenda ini adalah masalah regenerasi kepemimopinan, khususnya di kedaleman. Tampak kepemimpinan yang diturunkan secara hirarkis, kekeluargaan, pada akhirnya menemukan jalan bubntu, karena putra dalem yang seharusnya naik tahta, ternyata belum cukup usia. Keadaan demikian bukan hanya telah menimbulkan stagnasi kepemimpinan, tetapi malah dapat menimbulkan prahara, yaitu runtuh atau bubarnya kadaleman. Dalam hal ini, pemilihan kepemimpinan yang dilakukan secara demokratis lebih dapat menjamin keberlangsungan sebuah system pemerintahan, dibandingkan dengan system pewarisan kekuasaan. Ide cerita lain yang terlontar dalam legenda ini adalah tentang mitos atau kepercayaan masyarakat. Hal tersebut tergambar dari keyakinan warga Cibalagung bahwa tidak boleh pergi ke arah utara pada hari sabtu. Keyakinan tersebut dikontraskan dengan terjadinya penyerangan atau perang melawan Cina di wilayah utara yang terjadi pada hari sabtu. Kendatipun dari perang tersebut tidak menimbulkan kekalahan bagi pihak kadaleman Cibalagung, tetapi dapat ditafsirkan seolah-olah bahwa runtuhnya kadaleman pada beberapa waktu kemudian sebagai akibat dari perang tersebut yang terjadi di wilayah utara pada hari sabtu.
Eyang Paninggaran (Kp. Gunung Masigit, Ds. Jamali) 3.3.10.1. Sinopsis
Alkisah, seorang pemuda yang menaruh minat terhadap ajaran agama, berguru kepada Syeh Maulana Syarif Hidayatulloh. Dia dikenal sebagai murid yang rajin, tabah, penuh rasa tanggung jawab, serta sangat taat, sehingga sangat disayangi gurunya. Selain itu, dia memiliki hobi berburu, oleh sebab itu masyarakat menyebutnya Eyang Paninggaran. Suatu hari Eyang Paninggaran dipanggil oleh gurunya. Dia dinasehati agar segera mengamalkan ilmunya serta turut membantu syiar agama. Maka berangkatlah Eyang Paninggran ke arah barat dengan berjalan kaki. Di sepanjang perjalanan dia terus melakukan dakwah. Di perjalanan, Eyang Paninggaran bertemu dengan Ariwiratanudatar, Dalem Cikundul. Ketika Ariawiratanudatar akan kembali ke Cikundul, Eyang Paninggaran meminta untuk turut ke Cikundul, dia ingin mengabadikan diri di Cikundul. Belum seberapa lama mengabdikan diri di Kadaleman Cikundul, Eyang Paninggaran kemudian disuruh mencari daerah baru untuk dijadikan kadaleman. Ia segera pergi, tanpa merasa kesulitan karena sudah terbiasa keluar masuk hutan. Sampailah ia di Pasir. Kemudian ia buka Pasir tersebut menjadi perkampungan, lalu mendirikan pondok pesantren yang ia pimpin sendiri. Berdatanglah orang-orang untuk menuntut ilmu dan menetap di perkampungan tersebut. Tahun silih berganti, perkampungan tersebut semakin ramai. Seiring dengan itu, usia Eyang Paninggaran makin lanjut, hingga akhirnya wafat. Dia dimakamkan di Pasir.
3.3.10.2. Alur/Plot
Alur cerita legenda ini dapat diskemakan menjadi sebagai berikut : seorang pemuda berguru kepada Syeh Maulana Syarif Hidayatulloh. Dia sangat rajin, tabah, penuh rasa tanggung jawab, serta sangat taat. Dia sangat disayang gurunya. Dia memiliki hobi berburu sehingga disebut Eyang Paninggaran. Gurunya memanggil dan menasehatinya agar dia segera mengamalkan ilmunya. Dia pergi ke arah barat dengan berjalan kaki. Di sepanjang perjalanan dia terus berdakwah. Bertemu dengan Ariawiratanudatar, Dalem Cikundul. Dia ikut ke cikundul untuk mengabdikan diri. Dia disuruh mencari area baru untuk dijadikan kadaleman. Sampai di Pasir. Pasir tersebut dibukanya dijadikan perkampungan. Berdatanglah orang yang hendak mengaji dan bermukim. Usia Eyang Paninggaran semakin lanjut. Dia meninggal. Dimakamkan di daerah Pasir. Alur yang digunakan dalam cerita ini merupakan alur maju. Cerita dimulai dari pengisahan tentang seorang pemuda yang dijuluki Syeh Paninggaran, kemudian diceritakan kebiasaannya, keinginannya untuk mengabdi, membuka kadaleman baru, sampai wafatnya.
3.3.10.3. Pelaku/Penokohan Nama tokoh-tokoh yang disebut dalam legenda ini adalah sebagai berikut : 1. Syeh Maulana Syarif Hidatatulloh, guru Eyang Paninggaran. 2. Eyang Paninggaran, seorang yang menaruh minat tinggi tarhadap bidang agama, pendiri pesantren. 3. Ariawiratanudatar, Dalem Cikundul.
Eyang Paninggaran merupakan tokoh yang paling banyak disorot dan selalu hadir dalam setiap adegan cerita. Oleh sebab itu, dia merupakan tokoh utama, yang selalu menghidupkan peristiwa cerita. Adapun tokoh lainnya, merupakan tokoh tambahan atau tokoh hiburan.
Latar/Setting Beberapa tempat yang menjadi latar terjadinya dalam peristiwa dalam kisah ini adalah: 1. Cikundul, nama sebuah kadaleman yang dipimpin oleh Ariawiratanudatar. 2. Pasir, nama sebuah daerah yang kemudian dijadikan perkampungan oleh Eyang Paninggaran. 3. Pondok Pesantren, tempat menimba ilmu yang didirikan oleh Eyang Paninggaran. 4. Hutan, wilayah yang harus dilalui oleh Eyang Paninggaran untuk mencari daerah baru untuk dijadikan padaleman. 5. Arah barat, arah wilayah yang harus dicari oleh Eyang Paninggaran untuk penyebaran agama Islam. Tidak terdapat keterangan waktu untuk menunjukan saat-saat berlangsungnya peristiwa dalam cerita, sedangkan suasana yang tergambar di antaranya ada suasana khusuk dan taat, yaitu ketika Eyang Paninggaran menuntut Ilmu kepada Syeh Maulana Syarif Hidayatulloh, suasana tertantang dan petualang, yaitu ketika Eyang Paninggaran diharuskan mencari daerah baru untuk dijadikan kadaleman, serta
suasana senang dan meriah, yaitu ketika perkampungan yang telah dibuka oleh Eyang Paninggaran banyak dikunjungi orang untuk mengaji dan bermukim.
Tema dan Amanat Pokok masalah yang diangkat dan menjiwai legenda ini adalah spirit mencari ilmu yang disandingkan dengan keikhlasan hati untuk mengabdi. Hal pertama sangat kentara terutama ketika Eyang Paninggaran berguru kepada Syeh Maulana Syarif Hidayatulloh, sedangkan yang kedua tampak ketika Eyang Paninggaran harus mengamalkan ilmunya bagi orang banyak (membuka pesantren), serta ketika dia ikut tinggal di Cikundul untu mengabdi kepada dalem. Dari hal tersebut tersirat pesan bahwa mencari ilmu memang harus dijalani dengan sepenuh hati dan jangn tanggung-tanggung, serta ilmu yang sudah diperoleh hendaknya diamalkan agar bermanfaat bagi kemaslahatan umat.
Eyang Kaputihan (Kp. Kaum Kaler Desa Kademangan) 3.3.11.1. Sinosis R.A. Natamanggala adalah keturunan Cirebon yang kemudian pindah ke Cibalagung. Ketika awal kepindahannya, Cibalagung masih merupakan belantara yang angker dan rawan. Itulah sebabnya Eyang Ratna Komala, ibunda Natamanggala I, mengutus Eyang Rangga Wijaya, seorang yang sangat sakti serta mampu manaklukan semua jenis mahkluk halus, untuk membantu Natamanggala I, karena dikhawatirkan akan mendapatkan kesulitan di tempatnya yang baru.
Atas perintah Eyang Ratna Komala serta anjuran dari Eyang Ratna Wulan, ibunya sendiri, Eyang Rangga Wijaya menetap di Cibalagung. Dengan menetapnya dia di Cibalagung, kedaan tempat itu menjadi berubah. Tempat yang semula angker dan rawan, kini menjadi nyaman menentramkan. Mengingat jasanya itulah, Eyang Rangga Wijaya diberi gelar sebagai Eyang Kaputihan. Salah satu atraksi kesaktian Eyang Rangga Wijaya yaitu ketika di tengah lapangan Cibalagung memancar iar yang besar, sehingga menyebabkan lapangn tersebut tidak dapat digunakan, Eyang Rangga Wijaya menghentikannya dengan senjata miliknya, yaitu besi kuning. Cara yang dilakukannya yaitu dengan menancapkan besi kuning tersebut di tengah lapangan, seketika itu juga air yang memancar tersebut berhenti. Ketika wafat, Eyang Rangga Wijaya dimakamkan di Cibalagung.
3.3.11.2. Alur/Plot Alur cerita Eyang Kaputihan dapat diskemakan sebagai berikut, R.A. Natamanggala I pindah dari Cirebon ke Cibalagung, Eyang Ratna Komala, Ibunda Natamanggala I, mengkhawatirkannya karena Cibalagung masih angker dan rawan. Eyang Rtana Komala mengutus Eyang Rangga Wijaya untuk tinggal di Cibalagung dan menjaga Natamanggala I, Cibalagung menjadi aman dan tentram. Eyang Rangga Wijaya digelari sebagai Eyang Kaputihan karena jasanya tersebut. Muncul air yang memancar di tengah lapangan Cibalagung. Eyang Rangga Wijaya menghentikannya dengan besi kuning, yaitu dengan menancapkannya di tengah
lapangan, air seketika itu juga berhenti memancar. Eyang Rangga Wijaya dimakamkan di Cibalagung. Rangkaian peristwa yang dialami Eyang Rangga Wijaya adalah : - pindah ke Cibalagung untuk menetap dan menjaga Natamanggala I – mengamankan Cibalagung yang masih angker dan rawan terutama dari gangguan mahkluk halus – berhasil menghentikan pancaran air di tengah lapang Cibalagung – digelari Eyang Kaputihan karena jasanya telah membuat Cibalagung menjadi aman dan tentram – wafat dan dimakamkan di Cibalagung. Alur yang digunakan dalam cerita ini adalah alur maju. Kronologis cerita berlangsung dari kepindahan Natamanggala I ke Cibalagung yang diikuti oleh kepindahan Rangga Wijaya, kemudian perubahan keadaan Cibalagung dari yang semula angker dan rawan menjadi aman dan tentram, muncul peristiwa air memancar di lapangn Cibalagung, kemudian dapat diatasi oleh Eyang Rangga Wijaya hingga dia digelari Eyang Keputihan, sampai dia wafat dan dimakamkan di Ciabalagung.
3.3.11.3. Pelaku/Tokoh Pelaku yang menggerakan kisah Eyang Kaputihan adalah : 1. Natamanggala I, seorang putra Cirebon yang pindah ke Cibalagung dan menjadi dalem pertama di Cibalagung. 2. Eyang Ratna Komala, ibunda Natamanggala I.
3. Eyang Rangga Wijaya, digelari Eyang Kaputihan, seorang yang sangat sakti dan mampu menaklukan mahkluk halus, pindah dan bermukim di Cibalagung untuk menjaga Natamanggala I. 4. Eyang Ratna Wulan, ibunda Eyang Rangga Wijaya. 5. Makhluk halus, jenis mahkluk yang diduga banyak terdapat di Cibalagung, yang membuat daerah tersebut menjadi angker dan rawan. Tokoh utama yang menjadi pusat pengisahan dan paling banyak mengalami peristiwa dalam cerita adalah Eyang Rangga Wijaya atau Eyang Kaputihan, sedangkan tokoh lainnya seperti Natamanggala I dan Eyang Ratna Komala, merupakan tokoh tambahan atau tokoh pembantu. Adapun berdasarkan watak dan perilakunya, Eyang Rangga Wijaya merupakan tokoh protagonis, sedangkan mahkluk halus yang dianggap sering mengganggu, merupakan tokoh antagonis.
3.3.11.4. Latar/Setting Beberapa tempat yang menjadi latar dalam cerita ini adalah : 1. Cirebon, tempat asal Natamanggala I dan Eyang Rangga Wijaya. 2. Cibalagung, perkampungan baru yang dibuka dan dikelola oleh Natamanggala I dibantu Eyang Rangga Wijaya. 3. Hutan
belantara,
kondisi
awal
Cibalagung
sebelum
dibuka
menjadi
perkampungan oleh Natamanggala I dan Eyang Rangga Wijaya. 4. Lapangan, temapat keluarnya air yang memancar di Ciabalagung yang kemudian dapat diatasi oleh Eyang Ranmgga Wijaya.
Tidak ada penyebutan waktu sebagai latar berlangsungnya cerita, sedangkan suasana yang tergambar di antaranya terdapat suasana mencekam. Hal tersebut dipengaruhi oleh aura mistis yang menjiwai sebagian besar cerita, terutama oleh munculnya
tokoh
mahkluk
halus.
Suasana
tersebut
berlangsung
sejak
pendeskripsian Cibalagung yang disebut sebagai belantara yang masih angker dan rawan, sampai munculnya air memancar di tengah lapangan Cibalagung yang hanya bisa diatasi oleh senjata besi kuning. Suasana lainnya adalah rasa aman dan tentram, terutama tergambar dari keadaan Cibalagung setelah dikelola oleh Natamanggala I dan Eyang Rangga Wijaya.
3.3.11.5. Tema dan Amanat Tema yang diangkat dalam legenda ini adalah tentang keteguhan hati dan rasa percaya diri. Bahwa manusia merupakan mahkluk yang mulia, hal tersebut merupakan modal dalam mengatasi berbagai masalah dan rintangan, baik terhadap gangguan yang datang dari sesamanya maupun dari gangguan mahkluk halus. Dengan berbekal keyakinan bahwa manusia merupakan mahkluk yang unggul, maka segala kesulitan dalam bentuk apapun, niscaya dapat diatasi asal ada keinginan untuk berusaha. Hal tersebut seperti dilakukan Natamanggala I dan Eyang Rangga Wijaya yang Mampu menyulap lahan angker dan rawan (Cibalagung), menjadi daerah yang nyaman dan tentram. Spirit itulah tema dan amanat yang dikandung dalam legenda Eyang Kaputihan. Sasakala Pasirdalem dan Irigasi Ciaripin (kec. Kadupandak) 3.3.12.1. Sinopsis
Syahdan, pada tahun 1912 – 1920 Desa Parakantugu dipimpin oleh Suramanggala, seorang kepala desa yang diangkat oleh pemerintah kolonial Belanda. Pada masa pemerintahannya, masyarakat Peuntas atau sekarang disebut Pasirdalem, pernah berinisiatif mambangun saluran irigasi untuk pertanian. Saluran irigasi tersebut kemudian dinamai Ciaripin. Hasil pembuatan irigasi tersebut kemudian dilaporkan kepada Dalem Cianjur yang dijabat oleh R.A.A. Wiranatakusumah XII. Mendengar laporan tersebut Dalem berniat mengunjungi Parakantugu. Kabar kedatangan Dalem disambut oleh masyarakat dengan membangun tempat macangkrama (tempat pertemuan setengah resmi) di atas bukit. Dari tempat tersebut terlihat hamparan pemandangan dan gundukan perkampungan serta pesawahan yang dikelilingi kali Cibuni. Di sebelah selatan menjulang Gunung Brengbreng, sebagai batas Kec. Kadupandak dengan Kec. Sindangbarang, yang sekarang dikenal Kec. Argabinta, memanjang dari timur ke barat. Tepat pada waktu yang telah direncanakan, dalem Cianjur yang ke-12 tersebut datang disertai pejabat lainnya : bupati, wedana, sampai pamong desa beserta warga masyarakat. Pertemuan tersebut berlangsung tujuh hari tujuh malam. Kunjungan dan ucapan selamat atas pembuatan irigasi tersebut membuat bahagia dan bangga warga masyarakat. Sampai sekarang saluran irigasi itu masih berfungsi serta namanya pun tidak berubah, yaitu Ciaripin, sedangkan nama Pasirdalem kini diabadikan menjadi nama sebuah desa pemekaran dari Parakantugu. 3.3.12.2. Alur/Plot
Alur cerita Sasakala Pasirdalem dan Irigasi Ciaripin dapat diskemakan sebagai berikut : masyarakat Peuntas atau Pasirdalem berinisiatif membangun saluran irigasi yang dinamai Ciaripin. Pembuatan irigasi tersebut dilaporkan kepada Dalem Ciajur, R.A.A. Wiranatakusumah XII. Dalem mengunjungi Parakantugu. Masyarakat menyambutnya dengan membangun tempat pertemuan setengah resmi di atas bukit. Dari temapat tersebut terlihat hamparan pemandangan di sekelilingnya. Dalem datang disertai pejabat lainnya. Pertemuan berlangsung tujuh hari tujuh malam. Kunjungan Dalem membuat bahagia dan bangga warga masyarakat. Saluran irigasi itu masih berfungsi sampai sekarang. Nama Pasirdalem diabadikan menjadi nama sebuah desa pemekaran. Alur cerita kisah ini bersifat linear, mudah diikuti serta tidak banyak mengandung simpangan. Peristiwa-peristiwa cerita dihadirkan secara runut dan beruntun, mulai dari pengisahan kepala desa Suramanggala sampai pengabdian nama Pasirdalem menjadi nama sebuah desa.
3.3.12.3. Pelaku/Penokohan Tokoh cerita yang terlibat dalam peristiwa legenda Sasakala Pasirdalem dan Irigasi Ciaripin, adalah sebagai berikut : 1. Suramanggala, kepala desa Parakantugu yang diangkat oleh pemerintah kolonial Belanda. 2. R.A.A. Wiranatakusumah XII, Dalem Cianjur ke-12, yang meresmikan irigasi Ciaripin.
3. Bupati, wedana, camat, pamong desa, merupakan rombongan yang menyertai kedatangan Dalem ke Parakantugu, yang juga disertai warga masyarakat. Hanya ada dua nama orang yang disebutkan dalam legenda ini, yaitu Wiranatakusumah XII dan Suramanggala, sedangkan bupati, wedana, camat, dan yang lainnya merupakan nama jabatan. Dari nama-nama tersebut pun tidak ada yang dominan dikisahkan, tetapi hanpir semuanya memiliki peranan yang merata. Hal tersebut dapat dimengerti mengingat legenda ini menceritakan tentang asalmuasal suatu tempat, bukan penamaan atau pemberian gelar kepada seseorang. Oleh sebab itu, yang lebih ditonjolkan adalah peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan nama-nama tempat dimaksud, bukan dengan nama tokoh atau pelakunya, yang malah hanya diceritakan sekilas saja.
Latar/Setting Beberapa nama tempat yang menjadi latar terjadinya peristiwa dalam legenda ini yaitu : 1. Parakantugu, sebuah desa yang dipimpin oleh Suramanggala. 2. Peuntas, tempat perkampungan yang terletak di sebelah seberang, disebut juga Pasirdalem. 3. Pasirdalem, nama sebuah desa hasil pemekaran, dahulunya disebut juga Peuntas. 4. Ciaripin, nama saluran irigasi yang dibangun secara swadaya oleh masayarakat Parakantugu. 5. Cianjur, pernah menjadi nama kadaleman, kemudian manjadi nama kabupaten.
6. Kali Cibuni, kali yang mengitari beberapa perkampungan dan pesawahan. 7. Gunung
Brengbreng,
batas
antara
Kec.
Kadupandak
dengan
Kec.
Sindangbarang, pemandangan di sebelah selatan yang dapat dilihat dari Bale Macangkrama. Latar waktu yang tersurat dalam cerita ini yaitu tahun 1912-1920. angka tersebut menunjukan masa pemerintahan Desa Parakantugu yang dipimpin oleh Suramanggala. Adapun suasana yang tergambar dalam cerita ini adalah rasa senang dan gembira, terutama terlihat ketika Desa Parakantugu dikunjungi Dalem Cianjur beserta rombongan. Selain itu, juga ada suasana kebersamaan dan rasa gotong royong, yaitu ketika warga Peuntas membangun saluran irigasi Ciaripin.
Tema dan Amanat Tema dan amanat yang terkandung dalam legenda ini adalah tentang kebersamaan hidup dan gotong royong. Hal tersebut tercermin dari perilaku kolektif masyarakat Peuntas atau Pasirdalem yang secara bersama-sama dan swadaya membangun saluran irigasi. Banyak sekali fungsi dari pembangunan sarana irigasi tersebut, baik untuk pengairan lahan pertanian, maupun sebagai sumber resapan air bersih. Dengan demikian, pengerjaan sebuah fasilitas umum yang dilakukan dengan penuh rasa kesadaran serta didasari keikhlasan, akan membuahkan hasil yang memuaskan serta menimbulkan rasa cita bagi seluruh warga, seperti yang dialami oleh masyarakat Desa Parakantugu. Hal itulah di antaranya, benang merah yang dapat ditarik dari amanat legenda Sasakala Pasidalem dan Irigasi Ciaripin.