BAB III ANALISIS DATA
Dalam Bab sebelumnya, telah dipaparkan mengenai profil singkat negara Jepang, serta keadaan demografisnya yang menjadi latar belakang dari masalah yang dihadapi Jepang saat ini yaitu labor shortage (hitodebusoku). Tidak ada definisi universal dari labor shortage, akan tetapi para ahli ekonomi pada umumnya melihat shortage sebagai situasi atau kondisi dimana demand atau permintaan lebih besar dari pada supply atau penawaran (D>S)1. Permintaan dan penawaran disini adalah permintaan dan penawaran dalam pasar tenaga kerja. Populasi yang menyusut dan menua yang diakibatkan oleh turunnya tingkat kelahiran dan meningkatnya angka harapan hidup menimbulkan permasalahan dalam sektor ketenagakerjaan yaitu menurunnya jumlah angkatan kerja. Karena ukuran penduduk merupakan salah satu faktor tempat berpijak kekuatan nasional,2 maka masalah kemeresotan jumlah penduduk dan kekurangan pekerja tersebut tentu menjadi potensi ancaman serius bagi Jepang yang tentu harus segera ditanggapi dan ditangani. Menghadapi permasalahan labor shortage akibat populasi yang menyusut, jawaban utama pemerintahan Shinzo Abe untuk masalah tersebut adalah dengan mempromosikan wanita untuk bergabung dalam angkatan kerja, meningkatkan angka kelahiran, dan mempermudah 71
perpindahan tenaga kerja, serta perekruitan warga negara yang sudah tua (lansia/senior).3 Peningkatan penggunaan robot dan teknologi juga merupakan alternatif jawaban lain yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam menghadapi masalah labor shortage. Sementara itu, opsi atau pilihan terakhir adalah dengan mendatangkan tenaga kerja imigran.4 Apabila mempertimbangkan jumlah angkatan kerja Jepang saat ini yang dibawah 80 juta jiwa dan diprediksi akan terus mengalami penurunan, robot dinilai sebagai solusi potensial bersama dengan peningkatan partisipasi perempuan di lapangan kerja, dan imigrasi secara politik dilihat tidak memungkinkan untuk dilakukan.5 PM Jepang Shinzo Abe mendeklarasikan “womenomics” yang merupakan bagian dari strategi Abenomics yang tujuannya adalah untuk meningkatkan partisipasi wanita dalam lapangan kerja. Abe juga menyerukan tentang “revolusi robot” untuk Jepang, dan memerintahkan penggunaan robot dari perusahaan berskala besar sampai ke setiap sudut ekonomi dan kehidupan masyarakat di Jepang.6 Pemerintahan Abe meluncurkan program dalam jangka lima tahun untuk mendorong penggunaan mesin pintar dalam manufaktur, rantai pasokan, konstruksi, dan kesehatan sambil mengembangkan pasar robot dari 660 milyar yen (5,5 juta US dollar) sampai 2,4 trilyun yen pada tahun 2020. 7 Namun, jawaban pemerintah dengan womenomics dan revolusi robot tidaklah cukup untuk mengatasi masalah hitodebusoku yang parah
72
dan masih berlangsung. Data statistik terbaru dari Bank Dunia mennyebutkan bahwa tingkat partisipasi wanita dalam lapangan kerja di Jepang adalah 48%, jauh lebih rendah dibanding angka di negara maju lainnya, dan dari jumlah tersebut hanya sekitar 38% yang kembali bekerja setelah mereka mengambil cuti hamil dan melahirkan anak pertama. 8 Tenaga dari pekerja lansia dan robot tentunya juga memiliki keterbatasan di sektor-sektor atau bidang pekerjaan tertentu yang membutuhkan tenaga kerja manusia. Telah diulas dalam Bab sebelumnya bahwa sektor industri di Jepang yang menderita labor shortage paling parah adalah sektor konstruksi dan keperawatan. Tenaga kerja wanita, lansia, maupun robot, tentunya akan banyak menemui keterbatasan dan kendala apabila ditempatkan di sektor konstruksi yang membutuhkan tenaga kerja yang masih muda dan kuat guna mengerjakan pekerjaan kasar yang ada. Selain itu, biaya yang mahal untuk pengadaan robot juga menjadi pertimbangan tersendiri. Meskipun bukan merupakan pilihan yang banyak disukai, impor tenaga kerja asing menjadi jawaban atau solusi terakhir yang harus diambil oleh pemerintah Jepang dalam menghadapi masalah labor shortage yang kronis ini. Terlepas dari posisi pemerintah Jepang yang kukuh mempertahankan prinsip Jepang bukan negara imigrasi, tenaga kerja imigran –terutama dalam kasus ini adalah unskilled workers yang oleh pemerintah Jepang tidak diakui— masuk dan bekerja di Jepang melalui jalan atau program-program yang sebelumnya telah dijabarkan di 73
Bab 2. Berdasarkan data dari sensus penduduk pada tahun 2000, jelas diperlihatkan bahwa penurunan jumlah populasi pemuda sebagian telah berhasil diimbangi atau diatasi dengan kedatangan dari peserta magang (TITP).9 Hal tersebut dikarenakan rata-rata peserta TITP sendiri adalah anak muda, sehingga sektor-sektor yang mengalami kelangkaan pekerja muda dapat memanfaatkan peserta TITP sebagai pengganti pekerja muda domestik yang semakin langka. Meski dihadapkan dengan kebutuhan akan tenaga kerja dalam jumlah banyak akibat populasi yang menyusut, di satu sisi Jepang masih tetap mempertahankan kebijakan imigrasinya yang ketat dan menolak membuka pintu imigrasi. Sikap dan posisi yang diambil oleh Jepang tersebut tentunya menarik untuk dikaji. Oleh karena itu, dalam Bab 3 ini akan dipaparkan lebih lanjut tentang faktor yang menjadi penghambat bagi kebijakan pemerintah Jepang dalam mendatangkan tenaga kerja imigran tersebut beserta dengan analisisnya.
A. Kebijakan Pemerintah Jepang Sebelum
membahas
lebih
lanjut
bagaimana
kebijakan
pemerintah Jepang terhadap tenaga kerja imigran, tentunya perlu dipahami terlebih dahulu pengertian dari kebijakan sendiri. Secara umum, istilah “kebijakan” atau “policy” digunakan untuk menunjuk perilaku aktor (inividu, kelompok, ataupun lembaga pemerintah) dalam
74
suatu bidang kegiatan tertentu.10 Menurut Anderson, kebijakan diartikan sebagai arah tindakan yang memiliki maksud tujuan yang ditetapkan oleh pembuat kebijakan (seorang aktor atau sejumlah aktor) untuk mengatasi suatu persoalan atau masalah.11 Konsep kebijakan ini oleh Anderson dikatakan memiliki beberapa implikasi yaitu:12 1. Titik perhatian dalam pembicaraan mengenai kebijakan publik berorientasi pada maksud dan tujuan tertentu, bukan perilaku yang serampangan. 2. Kebijakan dilaksanakan oleh pejabat-pejabat pemerintah dan bukan merupakan keputusan sendiri-sendiri. 3. Kebijakan mengatur apa yang harus dilakukan pemerintah untuk publik, bukan apa yang diinginkan oleh pemerintah. 4. Kebijakan publik tersebut dapat bersifat positif maupun negatif. Secara positif kebijakan tersebut mencakup tindakan pemerintah yang jelas terhadap suatu isu. Sementara, secara negatif kebijakan tersebut tidak mencakup keputusan pemerintah untuk tidak mengambil tindakan terhadap suatu isu. Dari penjelasan yang dikemukakan oleh Anderson tentang kebijakan tersebut, poin penting yang dapat dipahami adalah bahwa kebijakan dibuat oleh pemerintah sebagai suatu respon dalam mengatasi suatu isu atau permasalahan tertentu, dan kebijakan
75
tersebut dibuat atas nama kepentingan bersama (publik). Tujuan dari pembuatan kebijakan itu sendiri tentunya adalah demi tercapainya kepentingan bersama atau kepentingan kolektif dari masayarakat atau publik. Kebijakan publik memiliki cakupan yang sangat luas dan mengatur hampir segala bidang dalam kehidupan masyarakat dalam suatu negara. Berbagai isu dan permasalahan diatur oleh kebijakan pemerintah misalnya isu perdagangan, keamanan, hubungan luar negeri, pendidikan, kesehatan, politik, lingkungan, dan tak luput juga adalah masalah imigrasi dan ketenagakerjaan yang menjadi topik dari penelitian ini. Isu terkait tenaga kerja imigran tentunya perlu pula untuk ditanggapi, dan ditangani, serta diatur oleh pemerintah melalui pembuatan kebijakan. Kebijakan pemerintah terhadap tenaga kerja imigran di Jepang, menurut Chizuko Hayakawa, dapat dilihat dari perspektif prinsip seleksi dan integrasi.13 Prinsip seleksi direpresentasikan oleh kebijakan imigrasi (immigration policy) yang mengatur terkait syarat dan ketentuan masuknya tenaga kerja ke Jepang, sementara prinsip integrasi direpresentasikan oleh kebijakan ketenagakerjaan (labor policy) yang mengatur terkait pemerkerjaan tenaga kerja yang sudah masuk ke Jepang. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa kebijakan terkait tenaga kerja imigran di Jepang merupakan interseksi dari dua kebijakan tersebut yaitu kebijakan imigrasi (immigration policy) dan kebijakan ketenegakerjaan (labor policy). Interseksi antara prinsip seleksi dan 76
prinsip
integrasi
tersebut
oleh Hayakawa diilustrikan dengan
menggunakan gambar sebagai berikut: Gambar 3.1 Bagan Ilustrasi Kebijakan Jepang terhadap Tenaga Kerja Asing
Sumber: Chizuko Hayakawa, “Labor Law and Policy Issues Relating to Foreign Workers.”
Prinsip seleksi yang merupakan kebijakan imigrasi Jepang memiliki landasan utama yaitu pada Immigration Control Act. Sementara
prinsip
integrasi
yang
merupakan
kebijakan
ketenagakerjaan Jepang berlandaskan pada beberapa aturan antara lain Labor Standard Act, Labor Contract Act, Employement Security Act, dan sebagainya yang pada dasarnya mengatur terkait hak-hak pekerja tenaga kerja imigran di Jepang dan larangan diskriminasi berdasarkan kewarganegaraan. Namun, bahasan dalam penelitian ini sendiri akan berfokus pada kebijakan imigrasi Jepang (prinsip seleksi), sesuai dengan latar belakang masalah diawal yang mempermasalahkan sikap negatif 77
Jepang terhadap imigrasi meskipun Jepang tengah dihadapkan dengan krisis demografis. Kebijakan imigrasi Jepang sendiri yang dikeluarkan oleh pemerintah, seperti telah sempat disinggung dalam Bab sebelumnya, berlandaskan pada tiga prinsip utama yaitu:14 1.
Tidak ada pengakuan terhadap unskilled workers. Meskipun dihadapkan dengan masalah labor shortage di akhir 1980an, Jepang tetap menolak untuk membuka pintunya secara resmi kepada unskilled workers. Sikap fundamental pemerintah terhadap unskilled workers tersebut tercantum dalam “Basic Policy On Employment” yang diumumkan pada tahun 2008 yang menyatakan bahwa “perluasan penerimaan tenaga kerja asing termasuk unskilled workers berpotensi menciptakan struktur ganda (pasar tenaga kerja terdiri dari tenaga kerja domestik dan tenaga kerja asing) dan menganggu perkembangan kondisi kerja yang berdampak pada perlambatan pelaku usaha untuk memenuhi
kebutuhan
tenaga
kerja
dan
mengamankan
anggotanya”. 2.
Pemerintah wajib memfasilitasi pengakuan hanya untuk highly skilled workers dan profesional. Pemerintah mendukung peningkatan jumlah penduduk asing terutama golongan skilled workers dan professional serta mempermudah prosedur imigrasi guna memenuhi tuntutan dari banyaknya perusahaan dan bisnis Jepang yang mengglobal. 78
Kekhawatiran bahwa Jepang tertinggal dalam bidang teknologi informasi (khususnya internet) menyebabkan pemerintah lebih melonggarkan batasan migrasi untuk skilled labor dengan mempermudah ahli IT (information and technology) dari beberapa negara Asia (termasuk Tiongkok, India, dan Korea) untuk bekerja di Jepang. Guna menarik highly skilled workers ke Jepang tersebut, pada Mei 2012 pemerintah Jepang memperkenalkan sebuah sistem baru untuk highly skilled workers yang memberi kemudahan bagi highly skilled workers untuk tinggal di Jepang.15 Berdasarkan laporan pada 29 Mei tahun 2009 dari Dewan Penerimaan Highly Skilled Professionals, highly skilled professionals adalah “sumber daya manusia berkualitas dan tak tergantikan yang memiliki hubungan pelengkap dengan tenaga kerja dan modal domestik”, dan “sumber daya manusia yang diharapkan membawa inovasi untuk industri Jepang, mempromosikan perkembangaan pasar tenaga kerja spesialis melalui kompetisi bersahabat dengan masyarakat Jepang dan meningkatkan efisiensi di pasar tenaga kerja Jepang”.16 Aktivitas dari highly skilled foreign professionals atau para tenaga kerja terdidik dan terlatih sendiri diklasifikasikan menjadi tiga kategori,
yaitu:
“advanced
academic
research
activities,”
“advanced specialized/technical activities,” dan “advanced business management activities.”17 79
3.
Semua pendatang asing diperbolehkan menetap di Jepang hanya dalam periode waktu sementara. Pemerintah
Jepang
bersikukuh
supaya
penduduk
asing
diperbolehkan tinggal di Jepang hanya dalam periode waktu sementara dengan tujuan untuk membuat kehadiran tenaga kerja asing tersebut lebih dapat diterima oleh publik Jepang dan mengurangi beban layanan sosial yang harus disediakan untuk para imigran yang menetap tersebut. Kebijakan pemerintah Jepang terhadap tenaga kerja imigran (khsusunya unskilled workers), yang menjadi topik penelitian ini, apabila dilihat menggunakan konsep kebijakan Anderson dapat dikatakan bersifat negatif. Hal ini dikarenakan oleh sikap pemerintah Jepang yang cenderung lebih memilih untuk tidak mengambil tindakan terhadap isu tersebut. Sikap negatif itu juga dapat dilihat dari perspektif Jepang dalam mendefinisikan “imigran”. Berdasarkan definisi dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), imigran diartikan sebagai individu yang hidup diluar negara asalnya dalam periode waktu satu tahun atau lebih, tetapi Jepang mengartikan imigran sebagai individu yang tinggal secara permanen di suatu negara.18 Apabila definisi dari perspektif Jepang tersebut yang digunakan, tentunya tenaga kerja asing maupun warga asing di Jepang yang tinggal selama sementara di Jepang tersebut tidak bisa dikatakan sebagai imigran. Hal itu yang kemudian digunakan
80
oleh pemerintah untuk menciptakan image atau pandangan bahwa tidak ada “kebijakan imigrasi” di Jepang. Keputusan terkait penerimaan tenaga kerja asing oleh Jepang yang diatur oleh Immigration Control and Refugee Recognition Act (Shutsunyukoku kanri oyobi nanmin nintei-ho), didasarkan pada pertimbangan bersama terkait dampaknya (penerimaan tenaga kerja asing) terhadap industri dan kesejahteraan publik di Jepang.19 Aturan dasar imigrasi di Jepang, the Immigration Control Act sendiri, pada dasarnya mengatur masalah imigrasi dan kependudukan warga negara asing berdasarkan “status tinggal/status kependudukan”. Sistem status kependudukan (status of residence) tersebut pula yang digunakan untuk membatasi hak bekerja penduduk asing di Jepang.20 Warga asing yang bekerja tanpa memiliki status kependudukan yang mengijinkan mereka bekerja berdasarkan Immigration Control Act (ijin bekerja) adalah pekerja ilegal. Berdasarkan pasal 73 ayat 2, paragraf 1 dari Immigration Control Act, orang yang menyewa atau mempekerjakan pekerja tanpa dokumen (pekerja ilegal tersebut), akan dikenai hukuman.21 Adapun kategori status kependudukan berkaitan dengan ijin kerja sesuai dengan aturan Immigration Control Act setelah direvisi dapat dilihat dalam tabel berikut:
81
Tabel 3.1 Tabel Status Kependudukan Warga Asing di Jepang
Status of residence defined by identity or position
Status of residence defined by activity
Eligible for employment within scope of status of residence
Diplomat
Official
Investor/ Business Manager Legal/ Accounting Services
Ineligible for employment
Dependent on designation by Ministry of Justice
No employment restrictions
Cultural Activities
Designated Activities
Permanent Resident
Temporary Visitor
Spouse or Child of Japanese National
Professor
Medical Service
Student
Spouse or Child of Permanent Resident
Artist
Researcher
Trainee
Long-Term Resident
Religious Activities
Instructor
Dependent
Journalist
Engineeer Specialist in humanities/ international service Intra-company transferee Entertainer Skilled Labor Technical Intern Training (i) a, (i) b (ii) a, (ii) b
Sumber: Chizuko Hayakawa, “Labor Law and Policy Issues Relating to Foreign Workers.”
82
Dari status kependudukan diatas, golongan pekerja unskilled workers diisi oleh Technical Training Interns, Student, dan Nikkeijin yang berstatus “spouse of Japanese atau long-term resident”. Sementara peserta EPA berada dalam kategori designated activities. Dari beberapa kelompok unskilled workers tersebut, kelompok nikkeijin merupakan satu-satunya yang mendapat hak spesial atau keistimewaan berupa tidak dibatasinya hak mereka dalam mencari pekerjaan. Pada masa pemerintahan Shinzo Abe periode kedua ini, kebijakan baru terkait tenaga kerja imigran diluncurkan oleh pemerintah. Pada 24 Juni 2014, kabinet telah menyetujui “The Japan Revitalization Strategy” yang didalamnya mencantumkan pemanfaatan tenaga kerja asing sebagai salah satu poin utamanya.22 Pilar utama dari kebijakan ini yang pertama adalah dengan menguatkan daya saing sumber daya manusia yang ada dan merevitalisasi perekonomian Jepang dengan penyediaan lingkungan yang baik bagi penerimaan highly skilled workers, dan yang kedua adalah dengan revisi fundamental TITP.23 The Japan Revitalization Strategy 2014 atau Strategi Revitalisasi Jepang 2014 tersebut mencantumkan revisi TITP yaitu dengan memperluas kategori pekerjaan yang diakomodir serta memperpanjang periode atau waktu tinggal bagi beberapa sektor tertentu, khususnya konstruksi. Selain itu, sektor keperawatan direncanakan pula untuk dimasukkan dalam TITP tersebut.
83
The Japan Revitalization Strategy yang dikeluarkan oleh Abe tersebut terlihat seperti titik balik untuk perubahan kebijakan Jepang dalam penerimaan tenaga kerja imigran. Revisi besar terhadap Program Technical Intern Training yang bisa dikatakan merupakan salah satu pilar utama dalam penerimaan tenaga kerja di Jepang terlihat sebagai pelunakan sikap atau posisi Jepang yang selama ini sangat ketat dalam hal penerimaan tenaga kerja asing. The utilization of foreign workers atau pemanfaatan tenaga kerja asing dalam Japan Revitalization Strategy ini juga dinilai sebagai bagian dari panah ke tiga dari ‘Abenomics’ yaitu strategi pertumbuhan. Namun, asumsi terkait perubahan sikap pemerintah terhadap penerimaan tenaga kerja imigran melalui Japan Revitalization Strategy tersebut nyatanya dinegasikan oleh pemerintah. Partai Abe yang berkuasa di pemerintahan, LDP, bersikukuh menyatakan bahwa tidak ada
kebijakan
imigrasi,
tetapi
hanya
ada
rencana
untuk
mengembangkan pemanfaatan tenaga kerja asing.24 Revisi terhadap TITP tersebut pada dasarnya hanya berdasar pada pragmatisme Abe dan pemerintah Jepang semata demi memenuhi tuntutan akan kebutuhan pekerja, terutama di sektor konstruksi yang tengah dihadapkan dengan pembangunan infrastruktur untuk Olimpiade Tokyo tahun 2020 mendatang. Untuk memahami mengapa kebijakan pemerintah Jepang terhadap tenaga kerja imigran tersebut masih sangat resisten dan ketat 84
meski Jepang dihadapkan oleh masalah kelangkaan pekerja yang nyata, tentunya perlu diketahui pula faktor yang mempengaruhi proses formulasi atau pembuatan kebjiakannya itu sendiri. Analisa pembuatan keputusan atau kebijakan, seperti yang telah sempat disinggung sebelumnya, menggunakan berbagai macam disiplin akademik dan kerangka pemikiran dan bertujuan untuk mengevaulasi pendekatanpendekatan yang memberikan kerangka penjelasan yang ‘paling masuk akal’ untuk menerangkan suatu keputusan/kebijakan tertentu.25 Dalam penelitian ini sendiri, pendekatan ilmu sosial dan kerangka pemikiran dari Wendt terkait identitas sosial/kolektif digunakan untuk mencoba memahami faktor yang mempengaruhi formulasi kebijakan Jepang terhadap tenaga kerja imigran tersebut.
B. Persoalan Identitas Sebagaimana telah dijelaskan, kebijakan imigrasi Jepang khususunya dalam penerimaan tenaga kerja asing pada dasarnya tidak banyak berubah atau bisa dikatakan tidak berubah sama sekali dari waktu
ke
waktu
meski
Jepang
sering
berkali-kali
berganti
kepemimpinan. Pada masa pemerintahan Shinzo Abe ini pun sama saja. Terkait penerimaan tenaga kerja imigran golongan unskilled workers, secara resmi kebijakan pemerintah Jepang tetap berpegang teguh pada prinsip “tidak ada pengakuan terhadap unskilled workers”.
85
Meski panah ketiga dari Abenomics yaitu growth strategy (strategi pertumbuhan), yang mencantumkan pemanfaatan tenaga kerja asing sebagai salah satu pilar utamanya, dinilai sebagai pelonggaran dan perubahan terhadap kebijakan imigrasi, pemerintah Jepang sendiri tidak menyatakan demikian. Ketika Abe disodori pertanyaan dalam konferensi press pada tanggal 24 Juni 2014 terkait mengapa growth strategy tersebut bukan merupakan kebijakan imigrasi, Perdana Menteri Jepang tersebut menyatakan sebagai berikut: “For Japan, which is facing a society with a shrinking population, I believe that it is important to call outstanding human resources to Japan in order to further revitalize the Japanese economy and boost competitiveness. Towards this end, we intend to actively press forward with expanding the acceptance of highly-skilled non-Japanese human resources and relaxing requirements for residency. We will also move forward in utilizing non-Japanese human resources in fields that are necessary for Japan, such as accepting human resources in the field of construction as we prepare for the Tokyo Olympic and Paralympic Games. At the same time, I believe that care is needed for what is called accepting immigrants, in light of the various difficult experiences that other countries have had.”26 86
PM Abe, dalam pernyataan tersebut, menekankan bahwa bagi Jepang yang menghadapi populasi yang menyusut, perekrutan sumber daya manusia yang berkualitas untuk merevitalisasi perekonomian dan meningkatkan daya saing penting untuk dilakukan. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka pemerintah secara aktif akan terus mendukung penerimaan tenaga kerja asing highly skilled workers dan melakukan pelonggaran dalam persyaratan tinggal. Pemerintah juga akan melanjutkan penggunaan tenaga asing pada sektor-sektor tertentu yang membutuhkan, seperti sektor konstruksi yang tengah disibukkan dengan persiapan untuk Tokyo Olympic dan Paralympic Games. Di waktu yang bersamaan, perhatian tentu diperlukan terhadap penerimaan imigran, berdasarkan pelajaran atas kesulitan yang dialami negaranegara lain. Pernyataan Shinzo Abe diatas telah memperlihatkan bahwa apa yang diasumsikan sebagai ‘pelonggaran’ imigrasi Jepang, lewat perpanjangan izin tinggal dan peningkatan jumlah kuota pekerja untuk sektor-sektor terntentu, adalah didasari oleh alasan krisis pekerja semata. Dalam kalimat terakhir dari pernyataanya, Abe menyebutkan bahwa perhatian tetap diperlukan untuk masalah penerimaan pekerja dengan belajar dari pengalaman sulit negara-negara lain. Kalimat tersebut secara implisit menunjukkan bagaimana pandangan Abe terhadap imigran yang ia identikan dengan ‘kesulitan’. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa Abe berpandangan bahwa ‘imigran 87
mendatangkan kesulitan’. Sebelumnya dalam pernyataannya di televisi, Abe juga sempat mengemukakan bahwa di negara-negara yang menerima imigrasi, terdapat banyak perpecahan dan ketidakbahagiaan, baik bagi pendatang maupun masyarakat yang telah tinggal disitu. 27 Pernyataan-pernyataan negatif
Abe
dan
tersebut
tentu
keengganannya
merepresentasikan
menerima
pekerja
sikap
imigran.
Pembatasan ketat yang dilakukan, dan keputusan pemerintah yang lebih memilih memanfaatkan tenaga kerja wanita, senior, dan robot juga menunjukkan bagaimana sebisa mungkin Jepang membatasi atau bahkan menghindari imigrasi. Jepang bukan merupakan negara imigrasi merupakan tagline yang selalu dikemukakan pemerintah, dan coba untuk selalu dipertahankan hingga saat ini. Sikap negatif Jepang terhadap imigrasi sendiri telah banyak menjadi bahan diskusi dan kajian dalam ilmu sosial dan politik. Alasan atau faktor yang mempengaruhi pembentukan atau formulasi kebijakan Jepang yang sedemikian negatif terhadap imigrasi coba dikuak dan dijelaskan dari berbagai sudut pandang seperti ekonomi, politik, maupun sosial budaya. Salah satu yang kerap dijadikan pokok ulasan dalam kajian terkait kebijakan Jepang yang hostile (tidak ramah) terhadap imigran tersebut adalah faktor Jepang yang homogen. Chris Burgess, dosen untuk kajian Australia dan Jepang di Universitas Tsuda, dalam
tulisannya
di
kolom
‘community’
harian
Japan
Times
mengemukakan bahwa Jepang mempunyai prospek yang kecil untuk 88
menjadi negara imigrasi dalam waktu dekat. Argumen Burgess tersebut berpijak pada masih dominan dan persistennya kajian ‘Jepang yang homogen’, yang terwujud dalam domain pembuatan kebijakan sebagai no-immigration principle.28 Kepercayaan ‘Jepang yang homogen’ tersebut tercantum dalam Nihonjinron yang populer sebagai sebuah pandangan dalam memahami Jepang. Nihonjinron memiliki dua aspek utama yaitu (1) bahwa masyarakat Jepang memiliki “keunikan” yang unik, dan (2) orientasi masyarakat Jepang adalah pada kelompok. 29 Premis utama Nihonjinron adalah bahwa masyarakat Jepang adalah masyarakat yang homogen (tan itsu minzoku), yang membentuk sebuah bangsa yang secara ras sama (tan itsu minzoku kokka).30 Setiap masyarakat atau komunitas pada dasarnya memiliki keunikan tersendiri, akan tetapi Jepang merupakan kasus yang tidak biasa dengan banyaknya masyarakat/orang yang mempercayai bahwa negara mereka unik.31 Terlepas dari apakah Jepang secara unik ‘unik’ dalam realita sosial dan psikologi, begitu melimpahnya publikasi Jepang atas keunikannya, hal itu sendiri merupakan suatu hal yang unik. Meski keabsahan dari nihonjinron sendiri masih banyak dipertanyakan baik secara metodologi, empiris, maupun dasar ideologinya, bahasan tentang nihonjinron masih tetap dominan dan bertahan. Pemahaman nihonjinron yang dijadikan landasan sebagai identitas nasional Jepang sebagai bangsa yang unik, secara politik mungkin terdengar kontroversial dan beresiko. Namun, ketika Menteri 89
Komunikasi pada
masa pemerintahan Taro
Aso
tahun 2005
mencetuskan jargon ‘one culture, one civilization, one race’ (satu budaya, satu peradaban, satu ras), hal tersebut tidak menjadi masalah dan bahkan diterima oleh publik.32 Menteri Pendidikan pada masa pemerintahan Shinzo Abe periode 2007 juga sempat melontarkan pernyataan bahwa Jepang sangatlah homogen (Japan is extremely homogenous).
Terkait
pernyataan
tersebut,
PM
Abe
sendiri
menyatakan tidak masalah karena ia merujuk pada fakta bahwa masyarakat Jepang telah hidup damai dengan baik sejauh ini, yang bisa dikatakan memiliki implikasi bahwa apabila warga asing diperbolehkan bermigrasi maka keharmonisan ‘tradisional’ yang menjadi ciri masyarakat Jepang tersebut akan rusak.33 Masalah identitas, yang didasari pada nihonjinron, tersebutlah yang akan menjadi sorotan dalam penelitian ini guna menjelaskan kebijakan Jepang terhadap tenaga kerja imigran pada masa pemerintahan Abe yang masih tetap ketat dan resisten terhadap imigrasi tersebut. Teori collective identity (identitas kolektif), yang dicetuskan oleh Alexander Wendt, akan digunakan untuk memahami faktor yang mempengaruhi kebijakan Jepang terhadap imigrasi tersebut. Namun sebelum melangkah lebih lanjut ke analisis menggunakan teori Wendt, perlu dipahami terlebih dahulu pengertian dari identitas sendiri. Dalam pemahaman filosofis, identitas diartikan sebagai apapun yang membuat suatu hal menjadi hal tersebut.34 Menurut Wendt, 90
memiliki identitas secara sederhana berarti memiliki pemahaman pasti mengenai siapakah seseorang dalam situasi tertentu, dan konsep identitas tersebut sangat berkaitan dengan kepercayaan dari keinginan dari seseorang tersebut.35 Wendt sendiri mengklasifikasikan identitas kedalam empat jenis, yaitu:36 1. Personal/Corporate Identity Merupakan identitas yang tersusun dari struktur ‘pengaturan diri’ yang tetap, yang membuat aktor berbeda atau membedakan aktor dari lainnya. Seorang aktor hanya memiliki satu identitas semacam ini. Identitas ini mencakup penampakan material layaknya penampilan fisik manusia, atau apabila aktor tersebut adalah negara
maka
penampilan
fisik
tersebut
adalah
wilayah
geografisnya. Namun, apa yang sesungguhnya membedakan identitas personal/korporat adalah kesadaran dan pemahaman aktor tersebut terhadap dirinya sendiri. 2. Type Identity Istilah ‘type identity’, yang disadur dari tulisan Jim Fearon oleh Wendt, merujuk pada kategori sosial atau label yang diberikan kepada seseorang yang memiliki (dirasa memiliki) beberapa karakteristik dalam penampilan, perilaku, sikap, nilai, keahlian, pengetahuan, opini, pengalaman, kesamaan sejarah, dan lain-lain. Fearon memasukkan ‘remaja’, ‘afiliasi partai’, dan ‘heteroseksual’ sebagai contoh dari identitas berdasarkan tipe tersebut. Seorang 91
aktor, oleh karena itu bisa memiliki lebih dari satu identitas di saat yang bersamaan. 3. Role Identity Role identity (identitas berdasarkan peran yang disandang), diperoleh dalam hubungan seseorang dengan orang atau aktor lain. Seorang aktor tidak dapat memperoleh identitas ini seorang diri. Role identity bersandar pada ekspetasi bersama yang difasilitasi oleh institusionalisasi dari peran-peran tersebut dalam struktur sosial. 4. Collective Identity Collective identity mengambil hubungan antara ‘diri sendiri’ (self) dan ‘yang lain’ (others) untuk penyimpulannya yang logis yaitu identifikasi. Identifikasi merupakan sebuah proses kognitif yang mana perbedaan antara self dan others menjadi kabur, dan bahkan batasannya yang ada akan saling melampaui. Self terkategorikan sebagai others. Identitas tunggal yang baru akan terbentuk dari penggabungan self tersebut kedalam others atau dapat dikatakan menjadi sebuah kelompok. Identitas tunggal yang baru tersebut yang disebut identitas kolektif. Sebuah rasa kebersamaan atau sense of belonging akan muncul, dan kepentingan kelompok pun akan menjadi bagian dari kepentingan self atau diri. Terdapat karakteristik yang sama dari aktor dalam identitas kolektif tersebut.
92
Collective identity inilah yang akan menjadi sorotan utama dalam penelitian ini untuk menganalisis formulasi kebijakan pemerintah Jepang terhadap tenaga kerja imigran. Dalam kasus ini, identitas kolektif itu sendiri adalah identitas dari masyarakat Jepang sebagai bangsa Jepang atau warga Jepang (Nihonjin). a. Identitas Kolektif Jepang Sebagaimana telah disebutkan diatas, identitas kolektif muncul dari proses identifikasi dari diri sendiri (self) yang merasa menjadi bagian dari yang lain (others). Hal tersebut didorong oleh adanya kesamaan karakteristik yang dimiliki aktor-aktor dalam suatu kelompok. Proses pembentukan identitas kolektif tersebut meleburkan identitas aktor sebagai individu (self) yang kemudian memunculkan identitas tunggal yang baru sebagai “we” (kita). Identifikasi tersebut, yaitu rasa menjadi bagian dari kelompok “kita”, merupakan sebuah identitas sosial/kolektif. Menurut pandangan konstrutivisme Wendt, nilai dari budaya yang telah terinternalisasi secara penuh kemudian akan membuat para aktor mampu mengidentifikasi dan mengartikan “orang/kelompok lain” yang mereka generalisasikan, sebagai bagian dari pemahaman terhadap “diri/kelompok sendiri.”37 Dengan kata lain, identifikasi tersebut menciptakan perbedaan dan batasan antara “kita” dan “mereka”. Dalam hal ini “mereka” bisa jadi terdiri dari macammacam orang yang berbeda-beda, akan tetapi dari pandangan atau 93
sudut pandang “kita”, “mereka” adalah sama yaitu bukan merupakan bagian dari “kita”. Identitas kolektif sendiri dapat dipahami dalam tiga cara, yaitu: 1) ia dapat mengenai batas-batas kelompok dan menjelaskan siapa yang dianggap bagian dari kelompok, 2) ia dapat mengenai atribut dari anggota kelompok prototipikal atau mengenai karakter atau nilai-nilai yang dimiliki bersama oleh anggota moral, dan 3) identitas dapat mengenai hubungan yang dimiliki oleh aktor vis-a-vis aktor kolektif lainnya.38 Pelabelan yang diberikan oleh warga Jepang (Nihonjin) terhadap orang asing sebagai Gaikokujin, ataupun penyebutan orang asing keturunan Jepang sebagai Nikkeijin sendiri merupakan bentuk dari identifikasi kelompok “kami” dan “mereka”. Warga Jepang (Nihonjin) dalam hal ini memposisikan diri sebagai kelompok “kami” dan tentunya melihat kelompok yang lain tersebut sebagai bukan bagian dari “kami”. Batasan yang tercipta antara kelompok “kami” dan “bukan kami” atau “mereka” tersebut tentunya berpengaruh pada penerimaan kelompok “bukan kami” ke dalam lingkungan masyarakat kelompok “kami”. Masyarakat Jepang sendiri meyakini bahwa Jepang merupakan negara yang unik dan secara ras homogen yang oleh sebab itu itu tidak seharusnya dikontaminasi.39 Identifikasi tersebut akan sangat relevan apabila dikaitkan dengan isu penerimaan tenaga kerja asing di Jepang. Adanya batasan yang tercipta antara “kami” (masyarakat Jepang) 94
dan “mereka” (tenaga kerja asing) menyebabkan resistensi mayoritas masyarakat Jepang terhadap penerimaan tenaga kerja asing masih tinggi. Rasa menjadi bagian dari kelompok “kita/kami”, merupakan sebuah identitas sosial/kolektif yang memberikan aktor kepentingan untuk mempertahankan budayanya,40 sehingga aktor (dalam hal ini adalah Jepang) akan cenderung menolak kedatangan kelompok “mereka” (dalam hal ini adalah tenaga kerja asing) karena dianggap sebagai sebuah ancaman. Adapun dalam tulisan Yeong Hae Jung disebutkan pandangan negatif mayoritas masyarakat Jepang terhadap penerimaan tenaga kerja imigran, yaitu sebagai berikut:41 1. Jika jumlah warga Jepang tidak bekerja meningkat, kami tidak akan menerima tenaga kerja asing. Namun, jika mereka (buruh asing) dapat menjadi alternatif untuk memenuhi kekurangan pekerja, kami akan mengijinkan mereka untuk datang. 2. Adalah hal wajar untuk membedakan bayaran antara pekerja Jepang dan pekerja asing, dan mengenakan batasan dalam penerimaan pekerja asing tersebut. 3. Semakin banyak pekerja asing yang datang ke Jepang, semakin meningkat pula kriminalitas dan masalah yang kemungkinan besar akan mereka perbuat. Oleh karena itu, kami khawatir keamanan akan menjadi buruk di Jepang.
95
4. Kami berharap tenaga kerja asing tidak akan membawa keluarga mereka untuk tinggal bersama mereka di Jepang. 5. Kami berharap tenaga kerja asing tidak akan tinggal di Jepang secara permanen. 6. Menurut kami, menerima tenaga kerja asing akan membantu mereka dengan masalah kemiskinan, tetapi kami tidak akan terbantu dengan bantuan mereka untuk masyarakat kami. 7. Kami tidak akan menyetujui ataupun menolak penerimaan tenaga kerja asing sebagai pengasuh lansia. Keengganan masyarakat Jepang untuk menerima tenaga kerja asing tersebut tentunya dipengaruhi oleh batasan yang tercipta dari identifikasi akan identitas kolektif sebagaimana dijelaskan diatas. Yoshio Sugimoto menyebutkan bahwa
kepribadian
masyarakat Jepang sendiri lebih menekankan pada orientasi kelompok dibanding dengan individualitas.42 Hal tersebut tentunya semakin
memperkuat
identitas
kolektif
yang
ada,
dan
mempertebal batasan antara kelompok “kami” dan “mereka” atau “bukan kami”. Keterikatan dan keanggotaan dalam suatu kelompok menjadi hal yang penting dan sangat menentukan dalam interaksi masyarakat Jepang. Mereka (masyarakat Jepang) digambarkan memiliki kepribadian yang minim akan egoisme ataupun kemandirian diri, dan mereka merasa tidak butuh untuk menunjukkan sikap individualitas secara terbuka.43 Minimnya sikap 96
egois dan mandiri tersebut menyebabkan kepentingan kelompok selalu didahulukan dan menciptakan hubungan ketergantungan antar sesama anggota kelompok. Oleh Chie Nakane, hal tersebut diperlihatkan dari pola hubungan antar anggota perusahaanperusahaan yang ada di Jepang. Di Jepang, setiap pekerja memiliki rasa keterikatan dan kesetiaan yang kuat terhadap perusahaan sampai pada tahap perusahaan lebih penting daripada keluarga. Hal tersebut merupakan wujud dari pendahuluan kepentingan kelompok ketimbang kepentingan pribadi. Dalam berinteraksi dengan orang luar atau anggota perusahaan lain, anggota perusahaan akan selalu menunjukkan atributnya sebagai anggota dari perusahaan tempat ia bekerja dengan selalu merujuk pada kata pengganti “kami” daripada menggunakan “saya”. Kesadaran akan “mereka” dan “kami” diperkuat dan makin menjadi-jadi sehingga hal-hal yang begitu kontras dalam hubungan antar manusia berkembang di masyarakat yang sama, dan setiap orang di luar “orang-orang kita” tidak dianggap manusiawi lagi.44 Salah satu contoh ekstrim mengenai sikap masyarakat Jepang, yang berorientasi pada identitas kelompok tersebut, adalah dinginnya mereka (acuh tak acuh) terhadap orang asing dari pulau lain, atau pada mereka yang hidup dalam ‘buraku’ (dulu kelompok sosial yang dikucilkan tetapi sekarang sudah diakui walau masih tetap menghadapi diskriminasi).45 97
Pola hubungan masyarakat Jepang yang berorientasi pada keanggotaan kelompok diatas merupakan contoh dalam skala kecil. Pengaplikasian pola tersebut dalam skala yang lebih besar dapat dicontohkan dari penolakan atau sikap negatif masyarakat Jepang terhadap penerimaan tenaga kerja asing. Gagasan ‘Jepang sebagai bangsa yang unik’ –yang dipercayai oleh mayoritas warga Jepang sendiri— ataupun ‘Jepang yang homogen’ , semakin memperbesar rasa keterikatan satu sama lain dan memperkuat identitas atau atribut mereka sebagai suatu kelompok yaitu sebagai bangsa Jepang (Nihonjin). Kitayama, dari sudut pandang psikologi, bahkan menyatakan bahwa budaya dan pemikiran Jepang saling berinteraksi satu sama lain dan konsep individualitas di Jepang lebih menekankan pada hubungan keterkaitan antar individu.46 Mungkin tidak mudah dipahami oleh pihak luar betapa orang Jepang itu bergantung dan berharap kepada kawankawannya.47 Ketergantungan itu pula yang kemudian juga semakin memperkuat perasaan dan kesadaran dalam kelompok, dan menciptakan pola hubungan orang Jepang yang selalu berorientasi pada kelompok. Chie Nakane dalam tulisannya menyatakan bahwa: “Orang Jepang tidak berhasil mengembangkan suatu sikap sosial yang patut diterapkan kepada orang asing, atau orang-orang dari “luar”. (…) Mereka tidak mengembangkan teknik untuk menghadapi orang-orang “di luar” mereka, 98
oleh karena kehidupan mereka begitu terpusat pada kelompok mereka sendiri.”48 Kesadaran akan identitas kolektif yang kuat sebagai “kami” tersebut tentunya juga akan semakin menguatkan batasan dan perbedaan yang tercipta dengan kelompok yang lain atau “mereka”, yang dalam kasus ini adalah tenaga kerja asing. Pembatasan-pembatasan yang diberlakukan, termasuk perbedaan upah pekerja antara warga Jepang dan warga asing, juga menunjukkan adanya batasan yang tercipta karena faktor identitas tersebut. Meskipun bekerja di bidang yang sama, pekerja Jepang mendapat upah yang lebih banyak daripada pekerja asing, perbedaan tersebut secara sederhana dikarenakan oleh identitas pekerja asing yang bukan merupakan bagian dari kelompok “kami” (Nihonjin). b. Identitas dan Kebijakan Imigrasi Jepang Sebagaimana telah diulas diatas, rasa menjadi bagian dari kelompok “kita” tersebut (dalam hal ini yaitu Nihonjin) merupakan sebuah identitas sosial/kolektif. Menurut teori identitas kolektif Wendt, identitas kolektif tersebut yang kemudian memberikan aktor kepentingan untuk mempertahankan budayanya, dan ketika budaya mereka terancam aktor akan cenderung bertindak berdasarkan insting untuk melindunginya.49 Dalam pandangan konstruktivis sendiri, identitas merupakan faktor penting yang 99
mempengaruhi kepentingan (interest) suatu negara.
Identitas
merujuk pada siapakah aktor dan membentuk jatidiri dari aktor, sementara kepentingan sendiri merujuk pada apa yang diinginkan oleh aktor dan membentuk motivasi/dorongan yang dapat digunakan untuk menerangkan tindakan aktor tersebut.50 Seorang aktor tidak bisa mengetahui apa yang ia inginkan sampai ia mengetahui siapa dirinya. Tanpa ‘kepentingan’ (interest) ‘identitas’ tidak memiliki dorongan/alasan, dan tanpa ‘identitas’ ‘kepentingan’ tidak memiliki arah/tujuan. Wendt menerangkan bahwa tindakan seorang aktor merupakan gabungan dari keinginan (desire) dan kepercayaan (belief) dari aktor tersebut.51 Kepercayaan tersebut tentunya dipengaruhi oleh identitas aktor, sementara keinginan tersebut merepresentasikan kepentingan aktor. Oleh karena itu, dalam hal ini identitas dan kepentingan bekerjasama dengan erat untuk saling melengkapi dan menciptakan sebuah tindakan. Kebijakan Jepang terhadap tenaga kerja imigran disini sendiri dapat dikatakan sebagai tindakan dari pemerintah Jepang yang merupakan hasil kombinasi dari identitas dan kepentingan Jepang sendiri. Identitas (kolektif) sebagai Nihonjin membuat Jepang memandang kelompok lain yang ‘bukan Nihonjin’ secara berbeda. Jepang yang berpegang pada kepercayaan akan pentingnya mempertahankan keharmonisan dalam kelompok52 memandang kedatangan orang luar (bukan Nihonjin) termasuk tenaga kerja 100
imigran
sebagai
potensi
gangguan
yang
dapat
merusak
keharmonisan tersebut. Gagasan tentang ‘masyarakat Jepang yang harmonis dan cinta damai’ tersebut menjadi salah satu aspek yang disoroti dalam kajian ‘Jepang yang homogen’ yang berkaitan dengan masalah migrasi.53 Kecintaan dan kebanggaan akan identitas sebagai bangsa Jepang yang unik dan harmonis tersebut kemudian menjadikan Jepang memandang kelompok lain diluar lingkaran Nihonjin lebih rendah. Di Jepang sendiri terdapat stratifikasi ras yang dapat diilustrasikan sebagai berikut: Gambar 3.2 Stratifikasi Sosial berdasarkan Ras di Jepang
Sumber: Hugo CÓRDOVA QUERO, “To be Nikkeijin or... Not to Be: Identity Formation Dilemmas Among Brazilians of Japanese Ancestry Migrating to Japan.”
Dari bagan tersebut dapat dilihat bahwa Nihonjin (warga Jepang) menempati posisi teratas dalam strata sosial. Ditempat
101
kedua terdapat masyarakat golongan kikokushijo, yaitu anak-anak keturunan asli Jepang yang lama hidup/tinggal di luar negeri dan kemudian
kembali
ke
Jepang.
Ditempat
kedua
adalah
nikkeijin/zanryuukoji. Nikkeijin yaitu warga asing yang masih memiliki garis keturunan Jepang, sementara zanryuukoji merujuk pada anak-anak yatim-piatu Jepang yang tertinggal di Tiongkok saat perang. Setelahnya, terdapat zainichi gaikokujin yaitu warga negara asing yang telah lama tinggal di Jepang. Kelompok zainichi ini sebagaian besar adalah warga negara Korea yang dibawa ke Jepang sebagai pekerja paksa dalam Perang Dunia II. Pada tahun 1991, seluruh kelompok zainichi di Jepang diakui diberikan status “permanent resident”54, dan di posisi paling bawah adalah gaikokujin atau gaijin yang secara harafiah berarti orang asing. Stratifikasi tersebut jelas menunjukkan bagaimana pentingnya peranan identitas di Jepang. Semakin seseorang tidak memiliki kedekatan ataupun keterkaitan identitas dengan Nihonjin maka ia akan berada diposisi rendah dalam strata sosial dan tentunya dipandang lebih rendah dan berbeda dari pada tingkatan diatasnya. Pekerja asing, terutama unskilled labors, sendiri kebanyakan tergolong dalam kelompok nikkeijin dan gaikokujin. Dari bagan diatas, nikkeijin sendiri berada dalam strata yang lebih tinggi dibandingkan dengan gaikokujin meskipun pada kenyataanya 102
kedua kelompok tersebut memainkan peran yang relatif sama bagi Jepang yaitu sebagai pekerja kerah biru. Perlakuan spesial yang diberikan pemerintah Jepang terhadap tenaga kerja dari golongan nikkeijin dengan pemberian status yang tidak membatasi jenis pekerjaan
mereka
merupakan
bentuk
nyata
diskriminasi
pemerintah terhadap tenaga kerja asing karena faktor identitas. Karena nikkeijin tersebut merupakan “ekstrak” dari keturunan Jepang, pemerintah menganggap mereka lebih bisa diandalkan, dipercaya, dan sungguh-sungguh dibandingkan pekerja asing lainnya.55 Meskipun nikkeijin mendapat keistimewaan lebih dibanding dengan tenaga kerja asing lainnya, nikkeijin sendiri tetaplah bukan merupakan bagian kelompok dari nihonjin sehingga dalam strata sosial masyarakat Jepang nikkeijin tetaplah lebih rendah dan diberlakukan secara berbeda. Kompetensi maupun kemampuan diri seseorang tidak akan merubah kedudukannya dalam stratifikasi sosial yang didasarkan pada identitas tersebut. Studi etnografi dan survey dengan pekerja di Hamamatsu menunjukkan bahwa latar belakang pendidikan dan kompetensi Bahasa Jepang tidak mempengaruhi kenaikan gaji pekerja asing secara signifikan.56 Meski mendapat kelonggaran dalam ijin kerja karena statusnya sebagai permanent resident, 91% dari kelompok nikkeijin sendiri bekerja sebagai unskilled atau semi-skilled workers yang melibatkan pekerjaan yang mudah dan sederhana tanpa 103
memerlukan pelatihan khusus.57 Oleh karenanya, meskipun para nikkeijin tersebut berpendidikan dan dulunya bekerja sebagai pekerja kerah putih di Brazil, dalam wawancara kerja sedikit dari perusahaan yang mempekerjakan mereka menanyakan tentang latar belakang pendidikan dan pengalaman kerja mereka tersebut. Peran dan pengaruh faktor identitas tersebut tentunya tidak bisa diabaikan dalam proses pembuatan kebijakan pemerintah Jepang terkait tenaga kerja imigran sendiri. Analisa pembuatan keputusan sendiri dapat disoroti dengan pendekatan psikologi yang melibatkan kelompok. Banyak riset yang meneliti pengaruh kelompok terhadap individu dan seberapa kuat kelompok bisa mendistorsi persepsi dan penilaian.58 Groupthink atau berpikir kelompok dalam analisa pembuatan keputusan menerangkan bahwa karena anggota dari suatu kelompok bersikap loyal terhadap sudut pandang atau interpretasi informasi menurut kelompok, maka konsensus bisa membutakan pembuat keputusan terhadap realitas.59 Identitas kolektif dalam hal ini sendiri menjadi pemicu utama yang memunculkan kesadaran aktor akan perasaan kelompok tersebut dan menciptakan logika atas dasar kepentingan kelompok.
Oleh
karenanya
meskipun
realitas
yang
ada
menunjukkan bahwa Jepang membutuhkan tenaga kerja imigran, akan
tetapi
karena
persepsi
kelompok
‘Nihonjin’
yang
mempersepsikan kelompok lain dibawah stratanya secara negatif 104
maka Jepang pun menolak kelompok luar tersebut yang dalam hal ini adalah tenaga kerja imigran. Jeff Kingston menyebutkan bahwa politik imigrasi di Jepang melibatkan kekhawatiran akan identitas nasional dan kriminalitas yang dilakukan oleh pekerja asing.60 Jepang tidak mengijinkan pekerja asing khususnya unskilled workers masuk ke Jepang dikarenakan ketakutan bahwa mereka akan mengancam budaya nasional yang dibangun dari sebuah konsensus.61 Implikasi dari penerimaan
warga
asing
yang
mungkin
akan
merusak
keharmonisan dan kerjasama yang mencirikan masyarakat Jepang membentuk persepsi masyarakat yang mengidentikan warga asing sebagai penjahat.62 Oleh karena itu, merupakan hal wajar apabila kebijakan imigrasi Jepang sangatlah ketat di bidang imigrasi. Berdasarkan teori identitas kolektif sendiri dikatakan bahwa ketika budaya mereka terancam, aktor secara naluri akan cenderung
bertindak
untuk
mempertahankannya. 63
Dalam
pembentukan kebijakan imigrasi Jepang sendiri, aktor atau lembaga pemerintah yang paling berkuasa dan bertanggungjawab adalah Ministry of Justice (MOJ). MOJ sendiri mengambil sikap yang keras dengan selalu menolak segala bentuk kebijakan untuk mengembangkan imigrasi, dan kukuh untuk menjatuhkan sanksi terhadap perusahaan yang menyewa atau mempekerjakan pekerja asing ilegal.64 Sikap keras tersebut dipengaruhi oleh pandangan 105
konservatif MOJ yang masih didominasi oleh kepentingan keamanan
domestik
dan
persoalan
ideologi
untuk
mempertahankan homogenitas etnis bangsa dan kemurnian budaya Jepang.65 Sikap MOJ yang mewakili pemerintah Jepang tersebut tentunya mencerminkan bagaimana aktor bertindak untuk mempertahankan budaya Jepang yang dianggap akan terancam dengan kedatangan pekerja asing dalam jumlah besar. Dari pandangan teori Wendt, aktor sendiri masih bersifat rasional akan tetapi unit dasar yang mereka gunakan untuk memperhitungkan manfaat dan tindakan adalah kelompok. 66 Sifat rasionalitas aktor (dalam kasus ini adalah pemerintah Jepang) tersebut tercermin dari kebijakan imigrasi Jepang dalam masa pemerintahan Shinzo Abe ini. Dibawah kepemimpinan Abe, pada dasarnya kebijakan Jepang masih tidak berubah, akan tetapi berdasarkan rasionalitas yang ada ada yaitu untuk mengatasi krisis pekerja Abe meluncurkan Japan’s Revitalized Strategy 2014 yang mengembangkan program TIP untuk menerima lebih banyak pekerja asing dan memperpanjang masa tinggalnya. Chieko Kamibayashi dalam wawancara virtual menyatakan bahwa dari tahun 1968 sampai saat ini, pemerintah Jepang masih persisten dengan kebijakan untuk melarang pekerja asing khususnya unskilled workers. Namun hanya akhir-akhir ini, karena kekurangan pekerja di industri konstruksi dan juga keperawatan, 106
pemerintah berencana untuk memperkenalkan pekerja asing. Oleh karena itu, Jepang mulai berhati-hati mengambil langkah untuk membuka pintu imigrasi tersebut. Kamibayashi juga menambahkan apabila kita memahami pandangan politik Abe, kebijakan tersebut merupakan perubahan yang luar biasa. Kebijakan Abe tersebut dikatakan sebagai sesuatu yang luar biasa karena pada dasarnya pandangan Abe terkait penerimaan tenaga kerja asing sendiri sangatlah negatif (tersirat dalam pernyataan-pernyataannya terkait imigrasi). Abe sendiri juga sangat menjunjung tinggi kebanggaan sebagai bangsa Jepang (Nihonjin) dimana Hifumi Okunuki menyebutkan dalam wawancara virtual bahwa Shinzo Abe adalah seorang ultranasionalis. Gabriele Vogt, juga melalui wawancara virtual, menambahkan bawa secara terbuka mengatakan Jepang bukanlah masyarakat yang homogen akan membahayakan pemerintah,
dan
pemerintahan
Abe
sendiri
juga
sering
menitikberatkan kebangkitan Jepang melalui patriotisme. Fakta tersebut menunjukkan bagaimana identitas sebagai Nihonjin yang merupakan bangsa yang unik dan homogen masih berpengaruh kuat. Menyatakan Jepang bukan masyarakat yang homogen mungkin
akan
berbahaya
bagi
pemerintah,
karena
pada
kenyataannya sebagian besar masyarakat Jepang percaya bahwa Jepang adalah homogen. Kepercayaan itu sendiri didukung oleh fakta bahwa kelompok etnis yang terdapat di Jepang tidak begitu 107
beragam. Kelompok etnis tersebut terdiri atas etnis Jepang (Japanese) sebanyak 98,5%; Koreans 0,5%; Chinese 0,4%; dan etnis lainnya 0,6%.67 Kebijakan Abe untuk menerima lebih banyak pekerja dan memperpanjang periode tinggalnya itu sendiri tidak dapat dijamin akan bertahan seterusnya. Kamibayashi, dalam wawancara, menerangkan bahwa karena kebijakan imigrasi Jepang bersifat sangat ad hoc, maka tidak ada yang tau apa yang akan terjadi setelah 2020 saat Olimpiade Tokyo (Tokyo Olympic) telah selesai diselenggarakan. Peningkatan kuota dan perpanjangan periode tinggal pekerja asing yang tercantum dalam Japan’s Revitalized Strategy khususnya di bidang konstruksi memang dipersiapkan untuk menggarap persiapan menuju Olimpiade 2020, sehingga setelah 2020 berlalu terdapat kemungkinan bahwa para pekerja asing tersebut tidak diperlukan lagi. Masih berpegang pada argumen Wendt, dijelaskan bahwa untuk mengubah struktur sosial diperlukan pula perubahan pada identitas kolektif karena struktur sosial dalam budaya manapun yang sudah terinternalisasi berhubungan erat dengan identitas kolektif.68 Perubahan membutuhkan pendefisian ulang dengan cara meruntuhkan identitas yang lama menjadi identitas yang baru, karena entah itu masalah pekerja, warga negara, ataupun negara yang dibicarakan, elemen penyusun yang membentuk identitas 108
kolektif selalu sama yaitu pendefinisian batasan antara “kita” dan “mereka” untuk menciptakan identitas grup yang sama atau perasaan kebersamaan sebagai “kita”.69 Dalam kasus Jepang ini, apabila Jepang ingin menjadi negara yang menerima imigrasi secara positif, maka dibutuhkan pula perubahan dalam masyrakat Jepang. Jepang perlu berubah menjadi masyarakat multi-etnis yang menyambut dan menghargai keberagaman (multikulturalisme), daripada tetap mempertahankan kepercayaan akan homogenitas masyarakat. Mantan Kepala Biro Imigrasi Tokyo, Hidenori Sakanaka, mempercayai bahwa hanya imigrasi yang dapat menyelamatkan Jepang. Sakanaka mengajukan proposal pada tahun 2014 dan merekomendasikan Jepang untuk menyerap sekitar 10 juta imigran dalam 50 tahun atau sekitar 200.000 jiwa per tahun.70 Sakanaka menambahkan bahwa untuk dapat menarik para imigran tersebut, Jepang terlebih dahulu harus menjadi masyarakat yang multi-etnis.71 Namun jalan menuju Jepang yang multi-etnis tersebut tentunya tidak mudah mengingat kepercayaan atas ‘Jepang yang homogen’ masih sangatlah kuat. Konsep-konsep utama yang tercantum dalam stereotype Nihonjinron meliputi orientasi grup, kerjasama dan ketergantungan, keharmonisan kelompok, perasaan menyatu dengan alam, egalitarianisme dan keseragaman ras, masih mendominasi dalam kajian-kajian yang mencoba menganalisa dan memahami tentang Jepang.72 Selain itu, 109
fakta menunjukkan bahwa kebanyakan masyarakat Jepang jarang berinteraksi langsung dengan warga asing karena kebanyakan para penduduk asing tersebut terpusat di kota-kota besar, sehingga pemahaman akan budaya lain tentunya akan menjadi tidak merata dan membuat jalan menuju Jepang yang multi-etnis menjadi lebih sulit. Namun, Jepang sendiri tidak terlihat untuk menuju ke arah pembentukan masyarakat yang multikultural tersebut. Dalam domestik Jepang sendiri, pada kenyataannya masih terdapat diskriminasi yang kuat terhadap etnis-etnis minoritas seperti ras Ainu,
kelompok
Burakumin,
dan
Zainichi
Koreans
(warga
kebangsaan Korea yang telah lama tinggal di Jepang). Gagasan multicultural coexistence (tabunka kyosei) mungkin dapat berperan penting untuk menyelesaikan berbagai situasi yang muncul di Jepang terkait banyak kelompok etnis, akan tetapi stratifikasi dan formasi secara rasial pada dasarnya telah menentukan posisi seseorang di dalam masyarakat Jepang.73 Sampai Jepang dapat berubah menjadi masyarakat yang multikultural, kebijakan imigrasi terhadap tenaga kerja imigran pun kemungkinan besar akan tetap sama. Oleh karenanya dapat dikatakan, meski di era pemerintahan Shinzo Abe ini pemerintah dinilai mulai membuka pintu untuk imigrasi, inti utama dari kebijakan imigrasi Jepang masih tetaplah sama yaitu menolak imigrasi karena resistensi pemerintah dan masyarakat Jepang yang 110
masih tinggi sebagai akibat dari pemahaman identitas kolektif mereka sebagai “kita” atau bangsa Jepang (Nihonjin) yang homogen dan harmonis.
C. Dualisme dalam Implementasi Kebijakan Pemerintah Dari bahasan sebelumnya didapati bahwa secara resmi di atas kertas, pemerintah Jepang memang menyatakan kebijakan imigrasi Jepang menganut prinsip tidak mengakui unskilled workers (no unskilled workers will be admitted). Namun, realitas yang ditemui di lapangan sangatlah berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh pemerintah. Meskipun pemerintah bersikeras mengatakan tidak ada unskilled workers, realita di lapangan menunjukkan sebaliknya. Sektorsektor pekerjaan kerah biru, yang paling merasakan dampak labor shortage, diisi oleh tenaga-tenaga asing atau tenaga kerja imigran. Pemerintah Jepang bersikukuh untuk mempertahankan prinsip tersebut karena unskilled workers dianggap akan menurunkan standar kualitas angkatan kerja di Jepang, dan pemerintah harus menanggung biaya pelatihan serta pengembangan keahlian mereka.74 Selain itu, terdapat pula kekhawatiran bahwa unskilled workers, yang notabene adalah tenaga kerja tidak terlatih dan terdidik, dapat mengkontaminasi masyarakat Jepang yang berujung pada destabilasasi dan disintegrasi. 75 Kekhawatiran akan meningkatnya angka kriminalitas yang dilakukan oleh tenaga kerja asing juga menjadi salah satu alasan kuat pemerintah 111
tetap mempertahankan kebijakannya yang ketat tersebut. Namun, perekonomian Jepang tentunya tidak mungkin dapat bertahan tanpa adanya unskilled workers. Oleh karena itu pada kenyataanya, meski bertentangan dengan pernyataan pemerintah, tenaga kerja asing unskilled workers hadir dan mengisi sektor-sektor pekerjaan kerah biru di Jepang. Pada Bab sebelumnya telah disajikan data dan penjelasan terkait tenaga kerja imigran di Jepang, terutama golongan unskilled workers. Peserta TITP dan EPA, warga asing keturunan Jepang (Nikkeijin), dan pelajar/mahasiswa merupakan komposisi utama dari tenaga kerja imigran golongan unskilled workers di Jepang. Berdasarkan visa tinggal, mereka tidak bisa secara langsung dikatakan sebagai tenaga kerja, apalagi unskilled workers. Namun, bila ditilik lebih lanjut dari apa yang mereka kerjakan, terlepas dari status tinggal mereka, mereka mengerjakan pekerjaan-pekerjaan unskilled labors yang bahkan banyak dihindari oleh masyarakat Jepang sendiri. Peserta
Technical
Intern
Training
Program
(TITP)
yang
seharusnya belajar mengenai transfer teknologi dan pengetahuan di Jepang agar dapat diterapkan di negara asal mereka saat pulang, dimanfaatkan sebagai tenaga kerja di perusahaan-perusahaan Jepang yang kekurangan pekerja. Hal tersebut dengan jelas telah ditunjukkan lewat liputan Vice News yang dalam Bab sebelumnya telah sempat disinggung. Selain itu, sebuah NGO (Non-Government Organization) 112
yang mengurusi masalah imigran di Jepang, SMJ (Solidarity Network with Migrants Japan) telah berulang kali mengkritik program pemerintah tersebut akibat banyaknya laporan tentang pelanggaran hak-hak peserta magang. SMJ bahkan merekomendasikan pada pemerintah untuk menghapuskan TITP dan membuat sistem baru yang secara terbuka mengakomodasi penerimaan tenaga kerja imigran guna menghindari pelanggaran hak-hak peserta magang yang sering terjadi di TITP.76 Namun, harapan SMJ agar pemerintah menghapuskan TITP tersebut agaknya masih akan sangat sulit untuk tercapai karena TITP masih menjadi andalan pemerintah dalam mendatangkan tenaga kerja murah. Japan Revitalization Strategy sebagai produk dari pemerintahan Abe yang mencantumkan revisi TITP guna menyedot lebih banyak tenaga kerja telah secara gamblang menunjukkan bagaimana pemerintah mengeksploitasi program tersebut karena desakan krisis pekerja yang dialami Jepang. Kelompok selanjutnya adalah warga asing keturunan Jepang (nikkeijin) yang kebanyakan berasal dari Amerika Latin. Meskipun, mereka tidak mendapat pembatasan dalam bekerja karena status mereka sebagai “Spouse of Japanese
atau long-term resident”,
mayoritas dari para nikkeijin tersebut nyatanya bekerja sebagai unskilled workers. Ketika mereka pertama kali masuk ke Jepang secara massal, mayoritas dari mereka dipekerjakan di industri manufaktur yang saat itu memang kekurangan buruh pekerja. Bahkan Kementerian 113
Tenaga Kerja Jepang (Ministry of Labor), dengan konsensus dari kementerian lainnya, telah mendirikan Pusat Pemerkerjaan Nikkeijin (Nikkeijin
Employment
Centers)
di
Tokyo
dan
Nagoya
yang
memudahkan perusahaan-perusahaan Jepang untuk mempekerjakan Nikkeijin secara langsung tanpa melalui broker.77 Sebagaimana kebijakan “technical trainee” yang bertopeng ideologi untuk membantu perkembangan negara lain (negara berkembang), kebijakan nikkeijin ini juga disajikan dengan menyamar sebagai kebijakan penyatuan keturunan etnis Jepang ke kampung halaman.78 Oleh karenanya, dapat dikatakan bahwa status “technical intern” yang diberikan kepada peserta TITP, maupun status “spouse of Japanese atau long-term resident” untuk para nikkeijin tersebut adalah status palsu atau lebih tepatnya adalah status bayangan atau samaran. Terlepas dari status atau visa tinggal mereka, peserta TITP dan nikkeijin tersebut adalah tenaga kerja asing unskilled workers untuk Jepang. Status ganda (meski secara implisit) tersebut yang kemudian menjadikan kebijakan pemerintah Jepang terkait tenaga kerja imigran ini terlihat bias. Terdapat dualisme dari pemerintah dalam hal kebijakan dan implementasinya yang berbeda. Secara resmi, pemerintah menyatakan bahwa tidak ada pengakuan terhadap tenaga kerja asing kategori unskilled workers, akan tetapi realitas memperlihatkan bahwa peserta TITP dan Nikkeijin bekerja mengisi sektor-sektor golongan unskilled di perusahaan-perusahaan di Jepang. Oleh Gabriele Vogt, 114
Jepang sendiri dinilai sebagai contoh ekstrim negara yang memiliki policy output (kebijakan resmi) dan policy outcome (kenyataan) sangat berbeda, terutama dalam kebijakan imigrasi.79 Implementasi yang jauh berbeda dengan prinsip kebijakan yang seharusnya tersebut, dalam penelitian ini, coba dipahami menggunakan konsep pemikiran Jepang sebagai berikut: a. Honne to Tatemae (本音と建前) Dualisme yang terdapat dalam kebijakan imigrasi Jepang tersebut dapat dipahami menggunakan konsep pemikiran Jepang (Concepts of the Japanese Minds) yaitu honne to tatemae (本音と建前). Honne dapat diartikan sebagai motif atau niat terdalam dari seseorang, sedangkan tatemae merujuk pada motif atau niatan seseorang yang terbentuk secara sosial, atau dapat dikatakan sebagai sesuatu yang diharapkan, yang seharusnya dilakukan atau diucapkan sesuai dengan norma-norma utama yang berlaku dalam masyarakat.80 Dalam tulisan Yoshio Sugimoto dijelaskan bahwa tatemae merujuk pada prinsip yang dibangun secara formal yang tidak perlu diterima atau dipraktikkan oleh pihak yang terlibat, sementara honne pada dasarnya merupakan perasaan dan keinginan yang sesngguhnya yang tidak bisa diungkapkan secara terbuka karena kekuatan dari tatemae.81 Secara sederhana honne adalah niatan asli yang ada didalam pikiran/benak aktor, sementara tatemae adalah apa yang 115
dipertunjukkan di luar. Honne to tatemae (honne dan tatemae) ini bisa jadi dipersepsikan layaknya keadaan das sein (yang senyatanya)
dan
das
sollen
(yang
seharusnya).
Honne
merepresentasikan apa yang senyatanya (das sein), sementara tatemae merepresentasikan apa yang seharusnya (das sollen). Apabila tatemae merujuk pada ‘apa yang benar secara politik’, maka honne menunjukkan maksud sebenarnya yang terselubung dan tersembunyi.82 Jika dilihat dalam kebijakan imigrasi Jepang ini, honne atau maksud sebenarnya dari pemerintah Jepang dalam mendatangkan peserta TITP maupun nikkeijin tersebut tidak lain adalah untuk mengisi sektor-sektor pekerjaan unskilled workers di Jepang yang mengalami labor shortage. Namun, dipermukaan yang seharusnya sesuai dengan pernyataan pemerintah Jepang (tatemae), mereka masuk ke Jepang adalah sebagai peserta magang (untuk TITP) yang mencari ilmu dan pengalaman untuk digunakan di negara asal mereka ketika pulang, dan sebagai keturunan Jepang (untuk nikkeijin) yang kembali ke kampung halaman asal nenek moyang mereka. Hal tersebut senada dengan pernyataan Hifumi Okunuki, dosen di Sagami Women’s University sekaligus Presiden Eksekutif dari Tozen Union (Zenkoku Ippan Tokyo General Union), dalam wawancara yang dilaksanakan peneliti melalui email. Okunuki 116
menyatakan bahwa dualisme kebijakan pemerintah tersebut merupakan bentuk honne to tatemae. Pemerintah Jepang membutuhkan pekerja bergaji rendah, dan untuk itulah pemerintah menggunakan peserta magang atau technical trainees. Peserta TITP tersebut pada dasarnya tidak belajar apapun kecuali bekerja untuk gaji yang rendah. Status mereka sebagai ‘trainees’ juga merupakan tatemae. Chieko Kamibayashi, Professor di Departemen Ilmu Sosial Universitas Hosei, melalui wawancara yang dilakukan secara virtual juga menyatakan bahwa kebijakan imigrasi pemerintah Jepang tersebut merupakan wujud suatu dualisme (honne to tatemae). Kamibayashi menambahkan bahwa dualisme tersebut diperlukan oleh pemerintah baik untuk alasan domestik maupun hubungan diplomatik. Alasan domestik dalam hal ini adalah karena para politisi Jepang tidak ingin membahayakan posisi mereka. Para birokrat sadar akan kebutuhan Jepang akan tenaga kerja asing, akan tetapi masyarakat Jepang secara umum enggan untuk mengundang tenaga kerja asing. Politisi yang butuh untuk mempertahankan konstituennya guna memenangkan pemilu tentu memilih bermain aman dengan tidak mengangkat masalah imigrasi tersebut sebagai agenda politik. Oleh karena itu, melalui ‘pintu samping’ secara lihai pemerintah membawa masuk tenaga kerja asing tersebut sebagai Technical Internship Program (TIP). Alasan 117
kedua berkaitan dengan kesepakatan antara Jepang dengan Tiongkok yang merupakan negara pertama Jepang memulai Technical Internship Programnya. Dualisme disini diperlukan dalam hal negosiasi diplomatik. Tiongkok tidak mempermasalahkan ‘dualisme’ yang ada dalam program TIP Jepang karena dapat digunakan sebagai banner untuk menutupi pengiriman unskilled workersnya ke Jepang. Jepang dan Tiongkok, keduanya sama-sama diuntungkan dengan dualisme dari TIP. Melalui TIP, Jepang menutupi penerimaan unskilled workers dari luar, sementara Tiongkok menutupi pengiriman unskilled workers ke luar. Kedua faktor tersebutlah yang mempengaruhi kebijakan imigrasi Jepang saat ini, dan karena alasan domestik dan diplomatik tersebut pula dualisme dalam kebijakan imigrasi Jepang ini tercipta. Gabriele Vogt dalam tulisannya yang berjudul “Closed Doors, Open Doors, Doors Wide Shut?: Migration Politics in Japan”, juga menyatakan bahwa di permukaan (omote), Jepang terlihat mempertahankan kebijakan migrasinyayang ketat dengan hanya menerima tenaga kerja asing skilled workers untuk periode waktu tertentu; namun di dalamnya atau inti (honne) dari kebijakan ini, terdapat strategi pembiaran terhadap arus masuk tenaga kerja asing unskilled workers.83 Kebijakan pemerintahan Abe untuk memenuhi
kekurangan
tenaga
kerja
domestik
dengan
mengembangkan TITP yang mulai dilaksanakan pada awal tahun 118
fiskal 2015 telah secara jelas menunjukkan honne dari pemerintah Jepang. Krisis ketenagakerjaan yang melanda Jepang ini agaknya telah berhasil mendesak pemerintah, sehingga honne yang ada di dalam mulai terlihat di luar bersama dengan tatemae. b. Hedataru to Najimu (隔たると馴染む) Selain honne to tatemae, konsep lain dari pemikiran Jepang yang dapat digunakan untuk memahami kebijakan pemerintah Jepang terhadap
imigrasi
tersebut
adalah
hedataru
to
najimu
(隔たると馴染む). Hedataru dan najimu (hedataru to najimu) ini menjelaskan tentang hubungan antar manusia yang menyangkut aspek ruang personal (personal space) dari tiap individu. Hedataru berarti “memisahkan satu hal dengan yang lain”, dan biasanya juga digunakan untuk “mengasingkan, menjauhkan, menciptakan jarak diantara teman.” Sebaliknya, najimu berarti “terbiasa atau familiar atau yang biasanya dekat.”84 Ide dari Hedataru to najimu menjelaskan hubungan keterikatan antar individu, dan ide tersebut telah terpatri dalam pola hubungan manusia di Jepang sehari-hari. Konsep hedataru secara sederhana dapat diasumsikan sebagai sikap “asing” atau “menjaga jarak” dengan individu yang lain dalam sebuah hubungan atau interaksi. Dalam berinteraksi dengan orang lain (terutama dengan orang yang baru dikenal), orang Jepang cenderung akan membatasi diri dan menjaga jarak. Sebaliknya najimu dapat diartikan sebagai perasaan “dekat” atau 119
“akrab” dengan orang yang lain. Dalam pola hubungan orang Jepang, butuh waktu yang lama untuk dapat mengembangkan relasi sampai ke tahap najimu. Konsep dari hedataru to najimu tersebut
secara
jelas
dapat
ditemukan
dalam
kehidupan
masyarakat Jepang sehari-hari. Contoh sederhana dapat dilihat dari bagaimana orang Jepang menggunakan nama untuk memanggil seseorang. Penyebutan nama pertama (first name basis) biasanya hanya digunakan oleh mereka yang sudah dekat/akrab (untuk anggota keluarga), atau dapat dikatakan telah berada dalam tahap najimu. Sementara itu, kebanyakan orang akan menggunakan atau menyebut nama keluarga (surname) untuk menyapa satu sama lain, bahkan antara teman sekelas ataupun rekan kerja. Konsep
hedataru to najimu
tersebut diperlukan untuk
memahami hubungan antar inividu dalam masyarakat Jepang, karena dengan adanya batasan dari hedataru to najimu maka personal
space
seseorang
dapat
terjaga
sehingga
dapat
menghindari perasaan tidak nyaman. Adanya konsep hedataru to najimu tersebut membuat orang Jepang terlihat memiliki kepribadian yang tertutup. Mengembangkan hubungan dari tahap hedataru menuju najimu antar orang Jepang sendiri dapat dibilang tidak mudah dan membutuhkan waktu lama, akan tetapi orang Jepang tentunya sudah paham dan terbiasa dengan konsep tersebut. Namun, bagi orang asing yang tidak mengerti, tentunya 120
akan timbul ketidaknyamanan apabila orang asing tersebut mendobrak batasan-batasan (hedataru) atau personal space seseorang ketika berinteraksi dengan orang Jepang. Kebijakan pemerintah Jepang terhadap tenaga kerja imigran sendiri juga dapat menjadi salah satu contoh dari hedataru to najimu. Kebijakan imigrasi Jepang yang memiliki aturan ketat yang hanya mengijinkan pekerja asing tinggal dalam periode waktu sementara atau dalam batas waktu tertentu di Jepang merupakan hedataru to najimu. Pemerintah Jepang dalam hal ini mencoba melindungi personal space Jepang dengan membangun tembok pembatas
berwujud aturan imigrasi yang ketat
tersebut.
Pembatasan periode tinggal bagi tenaga kerja asing tersebut merupakan hedataru pemerintah untuk menjaga ruang personal Jepang/masyarakat Jepang dari invasi tenaga kerja dari luar. Impor tenaga kerja asing secara massal dan mengijinkan mereka tinggal di Jepang dalam jangka waktu panjang secara sederhana merupakan invasi terhadap personal space dari masyarakat Jepang, oleh karena itu pemerintah menolak ide tersebut. Kebijakan pemerintah tersebut selaras dengan gagasan dari mayoritas masyarakat Jepang yang pada dasarnya tidak terlalu antusias dengan topik imigrasi yang merupakan isu sensitif untuk menjadi bahasan publik. Gabriele Vogt, Profesor bidang Politik dan Masyarakat Jepang di Universitas Hamburg, melalui wawancara 121
virtual
yang
dilakukan
oleh
peneliti,
menyatakan
bahwa
Pemerintahan Abe tidak ingin membuka pasar tenaga kerja domestik untuk imigrasi skala besar –bahkan meski secara ekonomi dibutuhkan—karena kekhawatiran akan adanya kritik dari publik, atau dengan kata lain pemerintah berurusan dengan isu yang tidak populer disini. Namun, Vogt lebih lanjut menuturkan bahwa terdapat dua pengecualian disini yaitu: 1. Pemerintahan Abe menyatakan untuk mengembangkan trainee program (untuk sektor-sektor tertentu, yang kini termasuk sektor keperawatan, dengan menambah periode tinggal sampai dengan lima tahun dengan status visa “trainee”). Hal tersebut dilakukan murni karena alasan ekonomi, dan publik pun telah jelas memahami bahwa tenaga kerja asing tersebut nantinya akan (harus) pergi, sehingga tidak ada pandangan bahwa akan mereka akan tinggal. 2. Pengecualian kedua adalah segmen perekrutan highly skilled workers yang secara gencar terus digalakan oleh pemerintah Jepang. Hal ini dilakukan pemerintah atas dasar untuk meningkatkan daya saing secara global. Dari kedua kasus tersebut, jumlah yang dibicarakan masih terbilang sangat sedikit. Kecuali untuk Tokyo dimana tenaga kerja asing dapat ditemukan dengan mudah, untuk kebanyakan orang Jepang
122
yang lain orang asing belum menjadi bagian dari keseharian hidup mereka. Hal tersebut sangat berbeda dengan keadaan di Eropa. Meskipun resistensi publik terhadap penerimaan tenaga kerja asing terutama unskilled workers cukup tinggi, publik Jepang juga menyadari bahwa Jepang membutuhkan tenaga kerja tersebut. Dari survey yang dilakukan oleh pemerintah pada tahun 1990an, mayoritas responden yaitu sebanyak 71,4% setuju untuk menerima unskilled workers. Namun, mayoritas publik yaitu sebanyak 56,5% merasa bahwa unskilled workers tersebut dapat diterima dengan beberapa syarat khusus, terutama yaitu pembatasan waktu tinggal mereka.85 Pembatasan waktu tinggal tersebut menunjukkan hedataru masyarakat Jepang terhadap tenaga kerja imigran. Meski sebagian besar menyetujui untuk menerima tenaga kerja imigran, namun berdasarkan survey yang dilakukan oleh pemerintah lokal di Tokyo terkait kesediaan publik untuk tinggal bersebelahan dengan buruh asing, 64% menyatakan tidak bersedia dan hanya 28% yang menyambut mereka.86 Survey dari Institut Kebijakan Publik pun menunjukkan bahwa 56,6% responden merasa khawatir atau resah terhadap tenaga kerja asing dan keresahan tersebut semakin meningkat ketika jarak tempat tinggal mereka dengan orang asing semakin dekat.87 Isu terkait kejahatan yang dilakukan oleh warga asing menjadi salah satu faktor utama yang mempengaruhi opini publik tersebut. Namun pada polling yang digelar pemerintah pada 123
tahun 2004 terkait penerimaan unskilled workers, 26% menyatakan menolak unskilled workers sepenuhnya, 39% menerima apabila penggunaan tenaga kerja wanita dan senior tidak cukup, dan hanya 17% yang menerima tanpa syarat. Dari hasil survey dan polling tersebut, dapat dikatakan bahwa kesediaan publik Jepang dalam menerima tenaga kerja asing lebih didasarkan pada alasan ekonomi (kebutuhan akan pekerja). Pada kenyataannya, meskipun mereka diperbolehkan masuk ke Jepang, terdapat dinding penghalang atau batasan yang dibangun berupa kebijakan imigrasi Jepang tersebut yang merepresentasikan hedataru. PM Abe sendiri menyatakan bahwa Jepang tidak akan mengadopsi kebijakan imigrasi seperti Amerika Serikat. “Amerika Serikat (AS) adalah negara dari imigran yang datang dari seluruh penjuru dunia dan membentuk AS. Banyak orang datang dan menjadi bagian dari negara negara tersebut. Kami tidak akan mengadopsi kebijakan seperti itu.”88 Petikan pernyataan diatas merupakan jawaban Abe terkait keputusan pemerintah untuk memperpanjang masa tinggal peserta TITP dari tiga tahun menjadi lima tahun. Selain itu, Abe juga menambahkan bahwa:
124
“Hal tersebut bukan merupakan kebijakan imigrasi. Kami ingin mereka bekerja dan menghasilkan gaji dalam periode waktu yang terbatas, dan kemudian pulang (ke negara asal).” Pernyataan Abe yang menyebutkan bahwa Jepang tidak akan mengadopsi kebijakan seperti AS dimana imigran disambut dan menjadi bagian dari negara tersebut, memperlihatkan bahwa terdapat batasan atau dinding penghalang yang dibangun oleh pemerintah sebagai perwujudan dari konsep hedataru. Kebijakan pemerintah tersebut pun didukung oleh opini publik yang mayoritas
masih
enggan
untuk
menyambut
dan
hidup
berdampingan dengan warga asing. Penerimaan tenaga kerja imigran ke Jepang tersebut pada dasarnya hanya dilandasi atas pragmatisme pemerintah untuk mengatasi masalah labor shortage yang merupakan perwujudan dari honne. Pengenalan tenaga kerja unskilled workers tersebut dengan topeng sebagai peserta TITP dan nikkeijin merupakan perwujudan dari tatemae. Namun, meski Jepang menerima tenaga kerja ‘bertopeng’ tersebut, kebijakan ketat berupa pembatasan waktu tinggal menunjukkan sisi resisten pemerintah terhadap tenaga kerja asing yang merupakan perwujudan dari konsep hedataru to najimu.
125
Dari elaborasi diatas dapat dilihat bahwa kebijakan pemerintah Jepang terkait tenaga kerja imigran mengalami implementasi yang bias atau tidak sesuai dengan yang seharusnya. Dalam analisis implementasi kebijakan, perubahan dari kebijakan itu sendiri merupakan salah satu aspek yang disoroti. Bardach dalam bukunya yang berjudul “The Implementation Game” menjabarkan bahwa implementasi pada dasarnya adalah sebuah permainan “tawar-menawar, persuasi, dan maneuver di dalam kondisi ketidakpastian”.89 Implementesi kebijakan Jepang terhadap tenaga kerja imigran yang bias sendiri tentunya juga tak dapat lepas dari permainan kepentingan dari aktor-aktor yang terlibat. MOJ sebagai lembaga pemerintah yang paling berkuasa dalam bidang aturan imigrasi mungkin memasang sikap yang keras terhadap masalah penerimaan pekerja imigran. Namun kebutuhan Jepang untuk mendatangkan tenaga kerja asing, yang disuarakan lewat METI dan Keindanren, tentunya juga tidak bisa diabaikan begitu saja. Di sisi lain, masyarakat Jepang sendiri mayoritas masih memiliki resistensi yang cukup tinggi terhadap tenaga kerja imigran. Perbedaan pandangan dan bentrokan kepentingan dari beberapa pihak tersebut tentunya mempengaruhi implementasi kebijakan sendiri. Dalam hal ini, pemerintah Jepang sendiri mencoba mengakomodir kepentingan yang berbeda-beda tersebut sehingga dalam implementasinya kebijakan pemerintah menjadi tidak sesuai dengan yang seharusnya.
126
Catatan Akhir
1
Burt S. Barnow, “How Do You Know A Labor Shortage When You See One?”, hlm.1 Hans J. Morgenthau, Politik Antar Bangsa, hlm.153 3 Junichi Akashi. “New aspects of Japan’s immigration policies: is population decline opening the doors?”, hlm.188 4 Gabriele Vogt. “When the Leading Goose Gets Lost:Japan’s Demographic Change and the Non-Reform of its Migration Policy”, hlm.23 5 Anthony Fensom, “Japan’s Robot Revolution.” 6 Anthony Fensom, ibid. 7 Yoshiaki Nohara, “In Japan, the Rise of Machines Solves Labor Shortage.” 8 Emily S Chen. “Women: The Economic Saviors of Japan?.” 9 Yasuchi Iguchi. “What Role Do Low-Skilled Migrants Play in the Japanese Labor Markets?”, hlm.1051 10 Budi Winarno, Kebijakan Publik: Teori dan Proses, hlm.16 11 Anderson dalam Budi Winarno, Kebijakan Publik: Teori dan Proses, hlm.18 12 Budi Winarno, op.cit, hlm.20 13 Chizuko Hayakawa, “Labor Law and Policy Issues Relating to Foreign Workers”, hlm.20 14 Takeyuki Tsuda, “Japan: Government Policy, Immigrant Reality”, hlm.11 15 Junichi Akashi, op.cit, hlm.180 16 Immigration Bureau. “Points-based System for Highly Skilled Foreign Professionals.” 17 Immigration Bureau, ibid. 18 Takashi Kodama, “Japan’s Immigration Problem”, hlm.3 19 Masahiko Yamada, “Current Issues on Foreign Workers in Japan”, hlm.6 20 Chizuko Hayakawa, op.cit, hlm.24 21 Chizuko Hayakawa, ibid. 22 Takashi Kodama, loc.cit. 23 Takashi Kodama, ibid. 24 CNBC, “Japan Needs Foreign Workers, But Will They Come?.” 25 Wayne Parsons, Public Policy: Pengantar Teori dan Praktik Analisis Kebijakan, hlm.249 26 Prime Minister of Japan and His Cabinet, “Press Conference by Prime Minister Abe (June 24th 2014).” 27 Jonathan Soble, “Japan Stands by Immigration Control Despite Shrinking Population.” 28 Chris Burgess, “Japan’s ‘No Immigration Policy’ Looking as Solid as Ever.” 29 Chris Burgess, “Multicultural Japan? Discourse and the ‘Myth’ of Homogeneity.” 30 Chris Burgess, ibid. 31 Yoshio Sugimoto, An Introduction to Japanese Society: Second Edition, hlm. 2 32 Chirs Burgess, “Japan’s ‘No Immigration Policy’ Looking as Solid as Ever.” 33 Chirs Burgess, ibid. 34 Alexander Wendt, Social Theory of International Politics, hlm.224.” 35 Alexander Wendt, op.cit, hlm.170 36 Alexander Wendt, op.cit, hlm.224-225 37 Alexander Wendt, op.cit, hlm.337 38 Walter Carlsnaes et al, Handbook Hubungan Internasional, hlm.268-269 39 Yoshio Sugimoto, op.cit, hlm.183 40 Alexander Wendt, loc.cit. 41 Yeong Hae Jung. “Can Japan Become ‘A Society Attractive for Immigrants?’ Identity, Gender and Nation-States under Globalization in East Asia”, hlm.58 42 Yoshio Sugimoto, op.cit, hlm.3 43 Yoshio Sugimoto, ibid. 44 Chie Nakane, Masyarakat Jepang, hlm.23 45 Chie Nakane, ibid. 2
127
46
Yoshio Sugimoto, op.cit, hlm.17 Chie Nakane, op.cit, hlm.172 48 Chie Nakane, op.cit, hlm.186-87 49 Alexander Wendt, op.cit, hlm.337 50 Alexander Wendt, op.cit, hlm.231 51 Alexander Wendt, ibid. 52 Yoshio Sugimoto, op.cit, hlm.3 53 Chris Burgess, ibid. 54 Stanford Program on International and Cross CulturalEducation, “Koreans In Japan.” 55 Yoshio Sugimoto, op.cit, hlm.206 56 Cornelius dan Tsuda dalam Hugo CÓRDOVA QUERO, “To be Nikkeijin or... Not to Be: Identity Formation Dilemmas Among Brazilians of Japanese Ancestry Migrating to Japan”, hlm.33 57 Ibid. 58 Wayne Parsons, op.cit, hlm.347 59 Janis dalam Wayne Parsons, op.cit, hlm.348 60 Jeff Kingston, “Immigration reform: Could this be Abe’s new growth strategy?.” 61 Harumi Ozawa, “Japan sanctioning mass ‘slave labor’ by duping foreign trainees, observers say.” 62 Chris Burgess, ibid. 63 Alexander Wendt, op.cit, hlm.337 64 Takeyuki Tsuda, op.cit, hlm.14 65 Takeyuki Tsuda, ibid. 66 Alexander Wendt, ibid. 67 CIA Official Website, “East and Southeast Asia: Japan.” 68 Alexander Wendt, op.cit, hlm.338 69 Alexander Wendt, op.cit, hlm.338 70 Kwan Weng Kin, “Japan Can’t Close Door on Immigrants.” 71 Lawrence Repeta dan Glenda S. Roberts, “Immigrants or Temporary Workers? A Visionary Call for a “Japanese-style Immigration Nation.” 72 Yoshio Sugimoto, op.cit, hlm.17 73 Hugo CÓRDOVA QUERO, “To be Nikkeijin or... Not to Be: Identity Formation Dilemmas Among Brazilians of Japanese Ancestry Migrating to Japan”, hlm.31 74 Yoshio Sugimoto, op.cit, hlm. 206 75 Yoshio Sugimoto, ibid. 76 Solidarity Network with Migrants Japan (SMJ), “NGO Report Regarding the Rights of NonJapanese Nationals, Minorities of Foreign Origins, Migrants, and Refugees in Japan 2014.” 77 Takeyuki Tsuda, “Reluctant Hosts: The Future of Japan as a Country of Immigration.” 78 Takeyuki Tsuda, ibid. 79 Gabriele Vogt, op.cit, hlm.24 80 Roger J. Davies and Osamu Ikeno, The Japanese Mind: Understanding Contemporary Japanese Culture, hlm.115 81 Yoshio Sugimoto, op.cit, hlm. 28 82 Yoshio Sugimoto, ibid. 83 Gabriele Vogt. “Closed Doors, Open Doors, Doors Wide Shut?” Migration Politics in Japan”, hlm.26 84 Roger J. Davies and Osamu Ikeno, opcit, hlm.109 85 Takeyuki Tsuda, “Japan: Government Policy, Immigrant Reality”, hlm.33-34 86 Wall Street Journal, 1994 dalam Takeyuki Tsuda, ibid. 87 Konai dalam Takeyuki Tsuda, ibid. 88 Reiji Yoshida, “Success of Abenomics ‘Hinges’ in Immigration Policy.” 89 Bardach dalam Wayne Parsons, op.cit, hlm.472 47
128