BAB III SISTEM PENGEMBALIAN UANG KEMBALIAN PELANGGAN PADA INDUSTRI RETAIL DEPARTEMEN STORE DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO. 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
A. Perkembangan Industri Retail di Indonesia Peta Industri Retail di Indonesia mulai diramaikan oleh pelaku asing sejak dilakukannya liberalisasi perdagangan pada tahun 1998. Sejak saat itu persaingan antar peritel semakin ketat. Peritel asing tersebut sangat aktif untuk melakukan investasi terutama dalam skala besar seperti hipermarket dan Department Store. Salah satu contohnya adalah Continent, Carrefour, Hero, Walmart, Yaohan, Lotus, Mark & Spencer, dan Sogo. Ketatnya persaingan menyebabkan peta industri retail sering mengalami perubahan, terutama akibat intensitas keluarmasuknya peritel asing serta akuisisi yang dilakukan peritel . Akuisisi cenderung dilakukan peritel besar untuk mengembangkan usaha retailnya menjadi format yang beragam (multi-format), seperti minimarket, supermarket dan hipermarket. Hal ini seperti yang dilakukan Carrefour. Carrefour yang telah sukses dengan format hipermarketnya kemudian mengembangkan format supermarket dengan mengakusisi departemen store. Krisis keuangan global yang terjadi pada tahun 2008 tidak secara signifikan mempengaruhi performa bisnis retail di Indonesia. Bahkan secara berkesinambungan industri retail tumbuh cukup pesat dengan angka omzet yang tumbuh sebesar 21,1% pada tahun 2008 menjadi sebesar Rp94,5 triliun. Bahkan sampai dengan bulan April 2009, total omzet industri retail modern Indonesia
Universitas Sumatera Utara
telah mencapai Rp31,98 triliun, meningkat sebesar 7,4% dari tahun sebelumnya pada periode yang sama. Salah satu contoh perkembangan industri retail yang semakin pesat ini diperlihatkan secara nyata oleh carrefour yang telah memiliki 88 gerai (termasuk Carrefour Express) sampai dengan akhir tahun 2009.45 Regulasi mengenai industri retail, khususnya yang mengatur keberadaan retail modern dan retail tradisional awalnya tertuang dalam Surat Keputusan Bersama Menteri Perindustrian dan Perdagangan dan Menteri Dalam Negeri Nomor 145/MPP/Kep/5/97 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar dan Pertokoan. Setiap tahunnya retail modern khususnya yang dimiliki oleh asing semakin membanjiri Indonesia. Hal inilah yang kemudian membuat beberapa retail tradisional mulai merasakan ketidak nyamanan bahkan beberapa retail kecil/tradisional terancam tutup. Untuk mengantisipasi perkembangan tersebut, kemudian Pemerintah mengeluarkan SKB tersebut agar retail modern maupun retail tradisional dapat tumbuh bersama. Permasalahan dalam industri retail tidak berhenti dengan dikeluarkannya kebijakan tersebut. Permasalahan terus bermunculan terutama sejak tahun 2000 dimana retail modern kian agresif melakukan ekspansinya. Selain itu, pemulihan perekonomian paska krisis moneter tahun 1998 pun mulai tampak sejak tahun 2000 ini yang kemudian ditandai dengan membaiknya pengeluaran masyarakat dari sisi konsumsi. Namun ternyata hal ini juga diikuti dengan perubahan pola masyarakat dalam berbelanja. Jika mulanya masyarakat sangat setia berbelanja di
45
Berman, Barry dan Joel R. Evans.1998. Retail Manajemen. Prentice Hal. New Jersey,
hal 107.
Universitas Sumatera Utara
retail tradisional, masyarakat mulai berubah dengan berbelanja di retail modern. Terlebih lagi dengan berbagai macam fasilitas serta kemudahan yang diberikan peritel modern. Semua faktor tersebut membuat penjualan di retail modern kian meningkat. Perubahan pola masyarakat tersebut berdampak besar terhadap penjualan dari retail tradisional. Berbagai upaya dilakukan oleh mereka seperti meminta perlindungan kepada pemerintah agar retail modern tidak ’memakan’ konsumen mereka. Di sisi lain, perlindungan ini juga penting dilakukan mengingat sebagian besar pedagang dalam industri retail merupakan pedagang kecil atau UKM yang perlu diberdayakan untuk mengurangi pengangguran.46 Keberadaan retail modern menyebabkan pendapatan serta keuntungan yang diperoleh peritel tradisional menurun drastis. Kenyamanan berbelanja yang ditawarkan retail modern membuat konsumen lebih memilih untuk berbelanja di retail modern. Retail tradisional dari waktu ke waktu tidak menunjukkan pertumbuhan yang positif, bahkan ditemukan bahwa pertumbuhan retail tradisional terus menurun dengan persentase 8% per tahun, sedangkan pertumbuhan retail modern kian meningkat yaitu 31,4% per tahun.47 Permasalahan lain tidak hanya timbul di sisi para peritel saja, namun juga hubungan antara peritel dengan pemasok barang. Beberapa pemasok merasa bahwa kekuatan yang sangat besar dari peritel dapat mendikte jumlah trading terms yang harus dibayarkan pemasok kepada peritel. Kuatnya posisi tawar yang dimiliki oleh peritel modern membuat para pemasok cenderung mengikuti aturan main yang dibuat oleh para peritel modern tersebut. Akibatnya, pemasok tidak 46
Ibid http://forum.kompas.com/showthread.php?31896-Perkembangan-bisnis-retail-diindonesia, diakses tanggal 26 April 2011 47
Universitas Sumatera Utara
fokus pada peningkatan nilai jual maupun inovasi produk melainkan lebih fokus pada pembayaran trading terms yang telah ditetapkan oleh peritel. Permasalahan yang kian bertambah tersebut mendesak pemerintah untuk segera mengeluarkan regulasi agar kondisi dalam industri retail ini menjadi lebih baik lagi. Untuk itu di tahun 2007 pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden No. 112 Tahun 2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pasar Modern dan Pusat Perbelanjaan. Kemudian di tahun 2008 diterbitkan aturan pelaksana dari Perpres tersebut yaitu Peraturan Menteri Perdagangan No. 53 Tahun 2008 tentang Pedoman Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pasar Modern dan Pusat Perbelanjaan. Pada tahun 2005 Rancangan Peraturan Presiden tentang perpasaran mulai dibahas. Akhir tahun 2007 Peraturan Presiden No. 112 Tahun 2007 dikeluarkan secara resmi. Beberapa isu utama yang mendorong dikeluarkannya peraturan perpasaran tersebut adalah :48 1. Retail Tradisional Vs Hipermarket Jarak antara retail tradisional dengan hipermarket yang saling berdekatan menjadi
persoalan
tersendiri.
Meskipun
hasil
penelitian
KPPU
memperlihatkan bahwa terdapat segmen pasar yang berbeda antara keduanya, tetapi lokasinya yang sangat berdekatan dengan retail kecil/tradisional dapat menjadi permasalahan tersendiri. Di beberapa daerah tidak jarang ditemukan retail modern yang bahkan bersebelahan dengan retail tradisional.
48
http://ilmuretail.com/index2.php diakses tanggal 26 April 2011
Universitas Sumatera Utara
2. Retail Tradisional Vs Minimarket Tumbuh pesatnya minimarket (yang dimiliki oleh pengelola jaringan) ke wilayah pemukiman berdampak buruk bagi retail tradisional yang telah ada di wilayah tersebut. Keberadaan minimarket ini mematikan toko-toko tradisional seperti “mom & pop store” dan toko kecil lainnya yang termasuk dalam jenis UKM yang berada di wilayah pemukiman. 3. Pemasok Barang Vs Retail Modern Penerapan berbagai macam trading terms oleh retail modern yang memberatkan pemasok. Hubungan bisnis antara pemasok dan peritel bersifat negosiasi. Namun posisi retail modern yang dominan, dapat menyebabkan tertekannya para temasok karena peritel tersebut bisa dengan leluasanya menerapkan trading terms yang berlebihan. Dalam Perpres tersebut, trading terms yang sebelumnya berjumlah 30 jenis dipangkas menjadi hanya tujuh jenis. 4. Pemberdayaan retail tradisional Kondisi retail tradisional secara fisik sangat tertinggal. Inilah salah satu alasan mengapa konsumen lebih memilih untuk berpindah ke retail modern. Kondisi retail tradisional harus dibenahi dari segi kenyamanan, keamanan, dan kebersihan agar tidak kalah saing dengan retail modern. Upaya Pemerintah untuk membenahi retail tradisional sangat diperlukan mengingat sampai saat ini pengelola retail tradisional sebagian besar dipegang oleh Pemda setempat.
Universitas Sumatera Utara
Dengan berbagai permasalahan yang ada sebelumnya diharapkan dapat mulai menemukan titik cerah setelah Perpres No. 112 Tahun 2007 ini dikeluarkan. Adapun arah kebijakan dari Perpres No. 112 Tahun 2007 yaitu : 1. Pemberdayaan retail tradisional agar dapat tumbuh dan berkembang serasi, saling memerlukan, saling memperkuat, serta saling menguntungkan; 2. Memberikan pedoman bagi penyelenggaraan retail tradisional, pusat perbelanjaan, dan toko modern; 3. Memberikan norma-norma keadilan, saling menguntungkan dan tanpa tekanan dalam hubungan antara pemasok barang dengan toko modern; 4. Pengembangan kemitraan dengan usaha kecil, sehingga tercipta tertib persaingan dan keseimbangan kepentingan produsen, pemasok, toko modern dan konsumen. Dalam Perpres No. 112/2007, lokasi retail modern diatur agar tidak berbenturan dengan retail tradisional. Namun aturan tersebut masih belum nyata karena aturan yang lebih detail mengenai lokasi tersebut akan diatur oleh Pemerintah Daerah. Adapun retail modern yang diatur keberadaan lokasinya dalam perpres ini: 1. Perkulakan hanya boleh berlokasi pada atau akses sistem jaringan jalan arteri atau kolektor primer atau arteri sekunder. 2. Hipermarket dan pusat perbelanjaan : a. hanya boleh berlokasi pada akses sistem jaringan jalan arteri atau kolektor. b. tidak boleh berada pada kawasan pelayanan lokal atau lingkungan (perumahan) di dalam kota/perkotaan.
Universitas Sumatera Utara
c. Departemen Store : 1) tidak boleh berlokasi pada sistem jaringan jalan lingkungan. 2) tidak boleh berada pada kawasan pelayanan lingkungan (perumahan) di dalam kota/perkotaan. d. Minimarket boleh berlokasi pada setiap sistem jaringan jalan, termasuk sistem jaringan jalan lingkungan pada kawasan pelayanan lingkungan (perumahan) di dalam kota/perkotaan. Hal yang disayangkan dalam Perpres ini adalah aturan keberadaan minimarket yang tetap diperbolehkan berada dalam wilayah
pemukiman.
Kemudian juga diperkuat dengan ketentuan jam buka yang hanya diberlakukan bagi hipermarket, departemen store dan supermarket, tidak pada minimarket. Dikhawatirkan keberadaan toko tradisional di pemukiman makin terpuruk karena tidak adanya pengaturan yang jelas dan melindungi retail kecil/tradisional. Saat ini persepsi masyarakat terhadap belanja telah mengalami perubahan. Sebelumnya peran berbelanja dilihat dari sudut pandang fungsionalitasnya. Namun saat ini belanja telah memberikan peran emosional. Berbelanja telah dianggap sebagai salah satu cara yang dapat dilakukan untuk memperoleh fungsi rekreasi. Saat ini, format toko retail yang ada telah menuju ke arah apa yang diinginkan oleh konsumen sehingga konsumen merupakan titik sentral dari kebijakan yang akan diambil oleh pelaku usaha retail. Konsumen merupakan titik sentral yang dijadikan barometer oleh pelaku usaha retail. Konsumenlah yang mempengaruhi evoluasi format retail. Saat ini konsumen telah semakin terfragmentasi. Untuk itu industri retail dituntut dapat
Universitas Sumatera Utara
membuat gerai multiformat untuk menangkap seluruh peluang pasar. Namun demikian perkembangan hipermarket dan supermarket pada tahun 2009 ini masih kalah pesat dengan perkembangan format minimarket dilihat dari jumlah gerai yang dimiliki. Sebagai contoh alfamart saat ini telah memiliki lebih kurang 3.098 gerai di seluruh Indonesia yang meningkat dari tahun sebelumnya yang berjumlah 2.736 gerai (meningkat 13,26%). Indomaret juga mencatat peningkatan yang cukup pesat dengan gerai sejumlah 3531 buah pada tahun 2009 meningkat dari 3093 buah (peningkatan sebesar 14,16%).49 Perkembangan yang terjadi saat ini baik retail modern maupun pasar tradisional memiliki ciri masing-masing yang tidak lagi dilihat semata-mata dari produknya. Selain berbelanja untuk kebutuhan sehari-hari di toko modern, ternyata masyarakat masih memerlukan produk-produk segar (fresh product) yang tidak banyak dijual di toko modern. Produk-produk segar tersebut dapat berupa daging, sayuran, maupun buah-buahan. Selain itu di pasar tradisional, konsumen dapat membeli produk-produk tertentu dengan sistem curah (seperti minyak goreng curah) sehingga lebih dapat menyesuaikan dengan kebutuhan konsumen. Sampai dengan saat ini peran retail tradisional sampai dengan tahun 2008 masih cukup signifikan. Meskipun demikian trend menunjukkan semakin berkurangnya retail tradisional yang terdesak oleh retail modern, sebagaimana disajikan AC Nielsen untuk kawasan Asia (tidak termasuk Jepang). Indonesia mengalami hal serupa dengan meningkatnya pangsa retail modern dari 30% pada tahun 2004 sampai dengan 37% pada tahun 2009.
49
Ibid
Universitas Sumatera Utara
Beberapa peritel terutama peritel global, yang mengembangkan model pengelolaan retail yang jauh berbeda dari sebelumnya. Hal ini terjadi seiring dengan keberhasilan mereka mengembangkan bisnisnya sehingga menjadi market leader di pasar. Tidak itu saja, mereka bahkan berkembang menjadi pencipta traffic (mendatangkan konsumen ke satu tempat seperti pusat perbelanjaan). Dalam hal inilah maka pelan tapi pasti peritel berkembang memiliki bargaining position yang kuat dibandingkan pesaing lain atau bahkan mitra kerjanya terutama pemasok. Posisi pemasok kemudian menjadi semakin terjepit, karena pada saat yang bersamaan mereka harus berhadapan dengan pesaingnya sesama pemasok, bahkan untuk produk-produk yang bisa menjadi substitusi produknya. Posisi menjadi terbalik, pemasok berubah menjadi pihak yang sangat membutuhkan tempat dimana produknya akan dijual. Dan karena tempat tertentu itu identik dengan merek/format tertentu dari peretail , maka kemudian peritel tersebut memiliki kesempatan untuk mengeksploitasi konsumen. Mereka kemudian memandang bahwa bargaining position ini bisa dimanfaatkan untuk mendapatkan pendapatan tambahan dari pelaku usaha pemasok melalui berbagai cara. Sejak saat itulah, kemudian pendapatan tambahan dari pemasok bermunculan antara lain terutama dalam bentuk trading terms, yang merupakan sekelompok biaya yang harus dipenuhi oleh para pemasok apabila produknya mau dijual di gerai peritel. Untuk mendapatkan tambahan penghasilan bagi peritel . Konsep retail tradisional yang tidak lebih dari sekedar menjual barang yang didatangkan atau diperoleh dari produsen berkembang menjadi juga tempat
Universitas Sumatera Utara
dimana peritel sebesar-besarnya menjual lokasi tempat penjualan produk dengan brand image peritel di dalamnya. Mengingat peritel ini pencipta traffic dan penyedot terbesar perhatian konsumen, maka pemasok seolah memiliki kewajiban untuk menempatkan produknya di gerai-gerai peritel besar tersebut. Inilah yang menyebabkan potensi eksploitasi menjadi semakin besar seiring dengan perkembangan industri retail keseluruhan.
B. Hak, Kewajiban dan Tanggung Jawab Para Pihak yang Terlibat dalam Industri Retail di Departemen Store menurut UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Mengingat dalam suatu transaksi barang atau jasa, seringkali konsumen diperlakuan tidak adil. Sehingga konsumen merupakan objek dari tindakan ekonomi yang dilakukan. Istilah “perlindungan konsumen’ berkaitan dengan perlindungan hukum. Oleh karena itu, perlindungan konsumen mengandung aspek hukum. Adapun materi yang mendapatkan perlindungan itu bukan sekedar fisik, melainkan terlebih-lebih hak-haknya bersifat abstrak. Dengan perkataan lain, perlindungan konsumen sesungguhnya identik dengan perlindungan yang diberikan hukum terhadap hak-hak konsumen. Dalam kaitannya dengan pengembalian uang oleh pelaku usaha terdapat beberapa pelanggaran hukum terhadap ketentuan yang diatur dalam UUPK, antara lain: 1. Pengembalian uang yang dilakukan oleh pelaku usaha telah melanggar hakhak konsumen pada industri retail yang diatur dalam UUPK, yang menjadi hak-hak konsumen terhadap departemen store adalah sebagai berikut: 50 50
UU No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan konsumen Pasal 4.
Universitas Sumatera Utara
a. Hak atas kenyamanan dalam mengkonsumsi barang belanja. Hak
ini
memberikan
kenyamanan
kepada
konsumen
didalam
menggunakan barang yang telah dibeli yang tidak membahayakan diri konsumen dari segi kesehatan maupun keselamatan konsumen itu sendiri ataupun bahaya yang terjadi tetapi tidak diketahui sebelumnya. b. Hak untuk memilih barang belanja serta mendapatkan barang belanja tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan. Konsumen diberikan kebebasan didalam memilih ataupun menentukan barang yang akan dibeli sesuai dengan harga yang dicantumkan oleh departemen store dan konsumen juga mempunyai hak untuk melihat kondisi dan fungsi dari barang yang dibeli. Misalnya pada pembelian bola lampu, konsumen hendaklah mencoba terlebih dahulu apakah berfungsi dengan baik atau tidak. c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang belanja. Pelaku usaha memberikan informasi sesuai dengan komposisi pada barang yang dijual, terutama pada barang impor yang menggunakan bahasa asing di dalam kemasan maka hendaklah disertai penjelasan menggunakan bahasa Indonesia. Agar konsumen dapat lebih bijak di dalam memilih barang untuk dikonsumsi. d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang belanja yang digunakan.
Universitas Sumatera Utara
Jika konsumen memberikan keluhan atas kerugian yang dideritanya maka pelaku usaha dapat memberikan solusi yang diinginkan konsumen. e. Hak untuk mendapatkan perlindungan, dan upaya penyelesaian. Terkait dengan permasalahan
pengembalian uang kembalian hak ini
dipakai apabila adanya pengaduan dari konsumen atas kerugian yang diderita berupa pengembalian uang kembalian tidak menggunakan mata uang maka konsumen mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen. f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen. Hak konsumen untuk mendapatkan tata cara prosedur pemakaian dan pemanfaatan barang demi keamanan dan keselamatan. g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif. Pelaku
usaha
yang
memberikan
uang
kembalian
tidak
dengan
menggunakan alat pembayaran yang sah maka sudah melanggar hak ini yang hal tersebut telah merugikan konsumen secara sepihak dan pelaku usaha mengambil keuntungan dari konsumen yang merasa atau tidak merasa dirugikan secara langsung karena nilai nominalnya tidak terlalu besar. h. Hak untuk mendapatkan ganti rugi dan/atau penggantian. Apabila barang belanja yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
Universitas Sumatera Utara
Pengacuan hak ini kepada barang-barang yang mempunyai garansi atau dengan kata lain jaminan atas kerusakan yang sesuai dengan diperjanjikan dan mempunyai waktu yang terbatas. 2. Pengembalian uang yang dilakukan pelaku usaha yang terkait dengan pelanggaran terhadap kewajibannya sebagai pelaku usaha yang diatur dalam UUPK, adapun kewajiban departemen store meliputi: a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya. Beritikad baik untuk tidak memberikan uang kembalian bukan selain alat pembayaran
yang
sah
yang
walaupun
konsumen
tidak
begitu
mempersoalkan, akan tetapi hal ini sudah melanggar peraturan yang ada. Misalnya, mengucapkan terimakasih disaat selesai transaksi serta pelaku usaha memberikan struk sebagai tanda bukti. b. Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan. Dalam pemberian informasi yang benar, jelas dan jujur ini juga merupakan menjadi hak konsumen dan menjadi kewaiban yang dilakukan oleh pelaku usaha yang mengupayakan agar konsumen merasa puas dan pihak departemen store mendapatkan kepercayaan dari konsumen untuk memajukan departemen store itu sendiri. c. Melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif. Pelaku usaha berkewajiban memberikan pelayanan yang benar dan jujur serta tidak diskriminatif dalam pengembalian uang kembalian yaitu tidak
Universitas Sumatera Utara
mengganti dengan permen, yang sebagian orang tidak mengerti hukum mengikuti saja apa yang telah diberikan oleh pelaku usaha. d. Menjamin mutu barang yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang yang berlaku. Jaminan yang diberikan pelaku usaha atas mutu barang menciptakan adanya
saling menguntungkan dikedua belah pihak, pelaku usaha
mendapatkan untung dari hasil penjualan sedangkan konsumen merasa merasa puas dengan barang yang dikonsumsinya. e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan. Hak konsumen menjadi kewajiban pelaku usaha yang harus dipenuhi, seperti yang diatur dalam UUPK, pelaku usaha harus memberi kesempatan pada konsumen untuk menguji dan memeberikan garansi yang biasanya terdapat pada barang-barang elektronik. f. Memberi kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan yang tidak sesuai dengan perjanjian. Pelaku usaha wajib memantau barang yang diedarkan apakah masi layak konsumsi yang biasa dikarenakan barang tersebut kadaluwarsa, dan sebagai konsumen harus bisa lebih bijak dalam pembelian suatu barang. 3. Pengembalian uang yang dilakukan oleh pelaku usaha terkait dengan perbuatan yang dilarang oleh UUPK untuk dilakukan oleh pelaku usaha.
Universitas Sumatera Utara
Perbuatan yang dilarang yang diatur dalam UUPK sesuai dengan Pasal 8 ayat (1) huruf a, yaitu tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ketentuan ini erat kaitannya dengan pengembalian uang, maka pelaku usaha harus memenuhi kewajibannya dan hak-hak konsumen untuk mendapatkan uang kembalian dengan alat pembayaran yang sah sesuai dengan ketentuan UUBI. 4. Tanggung jawab pelaku usaha dalam perlindungan konsumen dikenal ada beberapa macam prinsip tanggung jawab yang berdasarkan beberapa sumber hukum formal, seperti peraturan perundang-undangan dan perjanjian standar dilapangan hukum keperdataan kerap memberikan pembatasan-pembatasan terhadap tanggung jawab yang dipikul oleh si pelanggar hak konsumen. Secara umum prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum perlindungan konsumen dapat dibedakan sebagai berikut:51 a. Kesalahan (Liability based on fault) b. Praduga selalu bertanggung jawab (Presumption of liability) c. Praduga selalu tidak bertanggung jawab (presumption on non liability) d. Tanggung jawab mutlak (Strict Liability) e. Pembatasan tanggung jawab (Limitation of Liability) Dari kelima prinsip diatas yang dipergunakan dalam UUPK adalah prinsip tanggung jawab mutlak. Tanggung jawab mutlak (strict liability) adalah bentuk khusus dari trot (perbuatan melawan hukum), yaitu prinsip pertanggung jawaban dalam perbutan melawan hukum yang tidak didasarkan kepada kesalahan. Tetapi
51
Shidarta., Op .Cit, hal 58
Universitas Sumatera Utara
prinsip ini mewajibkan pelaku langsung bertanggung jawab atas kerugian yang timbul karena perbuatan melawan hukum itu. Karenanya, prinsip strict liability ini disebut juga dengan liability without fault. Dalam prinsip tanggung jawab mutlak beban pembuktian terhadap pelanggaran berada ditangan pelaku usaha.52 Prinsip tanggung jawab mutlak ini dalam hukum perlindungan konsumen secara umum digunakan untuk menjerat pelaku usaha, khususnya produsen barang yang produknya merugikan konsumen, prinsip ini lebih dikenal dengan product liability. Variasi yang sedikit berbeda dalam penerapan prinsip tanggung jawab ini terletak pada risk liability yang mempunyai arti kewajiban mengganti rugi dibebankan kepada pihak yang menimbulkan resiko adanya kerugian itu. Namun si konsumen tetap diberikan beban pembuktian walaupun tidak sebesar si pelaku usaha. Sehingga tanggung jawab pelaku usaha yang diatur dalam UUPK Pasal 19, yang terkait terhadap produk (product liability) dan (strict liability) di Indonesia yakni: a. Industri retail bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugin konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. b. Ganti rugi berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.
52
Ibid, hal 63
Universitas Sumatera Utara
c. Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi. d. Pemberian ganti rugi tidak menghapus kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan. e. Ketentuan pada a dan b tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen. Pembuktian mengenai ada tidaknya unsur kesalahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana. Dimana sistem beban pembuktian yang dianut oleh UUPK adalah sistem beban pembuktian terbalik. Ketentuan mengenai beban pembuktian terbalik, yaitu pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha.
C. Sistem Uang Kembalian pada Industri Retail Departemen Store Sistem pengembalian adalah sistem yang mencakup seperangkat aturan, lembaga, dan mekanisme yang dipakai untuk melaksanakan pemindahan dana guna memenuhi suatu kewajiban yang timbul dari suatu kegiatan ekonomi. Dalam setiap pembelian produk baik barang atau jasa, minta tanda bukti pembelian berupa struk yang memuat dengan jelas antara lain nama toko penjual, alamat toko penjual, tanggal pembelian, jenis barang atau jasa yang dibeli serta dibubuhi dengan cap dan tanda tangan penjual. Dalam industri retail departemen store pelayanan konsumen yang menjadi tolak ukur dalam menarik konsumen. Pelayanan adalah salah satu kebijakan yang
Universitas Sumatera Utara
di ambil oleh departemen store untuk memuaskan konsumen. Selain itu dalam hal pelayanan selain keramahan, kembalian yang di berikan juga menjadi alasan konsumen belanja di departemen store. Dengan Kembalian uang koin yang diganti permen tidak sedikit konsumen yang mengeluhkan hal ini, karena kembalian uang koin mereka diganti dengan permen, menurut konsumen uang tidak sama nilainya. Dan sisi lain ada konsumen yang senang apabila kembaliannya uang koin diganti dengan permen.53 Hubungan antara departemen store dengan konsumen merupakan hubungan yang timbul karena adanya perjanjian jual beli antara pelaku usaha dengan konsumen di dalam hukum perjanjian yang berlaku selama ini mengandaikan adanya kesamaan posisi tawar diantara para pihak, namun dalam kenyataannya asumsi yang ada tidaklah mungkin terjadi apabila perjanjian dibuat antara pelaku usaha dengan konsumen. Konsumen pada saat membuat perjanjian dengan pelaku usaha posisi tawarnya menjadi rendah, untuk itu diperlukan peran dari negara untuk menjadi penyeimbang ketidak samaan posisi tawar ini melalui undang-undang.54 Sehingga pengaturan mengenai pengembalian uang kembalian dapat dikatakan dengan ketentuan yang diatur dalam KUHPerdata dimana tindakan pengembalian uang yang tidak dengan alat pembayaran yang sah dilakukan pelaku usaha merupakan tindakan wanprestasi. Dapat dikatakan demikian sebab perjanjian jual beli antara pelaku usaha dengan konsumen dapat dibuktikan
53
http//: www.googlesearch/kembalian/permen, diakses tanggal 15 Mei 2011 http://excellent-lawyer.blogspot.com/2010/04/persoalan-persolan-seputarperlindungan.html diakses tanggal 19 April 2011 54
Universitas Sumatera Utara
dengan adanya (struk pembelian), dimana dalam struk pembelian itu dimuat beberapa besar kewajiban konsumen untuk membayar belanjaannya, dan pelaku usaha untuk memberikan barang yang telah dibayar. Setelah pelaku usaha menerima pembayaran dari konsumen, maka hak konsumen untuk menerima uang kembalian apabila uang yang diberikan konsumen lebih besar dari jumlah yang harus dibayarnya. Sehingga pelaku usaha berkewajiban untuk memberikan uang kembalian sesuai dengan yang tertera dalam struk. Misalnya, di dalam nilai struk belanja konsumen sebesar (Rp. 99.700) dan konsumen membayar dengan (Rp. 100.000) maka di dalam struk tertulis kembalian sebesar (Rp. 300), pelaku usaha wajib untuk memberikan kemabalian sebesar (Rp. 300). Tapi pada kenyataannya pelaku usaha memberikan kembalian dengan 3 (tiga) buah permen. Dari contoh di atas meskipun nilai permen dengan uang kembalian setara namun sesuai perjanjian yang tertulis di dalam struk bahwa pelaku usaha harus memberikan kembalian sebesar (Rp. 300), maka tindakan pengembalian uang dengan permen yang dilakukan pelaku usaha merupakan tindakan wanprestasi. Sehubungan dengan wanprestasi, wanprestasi mempunyai hubungan erat dengan keluhan dari konsumen kepada pelaku usaha agar dapat memenuhi dari perjanjian jual beli, maka dari itu wanprestasi timbul adanya tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban sebagaimana mestinya.55
55
H.S, Salim., Hukum Kontrak Teori dan Tehnik Penyusunan Kontrak, (Jakarta : Sinar Grafika, 2003), hal 98.
Universitas Sumatera Utara
Yang menjadi dasar dalam masalah uang kembalian sebelumnya dikarenakan adanya perjanjian jual beli antara pelaku usaha dan konsumen, dengan adanya perjanjian ini sesuai dengan Pasal 1457 KUHPerdata: “Yang dimaksud dengan jual beli adalah suatu persetujuan, dengan mana pihak satu mengikat dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak lain untuk membayar harga yang dijanjikan.” Unsur-unsur yang tercantum pada pasal diatas adalah:56 a. Adanya subjek hukum yaitu pelaku usaha dan konsumen; b. Adanya kesepakatan antara pelaku usaha dan konsumen tentang barang dan harga; c. Adanya hak dan kewajiban yang timbul antara pelaku usaha dan konsumen. Unsur-unsur diatas yang memenuhi kegiatan dalam departemen store yang sehinnga adanya hubungan timbal balik antara pelaku usaha dengan konsumen, dengan pemenuhan uang kembalian sesuai dengan peraturan perundangundangan.
D. Pelaksanaan Sistem Pengembalian Uang Kembalian Pelanggan menurut UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Sesungguhnya sudah sejak lama hak-hak konsumen diabaikan oleh para pelaku usaha, bahkan sejak lahirnya UUPK. Kasus mencuat saat ini adalah kasus mie instant, kasus ini merupakan isinya mengenai pengumuman penarikan produknya yang kadaluarsa. Adanya pengumuman penarikan produk yang kadaluarsa ini menunjukkan adanya indikasi bahwa mekanisme pengawasan produk di pasaran tidak atau belum berjalan, baik oleh instansi departemen
56
Ibid, hal 49
Universitas Sumatera Utara
kesehatan maupun oleh quality control produsen yang bersangkutan, rantai distribusi produk pada kedua kasus tersebut cukup luas jangkauan pasarnya (market share), tanpa diimbangi dengan keamanan dan keselamatan konsumen yang memadai. Diduga kuat telah terjadi kelalaian/kesalahan di dalam proses produksi dan proses pemasaran/penjualan yang berakibat sangat fatal bagi konsumen. Dalam kasus mie instant, ada tindakan hukum yang diambil oleh aparat penegak hukum, sebaliknya pada kasus biscuit beracun, CV. Gabisco sebagai produsennya dijatuhi pidana 6 bulan penjara dengan masa percobaan 1 tahun. Belum lagi terdapat penelitian dari suatu lembaga penelitian independen di Jakarta yang menemukan fakta bahwa pada umumnya pasta gigi mengandung bahan detergent yang membahayakan bagi kesehatan. Dalam kasus-kasus kecil, bisa terlihat dengan gamblang bagaimana perlakuan pelaku usaha yang bergerak di bidang industri retail dalam urusan uang kembalian pecahan Rp. 25,00 dan Rp. 50,00. Yang ini malah lebih parah lagi perlakuannya, biasanya diganti dengan permen dalam berbagai jenisnya atau kalau tidak malah dianggap sumbangan. Dalam UUPK sendiri tidak diatur secara jelas dan terperinci mengenai masalah pengembalian uang, akan tetapi yang menjadi landasannya adalah diaturnya hak konsumen yang diatur dalam Pasal 4 dan kewajiban pelaku usaha yang diatur dalam Pasal 7. Pengaturan lebih lanjutnya terdapat pada kebijakan perusahaan departemen store itu sendiri. Sesuai dengan uraian diatas yang menjadi faktor utama adalah tingkat kesadaran konsumen akan haknya masih rendah, oleh karena itu UUPK dimaksudkan sebagai landasan untuk melakukan upaya pemberdayaan konsumen.
Universitas Sumatera Utara
Upaya pemberdayaan ini penting karena tidak mudah mengharapkan kesadaran pelaku usaha dalam pengembalian uang sesuai dengan peraturan perundangundangan. Apalagi pelaku usaha menggunakan prinsip mendapatkan keuntungan semaksimal mungkin dengan modal seminimal mungkin, sehingga pelaku usaha menghalalkan segala cara untuk mendapatkan keuntungan tetapi prinsip ini sangat potensial merugikan kepentingan konsumen. Pada dasarnya retail merupakan suatu bisnis usaha yang berkecimpung dalam bidang penjualan produk secara eceran. Perdagangan eceran adalah suatu kegiatan menjual barang dan jasa kepada konsumen akhir.57 Dengan penjualan produk eceran maka disinilah peluang pelaku usaha untuk meraup keuntungan. Dengan dibentuknya UUPK, dalam kegiatan jual beli di departemen store agar terciptanya usaha yang sehat yang mendorong lahirnya perusahaan yang tangguh dalam persaingan usaha. Pelaksanaan sistem pengembalian uang sesungguhnya harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan, seperti yang telah saya jelaskan pada bagian sebelumnya bahwa hubungan timbal balik antara pelaku usaha dengan konsumen merupakan hubungan perjanjian jual beli, dalam perjanjian tersebut terdapat hak dan kewajiban yang secara langsung mengikat kedua belah pihak, yang dapat dibuktikan dengan adanya struk pemebelian yang di dalamnya terdapat hak dan kewajiban yang harus dipenuhi. Bentuk pelaksanaan sistem pengembalian uang kembalian pelanggan terkait pengembalian sisa uang belanja transaksi dalam bentuk permen atau
57
Rachbini, Didik, J., Op.Cit, hal 79.
Universitas Sumatera Utara
barang lain atau sumbangan yang tercantum dalam struk belanja. Keengganan industri retail untuk menggunakan kembali uang logam disebabkan tidak ada media atau tempat untuk menyalurkan uang logam itu. Karena itu, BI, Kementerian Perdagangan, dan para pengusaha retail yang tergabung dalam Aprindo bekerja sama untuk menyosialisasikan gerakan peduli koin nasional. Kerjasama itu ditandai dengan penandatanganan nota kesepahaman di antara ketiganya dalam penyediaan dan penukaran koin di gerai retail.58 Kegiatan jual beli yang dilakukan oleh pelaku usaha dan konsumen yang membuat timbulnya masalah uang
kembalian, yang telah membuat kerugian
terhadap konsumen sehingga menjadi tanggung jawab pelaku usaha yang merupakan tanggung jawab berdasarkan kesalahan, sesuai dengan Pasal 1365 KUHPerdata hanya jika pelaku usaha benar-benar bersalah, dan memenuhi unsurunsur dalam pasal tersebut. Namun jika pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan bukan pada pihaknya tetapi pada pihak konsumen, maka resiko di tanggung sendiri oleh konsumen.
58
http://www.solusihukum.com/artikel/artikel36.php diakses tanggal 15 Mei 2011
Universitas Sumatera Utara
BAB IV TINDAKAN HUKUM YANG DILAKUKAN OLEH KONSUMEN DALAM PENGEMBALIAN UANG KEMBALIAN PADA INDUSTRI RETAIL DEPARTEMEN STORE
A. Perlindungan Hukum terhadap Konsumen dalam Pengembalian Uang Kembalian pada Industri Retail Departemen Store Pada hakekatnya, terdapat dua instrumen hukum penting yang menjadi landasan kebijakan perlindungan hukum terhadap konsumen yakni: 1. UU Mata Uang, sebagai sumber dari segala sumber hukum mata uang di Indonesia. 2. UUPK, lahirnya undang-undang ini memberikan harapan bagi masyarakat Indonesia, untuk memperoleh perlindungan atas kerugian yang diderita atas transaksi suatu barang dan jasa. Dengan
adanya
pembentukan
perlindungan
hukum
memberikan
pembangunan dan perkembangan perekonomian serta pengaruh globalisasi dan kemajuan teknologi telah membawa pengaruh kepada setiap aspek kehidupan manusia, khususnya di bidang perindustrian dan perdagangan yang menghasilkan barang jasa dalam pemenuhan kebutuhan hidup. Kondisi tersebut membawa keuntungan bagi pelaku usaha khususnya konsumen karena semakin terbuka peluang untuk mendapatkan barang atau jasa dengan harga yang kompetitif. Namun di sisi lain ternyata juga menimbulkan pengaruh negatif karena mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang dan konsumen berada pada posisi yang lemah. Konsumen menjadi objek aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya oleh pelaku usaha melalui
Universitas Sumatera Utara
kiat promosi, cara penjualan, pengambalian uang kembalian belanja dengan permen serta penerapan perjanjian standar yang merugikan konsumen. Sesungguhnya modus pengembalian uang kembalian konsumen dengan permen ataupun pembulatan jumlah nilai belanjaan di supermarket sudah berlangsung lama. Entah modus ini disengaja atau tidak oleh pihak supermarket, yang jelas bila dikumulatifkan, harga produk yang dibayar konsumen jadi lebih mahal. Jelas pula hal itu merugikan konsumen. Sayangnya, Sampai sekarang belum ada kesadaran kolektif dari konsumen untuk menuntutnya. Mungkin mereka menganggap hal-hal seperti itu biasa saja, hingga kini YLKI menerima pengaduan konsumen untuk kasus uang kembalian ataupun kesalahan penghitungan jumlah belanjaan. Dengan adanya kasus-kasus yang sering terjadi dalam melakukan transaksi jual beli pada departemen store maka adapun perlindungan hukum yang diatur di Indonesia yaitu: 1. Perlindungan hukum terhadap konsumen menurut UU Mata Uang UU Mata Uang menetapkan, seberapa pun kecil nilai kembalian dalam setiap transaksi, tetap harus menggunakan alat pembayaran yang sah. Seperti yang dikatakan oleh Direktur Perlindungan Konsumen Depdag, "Kami masih memberikan waktu bagi peritel untuk membenahi. Setelah ini kami akan mengambil tindakan tegas." Jika peritel tetap membandel, ia menilai mereka telah melanggar UU Mata Uang. Sehingga perlu terkena tindakan tegas. Namun, sebelum mengambil tindakan tegas yang tidak dia sebutkan dalam bentuk apa,
Universitas Sumatera Utara
masalah transaksi ini lebih dulu diselesaikan langsung dengan instansi terkait, yaitu Bank Indonesia. Perlindungan hukum terhadap konsumen pengaturan mengenai terjamin haknya
konsumen
hanya
terdapat
beberapa
pasal
yang
secara
tegas
mengamanatkan agar masalah tertentu diatur dengan Peraturan Bank Indonesia. Hal ini sejalan dengan kewenangan Bank Indonesia untuk mengeluarkan peraturan/penetapan (power to regulate) dan kewenangan untuk mengenakan sanksi (power ti impose sanctions). Bank Indonesia telah membuat ketentuan tentang alat pembayaran yang tercantum dalam Pasal 23 Ayat (1) UU Mata Uang yaitu: “Setiap orang dilarang menolak untuk menerima Rupiah yang penyerahannya dimaksudkan sebagai pembayaran atau untuk menyelesaikan kewajiban yang harus dipenuhi dengan Rupiah dan/atau untuk transaksi keuangan lainnnya di Wilayah Negara Kesatuan Repulik Indonesia, kecuali terdapat keraguan atas keaslian Rupiah” Kesadaran akan hak-hak dan kewajiban konsumen selalu digugah dengan menggalakkan prinsip hukum yang dikenal dengan caveat emptor atau let the buyer beware. Dengan asas ini maka para pembeli harus menyadari tentang hakhaknya bilamana seorang gagal dalam menegakkan hak-haknya, berarti karena kebodohan dan kesalahannya sendiri. Kenyataan tersebut menyadarkan kita perlunya ada perlindungan hukum bagi konsumen.59 Dengan adanya perlindungan hukum terhadap konsumen, apabila ketetapan tersebut telah dilanggar maka UU Mata Uang menetapkan Ketentuan Pidana dan Sanksi Administratif pada Pasal 33 ayat (2) UU Mata Uang yaitu : 59
Sri Wahyuni Endang, Aspek Hukum Sertifikat dan Keterkaitannya dengan Perlindungan Konsumen, (Bandung : Citra Adytia Bakti, 2003), Hal. 71.
Universitas Sumatera Utara
“Setiap orang dilarang menolak untuk menerima Rupiah yang penyerahannya dimaksudkan sebagai pembayaran atau untuk menyelesaikan kewajiban yang harus dipenuhi dengan Rupiah dan/atau untuk transaksi keuangan lainnnya di Wilayah Negara Kesatuan Repulik Indonesia, kecuali terdapat keraguan atas keaslian Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan pidana denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)”
Pemberian sanksi ini berupaya agar memberikan efek jera terhadap pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan pada departemen store, sehingga menciptakan masyarakat Indonesia yang tertib hukum, sehingga jelas eksistensi negara Indonesia adalah negara hukum.
Terkait dengan penegakan hukum atas kewajiban penggunaan uang Rupiah, UU Mata Uang perlu mengatur tidak hanya mengenai sanksi pidana terhadap penolakan untuk menerima Rupiah tetapi juga mengenai ancaman pidana terhadap pelanggaran atas kewajiban untuk menggunakan Rupiah di wilayah Republik Indonesia dan larangan pembawaan uang rupiah dalam jumlah tertentu ke luar dan masuk wilayah pabean Indonesia tanpa izin BI. Pengaturan seperti ini adalah sebagaimana telah diatur dalam UUBI. Selanjutnya mengenai usulan pengaturan bahwa pengecualian penggunaan uang Rupiah diatur dalam peraturan perundang-undangan, hal ini akan berdampak terlalu luas. Sesuai dengan UU Mata Uang diperlukan sebagai alat pembayaran yang sah dalam kegiatan perekonomian nasional dan internasional guna mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Memuat UU Mata Uang mengenai penggunaan Rupiah yang terdapat pada Pasal 21 ayat (1), adalah wajib digunakan dalam setiap transaksi yang mempunyai tujuan
Universitas Sumatera Utara
pembayaran, penyelesaian kewajiban lainnya yang harus dipenuhi dengan uang dan/atau transaksi keuangan lainnya yang dilakukan di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jika melanggar pasal ini akan dikenakan pidana yang diatur dalam Pasal 33 ayat (1). Berkenaan dengan hal tersebut, dalam rangka menghindari adanya pengaturan yang demikian, pengaturan mengenai pengecualian penggunaan uang Rupiah perlu diamanatkan oleh RUU Mata Uang untuk diatur dalam Peraturan Bank Indonesia sebagaimana diamanatkan UUBI saat ini.
2. Perlindungan hukum terhadap konsumen menurut UUPK Perlindungan hukum merupakan hak dari konsumen, agar lebih terjamin hak tersebut maka UUPK membentuk suatu badan yang disebut sebagai Badan Perlindungan Konsumen Nasional. Adapun Badan Perlindungan Konsumen Nasional menurut UUPK yaitu: a. Pemerintah; b. Pelaku usaha; c. Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat; d. Akademis; dan e. Tenaga ahli. Di dalam pelaksanaan perlindungan konsumen agar menjamin hak konsumen serta dilaksanakan kewajiban dari pelaku usaha pemerintah ikut bertanggung jawab dalam praktik dan pengawasan, yang semua ini dilakukan agar pemenuhan hak dari konsumen mendapat perlindungan hukum yang sesuai.
Universitas Sumatera Utara
Adapun tujuan dari pengawasan sesuai dengan Pasal 29 ayat (4) UUPK antara lain: a. Terciptanya iklim usaha dan tumbuhnya hubungan yang sehat antara pelaku usaha dan konsumen; b. Berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat; c. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia serta meningkatnya kegiatan penelitian dan perkembangan di bidang perlindungan konsumen. Dalam keterkaitan dengan kelancaran perlindungan konsumen pemerintah lebih mempercayakan pada lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat dengan memberikan informasi agar konsumen sadar akan haknya serta mewujudkan rasa kehati-hatian konsumen dalam mengkonsumsi barang. Mempersoalkan masalah uang kembalian menimbulkan masalah ilegalpolitical, di samping masalah hukum yang muncul karena uang menjadi alat tukar yang sah hal ini juga mempunyai implikasi dengan kebanggaan nasional kita dalam pemakaian uang Rupiah. Oleh karena itu, pelaku retail mengimbau pelanggan membayar dengan uang pas atau menggunakan uang logam dalam transaksi pembelian. Atau sebaliknya, menukarkan uang logam yang dimiliki di pusat perbelanjaan (retail).60
B. Pertanggungjawaban Pelaku Usaha atas Pengembalian Uang Kembalian pada Industri Retail Departemen Store Tanggungjawab Pelaku Usaha atas Pengembalian Uang Kembalian pada Industri Retail Departemen Store karena kesengajaan atau kealpaan dalam proses 60
Yusuf, Sofie., Perlindungan Konsumen dan Instrumen, (Bandung : Citra Adytia, 2003),
hal 55.
Universitas Sumatera Utara
maupun disebabkan hal-hal lain yang terjadi dalam peredarannya, dan penggunaannya. Dari batasan ini dapat dilihat bahwa pihak yang bertanggung jawab adalah pelaku usaha pembuat produk tersebut.61 Penentuan tanggung jawab harus melihat beberpa hal yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, antara lain: 1. Adanya hak konsumen yang dilanggar dengan tindakan pelaku usaha dalam pengembalian uang kembalian; 2. Adanya kewajiban pelaku usaha yang tidak terpenuhi dengan terjadinya pengembalian uang kembalian tersebut; 3. Adanya perbuatan yang dilanggar oleh konsumen. Setelah terpenuhinya 3 (tiga) hal diatas barulah pelaku usaha dapat dimintai pertanggungjawabannya terkait masalah pengembalian uang kembalian. Pentingnya hukum tentang tanggung jawab pelaku usaha atas pengembalian uang kembalian pada industri retail yang menganut prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) dalam mengantisipasi kecenderungan dunia dewasa ini yang lebih menaruh perhatian pada pelindungan konsumen dari kerugian yang diderita akibat pengembalian uang dengan permen. Hal ini sebabkan karena sistem hukum yang berlaku dewasa ini dipandang terlalu menguntungkan pihak retail, sementara retail memiliki posisi ekonomis yang lebih kuat. Keuntungan yang didapat pihak pelaku usaha sangat sering membuat konsumen menderita kerugian, kerugian yang terjadi seperti harga (fixed pricing) atau menjual rugi (predatory pricing), terdistorynya pasar, kualitas pelayanan 61
Natalie O’Cpnnor, Consumer Protection Under the Trade Prtactices Act: A Time For Change di dalam Inosentius Samsul (Ed), Hukum Perlindungan Konsumen I, (Jakarta : Pascasarjana FH-UI, 2001), hal. 94
Universitas Sumatera Utara
terhadap konsumen dan alokasi sumber daya yang tidak efisien.
62
Akan tetapi
kerugian yang diterima oleh konsumen bahwa sebelumnya tidak ada perjanjian atas pelaku usaha untuk bertanggung jawab maka walaupun tidak ada perjanjian hal ini sudah menjadi kewajiban pelaku usaha untuk bertanggung jawab, hal ini diatur dalam Pasal 1494 KUHPerdata yang bunyinya: “Meskipun telah diperjanjikan bahwa sipenjual tidak akan menanggung suatu apapun, namun ia tetap bertanggung jawab tentang apa yang berupa akibat dari suatu perbuatan yang dilakukan olehnya, segala perjanjian yang bertentangan dengan ini adalah batal.” Akibat dari perbuatan itulah yang menimbulkan adanya suatu tanggung jawab dari pelaku usaha, dimana tanggung jawab itu harus dipikul olehnya sendiri.
Baik
akibat
dari
perbuatan
yang
melanggar
hukum
tersebut
dikehendakinya maupun tidak dikehendaki oleh si pembuat atau dalam arti karena kurang hati-hati atau kelalaiannya menyebabkan timbulnya perbuatan yang dapat menimbulkan kerugian bagi konsumen. Maka pertanggungjawaban pelaku usaha didalam departemen store adalah: 1. Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas pengembalian uang dengan permen. Ganti rugi dapat berupa pengembalian uang koin atau setara nilainya, yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 2. Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi dan pemberian ganti rugi tersebut tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan. 62
Suherman, Ade, Maman., Op.Cit, hal 97
Universitas Sumatera Utara
3. Jika pelaku usaha menolak dan/atau tidak memberikan tanggapan dan/atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen, maka pelaku usaha tersebut dapat digugat melalui badan penyelesaian sengketa konsumen atau diajukan ke badan pengadilan di tempat kedudukan konsumen. Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha. Dalam kelalaian yang merupakan perbuatan melanggar hukum atau tanggung jawab perundang-undangan, berarti tanggung jawab itu dipikul oleh industri retail yang melakukan suatu perbuatan yang melanggar hukum dimana akibat dari perbuatannya itu mengakibatkan kerugian bagi konsumen. Seperti yang sudah disingung pada bab sebelumnya maka tetap menganut pada konsep strict liability pada perlindungan konsumen akan memudahkan pembuktian, yang pada akhirnya benar-benar memberikan perlindungan kepada konsumen. Ini tidak dimaksudkan untuk menempatkan produsen pada posisi yang sulit semata-mata, tetapi karena kedudukan produsen yang jauh lebih kuat dibandingkan konsumen. Antara lain disebabkan kemampuan pengusaha di bidang keuangan, kemajuan teknologi industri yang amat pesat, dan kemampuan pengusaha untuk memakai ahli hukum yang terbaik dalam menghadapi suatu perkara. Pelaksanaan perlindungan hukum bagi konsumen yang mengalami kerugian terhadap pelaku usaha atas pertanggungjawaban
industri retail
departemen store adalah setiap konsumen yang dirugikan, dapat mengajukan pengaduannya dengan dilengkapi bukti-bukti yang ada, selanjutnya pengaduan
Universitas Sumatera Utara
tersebut akan diteliti dan diselidiki apabila mengandung unsur-unsur yang melanggar ketentuan undang-undang maka dapat ditindak lanjuti dengan upayaupaya penyelesaian.
C. Tindakan Hukum yang dilakukan oleh Konsumen yang Menderita Kerugian dalam Pengembalian Uang Kembalian pada Industri Retail Departemen Store Jika konsumen menderita kerugian yang disebabkan pelaku usaha yaitu hal yang paling sederhana dilakukan adalah meminta ganti rugi kepada departmen store, apabila tuntutan ganti rugi yang diminta tidak terpenuhi oleh pihak departemen store maka konsumen berhak melakukan pengaduan akan hal ini kepada Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Pihak konsumen yang diberi hak mengajukan gugatan menurut Pasal 46 UUPK adalah: 1) Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan; 2) Sekelompok konsumen yang mepunyai kepentingan yang sama; 3) Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) yang memenuhi syarat yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan yang dalam gugatan dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi itu adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasar; 4) Pemerintah dan/atau instansi terkait, jika barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit.
Universitas Sumatera Utara
Penuntutan penyelesaian pengembalian uang kembalian konsumen pada industri retail departemen store dengan mengajukan gugatan class action melalui peradilan umum telah dibolehkan sejak keluarnya UUPK yang mengatur class action ini di Indonesia. Gugatan class action akan lebih efektif dan efisien dalam menyelesaikan pelanggaran hukum yang merugikan secara serentak atau sekaligus dan misalnya terhadap orang banyak. Ganti rugi yang dilakukan oleh industri retail di departemen store sebagai pihak yang memasarkan produk-produk tersebut terdapat pengembalian uang kembalian dengan permen adalah industri retail di departemen store bertanggung jawab untuk mengganti uang koin atau setara nilainya kepada konsumen yaitu sesuai dengan kelalaian yang melanggar Pasal 19 ayat (2) yang menyatakan bahwa: “Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemeberian santunan yang sesuai dengan ketentuan”peraturan perundang-undangan yang berlaku” Selanjutnya setiap pengaduan konsumen tergadap kerugian yang dideritanya dari pelaku usaha dapat ditempuh melalui 2 cara yang disebut pada pasal 45 ayat 1 : 1. Gugatan kepada pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dengan pelaku usaha di luar perdilan dalam hal ini: Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), Lembaga Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) dan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).
Universitas Sumatera Utara
2. Gugatan kepada pelaku usaha melalui peradilan umum menggunakan ketentuan hukum acara perdata, sebagaimana penyelesaian kasus perdata pada umumnya. Tuntutan/gugatan kerugian konsumen terhadap pelaku usaha secara hukum perdata dapat dibedakan menjadi 2 yakni : 1. Kerugian transaksi yaitu kerugian yang timbul dari jual beli barang yang tidak sebagaimana mestinya akibat dari wanprestasi. 2. Kerugian produk adalah kerugian yang langsung atau tidak langsung yang diderita akibat dari hasil produksi, kerugian mana masuk dalam resiko produksi akibat perbuatan melawan hukum. Bahwa sebelumnya adanya ganti rugi atas tanggung jawab yang dilakukan pelaku usaha yaitu menurut Pasal 19 ayat (2) UUPK, sedangkan ganti rugi yang dapat didasarkan pada pasal 1365 KUHPerdata, yaitu “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang menimbulkan kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.” Dengan demikian sehubungan dengan tindakan hukum yang dilakukan oleh konsumen yang menderita kerugian dalam pengembalian uang kembalian pada industri retail, dimungkinkan penyelesaian hukum itu mengikuti beberapa lingkungan peradilan. Misalnya melalui peradilan umum atau konsumen memilih jalan penyelesaian di luar pengadilan.: 1. Penyelesaian Sengketa Litigasi (Melalui Pengadilan) Litigasi adalah sistem penyelesaian sengketa melalui lembaga peradilan. Sengketa yang terjadi dan diperiksa melalui jalur litigasi akan diperiksa dan
Universitas Sumatera Utara
diputus oleh hakim. Melalui sistem ini tidak mungkin akan dicapai sebuah winwin solution (solusi yang memperhatikan kedua belah pihak) karena hakim harus menjatuhkan putusan dimana salah satu pihak akan menjadi pihak yang menang dan pihak lain menjadi pihak yang kalah. Pasal 45 ayat (1) UUPK menyatakan: “setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum”. Ketentuan ayat berikutnya menyatakan, “penyelesaian kembalian uang koin konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau diluar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak retail”. Selanjutnya dikatakan, pilihan untuk berpekara di pengadilan atau di luar pengadilan adalah pilihan sukarela para pihak. Penyelesaian ayat kedua Pasal 45 UUPK menyebutkan adanya kemungkinan perdamaian diantara para pihak sebelum mereka berpekara di pengadilan atau di luar pengadilan. Dengan demikian, kata “sukarela” harus diartikan sebagai pilihan para pihak, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama untuk menempuh alternatif perdamaian. Hal-hal yang mendukung untuk melakukan penyelesaian di dalam pengadilan apabila: a. Para pihak belum memilih upaya penyelesaian di luar pengadilan; b. Upaya penyelesaian di luar pengadilan, dinyatakan tidak berhasil salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa.
Universitas Sumatera Utara
Namun adanya kendala yang dihadapi jika berperkara di peradilan umum. Adapun kendala yang dihadapi konsumen dan industri retail departemen store dalam penyelesaian pengembalian uang kembalian adalah : 1. Penyelesaian pengembalian uang melalui peradilan sangat lambat; 2. Biaya perkara yang mahal; 3. Pengadilan pada umumnya tidak responsif; 4. Putusan pengadilan tidak menyelesaikan masalah; 5. Kemampuan para hakim yang bersifat generalis. Di antara sekian banyak kelemahan dalam penyelesaian pengembalian uang kembalian konsumen di retail melalui peradilan, termasuk banyak dikeluhkan para pencari keadilan adalah lamanya penyelesaian perkara, karena pada umumnya para pihak yang mengharapkan penyelesaian yang cepat terhadap perkara mereka. Berdasarkan konsekuensi bahwa putusan Hakim akan memenangkan salah satu pihak dan mengalahkan pihak yang lain, maka berdasarkan hukum acara perdata di Indonesia Hakim wajib memerintahkan para pihak untuk melaksanakan mediasi untuk mendamaikan para pihak. Jika tidak dicapai perdamaian maka pemeriksaan perkara akan dilanjutkan. Meskipun pemeriksaan perkara dilanjutkan kesempatan untuk melakukan perdamaian bagi para pihak tetap terbuka (dan hakim harus tetap memberikannya meskipun putusan telah disusun dan siap untuk dibacakan). Jika para pihak sepakat untuk berdamai, hakim membuat akta perdamaian (acte van daading) yang pada intinya berisi para pihak harus menaati akta perdamaian tersebut dan tidak dapat mengajukan lagi perkara tersebut ke
Universitas Sumatera Utara
pengadilan. Jika perkara yang sama tersebut tetap diajukan ke pengadilan maka perkara tersebut akan ditolak dengan alasan ne bis in idem (perkara yang sama tidak boleh diperkarakan 2 kali) karena akta perdamaian tersebut berkekuatan sama dengan putusan yang final dan mengikat (tidak dapat diajukan upaya hukum).
2. Penyelesaian di luar Peradilan Umum (non litigasi) Penyelesaian sengketa lewat jalur non litigasi terbagi menjadi beberapa metode yaitu: 1. Negosiasi Negosiasi adalah cara penyelesaian sengketa dimana para pihak yang bersengketa saling melakukan kompromi untuk menyuarakan kepentingannya. Dengan cara kompromi tersebut diharapkan akan tercipta win-win solution dan akan mengakhiri sengketa tersebut secara baik. 2. Mediasi Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa yang kurang lebih hampir sama dengan negosiasi. Bedanya adalah terdapat pihak ketiga yang netral dan berfungsi sebagai penengah atau memfasilitasi mediasi tersebut yang biasa disebut mediator. Pihak ketiga tersebut hanya boleh memberikan saran-saran yang bersifat sugestif, karena pada dasarnya yang memutuskan untuk mengakhiri sengketa adalah para pihak. Pihak ketiga tersebut juga harus netral sehingga dapat memberikan saran-saran yang objektif dan tidak terkesan memihak salah satu pihak. Mediasi merupakan prosedur wajib dalam proses pemeriksaan perkara perdata, bahkan dalam arbitrase sekalipun dimana hakim
Universitas Sumatera Utara
atau arbiter wajib memerintahkan para pihak untuk melaksanakan mediasi dan jika mediasi tersebut gagal barulah pemeriksaan perkara dilanjutkan. Tidak semua orang bisa menjadi mediator professional karena untuk dapat menjadi mediator dibutuhkan semacam sertifikasi khusus. 3. Arbitrase Arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa yang mirip dengan litigasi, hanya saja litigasi ini bisa dikatakan sebagai "litigasi swasta" Dimana yang memeriksa perkara tersebut bukanlah Hakim tetapi seorang arbiter. Untuk dapat menempuh prosesi arbitrase hal pokok yang harus ada adalah "klausula arbitrase" di dalam perjanjian yang dibuat sebelum timbul sengketa akibat perjanjian tersebut, atau "Perjanjian Arbitrase" dalam hal sengketa tersebut sudah timbul namun tidak ada klausula arbitrase dalam perjanjian sebelumnya. Klausula arbitrase atau perjanjian arbitrase tersebut berisi bahwa para pihak akan menyelesaikan sengketa melalui arbitrase sehingga menggugurkan kewajiban pengadilan untuk memeriksa perkara tersebut. Jika perkara tersebut tetap diajukan ke pengadilan maka pengadilan wajib menolak karena perkara tersebut sudah berada di luar kompetensi pengadilan tersebut akibat adanya klausula arbitrase atau perjanjian arbitrase. Tujuan dari penyelesaian sengketa konsumen di luar peradilan sesuai dengan Pasal 47 UUPK untuk tercapainya bentuk dan besarnya ganti rugi demi memberikan kepastian bahwa tidak terulang kembali kerugian yang diderita oleh konsumen. Untuk penyelesaian sengketa antara pelaku usaha dan konsumen diluar pengadilan, pemerintah membentuk BPSK.
Universitas Sumatera Utara
Dengan megetahui BPSK sebagai badan khusus di luar peradilan umum yang menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku
usaha, maka
konsumen yang hak-haknya merasa dirugikan dapat mengajukan tuntutan pada BPSK, karena BPSK merupakan badan penyelesaian sengketa. Penyelesaian sengketa konsumen dilakukan dalam bentuk kesepakatan yang dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh para pihak yang bersengketa, yang dikuatkan dalam bentuk keputusan BPSK. Untuk mengatasi keberlakuan proses pengadilan, UUPK memberi jalan alternatif dengan menyediakan penyelesaian kembalian uang koin diluar peradilan. Pasal 45 ayat (4) UUPK menyebutkan: “Jika telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen diluar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh jika itu dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau para pihak yang bersangkutan”. Ini berarti penyelesaian di pengadilan pun tetap dibuka setelah para pihak gagal menyelesaikan sengketa mereka diluar pengadilan. Maksud kata-kata “dinyatakan tidak berhasil” dalam ayat diatas tidak jelas. Secara redaksional, juga tidak jelas apakah yang dimaksud dengan istilah “penyelesaian diluar pengadilan” ini adalah upaya perdamaian diantara mereka, atau juga termasuk penyelesaian melalui BPSK. Jika yang dimaksud dengan istilah “penyelesaian diluar pengadilan” ini termasuk penyelesaian melalui BPSK, tentu saja tidak mungkin, salah satu pihak atau para pihak dapat menghentikan perkaranya ditengah jalan, sebelum BPSK menjatuhkan putusan. Dengan demikian, kata-kata “dinyatakan tidak berhasil” pun tidak mungkin dapat dilakukan untuk memilih penyelesaian melalui BPSK,
Universitas Sumatera Utara
maka mereka seharusnya terikat untuk menempuh proses pemeriksaan sampai putusan dijatuhkan. Jika mereka tidak dapat menerima putusan itu, barulah mereka diberi hak melanjutkan penyelesaian di Pengadilan Negeri. Pasal 54 ayat (3) UUPK menegaskan, bahwa putusan majelis dari BPSK itu bersifat final dan mengikat. Kata-kata “final” diartikan sebagai tidak adanya upaya banding dan kasasi. Yang ada adalah “keberatan” yang dapat disampaikan kepada Pengadilan Negeri dalam waktu 14 hari kerja, setelah pihak yang berkepentingan menerima pemberitahuan putusan tersebut. Jika pihak yang dikalahkan tidak menjalankan putusan BPSK, maka putusan itu akan dan oleh BPSK kepada penyidik untuk dijadikan bukti permulaan yang cukup dalam melakukan penyidikan. UUPK sama sekali tidak memberi kemungkinan lain bagi BPSK kecuali, menyerahkan putusan itu kepada penyidik. Dalam hal ini UUPK tidak menggunakan kata “dapat” sehingga berati menutup alternatif untuk tidak menyerahkan kasus itu kepada penyidik.
Universitas Sumatera Utara
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Bedasarkan penjelasan pada bagian sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Pengaturan mata uang Rupiah sebagai alat pembayaran yang sah yang diatur dalam UU Mata Uang adalah satuan mata uang Republik Indonesia adalah Rupiah. Yang merupakan sebagai alat pembayaran yang sah (legal tender) serta diwajibkan kepada setiap orang atau badan yang berada di wilayah NKRI menggunakan uang Rupiah untuk pembayaran. Serta mengatur mengenai menetapkan macam, harga, ciri, bahan dan tanggal mulai berlakunya, untuk mengeluarkan, mengedarkan, mencabut, menarik serta memusnahkan uang yang diberikan kewenangan kepada BI. Akan tetapi tidak memberikan penggantian atas uang yang hilang atau musnah kecuali penukaran uang yang lusuh dan/atau rusak sebagian karena terbakar karena sebab lainnya dilakukan penggantian dengan nilai yang sama nominalnya, namun dapat dilakukan penggantian apabila tanda keaslian Rupiah tersebut masih dapat diketahui atau dikenali. 2.
Sistem pengembalian uang kembalian pelanggan pada indudtri retail departemen store tidak begitu secara jelas diatur dalam UUPK, akan tetapi UUPK mengatur mengenai hak konsumen diatur dalam Pasal 4 dan kewajiban pelaku usaha diatur dalam Pasal 7, oleh karena pengaturan pasal tersebut, hak
Universitas Sumatera Utara
konsumen yang merupakan kewajiban dari pelaku usaha yang kemudian menjadi dasar atau acuan di dalam aktivitas jual beli pada industri retail departemen store. Sistem pengembalian uang kembalian tersebut dapat dibuktikan dengan struk belanja, karena yang tertera dalam struk adalah uang kembalian bukan berupa permen melainkan dalam bentuk uang Rupiah. Sistem pengembalian uang kembalian ini menjadi kebijakan pada perusahaan departemen store itu sendiri. 3. Tindakan hukum yang dilakukan oleh konsumen dalam pengembalian uang kembalian pada industri retail departemen store adalah melakukan penuntutan kepada pelaku usaha melalui gugatan ganti rugi dengan jalur litigasi yakni peradilan umum (peradilan niaga) dan yang kedua dengan jalur non litigasi yakni melalui BPSK.
B. Saran 1. BI hendaknya lebih mengarah untuk melakukan kebijakan moneter untuk mencapai dan memelihara kestabilan yang dilakukan antara lain melalui pengedaran jumlah uang yang beredar agar pengembalian uang kembalian yang nominal pecahannya kecil tidak dijadikan peluang bagi pelaku usaha bertindak curang. 2. Hendaknya adanya peran aktif dari pemerintah dalam pelaksanaan hak-hak konsumen dan kewajiban pelaku usaha yang diatur dalam UUPK, bertujuan agar masyarakat selaku konsumen yang awam terhadap hukum mengetahui bahwa hak-hak mereka dilindungi oleh hukum.
Universitas Sumatera Utara
3. Pemerintah sebaiknya membuat peraturan perundang-undangan tentang industri
retail
yang
mengenai
segala
pengaturan
berbisnis
yang
mengutamamkan pada pelayanan terhadap konsumen. 4. Masyarakat sebaiknya lebih kritis dalam pelaksanaan haknya agar pelaku usaha tidak berani lagi melakukan kecurangan dalam pengembalian uang kembalian konsumen.
Universitas Sumatera Utara