BAB III
FAKTOR PENGHAMBAT DALAM PELAKSANAAN PERALIHAN HAK ATAS TANAH MILIK PERORANGAN SECARA HUKUM ADAT DIPANDANG DARI HUKUM AGRARIA NASIONAL DI KECAMATAN PANOMBEAN PANEI KABUPATEN SIMALUNGUN
A. Kedudukan Tanah-Tanah Adat Dalam Hukum Agraria Nasional Di Indonesia Hak ulayat merupakan hak tertinggi atas tanah yang dimiliki oleh sesuatu persekutuan hukum (desa, suku) untuk menjamin ketertiban pemanfaatan, pendayagunaan tanah. Hak ulayat adalah hak yang dimiliki oleh suatu persekutuan hukum (desa, suku), dimana para warga masyarakat (persekutuan hukum) tersebut mempunyai hak untuk menguasai tanah, yang pelaksanaannya diatur oleh ketua persekutuan (kepala suku/kepala desa yang bersangkutan).90 Hak ulayat merupakan serangkaian wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat, yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam lingkungan wilayahnya, yang sebagai telah diuraikan di atas merupakan pendukung utama penghidupan dan kehidupan masyarakat yang bersangkutan sepanjang masa (lebensraum). Kewenangan dan kewajiban tersebut masuk dalam bidang hukum perdata dan ada yang masuk dalam bidang hukum publik. Kewenangan dan kewajiban dalam bidang hukum perdata berhubungan dengan hak bersama kepunyaan atas tanah tersebut, sedangkan dalam hukum publik, berupa tugas kewenangan untuk mengelola, mengatur dan memimpin peruntukan, penguasaan, penggunaan, dan pemeliharaannya ada pada kepala adat/tetua adat. Konsepsi hak ulayat menurut 90
G. Kertasapoetra, Hukum Tanah, Jaminan Undang-Undang Pokok Agraria Bagi Keberhasilan Pendayagunaan Tanah, (Jakarta: Bina aksara, 1985), halaman. 88
61
Universitas Sumatera Utara
62
hukum adat terdapat nilai-nilai komunalistik-religius magis yang memberi peluang penguasaan tanah secara individual, serta hak-hak yang bersifat pribadi, namun demikian hak ulayat bukan hak orang-seorang. Sehingga dapat dikatakan hak ulayat bersifat komunalistik karena hak itu merupakan hak bersama anggota masyarakat hukum adat atas tanah yang bersangkutan. Sifat magis-religius menunjuk kepada hak ulayat tersebut merupakan tanah milik bersama, yang diyakini sebagai sesuatu yang memiliki sifat gaib dan merupakan peninggalan nenek moyang dan para leluhur pada kelompok masyarakat adat itu sebagai unsur terpenting bagi kehidupan dan penghidupan mereka sepanjang masa dan sepanjang kehidupan itu berlangsung, dan jika dilihat dari sistem hukum tanah adat tersebut, maka hak ulayat dapat mempunyai kekuatan berlaku ke dalam dan ke luar.91 Hak ulayat dapat mempunyai kekuatan berlaku ke dalam berhubungan dengan para warganya, sedang kekuatan berlaku ke luar dalam hubungannya dengan bukan anggota masyarakat hukum adatnya, yang disebut orang asing atau orang luar. Kewajiban utama penguasa adat yang bersumber pada hak ulayat ialah memelihara
kesejahteraan
dan
kepentingan
anggota-anggota
masyarakat
hukumnya, menjaga jangan sampai timbul perselisihan mengenai penguasaan dan pemakaian tanah dan kalau terjadi sengketa ia wajib menyelesaikan, sedangkan untuk hak ulayat mempunyai kekuatan berlaku ke luar hak ulayat dipertahankan dan dilaksanakan oleh penguasa adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Orang-orang asing, artinya orang-orang yang bukan warga masyarakat hukum 91
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria Isi Dan Pelaksanaannya., (Jakarta: Djambatan, 2005), halaman. 190
Universitas Sumatera Utara
63
adat yang bersangkutan yang bermaksud mengambil hasil hutan, berburu atau membuka tanah, dilarang masuk lingkungan tanah wilayah suatu masyarakat hukum adat tanpa ijin penguasa adatnya. Subyek
hak
ulayat
adalah
masyarakat
persekutuan
adat
dalam
keseluruhannya, yakni seluruh nusantara ini, masyarakat menguasai hak ulayat tidak boleh di tangan oknum pribadi tetapi harus di tangan masyarakat.92 Obyek hak ulayat meliputi tanah (daratan), air, tumbuh-tumbuhan (kekayaan alam) yang terkandung di dalamnya dan binatang liar yang hidup bebas dalam hutan,93 dengan demikian hak ulayat menunjukkan hubungan hukum antara masyarakat hukum (subyek hukum) dan tanah atau wilayah tertentu (objek hak).94 Isi hak ulayat adalah kebebasan dari anggota masyarakat desa untuk menikmati tanah hak ulayat itu misalnya berbumi, mengambil kayu atau buahbuahan yang tumbuh di tanah tersebut, dan orang asing dilarang menguasai atau menikmat tanah ulayat kecuali setelah mendapatkan ijin dari ketua adat, desa dan membayar uang pengakuan. Wilayah kekuasaan persekutuan adalah merupakan milik persekutuan yang pada asasnya bersifat tetap namun dalam kenyataannya terdapat pengecualian-pengecualian, yang mana pengecualian ini berkaitan dengan kekuatan hak ulayat yang berlaku ke luar. Hak ulayat meliputi semua tanah yang ada dalam lingkungan wilayah masyarakat hukum yang bersangkutan, baik yang sudah dimiliki oleh seseorang
92
Sumardi Basuki, Diklat Kuliah Asistensi, Hukum Agraria, (Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 1977), halaman. 32 93 Bushar Muhammad, Pokok-Pokok Hukum Adat, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1983), halaman. 109 94 Maria S.W.Sumardjono, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi Dan Implementasi, (Jakarta: Buku Kompas, 2001), haaman. 56
Universitas Sumatera Utara
64
maupun yang belum. Dalam lingkungan hak ulayat tidak ada tanah sebagai “res nullius”. Umumnya batas wilayah hak ulayat masyarakat hukum adat territorial tidak dapat ditentukan secara pasti. Masyarakat hukum adatlah, sebagai penjelmaan dari seluruh anggotanya, yang mempunyai hak ulayat, bukan orang seorang, yang mana masing-masing itu menurut hukum adat mempunyai hukumnya yang khusus. Tanah yang diusahakannya itu dapat dikuasainya dengan hak pakai, tetapi ada juga masyarakat hukum adat yang memungkinkan tanah yang dibuka tersebut dipunyai dengan hak milik. Hal itu tergantung pada kenyataan apakah tanah dikuasai dan diusahakannya secara terus-menerus ataukah hanya sementara saja. Jika seseorang individu warga persekutuan dengan ijin kepala adat atau kepala desa membuka tanah persekutuan maka dengan menggarap tanah itu terjadi hubungan hukum dan sekaligus juga hubungan religious magis antara individu warga persekutuan dengan tanah yang dimaksud. Perbuatan hukum ini jelas menimbulkan hak bagi warga yang menggarap tanah atau kemudian hak wenang atas tanah yang bersangkutan. Hak ulayat aturannya terdapat di dalam hukum adat, hal ini karena penyelenggaraan dan pengelolaan hak ulayat sesuai dengan hukum adat dari masing-masing daerah dimana hak ulayat itu berada, dimana hal ini kemudian menyebabkan hak ulayat antara daerah yang satu dengan daerah lainnya pengaturannya berbeda-beda. Keadaan ini kemudian melahirkan keragaman dalam hukum adat yang secara tidak langsung berpengaruh pula bagi hukum pertanahan, karena hak ulayat merupakan hak penguasaan atas tanah hak milik
Universitas Sumatera Utara
65
adat. Seiring perkembangan ilmu pengetahuan di segala bidang termasuk bidang pertanahan maka kemudian lahirlah suatu produk hukum yang dipandang dapat mengakomodir keragaman-keragaman mengenai hukum pertanahan dalam negara sehingga unifikasi hukum sebagai salah satu tujuan dikeluarkan produk hukum ini dapat terwujud. Lahirnya undang-undang pokok agraria bukan berarti meniadakan keragaman yang ada dalam hukum adat khususnya mengenai tanah tetapi lebih pada mengatur ketentuan yang berlaku umum bagi seluruh warga negara mengenai hukum pertanahan, sehingga untuk hukum adat pengaturannya diserahkan pada peraturan hukum yang berlaku di daerahnya masing-masing dengan catatan tidak bertentangan dengan hukum nasional dan kepentingan nasional serta tata peraturan yang lebih tinggi. Salah satunya pengaturan mengenai hak ulayat, walaupun tidak semua daerah atau wilayah yang masing mengakui keberadaan hak ulayat bukan berarti hak ulayat tidak diatur dalam undang-undang pokok agraria hukum nasional. Sebagian besar materi yang ada dalam undang-undang pokok agraria diadopsi dari hukum adat. Pengaturan hak ulayat dalam undang-undang pokok agraria yaitu pengakuan mengenai keberadaan (eksistensi) dan pelaksanannya. Eksistensi atau keberadaan hak ulayat ini menunjukkan bahwa hak ulayat mendapat tempat dan pengakuan sepanjang menurut kenyataan masih ada. Pada aspek pelaksanaannya, maka implementasinya tidak boleh bertentangan dengan kepentingan nasional bangsa dan negara serta peraturan perundang-undangan lainnya yang tingkatannya lebih tinggi, yang mana dalam hal ini kepentingan
Universitas Sumatera Utara
66
sesuatu masyarakat adat harus tunduk pada kepentingan umum, bangsa dan negara yang lebih tinggi dan luas, dan oleh sebab itu tidak dapat dibenarkan jika dalam suasana berbangsa dan bernegara sekarang ini ada suatu masyarakat hukum adat yang masih mempertahankan isi pelaksanaan hak ulayat secara mutlak. Lebih lanjut pengaturan mengenai hak ulayat diserahkan kepada peraturan daerah masing-masing di mana hak ulayat itu berada. Pedoman yang dipergunakan dalam
melaksanakan urusan pertanahan khususnya dalam
hubungan dengan masalah hak ulayat masyarakat adat yang nyata-nyata masih ada di daerah yang bersangkutan didasarkan pada Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Pedoman Penyelesaian Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Peraturan ini memuat kebijaksanaan yang memperjelas prinsip pengakuan terhadap hak ulayat dan hak-hak serupa dari masyarakat hukum adat, yang mana kebijaksanaan tersebut meliputi:95 1.
Penyamaan persepsi mengenai hak ulayat.
2.
Kriteria dan penentuan masih adanya hak ulayat dan hak-hak yang serupa dari masyarakat hukum adat
3.
Kewenangan masyarakat hukum adat terhadap tanah ulayatnya. Masih adanya hak ulayat masyarakat hukum adat di suatu daerah hanya
dapat diketahui dan dipastikan dari hasil tinjauan dan penelitian setempat berdasarkan kenyataan, bahwa:96
95
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah, (Jakarta: Djambatan, 2004), halaman. 57 96 Maris S. W. Sumardjono, Op. Cit., halaman. 68
Universitas Sumatera Utara
67
1. 2. 3.
Masih adanya suatu kelompok orang sebagai warga suatu persekutuan hukum adat tertentu, yang merupakan suatu masyarakat hukum adat. Masih adanya wilayah yang merupakan tanah ulayat masyarakat hukum adat tersebut, yang didasari sebagai tanah kepunyaan bersama para warganya. Masih adanya penguasa adat yang pada kenyataannya dan diakui oleh para warga mayarakat hukum adat yang bersangkutan, melakukan kegiatan seharihari sebagai pelaksana hak ulayat. Ketiga unsur tersebut pada kenyataannya harus masih ada secara
kumulatif, yang mana penelitian mengenai unsur hak ulayat di atas akan ditugaskan
kepada
pemerintah
kabupaten,
yang
dalam
pelaksanaannya
mengikutsertakan para pakar hukum adat dan para tetua adat setempat.
B. Pelaksanaan Peralihan Hak Atas Tanah Milik Perseorangan Secara Hukum Adat Di Kecamatan Panombean Panei Kabupaten Simalungun 1.
Deskripsi Wilayah Simalungun
Kecamatan
Panombenan
Panei
Kabupaten
Kabupaten Simalungun yang merupakan salah satu daerah di Propinsi 0
0
0
0
Sumatera Utara, terletak antara 02036 – 03018 LU, 98032 – 99035 BT dengan luas wilayah 4.386,60 km atau 6,12 % dari luas keseluruhan Provinsi Sumatera Utara serta berada pada ketingggian 20 – 1.400 meter dari atas permukaan laut (rata-rata 369 meter) yang dibagi dalam 3 kategori besar, yaitu:97 a.
Ketinggian 20 meter-389 meter dari permukaan laut termasuk dalam kategori dataran rendah yang meliputi Kecamatan Bandar, Pematang Bandar, Ujung Padang, Siantar, Huta Bayu Raja, Tanah Jawa, Bosar Maligas, Dolok Batu Nanggar dan Tapian Dolok dengan luas 2.160,83 km atau 49,26 % dari luas Kabupaten Simalungun. 97
Agustono, Budi, Sejarah Etnis Simalungun, (Pematang Raya: Kerja Sama Pemerintah Kabupaten Simalungun Dan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara, 2012), halaman. 77
Universitas Sumatera Utara
68
b.
Ketinggian 600 meter-920 meter dari permukaan laut termasuk dalam kategori dataran sedang yang meliputi Kecamatan Panei, Kecamatan Panombean Panei, Jorlang Hataran, Raya Kahean, Sidamanik, Raya, Dolok Panribuan dan Girsang Simpang Bolon dengan luas 1.276,07 km atau 29,09 % dari luas Kabupaten Simalungun.
c.
Ketinggian 1.100 meter – 1.500 meter dari permukaan laut termasuk dalam kategori dataran tinggi yang meliputi Kecamatan Dolok Pardamean, Purba, Silimakuta, Silau Kahean dan Dolok Silau dengan luas 939,70 km atau 21,65 % dari luas Kabupaten Simalungun. Kabupaten Simalungun yang secara adminstratif pemerintahan terdiri dari
31 Kecamatan dengan 345 Desa, 22 Kelurahan dengan luas total wilayah 4.386,60 2
km atau 6,12% dari luas total wilayah Propinsi Sumatera Utara. Adapun letak geografis Kabupaten Simalungun yaitu sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten Serdang Bedagai, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Toba Samosir, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Asahan, dan Kabupaten Batu Bara, dan sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Karo. Kecamatan Panombean Panei merupakan salah satu kecamatan baru di Kabupaten Simalungun. Kecamatan ini pemekaran dari Kecamatan Panei memiliki luas 82,2 Km2, dengan letak geografis sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Serdang Bedagai, sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Sidamanik dan Kecamatan Panei, sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Raya, sebelah timur berbatasan dengan Kota Pematang Siantar. Jarak Kecamatan
Universitas Sumatera Utara
69
Panombean Panei dari Pematang Raya Ibukota Kabupaten Simalungun adalah ± 20 Km.98 2.
Masyarakat Hukum Adat Kabupaten Simalungun Menurut Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Petanahan
Nasional Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, dijelaskan bahwa “masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya, sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan.”99 Ada 4 (empat) elemen yang membentuk masyarakat adat tersebut, yaitu sebagai berikut: a.
b.
c.
d.
Sekelompok orang yang masih terikat dengan spiritualitas nilai-nilai sikap dan perilaku tertentu dan yang membedakan mereka sebagai kelompok sosial terhadap kelompok sosial yang lain. Wilayah hidup tertentu yang di dalamnya ada tanah, hutan, laut dan sumber daya alam lainnya yang bukan semata-mata diperlakukan sebagai barang produksi sehari-hari (sumber mata pencaharian), tetapi menjadi bagian utuh dari sistem religi dan sosial budaya kelompok sosial tersebut. Praktek-praktek yang berbasis pada pengetahuan (kearifan) tradisional yang terus menerus diperkaya atau dikembangkan sesuai kebutuhan keberlanjutan hidup mereka. Aturan dan tata kepengurusan hidup bersama (hukum dan kelembagaan adat) yang berkembang sesuai dengan sistem nilai bersama yang diterima dan berlaku di dalam kelompok sosial tersebut.100 Menurut hukum adat yang berlaku di Kerajaan Siantar, bertalian dengan
“adatrecht gemeenschappen”, terdapat di Kabupaten Simalungun terdapat masyarakat hukum adat yang bertingkat atau berlapis, dimana lapis atas adalah
98
Berdasarkan Data Dari Pangulu Kecamatan Panombean Panei Kabupaten Simalungun Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Petanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Pasal 1, angka (3), 100 P. Panggabean, Pemberdayaan Hak Masyarakat Hukum Adat Dalam Mendukung Kegiatan Otonomi Daerah, (Jakarta: Permata Aksara, 2011), halaman. 55 99
Universitas Sumatera Utara
70
Urung Siantar, lapis tengah adalah Partuanon (Sipolha, Silampuyang, Dolok Malela, dan lain-lain), dan lapis bawah adalah Huta (Naga Huta, Siantar). Secara umum untuk urusan pertanahan secara internal, cukup diselesaikan oleh pemerintahan huta atau desa, namun apabila ada urusannya dengan pihak luar (bukan kaula atau warga masyarakat hukum adat), maka diurus oleh lapis yang lebih tinggi, misalnya pemerintahan partuanon (lapis tengah). Apabila urusannya tidak terselesaikan oleh pemerintahan partuanon, maka akhirnya diangkat persoalannya pada masyarakat hukum adat lapis atas, yakni Kepala Urung (landschaap) atau pemerintahannya, dengan demikian, ada semacam “check and balances” di antara pemerintahan masyarakat hukum yang berlapis-lapis itu.101 Masyarakat hukum adat yang ada di Simalungun hampir sama dengan masyarakat hukum adat yang ada di Penyabungan dan di Sipirok, berbeda dengan masyarakat hukum adat di Toba, yang titik sentralnya (heavy nya) berada di Huta atau Desa. Dalam perkembangan terakhir, kadang-kadang huta pun tidak lagi merupakan Masyarakat Hukum Adat di Simalungun, jadi yang tinggal kemudian adalah Masyarakat Hukum Partuanon (Parbapaan) dan masyarakat Hukum Urung (Landschaap) atau Partuanon Banggal.102 3.
Hak Atas Tanah Adat Di Kecamatan Panombean Panei Kabupaten Simalungun Menurut ketentuan hukum adat Simalungun, pada mulanya pemilikan
tanah adalah hak milik marga yang dikuasai oleh raja dari salah seorang anak keluarga marga tersebut. Rakyat hanya mempunyai hak pakai atau hak massamod, 101
Rosnidar Sembiring, Keberadaan Hak Ulayat Di Kabupaten Simalungun, Tesis, (Medan: PPS USU, 2001), halaman. 70 102 Ibid., halaman. 71
Universitas Sumatera Utara
71
dan sering juga disebut galunggung. Hak massamod (galunggung) bagi rakyat berlaku turun-temurun dan dapat diwariskan, juga dapat dijual. Penduduk dapat membuka perladangan atau persawahan dengan sekuat kemampuannya dengan ketentuan tanaman keras di atas tanah tersebut adalah milik marga oleh salah seorang raja dari marga tersebut. Sebagai pemerintah tertinggi di wilayahnya
masing-masing penduduk diwajibkan mendapat
persetujuan dari raja untuk massamod yang baru dan setiap penjualan hak massamod dari rakyat kepada orang lain harus diketahui oleh raja, untuk itu yang bersangkutan memberikan suatu pertanda berupa hasil dari atau peliharaan atau uang tunai (tidak ada ketentuan yang pasti).103 Pada mulanya ada beberapa fase yang dilalui untuk dapat mengusahakan sebidang tanah yaitu: a.
Fase penebangan kayu, dimana pada fase ini ditentukan waktunya, kemudian pembakarannya dan pada saat ini melekatlah suatu hak atas pemakaian tanah, yaitu ladang yang disebut “juma tombakan”.
b.
Fase dimana ladang yang dipakai untuk tahun kedua, ketiga disebut “gasgas”. Gas-gas adalah tanah yang tidak produktif (unsur haranya habis). Gasgas kebalikan dari “juma roba” (hutan yang masih perawan, sangat subur karena belum pernah ditanami).
c.
Fase untuk pertama kalinya ditinggalkan gas-gas tadi, disebut “bunga talun” sedangkan apabila ditinggalkan untuk kedua kalinya disebut “talun”
103
Ibid., halaman. 6
Universitas Sumatera Utara
72
(tanaman yang tidak ada di suatu tempat tetapi hanya di satu talun). Bunga talun ada di daerah Gulting, Sondi Raya. d.
Perladangan yang karena ditinggalkan, tapi masih ada di atasnya tanamtanaman muda, disebut “galunggung” (bukit-bukit, perladangan).
e.
Hak memperusahai atau memakai atas tanah ini melekat apabila terusmenerus dikerjakan, dalama waktu 2 (dua) tahun berturut-turut tidak dikerjakan maka hak itu “kembali” kepada penghulu atau kepala adat, yang kemudian dapat memberikannya kepada orang lain yang memerlukannya. Sebagai catatan, bahwa tanaman-tanaman keras biasanya tidak boleh ditanami di sini, agar pada waktunya (secara rotasi) dapat kembali berladang ke daerah kawasan hutan perkampungan ini, kecuali di tepi gubuk ladang (sopou juma). Dalam hal perladangan tersebut oleh penghulu diberikan kepada orang lain, oleh karena pemegang hak pakai semula tidak memerlukannya, maka tanamtanaman keras tadi (biasanya pohon durian dan petai) oleh si pemakai yang memperoleh kemudian itu, harus membersihkan sekeliling tersebut jelasnya lingkungan tanaman-tanaman itu tidak turut boleh diperladanginya, istilah dalam bahasa Simalungun “i salagsagi”.
f.
Hak “panunggu” atau “pangayakan” hanya terdapat pada tanah sawah yaitu tanah sebelah kiri dan kanan sawahnya ditambah bagi orang yang bersawah paling ujung ialah tanah sebelah hulunya.
g.
Tempat tanaman-tanaman keras disediakan di luar pagar disebut ”partoguh” atau “bidei” dari perkampungan dan tempat ini disebut “pohon” diberi ganti kerugian.
Universitas Sumatera Utara
73
h.
Hak rahatan ni huta, yaitu hutan yang berdekatan dengan kampung (merupakan hak bersama atas tanah), hak parjalangan sahuta yaitu tempat penggembalaan hewan, hak bong-bongan sahuta yaitu kolam tempat mengambil ikan, dan hak panambunan sahuta yaitu pekuburan bersama. Adakalanya pengemuka masyarakat di kampung itu dikuburkan atau menyediakan terlebih dahulu bangunan kuburannya di “pohonnya dan cara ini dibolehkan, mengingat status tanah “pohon” itu dikerjakan secara turuntemurun.104 Hak bersama atas tanah disebut rahatan ni huta, rahatan ni huta termasuk
juga hutan yang berdekatan dengan kampung, dimana kayu-kayunya tidak boleh diambil oleh penduduk kecuali untuk keperluan kampung itu umpamanya untuk balai desa, lumbung desa.105 Hak atas tanah adat yang terdiri atas hak ulayat dan hak perseorangan atas tanah (adat) di Kabupaten Simalungun masih di akui, meskipun dari segi objek adanya bong-bongan sahuta, tapian, juma na bolak, dan lain-lain. Masyarakat hukum adat masih ada tapi lemah, hal ini ditandai dengan adanya pimpinan adat dalam acara-acara ritual seperti pesta, dan hukum adat juga masih dipakai meskipun di sana-sini sudah mengalami pergeseran.106 4.
Peralihan Hak Atas Tanah Milik Perseorangan Secara Hukum Adat Di Kecamatan Panombean Panei Kabupaten Simalungun Sistem hukum adat bersendikan pada dasar-dasar alam pikiran bangsa
yang tidak sama dengan alam pikiran yang menguasai sistem hukum barat. Untuk 104
Jahutar Damanik, Jalannya Hukum Adat Simalungun, (Medan: Aslan, 1974), halaman.
23 105
Moshedayan Pakpahan, Tanah Adat Di Daerah-Daerah Indonesia, (Jakarta: Pusat Penelitian Dan Pengembangan Badan POertanahan Nasional, 1998), halaman. 7 106 Rosnidar Sembiring, Keberadaan Hak Ulayat Di Kabupaten Simalungun, Tesis, (Medan: PPS USU, 2001), halaman. 16
Universitas Sumatera Utara
74
dapat sadar akan sistem hukum adat, maka orang harus menyelami dasar-dasar pikiran yang hidup di dalam masyarakat. Dalam hukum adat hak penguasaan atas tanah yang tertinggi adalah hak ulayat, sebagai tanah bersama para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan, yang mengandung dua unsur yang beraspek hukum keperdataan dan hukum publik. Subyek hak ulayat adalah masyarakat hukum adat, baik territorial, genealogik, maupun genealogis territorial sebagai bentuk bersama para warganya. Kewenangan untuk mengatur hak ulayat dalam aspek hukum publik ada pada hak kepala adat dan para tetua adat, sebagai pertugas masyarakat hukum adat berwenang mengelola, mengatur dan memimpin peruntukan, penguasaan, penggunaan dan pemeliharaan tanah-bersama tersebut. Antara hak ulayat dan hakhak perorangan selalu ada pengaruh timbal balik. Makin banyak usaha yang dilakukan seseorang atas suatu bidang tanah, makin eratlah hubungannya dengan tanah yang bersangkutan dan makin kuat pula haknya atas tanah tersebut. Dalam hal yang demikian kekuatan hak ulayat terhadap tanah itu menjadi berkurang.107 Menurut hukumnya yang asli, bagaimanapun juga kuatnya, hak perseorangan atas tanah itu tetap terikat oleh hak ulayat. Dalam pada itu di banyak daerah hak-hak perseorangan sudah sedemikian kuatnya, hingga kekuatan hak ulayat menurut kenyataannya sudah hilang atau hampir-hampir tak terasa lagi. Tetapi dimana hak ulayat masih kuat, sewaktu-waktu hubungan orang dengan tanahnya menjadi kendor, misalnya tidak diusahakan lagi, hak ulayat menjadi kuat
107
Irin Siam Musnita, Penyelesaian Sengketa Tanah Ulayat Masyarakat Di Kabupaten Sorong, Tesis, (Bandung Universitas Diponegoro, 2008), halaman. 24
Universitas Sumatera Utara
75
kembali, hingga tanahnya kembali kedalam kekuasaan penuh masyarakat hukum adat yang bersangkutan.108 Sebidang tanah yang tidak diusahakan lagi hingga kembali menjadi hutan atau tumbuh belukar di atasnya, hal itu bisa mengakibatkan hilangnya hak atas tanah yang bersangkutan. Tanah tersebut kemudian boleh diusahakan oleh anggota masyarakat lainnya. teranglah bahwa hukum adat mengenal isi pengertian fungsi sosial dari hak-hak atas tanah. dalam konsepsi hukum adat hak ini yang merupakan perwujudan dari “unsur kebersamaan”. Para warga masyarakat diberi kemungkinan untuk membuka, menguasai dan menghaki tanah bukan sekedar untuk dipunyai, melainkan dengan tujuan untuk diusahakan bagi pemenuhan kebutuhan mereka masing-masing, ini bertentangan dengan fungsi sosialnya kalau tanah yang mestinya diusahakan dibiarkan dalam keadaan terlantar.109 Hak atas tanah menurut hukum adat tidak hanya memberi wewenang, tetapi juga meletakkan kewajiban kepada yang empunya untuk mengusahakan tanah. Demikian sifat asli dari hak perorangan atas tanah menurut konsepsi hukum adat, dengan bertambah kuatnya penguasaan bagian-bagian tanah bersama tersebut oleh para warganya, secara alamiah kekuatan hak ulayat masyarakat hukum adat yang bersangkutan tambah lama menjadi tambah melemah, hingga akhirnya menjadi tidak tampak lagi keberadaannya. Pada kenyataannya perkembangannya sudah sangat beragam, maka tidak mungkin dikatakan secara
108 109
Ibid., halaman. 25 Ibid., halaman. 26
Universitas Sumatera Utara
76
umum, bahwa di suatu daerah hak ulayat masyarakat-masyarakat hukum adatnya masih ada atau sudah tidak ada lagi ataupun tidak pernah ada sama sekali.110 Ketentuan undang-undang pokok agraria dan hukum tanah nasional tidak menghapus hak ulayat, tetapi juga tidak mengaturnya. Mengatur hak ulayat dapat berakibat melanggengkan atau melestarikan eksistensinya. Padahal perkembangan masyarakat menunjukkan kecenderungan akan hapusnya hak ulayat tersebut melalui proses alamiah, yaitu dengan menjadi kuatnya hak-hak perorangan dalam masyarakat hukum adat yang bersangkutan.111 Pada mulanya dalam hal penguasaan tanah oleh warganya didasarkan pada siapa di antara mereka yang pertama kali membuka kawasan tersebut dan menggarapnya, begitu pula dalam hal menentukan batas tanah yang dikuasai hanya didasarkan pada patokan pohon yang sifatnya tahunan atau patokan lainnya berupa petak-petak tanah ataupun sawah yang dapat dikerjakannya. Batas-batas penguasaan tanah ulayat dari masyarakat hukum adat sulit dikenal oleh pihak luar, karena mereka menganut luas tanah yang dipunyai hanya dibatasi oleh alam yang mereka sendiri kenal/ketahui. Penetapan batas secara ulayat atau adat sering tumpang tindih antara suku, marga, yang satu dengan yang lainnya dan mereka mengaku selaku pihak yang lebih berhak memiliki tanah-tanah tersebut demi memberikan kepastian status kepemilikan atas bidang tanah yang digarapnya maka kepada penggarap tanah diberikan surat tanda kepemilikan tanah yang berupa “alas hak” tanah yang dibuat
110 111
Ibid., halaman. 27 Ibid., halaman. 26
Universitas Sumatera Utara
77
atau dikeluarkan oleh kelurahan yang diketahui kepada kepala distrik/kecamatan, yang berfungsi sebagai surat tanda bukti kepemilikan tanah.112 Masyarakat Simalungun yang bertempat tinggal di Kecamatan Panombean Panei mengenal satu lembaga adat yang disebut Partuha Maujana Simalungun. Lembaga adat ini telah ada mulai dari tingkat serikat tolong menolong, desa, kecamatan, kabupaten dan pusat. Keberadaan objek tanah ulayat di Kabupaten Simalungun sampai saat ini masih terdapat di beberapa kecamatan diantaranya yaitu sebagai berikut: 1. 2. 3.
Kecamatan Raya berupa tanah, termasuk didalamnya tapian, tempat mandi, kali dan hasil hutan. Kecamatan Purba berupa tanah, kolam, ikan atau bong-bongan sahuta. Kecamatan Siantar berupa tanah, panambunan sahuta atau perkuburan, pemakaman bersama.113 Dari data tersebut di daerah raja, objek hak ulayat dapat berupa tanah, kali,
hasil hutan dan binatang liar (celeng, burung), yang dimaksud dengan binatang liar adalah hasil hutan yang tumbuh dan berkembang atau binatang-binatang yang hidup dan berkembang biak yang tidak dimiliki oleh perorangan. Umumnya tanah tersebut terbagi dalam tanah untuk perhutanan (rumah dan pekarangan), pertanian untuk persawahan dan ladang (lahan kering).114 Alas hak (bukti kepemlikan tanah) yang dikeluarkan oleh kelurahan yang diketahui kepada kepala distrik atau kecamatan setempat sebenarnya hanya memberikan hak untuk menggarap saja kepada pemiliknya bukan hak milik, sehingga dengan demikian tanah tersebut tetap merupakan milik adat, sehingga apabila sewaktu-waktu masyarakat adat membutuhkan tanah tersebut kembali, maka masyarakat adat berhak untuk 112
Ibid., halaman. 27 Rosnidar Sembiring, Op. Cit., halaman. 189 114 Ibid., halaman. 190 113
Universitas Sumatera Utara
78
meminta warga sekitarnya untuk meninggalkan tanah yang telah mereka garap tersebut.115 Hal ini menimbulkan permasalahan di lapangan, dan ini dapat dibuktikan dengan adanya permasalahan baik antar warga dalam satu desa maupun terhadap warga diluar desa atau dengan kata lain adanya sengketa permasalahan tanah dengan letak berbatasan, sengketa mengenai tanah juga sering terjadi dengan pihak diluar adat (pihak ketiga) atau pihak diluar desa yang membeli tanah adat tersebut, permasalahan juga timbul disebabkan dari ketidakstabilan masyarakat menjunjung tinggi dan menghormati keputusan adat yang dibuat oleh pendahulunya.116 Dengan
semakin
meningkatnya
nilai
ekonomis
tanah
sehingga
menimbulkan perubahan pola pikir masyarakat, yang tadinya masyarakat agraris berubah menjadi masyarakat ekonomis, dan dengan meningkatnya nilai tanah mendorong masyarakat untuk menjual tanahnya kepada pihak lain daripada mengolah tanah tersebut. Faktor ini yang mendorong bagi masyarakat adat untuk merubah bentuk tanah yang semula dikuasai dengan hak ulayat menjadi tanah hak milik peorangan sehingga menyebabkan fungsi tanah itu menjadi berubah dari tanah ulayat menjadi tanah perseorangan atau individu dan kedudukan ketua adat yang selama ini begitu dominan bagi masyarakat adat menjadi semakin memudar pengaruhnya didalam masyarakat.117 Penggunaan tanah dan pengaturannya yang semula dipercayakan kepada ketua adat, dengan berubahnya status tanah tersebut dari hak ulayat menjadi hak 115
Ibid., halaman. 28 Ibid., halaman. 29 117 Ibid., halaman. 29 116
Universitas Sumatera Utara
79
milik perorangan maka saat ini tidak lagi diatur oleh ketua adat, namun diatur sesuai hukum tanah nasional untuk itulah pada perkembangannya banyak terjadi jual beli tanah secara langsung oleh pemilik tanah kepada pihak lain di luar lingkungan adat atau masyarakat pendatang tanpa persetujuan dari ketua adat.118 Hal inilah yang menjadi salah satu pemicu yang kedua dengan tidak dilibatkannya ketua adat dalam proses jual beli tersebut menyebabkan banyak hal yang tidak diketahui oleh pembeli mengenai status tanah maupun sejarah kepemilikan tanah tersebut misalnya apakah tanah tersebut diperoleh dari pewarisan atau sebenarnya dimiliki oleh pembeli saja ataupun ada orang atau pihak lain yang turut memiliki hak atas tanah tersebut juga menjadi pemicu timbulnya masalah sengketa tanah di Kecamatan Panombean Panei Kabupaten Simalungun.119 Peralihan hak atas tanah adat milik perorangan yang ada di Kecamatan Panombean Panei Kabupaten Simalungun tidak dibedakan berdasarkan rumpun marga-marga yang ada di Kabupaten Simalungun baik marga Sinaga, Saragih, Damanik, dan Purba yang mana keempat marga ini disingkat “sisa dapur” (satu dapur). Dalam peralihan hak atas tanah adat milik perorangan yang ada di Kabupaten Simalungun dilakukan dengan cara yang sama tanpa ada perbedaan ditiap-tiap marga, sehingga terjadi keseragaman dalam pelaksanaan peralihan hak atas tanah adat milik perorangan yang ada di Kabupaten Simalungun.120
118
Berdasarkan Wawancara Dengan Bapak St. S. Purba Sidabalog, Pengetua Adat Kecamatan Panombean Panei, Tanggal 05 Januari 2017 119 Berdasarkan Wawancara Dengan Bapak St. S. Purba Sidabalog, Pengetua Adat Kecamatan Panombean Panei, Tanggal 05 Januari 2017 120 Berdasarkan Wawancara Dengan Bapak St. Drs. Kamen Purba Dasuha, Pengetua Adat Kecamatan Panombean Panei, Tanggal 17 Oktober 2016
Universitas Sumatera Utara
80
Peralihan hak atas tanah adat milik perorangan yang ada di Kabupaten Simalungun sebagian besar dilakukan dengan kesepakatan dua pihak dan disaksikan oleh penghulu nagori serta disaksikan oleh saksi dari masing-masing pihak. Dalam hal ini keterlibatan notaris sebagian sama sekali dalam pelaksananan pembuatan akta jual beli tanah tersebut, sehingga di belakangan hari sering muncul persengketaan antara para pihak maupun ahli warisnya karena keberadaan surat jual beli yang sifatnya hanya dibawah tangan saja. Terdapat juga orangorang dari masyarakat adat yang sudah terlibat dalam suatu transaksi tanah (sudah menjual tanahnya) dapat dengan mudah membatalkan atau mengingkari perbuatannya dengan dalih waktu itu hanya menandatangani, tidak mengetahui isinya, dipaksa dan lain-lain.121 Kemudian ada anggapan dari masyarakat dengan dimilikinya “alas hak” atas penguasaan tanah mereka menganggap bahwa tanah yang selama ini ia garap ada anggapan hubungan antara tanah dengan masyarakat adat memiliki keterikatan secara emosional, sehingga berdasarkan kepemilikannya atau alas hak sebagai dasar kepemilikan tanah dianggap sebagai pengakuan atas kepemilikan tanah yang dikuasainya dengan hak milik. Selain itu, masyarakat adat sulit untuk diajak menyelesaikan permasalahannya melalui lembaga peradilan (litigasi), sehingga untuk menyelesaikan masalah tersebut, masyarakat adat memilih dengan ”pengaduan atau mengadu” kepada kepala lembaga masyarakat hukum adat mengenai sengketa yang timbul di antara masyarakat tersebut, dan lembaga tersebut yang menjadi mediator untuk menyelesaikan sengketa tersebut.122
121
Berdasarkan Wawancara Dengan Bapak St. S. Purba Sidabalok, Pengetua Adat Kecamatan Panombean Panei, Tanggal 05 Januari 2017 122 Berdasarkan Wawancara Dengan Bapak St. S. Purba Sidabalok, Pengetua Adat Kecamatan Panombean Panei, Tanggal 05 Januari 2017
Universitas Sumatera Utara
81
C. Faktor-Faktor Penghambat Dalam Pelaksanaan Peralihan Hak Atas Tanah Milik Perorangan Secara Hukum Adat Dipandang Dari Hukum Agaria Nasional Faktor-faktor yang menjadi penghambat dalam pelaksanaan peralihan hak atas tanah milik perseorangan secara hukum adat antara lain seperti ketidakjelasan subjek dalam menjelaskan status hak atas tanah adat, tidak dapat menjelaskan batas-batas yang seharusnya, tidak mendapatkan persetujuan dari keluarga atau kepala adat, yang mana akibat ketidakjelasan ini kemudian dapat berujung kepada bentuk persengketaan dikemudiaan hari. Ketidakjelasan ini disebabkan oleh sulitnya persyaratan yang harus ditempuh sebelum melakukan transaksi peralihan hak atas tanah di Kabupaten Simalungun sehingga masyarakat melakukan peralihan dibawah tangan tanpa ada persetujuan adat. Menurut Hukum Adat Kabupaten Simalungun, persyaratan yang harus ditempuh adalah sebagai berikut:123 1.
Harus ada persetujuan dari kahanggi
2.
Harus dilakukan secara adat
3.
Dihadiri oleh tolu sahundulan loma saodoran
4.
Disaksikan oleh pengetua adat
5.
Harus ada “tulak sakul” (tolak cangkul). Kesulitan yang dihadapi ialah persetujuan dari kahanggi karena sulitnya
mengetahui dimana tempat tinggalnya berada dan belum tentu semuanya setuju. Dari hasil penelitian juga menunjukkan sebagian masyarakat sudah banyak yang menjual tanah, hal ini berarti bahwa hukum adat tanah mengalami transisi. 123
Rosnidar Sembiring, Eksistensi Hak Ulayat Atas Tanah Dalam Masyarakat Adat Simalungun, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2008), halaman. 210
Universitas Sumatera Utara
82
Sebagian besar masyarakat yang masih dipengaruhi hukum adat, yang menganggap apabila tanah yang sudah didaftarkan bukan lagi seperti hak dalam hukum adat, melainkan hak milik yang diatur dalam undang-undang, konsekuensinya yaitu bagi masyarakat yang sudah mempunyai sertifikat tanah sesuka hati dan lebih mudah menjual kepada orang lain, sehingga unsur komunal dan sifat relio magis menjadi hilang.124 Pada setiap sengketa tanah masing-masing mempunyai karakteristik yang berbeda-beda antara yang satu dengan yang lainnya. Pada dasarnya dalam setiap penyelesaian sengketa baik melalui jalur litigasi atau non litigasi di dalamnya terdapat hal-hal yang menghambat jalannya musyawarah ataupun pelaksanaan hasil musyawarahnya. Secara umum hambatan-hambatan dalam musyawarah tersebut dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu faktor internal yang berasal dari para pihak yang bersengketa dan pada obyek yang disengketakan dan faktorfaktor eksternal yang berasal dari pihak lainnya. Faktor internal yang menghambat proses penyelesaian sengketa antara lain dapat disebabkan oleh: 1.
Sifat Temperamen Para pihak yang bersengketa terkadang menjadi salah satu faktor yang
menghambat dalam proses musyawarah, hal ini berkaitan dengan temperamen mereka. Temperamen masyarakat adat dalam proses musyawarah sangat berpengaruh dalam proses musyawarah. Musyawarah kadang tidak dapat berjalan dengan lancar karena salah satu pihak atau kedua belah pihak lebih menggunakan emosi daripada logikanya dalam bermusyawarah dan tidak mau mendengarkan
124
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
83
pendapat dari pihak lainnya dan lebih menganggap dirinya yang paling benar. Sikap seperti inilah yang membuat musyawarah menjadi tidak kondusif karena tidak ada pihak yang mau mengalah.125 Seharusnya menurut hemat penulis sifat tempramen ini di hindari para pihak agar masalah yang ada antara para pihak dapat diselesaikan dan ditemukan solusi atas permasalah tersebut. 2.
Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan masyarakat adat juga terkadang menjadi faktor
penghambat. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa sebagian besar dari para responden (masyarakat adat) yang merupakan pihak yang bersengketa hanya mempunyai tingkat pendidikan yang relatif rendah, sehingga mereka terkadang mengalami kesulitan untuk memahami hal yang menjadi fokus dari sengketa yang dimusyawarahkan dan menyebabkan sengketa menjadi semakin rumit untuk diselesaikan.126 3.
Kedisiplinan Kedisiplinan para pihak dalam proses penyelesaian sengketa juga menjadi
salah satu faktor penghambat. Tidak jarang terjadi pada saat akan dilakukan penandatanganan kesepakatan, salah satu pihak menolak untuk melakukannya dengan alasan mereka tidak mengerti maksudnya karena tidak dapat membaca sebelumnya telah disepakati oleh kedua belah pihak.127 4.
Ketidakjelasan Batas Tanah Tanah sebagai obyek sengketa juga dapat menjadi penyebab penghambat
jalannya proses musyawarah, sebagai contoh dalam hal penentuan batas tanah, 125
Irin Siam Musnita, Op. Cit., halaman. 101 Ibid., halaman. 102 127 Ibid., halaman. 103 126
Universitas Sumatera Utara
84
karena dari semula patokan yang menjadi batas-batas tanahnya tidak jelas. Hal ini dikarenakan dahulu pada awal penguasaan tanah oleh masyarakat adat sebagian besar penentuan batas tanah seperti sungai, batu, pohon-pohon dan lainnya, sehingga dalam hal ini para pihak mengalami kesulitan untuk menunjukkan batasnya.128 Faktor eksternal yang menghambat musyawarah merupakan faktor lain yang tidak bersumber dari subyek maupun obyek sengketa yang dapat disebabkan oleh pihak ketiga. Pihak ketiga dalam sengketa tanah adalah pihak lain selain para pihak yang bersengketa. Pihak ketiga ini biasanya adalah keluarga dari masyarakat adat yang ikut campur tangan yang terkadang mempengaruhi salah satu pihak yang bersengketa, dan biasanya juga karena faktor ganti rugi yang kurang.129 Pada dasarnya kelancaran jalannya penyelesaian sengketa tanah baik pada saat
proses
musyawarahnya
maupun
pada
saat
pelaksanaannya
hasil
musyawarahnya sangat dipengaruhi oleh kesadaran semua pihak untuk memahami arti penting dari musyawarah tersebut bagi terselesainya sengketa. Selain itu diperlukan peran aktif dari semua pihak untuk membantu menyelesaikan sengketa yang terjadi sehingga akan diperoleh penyelesaian yang menguntungkan semua pihak.130
128
Ibid., halaman. 104 Ibid., halaman. 105 130 Ibid., halaman. 106 129
Universitas Sumatera Utara
BAB IV
SOLUSI HUKUM YANG DAPAT DILAKUKAN DALAM MENGATASI PERSOALAN TERKAIT PERALIHAN HAK ATAS TANAH YANG DILAKUKAN BERDASARKAN HUKUM ADAT DI KECAMATAN PANOMBEAN PANEI KABUPATEN SIMALUNGUN A. Konsep Hukum Terhadap Peralihan Hak-Hak Atas Tanah Adat Yang Dilakukan Berdasarkan Hukum Adat Konsepsi atau falsafah yang mendasari hukum adat mengenai tanah adalah konsepsi komunalistik religius. Hal itu sejalan dengan pandangan hidup masyarakat dalam memandang hubungan antara manusia pribadi dengan masyarakat yang selalu mengutamakan/mendahulukan kepentingan masyarakat. Soepomo menandaskan bahwa di dalam hukum adat manusia bukan individu yang terasing yang bebas dari segala ikatan dan semata-semata mengingat keuntungan sendiri, melainkan adalah anggota masyarakat. Hukum adat memandang, yang primer bukanlah individu, melainkan masyarakat, karena itu menurut tanggapan hukum adat, kehidupan individu adalah kehidupan yang terutama diperuntukkan buat mengabdi kepada masyarakat. Dalam pada itu, maka hak-hak yang diberikan kepada individu adalah berkaitan dengan tugasnya dalam masyarakat. Berdasarkan konsepsi tersebut, maka tanah ulayat sebagai hak kepunyaan bersama dari suatu masyarakat hukum adat dipandang sebagai tanah bersama. Tanah bersama itu merupakan pemberian suatu anugrah dari suatu kekuatan gaib, bukan dipandang sebagai sesuatu yang diperoleh secara kebetulan atau karena kekuatan daya upaya masyarakat adat tersebut, oleh karena hak ulayat yang menjadi lingkungan pemberi kehidupan bagi masyarakat adat dipandang
85
Universitas Sumatera Utara
86
sebagai tanah bersama, maka semua hak-hak perorangan bersumber dari tanah bersama tersebut. Pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan adalah penjualan, tukarmenukar, perjanjian pemindahan hak, pelepasan hak, penyerahan hak, lelang, hibah atau cara lain yang disepakati dengan pihak lain selain pemerintah guna pelaksanaan pembangunan termasuk pembangunan untuk kepentingan umum yang tidak memerlukan persyaratan khusus. Pemindahan hak atas tanah adalah perbuatan hukum untuk memindahkan hak atas tanah kepada pihak lain. Pemindahan dilakukan apabila status hukum pihak yang akan menguasai tanah memenuhi persyaratan sebagai pemegang hak atas tanah yang tersedia, dan pemegang hak atas tanah tersebut bersedia untuk memindahkan haknya. Secara khusus falsafah kepemilikan atas tanah dalam hukum adat, hakekat dasarnya adalah dari pertautan manusia dengan tanah dan alamnya dan bukan pada hak, melainkan pada hubungan kuatnya pertautan hubungan yang melahirkan kewenangan (hak), oleh karena itu hak lahir melalui proses intensitas hubungan antara manusia dengan tanah tidak dari keputusan pejabat. Dalam filosofi adat, hak dipahamkan sebagai suatu yang relatif dan mudah berubah sesuai dengan perubahan yang terjadi dalam masyarakat, sehingga hak adalah sebagai sesuatu yang tidak mutlak.131 Hak ulayat dari unsur atau aspek hukum publik juga memberi wewenang kepada masyarakat hukum adat untuk mengelola, mengatur dan memimpin penguasaan, pemeliharaan, peruntukan dan penggunaan tanah ulayat. Jika kedua
131
Herman Soesangobeng, Op. Cit., halaman. 4
Universitas Sumatera Utara
87
hal tersebut dihubungkan satu dengan yang lain, maka hak menguasai tanah oleh negara semacam hak ulayat yang diangkat pada tingkatan yang tertinggi yaitu, meliputi seluruh wilayah tanah air. Menurut hukum adat, jual beli tanah adalah suatu perbuatan pemindahan hak atas tanah yang bersifat terang dan tunai. Terang berarti perbuatan pemindahan hak tersebut harus dilakukan di hadapan kepala adat, yang berperan sebagai pejabat yang menanggung keteraturan dan sahnya perbuatan pemindahan hak tersebut sehingga perbuatan tersebut diketahui oleh umum. Tunai maksudnya, bahwa perbuatan pemindahan hak dan pembayaran harganya dilakukan secara serentak, oleh karena itu, maka tunai mungkin berarti harga tanah dibayar secara kontan, atau baru dibayar sebagian (tunai dianggap tunai). Dalam hal pembeli tidak membayar sisanya, maka penjual tidak dapat menuntut atas dasar terjadinya jual beli tanah, akan tetapi atas dasar hukum utang piutang.132 Kadang-kadang seorang pembeli tanah dalam pelaksanaan jual belinya belum tentu mempunyai uang tunai sebesar harga tanah yang ditetapkan. Dalam hal yang demikian ini berarti pada saat terjadinya jual beli, uang pembayaran dari harga tanah yang ditetapkan belum semuanya terbayar lunas (hanya sebagian saja). Belum lunasnya pembayaran harga tanah yang ditetapkan tersebut tidak menghalangi pemindahan haknya atas tanah, artinya pelaksanaan jual beli tetap dianggap telah selesai. Adapun sisa uang yang harus dibayar oleh pembeli kepada penjual dianggap sebagai utang pembeli kepada penjual, jadi hubungan ini merupakan hubungan utang piutang antara penjual dengan pembeli. Meskipun 132
Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 1983), halaman.
211
Universitas Sumatera Utara
88
pembeli masih menanggung utang kepada penjual berkenaan dengan jual belinya tanah penjual, namun hak atas tanah tetap telah pindah dari penjual kepada pembeli saat terselesainya jual beli. Adapun prosedur jual beli tanah itu diawali dengan kata sepakat antara calon penjual dengan calon pembeli mengenai objek jual belinya yaitu tanah hak milik yang akan dijual dan harganya. Hal ini dilakukan melalui musyawarah di antara mereka sendiri, setelah mereka sepakat akan harga dari tanah itu, biasanya sebagai tanda jadi, diikuti dengan pemberian panjer. Pemberian panjer tidak diartikan sebagai harus dilaksanakannya jual beli itu. Dengan demikian panjer di sini fungsinya adalah hanya sebagai tanda jadi akan dilaksanakannya jual beli. Melalui pemberian panjer, para pihak akan merasa mempunyai ikatan moral untuk melaksanakan jual beli tersebut, dan apabila telah ada panjer, maka akan timbul hak ingkar, bila yang ingkar si pemberi panjer, panjer menjadi milik penerima panjer sebaliknya, bila keingkaran tersebut ada pada pihak penerima panjer, panjer harus dikembalikan kepada pemberi panjer. Jika para pihak tidak menggunakan hak ingkar tersebut, dapatlah diselenggarakan pelaksanaan jual beli tanahnya, dengan calon penjual dan calon pembeli menghadap kepala desa (adat) untuk menyatakan maksud mereka itu, dimanahal inilah yang dimaksud dengan terang. Kemudian oleh penjual dibuat suatu akta bermeterai yang menyatakan bahwa benar ia telah menyerahkan tanah miliknya untuk selama-lamanya kepada pembeli dan bahwa benar ia telah menerima harga secara penuh. Akta tersebut turut ditandatangani oleh pembeli dan kepala desa (adat), dan dengan telah
Universitas Sumatera Utara
89
ditandatanganinya akta tersebut, maka perbuatan jual beli itu selesai. Pembeli kini menjadi pemegang hak atas tanahnya yang baru dan sebagai tanda buktinya adalah surat jual beli tersebut.133 Jual beli, tukar-menukar, hibah, pemberian menurut adat dan pemasukan dalam perusahaan, demikian juga pelaksanaan hibah wasiat, dilakukan oleh para pihak di hadapan Notaris/PPAT, yang bertugas membuat aktanya. Dengan dilakukannya perbuatan hukum yang bersangkutan di hadapan Notaris/PPAT, telah dipenuhi syarat terang (bukan perbuatan hukum yang gelap, yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi). Pengalihan hak atas tanah, dan khususnya hak milik atas tanah adat tersebut dapat terselenggara secara benar, maka seorang Notaris/PPAT yang akan membuat pengalihan hak atas tanah harus memastikan kebenaran mengenai hak atas tanah (hak milik) tersebut, dan mengenai kecakapan dan kewenangan bertindak dari mereka yang akan mengalihkan dan menerima pengalihan hak atas tanah tersebut. Sehubungan dengan obyek hak atas tanah yang dipindahkan, Notaris/PPAT harus memeriksa kebenaran dari dokumen-dokumen: 1.
Mengenai bidang tanah yang sudah terdaftar atau hak milik atas satuan rumah susun, sertifikat asli hak yang bersangkutan. Dalam hal serifikat tidak diserahkan atau sertifikat yang diserahkan tidak sesuai dengan daftar-daftar yang ada di kantor pertanahan.
2.
Mengenai bidang tanah yang belum terdaftar harus melengkapi surat bukti yang membuktikan hak atas tanah yang lama yang belum dikonversi atau
133
Adrian Sutedi, Op. Cit., halaman. 73
Universitas Sumatera Utara
90
surat keterangan kepala desa atau kelurahan yang menyatakan bahwa yang bersangkutan menguasai bidang tanah tersebut dengan itikad baik, dan tidak pernah ada permasalahan yang timbul sehubungan dengan penguasaan tanahnya tersebut, dan surat keterangan yang menyatakan bahwa bidang tanah yang bersangkutan belum bersertifikat dari kantor pertanahan, atau untuk tanah yang terletak di daerah yang jauh dari kedudukan kantor pertanahan, dari pemegang hak yang bersangkutan dengan dikuatkan oleh kepala desa atau kelurahan.134 Dalam hal surat tersebut tidak dapat diserahkan maka Notaris/PPAT wajib menolak membuat akta pemindahan hak atas tanah tersebut termasuk hak milik atas tanah yang akan dialihkan tersebut. Apabila pemegang hak tidak dapat menyediakan bukti kepemilikan tanahnya baik berupa bukti tertulis maupun bentuk lain yang dapat dipercaya, maka pembukuan hak dapat dilakukan tidak berdasarkan kepemilikan akan tetapi berdasarkan bukti penguasaan fisik tanah, dengan syarat:135 1.
Telah dikuasai selama dua puluh tahun atau lebih secara berturut-turut oleh pemohon pendaftaran dan pendahulu-pendahulunya.
2.
Penguasaan dilakukan dengan itikad baik dan secara terbuka.
3.
Diperkuat dengan kesaksian orang yang dapat dipercaya.
4.
Penguasaan tidak dipermasalahkan atau tidak dalam keadaan sengketa.
134
Berdasarkan Wawancara Dengan Notaris D. S. Purba, SH, SpN, Notaris Pematang Siantar, Tanggal 20 Oktober 2016 135 Muhammad Yamin Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah, (Bandung: Mandar Maju, 2010), halaman. 144
Universitas Sumatera Utara
91
Untuk kelompok-kelompok masyarakat yang belum tersentuh administrasi dan hukum pertanahan yang lebih modern dan hanya mengenal ketentuan hukum adat mereka, alat bukti yang dapat digunakan meliputi pernyataan tentang penguasaan secara fisik atas tanah oleh yang bersangkutan dengan syarat bahwa penguasaan itu sudah berlangsung secara turun-temurun dan atas dasar itikad baik selama dua puluh tahun atau lebih, diperkuat dengan kesaksian orang-orang yang dapat dipercaya. Ketentuan ini tentunya selain mempertimbangkan bahwa hukum adat pada dasarnya kebanyakan tidak tertulis termasuk dalam hak pembuktian penguasaan bidang tanah, tetapi sudah cukup dengan pengakuan oleh masyarakat atau diwakili oleh tokoh-tokoh adat setempat, juga hal ini sebagai pemberian perhatian terhadap perbedaan dalam perkembangan kondisi dan kehidupan sosial masyarakat. B. Kewenangan Notaris Dalam Peralihan Hak-Hak Atas Tanah Adat Yang Dilakukan Berdasarkan Hukum Adat Tugas dan wewenang notaris erat hubungannya dengan perjanjianperjanjian, perbuatan-perbuatan dan juga ketetapan-ketetapan yang menimbulkan hak dan kewajiban antara para pihak, yaitu memberikan jaminan atau alat bukti terhadap perbuatan, perjanjian, dan juga ketetapan tersebut agar para pihak yang terlibat di dalamnya mempunyai kepastian hukum. Jabatan notaris diadakan atau kehadirannya dikehendaki oleh aturan hukum dengan maksud untuk membantu dan melayani masyarakat yang membutuhkan alat bukti tertulis yang bersifat otentik mengenai keadaan, peristiwa atau perbuatan hukum.136 Atas dasar seperti ini seseorang yang diangkat sebagai notaris harus mempunyai semangat untuk 136
Habib Adjie, Op. Cit., halaman. 32
Universitas Sumatera Utara
92
melayani masyarakat, dengan demikian, notaris merupakan suatu jabatan publik yang mempunyai kewenangan tertentu. Definisi kewenangan adalah kekuasaan untuk melakukan sesuatu.137 Setiap wewenang yang diberikan kepada jabatan dapat berjalan dengan baik dan tidak bertabrakan dengan wewenang jabatan lainnya. Dengan demikian, jika seorang
notaris melakukan suatu tindakan di luar wewenang yang telah
ditentukan, dapat dikategorikan sebagai perbuatan melanggar wewenang. Kewenangan yang dimiliki seorang notaris, sesuai dengan Pasal 15 ayat (1) UUJN yaitu “notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang. Sedangkan Pasal 1 UUJN menyatakan bahwa “notaris merupakan satusatunya pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik, kecuali undang-undang menugaskan atau mengecualikan kepada pejabat lain atau orang lain. Kata satu-satunya di sini dimaksudkan untuk memberikan penegasan, bahwa notaris merupakan satu-satunya yang mempunyai wewenang umum itu, tidak turut pada pejabat lainnya. Semua pejabat lainnya hanya mempunyai wewenang
137
Muhammad Ali, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Modern, (Jakarta: Pustaka Amani, 1995), halaman. 621
Universitas Sumatera Utara
93
tertentu, artinya wewenang mereka tidak melebihi dari pada pembuatan akta otentik yang secara tegas ditugaskan kepada mereka oleh undang-undang.138 Dapat dikatakan wewenang yang dimiliki oleh seorang notaris bersifat umum, sedangkan wewenang yang dimiliki oleh pejabat lainnya adalah bersifat pengecualian. Wewenang para pejabat lainnya untuk membuat akta otentik hanya ada, apabila oleh undang-undang dinyatakan secara tegas, bahwa selain notaris, mereka juga turut berwenang membuatnya atau untuk pembuatan suatu akta tertentu mereka oleh undang-undang dinyatakan sebagai satu-satunya yang berwenang untuk itu. Wewenang utama yang dimiliki oleh notaris adalah membuat suatu akta otentik sehingga keotentikannya suatu akta notaris telah memenuhi otentisitas suatu akta. Syarat akta notaris sebagai akta otentik menurut Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Jabatan Notaris menyebutkan bahwa: “Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundangundangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.” Sesuai dengan bunyi pasal tersebut, yang menegaskan bahwa salah satu kewenangan yang dimiliki oleh seorang notaris yaitu membuat akta secara umum, dengan batasan sepanjang, antara lain:139 a.
Tidak dikecualikan kepada pejabat lain yang ditetapkan oleh undang-undang. 138
G.H.S. Lumban Tobing, Op. Cit., halaman. 34 Habib Adjie, Sanksi Perdata dan Administritif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik, (Bandung: Refika Aditama, 2008), halaman. 56 139
Universitas Sumatera Utara
94
b.
c. d. e.
Menyangkut akta yang harus dibuat atau berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh aturan hukum atau dikehendaki oleh yang bersangkutan. Mengenai subyek hukum (orang atau badan hukum) untuk kepentingan siapa akta itu dibuat atau dikehendaki oleh yang berkepentingan. Berwenang mengenai tempat, di mana akta itu dibuat, hal ini sesuai dengan tempat kedudukan dan wilayah jabatan notaris. Mengenai waktu pembuatan akta, dalam hal ini notaris harus menjamin kepastian waktu menghadap para penghadap yang tercantum dalam akta. Akta yang dibuat oleh atau di hadapan notaris berkedudukan sebagai akta
otentik menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam Undang-Undang Jabatan Notaris. Menurut Irawan Soerodjo, ada 3 (tiga) unsur esensialia agar terpenuhinya syarat formal suatu akta otentik, yaitu:140 a.
Dalam bentuk yang telah ditentukan oleh undang-undang.
b.
Dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum.
c.
Akta yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu dan di tempat di mana akta itu dibuat. Jabatan notaris merupakan jabatan kepercayaan, harus sedemikian rupa
mengatur kewajiban notaris secara seksama dan mendalam. Dalam menjalankan jabatannya, notaris berkewajiban senantiasa melandasi diri pada standar etika yang tinggi, baik yang ditentukan oleh undang-undang maupun kode etik organisasi notaris. Sesuai dengan Pasal 16 ayat (1) UUJN dalam menjalankan jabatannya, notaris berkewajiban: a. b.
Bertindak jujur, sesakma, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum. Membuat akta dalam bentuk minuta akta dan menyimpannya sebagai bagian dari protokol notaris.
140
Irawan Soerodjo, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah di Indonesia, (Surabaya: Arkola, 2003), halaman. 148
Universitas Sumatera Utara
95
c. d. e.
f.
g. h.
i. j.
k.
l.
Mengeluarkan grosse akta, salinan akta, atau kutipan akta berdasarkan minuta akta. Memberikan pelayanan sesuai ketentuan dalam undang-undang ini, kecuali ada alasan untuk menolaknya. Merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan jumlah atau janji jabatan, kecuali undang-undang menetukan lain. Menjilid akta yang dibuatnya dalam 1 (satu) bulan menjadi buku yang memuat tidak lebih dari 50 (lima puluh) akta, dan jika jumlah akta tidak dapat dimuat dalam 1 (satu) buku, akta tersebut dapat dijilid menjadi lebih dari 1 (satu) buku, dan mencatat jumlah minuta akta, bulan, dan tahun pembuatannya pada sampul setiap buku. Membuat daftar akta yang berkenaan dengan wasiat menurut urutan waktu pembuatan akta setiap bulannya. Mengirimkan daftar akta sebagaimana dimaksud dalam huruf h atau daftar nihil yang berkenaan dengan wasiat ke daftar pusat wasiat departemen yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang kenotariatan dalam waktu 5 (lima) hari pada minggu pertama setiap bulan berikutnya. Mencatat dalam repertorium tanggal pengiriman daftar wasiat pada setiap akhir bulan. Mempunyai cap atau stempel yang memuat lambang negara republik indonesia dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama, jabatan, dan tempat kedudukan yang bersangkutan. Membacakan akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi, dan notaris. Menerima magang calon notaris. Kewenangan yang dimiliki notaris dalam peralihan hak atas tanah adat
adalah membuat akta peralihan hak atas tanah adat melalui jual beli. Akta ini merupakan bentuk akta yang dibuat di hadapan (ten overstaan) notaris atau dinamakan akta partij” (partij akten). Dalam akta partij ini, dicantumkan secara otentik keterangan-keterangan dari orang-orang yang bertindak sebagai pihakpihak dalam akta tersebut. Termasuk di dalam akta partij antara lain akta-akta yang memuat perjanjian hibah, jual beli, kuasa, dan lain sebagainya. Pembuatan akta jual beli ini harus berdasarkan kepada keotentikan sebuah akta, yang mana
Universitas Sumatera Utara
96
harus memenuhi syarat-syarat yang diatur dalam undang-undang mengenai keabsahan dan kelengkapan dalam pembuatan sebuah akta otentik. C. Solusi Hukum Yang Dapat Dilakukan Dalam Mengatasi Persoalan Terkait Peralihan Hak Atas Tanah Yang Dilakukan Berdasarkan Hukum Adat Banyaknya problematika hukum yang muncul dengan adanya peralihan hak atas tanah ulayat yang mana akhir-akhir ini seringkali terjadi sengketa tanah dalam hal kepemilikan dan penguasaan tanah. Sengketa yang sering kali muncul di daerah tersebut adalah sengketa perdata yang berkenaan dengan masalah tanah di antara warganya dalam hal pemilikan dan penguasaan tanah. Sengketa-sengketa tersebut bersumber dari tanah-tanah hak ulayat, atau obyeknya hak ulayat. Konflik pertanahan sesungguhnya bukanlah hal baru, namun dimensi konflik makin terasa meluas di masa kini bila dibandingkan pada masa kolonial. Beberapa penyebab terjadinya konflik pertanahan adalah: 1. 2. 3. 4. 5.
Pemilikan atau penguasaan tanah yang tidak seimbang dan tidak merata. Ketidakserasian penggunaan tanah pertanian dan tanah non pertanian. Kurangnya keberpihakan kepada masyarakat golongan ekonomi lemah. Kurangnya pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat atas tanah (hak ulayat). Lemahnya posisi tawar masyarakat pemegang hak atas tanah dalam pembebasan tanah.141 Pejabat yang berwenang dalam melaksanakan peralihan hak atas tanah,
khususnya tanah ulayat milik perseorangan dapat memberikan solusi-solusi hukum terkait penyelesaian permasalahan yang menimpa para pihak yang
141
Berdasarkan Wawancara Dengan F. H. Saragih, SH, SpN, Notaris Kabupaten Simalungun, Tanggal 20 Oktober 2016
Universitas Sumatera Utara
97
bersengketa, solusi hukum yang dapat ditempuh oleh para pihak yaitu sebagai berikut:142 1.
Penyelesaian Masalah Melalui Media Musyawarah Konflik atau sengketa dapat diselesaikan melalui musyawarah, dapat juga
dilakukan secara langsung oleh pihak-pihak yang bersengketa, dan bisa juga dengan perantara melalui wakil atau kuasa yang ditunjuk oleh mereka masingmasing. Terhadap sengketa hak atas tanah yang disampaikan ke notaris untuk dimintakan
penyelesaian,
apabila
bisa
dipertemukan
pihak-pihak
yang
bersengketa, maka sangat baik jika diselesaikan melalui cara musyawarah penyelesaian melalui cara ini seringkali notaris diminta sebagai mediator didalam menyelesaikan sengketa hak atas tanah secara damai saling menghormati pihakpihak yang bersengketa. Dalam hal tercapai penyelesaian secara musyawarah seperti ini, harus pula disertai dengan bukti tertulis sejak permulaan, yaitu dari surat pemberitahuan untuk para pihak, berita acara rapat dan selanjutnya sebagai bukti adanya perdamaian dituangkan dalam akta pernyataan perdamaian yang bila perlu dibuat dihadapan notaris sehingga mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna. Penyelesaian dengan cara ini dapat dipilih oleh masyarakat dengan alasan dari segi waktu yang relatif lebih cepat dapat terwujud, biaya murah, dan penyelesaian masalah dilakukan dengan cara damai yaitu melalui musyawarah. 2.
Penyelesaian Masalah Melalui Jalur Litigasi Dan Non Litigasi Penyelesaian atas suatu sengketa merupakan hal yang harus segera
dilaksanakan, mengingat adanya kepentingan berbeda dari para pihak yang bersengketa, maka sengketa yang terjadi harus segera didamaikan dan 142
Berdasarkan Wawancara Dengan F. H. Saragih, SH, SpN, Notaris Kabupaten Simalungun, Tanggal 20 Oktober 2016
Universitas Sumatera Utara
98
diselesaikan. Dalam melaksanakan proses penyelesaian sengketa bagi para pihak, dapat dilakukan dengan menggunakan dua metode yang berbeda, adapun dua metode tersebut yaitu metode penyelesaian melalui lembaga peradilan (litigasi) dan metode penyelesaian diluar lembaga peradilan (non litigasi).143 Berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan definisi litigasi tidak diatur secara eksplisit didalam peraturan perundang-undangan, namun dalam UU Arbitrase disebutkan bahwa “sengketa atau beda pendapat perdata dapat diselesaikan oleh para pihak melalui alternatif penyelesaian sengketa yang didasarkan pada itikad baik dengan mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di pengadilan negeri.”144 Berdasarkan rumusan undang-undang tersebut dapat dirumuskan bahwa litigasi adalah sistem penyelesaian sengketa melalui lembaga peradilan. Sengketa yang terjadi dan diperiksa melalui jalur litigasi akan diperiksa dan diputus oleh hakim. Melalui sistem ini tidak mungkin akan dicapai sebuah win-win solution (solusi yang memperhatikan kedua belah pihak) karena hakim harus menjatuhkan putusan dimana salah satu pihak akan menjadi pihak yang menang dan pihak lain menjadi pihak yang kalah. Kebaikan dari sistem ini adalah ruang lingkup pemeriksaannya yang lebih luas (karena sistem peradilan terbagi menjadi beberapa bagian yaitu peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha negara sehingga hampir semua jenis sengketa dapat diperiksa melalui jalur ini dan biaya
143
Rachmadi Usman, Mediasi Di Pengadilan Dalam Teori & Praktik, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), halaman. 5 144 Pasal 6 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
Universitas Sumatera Utara
99
yang dikeluarkan relatif lebih murah. Sedangkan kelemahan dari sistem ini adalah kurangnya kepastian hukum, karena terdapat hierarki lembaga peradilan yaitu pengadilan negeri, pengadilan tinggi dan mahkamah agung, dimana jika pengadilan negeri memberikan putusan yang tidak memuaskan salah satu pihak, pihak tersebut dapat melakukan upaya hukum banding ke pengadilan tinggi atau kasasi ke mahkamah agung sehingga butuh waktu yang relatif lama agar bisa berkekuatan hukum tetap. Selain itu terdapat pengetahuan hakim yang awam dimana pada dasarnya hakim harus paham terhadap semua jenis hukum, namun jika sengketa yang terjadi terjadi pada bidang yang tidak dikuasai oleh hakim, maka hakim tersebut harus belajar lagi. Hal ini dikarenakan para pihak tidak bisa memilih hakim yang akan memeriksa perkara, tentunya hal ini akan mempersulit penyusunan putusan yang adil sesuai dengan bidang sengketa. Hakim juga tidak boleh menolak untuk memeriksa suatu perkara karena hukumnya tidak ada atau tidak jelas. Jadi tidak boleh ada hakim yang menolak perkara hanya karena dia tidak menguasai bidang sengketa tersebut. Frans Hendra Winarta, mengatakan bahwa: “Secara konvensional, penyelesaian sengketa dalam dunia bisnis, seperti dalam perdagangan, perbankan, proyek pertambangan, minyak dan gas, energi, infrastruktur, dan sebagainya dilakukan melalui proses litigasi. Dalam proses litigasi menempatkan para pihak saling berlawanan satu sama lain, selain itu penyelesaian sengketa secara litigasi merupakan sarana akhir (ultimum remidium) setelah alternatif penyelesaian sengketa lain tidak membuahkan hasil.”145
145
Frans Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa Arbitrase Nasional Indonesia Dan Internasional, Edisi 2, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), halaman. 1-2
Universitas Sumatera Utara
100
Hal serupa juga dikatakan oleh Rachmadi Usman, bahwa “selain melalui pengadilan (litigasi), penyelesaian sengketa juga dapat diselesaikan di luar pengadilan (non litigasi), yang lazim dinamakan dengan alternative dispute resolution atau alternatif penyelesaian sengketa.”146 Dari hal-hal di atas dapat diketahui bahwa litigasi itu adalah penyelesaian sengketa antara para pihak yang dilakukan di muka pengadilan. Metode penyelesaian sengketa melalui lembaga non litigasi atau sering disebut alternative dispute resolution sebagai lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak yakni penyelesaian diluar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli. UU Arbitrase juga menjelaskan mengenai penyelesaian sengketa atau beda pendapat antara hubungan hukum tertentu yang secara tegas menyatakan bahwa: “Semua sengketa atau beda pendapat yang timbul atau yang mungkin timbul dari hubungan hukum tersebut akan diselesaikan dengan cara arbitrase atau melalui penyelesaian sengketa alternatif, hanya undangundang ini tidak mengatur secara rinci dan tegas tentang bentuk-bentuk alternatif penyelesaian sengketa kecuali mengenai arbiterase.”147 Pada
dasarnya
alternatif
dispute
resolution
dinyatakan
bahwa
penyelesaian perkara di luar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui wasit (arbiter) tetap diperbolehkan, selain itu Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menyatakan bahwa “ketentuan dalam ayat (1) tidak menutup kemungkinan untuk
146 147
Rachmadi Usman, Op. Cit., halaman. 8 Ibid., halaman. 13
Universitas Sumatera Utara
101
usaha penyelesaian perdata secara perdamaian.”148 Alternatif penyelesaian sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli. Alternatif penyelesaian sengketa adalah seperangkat pengalaman dan teknik hukum yang bertujuan untuk menyelesaikan sengketa hukum diluar pengadilan (non litigasi) untuk keuntungan para pihak yang bersengketa, mengurangi biaya litigasi konvensional dan pengunduran waktu yang biasa terjadi, mencegah terjadinya sengketa hukum yang biasanya diajukan ke pengadilan.149Penyelesaian sengketa melalui lembaga non litigasi adalah penyelesaian suatu sengketa di luar jalur hukum (jalur litigasi). Penyelesaian sengketa melalui lembaga non litigasi ini berupa arbitrase, alternatif penyelesaian sengketa (baik dengan cara, mediasi, negosiasi, konsiliasi, penilaian ahli) yang keseluruhannya diatur dalam UU Arbitrase. Arbitrase mirip dengan pengadilan, dan arbiter mirip dengan hakim, tetapi ada beberapa perbedaan mendasar seperti pengadilan bersifat terbuka, arbitrase bersifat tertutup,mengajukan tuntutan ke pengadilan tidak membutuhkan persetujuan pihak lawan, tuntutan ke arbitrase harus didasari perjanjian arbitrase, proses pengadilan formal dan kaku sedangkan arbitrase lebih fleksibel, hakim pada umumnya generalist, arbiter dipilih atas dasar keahlian, putusan pengadilan masih bisa diajukan banding, kasasi dan peninjauan kembali, putusan arbitrase bersifat final dan mengikat,hakim mengenal yurisprudensi, arbiter tidak mengenal 148
Ibid., halaman. 9 Pasal 1 Angka 10 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa 149
Universitas Sumatera Utara
102
hal tersebut, hakim cenderung memutus perkara atas dasar ketentuan hukum, arbiter dapat pula memutus atas dasar keadilan dan kepatutan (ex aequo et bono).150 Frans Hendra Winarta menguraikan pengertian masing-masing lembaga penyelesaian sengketa di atas sebagai berikut: a.
b.
c. d. e.
Konsultasi adalah suatu tindakan yang bersifat personal antara suatu pihak tertentu (klien) dengan pihak lain yang merupakan pihak konsultan, dimana pihak konsultan memberikan pendapatnya kepada klien sesuai dengan keperluan dan kebutuhan kliennya. Negosiasi adalah suatu upaya penyelesaian sengketa para pihak tanpa melalui proses pengadilan dengan tujuan mencapai kesepakatan bersama atas dasar kerja sama yang lebih harmonis dan kreatif. Mediasi adalahcara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator. Konsiliasi adalah penengah akan bertindak menjadi konsiliator dengan kesepakatan para pihak dengan mengusahakan solusi yang dapat diterima. Penilaian ahli adalah pendapat para ahli untuk suatu hal yang bersifat teknis dan sesuai dengan bidang keahliannya.151 Perkembangan penyelesaian sengketa pada saat ini, terdapat juga bentuk
penyelesaian di luar pengadilan yang ternyata menjadi salah satu proses dalam penyelesaian yang dilakukan di dalam pengadilan (litigasi) seperti mediasi. Seperti yang diketahui bahwa mediasi itu adalah penyelesaian di luar pengadilan, akan tetapi dalam perkembangannya, mediasi ada yang dilakukan di dalam pengadilan. Menurut Rachmadi Usman: “Dengan diberlakukannya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, sebagai pengganti Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, maka setiap perkara perdata tertentu yang akan diadili oleh hakim pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dan peradilan agama 150 151
Rachmadi Usman, Op. Cit., halaman. 10 Frans Hendra Winarta, Op, Cit., halaman. 7-8
Universitas Sumatera Utara
103
diwajibkan terlebih dahulu untuk menempuh prosedur mediasi di pengadilan.”152 Lebih lanjut sebagaimana dikutip dari naskah akademis yang dibuat oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung Republik Indonesia, mengatakan bahwa sebenarnya lembaga mediasi bukanlah merupakan bagian dari lembaga litigasi, dimana pada mulanya lembaga mediasi berada di luar pengadilan. Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa arbitrase, dan alternatif penyelesaian sengketa (konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli) merupakan alternatif penyelesaian sengketa diluar pengadilan. Artinya, bukan merupakan bagian dari lembaga litigasi meskipun dalam perkembangannya adapula yang menjadi bagian dari proses litigasi, seperti mediasi yang dilakukan di pengadilan. 3.
Koordinasi Antara Pejabat Yang Berwenang dengan Pengetua Adat Agar Dapat Mengurangi Sengketa Tanah Yang Akan Terjadi Koordinasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh berbagai pihak yang
sederajat untuk saling memberikan informasi dan bersama mengatur atau menyepakati sesuatu, sehingga di satu sisi proses pelaksanaan tugas dan keberhasilan pihak yang satu tidak mengganggu proses pelaksanaan tugas dan keberhasilan
pihak
yang
lainnya.
Notaris
sebagai
pejabat,
seharusnya
berkoordinasi dengan pejabat daerah terkait khususnya dalam pelaksanaan peralihan hak atas tanah adat, karena daerah juga memiliki kewenangan untuk mengatur masalah pertanahan.
152
Rachmadi Usman, Op, Cit., halaman. 7
Universitas Sumatera Utara
104
Kewenangan yang telah dimiliki oleh daerah dengan berlakunya otonomi daerah tersebut, maka pemerintah daerah baik itu kabupaten/kota serta desa merupakan lini pertama yang dapat melindungi hak masyarakat hukum adat serta tanah ulayatnya. Karena jajaran pemerintah daerah diberi kewenangan yang amat luas untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, akan tetapi tentu saja dengan benar-benar memahami dan mampu mengartikulasikan aspirasi dan kepentingan masyarakat yang berada di daerahnya tersebut. Selain itu juga masyarakat hukum adat tersebut juga tidak harus tinggal diam akan tetapi juga harus turut serta mendayagunakan hak sipil dan hak politiknya dengan cara menata dan mengorganisasikan diri mereka secara nyata. Dengan cara inilah maka masyarakat hukum adat itu akan nampak dan akan lebih di dengar keberadaannya oleh para pengambil keputusan.153 Selain itu pihak-pihak terkait dengan pelaksanaan peralihan hak atas tanah adat juga harus menyampaikan langkah-langkah dalam mengatasi kendala pelaksanaan peralihan hak atas tanah, yaitu sebagai berikut: 1.
Memberikan atau menerbitkan informasi tentang pentingnya pendaftaran tanah melalui pihak desa.
2.
Mengadakan penyuluhan tentang masalah pertanahan sebagai usaha menimbulkan kesadaran masyarakat betapa pentingnya sertipikat. Penyuluhan merupakan jalan terbaik, karena pihak yang berwenang dalam hal ini kantor pertanahan dapat melakukan pendekatan, secara langsung dari masyarakat
153
Hari Sabarno, Memandu Otonomi Daerah Menjaga Kesatuan Bangsa, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), halaman. 63-64
Universitas Sumatera Utara
105
dengan adanya pendekatan dari kantor pertanahan menjadi positif sehingga dapat membantu proses pendaftaran dan persertipikatan. 3.
Memberikan tawaran program nasional kepada masyarakat sebagai solusi bagi masyarakat yang mempunyai tingkat ekonomi lemah, karena prona merupakan salah satu cara untuk menekan biaya persertipikatan. Meskipun permasalahan pertanahan dan penyelesaian yang timbul dari
permasalahan tersebut telah diatur, namun masyarakat di Kecamatan Panombean Panei Kabupaten Simalungun mempunyai cara dalam menyelesaikan sengketa hak ulayat yaitu dengan mengadakan musyawarah yang dihadiri oleh pengatua adat. Dalam hal penyelesaian sengketa hak ulayat ini peran pengatua adat sangat penting, agar mendapat hasil yang baik maka diperlukan seorang pengetua adat yang bijaksana dan tidak memihak kepada para pihak yang bersengketa.154
154
Berdasarkan Wawancara Dengan Bapak St. Drs. Kamen Purba Dasuha, Pengetua Adat Kecamatan Panombean Panei, Tanggal 17 Oktober 2016
Universitas Sumatera Utara
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan 1.
Legalitas peralihan hak atas tanah milik masyarakat adat yang belum bersertifikat yang peralihannya dilakukan secara terang dan tunai dan disaksikan oleh penghulu adat serta saksi dari masing-masing pihak adalah sah sepanjang para pihak mengakui dan melaksanakan kewajiban untuk melakukan pembayaran dan penyerahan tanah yang akan dialihkan. Pada Kecamatan Panombean Panei Kabupaten Simalungun terhadap tanah-tanah yang belum bersertifikat peralihan hak atas tanah adat dilakukan dengan sistem terang dan tunai dan disaksikan oleh pengetua adat serta saksi dari masing-masing pihak.
2.
Faktor-faktor penghambat dalam pelaksanaan peralihan hak atas tanah milik perseorangan secara hukum antara lain seperti ketidakjelasan subjek dalam menjelaskan status hak atas tanah adat, tidak dapat menjelaskan batas-batas yang seharusnya, tidak mendapatkan persetujuan dari keluarga atau kepala adat, yang mana akibat ketidakjelasan ini kemudian dapat berujung kepada bentuk persengketaan dikemudiaan hari. Ketidakjelasan ini disebabkan oleh sulitnya persyaratan yang harus ditempuh sebelum melakukan transaksi peralihan hak atas tanah di Kecamatan Panombean Panei Kapubaten Simalungun.
3.
Pejabat yang berwenang dalam melaksanakan peralihan hak atas tanah, khususnya tanah ulayat milik perseorangan dapat memberikan solusi-solusi
106
Universitas Sumatera Utara
107
hukum terkait penyelesaian permasalahan yang menimpa para pihak yang bersengketa, solusi hukum yang dapat ditempuh oleh para pihak dalam mengatasi persoalan terkait peralihan hak atas tanah yang dilakukan berdasarkan hukum adat adalah dengan melakukan musyawarah dengan pihak-pihak terkait dengan pelaksanaan peralihan hak atas tanah adat.
B. Saran 1.
Sebaiknya melaksanakan peralihan hak atas tanah adat, para pihak melakukannya di hadapan Notaris dengan persetujuan dan disaksikan oleh pengetua adat agar syarat terang dan tunai dapat terpenuhi sehingga tidak muncul permasalahan dikemudian hari.
2.
Sebaiknya
dalam
menyelesaikan
sengketa
tanah
ulayat
diharapkan
masyarakat adat melakukannya dengan musyawarah agar dapat menghindari faktor-faktor penghambat sehingga sengketa dapat terselesaikan dengan baik. 3.
Sebaiknya perlu mengadakan penyuluhan tentang masalah pertanahan sebagai usaha menimbulkan kesadaran masyarakat betapa pentingnya sertipikat dan pihak-pihak terkait dengan pelaksanaan peralihan hak atas tanah adat juga harus menyampaikan langkah-langkah dalam mengatasi kendala pelaksanaan peralihan hak atas tanah.
Universitas Sumatera Utara