BAB II
TUHAN PASAL 1: ADANYA ALLAH Pengalaman jasmani, batin, dan rohani manusia Dalam semua Kitab Suci, adanya Allah dianggap sepenuhnya sebagai kebenaran axioma. Akan tetapi Qur’an Suci mengemukakan banyak bukti untuk membuktikan adanya Tuhan Yang Maha Luhur, Pencipta dan Pengatur semesta alam. Dalam uraian ringkas ini, kami hanya bisa menyebutkan tiga bukti yang amat penting, yang terutama sekali dibahas di dalam Qur’an Suci. Pertama, bukti yang diambil dari peristiwa alam, yang dapat disebut pengalaman rendah atau pengalaman jasmani manusia. Kedua, bukti tentang kodrat manusia, yang disebut pengalaman batin manusia. Ketiga, bukti yang didasarkan atas Wahyu Ilahi kepada manusia, yang dapat disebut pengalaman tertinggi atau pengalaman rohani manusia. Akan terlihat dari penjelasan yang akan terpaparkan nanti, karena ruang lingkup pengalaman itu semakin sempit, maka bukti-bukti itu semakin bertambah efektif. Misalnya bukti yang diambil dari peristiwa alam, ini membuktikan bahwa semesta alam ini pasti ada yang menciptakan, yang sekaligus menjadi pengaturnya; akan tetapi ini belum cukup untuk membuktikan bahwa Tuhan itu ada. Bukti tentang kodrat manusia lebih maju selangkah, karena di dalamnya terdapat kesadaran akan adanya Tuhan, walaupun kesadaran itu mungkin berlainan karena bermacam-macamnya sifat kodrat itu sendiri; oleh karena itu, ini masih bergantung kepada sinar yang menerangi batin itu sendiri, apakah sinar itu terang ataukah remang-remang. Hanya wahyu Ilahi saja yang dapat menyingkap selubung rahasia Allah dengan cahayaNya yang bersinar gemerlap, dan dapat membeberkan sifat-sifat-Nya yang mulia, yang orang harus berlomba memilikinya jika ia ingin
142
ISLAMOLOGI
mempunyai kesempurnaan, dengan arti, harus disertai sarananya untuk memperoleh hubungan dengan Ilahi itu. Hukum evolusi sebagai bukti adanya tujuan dan kebijaksanaan Bukti pertama yang diambil dari peristiwa alam, berpusat di sekitar kata Rabb. Dalam wahyu permulaan yang disampaikan kepada Nabi Suci, beliau diperintahkan supaya “membaca dengan nama Rabb, Yang menciptakan (96:1). Nah, kata Rabb yang biasa-nya diterjemahkan “Tuhan”, ini sebenarnya mengandung makna yang sangat berbeda. Menurut ahli kamus bahasa Arab yang ter-masyhur, kata Rabb menyimpulkan dua makna, yaitu (1) memeli-hara, mengasuh atau memberi makan, dan (2) mengatur, melengkapi dan menyempurnakan (LL., TA). Jadi pangkal pikiran yang mendasari kata Rabb ialah, memelihara sesuatu dari keadaan yang paling mentah, sampai kepada tingkat kesempurnaan yang paling tinggi; dengan kata lain, ber-evolusi. Imam Raghib memberi tafsiran lebih terang lagi mengenai arti ini. Menurut beliau, arti kata Rabb ialah, memelihara sesuatu demikian rupa melalui tingkatan yang satu lepas tingkatan yang lain, hingga ia mencapai tujuan yang sem-purna. Jadi, dengan digunakannya kata Rabb terdapatlah petunjuk, bahwa segala sesuatu yang diciptakan oleh Allah, membawa kesan ciptaan Ilahi yang mempunyai ciri khas perkembangan dari tingkat yang paling rendah menuju tingkat yang lebih tinggi lagi hingga mencapai kesempurnaannya. Hal ini diuraikan lebih jelas lagi dalam wahyu permulaan yang lain, yang berbunyi: “Muliakanlah nama Rabb dikau Yang Maha-luhur, Yang menciptakan kemudian me-lengkapi, dan Yang membuat (sesuatu) menurut ukuran, kemudian memimpin itu menuju tujuan kesempurnaan” (87:1-3). Di sini diuraikan pengertian Rabb yang lebih lengkap lagi, yaitu, Ia men-ciptakan segala sesuatu dan melengkapinya. Ia membuat segala sesuatu menurut ukuran, dan menunjukkan kepadanya jalan, yang dengan melalui jalan itu, sesuatu itu dapat mencapai kesempurnaan. Pengertian tentang evolusi, berkembang sepenuhnya pada dua perbuatan, yang pertama, yaitu menciptakan dan melengkapi, hingga segala sesuatu yang diciptakan
DHAT TUHAN
143
oleh Allah pasti dapat mencapai kesempurnaan yang sudah ditentukan. Dua perbuatan terakhir menunjukkan bagaimana evolusi yang sempurna itu dilaksanakan. Yaitu, segala sesuatu dibuat menurut ukuran, artinya, dalam setiap ciptaan Allah terdapat hukum perkembangan yang tak dapat dipisahkan; lalu kepada ciptaan itu ditunjukkan jalan, artinya, ciptaan itu tahu akan jalan-jalan yang harus dilaluinya, hingga ia dapat mencapai tujuan yang sempurna. Jadi terang sekali bahwa daya-cipta itu bukan daya yang buta, melainkan daya yang memiliki kebijak-sanaan dan yang bergerak sesuai dengan tujuan, dan tujuan itu ialah bergeraknya seluruh ciptaan dari tingkat yang paling rendah menuju tingkat yang paling tinggi. Bagi mata biasa pun dapat melihat adanya tujuan dan kebijaksanaan bagi seluruh ciptaan Tuhan, mulai dari butiran debu yang paling halus, daun rumput yang paling kecil, sampai kepada bola-bola raksasa yang berputar di alam semesta mengedari jalan-jalan yang sudah ditentukan, karena masing-masing bergerak di sepanjang jalan yang sudah ditentukan menuju tujuan kesempurnaan yang telah ditetapkan. Sehubungan dengan itu, marilah kita perhatikan ciri khas ciptaan Allah yang lain, yaitu, segala sesuatu itu diciptakan berpasangpasangan: “Dan langit, Kami meninggikan itu dengan kekuatan, dan Kami Yang meluaskan segala sesuatu itu. Dan bumi Kami membuat itu terbentang; alangkah baiknya itu Kami bentangkan. Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan agar kamu ingat” (51: 47-49). “Maha suci Dia Yang menciptakan segala sesuatu berpasangpasangan, dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi, dan dari jenis mereka sendiri, dan dari yang mereka tak ketahui” (36:36). “Dan Yang menciptakan segala sesuatu berpasang-pasangan” (43:12). Ini menunjukkan bahwa yang berpasang-pasangan itu bukan hanya binatang saja, melainkan pula “apa yang ditumbuhkan oleh bumi” yaitu alam tumbuh-tumbuhan dan sebagainya, demikian pula “apa yang kamu tak tahu”. Sebenarnya pengertian berpasang-
144
ISLAMOLOGI
pasangan itu diperluas lebih luas algi, hingga langit dan bumi pun digambarkan seakan-akan satu pasang, karena yang satu mempunyai sifat aktif, sedang yang lain mempunyai sifat passif. Antar hubungan yang dalam ini membuktikan pula adanya tujuan Ilahi dalam seluruh ciptaan-Nya. Di jagat raya hanya ada satu undang-undang Hal selanjutnya yang amat ditekankan oleh Qur’an Suci ialah adanya kenyataan, bahwa sekalipun banyak sekal macam-ragamnya, namun dalam jagat raya hanya ada satu undang-undang. “Yang menciptakan tujuh langit serupa. Engkau tak melihat keadaan yang tak seimbang dalam ciptaan Tuhan Yang Mahapemurah. Lalu pandanglah sekali lagi, apakah engkau melihat kekacauan? Lalu pandanglah berulang-ulang, pandangan itu akan berbalik kepada engkau, membingungkan, dan melelahkan” (67:3-4). Di sini kita diberitahu bahwa dalam ciptaan Tuhan tak ada sesuatu yang tak seimbang, yang jika demikian, segala sesuatu yang sama jenisnya akan tunduk kepada hukum yang berlainan; demikian pula tak ada kekacauan, karena jika demikian, hukum yang ada pada ciptaan itu tak dapat bekerja secara seragam. Teraturnya dan keseragaman hukum yang mengagumkan di tengah-tengah beranekaragamnya keadaan yang tidak bisa dibayangkan kesimpangsiurannya di jagat raya ini, jelas membuktikan adanya tujuan dan kebijaksanaan Tuhan dalam menciptakan segala sesuatu. Seluruh ciptaan di bawah satu pengawasan Bukti lain lagi, bahwa dalam jagat raya ada Tuhan yang cakap memimpin, ini terang sekali dari kenyataan bahwa segala sesuatu, mulai dari butiran yang amat kecil hingga bola-bola raksasa langit yang amat besar, semuanya tunduk kepada satu undang-undang dan berada di bawah satu pengawasan. Tak ada sesuatu pun yang merintangi dan menghalangi jalannya sesuatu yang lain; sebaliknya, segala sesuatu itu saling bantu-membantu untuk mencapai kesempur-
DHAT TUHAN
145
naan. Berulangkali Qur’an Suci memberi tekanan kepada kenyataan ini dalam firmannya sebagai berikut: “Matahari dan bulan mengikuti perhitungan, dan rumput dan pohon bersujud (kepada-Nya)” (55:5-6). “Dan matahari berputar di tempat yang telah ditentukan. Ini adalah ketentuan Tuhan Yang Maha-perkasa, Yang Maha-tahu. Dan kepada bulan Kami tentukan tingkatan-tingkatannya sampai itu kembali seperti pelepah pohon kurma yang sudah tua. Tak mungkin matahari menyusul bulan, dan tak pula malam melampaui siang. Semuanya mengapung pada garis edarnya” (36:38-40). “Lalu ia menuju ke langit, dan itu adalah uap, maka Ia berfirman kepadanya dan kepada bumi: kemarilah kamu berdua dengan sukarela atau terpaksa. Dua-duanya (langit dan bumi) berkata: Kami datang dengan sukarela” (41:11). “Allah ialah Yang menundukkan lautan untuk kamu, agar perahu dapat berlayar di atasnya atas perintah-Nya, dan agar kamu mencari karunia-Nya, dan agar kamu bersyukur. Dan Ia menundukkan untuk kamu apa saja yang ada di langit dan apa saja yang ada di bumi, semuanya dari Dia. Sesungguhnya ini pertanda bagi orang yang berpikir” (45:12-13). “Dan Dia menciptakan matahari dan bulan dan bintang untuk melayani (manusia) atas perintah-Nya. Sesungguhnya daya-cipta dan daya-pimpin itu kepunyaan Dia” (7:54). Semua ayat tersebut menunjukkan bahwa oleh karena segala sesuatu tunduk kepada perintah dan pengawasan Tuhan guna terpenuhinya suatu tujuan, maka tak boleh tidak pasti Tuhan Yang Maha-bijaksanalah Yang mengawasi seluruh ciptaan-Nya. Petunjuk yang diberikan oleh kodrat manusia Bukti nomor dua yang membuktikan adanya Allah, bertalian dengan jiwa manusia. Pertama kali, dalam jiwa itu terdapat kesa-daran tentang adanya Allah. Tiap-tiap orang mempunyai cahaya batin yang memberitahukan kepadanya, bahwa Allah Yang Maha-luhur, Yang
146
ISLAMOLOGI
Maha-pencipta, itu ada. Kesadaran batin ini acapkali di-wujudkan dalam bentuk pertanyaan. Ini bagaikan satu seruan kepada batinnya sendiri. Kadang-kadang pertanyaan itu dibiarkan tak ter-jawab, seakan-akan orang diminta supaya berpikir lebih dalam lagi: “Atau apakah mereka diciptakan bukan untuk apa-apa, atau apakah mereka itu yang menciptakan? Atau merekakah yang menciptakan langit dan bumi?” (52:35-36). Kadang-kadang orang memberi jawaban: “Dan apabila engkau bertanya kepada mereka, siapakah yang menciptakan langit dan bumi? Mereka menjawab: Yang menciptakan itu ialah Tuhan Yang Maha-perkasa, Yang Maha-tahu” (43:9). Sekali peristiwa, pertanyaan itu langsung ditanyakan oleh Allah sendiri kepada roh manusia: “Dan tatkala Tuhan dikau menge-luarkan keturunan dari para putera Adam, dari punggung mereka, dan membuat mereka mempersaksikan diri sendiri: Bukankah Aku Rabb kamu? Mereka menjawab: Ya, kami menyaksikan” (7:172). Ini adalah bukti yang seterang-terangnya tentang kodrat manusia, yang di tempat lain dalam Qur’an Suci diuraikan: “Fitrah ciptaan Allah, Yang Ia menciptakan manusia atas (fitrah) itu” (30:30). Kadang-kadang kesadaran jiwa manusia itu diungkapkan dalam bentuk kata-kata yang menggambarkan dekatnya manusia kepada Tuhan: “Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya” (50:16). Ayat lain lagi berbunyi: “Kami lebih dekat kepadanya (kepada jiwa manusia) daripada kamu” (56:85). Pengertian bahwa Allah lebih dekat kepada jiwa manusia daripada diri manusia itu sendiri, ini hanya menunjuk-kan bahwa kesadaran jiwa manusia akan adanya Allah itu lebih terang daripada kesadaran manusia terhadap dirinya sendiri. Lalu jika jiwa manusia mempunyai kesadaran begitu terang akan adanya Allah, mengapa banyak sekali orang yang mendustakan adanya Allah? Di sininlah orang harus ingat akan dua hal. Pertama, sinar batin yang membuat sadar akan adanya Allah, ini dalam banyak hal tak sama terangnya. Sebagian orang, misalnya para wali yang datang pada tiap-tiap abad di berbagai negeri, sinar itu memancar lebih cemerlang, dan kesadaran mereka akan adanya Allah menjadi amat kuat. Akan tetapi bagi orang awam, kesadaran itu biasanya lemah dan sinar batinnya suram, bahkan tak jarang terjadi bahwa
DHAT TUHAN
147
kesadaran itu dalam keadaan lamban (diam), dan bahkan sinar batin itu nyaris padam samasekali. Kedua, walaupun orang atheis dan orang Agnostik mengakui adanya Sebab Awal atau Kekuatan Tertinggi, namun mereka mendustakan adanya Allah dengan sifat-sifatnya yang khas; kadang-kadang kesadaran itu timbul juga dalam batin mereka, kemudian sinar itu menerangi batin mereka, teristime-wa diwaktu mereka sedang menderita atau dikala ditimpa penderitaan dan kemalangan. Rupa-rupanya kesenangan dan kemewahan duniawi itu semacam kejahatan yang menyelimuti sinar batin manusia, dan selimut itu disingkirkan oleh penderitaan. Kenyataan ini diingatkan berulangkali oleh Qur’an Suci: “Dan jika Kami berikan nikmat kepada manusia, ia berpaling dan mengundurkan diri, tetapi jika Kami icipkan keburukan kepadanya, ia berdo’a sebanyak-banyaknya” (30:33). “Dan apabila gelombang yang seperti tenda menelan mereka, mereka bedo’a kepada Allah dengan ikhlas dan patuh kepada-Nya; tetapi setelah Dia selamatkan mereka ke daratan, hanya sebagian saja yang mau mengikuti jalan yang benar” (31:32). “Kenikmatan apa saja yang kamu peroleh, ini adalah dari Allah; lalu apabila malapetaka menimpa kamu, kamu berteriak memohon pertolongan kepada-Nya” (16:53). Dalam jiwa manusia sebenarnya terdapat sesuatu yang lebih tinggi tentang kesadaran akan adanya Allah; yakni dalam jiwa manusia terdapat keinginan keras untuk bertemu dengan sang Khalik (Yang Maha-pencipta); ini adalah naluri (instinct) untuk memohon pertolongan kepada Allah. Dalam jiwa manusia tertanam rasa cinta kepada Allah, yang karena cinta itu, manusia sanggup mengorbankan apa saja. Akhirnya jiwa itu akan mencapai tingkatan di mana ia tak dapat menemukan kepuasan yang sempurna jika tanpa Allah. Tetapi sayang, mengingat sempitnya ruangan yang tersedia, maka sukar sekali untuk membahas masalah ini dan masalah lainnya yang bertalian dengan sifat-sifat roh manusia; maka masalah ini terpaksa kami cukupkan sekian saja.
148
ISLAMOLOGI
Petunjuk yang diberikan oleh wahyu Ilahi Bukti yang paling terang dan paling meyakinkan tentang adanya Allah, ialah Wahyu Ilahi, yang bukan saja membenarkan adanya Allah, melainkan pula menyoroti sifat-sifatnya, yang tanpa ini, adanya Tuhan hanyalah dogma semata. Dengan tersingkapnya rahasia sifat-sifat Tuhan itulah maka iman kepada Allah menjadi faktor yang amat penting bagi evolusi manusia, karena hanya dengan mengetahui sifat-sifat Tuhan itulah yang memungkinkan orang untuk menempatkan cita-cita yang tinggi sebagai idamannya, yaitu mencontoh akhlak Tuhan; jadi hanya dengan mencontoh akhlak Tuhan itulah orang dapat meningkat ke puncak keluhuran akhlak yang tinggi. Allah adalah Rabbul-’alamin (Yang memelihara dan menga-suh sarwa sekalian alam); maka dari itu mengabdi kepada Allah berarti ia akan bekerja sekuat tenaga guna melayani kepentingan sesama manusia serta mencintai sesama makhluk, sekalipun makhluk itu tak dapat bicara. Allah adalah Yang Maha-pengasih dan Maha-penyayang kepada makhluk-Nya, maka dari itu orang yang beriman kepada Allah akan tergerak perasaan kasih sayangnya terhadap sesama makhluk. Allah adalah Yang Maha-pengampun, maka dari itu orang yang mengabdi kepada Allah pasti akan mengampuni sesamanya. Beriman kepada Allah yang mempunyai sifat-sifat yang sempurna yang diberitahukan kepada kita melalui Wahyu Ilahi, adalah cita-cita yang paling tinggi yang menjadi idaman setiap manusia, tanpa adanya cita-cita yang tinggi itu, hidup manusia akan mengalami kekosongan yang menguras sekering-keringnya segala kesungguhan hidup dan segala cita-cita luhur. Sebaliknya, Wahyu Ilahi mendekatkan manusia kepada Allah, dan membuat adanya Allah benar-benar terasa dalam hidupnya, melalui suri tauladan yang diberikan oleh orang sempurna yang telah berhubungan dengan Tuhan. Allah adalah satu-satunya Kebenaran Hakiki, bahkan satu-satunya kebenaran yang paling besar di dunia; manusia dapat merasakan adanya Allah dan mewujudkan-Nya pada tiap-tiap saat dalam kehidupan sehari-hari, dan dapat mengadakan hubungan yang amat mesra dengan Dia. Bahwa kesadaran akan
DHAT TUHAN
149
adanya Allah dapat membawa perubahan dalam kehidupan manusia, dengan menjadikannya suatu kekuatan rohani yang tak tergoyahkan di dunia, ini bukanlah pengalaman pribadi dari orang seorang atau suatu bangsa, melainkan pengalaman manusia sejagat dari bangsa apa saja, di negeri dan di zaman apa saja. Ibrahim, Musa, ‘Isa, Kong Hu Cu, Zaratustra, Rama, Krishna, Buddha dan Muhammad, adalah orangorang terkemuka yang masing-masing telah melaksanakan revolusi moral di dunia, bahkan ada sebagian yang melaksanakan revolusi duniawi, yang kekuatan gabungan dari seluruh bangsa tak mampu menahannya; bukan itu saja, melainkan pula telah meng-angkat manusia dari lembah kebejatan moral ke tingkat akhlak yang paling tinggi, bahkan pula kesejahteraan materiil. Semua itu menun-jukkan bahwa rohani manusia dapat meningkat ke puncak yang paling tinggi setelah terjadi hubungan yang sebenar-benarnya dengan Allah. Ambillah sebagai contoh, Nabi Muhammad saw, beliau bangkit seorang diri di tengah-tengah bangsa yang tenggelam ke dalam segala macam kejahatan dan kebejatan moral. Beliau tak mempunyai kekuatan yang membantu beliau, bahkan tak mempunyai seorang pembantu pun. Tanpa persiapan sedikit pun, beliau mulai menyingsingkan lengan baju untuk melaksanakan tugas pembangunan yang nampak mustahil, karena bukan saja untuk membangun satu bangsa, melainkan membangun seluruh umat manusia. Beliau mulai melaksanakan pembangunan itu dengan satu Kekuatan, yakni Kekuatan Ilahi, yang dapat membuat sesuatu yang mustahil menjadi mungkin. “Bacalah dengan nama Tuhan dikau”. “Bangunlah dan berilah peringatan; dan Tuhan dikau agungkanlah!”(96:1; 74:2-3). Perkara yang beliau bela adalah perkara Tuhan, oleh karena itu kemenangan perkara itu bergantung kepada pertolongan Tuhan jua. Semakin hari, tugas itu semakin berat, dan perlawanan semakin sengit, sampaisampai menurut penglihatan orang, tak ada harapan lagi, kecuali hanya kekecewaan di mana-mana. Tetapi apakah ini mempengaruhi semangat beliau? Dengan bertambah hebatnya perlawanan, ketetapan hati beliau semakin bertambah kuat. Memang benar bahwa dalam wahyu permulaan dinyatakan secara garis besar, bahwa perkara beliau akan menang dan pihak musuh akan mengalami kekalahan. Namun
150
ISLAMOLOGI
jika ditinjau dari sudut kelahiran, ramalan kemenangan yang begitu terang dan mantap itu diimbangi dengan hari depan yang nampak suram. Berikut ini adalah beberapa ayat yang kami kutip menurut urutan turunnya wahyu: “Dengan karunia Tuhan dikau, engkau itu tak gila. Dan sesungguhnya engkau akan mendapat ganjaran yang tak ada putusputusnya” (68:2-3). “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepada engkau kebaikan yang melimpah-limpah” (108:1). “Sesungguhnya berserta kesulitan adalah kemudahan” (94:5). “Apa yang datang kemudian itu bagi engkau lebih baik daripada apa yang datang sebelumnya; dan segera Tuhan dikau akan memberikan kepada engkau hingga engkau akan merasa puas” (93:45). “Sesungguhnya ini adalah sabda Utusan yang mulia, yang memiliki kekuatan, yang berada di sisi Tuhan Yang mempunyai singgasana” (81:19-20). “Dan pada sebagian malam, bangunlah dengan menjalankan tahajud.....; boleh jadi Tuhan dikau akan mengangkat engkau pada kedudukan yang amat terpuji” (17:79). “Wahai manusia! Kami tak mewahyukan Qur’an kepada engkau agar engkau celaka!” (20:1-2). “Dan pada hari itu kaum Mukmin bergembira atas pertolongan Allah” (30:4-5). “Sesungguhnya Kami menolong para utusan Kami dan orangorang yang beriman dalam kehidupan dunia dan pada hari tatkala para saksi dibangkitkan” (40:51). “Maha berkah Dia, Yang jika Dia menghendaki, Dia akan memberi engkau yang lebih baik daripada ini, yakni Taman yang di dalamnya mengalir sungai-sungai; dan Dia akan memberi engkau istana” (25:10). “Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan berbuat baik di antara kamu, bahwa Dia sungguh-sungguh akan membuat mereka penguasa di bumi, sebagaimana Dia telah membuat sebagai penguasa orang-orang sebelum mereka, dan Dia akan
DHAT TUHAN
151
menegakkan agama mereka yang Dia pilihkan untuk mereka, dan setelah mereka ketakutan akan Dia berikan perasaan aman kepada mereka sebagai gantinya” (24:55). “Dia ialah Yang mengutus utusan-Nya dengan pimpinan dan agama yang benar, agar Dia memenangkan itu di atas sekalian agama” (48:28). Demikian pula selesainya perlawanan, digambarkan lebih terang lagi dalam wahyu yang diturunkan lebih belakangan dari wahyu yang terdahulu, walaupun kian hari perlawanan semakin menghebat. Tiga ayat berikut ini termasuk golongan wahyu yang diturunkan dalam tiga masa yang berlainan: “Sampai tatkala mereka melihat apa yang dijanjikan kepada mereka, mereka akan tahu siapakah yang pembantunya lebih lemah dan lebih sedikit bilangannya” (72:24). “Atau apakah mereka berkata: Kami adalah pasukan gabungan yang saling membantu. Pasukan gabungan akan segera dikalahkan; dan mereka akan berbalik punggung” (54:44-45). “Katakanlah kepada orang-orang kafir: Kamu segera akan dikalahkan” (3:11). Semua itu terpenuhi setelah beberapa tahun diramalkan, meskipun pada waktu itu diumumkan, tak ada kejadian yang membuktikan benarnya ramalan itu; bukan itu saja, bahkan keadaan pada waktu itu pun menentang ramalan itu. Tak seorang pun dapat menduga bahwa apa yang diramalkan begitu terang itu, akan terlaksana sungguh-sungguh, dan tak ada kekuatan manusia yang dapat menyebabkan gagalnya seluruh bangsa dengan segala kekayaan yang serempak ditujukan untuk melawan satu orang yang mereka bertekad bulat untuk membinasakannya. Jadi, Wahyu Ilahi membuktikan seterang-terangnya dan seyakin-yakinnya akan adanya Allah Yang Maha-tahu akan segala sesuatu, baik sekarang, dahulu, maupun yang akan datang, Yang menguasai kekuatan alam dan nasib manusia.
152
ISLAMOLOGI
PASAL 2: KEESAAN ALLAH Keesaan Allah Semua pokok ajaran Islam dibahas sepenuhnya dalam Qur’an Suci, demikian pula ajaran iman kepada Allah, yang intinya adalah beriman kepada Keesaan Allah (tauhid). Kalimah Tauhid yang sudah terkenal ialah laa ilaaha illallah. Kalimah ini terdiri dari empat perkataan, yakni la (tidak), ilaaha (Tuhan), illa (kecuali), Allah (nama Tuhan yang sebenarnya). Jadi, kalimah itu yang biasa diterjemahkan tak ada Tuhan selain Allah,mengandung arti, bahwa tak ada Tuhan yang pantas disembah selain Allah. Kalimah syahadat inilah yang jika digabungkan dengan syahadat Rasul -Muhammadur-Rasulullahorang sudah diakui sah sebagai orang Islam. Menurut Qur’an Suci, tauhid mengandung arti bahwa Allah itu Esa dhat-Nya, Esa sifat-Nya dan Esa af’al-Nya (perbuatan-Nya). Yang dimaksud Esa dhat-Nya ialah tak ada Tuhan lebih dari satu dan tak ada sekutu bagi Allah; Esa sifat-Nya mengandung arti bahwa tak ada Dhat lain yang memiliki satu atau lebih sifat-sifat ketuhanan yang sempurna; Esa af’al-Nya mengandung arti bahwa tak seorang pun dapat melakukan pekerjaan yang telah dikerjakan oleh Allah, atau mungkin akan dilakukan oleh Allah.1 Ajaran tauhid disimpulkan dengan indah dalam wahyu permulaan yang amat pendek: “Katakanlah: Dia Allah, itu Esa. Allah itu yang segala sesuatu bergantung kepada-Nya. Dia tak berputera, dan tak diputerakan; dan tak seorang pun menyerupai Dia” (Surat 112). Bahaya syirk Lawan keesaan atau tauhid adalah syirk. Kata syirk artinya persekutuan, kata syarik yang jika dijamakkan menjadi syuraka, artinya sekutu. Dalam Qur’an Suci, kata syirk digunakan dalam arti 1. Sebagian ulama menerangkan bahwa yang dimaksud Esa sifat-Nya ialah, Allah tak mempunyai dua sifat qudrat, dan dua sifat iradat dan sebagainya. Adapun yang dimaksud Esa af’al-Nya ialah tak ada dzat lain yang mempunyai pengaruh terhadapNya.
DHAT TUHAN
153
mempersekutukan Tuhan lain dengan Allah, baik persekutuan itu mengenai dzat-Nya, sifat-Nya ataupun af’al-Nya, maupun ketaatan yang seharusnya ditujukan kepada-Nya saja. Dalam Qur’an Suci diterangkan, bahwa syirk itu perbuatan dosa yang paling berat: “Sesungguhnya syirk itu kelaliman yang paling besar” (31:13). “Sesungguhnya Allah tak memberi ampun jika Dia dipersekutukan, tetapi ia memberi ampun selainnya kepada siapa yang Dia kehendaki” (4:48). Tetapi perbuatan syirk yang dianggap sebagai per-buatan dosa yang paling berat, bukanlah disebabkan karena Allah itu iri hati Menurut Qur’an Suci, iri hati tak mungkin disifatkan kepada Tuhan. Adapun dosa berat itu disebabkan adanya kenyataan bahwa syirk itu merusak akhlak manusia itu sendiri, sedangkan tauhid mengangkat manusia ke tingkat akhlak yang tinggi. Menurut Qur’an Suci, manusia adalah khalifah (wakil) Allah di bumi (2:30), dan ini menunjukkan bahwa manusia diberi kekuasaan untuk menjaga makhluk Allah di bumi. Dalam Qur’an Suci diterangkan sejelas-jelasnya, bahwa manusia diciptakan untuk memerintah di dunia. “Allah ialah Yang menaklukkan lautan untuk kamu agar perahu-perahu berlayar di atasnya atas perintah-Nya, dan agar kamu dapat mencari karuniaNya, dan agar kamu bersyukur. Dan Dia menakluk-kan kepada kamu apa saja yang ada di langit dan apa saja yang ada di bumi, semuanya dari Dia. Sesungguhnya ini pertanda bagi kaum yang berpikir” (45:12-13). Jadi kedudukan manusia itu di atas sekalian makhluk, ya bahkan di atas sekalian malaikat, sehingga malaikat bersujud kepada manusia (2:34). Lalu jika manusia dicipta-kan untuk memerintah jagat raya, dan diberi kekuasaan untuk me-naklukkan segala sesuatu dan mengubah itu guna kepentingan manusia, apakah tak menurunkan derajat sendiri jika manusia meng-ambil makhluk lain sebagai Tuhan, dan bersujud kepada sesuatu yang sebenarnya manusia diciptakan untuk menaklukkan dan meme-rintahkan segala sesuatu itu? Inilah alasan yang dikemukakan oleh Qur’an Suci dalam menentang perbuatan syirk. Qur’an berfirman: “Katakan: Apakah aku akan mencari Tuhan selain Allah. padahal Dia itu Tuhan segala sesuatu” (6:165). Ayat ini disambung oleh ayat berikutnya: “Dan Dia ialah yang menjadikan kamu penguasa di dunia”. Selanjutnya: “Apakah
154
ISLAMOLOGI
kamu kucarikan Tuhan selain Allah, padahal Dia telah membuat kamu melebihi sekalian makhluk” (7:140). Oleh karena itu, di antara sekalian perbuatan dosa, syirk-lah yang paling berat, karena syirk menurunkan derajat manusia, dan membuat manusia tak pantas menduduki kedudukan tinggi yang menurut ketetapan Tuhan ditentukan untuknya. Berbagai bentuk syirk Berbagai bentuk syirk yang disebutkan dalam Qur’an Suci menunjukkan adanya amanat peningkatan derajat yang melandasi ajaran tauhid. Hal ini disimpulkan dalam Qur’a Suci 3:63: “Bahwa kami tak akan menyembah2 sesuatu selain Allah dan bahwa kami tak akan menyekutukan sesuatu dengan Dia, dan bahwa sebagian kami tak akan mengambil sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah”. Inilah tiga bentuk syirk yang sebenarnya. Adapun bentuk syirk yang nomor empat diuraikan tersendiri. Bentuk yang paling menyolok ialah menyembah sesuatu selain Allah, misalnya, patung, pohon, binatang, kuburan, benda-benda langit, kekuatan alam, atau manusia yang dianggap setengah dewa, atau dewa, atau penjelmaan Tuhan, atau anak laki-laki atau anak perempuan Tuhan. Bentuk syirk nomor dua yang kurang menyolok ialah, menyekutukan sesuatu dengan Allah, artinya, menganggap segala sesuatu itu mempunyai sifat-sifat yang sama seperti sifat Tuhan. Kepercayaan ada tiga oknum ketuhanan, dan sang putera dan sang Roh Suci itu kekal, Maha-tahu dan Maha-kuasa seperti Allah, seperti kepercayaan agama Kristen, atau Tuhan itu yang menciptakan kejahatan berdampingan dengan Tuhan yang menciptakan kebaikan, seperti kepercayaan agama Zaratustra, atau benda dan roh itu sama kekalnya seperti Allah dan maujud sendiri 2. Kata penyembah bahasa Arabnya: ‘ibadah, makna aslinya luas sekali, yakni, sikap menunduk yang melebihi batas, atau ketaatan yang disertai dengan kerenda-han hati yang sedalam-dalamnya; tetapi dalam penggunaan sehari-hari, berarti, mengambil sikap hormat terhadap sesuatu, sedang jiwanya tenggelam memikirkan kebesaran dan kekuasaan sesuatu itu dan bersujud kepadanya. Inilah arti kata ‘ibadah yang digunakan dalam ayat ini.
DHAT TUHAN
155
seperti Dia, seperti kepercayaan agama Hindu, semua itu termasuk golongan syirk nomor dua. Adapun bentuk syirk terakhir ialah, sebagian manusia menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan. Adapun yang dimaksud dengan ini, dijelaskan oleh Nabi Suci sendiri sewaktu beliau menjawab satu pertanyaan yang diajukan oleh salah seorang sahabat sebagai berikut: Pada waktu ayat 9:31 diturunkan, yang berbunyi: “mereka menjadikan pendeta mereka dan rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah”, sahabat Adiyy bin Hatim, seorang Kristen yang telah memeluk Islam, menerangkan kepada Nabi Suci bahwa kaum Yahudi dan Nasrani tidak menyembah pendeta dan rahib mereka. Nabi Suci berbalik tanya kepadanya: “Bukankah kaum Yahudi dan Nasrani mengikuti dengan membabi buta apa yang mereka perintahkan dan apa yang mereka larang?” Atas pertanyaan Nabi Suci ini, sahabat Adiyy membenarkannya. Ini berarti bahwa mengikuti dengan membabi buta apa yang diperintahkan oleh pemimpin besar mereka, itu tergolong perbuatan syirk. Adapun perbuatan syirk yang nomor empat, itu diuraikan dalam 25:43: “Apakah engkau melihat orang yang menjadi-kan hawa nafsunya sebagai Tuhan?” Di sini orang yang mengikuti ajakan hawa nafsunya dengan membabi buta juga disebut syirk. Adapun sebabnya ialah, Ketuhanan Yang Maha-esa bukanlah suatu dogma yang harus dipercaya begitu saja, melainkan mempunyai arti yang dalam sebagaimana kami terangkan nanti. Yang dimaksud iman kepada Allah Yang Maha-esa ialah, ketaatan mutlak harus ditujukan kepada Allah semata, dan barangsiapa taat kepada selain Allah, atau kepada hawa nafsu sendiri, melebihi ketaatan kepada Allah, ia benar-benar melakukan dosa syirk. Penyembahan berhala Di antara berbagai bentuk syirk, penyembahan berhala adalah yang paling dicela dengan kata-kata yang pedas, dan bentuk syirk ini benar-benar paling sering dibicarakan dalam Qur’an daripada bentuk syirk yang lain. Ini disebabkan adanya kenyataan bahwa penyembahan berhala adalah bentuk syirk yang paling mengerikan dan paling
156
ISLAMOLOGI
merajalela di dunia pada waktu datangnya agama Islam. Bukan hanya bentuk penyembahan berhala yang kasar saja yang dicela, yang menganggap bahwa berhala dapat mendatangkan keuntungan atau kemalangan, melainkan pangkal-pikiran yang membentuk penyembahan berhala pun dianggap mempunyai suatu arti, ini pun dicela oleh Qur’an Suci. Qur’an berfirman: “Dan orang-orang yang menjadikan pelindung selain Allah, berkata: Kami tak menyembah mereka kecuali agar mereka medekatkan kami kepada Allah. Sesungguhnya Allah akan mengadili antara mereka tentang yang mereka perselisih-kan di dalamnya” (39:3). Pada zaman sekarang, sebagian kaum penyembah berhala modern juga mengemukakan dalih semacam itu. Mereka berkata, bahwa patung itu hanya digunakan untuk memusat-kan perhatian (konsentrasi) para penyembah saja, artinya, dengan menghadap patung, ia dapat berkonsentrasi hingga ia lebih khusyu’ dalam tafakurnya kepada Tuhan; pengertian ini dicela oleh ayat tersebut di atas. Bahkan dalam hal ini si penyembah yang percaya bahwa patung yang dianggap bisa memusatkan pikirannya sebagai lambang Dzat Tuhan, ini sebenarnya pengertian salah; lebih-lebih karena patung yang digunakan untuk memusatkan pikiran, bukanlah Tuhan yang sebenarnya. Keliru pula adanya anggapan, bahwa untuk keperluan konsentrasi, diperlukan adanya lambang kebendaan, karena, pikiran itu setiap saat mudah sekali dipusatkan kepada sasa-ran (object) spiritual; dan suatu konsentrasi hanya akan menolong perkembangan daya batin apabila sasaran itu bersifat spiritual. Di samping penyembahan berhala, Qur’an Suci juga melarang memberi sesaji kepada berhala (6:137). Penyembahan benda-benda alam Bentuk syirk yang sudah lazim di mana-mana yang dicela oleh Qur’an Suci ialah penyembahan matahari, bulan, bintang dan sebagainya. Pokoknya menyembah apa saja yang dianggap dapat mengatur nasib manusia. Menyembah benda-benda bersinar itu terang-terangan dilarang oleh Qur’an Suci. Qur’an berfirman: “Dan di antara pertanda Allah ialah, malam dan siang dan matahari dan
DHAT TUHAN
157
bulan. Janganlah bersujud kepada matahari atau kepada bulan, dan mengabdilah kepada Allah Yang menciptakan itu” (41:37). Alasan larangan itu dikemukakan oleh Nabi Ibrahim, tatkala beliau berbantah dengan kaum beliau, bahwa benda-benda itu dikuasai oleh Yang Maha Kuasa.3 Alasan yang dikemukakan oleh Qur’an Suci untuk melarang penyembahan matahari dan bulan ini bukan saja berlaku bagi seluruh benda-benda langit, melainkan pula bagi semua kekuatan alam, yang ini sebenarnya acapkali disebutkan dalam Qur’an Suci sebagai barang yang dibuat untuk melayani manusia. Adapun penyembahan kepada Sirius (bintang Syi’ra), dalam ayat 53:49 diuraikan bahwa Allah sendiri adalah Tuhannya Sirius. Deisme dan Tatslits (Trinitas) Khusus mengenai ilmu ketuhanan (Deisme), Qur’an Suci berfirman: “Janganlah kamu mengambil dua Tuhan. Dia adalah Tuhan Yang Maha-esa” (16:51). Jin juga disebut-sebut sebagai makhluk yang disamakan kedudukannya dengan Tuhan. Qur’an berfirman: “Dan mereka menganggap jin sebagai sekutu Allah, padahal Dialah Yang menciptakan mereka” (6:101). Dalam Qur’an Suci, tatslits (Trinitas) dikecam sebagai bentuk syirk. Qur’an berfirman: “Maka berimanlah kepada Allah dan para Utusan-Nya, dan janganlah kamu berkata: Tiga. Hentikanlah! Ini adalah baik bagi kamu. Sesungguhnya Allah Itu Maha-esa” (4:171). Ada juga yang menuduh bahwa paham Trinitas dalam Qur’an keliru, karena menurut 3. “Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim kerajaan langit dan bumi, dan agar ia menjadi golongan orang yang yakin. Maka tatkala malam melingkupi dia, dia melihat bintang, ia berkata: Inikah Tuhanku? Maka tatkala bintang itu ter-benam, ia berkata: Aku tak suka barang yang terbenam. Kemudian tatkala ia melihat bulan terbit, ia berkata: Inikah Tuhanku? Maka tatkala bulan itu terbenam, ia ber-kata: Jika Tuhanku tak memimpin aku, niscaya aku menjadi golongan kaum yang sesat. Kemudian tatkala ia melihat matahari terbit, ia berkata: Inilah Tuhanku. Inilah yang paling besar. Maka tatkala matahari terbenam, ia berkata: Wahai kaumku, sesungguhnya aku terlepas dari apa yang kamu sekutukan. Sesungguhnya aku mengharapkan wajahku lurus kepada Dzat Yang menciptakan langit dan bumi, dan aku bukanlah golongan orang musyrik” (6:76-80).
158
ISLAMOLOGI
Qur’an, ‘Isa dan Maryam dikatakan sebagai dua Tuhan, sebagaimana tersebut dalam firman-Nya: “Wahai ‘Isa bin Maryam! Apakah engkau berkata kepada manusia: Jadikanlah aku dan ibuku sebagai dua Tuhan selain Allah” (5:116). Yang dimaksud di sini ialah mendewakan Maryam (mariolatry). Bahwa Maryam disembah adalah kenyataan, dan Qur’an Suci menguraikan tentang ini peting sekali artinya;4 tetapi hendaklah diingat, bahwa dalam Qur’an mau-pun Hadits, tak ada satu ayat pun yang menerangkan bahwa Maryam adalah Oknum Trinitas yang ketiga. Ayat Qur’an yang mengecam Trinitas, di situ hanya menerangkan mengenai ajaran “Tuhan berputera”, dan sekali-kali tak menerangkan pemujaan Siti Maryam, dan ayat yang menerangkan pemujaan Maryam, ini ditujukan kepada ajaran Trinitas. Ajaran tentang Allah berputera Bentuk syirk lainnya yang dikecam oleh Qur’an Suci ialah paham Allah mempunyai anak laki-laki atau anak perempuan. Bangsa Arab jahiliyah mengaku Allah mempunyai anak perempuan, sedang agama Nasrani mengajarkan bahwa Allah mempunyai anak laki-laki. 4. Ajaran dan praktek memuja Maria (Maryam) amat terkenal, ini disebut Mariolatry oleh golongan Protestan. Dalam buku Katekismus Katholik Roma, terdapat ajaran: “Bahwa beliau benar-benar ibu Tuhan ... bahwa beliau adalah Ibu Kasih sayang dan terutama sekali menjadi pembela kita, patung beliau amatlah berfaedah”. Selanjutnya diuraikan dalam Litany, bahwa beliau langsung dimohon sebagai perantara. Di daerah Thrace (Yunani), Schithia dan di tanah Arab, banyak kaum wanita mempunyai kebiasaan menyembah Sang Dara sebagai Tuhan. Salah satu ciri khas penyembahan mereka adalah sesaji berupa kueh. “Semenjak konsili di Ephesus, digambarkan Sang Dara dan Anak, dianggap pertanda kesalehan ... Adapun tumbuhnya kultus Maria setelah Konsili Ephesus, baik di Timur mapun di Barat, tak dapat diusut sejarahnya ... Raja Yustianus dalam salah satu kitab undang-undangnya mempercakapkan lebih dahulu pembelaan Maryam terhadap kerajaan Heraclius menempelkan gambar Maryam pada benderanya. Yohanes dari Damaskus berbicara tentang Maryam sebagai wanita yang berdaulat, karena sekalian makhluk dijadikan rakyat taklukkan oleh puteranya. Peter Damia menganggap Maryam sebagai orang yang paling mulia di antara sekalian makhluk dan menganggap beliau sebagai Tuhan, dan beliau dikaruniai segala macam kekuatan di langit dan di bumi” (Enccyclopaedia Britanica XVII, hal. 813).
DHAT TUHAN
159
Walaupun ajaran mengakukan Allah mempunyai anak perempuan, diuraikan berulangkali dalam Qur’an, misalnya dalam 16:57; 17:40; 37:149, namun Qur’an Suci memberi tekanan yang berat terhadap ajaran Kristen sebagaimana tersebut dalam firman-Nya: “Dan mereka berkata: Tuhan Yang Maha-pemurah memungut anak laki-laki. Sesungguhnya kamu mengucapkan sesuatu yang amat keji. Langit hampir-hampir pecah karenanya, dan bumi hampir ter-belah dan gunung-gunung runtuh berkeping-keping, karena mengaku-kan Tuhan Yang Maha-pemurah mempunyai anak laki-laki” (19:88-91). Ajaran itu dikecam berulang-ulang, misalnya dalam 2:116; 6:102-104; 10:68; 17:111; 18:4-6; 19:35, 91-92; 23:91; 37:151-152; 112:3. Tak sangsi lagi bahwa Surat 112 adalah salah satu Surat Makkiyah permulaan. Ini menunjukkan bahwa sejak dari permulaan sekali Qur’an Suci berusaha merobah kesesatan besar itu. Hendaklah orang suka memperhatikan kata-kata subhanahu, artinya maha suci Allah dari segala kekurangan. Adapun alasannya ialah ajaran “Allah berputera” itu disebabkan adanya dugaan bahwa Allah tak dapat mengampuni dosa, terkecuali jika Allah mendapat tebusan yang memuaskan, dan mereka menduga bahwa tebusan yang memuaskan itu diperoleh dengan jalan menyalib Anak Allah, yang katanya hanya Dialah yang tak berdosa. Jadi, ajaran “Allah ber-putera” itu sebenar-nya mendustakan sifat pengampunan Allah, dan ini sama dengan menuduh Allah sebagai Tuhan yang mempunyai kekurangan. Oleh karena itu, dalam ayat 19:92, setelah didahului kecaman pedas ter-hadap ajaran “Allah berputera”, kita diberitahu bahwa “tak layak bagi Allah Yang Maha-pemurah (Al-Rahman), Dia memungut anak laki-laki”. Kata alRahman makna aslinya Tuhan Yang tak terhingga kemurahan-Nya yang tak memerlukan tebusan dalam mempertonton-kan kemurahannya yang tak dapat dipisahkan dari pada-Nya; dan oleh karena Allah itu al-Rahman, maka tak diperlukan lagi ajaran “Allah berputera”. Sendi dasar arti tauhid
160
ISLAMOLOGI
Berbagai macam syirk yang diuraikan dalam Qur’an Suci menunjukkan bahwa ajaran Tauhid menganugrahkan kepada dunia satu amanat tentang peningkatan kemajuan dalam segala bidang, baik jasmani, akhlak, maupun rohani. Manusia bukan saja dibebaskan dari perbudakan oleh benda hidup maupun benda mati, melainkan dibebaskan pula dari penyembahan kepada kekuatan alam yang besar dan mengagumkan, yang menurut Qur’an Suci, justru manusia harus menalukkan itu guna kepentingan mereka sendiri. Selanjutnya ajaran Tauhid menyelamatkan manusia dari perbudakan yang amat besar, yaitu menyembah kepada sesama manusia. Tak seorang pun diperbolehkan menduduki martabat Ketuhanan atau martabat yang melebihi manusia biasa, karena manusia yang paling sempurna pun, yakni Nabi Muhammad, disuruh berkata: “Aku hanya manusia biasa seperti kamu, hanyalah kepadaku diwahyukan bahwa Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha-esa” (18:110). Dengan demikian, segala belenggu yang mengikat jiwa manusia diputuskan; dan manusia berjalan di atas jalan yang menuju ke arah kemajuan. Qur’an Suci menerangkan seterang-terangnya, bahwa jiwa budak tak mungkin berbuat sesuatu yang baik dan besar;5 oleh sebab itu, syarat pertama untuk mencapai kemajuan ialah, dia harus membebaskan jiwanya dari segala macam perbudakan yang membelenggu, dan ini hanya dapat dicapai dengan Tauhid.
5. Allah membuat perumpamaan tentang budak belian yang tak menguasai apaapa, malahan ia dimiliki oleh orang lain, dan ada lagi orang yang Kami beri rezeki dari Kami sendiri hingga ia dapat membelanjakan sebagian itu dengan diam-diam dan dengan terbuka. Apakah dua orang itu sama? Dan Allah membuat perumpamaan tentang dua orang: Yang seorang bisu dan tak menguasai apa-apa, malahan ia menjadi beban majikannya; ke mana saja ia disuruh, ia tak membawa kebaikan. Samakah ia dengan orang yang menyuruh berbuat adil, dan yang berjalan di atas jalan yang benar?” (16:75-76). “Dan ia membuat matahari dan bulan untuk melayani kamu, beredar dalam orbitnya; dan Dia membuat malam dan siang untuk melayani kamu” (14:33). Dan bintang-bintang dibuat untuk melayani manusia atas perintah-Nya ... Dan Dia ialah Yang menaklukkan lautan ... Dan engkau melihat perahu-perahu memecah gelombang menembus lautan” (16:12-14). “Apakah kamu tak melihat bahwa Allah telah menaklukkan untuk kamu apa saja yang ada di langit dan di bumi ?” (31:20), dan sebagainya.
DHAT TUHAN
161
Kesatuan umat manusia bersendikan Keesaan Allah Ajaran tauhid selain melepaskan belenggu perbudakan yang mengikat jiwa manusia hingga terbuka jalan menuju ke arah kemajuan, tauhid mengandung pula arti lain yang sama besarnya, atau bahkan lebih besar lagi, yakni cita-cita persatuan umat manusia. Allah adalah Rabbul ‘alamin (Tuhan sarwa sekalian alam). Rabb artinya memelihara sesuatu demikian rupa melalui tingkatan yang satu lepas tingkatan yang lain, hingga ia mencapai tujuan kesempur-naan. Jadi, kata Rabbul’alamin mengandung arti bahwa sekalian manusia di dunia seakan-akan putera dari satu ayah yang tak mem-beda-bedakan dalam memelihara puteranya, dengan mengatur dan mengantar mereka tahap demi tahap menuju ke tujuan kesempurna-an. Oleh sebab itu, dalam Qur’an Suci, Allah bukan saja dikatakan sebagai Yang memberi makanan jasmani, melainkan pula memberi makanan rohani berupa Wahyu kepada sekalian bangsa di dunia. Qur’an berfirman: “Tiap-tiap umat mempunyai seorang Utusan” (10:47). “Tak ada suatu umat, melainkan seorang juru ingat telah berlalu di kalangan mereka” (35:24). Selanjutnya kita dapati bahwa Qur’an membela suatu paham, bahwa Allah sebagai Tuhan sarwa sekalian alam, memperlakukan sekalian manusia tanpa pilih-kasih. Allah mendengarkan do’a sekalian manusia tanpa membeda-bedakan agama atau kebangsaan mereka. Allah mengasihi sekalian manusia dan mengampuni dosa mereka. Allah mengganjar perbuatan baik yang dilakukan oleh manusia, baik orang Islam maupun bukan. Dan Allah bukan saja memperlakukan sekalian manusia tanpa pilih-kasih, melainkan pula Dia menciptakan mereka sama, sesuai fitrah-Nya. Qur’an berfirman: “Fitrah ciptaan Allah, Yang Dia menciptakan manusia atas fitrah itu” (30:30). Jadi, kesatuan manusia adalah akibat mutlak dari Keesaan Allah; hal ini ditekankan oleh Qur’an Suci dengan kata-kata yang terang bahwa “sekalian manusia adalah satu umat” (2:213), dan “manusia itu tiada lain hanyalah satu umat” (10:19).
162
ISLAMOLOGI
PASAL 3: SIFAT-SIFAT ALLAH Tabi’at sifat-sifat Allah Sebelum kami membicarakan sift-sifat Allah, perlu kami mengingatkan para pembaca tentang adanya salah paham mengenai Tabi’at Tuhan. Dalam Qur’an Suci, Allah dikatakan sebagai Yang melihat, mendengar, berbicara, marah, mencintai, penuh kasih sayang, menguasai, mengawasi dan sebagainya. Tetapi digunakannya sifatsifat itu janganlah diartikan bahwa Allah itu seperti manusia6, karena dalam Qur’an Suci diuraikan seterang-terangnya bahwa Allah adalah di atas segala paham kebendaan. Qur’an berfirman: “Penglihatan tak dapat menjangkau Dia, dan Dia menjangkau semua penglihatan” (6:104). Dan Allah bukan saja di atas batas-batas kebendaan, 6. Paham anthropomorphisme yang mempersamakan Allah dengan manusia tak pernah dibenarkan oleh kaum Muslimin. Kelompok kecil yang menamakan diri Karramiyah (diambil dari nama pendirinya, Muhammad Karram) atau Mujassimah (berasal dari kata jism, artinya tubuh), mereka berpendapat bahwa Allah itu bertubuh, tetapi ajaran itu ditolak oleh para ulama Islam. Memang benar ada satu Hadits yang menerangkan bahwa dalam ru’yah, Nabi Suci merasa disentuh oleh tangan Allah di antara dua pundak beliau, tetapi apa yang dilihat dalam mimpi, tak mungfkin diambil sebagai kenyataan hakiki. Imam Asy’ari berkata: “Kaum ahli Sunnah dan ahli Hadits berpendapat bahwa Allah tidaklah berjasad, dan tak ada sesuatu yang menyerupai Dia, dan Allah itu bersemayam di ‘Arsy ... dan orang tak dapat membayangkan (bila kaifa) bagaimana istiwa bersemayamnya Allah, dan bahwa Allah itu Nur” (MI. hal. 211). Imam Asy’ari juga berkata bahwa Allah mempunyai tangan, yang tak dapat dibayangkan (bila kaifa) bagaimana tangan Allah itu, dan Allah mempunyai mata yang tak dapat dibayangkan (bila kaifa) bagaimana mata Allah itu, dan sebagainya. Telah digariskan pula sebagai landasan pokok tentang sifat-sifat Allah, bahwa “dalam segala-galanya” Allah itu tak serupa dengan makhluk-Nya, dan tak ada satu makhluk pun yang menyerupai Dia” (FA. hal. 14). Selanjutnya diterangkan bahwa sifat Allah itu harus ditujukan kepada tujuan terakhir (Bai). Syekh Waliyyullah menerangkan lebih jelas lagi bahwa kata basthulyadi itu jika dihubungkan dengan Allah, berarti Yang Dermawan (Hj. hal. 63). Sedang mengenai sifat-sifat Allah seumumnya, beliau menulis dengan nada yang sama seperti Imam Baidlawi, yakni, sifat-sifat itu digunakan dalam arti yang menjadi tujuan terakhir; misalnya rahmat Allah, ini hanya berarti penganugrahan sesuatu yang baik, bukan berarti kecenderungan hati sematamata. (Hj).
DHAT TUHAN
163
melainkan pula di atas batas-batas pepindan (metaphor). Qur’an berfirman: “Tak ada sesuatu pun yang menyerupai Dia” (42:11). Untuk menyatakan kecintaan Allah, kekuasaan-Nya, ilmu-Nya dan sifat-sifat-Nya yang lain, memang harus digunakan kata seperti itu yang biasa digunakan sehari-hari, namun pengertian kata-kata itu sangatlah berlainan. Jika dikatakan Allah melihat, ini tidaklah berarti Allah melihat dengan mata seperti kita yang mem-butuhkan cahaya untuk melihat sesuatu seperti kita. Atau jika dikatakan Allah mendengar, ini tidaklah berarti Allah mempunyai telinga seperti kita, atau membutuhkan udara atau sarana lain agar suara dapat didengar oleh-Nya. Atau apabila dikatakan Allah men-ciptakan atau membuat sesuatu, ini tidaklah berarti Allah mempunyai tangan seperti kita, atau ia membutuhkan bahan untuk membuat sesuatu. Demikian pula cinta, perkenan, marah, dan kasih sayang Allah, semuanya tak tergantung kepada anggota badan seperti manusia. Sekalipun di dalam Qur’an terdapat ayat yang menerangkan “tangan Allah” (5:64), tetapi ini hanyalah untuk menyatakan tak terbatasnya kekuasan Allah dalam menganugrahkan nikmat-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki. Kata yad yang artinya tangan, ini digunakan pula secara kiasan dalam arti nikmat (ni’mah), atau per-lindungan (hifazhah). Demikianlah dalam 2:237 tercantum kalimat yang berbunyi: “orang yang tali pernikahan ada di tangannya”, dimana kata yad di sini digunakan dalam arti kiasan. Dalam kitab Nihayah diterangkan bahwa kata yad berarti hifzun (perlindungan), dan difa’ (pembelaan), dan untuk memperkuat itu, dikutipnya satu Hadits tentang Ya’juj wa Ma’juj yang berbunyi: la yadani li ahadin liqitalihim, artinya, tak seorang pun mempunyai kekuatan (yadani, makna aslinya dua tangan) untuk memerangi mereka. Oleh sebab itu, menurut idium bahasa Arab, kata yadullah (tangan Allah) dalam 5:64, berarti nikmat Allah. Salah paham lain lagi, bahkan salah paham besar, ialah mengenai arti kata al-kasyfu ‘anis-saqi. Kesalahan itu tiada lain hanyalah karena tak tahu akan idium bahasa Arab, hingga kata-kata itu diterjemahkan tersingkap betisnya. Kata-kata itu tercantum dua kali dalam Qur’an Suci, pertama, sehubungan dengan Ratu Sheba (27:44), dan yang kedua, dalam bentuk passif, tanpa disebutkan
164
ISLAMOLOGI
sasarannya (68:42). Kata-kata itu tak pernah digunakan sehubungan dengan Allah. Kata saqun yang artinya betis itu, jika digunakan dalam ungkapan al-kasyfu ‘anis-saqi, artinya berlainan sekali, kata dalam hal ini kata saqun berarti kesukaran atau kesusahan. Jadi, kata al-kasyifu ‘anis-saqi artinya bersiap-siap untuk menghadapi kesuka-ran atau keluar dari kesusahan (TA., LL.). ‘Arsy Allah Qur’an Suci menguraikan ‘Arsy atau Singgasana Allah, tetapi ‘Arasy itu bukanlah tempat, melainkan gambaran tentang penguasaan Allah atas segala sesuatu, sebagaimana singgasana raja melambangkan kekuasaan raja untuk memerintah. ’Arsy Allah adalah salah satu di antara segala sesuatu yang manusia tak tahu akan hakikatnya kecuali hanya namanya saja, dan itu tidaklah seperti yang terbayang dalam pikiran orang awam ... Dan ‘Arsy mengandung arti kekuasaan atau kekuatan dan pemerintahan (R). Istawa ‘alal-arsy adalah bentuk kalimat yang berulang-ulang dicantumkan dalam Qur’an sehubungan dengan kata ‘Arsy, dan kalimat itu selalu dicantumkan sesudah uraian Qur’an Suci tentang terciptanya langit dan bumi, dan bertalian dengan pengawasan Allah terhadap makhluk-Nya, dan bertalian pula dengan undang-undang dan aturan, yang dengan undang-undang itu seluruh alam semesta ditundukkan oleh Penguasa Yang Maha-tinggi. Kata istawa jika diikuti dengan kata ‘ala ini berarti Dia mempunyai kekuasaan atas sesuatu, atau mempunyai wibawa terhadap itu (R). Dalam Qur’an Suci tak ada ayat yang menerangkan bahwa Allah bersemayam di atas ‘Arsy; hanya kekuasaan Allah sajalah yang selalu diuraikan bertalian dengan ‘Arsy itu. Salah paham lain lagi ialah mengenai kata kursiyy (makna aslinya kursi) yang oleh sebagian ulama dikira kursi sungguhsungguh, padahal menurut ulama lain, yakni sahabat Ibnu ‘Abbas, beliau menjelaskan bahwa yang dimaksud kursiyy ialah ilmu atau pengetahuan (Bal. 2:255). Bahkan menurut para ahli kamus bahasa Arab, kata kursiyy dalam ayat itu berarti ilmu Allah atau kerajaan
DHAT TUHAN
165
Allah (R). Oleh karena itu, yang dimaksud kursiyy dan ‘Arsy hanyalah ilmu dan kekuasaan Allah. Nama Tuhan Allah adalah nama Tuhan (Ismu dzat), untuk membedakan dari nama yang lain yang disebut asma’us-shifat atau nama yang menunjukkan sifat. Kata Allah juga disebut ismu a’zam atau nama yang amat mulia. Oleh karena kata Allah itu nama, maka tak mempunyai arti. Tetapi oleh karena kata Allah itu nama Dzat Tuhan maka itu mencakup segala sifat yang diuraikan tersendiri berupa asma’ul-husna atau nama-nama yang indah. Oleh sebab itu, nama Allah dikatakan sebagai nama yang menghimpun segala sifat Allah yang sempurna. Oleh karena kata Allah itu nama, maka itu jamid, artinya, tak digubah dari perkataan lain. Kata Allah tak ada sangkut pautnya dengan kata ilah (dewa atau pujaan), yang kata ini berasal dari akar kata aliha artinya tahayyara atau ta’ajub; atau digubah dari kata wilahdari akar kata waliha, artinya tergila-gila.Kadang-kadang ada yang mengatakan bahwa kata Allah itu kependekan dari kata alilah, tetapi pendapat itu keliru, karena jika al dari kata Allah itu suatu awalan, maka bentuk kalimat ya Allah itu tak dibenarkan, seperti tak dibenarkannya bentuk kalimat ya al-ilah atau ya ar-Rahman; padahal bentuk kalimat ya Allah itu sudah benar. Selain itu, dugaan tersebut mengandung arti, bahwa pada zaman dahulu ada bermacam-macam dewa (alihah) jamaknya dari kata ilah.Di antara para dewa itu ada satu yang lambat laun dikenal dengan nama al-ilah, lalu dipendekkan menjadi Allah. Ini adalah bertentangan dengan kenyataan, karena kata Allah itu selalu menjadi nama “Dzat Yang Hidup Kekal” (DI). Dan menurut para ahli kamus bahasa Arab, kata Allah tak pernah digunakan untuk menamakan siapa pun selain Tuhan. Bangsa Arab mempunyai banyak ilah atau pujaan, tetapi tak ada satu pun yang pernah diberi nama Allah; sedang Yang Maha-tinggi yang disebut Allah, diakui oleh bangsa Arab sebagai Pencipta alam semesta, jauh lebih tinggi dari pujaan mereka (29:61), dan tak pernah ada dewa lain,
166
ISLAMOLOGI
betapa pun besarnya dewa tersebut, dianggap sebagai Pencipta alam semesta. Empat sifat utama Di antara sifat-sifat Allah yang tercantum di dalam Qur’an Suci, ada empat yang paling menonjol, dan empat sifat itu tepat sekali disebutkan dalam Surat al-Fatihah atau Surat Pembukaan, yang, baik menurut ijma maupun Hadits, merupakan inti Qur’an Suci. Surat alFatihah diawali dengan nama Allah, lalu diikuti dengan sifat yang paling mulia di antara sifat-sifat Tuhan, yakni Rabb, yang karena tak adanya terjemahan yang paling tepat, maka Rabb ini biasa diterjemahkan dengan arti Tuhan saja. Menurut ahli kamus Qur’an kenamaan, arti kata Rabb ialah Yang memelihara sesuatu demikian rupa, melalui tingkatan yang satu lepas tingkatan yang lain, hingga itu mencapai tujuan yang sempurna (R). Oleh karena itu, Rabb berarti Tuhan Yang membimbing segala sesuatu di alam semesta ini menuju tujuan kesempurnaan melalui berbagai tingkat perkembangan;7 dan oleh karena tingkat perkembangan itu meliputi dari yang serendahrendahnya hingga setinggi-tingginya, yang jika kembali ke belakang dan terus ke belakang lagi, maka kita menjadi tak ada artinya samasekali, jadi terang sekali bahwa kata Rabb mengandung arti Dzat Yang membimbing ke arah kesempur-naan, karenanya Rabb sifat Tuhan yang paling utama; oleh sebab itu, semua do’a itu biasanya 7. Teori evolusi yang diisyaratkan dalam kata Rabb, ini diuraikan sejelasjelasnya di berbagai tempat dalam Qur’an Suci. Qur’an menguraikan keadaan permulaan dari langit dan bumi sebagai berikut: “Langit dan bumi itu dahulu tetutup rapat, lalu Kami membuka itu” (21:30). Tak sangsi lagi bahwa ayat ini mengisyaratkan evolusi tahap permulaan tatkala keadaan pada waktu itu masih kacaubalau, lalu dari keadaan itu berkembang menjadi susunan yang teratur seperti sekarang ini, yang walaupun keadaannya tampak masih amat membingungkan, tetapi itu menunjukkan adanya aturan yang lengkap. Dan tatkala menguraikan terciptanya manusia, Qur’an Suci berfirman: “Sesungguhnya Ia menciptakan kamu melalui berbagai tingkatan” (17:14); ini menunjukkan bahwa terciptanya manusia hingga mencapai keadaan jasmani yang sempurna seperti sekarang ini, baru terlaksana setelah melalui berbagai proses. Di tempat lain di dalam Qur’an Suci diterangkan bahwa manusia “akan meningkat dari keadaan yang satu kepada keadaan yang lain” (84:19), ini kemungkinan sekali mengisyaratkan evolusi rohani manusia.
DHAT TUHAN
167
ditujukan kepada Rabb, dan tiap-tiap do’a selalu diawali dengan kata Rabbanaa artinya Wahai Tuhan kami.8 Sungguh tepat sekali bahwa Qur’an Suci memberi tempat istimewa kepada sifat Rabb yang ditempatkan sesudah nama Allah. Susunan yang diambil oleh Qur’an Suci dalam menguraikan sifat-sifat Allah sangat ilmiah sekali. Nama Allah disebutkan pertama kali dalam Surat al-Fatihah, lalu disusul dengan Rabb, yaitu sifat Allah yang amat penting. Pentingnya dua nama itu dapat dibuktikan dengan adanya kenyataan bahwa dalam Qur’an Suci dicantumkan nama Allah sebanyak 2.800 kali, sedang nama Rabb, sebanyak 960 kali. Tak ada nama Tuhan lainnya yang begitu kerap disebutkan dalam Qur’an Suci. Nama penting lainnya yang begitu kerap di-sebutkan dalam Qur’an Suci ialah Rahman, Rahim, dan Malik, yang dalam Surat al-Fatihah diletakkan sesudah Rabb. Sebenarnya, tiga nama ini menunjukkan bagaimana sifat rububiyyah Allah dilaksana-kan. Kata Rahman dan Rahim berasal dari akar kata yang sama, yaitu rahmah, yang artinya, kelembutan hati yang menuntut pemberian kasih sayang kepada orang atau sesuatu yang disayangi; jadi ini mencakup pengertian cinta dan kasih. Kata rahman digubah dari wazan fa’lan, menunjukkan melimpah-limpahnya rahmah pada Allah, dan kata rahim digubah dari wazan fa’il yang menunjukkan berulang-ulangnya rahmah itu. Mengingat perbedaan itu, maka rahman mengandung arti bahwa cinta dan kasih Allah begitu melimpah hingga Allah menganugerahkan rahmat dan kasih sayang-Nya kepada manusia sekalipun mereka tak berbuat sesuatu yang menyebabkan mereka pantas menerima rahmat itu. Pemberian segala kebutuhan hidup untuk 8. Hendaklah diingat bahwa Yesus Kristus menyebut Allah sebagai Ab atau Bapak, sedang Qur’an Suci menyebut Allah sebagai Rabb. Nah, kata Ab atau Bapak mengandung arti kasih sayang dan pemeliharaan seorang ayah terhadap anaknya, sedang kata Rabb mengandung arti yang lebih luhur, yaitu pengertian kasih-sayang dan kecintaan yang luar biasa dari Khalik terhadap makhluk. Yang bukan saja mencukupinnya dengan segala kebutuhan hidup manusia, melainkan jauh sebelumnya telah melengkapinya dengan daya kemampuan, yang dalam lingkungannya meneruskan perkembangannya, tahap demi tahap, menuju tujuan kesempurnaan, ini menunjukkan betapa tinggi Qur’an Suci mengembangkan ide-ide yang sederhana dari Kitab Suci yang sudah-sudah.
168
ISLAMOLOGI
mengembangkan jasmani mereka, ini semata-mata berkat adanya cinta-kasih Allah yang tak terhingga. Kemudian menyusul suatu tingkatan, dimana manusia memanfaatkan bahan-bahan pemberian Allah (rahmaniah Allah) dan digunakan untuk mengembangkan jasmani dan rohaninya. Pada tingkatan inilah muncul sifat Allah yang nomor tiga, yaitu rahim, yang melalui sifat ini Allah mengganjar setiap perbuatan baik dan benar yang dilakukan manusia, dan selama manusia tak henti-hentinya melakukan itu, maka kasih-sayang Allah yang dipertontonkan melalui sifat Rahim juga akan terus bekerja. Sifat rahimiyah ini terus bekerja dalam perkembangan jasmani maupun rohani manusia. Diriwayatkan bahwa Nabi Suci bersabda: “ArRahman ialah Tuhan Yang Maha-pemurah, Yang cinta-kasih-Nya diwujudkan di alam dunia ini, dan Rahim ialah Tuhan Yang Mahapengasih Yang cinta-kasih-Nya diwujudkan pada hari kemudian” (BM. I, hal. 17). Tetapi untuk membimbing sekalian makhluk menuju ke arah kesempurnaan masih diperlukan adanya sifat Allah yang lain. Sebagaimana ketaatan kepada undang-undang menyebabkan kemajuan manusia dan mendatangkan ganjaran, demikian pula pelanggaran terhadap undang-undang akan menyebabkan terhambatnya kemajuan dan mendatangkan siksaan. Sebenarnya menghukum orang yang salah, itu menurut ketetapan Tuhan sama perlunya dengan mengganjar manusia yang berbuat baik, dan hukuman itu sebenarnya hanya suatu tingkatan dari pelaksanaan sifat Rububiyah, karena tujuan terakhir adalah demi kebaikan manusia itu sendiri. Oleh karena itu, sebagaimana sifat rahim itu diperlukan untuk mengganjar orang yang berbuat baik atau taat kepada undang-undang, maka amat diperlukan sifat yang lain untuk menghukum orang yang berbuat jahat. Itulah sebabnya mengapa dalam Surat al-Fatihah, sifat rahim diikuti oleh sifat maliki yaumiddin atau Yang Memiliki hari pem-balasan. Penggunaan kata malik (maknanya Pemilik) sehubungan dengan hukuman terhadap perbuatan jahat ini mempunyai arti yang dalam, karena biasanya, untuk menentukan hukuman terhadap suatu kejahatan, orang harus menantikan keputusan hakim. Adapun perbedaan penting antara hakim dan pemilik ialah, hakim harus
DHAT TUHAN
169
menjalankan keadilan dan harus menghukum setiap kejahatan yang dilakukan oleh penjahat, sedangkan pemilik, ia boleh berbuat sesukanya, ia boleh menghukum si penjahat, dan boleh pula mengampuninya, bahkan boleh pula membiarkan dia menjalankan kejahatan yang lebih besar lagi.9 Pengertian ini dikembangkan sepenuhnya dalam Qur’an Suci yang menerangkan berulangkali bahwa perbuatan baik mendapat ganjaran lipat sepuluh atau bahkan lebih, tetapi perbuatan jahat hanya mendapat hukuman setimpal atau bahkan diampuni. Dalam Qur’an Suci diuraikan, bahwa kasih-sayang Allah begitu besar, hingga “Dia mengampuni semua dosa” (39:53). Oleh sebab itu, diketengahkannya sifat Malik adalah untuk menghubungkan antara hukuman dan pengampunan, dan itulah sebabnya mengapa diletakkan dalam urutan sifat yang penting, sifat Malik diletakkan sesudah sifat Rahim dalam Surat al-FAtihah, sedang dalam seluruh Qur’an, sifat Ghafur atau Yang maha-pengampun menempati kedudukan yang penting. Dua sifat pertama, rahman dan rahim dengan segala bentuk kata kerja-nya, tercantum sebanyak 580 kali, dan sifat ghafur yang frekwensi-nya di bawah sifat rahman dan rahim dengan segala kata kerjanya, tercantum sebanyak 230 kali. Oleh sebab itu terang sekali bahwa Qur’an Suci memberi tempat utama kepada sifat kasih-sayang Allah yang tak ada taranya, yang tidak pernah dijumpai dalam Kitab Suci yang lain di manapun. Sembilanpuluh sembilan asma’ul-husna 9. Di sinilah para arsitek kepercayaan Kristen telah membuat kesalahan besar. Mereka mengira bahwa untuk menebus dosa yang dilakukan oleh manusia diperlukan adanya Anak Allah, karena Allah sebagai Hakim, tak dapat mengampuni dosa terkecuali jika ada orang yang dijadikan sebagai penebus dosa. Tetapi menurut Qur’an Suci, Allah adalah Malik atau Yang Memiliki, oleh karena itu, Allah dapat mengampuni dosa. Sebenarnya, “do’a Bapak Kami” itu mendustakan kepercayaan Kristen, karena orang yang disuruh berdo’a agar Allah mengampuni dosa kita seperti kita mengampuni orang yang berhutang kepada kita. Bagaimana caranya kita mengampuni orang yang berhutang kepada kita? Sudah tentu dengan membebaskan hutangnya, bukan dengan menyita uangnya. Jika manusia dapat mengampuni dosa, mengapa Allah tidak?
170
ISLAMOLOGI
Menilik penjelasan yang telah kami berikan tentang empat sifat utama, Rabb, Rahman Rahim dan Malik, dan menilik frekwensi dicantumkannya empat sifat itu dalam Qur’an Suci yang tak dapat ditandingi oleh lain-lain sifat, dan menilik disebutkannya empat sifat itu dalam Surat al-Fatihah, terang sekali bahwa Qur’an Suci memandang empat sifat itu sebagai sifat Allah yang paling utama, dan sifat Allah selebihnya hanyalah merupakan cabang dari empat sifat utama itu. Berdasarkan Hadits yang diriwayatkan sahabat Abu Hurairah, yang Hadits itu dianggap gharib (lemah) oleh Imam Thirmidhi, diterangkan sembilanpuluh sembilan nama Tuhan; jika ini ditambah dengan nama Allah, maka genaplah menjadi seratus. Namanama itu sebagian dimuat dalam Qur’an Suci, sedang sebagian lagi hanya berupa penarikan kesimpulan dari beberapa perbuatan Allah yang diuraikan dalam Qur’an Suci. Tetapi tak ada satu dalil pun yang menganjurkan supaya orang menghitung nama-nama itu dengan tasbih atau dengan cara apa pun. Baik Nabi Suci maupun para sahabat tak ada yang pernah menggunakan tasbih. Qur’an Suci berfirman: “Dan nama-nama yang amat mulia (asma’ul-husna) adalah kepunyaan Allah, maka menyerulah kepada-Nya dengan nama-nama itu, dan tinggalkanlah orang yang merusak kesucian nama-Nya” (7:180). Hubungan ayat ini dengan ayat sebelum dan sesudahnya menunjukkan, bahwa menyeru kepada Allah dengan nama-nama-Nya (asma’ul-husna), hanya berarti bahwa segala sifat yang merendahkan martabat Allah yang tinggi, tak boleh disifatkan kepada-Nya, karena dalam bagian kedua ayat tersebut diterangkan bahwa orang yang merusak kesucian nama Allah diberi peringatan keras;10 adapun merusak kesucian nama Allah itu diterangkan sejelas-jelasnya bahwa yang dimaksud ialah, mengakukan kepada Allah sifat-sifat yang tak 10. Kesucian nama Allah dapat dirusak dengan tiga cara: (1) Memberikan nama Allah yang suci kepada yang lain; (2) menamakan Allah dengan kata yang tak pantas bagi-Nya; dan (3) menyebut Allah dengan nama yang tak diketahui artinya (R). Menurut Imam Raghib, merusak kesucian nama Allah itu ada dua macam: (1) Memberi sifat kepada Allah suatu sifat yang tak pantas atau tak layak bagi-Nya.; dan (2) memberi tafsiran sifat-sifat Allah dengan tafsiran yang tak sesuai dengan martabat-Nya.
DHAT TUHAN
171
sesuai dengan martabat-Nya yang tinggi, atau mengakukan sifat-sifat Allah kepada selain Allah. Oleh sebab itu, menyeru kepada Allah dengan asma’ul-husna berarti, sifat-sifat Allah yang luhur harus diakukan kepada Allah saja. Adapun nama-nama Allah (asma’ulhusna) yang disebutkan dalam Qur’an Suci adalah sebagai berikut: 1. Nama yang berhubungan dengan Allah ialah, al-Wahid atau Ahad (Yang Maha-esa), al-Haqq (Yang Maha-benar), al-Quddus (Yang Maha-suci), al-Shamad (Yang segala sesuatu bergantung kepada-Nya) sedang Dia sendiri tak bergantung kepada siapa pun), alGhani (Yang Maha-cukup sendiri), al-Awwal (Yang paling awal), alAkhir (Yang paling akhir), al-Hayyu (Yang hidup kekal), al-Qayyum (Yang maujud sendiri). 2. Nama yang berhubungan dengan makhluk Allah ialah, alKhaliq (Yang menciptakan), al-Bari (Yang menciptakan ruh), alMushawwir (Yang membentuk), al-Badi’ (Yang menciptakan pertama kali). 3. Nama yang berhubungan dengan sifat cinta kasih Allah (selain sifat Rabb, Rahman dan Rahim) ialah al-Rauf (Yang Mahakasih dan sayang), al-Wadud (Yang penuh cinta-kasih), al-Lathif (Yang lembut hati), al-Tawwab (Yang berulang-ulang kasih sayangNya), al-Halim (Yang Maha penyantun), al-’Afuwwu (Yang Mahamengampuni), al-Syakur (Yang melipatkan ganjaran), al-Salam (Pencipta perdamaian), al-Mu’min (Yang menganugrahkan keamanan), alBarru (Yang dermawan), Rafi’ud-Darajat (Yang meningkatkan derajat), al-Razzaq (Pemberi rezeki), al-Wahhab (Yang Mahamemberi) al-Wasi’ (Yang melimpah pemberian-Nya). 4. Nama yang berhubungan dengan keagungan dan kemuliaan Allah ialah: al-’Adzim (Yang Maha-agung), al-’Aziz (Yang Mahaperkasa), al-’Aliyyu atau Muta’al (Yang Maha-luhur), al-Qawiyyu (Yang Maha-kuat), al-Qahhar (Yang Maha-unggul), al-Jabbar (Yang memperbaiki segala sesuatu dengan kekuatan yang luar biasa),11 al11. Banyak sekali yang salah mengerti tentang arti kata al-Jabbar yang sebenarnya. Seorang penulis akhir-akhir ini keterlaluan sekali menerjemahkan kata alJabbar dalam Encyclopaedia of Islam dengan arti “Yang Maha-lalim”, sedang nama Allah berikutnya, al-Mutakabbir diterjemahkan oleh penulis itu dengan arti “Yang
172
ISLAMOLOGI
Mutakabbir (Yang memiliki kebesaran), al-Kabir (Yang Maha-besar), al-Karim (Yang Maha-mulia), al-Hamid (Yang Maha-terpuji), alMajid (Yang Maha-jaya), al-Matin (Yang Maha-kuat), azh-Zhahir (Yang menang), Dhul-Jalali wal-Ikram (Yang mempunyai keagungan dan kemuliaan). 5. Nama yang berhubungan dengan ilmu Allah ialah: al-’Alim (Yang Maha-tahu), al-Hakim (Yang Maha-bijaksana), as-Sami’ (Yang Maha-mendengar), al-Khabir (Yang Maha-waspada), al-Bashir (Yang Sombong”. Kesalahan itu disebabkan obsesi (pikiran yang menghantui) para penulis Kristen, bahwa Tuhan agama Islam, kata mereka, adalah penjelmaan dari kekejaman, kelaliman dan kesewenang-wenangan, dan Tuhan Yang Maha-kasih dan sayang hanya milik agama Kristen semata. Jika si penulis itu suka bertanya, sekalipun kepada Dictionary of Islam karangan Hughes, ia tak akan membuat kesalahan yang begitu fatal. Menurut Hughes, al-Jabbar artinya Yang memperbaiki, dan al-Mutakabbir artinya Yang Maha-besar. Terjemahan yang terdapat dalam Encyclopaedia of Islam adalah pemutar balikan yang amat buruk, karena di sana dikatakan bahwa kata Jabbar jika diterapkan terhadap manusia, mempunyai arti yang tidak baik, demikian pula jika diterapkan terhadap Allah. Memang tiap-tiap bahasa mempunyai ratusan perkataan yang dapat digunakan dalam arti buruk dan arti baik, dan tak seorang pun yang berotak sehat akan mengatakan, bahwa oleh karena suatu perkataan digunakan dalam arti yang tidak baik, lalu perkataan itu tak dapat digunakan dalam arti yang baik. Qur’an Suci menerangkan sejelas-jelasnya bahwa nama-nama yang baik (asma’ul-husna) adalah milik Allah; apakah terjemahan sombong dan lalim selaras dengan nama Allah Yang Maha-baik? Selanjutnya Qur’an Suci menerangkan berulangkali bahwa Allah “tak berbuat lalim sedikit pun” kepada manusia (41:46; 50:29), dan Allah “tak berbuat tak adil seberat atom pun” (4:40). Berdasarkan uraian tersebut, dapatkah kita menyebut kepada Allah berbuat sewenang-wenang? Jika kita mau memeriksa Kamus bahasa Arab, di sana kita dapati bahwa kata jabr yang digubah menjadi al-Jabbar makna aslinya: memperbaiki atau membetulkan sesuatu dengan kekuatan yang luar biasa (islahus-syai’i bidlarbin minal-qahri) (R). Pengarang Kamus itu menerangkan lebih lanjut, bahwa kata jabr digunakan dalam arti memperbaiki atau membetulkan, dan kadang-kadang dalam arti keunggulan atau kekuatan luar biasa. Jika seorang penguasa menyalah gunakan kekuasaannya, ia disebut jabbar dalam arti yang tidak baik; tetapi dalam Qur’an Suci, kata Jabbar yang diterapkan terhadap manusia, berarti orang yang amat kuat. Pada waktu Nabi Musa menyuruh kaumnya supaya memasuki Tanah Suci, mereka berkata: “Wahai Musa, di sana terdapat kaum yang amat kuat (jabbarin), dan kami tak akan masuk ke sana, sampai mereka keluar dari sana” (5:22). Sekalian ulama sepakat, bahwa al-Jabbar sebagai sifat Allah bermakna Yang memperbaiki dengan kekuatan yang luar biasa, atau, Yang Maha-unggul di atas sekalian makhluk.
DHAT TUHAN
173
Maha-melihat), asy-Syahid (Yang Maha-menyaksikan), ar-Raqib (Yang Maha-mengawasi), al-Bathin (Yang Maha-tahu segala sesuatu yang tersembunyi), al-Muhaimin (Yang menjaga semuanya). 6. Nama yang berhubungan dengan penguasaan Allah terhadap makhluk ialah: al-Qadir atau Muqtadir (Yang Maha-kuasa), al-Wakil (Yang mengurus segala sesuatu), al-Waliyyu (Yang melindungi), alHafizh (Yang memalihara) al-Maalik (Raja), al-Malik (Yang memiliki), al-Fattah (Yang memutus perkara), al-Haasib atau al-Hasiib (Yang menghitung), al-Muntaqim atau Dhun tiqam (Yang menimpakan pembalasan), al-Muqith (Yang menguasai segala sesuatu). 7. Nama Tuhan yang diambil dari beberapa perbuatan atau sifat Tuhan yang disebutkan dalam Qur’an Suci ialah: al-Qabidlu (Yang menyempitkan), al-Basithu (Yang melapangkan), al-Rafi’u (Yang meninggikan), al-Muizzu (Yang membri kehormatan), al-Mudhillu (Yang mendatangkan kehinaan), al-Mujib (Yang mengabul-kan do’a). al-Baits (Yang membangkitkan dari kubur), al-Muhsyi (Yang mencatat segala sesuatu), al-Mubdi (Yang memulai), al-Mu’id (Yang mengulangi), al-Muhyi (Yang memberi hidup), al-Mumit (Yang menyebabkan mati), Malikul-Mulk (Yang memiliki kerajaan), al-Jami (Yang menghimpun), al-Mughni (Yang memperkaya), al-Mu’thi (Yang memberi), al-Mani’ (Yang menahan atau mencegah), al-Hadi (Yang memberi petunjuk), al-Baqi (Yang kekal), al-Warits (Yang mewariskn segala sesuatu). Adapun sisa dari sembilanpuluh sembilan asma’ul-husna ialah, an-Nur (Cahaya); sebenarnya ini bukan nama Allah, Allah disebut Nur dalam arti Yang memberi cahaya (24:35); ash-Shabur (Yang Maha-sabar), ar-Rasyid (Yang menunjukkan), al-Muqsith (Yang tak berat sebelah), al-Wali (Yang memerintah), al-Jalil (Yang penuh kebesaran), al-‘Adlu (Yang Maha-adil), al-Khafidlu (Yang memelihara), al-Wajid (Yang maujud), al-Muqaddim (Yang terdahulu), alMu’akhkhir (Yang terakhir), adl-Dlarr (Yang mendatangkan kemalangan), an-Nafi’u (Yang memberi faedah). Masih ada dua sifat Allah yang termasuk golongan ini yang akan kami bahas nanti, mengingat dua sifat ini memerlukan pembahasan yang terperinci; dua sifat itu ialah yang berhubungan dengan kalam (firman) dan iradah (kehen-
174
ISLAMOLOGI
dak); dua sifat ini akan kami bahas dalam bab Kitab Suci dan bab Taqdir. Sifat cinta kasih Allah lebih menonjol Terang sekali bahwa sifat Allah di atas tak ada sangkut-pautnya dengan autokrasi, tak mengenal ampun, dendam, dan kejam, yang biasa disangkut pautkan oleh kebanyakan penulis Eropa dengan gambaran Allah yang dilukiskan dalam Qur’an Suci. Sebaliknya, sifat cinta kasihlah yang dalam Qur’an Suci lebih ditonjolkan daripada dalam Kitab Suci yang lain. Bukan saja setiap Surat diawali dengan dua sifat Rahman dan Rahim, yang ini menujukkan bahwa cinta kasih Allah itu amat menonjol, melainkan Qur’an melangkah lebih jauh lagi, dengan memberi tekanan berat kepada maha-luasnya rahmat (kemurahan) Allah yang tak terhingga. Berikut ini beberapa contoh yang disebutkan dalam Qur’an Suci: “Ia telah menetapkan rahmat atas diri-Nya” (6:12; 6:54). “Tuhan kamu adalah Tuhannya rahmat yang maha-luas” (6:164). “Dan kasih sayang-Ku meliputi segala sesuatu” (7:156). “Kecuali orang yang Tuhan dikau berbelas kasih kepadanya; dan karena itulah Dia menciptakan mereka” (11:119). “Wahai hamba-hambaku yang berbuat melebihi batas terhadap jiwanya, janganlah berputus asa akan kemurahan Allah; sesungguhnya Allah itu mengampuni semua dosa” (39:53). “Tuhan kami! Engkau telah merangkum segala sesuatu dalam rahmat dan ilmu” (40:7). Rahmat Allah begitu besar, hingga itu merangkum kaum mukmin dan kaum kafir, sebagaimana diuraikan dalam ayat tersebut. Malahan para musuh Nabi Suci juga dikaruniai rahmat Allah. Qur’an berfirman: “Dan apabila Kami icipkan rahmat kepada manusia setelah mereka ditimpa kemalangan, tiba-tiba mereka membuat rencana untuk menentang ayat-ayat Kami” (10:21). Berulangkali Qur’an Suci menerangkan bahwa jika kaum musyrik ditimpa kema-langan, mere-
DHAT TUHAN
175
ka menyeru kepada Allah, lalu Allah menyingkirkan kemalangan mereka. Gambaran sifat Allah yang dilukiskan dalam Qur’an Suci dari awal hingga akhir, semuanya berupa cinta dan kasih; dan sementara sifat kasih Allah diuraikan dengan berbagai nama dan di-ulangi beratus kali, sifat Allah menimpakan siksaan – Yang menim-pakan pembalasan – hanya tercantum empat kali saja di seluruh Qur’an (3:3; 5:95; 14:47; 39:37). Memang benar bahwa hukuman terhadap kejahatan merupakan pokok persoalan yang paling ditekan-kan oleh Qur’an Suci, tetapi dalam hal ini tujuannya hanyalah untuk menanamkan pengertian bahwa kejahatan paling dibenci oleh Allah dan harus dijauhi oleh manusia; dan secara intensif Qur’an Suci bukan saja meletakkan tekanan pada pemberian ganjaran terhadap perbuatan baik, melainkan melangkah lebih maju lagi dan menytakan berulangkali bahwa kejahatan itu akan diampuni atau dijatuhi hukuman yang setimpal dengan kejahatan itu sendiri. Sebaliknya, perbuatan baik akan mendapat ganjaran lipat sepuluh, lipat seratus atau bahkan tak ada batasnya. Tetapi disamping itu hendaklah diingat, bahwa menurut Qur’an Suci, tujuan siksaan adalah untuk penyembuhan, dan sekali-kali bukan balas dendam; siksaan adalah penyembuhan terhadap penyakit yang ditimbulkan oleh manusia sendiri. Jadi dalam hal ini, sifat cinta kasihlah yang menonjol, karena tujuan siksaan adalah untuk menyembuhkan penyakit agar manusia dapat berjalan menuju ke arah kemajuan rohani. Salah satu nama Allah yang oleh para ulama akhir-akhir ini dimasukkan dalam asma’ul-husna sembilanpuluh sembilan, sekalipun itu tak disebutkan dalam Qur’an Suci, ialah adl-Dlarr, atau yang menyebabkan kemalangan; akan tetapi kemalangan ini hanyalah dalam arti terbatas, yakni hukuman suatu kejahatan dengan tujuan untuk penyembuhan. Qur’an berfirman: “Dan Kami timpakan kepada mereka kemalangan dan kesengsaraan agar mereka rendah hati” (6:42; 7:94). Sifat-sifat Allah sebagai cita-cita luhur yang harus dicapai Sebagaimana iman kepada Allah Yang Maha-esa merupakan sumber peningkatan rohani mereka, dengan membuat mereka sadar
176
ISLAMOLOGI
akan tingginya martabat manusia, dan mengilhami mereka dengan cita-cita luhur, berupa penaklukkan alam dan persamaan derajat antara sesama manusia, maka dari itu, sifat-sifat Allah yang di-wahyukan dalam Qur’an Suci, itu sebenarnya dimaksud untuk menyempurnakan karakter manusia. Sebenarnya sifat-sifat Allah itu untuk digunakan sebagai cita-cita luhur yang harus dicapai manusia. Allah adalah Rabbul-’alamin, yang mengasuh dan memelihara sarwa sekalian alam; jika sifat Allah ini digunakan sebagai cita-cita, maka orang harus bekerja keras untuk melayani sesama manusia sebagai tujuan hidupnya, bahkan melayani makhluk yang tak dapat bicara sekalipun. Allah adalah Rahman, Yang memberi segala kebutuhan manusia dan mempertontonkan kasih-sayang-Nya, sekalipun manusia tak berbuat sesuatu yang pantas untuk mendapatkan kasih sayang itu; manusia yang ingin mencapai kesempurnaan harus berbuat baik kepada sesama manusia tanpa mengharap balasan atau keuntungan apa pun dari mereka. Allah adalah Rahim, Yang membalas setiap perbuatan baik berlipat-lipat; demikian pula orang harus membalas setiap kebaikan yang ia terima dari orang lain. Allah adalah Malik, Yang menghukum perbuatan jahat bukan karena balas dendam atau untuk melaksanakan keadilan yang tegar, melainkan hukuman yang dihayati dengan pengampunan bagaikan seorang majikan yang memaafkan kesalahan pelayannya; maka dari itu jika orang ingin mencapai kesempurnaan, ia harus banyak memberi maaf kepada orang lain. Apa yang kami uraikan di atas adalah empat sifat utama Allah, dan orang dapat melihat dengan mudah bagaimana sifat-sifat itu digunakan sebagai cita-cita manusia. Demikian pula halnya sifat-sifat Allah yang lain. Ambillah misalnya sifat Allah yang berhubungan dengan cinta dan kasih, Allah adalah Kasih sayang (al-Ra’uf), Cinta kasih (al-Wadud), Lembut hati (al-Latiif). Berulangkali kasih sayangNya (al-Tawwab), Yang Maha-penyantun (al-Halim), Yang Mahamengampuni (al-’Afuwwu), Yang menggandakan ganjaran (alSyakur), Yang menciptakan perdamaian (al-Salam). Yang menganugerahkan keamanan (al-Mu’min), Yang Dermawan (al-Barru), Yang meninggikan derajat (Rafi’ud-darojat), Yang melimpah-limpah pemberian-Nya (al-Wasi’), Yang memberi rezeki (al-Razzaq) dan
DHAT TUHAN
177
sebagainya, manusia juga harus berusaha seperti itu. Selanjutnya, ambillah misalnya sifat Allah yang berhubungan dengan ilmu. Allah adalah Yang Maha-tahu (al-’Alim), Yang Maha-bijaksana (al-Hakim), Yang Maha-waspada (al-Khobir), Yang maha-melihat (al-Bashir), Yang Maha-mengawasi (al-Haqib), Yang Maha-tahu akan segala sesuatu yang tersembunyi (al-Bathin), manusia juga harus berusaha untuk menyempurnakan ilmunya dan mendapat hikmah. Sebenarnya, di mana manusia dikatakan sebagai khalifah Allah (2:30), maka ciri utama yang membuat mereka terkemuka sebagai orang yang dapat memerintah sekalian makhluk ialah, pengetahuan mereka akan segala sesuatu (2:31). Adapun mengenai hikmah, ini diuraikan dalam Qur’an Suci bahwa Nabi Muhammad saw itu dibangkitkan untuk mengajarkan Kitab dan Hikmah (2:151; 3:163; 62:2). Selanjutnya, ambillah misalnya sifat Allah yang berhubungan dengan kekuatan, kebesaran, dan penguasaan atas segala sesuatu, sampai-sampai malaikat pun disuruh bersujud kepada manusia; ini menunjukkan bahwa manusia ditakdirkan supaya menguasai sekalian makhluk hingga malaikat. Malahan dalam Qur’an Suci diterangkan berulangkali, bahwa apa saja yang ada di langit maupun di bumi, semuanya dibuat untuk melayani manusia. Memang benar, bahwa kecintaan manusia, kasih-sayangnya, ilmunya, kebijaksanaannya dan kekuasaannya atas segala sesuatu bukan apa-apa jika dibandingkan dengan Allah, akan tetapi betapapun tak sempurnanya segala sesuatu yang dicapai manusia, kenyataan menunjukkan bahwa manusia mencita-citakan akhlak Tuhan sebagai tujuan hidupnya, yang ini manusia harus berusaha untuk mencontohnya. _______________