BAB II TOKEN EKONOMI SEBAGAI TEKNIK DALAM MENINGKATKAN PERHATIAN PADA ANAK HIPERAKTIF
A. Modifikasi Perilaku 1. Konsep Dasar Modifikasi Perilaku Kegiatan modifikasi perilaku secara umum mendasarkan kegiatannya pada pemikiran psikologi behaviorisme. Psikologi behaviorisme memandang bahwa perilaku manusia dipengaruhi oleh lingkungannya dan dapat diubah dengan memberikan stimulus, prinsip inilah yang kemudian menjadi dasar kerja modifikasi perilaku. Modifikasi secara umum dapat diartikan sebagai hampir segala tindakan yang bertujuan mengubah perilaku. Menurut (Bootzin,1975 dalam Hadi, 2005) “Modifikasi perilaku adalah usaha untuk menerapkan prinsip-prinsip proses belajar maupun prinsipprinsip psikologis hasil eksperimen lain pada perilaku manusia”. Dalam perkembangannya, modifikasi perilaku mempengaruhi praktik-praktik perlakuan terhadap perilaku pada psikologi yang lain. Sebagai konsekuensinya modifikasi perilaku tidak lagi begitu ketat, tidak memperlakukan manusia seperti binatang eksperimen tetapi perlakuannya lebih manusiawi. Perbedaan khas modifikasi perilaku adalah bahwa dalam modifikasi perilaku campur tangan terapis bersifat rasional dan prediktif, perilaku yang akan diubah dideskripsikan secara jelas. Sehubungan dengan kegiatan modifikasi perilaku ada istilah lain
yaitu Applied
Behavior Analisis (ABA). Untuk memahami modifikasi perilaku harus dipahami terlebih dahulu mengenai konsep perilaku atau behavior, dalam istilah sehari-hari ada beberapa istilah yang artinya hampir sama dengan perilaku yaitu aktivitas, aksi, kinerja, reaksi dan respon. Secara umum
behavior menurut (Sunanto, 2005) didefinisikan sebagai “suatu yang dikatakan dan dilakukan oleh seseorang”, selain itu dikatakan juga oleh (Martin and Pear, 1999 dalam Sunanto, 2005) bahwa: “perilaku seseorang yang dilihat berdasarkan bisa dan tidaknya perilaku seseorang diamati dapat dibedakan menjadi dua, yaitu perilaku overt (bisa diamati secara langsung) dan perilaku covert (tidak biasa diamati secara langsung)”. Senada dengan hal tersebut Sunanto (2005:7) mengatakan ada beberapa karakteritik modifikasi perilaku yang perlu diperhatikan, yaitu: 1. Perilaku yang akan dimodifikasi atau diterapi selalu didefinisikan dalam bentuk perilaku (behavioral objectitive) yang teramati dan terukur. Ukuran perilaku dijadikan indikator untuk menentukan tolak ukur tercapai atau tidaknya tujuan intervensinya. 2. Prosedur dan teknik intervensi yang dipilih selalu diarahkan untuk mengubah lingkungan seseorang dalam rangka membantu subjek agar dapat berperilaku dalam berpartisipasi pada masyarakat 3. Rasional metode yang digunakan dapat dijelaskan secara logis dan dapat dipahami oleh orang lain. 4. Sedapat mungkin teknik modifikasi perilaku yang digunakan dapat diterapkan pada lingkungan kehidupan sehari-hari dan dapat digunakan oleh banyak orang seperti orang tua, guru, perawat dan profesi lain yang terkait dengan pendidikan. 5. Teknik dan prosedur yang digunakan dalam modifikasi perilaku selalu berdasarkan pada prinsip psikologi belajar secara umum dan mengacu pada prinsip responden conditioning operant conditioning 6. Modifikasi perilaku dilakukan berdasarkan pengetahuan ilmiah Modifikasi perilaku telah memberikan pengaruh yang besar kepada lapangan pendidikan khususnya yang menangani anak-anak yang memiliki masalah-masalah belajar dan tingkah laku. Manusia pada dasarnya dibentuk dan ditentukan oleh lingkungan sosial budayanya. Modifikasi perilaku menerapkan prinsip-perinsip belajar untuk mengadakan perubahan, sebagaimana diungkapkan oleh (Sutarlinah Soekardi, 1983 dalam Hadi 2005:13) bahwa: Perubahan-perubahan tersebut adalah (1) Peningkatan perilaku yang dapat dilihat dari sisi frekuensi, intensitas, dan lamanya perilaku dijalankan oleh seseorang. Peningkatan perilaku dapat dilakukan dengan reinforcement, reward baik secara materil maupun non materil yang diberikan setelah perilaku yang diharapkan muncul. (2) Pemeliharaan perilaku berkaitan dengan perilaku yang diharapkan telah terbentuk, yang bertujuan agar perilaku yang sudah terbentuk tidak hilang atau berkurang baik frekuensinya maupun intensitas dan lamanya. (3) Pengurangan atau penghilangan perilaku dilakukan dengan prosedur penghapusan (extinction) dan pemberian berbagai bentuk hukuman (punishment). (4) Perkembangan atau perluasan perilaku bertujuan
agar variasi perilaku yang berhasil dikukuhkan bertambah luas penggunaan dan ragamnya, dengan cara pembentukan atau (shaping) dan perangkaian (chaining). Sebagian besar perilaku manusia merupakan hasil belajar sebagaimana dikatakan oleh (Hadi, 2005:17) bahwa: Ada tiga prinsip dasar perilaku yaitu (1) perilaku yang prinsip dasar pembentukannya melalui kondisioning respon, (2) perilaku yang prinsip dasar pembentukannya melalui kondisioning operan, dan (3) perilaku yang pembentukannya melalui modelling. Kondisioning respon dikembangkan oleh Pavlov yang dikenal dengan classical conditioning sebagaimana dikatakan oleh Kadzin,1984 dan Davidoff, 1987 (dalam Hadi, 2005) bahwa: “Perilaku yang pembentukannya melalui kondisioning respon menekankan pemasangan antara perilaku yang dibentuk
dengan perilaku alami diikuti dengan
konsekuensinya”. Kondisioning operan dikembangkan oleh penemunya Burrhus Frederic Skinner, sebagaimana diungkapkan oleh Skinner (dalam Hadi, 2005) membedakan antara perilaku responden dan tingkah laku operan, tingkah laku responden yaitu tingkah laku yang ditimbulkan oleh stimulus yang jelas, sedangkan tingkah laku operan adalah tingkah laku yang ditimbulkan oleh stimulus yang belum diketahui dan belum tentu ditimbulkan oleh stimulus dari luar yang semata-mata ditimbulkan oleh organisme itu sendiri. Dalam kondisioning operan ini sangat bergantung pada kualitas penguat yang dimunculkan atau diberikan manakala perilaku yang diharapkan telah muncul. Pembentukan perilaku melalui modelling merupakan perbaikan dari pembentukan perilaku melalui kondisioning respon dan kondisioning operan, dalam modelling perilaku tidak sekedar akibat dari stimulus atau penguat melainkan adanya proses mental internal dalam diri individu. Menurut Bandura (dalam Hadi, 2005:31) menyebutkan bahwa ada empat fase dalam membentuk perilaku melalui modelling, yaitu: (1) Fase perhatian pada umumnya individu akan memberikan perhatian pada hal-hal yang menarik sehingga menimbulkan minat. (2) fase retensi, fase ini memberi kesempatan kepada individu terhadap respon model untuk menyimpan aktif apa yang diperoleh dalam memorinya, sehingga peran kata-kata, nama-nama atau bayangan yang kuat yang dikaitkan dengan kegiatan-kegiatan yang dimodelkan sangat penting peranannya dan mempelajari dan mengingat sesuatu. (3) fase reproduksi, dalam fase
ini bayangan atau kode-kode simbolik verbal dalam memori membimbing penampilan yang sebenarnya dari perilaku yang baru diperoleh. (4) fase motivasi pada fase ini individu meniru perilaku model karena ia merasa dengan meniru perilaku tersebut dirinya akan meningkat dan kemungkinan memperoleh penguatan. 2. Peningkatan dan Pengukuhan Perilaku Perilaku yang telah terbentuk kadangkala dapat hilang baik dalam waktu yang pendek maupun yang
lama. Pemeliharaan perilaku dapat dilakukan dengan berbagai cara,
diantaranya dengan melakukan penguatan baik secara materi maupun non materi. Pengukuhan atau penguatan yang positif diartikan oleh (Martin dan Pear 1992, dalam Hadi, 2005) “adalah suatu peristiwa yang dihadirkan dengan segera yang mengikuti perilaku yang menyebabkan
perilaku
tersebut
meningkat
frekuensinya”.
Selain
itu
(Soetarlinah
Sukadji,1983 dalam Hadi, 2005) menyatakan bahwa “bila suatu stimulus dihadirkan sebagai konsekuensi dari suatu perilaku, dan bila karenanya muncul perilaku tersebut meningkat atau terpelihara maka peristiwa tersebut disebut pengukuhan positif”. Sehingga dari kedua pendapat tersebut, (Hadi, 2005) menarik kesimpulan bahwa: “pengukuhan positif adalah sesuatu dapat berupa benda atau peristiwa yang dihadirkan dengan segera sebagai akibat dari suatu perilaku dan dengannya perilaku tersebut meninggikan frekuensi kemunculannya”. Peristiwa pengukuhan positif dan pengukuhan negatif banyak terjadi secara alamiah, tetapi dalam penerapan modifikasi perilaku pengukuhan ini tidak dibiarkan terjadi secara alamiah, tetapi diatur sedemikian rupa agar menjadi perilaku atau tindakan yang diinginkan untuk dipelihara dan ditingkatkan. Prinsip umum dalam pemberian pengukuhan adalah kesegeraan, maksudnya bila perilaku yang telah diinginkan telah muncul maka segeralah diikuti dengan pemberian pengukuhan positif. Selain itu (Martin dan Pear,1992 dalam Hadi, 2005) menyarankan prinsip-prinsip prosedur pengukuhan positif tersebut adalah “(a) menyeleksi perilaku yang akan ditingkatkan, (b) menyeleksi pengukuh, (c) menggunakan pengukuh positif”.
Dalam memilih pengukuh atau penguat ada beberapa hal yang bisa dijadikan pilihan misalnya benda yang dapat ditukarkan sebagai pengukuh misalnya: menukarkan kupon, kepingan uang, simbol-simbol dan yang lainnya
contoh kongkretnya adalah penerapan
teknik token ekonomi. B. Teknik Token Ekonomi 1. Konsep Dasar Teknik Token Ekonomi Teknik token ekonomi atau disebut juga dengan tabungan keping, merupakan salah satu bentuk aplikasi dari pendekatan behavior, yang mana pendekatan behavior sangat erat hubungannya dengan modifikasi perilaku. Token ekonomi adalah penerapan operant conditioning dengan mengganti hadiah langsung dengan sesuatu yang dapat ditukarkan kemudian. Disebut operant karena memberikan perlakuan terhadap lingkungan yaitu berupa hadiah kepada tingkah laku. Dengan adanya hadiah perilaku akan terus berulang atau muncul. Pemberian hadiah atau ganjaran bukan jawaban atas semua masalah perilaku anak. Yang akan dinyatakan di sini adalah bahwa hadiah atau ganjaran agaknya sangat berguna dalam mengatasi beberapa kesulitan akibat hiperaktivitas. Teknik token ekonomi adalah suatu cara untuk penguatan tingkah laku yang ditujukan seorang anak yang sesuai dengan target yang telah disepakati dengan menggunakan hadiah untuk penguatan yang simbolik. Dalam token ekonomi tingkah laku yang diharapkan muncul bisa diperkuat dengan sesuatu yang diinginkan oleh anak, sehingga hasil perilaku yang diharapkan oleh kita bisa ditukar dengan sesuatu yang diinginkan oleh anak. Token ekonomi merupakan salah satu contoh dari perkuatan ekstrinsik yang menjadikan seseorang melakukan sesuatu untuk diraihnya yakni bisa meningkatkan perhatiannya baik dari tingkat tenasitas maupun dari tingkat vigilitas, tujuannya adalah mengubah motivasi yang ekstrinsik menjadi motivasi yang instrinsik, dengan cara ini diharapkan bahwa perolehan tingkah laku yang diinginkan dapat menjadi ganjaran untuk memelihara tingkah laku yang baru.
Dalam hal ini yang paling terlihat jelas ialah bahwa jika hendak mengembangkan suatu jenis tingkah laku yang positif pada diri anak, maka berilah anak itu sesuatu yang menyenangkan sesudah perbuatan yang dikehendaki itu dilaksanakannya. Dorongan atau pengembangan yang positif ialah hadiah-hadiah yang diterima atau timbul sesudah tingkah laku itu muncul. Hadiah atau ganjaran ini dapat digolongkan kepada yang primer (yaitu yang berupa makanan, uang, alat-alat permainan, dan benda-benda nyata lainnya) dan yang bersifat sekunder (yaitu yang bersifat pujian dari masyarakat, perhatian dan perasaan terkenal) hadiah dapat juga digolongkan sebagai yang bersifat instrinsik (yaitu tindakan atau perbuatan anak yang memuaskan dan memenuhi tujuan dan kehendak anak). Teknik token ekonomi merupakan salah satu aplikasi dari pendekatan behavior, Pendekatan behavior adalah istilah umum yang mencakup berbagai pendekan spesifik. Modifikasi tingkah laku menekankan pada teori tingkah laku sebagai aplikasi dari teori belajar behavioristik. Tingkah laku individu pada dasarnya dikontrol oleh stimulus dan respon yang diberikan. Penguatan hubungan stimulus dengan respon merupakan proses belajar yang menyebabkan perubahan tingkah laku. 2. Prinsip-prinsip Token Ekonomi Bahwa dalam token ekonomi ada elemen pokok yang harus diperhatikan, Sebagaimana dikatakan oleh (Walker dalam Hadi, 2005:177): a. b. c. d. e. f. g.
lingkungan dapat dikontrol sasaran perilaku harus jelas tujuan dapat diukur bentuk atau jenis benda sebagai kepingan jelas kepingan sebagai hadiah sesuai dengan perilaku yang diinginkan mempunyai makna lebih sebagai pengukuh.
Sebagaimana dikatakan juga oleh (Hadi, 2005) bahwa “token ekonomi atau tabungan kepingan merupakan prosedur kombinasi untuk meningkatkan, mengajar, mengurangi dan memelihara berbagai perilaku”.
Pendekatan behavior adalah istilah umum yang mencakup berbagai pendekan spesifik. Modifikasi tingkahlaku menekankan pada teori tingkah laku sebagai aplikasi dari teori belajar behavioristik. Tingkahlaku individu pada dasarnya dikontrol oleh stimulus dan respon yang diberikan. Penguatan hubungan stimulus dengan respon merupakan proses belajar yang menyebabkan perubahan tingkah laku. Pendekatan behavioural berkembang di atas dalil-dalil sebagai berikut: 1. Semua tingkah laku adalah pengaruh lingkungan 2. Tingkah laku yang mendapat penguatan lebih banyak, memungkinkan perilaku tersebut akan sering berulang dibandingkan dengan yang tidak mendapatkan penguatan. 3. Penguatan positif, berpotensi untuk membiasakan
suatu perilaku dibandingkan
dengan penguatan negatif. 4. Penguatan hendaknya segera dilakukan setelah perilaku yang diharapkan muncul 5. Tingkah laku dapat dibentuk atau hasil dari belajar dengan memberikan penguatan tingkah laku yang dikehendaki. Sebagaimana diungkapkan oleh Maramis,1992 (dalam Hadi, 2005) mengatakan bahwa ada tiga cara untuk mengubah tingkah laku manusia yaitu: (1) Tingkah laku dapat dirubah dengan merubah peristiwa-peristiwa yang mendahului yang membangkitkan tingkah laku khusus. (2) Suatu jenis tingkah laku yang timbul dalam suatu keadaan tertentu dapat diubah atau dimodifikasi. (3) akibat dari suatu tingkah laku tertentu dapat diubah, dengan demikian perilaku tersebut dapat dimodifikasi. Aliran behaviorisme ini dikembangkan berdasarkan asumsi bahwa tingkah laku manusia dapat dibentuk, diubah dan dihilangkan. Oleh karena itu tingkah laku individu akan bergantung pada stimulus yang datang dari lingkungan. Maka dari itu kaum behavioris tidak memperdulikan aspek-aspek kesadaran, ide-ide, perasaan, ego yang merupakan konstruk yang berhubungan dengan psikologi. Dengan kata lain aliran behaviorisme berkeyakinan
bahwa tingkah laku merupakan hasil belajar. Rochyadi & Alimin, 2003 (dalam Sunardi,1995) menyatakan bahwa “tingkah laku dapat diubah dengan jalan mengubah lingkungan dimana individu itu berada”, dengan demikian proses terjadinya tingkah laku merupakan timbal balik antara individu dengan lingkungan (Skinner dalam Walgito, 2003) mengatakan: Bahwa ada dua prinsip umum yang berkaitan dengan conditioning operant, yaitu: (1) setiap respon yang diikuti oleh reward ini bekerja sebagai reinforcement stimuli akan cenderung diulangi. (2) Reward atau reinforcement stimuli akan meningkatkan kecepatan terjadinya respon, dengan kata lain dapat dikatakan bahwa reward merupakan sesuatu yang meningkatkan probabilitas timbulnya respon. Pendekatan behavior merupakan penerapan berbagai teknik dan prosedur yang ada pada berbagai teori belajar. Prinsip-prinsip belajar yang sistematis dapat diterapkan untuk mengatasi gangguan tingkahlaku yang adaptif. Melalui belajar dapat membantu manusia menyesuaikan diri dengan lingkungannya, berdasarkan teori belajar modifikasi tingkahlaku dan pendekatan behavior dilakukan terhadap masalah-masalah penyimpangan perilaku. Pendekatan behavior memusatkan pada perilaku individu saat ini menghilangkan atau meniadakan masalah-masalah tingkah laku khusus secepatnya dan berusaha memunculkan tingkah laku lainnya yang diharapkan. C. Hiperaktivitas 1. Konsep Dasar Hiperaktif Istilah hiperaktivitas berasal dari dua kata yaitu hyper dan activity. Hyper berarti banyak, di atas, tinggi. Activity berarti keadaan yang selalu bergerak, mengadakan eksplorasi serta respon terhadap rangsangan dari luar. Istilah ini digunakan untuk menggambarkan anak yang terus menerus bergerak seakan-akan tidak akan berhenti. Ada beberapa istilah yang sering ditemui untuk menggambarkan perilaku tidak mau diam, seperti hiperkinetik, overaktivity, hiperaktif, ADHD (Attantion Deficit Hyperaktivity Disorders), ADD (Attention Deficit Disorders). Hiperkinetik memiliki derajat gangguan yang lebih parah
dibandingkan dengan
hiperaktif dan lebih menekankan pada motorik yang berlebihan. Overaktivity bukan
merupakan kelainan atau masalah melainkan terjadinya aktivitas yang tinggi tersebut disebabkan oleh kelebihan energi, seperti yang diungkapkan oleh (Taylor, 2005 dalam Suharmini, 2005). Selanjutnya (Rosenberg,1992 dalam Ibrahim dan Aldy,1995:130) mengatakan bahwa “semua tingkah laku, baik yang sesuai atau pun yang menyimpang pada dasarnya diperoleh dengan dipelajari”. Menurut model behavior, bahwa masa depan individu sangat dipengaruhi oleh kejadian-kejadian lingkungan yang merupakan pengalaman baginya. Jadi menurut model behavior anak menjadi hiperaktif karena tingkah laku yang dipelajari dari lingkungan. Hal senada juga diungkapkan oleh (Hermawan, 2004) bahwa “bila ditinjau secara psikologis, hiperaktif adalah gangguan tingkah laku yang tidak normal, disebabkan fungsi neurologis dengan gejala utama tidak mampu memusatkan perhatian”. Dilanjutkan lagi bahwa gangguan hiperaktif disebabkan oleh kerusakan kecil pada system saraf pusat. Menurut (Hermawan, 2004:8) ciri-ciri anak hiperaktif adalah sebagai berikut: (1) Tidak Fokus, dengan kata lain anak tidak bisa diam dalam waktu sebentar dan mudah teralih perhatiannya pada hal lain. (2) Menentang, pada umumnya anak dengan gangguan hiperaktif memiliki sikap menentang atau tidak mau dinasehati. (3) Destruktif, atau perilaku yang merusak. (4) Tak kenal lelah, anak hiperaktif tidak menunjukkan sikap lelah, sepanjang hari dia selalu berlari-lari, melompat berguling dan sebagainya. (5) Tanpa tujuan, semua aktifitas dilakukan tanpa dilakukan dengan tujuan jelas. (6) Tidak sabar dan usil, cenderung perilakunya mengganggu orang lain. (7) Intelektual rendah, hal ini mungkin terjadi karena kurangnya perhatian anak, atau bahkan secara psikologis mentalnya sudah terganggu sehingga dia kurang mampu untuk berpikir secara jernih. Para ahli memberikan batasan mengenai hiperaktif berbeda-beda tetapi pada prinsipnya sama, batasan tersebut antara lain yang dikemukakan oleh (Frances dan Harrold, 1995 dalam Hadi, 2005) pada DSM IV membatasi hiperaktif sebagai berikut “Hiperaktifitas adalah pola perilaku seseorang yang ditunjukkan dengan ketidakmampuan untuk memperhatikan, impulsive hiperaktif yang lebih banyak”. Dari batasan tersebut maka dapat disimpulkan hiperaktivitas tersebut adalah sebagai berikut: 1. Merupakan pola perilaku yang dilakukan oleh anak 2. Menunjukkan ketidakmampuan untuk memfokuskan perhatian
3. Tidak mampu mengontrol perilakunya 4. Menunjukkan aktivitas yang berlebihan 5. Aktivitas yang dilakukan tidak tepat dan tidak pantas. Sementara itu (Sylvia Farnham-Diggory, 1994 dalam Suharmini, 2005:15) menguraikan ciri-ciri hiperaktif sebagai berikut: 1. Sangat responsip terhadap rangsang 2. Mengalami fiksasi atau kemandegan dalam perkembangan, di sini perkembangan berhenti satu tahapan, disamping itu terlihat perilaku phatologisnya. 3. Disinhibition. Aktivitas motorik terus menerus dinampakkan sebagai akibat dari hiperaktivitas 4. Dissociation. Anak hiperaktif ini tidak mampu berfikir komprehensif, model berfikirnya terpisah, tidak terintegrasi, sehingga aktivitasnya bervariasi. Sedangkan (Coleman 1976, dalam Suharmini, 2005:16) menjelaskan ciri-ciri Hiperaktif tersebut adalah: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Daya konsentrasi rendah Impulsif Koordinasi motorik rendah Toleransi terhadap motorik rendah lebih mudah terkena rangsang Emosi tidak stabil Hipersensitif Sering mencari perhatian
Diantara ciri-ciri anak hiperaktif tersebut termasuk diantaranya kurang konsentrasi atau memperhatikan, dengan demikian peneliti berusaha untuk lebih meningkatkan perhatian anak hiperaktif sehingga dapat mempercepat meminimalisir hambatan yang ada pada anak. Selain itu Indria (Laksmi Gamayanti, 2000 dalam Suharimini, 2005:16) menyatakan bahwa karakteristik hiperaktif antara lain: Kaki dan tangan tidak dapat diam (banyak bergerak di tempat duduk), sering berdiri atau berjalan pada waktu atau situasi yang menuntut untuk duduk (di dalam kelas), kelihatan gelisah, mengalami kesulitan untuk bermain dengan tenang dan santai, selalu bergerak seperti digerakan oleh mesin, sering berbicara terlalu banyak. Dalam Encyclopedia Of
Special Education, volume1 (dalam Suharmini, 2005:18)
dikemukakan ciri-ciri hiperaktif sebagai berikut:
ADDH mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: (1) aktivitasnya tinggai, (2) tidak dapat memperhatikan, (3) impulsive (merespon tanpa alasan dan pertimbangan), (4) sulit untuk disiplin, (5) tidak dapat beraktifitas sesuai dengan tuntutan sosial. Dan karakteristik yang keduannya adalah agresif, gangguan dalam koordinasi motorik, gagal akademik, hubungan dengan teman sebaya kurang baik, perilakunya kacau. Untuk memahami apakah anak sudah dapat digolongkan hiperaktif atau baru gejalanya, maka American Psychiatric Association membuat kriteria-kriteria dengan dasar gejala-gejala yang nampak. Pada tahun 1994 dikemukakan Diagnostik And Statistical Manual Of Mental Disorders IV (DSM-IV). Dapat menggunakan kriteria a atau b, dapat juga keduanya. a. Enam atau lebih terdapat gejala inattention berlangsung paling sedikit enam bulan, ketidakmampuan untuk beradaptasi, dan tingkat perkembangannya tidak konsisten. Gejala-gejala inattention tersebut adalah: (1) sering gagal untuk memperhatikan secara detail atau sering membuat kesalahan dalam pekerjaan sekolah atau aktivitas yang lain. (2) Sering kesulitan untuk memperhatikan tugas-tugas atau aktivitas permainan (3) Sering tidak mendengarkan ketika orang lain berbicara (4) Sering tidak mengikuti instruksi untuk menyelesaikan pekerjaan sekolah (5) Kesulitan untuk mengorganisasi tugas-tugas dan aktivitas-aktivitas (6) Tidak menyukai pekerjaan rumah dan sekolah (7) Sering tidak membawa peralatan sekolah seperti pensil buku dan sebagainya (8) Sering mudah beralih pada stimulus luar (9) Mudah melupakan terhadap aktivitas sehari-hari. b. Enam atau lebih terdapat gejala hiperaktif impulsif yang berlangsung paling sedikit enam bulan tidak memiliki kemampuan untuk beradaptasi dan tidak konsisten dengan tingkat perkembangan. Gejala-gejala terebut dapat dijelaskan: (1) Hiperaktif a) sering gelisah tangan dan kakinya memukul-mukul pada tempat duduk b) sering meninggalkan tempat duduk di dalam ruangan kelas atau situasi lain ketika diharapkan untuk tetep duduk c) sering berlari atau memanjat berlebihan di dalam suatu situasi sehingga perilaku itu menjadi tidak pantas d) sering kesukaran untuk bermain atau sulit untuk diam e) sering ada keinginan untuk pergi atau beraktifitas f) sering bercakap-cakap berlebihan. (2) Impulsif (a) sering menjawab pertanyaan sebelum pertanyaan selesai dibacakan (b) sering kesukaran menunggu giliran (tidak sabar) (c) sering menyela, mengganggu dan memaksakan kehendak kepada orang lain. Dengan demikian dapat dikatakan menurut DSM IV seorang anak dikatakan hiperaktif apabila terdapat 6 (enam) gejala atau lebih inattention dan 6 (enam) gejala atau lebih dari hiperaktivitas impulsive gejala-gejala ini pada anak sebelum usia 7 (tujuh) tahun,
apabila pada anak hanya terdapat enam gejala atau lebih pada ini attention saja maka anak tergolong ADD (Attention deficit disorders). Hiperaktif adalah suatu kondisi dimana anak tidak bisa diam atau mempunyai taraf aktivitas berlebihan. Meski penyebab utama kondisi tersebut belum diketahui, apakah karena ada gangguan pada masa kehamilan, pada saat kelahiran, atau karena kelahiran sebelum waktunya tetapi yang jelas pada anak hiperaktif ada kerusakan kecil pada fungsi system saraf pusatnya. Akibatnya rentang konsentrasi atau perhatian mereka sangat pendek dengan kendali rangsang yang lemah. “Hasil berbagai penelitian menunjukkan bahwa prestasi belajar dan hasil intelegensi anak hiperaktif ternyata dibawah rata-rata” (Kaufman, 1985 dalam Hadi, 2005). Diduga bahwa karakteristik hiperaktifnya telah mempengaruhi hasil dan proses belajarnya. Perilaku-perilaku yang berhubungan dengan hiperaktif ini dikemukakan oleh beberapa ahli diantaranya menurut (Coleman,1998 dalam Suharmini, 2005) mengemukakan perilaku-perilaku tersebut antara lain: sulit berkonsentrasi (trouble concentrating), waktu memperhatikan pendek (short attention spans), mengganggu (distractibility), kontrol perilaku rendah (poor impulse control), bersikap keras kepala (stubbornness), menentang otoritas (negativism), depresi, social emosinya tidak matang (social and emotional immaturity), mudah frustrasi (easily frustrated), agresif, semangat (energetic), cepat bereaksi (reactive), lupa sekitarnya hal ini yang menyebabkan masalah-masalah pribadi. Apabila perilaku-perilaku yang ada pada anak hiperaktif tersebut tidak diminimalisir maka kemungkinan besar perilaku tersebut akan selalu ada atau mungkin memerlukan waktu yang lama untuk meminimalisir perilaku yang ada tersebut. 2. Tipe-tipe Hiperaktif Sebagaimana yang diungkapkan oleh (Suharmini,2005) bahwa Pada dasarnya ada empat penggolongan anak hiperaktif, yaitu: 1) Penggolongan berdasarkan gejala-gejala perilaku Gejala-gejala ini terdapat dalam DSM IV, dan berdasarkan hal tersebut hiperaktif dapat digolongkan menjadi tiga tipe yaitu:
(a) Premodinantly Inattentive Type (tipe dengan kecenderungan kurang memperhatikan), dengan ciri-ciri: melakukan tugas dengan sesuka hatinya, kesulitan untuk mendengarkan dan memperhatikan, tugas yang dikerjakan tidak lengkap, lemah dalam mengorganisasi, kegagalan dalam melakukan permaianan, sering mengganggu, sering lupa. (b) Premodinantly Hiperaktive Impulsive Type (kecenderungan dominasi hiperaktif impulsip). Burno mengemukakan ciri-cirinya sebagai berikut: gelisah, meninggalkan tempat duduk, lari-lari berlebihan, kesulitan dalam melakukan permainan yang menuntut untuk diam, berbicara berlebihan, tidak sabaran, berkata tanpa dipikirkan terlebih dahulu, menyela pembicaraan orang lain. (c) Combined Type (tipe kombinasi), anak yang termasuk kedalam tipe ini apabila anak memiliki ciri-ciri yang ada pada kedua tipe sebelumnya. Penggolongan berdasarkan gejala perilaku maka objek penelitian termasuk pada tipe yang kedua, sebab kecenderungan anak lebih memiliki cirri-ciri yang ada pada tipe hiperaktif impulsive. 2) Penggolongan berdasarkan jenis kelainan perilaku Menurut Mardiati Busono, 1988 (dalam Suharmini, 2005) ada tiga tipe hiperaktif, yaitu: (a) Hiperaktif sensori, disebabkan karena adanya cidera pada otak. Karena kelemahan neorologis maka anak tidak sanggup menahan diri terhadap rangsangan yang datang. (b) Hiperaktif motoris, terjadi akibat adanya gangguan neorologis atau disebut juga dengan disinhibisi motoris yaitu ketidakmampuan untuk bertahan terhadap rangsangan yang menimbulkan respon motorik. Psikolog sering menyebutnya dengan reaksi katastropis yaitu reaksi keseluruhan tubuh dengan cara yang tidak dapat dikendalikan. Anak yang mengalami hiperaktif motoris ini mengalami kesulitan dalam melakukan aktivitas motorik halus. (c) Hiperaktif campuran, apabila terdapat ciri-ciri dari kedua tipe sebelumnya. Kemungkinan JD termasuk kedalam hiperaktif campuran, sebab ada ciri-ciri dari hiperaktif sensoris dan hiperaktif motoris. 3) Penggolongan berdasarkan penyebab (a) Hiperaktif yang disebabkan gangguan neurologis, ada dua tipe yaitu yang disebabkan karena kerusakan otak dan ketidakmatangan. Dari penyebab ini maka anak yang mengalami hiperaktif dan menjelang usia remaja mempunyai kesulitan dalam berkonsentrasi terhadap tugas-tugas yang memerlukan daya kognitif. (b) Hiperaktif yang disebabkan karena faktor perkembangan, termasuk di dalamnya adalah faktor genetik dan faktor biologis. (c) Hiperaktif yang disebabkan karena faktor psikogen, tipe ini disebabkan karena faktor lingkungan, misalnya pola asuh orang tua yang menyebabkan anak mengalami konflik dan tertekan.
Berdasarkan penggolongan berdasarkan penyebab, maka JD termasuk kedalam hiperaktif psikogen, karena disebabkan oleh faktor lingkungan, dalam hal ini pola asuh orang tua yang lebih dominant mempengaruhi anak. 4) Penggolongan berdasarkan berat ringannya penyimpangan perilaku. (a) Hiperaktif yang berat sering disebut juga dengan hiperkinetik, diantaranya: a) simple disturbance of activitiy and attention, yang ditandai dengan daya perhatian rendah, perilakunya kacau, dan aktivitasnya sangat tinggi, b) Hyperkinesis with depelopmental delay, yang berhubungan dengan gangguan bicara, gangguan koordinasi motorik dan gangguan dalam bidang akademik, c) hiperkinetik conduct disorders, yang berhubungan dengan gangguan perilaku yang bukan disebabkan oleh gangguan perkembangan. (b) Hiperaktif yang ringan, penyimpangan perilaku pada tipe hiperaktif ringan sedikit masih bisa mengontrol perilakunya. Penggolongan berdasarkan berat ringannya penyimpangan, maka JD termasuk kedalam hiperaktif yang ringan, sebab JD sedikit masih bisa mengontrol perilakunya, walaupun harus sering diperingatkan. 3. Penyebab Hiperaktif Ada beberapa faktor penyebab terjadinya hiperaktif, yang diungkapkan oleh (Suharmini,2005)yaitu: 1) Faktor Neurologis, banyak para ahli mengemukakan bahwa penyebab hiperaktif adalah karena faktor neurologis, dari hasi pencatatan yang dilakukan oleh (Rutter, 1997 dalam Suharmini, 2005) diperoleh data bahwa 5-10 % dari populasi ADHD disebabkan karena faktor neurology. Selain itu dikatakan juga oleh (Markam, 1989; dan Williams, 1981 dalam Suharmini, 2005:40) bahwa: Pada anak hiperaktif terjadi kerusakan otak pada daerah batang otak kiri sehingga system retikular tidak dapat bekerja dengan baik, akibatnya anak tidak mampu mengontrol kesadaran, tidak mampu menyaring beberapa stimulus, tidak mampu mengarahkan mana yang harus dilakukan selajutnya anak mengalami kesulitan dalam memusatkan, mengarahkan perilaku dan mudah mengalihkan perhatian. 2) Toxic reactionus, toxic atau keracunan juga merupakan salah satu penyebab terjadinya hiperaktif. Secara umum terjadinya keracunan bisa disebabkan dari udara yang dihirup, misalnya udara yang sudah tingkat pencemarannya tinggi seperti asap dari cerobong pabrik-pabrik, makanan yang mengandung timbal terutama makanan dalam kemasan kaleng, sehingga pada akhirnya ketika tingkat keracunannya pada
tingkatan yang parah. Terkadang makanan yang kita makan tersebut akan menyebabkan infeksi, misalnya infeksi radang otak sehingga mempengaruhi fungsi intelektual, persepsi, sensasi dan memori sehingga anak bisa mengalami perilaku agresif dan hiperaktif. 3) Kondisi prenatal, kondisi ini bisa mempengaruhi tingkah laku anak setelah lahir, mengenai penyebab prenatal ini (Taylor,1985 dalam Suharmini, 2005) menjelaskan bahwa kondisi kehamilan dan proses persalinan yang menyebabkan terjadinya perilaku hiperaktif pada anak-anak adalah: (1) Toxaemia, yaitu pada tahap akhir kehamilan ibu mengalami tekanan darah yang meningkat, kaki membengkak, dan protein terbuang melalui urine. Jika tidak mendapatkan perawatan yang baik maka besar kemungkinan anak yang dilahirkannya akan mengalami gangguan hal ini disebabkan bayi ketika dalam kandungan kurang mendapatkan gizi yang baik. (2) kebiasaan ibu hamil yang merokok dan suka minuman keras berdampak buruk terhadap bayi yang dikandungnya. (3) kerusakan otak ketika lahir, proses kelahiran dengan menggunakan alat yang kurang baik dan dilakukan oleh tenaga yang kurang terampil bisa mengakibatkan kerusakan pada otak. 4) Faktor genetik, beberapa ahli menolak bahwa genetik merupakan faktor penyebah hiperaktif. Namun demikian ada beberapa ahli yang percaya bahwa hiperaktif disebabkan oleh faktor genetik, ahli-ahli tersebut antara lain: (Lazuardi,1989 dalam Suharmini, 2005) mengemukakan bahwa penyebab hiperaktif adalah berupa variasi genetik. Sebagian ahli relatif tidak mengemukakan faktor genetik sebagai penyebab hiperaktif. 5) Variasi biologis, banyak hasil penelitian menjelaskan bahwa variasi biologis merupakan penyebab perbedaan individu pada anak-anak. Anak hiperaktif memiliki struktur biologik yang tidak sama dengan anak-anak normal. (D’ Alonzo dalam Suharmini 2005) mengatakan bahwa “faktor biologik merupakan salah satu penyebab terjadinya perilaku hiperaktif, faktor ini mempengaruhi perkembangan anak-anak hiperaktif”. 6) Faktor lingkungan, sedikit sekali teori-teori lingkungan yang menjelaskan bahwa faktor lingkungan sebagai penyebab hiperaktif. Beberapa peneliti mengatakan bahwa anak hiperaktif dengan kerusakan otak yang ringan tetapi mendapatkan kondisi lingkungan yang baik maka ada kecenderungan hiperaktifnya akan hilang, lain halnya dengan anak yang berada di lingkungan psikologik yang tidak baik maka akan memperburuk keadaan. Sebagaimana telah diutarakan di atas bahwa penyebab hiperaktif pada JD kemungkinan besar adalah faktor dari lingkungan. D. Konsep Dasar Perhatian Perhatian diartikan sebagai pemusatan tenaga psikis yang tertuju pada suatu subjek. Jadi perhatian berhubungan dengan kesadaran, penginderaan, objek, suasana, kebutuhan dan
sebagainya, agar perhatian dapat berlangsung baik paling tidak harus memenuhi tiga syarat utama sebagaimana diungkapkan oleh (Sunardi dan Baihaqi, 1997) yaitu: (1) Semua rangsang yang tidak termasuk objek perhatian harus disingkirkan, jiwa harus dibatasi atau kesadaran harus dipersempit (inhibisi). (2) Objek perhatian harus berhubungan dengan subjek yang melakukan perhatian (appersepsi). (3) Alat-alat harus berfungsi dengan baik. Harus ada adaptasi, yaitu penyesuaian dengan objek. Perhatian juga sering disebut dengan konsentrasi, diungkapkan juga oleh (Sunardi dan Baihaqi, 1997) bahwa perhatian dapat dibedakan menjadi bermacam-macam, yaitu: (1) Berdasarkan intensitasnya, yaitu banyak sedikitnya kesadaran yang menyertai suatu aktivitas atau pengalaman batin. Maka perhatian dibedakan menjadi perhatian intensif dan perhatian tidak intensif. (2) /berdasarkan cara munculnya, perhatian dapat dibedakan menjadi perhatian sepontan atau tidak sengaja dan perhatian sekehendak atau perhatian disengaja /reflektif. (3) Berdasarkan luasnya objek yang dikenai perhatian, dapat dibedakan mejadi perhatian terpencar (distributif) dan perhatian memusat (konsentratif). Begitu banyak rangsang yang datang sehingga kita harus memilih satu diantara rangsang yang datang. Dalam keadaan wajar perhatian hadir dalam intensitas yang cukup kuat dan terkendali, serta berlangsung dalam durasi yang lama atau sebentar tergantung pada kehendak. Dalam keadaan tidak normal, sifatnya bisa lemah dan bisa kuat, pada orang yang sifatnya lemah, disebut vigilitasya tinggi. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Baihaqi dan Sunardi bahwa “Vigilitas adalah mudah tidaknya perhatian teralihkan”. Sedangkan pada orang yang tidak sanggup memperhatikan dalam waktu yang lama disebut tenasitasnya rendah, tenasitas adalah kesanggupan untuk mengarahkan perhatian terhadap suatu masalah dalam waktu yang relatif lama. Lawan dari perhatian adalah nanar, ada beberapa jenis gangguan perhatian yang diungkapkan oleh (Sunardi dan Baihaqi, 1997) yaitu: (1) Distrakbilitas, yaitu perhatian yang mudah teralihkan pada rangsang yang tidak berarti. (2) Apresexia, adalah ketidaksanggupan untuk memperhatikan secara tekun dalam waktu yang singkat terhadap suatu situasi, dengan tidak memandang pentingnya. (3) Hipersexia, yaitu konsentrasi yang berlebihan sehingga lapangan persepsi sangat sempit.
E. Penerapan Teknik Token Ekonomi dalam Meningkatkan Perhatian Pada Anak Hiperaktif Anak hiperaktif dengan penyimpangan perilakunya tidak dapat dibiarkan saja, penyimpangan perilaku ini akan mengganggu dirinya dalam mencapai perkembangan yang optimal. Dalam menangani anak hiperaktif ada beberapa langkah yang dapat ditempuh, sesuai dengan yang diungkapkan oleh
Suharmini (2005:111) langkah-langkah tersebut
adalah “(1) identifikasi masalah, (2) assessment, (3) diagnosis, (4) perencanaan program terapi atau treatment, (5) pelaksanaan treatment”. Menurut (Kauffman 1985, dalam Ibrahin dan Aldy 1995:82) bahwa hiperaktif nampaknya tidak dapat hilang secara otomatis sebagaimana anak menjadi dewasa. Karena itu perlu diupayakan beberapa cara pencegahannya, yaitu: (1) Memberikan contoh dalam perbuatan, (2) Memberi perhatian yang cukup, (3) suasana rumah yang tentram, (4) Pendidikan agama sejak dini, (5) Membiasakan anak dengan kegiatan yang bertujuan positif, (6) membangun hubungan yang akrab dengan anak. Menurut (O’Leary dan Drabmant, 1981 dalam Herawati, 2002) program token telah sukses mengurangi tingkah laku yang kacau, menambah semangat belajar, dan mengarah pada prestasi akademik yang lebih baik dalam berbagai kelas. Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya oleh (Herawati, 2002) yaitu penerapan teknik token ekonomi pada anak agresif di SLB E Bhina Putra Surakarta, menunjukkan adanya perkembangan tingkah laku menuju perkembangan yang lebih baik, terlihat dari tingkat agresifitas anak dalam kelas selama proses belajar mengajar menurun dan terlihat dari banyaknya jumlah token yang diterima oleh anak. Selain itu ada juga penelitian yang menerapkan teknik token ekonomi pada anak Tunagrahita yang hiperaktif oleh (Bancin, 2003) dari penelitian tersebut diperoleh data bahwa dengan adanya penerapan teknik token ekonomi dapat mengurangi aktivitas perilaku anak Tunagrahita hiperaktif, yang sering keluar dari tempat duduk, dan kesimpulan dari penelitian tersebut dikatakan bahwa apabila perilaku
anak keluar dari tempat duduk berkurang maka konsentrasi anak akan meningkat. Berdasarkan pernyataan tersebut maka peneliti mencoba untuk lebih memfokuskan dalam menangani perilaku anak yang hiperaktif dengan menggunakan teknik token ekonomi, yaitu dalam upaya meningkatkan perhatian pada anak hiperaktif dengan target behavior dapat meningkatkan tenasitas dan menurunkan vigilitas. Metode token ekonomi dapat digunakan untuk membentuk tingkah laku, dalam hal ini perilaku yang diharapkan muncul bisa diperkuat dengan perkuatan-perkuatan yang bisa diraba, seperti uang yang nantinya bisa ditukar dengan objek-objek atau hak istimewa yang diinginkan anak. Sebagaimana hasil identifikasi masalah, assessment, dan diagnosis, maka prognisisnya adalah dengan menggunakan teknik token ekonomi dengan pertimbangan bahwa teknik token ekonomi merupakan salah satu pendekatan behavioristik, di mana aliran behavioristik ini berasumsi bahwa perilaku manusia dapat dibentuk dan dapat dihilangkan selain itu perilaku juga merupakan hasil dari suatu proses belajar. Setelah kita memperoleh data awal yang akan dijadikan baseline-1 maka kita akan memberikan intervensi-1, data awal ini merupakan pijakan untuk memberikan perlakuan yang sesuai dengan kondisi anak, sehingga akan menghasilkan perilaku yang diharapkan.