BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG YAYASAN
A. Pengertian Yayasan Lahirnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 yang kemudian diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan merupakan titik terang bagi lembaga Yayasan yang sudah lama tumbuh dan berkembang tanpa adanya landasan hukum formal yang mengatur di Indonesia. Sebelum keluarnya UU Yayasan yang lalu, tidak ditemukan pengertian dari Yayasan dalam peraturan khusus di Indonesia. Adapun pengertian yang di dapat adalah kutipan dari para sarjana atau ahli hukum. Van Apeldoorn mengatakan Yayasan adalah harta benda yang mempunyai tujuan yang tertentu, tetapi dengan tiada yang empunya. Adanya harta benda demikian adalah suatu kenyataan. Juga suatu kenyataan bahwa dalam pergaulan hukum ia diperlakukan seolah-olah sebagai suatu subjek hukum. 12 Scholten memberi definisi tentang pengertian Yayasan adalah suatu badan hukum yang dilahirkan oleh suatu pernyataan sepihak, dan pernyataan itu harus berisikan pemisahan suatu kekayaan untuk suatu tujuan tertentu, dengan penunjukan bagaimanakah kekayaan itu diurus dan digunakan. 13 Breigsten menyatakan Yayasan adalah suatu badan hukum yang didirikan dengan suatu perbuatan hukum, yang tidak bertujuan untuk membagikan harta 12 13
Gatot Supramono, Op.Cit, hal. 66. Ibid, hal. 65.
kekayaan dan penghasilannya kepada Pendiri ataupun penguasanya di dalam Yayasan atau kepada orang-orang lain, terkecuali sepanjang yang mengenai terakhir ini, yang demikian adalah untuk kegunaan tujuan ideal. 14 Utrecht berpendapat bahwa Yayasan ialah tiap kekayaan (vermogen) yang tidak merupakan kekayaan orang atau kekayaan badan dan yang diberi tujuan tertentu. Dalam pergaulan hukum Yayasan itu bertindak sebagai pendukung hak dan kewajiban tersendiri. 15 Achmad Ichsan mengatakan Yayasan tidaklah mempunyai anggota karena Yayasan terjadi dengan memisahkan suatu harta kekayaan berupa uang atau benda lainnya untuk maksud-maksud ideal itu, sedangkan oleh pendirinya dapat berupa Pemerintah atau orang sipil sebagai penghibah dibentuk suatu Pengurus untuk mengatur pelaksanaan ideal itu. 16 Ali Rido mengatakan Yayasan adalah suatu badan hukum yang tidak mempunyai anggota, dan didirikan oleh suatu pernyataan sepihak yang berisikan pemisahan kekayaan untuk tujuan tertentu, dengan memberikan petunjuk bagaimana kekayaan itu harus diurus dan digunakan. 17 Setelah diundangkannya UU Yayasan pada tahun 2001, disebutkan dalam Pasal 1 ayat (1) bahwa Yayasan adalah badan hukum terdiri atas kekayaan yang
14
Ibid, hal. 66. Abdul Muis, Yayasan Sebagai Wadah Kegiatan Masyarakat, (Medan : Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 1991), hal. 37. 16 Ibid. 17 Ibid, hal. 38. 15
dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan di bidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan yang tidak mempunyai anggota. Dapat dilihat dari ketentuan Pasal tersebut, tidak terdapat banyak perbedaan dengan apa yang dikemukakan beberapa pendapat para ahli hukum di atas mengenai Yayasan. Hanya saja dalam Pasal tersebut terdapat penegasan bahwa harta kekayaan yang dimaksud diperuntukkan untuk tujuan-tujuan di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan. Dari defenisi Yayasan yang terdapat dalam Pasal tersebut terdapat empat poin penting : 1. Yayasan merupakan badan hukum, yakni Yayasan secara hukum dianggap dapat melakukan tindakan-tindakan yang sah dan mempunyai akibat hukum walaupun secara nyata yang bertindak adalah organ-organ Yayasan, baik Pembina, Pengawas maupun Pengurusnya. 2. Yayasan memiliki kekayaan yang dipisahkan, yakni Yayasan mempunyai aset, yang diperoleh dari modal atau kekayaan yang telah dipisahkan pendirinya. Maka Yayasan secara hukum memiliki kekayaan sendiri yang terlepas dan mandiri. Pemisahan harta kekayaan tersebut sebenarnya bertujuan mencegah jangan sampai kekayaan awal Yayasan masih merupakan bagian dari harta pribadi atau harta bersama Pendiri. Jika tidak demikian nantinya harta tersebut dianggap masih tetap sebagai kekayaan milik Pendiri Yayasan. 3. Yayasan mempunyai tujuan tertentu yang merupakan pelaksanaan nilai-nilai, baik keagamaan, sosial, maupun kemanusiaan. Dari hal ini diketahui bahwa
Yayasan sejak awal didesain sebagai organisasi nirlaba yang tidak bersifat untuk mencapai keuntungan (profit oriented) sebagaimana badan usaha, seperti PT, CV, Firma dan lain-lain. 4. Yayasan tidak mempunyai anggota. Maksudnya, Yayasan tidak mempunyai
semacam pemegang saham sebagaimana PT atau sekutu-sekutu dalam CV atau anggota-anggota dalam badan usaha lainnya. Namun, Yayasan tentu saja digerakkan oleh organ-organ Yayasan, baik Pembina, Pengawas dan terlebih lagi peran utama pengorganisasian Yayasan berada di tangan Pengurus dengan Pelaksana Hariannya.
B. Sejarah dan Perkembangan Yayasan di Indonesia Yayasan sudah lama ada dan telah dikenal oleh manusia sejak awal sejarah. Yayasan dengan tujuan khusus pun seperti “keagamaan” dan “pendidikan” sudah sejak lama pula ada. Para Pharaoh, lebih dari seribu tahun sebelum masehi, telah memisahkan sebagian kekayaannya untuk tujuan keagamaan. Xenophon mendirikan Yayasan dengan cara menyumbangkan tanah dan bangunan untuk kuil bagi pemujaan kepada Artemis, pemberian makanan dan minuman bagi yang membutuhkan, dan hewan-hewan korban. Pada tahun 347 sebelum masehi, sebelum menjelang kematiannya Plato memberikan hasil pertanian dari tanah yang dimilikinya, untuk disumbangkan bagi akademia yang
didirikannya. Ini mungkin merupakan Yayasan yang pertama tercatat dalam sejarah. 18 Pada zaman klasik terdapat banyak Yayasan, yang walaupun ditemukan di dalam naskah dan sumber-sumber semacam “corpus iuris”, tetapi di dalam “corpus iuris” sendiri jarang disebut, sehingga di abad pertengahan kurang berpengaruh. 19 Eksistensi Yayasan di Indonesia berawal dengan diberlakukannya Staatblad 1917 Nomor 12, yang mengatur tentang ketentuan penundukan diri bagi golongan Bumiputera pada semua ketentuan Burgelijk Wetboek (BW). Jadi untuk memahami tentang dasar hukum Yayasan maka perlu kita arahkan pandangan kita pada hukum tentang Yayasan yang berlaku di Nederland. Perlu diketahui bahwa sejak tahun 1965, Nederland sudah mengubah dasar hukumnya (Burgelijk Wetboek) bahkan untuk membentuk Yayasan yang sudah terdapat ketentuan khusus dalam BW-nya yang menggantikan Wet op de Stichtingen dari tahun 1954. Sebelum tahun 1954 bisa dikatakan Nederland menghadapi keadaan yang sama seperti di Indonesia, artinya sebelum tahun 1954 tidak ada peraturan yang mengatur hukum tentang Stichting, walaupun pada tahun 1873 dan 1925 oleh Nederlandse Juristenvereniging dan tahun 1919 dalam pra advice OUD telah didesak untuk diberlakukannya peraturan tentang Stichtingen tetapi ternyata gagal juga. Dan dalam tahun 1937 diajukan lagi suatu rancangan peraturan tentang Stichting tetapi belum juga berhasil. Bahkan dalam tahun 1948 rencana peraturan
18 19
Anwar Borahima, Op.Cit, hal. 10-12. Ibid, hal. 12.
itu ditarik kembali dan diumumkan bahwa pengaturan Stichting akan bersamasama dengan BW baru. Tahun 1954 diajukan lagi rancangan baru dan setelah diadakan berbagai perubahan dalam rancangan, akhirnya pada tanggal 21 mei 1956 diberlakukan Wet op de Stichtingen Stb, Nomor: 327. 20 Masyarakat Indonesia pada masa lalu memiliki banyak permasalahan, khususnya dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar, sumber kehidupan yang cukup, atau kesempatan memperoleh pendidikan yang layak. Pada stuktur pendidikan khususnya, untuk menciptakan generasi muda yang berbobot dibutuhkan sarana pendidikan formal untuk membimbing para calon pemimpin di masa depan dengan pendidikan yang layak dan mencukupi. Sering kali manusia tidak dapat memperoleh hak-haknya yang paling asasi sekalipun. Disini timbul pertanyaan, siapa yang akan memenuhi hak-hak manusia yang paling asasi itu. Hak selalu dihubungkan dengan kewajiban. Dalam hubungan inilah Pendiri dan Pengurus Yayasan mempunyai tanggung jawab sosial dari hati nurani mereka ketika melihat manusia yang menderita. Tanggung jawab sosial ini bukan merupakan belas kasihan atau amal (charity). Manusia melakukan pekerjaan sosial bukan saja untuk kepentingan sesama, tapi juga untuk dirinya sendiri. Hal ini mengakibatkan manusia bukan lagi “homo homini lupus”, melainkan “homo homini socius”. 21
20
Rochmat Soemitro, Hukum Perseroan terbatas, Yayasan dan Wakaf, (Bandung : Eresco, 1993), hal. 159-160. 21 Chatamarrasjid Ais, Badan Hukum Yayasan, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2006), hal. 122.
Jelas disini bahwa Pendiri dan Pengurus Yayasan mempunyai tanggung jawab sosial, sekaligus tanggung jawab moral. Dari sudut pandang moral, maka tanggung jawab sosial itu merupakan suatu kewajiban. Kewajiban ini sebenarnya juga berada di pundak semua orang yang mampu. Salah satu definisi Yayasan yang lain adalah sarana atau tempat dimana golongan kaya memberikan sumbangannya bagi kepentingan umum. 22 Maksud dan tujuan sosial dari Yayasan inilah yang membuat perkembangan Yayasan di Indonesia berlangsung dengan pesat. Banyaknya ditemukan Yayasan yang didirikan di seluruh penjuru kota di Indonesia dengan segala macam aturan yang diterapkan dalam pengelolaannya, dikarenakan pada kala itu Yayasan masih didasarkan atas kebiasaan-kebiasaan yang berlangsung disekitarnya. Hal ini yang membuat aturan yang diterapkan pada suatu Yayasan tergantung pada kebiasaan di lingkungan masing-masing Yayasan. Jika kembali menelusuri sejarah Yayasan, maka terlihat bahwa sebenarnya cikal bakal Yayasan ini telah lama dikenal di Indonesia. Cikal bakal dari Yayasan adalah wakaf yang telah lama dikenal oleh orang Indonesia yang beragama Islam. Namun Yayasan ini bukan merupakan lembaga hukum asli bangsa Indonesia. Pada abad ke-17, tepatnya pada tahun 1676, sebelum masuknya agama Islam di Sulawesi Selatan belum dikenal adanya Yayasan. Namun demikian telah ada bentuk kerja sama yang dikenal dengan istilah “Gaddong” yang bersifat badan
22
Ibid.
hukum privat, sedang badan hukum publik adalah persekutuan masyarakat itu sendiri. 23 Umumnya di Indonesia Yayasan didirikan oleh beberapa orang atau dapat juga oleh seorang saja, dengan memisahkan suatu harta dari seorang atau beberapa orang pendirinya, dengan tujuan sosial yang tidak mencari keuntungan. Yayasan mempunyai Pengurus yang diwajibkan mengurus dan mengelola segala sesuatu yang bertalian dengan kelangsungan hidup Yayasan. Dan umumnya Pendiri merupakan donatur, sekaligus sebagai Pengurus, sehingga betul bertanggung jawab atas kelangsungan Yayasan. Ketiadaan ketentuan yang mengatur secara khusus terhadap Yayasan tersebut, bukan berarti selama ini di Indonesia tidak ada sama sekali upaya untuk membuat peraturan tentang Yayasan. Sejak masa pemerintahan Soeharto telah diajukan suatu Rancangan Undang-Undang disebut Rancangan Undang-Undang tentang Yayasan. Kemudian pada masa pemerintahan B.J. Habibie telah diajukan pula rancangan tersebut dengan nama Rancangan Undang-Undang tentang Yayasan dan Perkumpulan, dan yang terakhir pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid telah diajukan lagi Rancangan Undang-Undang yang diberi nama Rancangan Undang-Undang tentang Yayasan. Ketiga Rancangan UndangUndang tersebut hingga pertengahan tahun 2001, belum disahkan menjadi Undang-Undang. 24
23 24
Anwar Borahima, Op.Cit, hal. 15. Ibid, hal. 14.
C. Latar Belakang Lahirnya Undang-Undang Tentang Yayasan Pada hakikatnya manusia ialah makhluk individu yang selalu ingin dihormati dan didahulukan kepentingannya, beserta makhluk sosial atau makhluk yang bermasyarakat (homo socius) yang selalu berkeinginan untuk bersosialisasi dengan sesamanya dan lingkungannya. Manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat hidup sendiri dan akan selalu membutuhkan manusia lain meskipun ia mempunyai kedudukan maupun kekayaan yang mencukupi. Adanya kesadaran manusia sebagai makhluk sosial menciptakan rasa tanggung jawab manusia tersebut untuk mengayomi individu lain yang lebih lemah. Selain itu manusia juga tidak terlepas dari berbagai macam kebutuhan, salah satunya ialah kebutuhan akan kerohanian dan kebutuhan sosial. Keberadaan Yayasan merupakan suatu kebutuhan bagi masyarakat yang menginginkan adanya suatu wadah atau lembaga yang bersifat sosial, keagamaan dan kemanusiaan. Adanya suatu lembaga yang telah diakui keberadaannya dalam lalu lintas hukum di Indonesia ini merupakan suatu bentuk penyaluran kebutuhan rohani dan sosial manusia maupun rasa tanggung jawab manusia sebagai makhluk dalam mengarahkan kehidupannya untuk senantiasa berbuat kebaikan, guna membantu dan meningkatkan kehidupan sosial bagi sesamanya. Sejak zaman dahulu Yayasan ditandai dengan kegiatannya yang bersifat sosial khususnya di bidang keagamaan, pendidikan dan kesehatan. Tradisi sifat sosial Yayasan ini diteruskan sampai sekarang dan masih melekat kuat dan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan Yayasan.
Yayasan selama ini lebih dipahami sebagai suatu organisasi sosial nirlaba atau tidak mencari keuntungan dalam kegiatannya. Bila seseorang atau beberapa orang akan melakukan kegiatan yang penuh idealisme serta bertujuan sosial dan kemanusiaan, biasanya bentuk organisasi yang dipilih adalah Yayasan. Kegiatan sosial yang dipilih terutama menyangkut bidang kesehatan, pendidikan dan pantipanti sosial. Wadah Yayasan dipergunakan oleh para pendirinya untuk melakukan berbagai kegiatan sosial untuk kepentingan umum. Akan tetapi yang terjadi dalam lapangan, kegiatan Yayasan dewasa ini sudah berubah menjadi fungsi komersial dibandingkan fungsi sosial. Kegiatan yang pada awalnya mengutamakan pelayanan masyarakat, kini berubah menjadi kegiatan yang berbasis laba. Namun demikian bentuk kegiatan usaha dalam bentuk Yayasan, hingga saat ini masih juga dipergunakan, meskipun dari sisi praktis kegiatan yang dinaungi Yayasan tersebut telah bergeser dari kegiatan sosial menjadi kegiatan yang mencari keuntungan. Bahkan tidak hanya sampai disitu, banyak sekali Yayasan yang keberadaannya didirikan oleh kewenangan kekuasaan atau pengaruh tertentu dari suatu instansi, jabatan atau wibawa tertentu, guna menembus hambatan birokrasi. Dalam kehidupan akan selalu terjadi perubahan-perubahan, baik perubahan itu menuju pada kemajuan dan tidak mengurangi kemungkinan pada sebuah kemunduran pula. Masyarakat Indonesia khususnya mengalami perubahan yang terjadi secara cepat dari waktu ke waktu dalam berbagai aktivitas. Interaksi sosial antara anggota masyarakat telah menimbulkan hubungan hukum. Dalam
konteks inilah eksistensi hukum sangat diperlukan untuk mengatur hubunganhubungan hukum yang tercipta dalam masyarakat. Selama ini sebelum adanya peraturan formal tentang Yayasan, pendirian Yayasan di Indonesia hanya berdasarkan atas kebiasaan dalam masyarakat dan Yurisprudensi Mahkamah Agung. Hal ini dikarenakan memang belum adanya peraturan hukum tertulis yang mengatur Yayasan, bahkan KUHPerdata dan KUHDagang buatan Belanda juga tidak mengatur hal mengenai Yayasan ini. Munculnya putusan-putusan Pengadilan yang menjadi Yurisprudensi kala itu hanya sebagai pengisi kekosongan hukum dan masih belum dapat memberikan kepastian hukum bagi Yayasan. Hal ini terlihat dari semakin banyaknya penyimpangan tujuan ideal Yayasan, dimana Yayasan masih dikelola dengan manajemen yang tertutup. Tidak ada kewajiban bagi Yayasan untuk membuat pelaporan keuangan secara terbuka untuk dapat diakses oleh masyarakat. Bahkan, kondisi yang juga sangat lumrah terjadi adalah tidak diatur pula bagaimana cara Yayasan mendapatkan dananya, tidak diatur pula apakah organ Yayasan atau Pengurus dapat menerima uang Yayasan untuk dibagikan bersama bagi mereka. 25 Hal ini menimbulkan kecenderungan terjadinya sengketa pihak internal yakni antara Pendiri dengan Pengurusnya semakin kuat karena tidak adanya kepastian yang diberikan sehingga masih terdapat banyak Yayasan yang tumbuh dan didirikan dengan berbagai macam penyimpangan.
25
19.
Adib Bahari, Prosedur Pendirian Yayasan, (Yogyakarta : Pustaka Yustisia, 2010), hal.
Sekalipun hukum positif kita belum mengatur, telah dimungkinkan Yayasan mempunyai hak-hak atas tanah. Hanya saja nampaknya dalam praktik perbankan, selama itu masih belum bisa menerima Yayasan sebagai badan hukum. Hal ini antara lain dengan sulitnya untuk Yayasan dapat membuka rekening di bank, hingga dalam praktik terpaksa rekening Yayasan dibuka dengan rekening atas nama pribadi Pengurus. 26 Pemikiran bahwa Indonesia memerlukan suatu Undang-Undang tentang Yayasan telah berlangsung cukup lama. Pada umumnya pemikiran itu bertolak dari kenyataan bahwa dalam ketidakadaan Undang-Undang, Yayasan telah berkembang pesat dan telah terjadi pula penyimpangan dari tujuan yang seharusnya dimiliki oleh suatu Yayasan. 27 Menurut Hamid Attamimi “Mengenai Rancangan Undang-Undang Yayasan masih dipertanyakan bagaimana dengan lembaga yang tujuan dan sifat kegiatannya seperti Yayasan, tetapi tidak bernama atau tidak berbentuk Yayasan. Apakah harus dibuat Rancangan Undang-Undang tersendiri untuk Organisasi yang memakai nama Perkumpulan, Paguyuban atau yang yang lain-lain sejenis itu. Atau bahkan yang tidak memakai nama Yayasan, Perkumpulan dan sebagainya seperti Palang Merah Indonesia (PMI). Saran yang diajukan Sekretariat Negara kepada Menteri Kehakiman adalah menyusun suatu Rancangan Undang-Undang yang dapat menjawab semua permasalahan tersebut sekaligus. Konkretnya, 26
Rudhi Prasetya, Yayasan dalam teori dan praktik, (Jakarta : Sinar Grafika, 2014), hal.
27
Chatamarrasjid Ais, Op.Cit, hal. 169.
4.
membuat Rancangan Undang-Undang yang mengatur semacam nonprofit organization.” 28 Pandangan tersebut kemudian antara lain melahirkan Rancangan UndangUndang Yayasan dan Perkumpulan. Dan pandangan tersebut tidak sepenuhnya dapat diterima karena di samping tidak mempertimbangkan prioritas suatu Undang-Undang, di banyak negara Undang-Undang yang mengatur Yayasan, Perkumpulan dan Organisasi Tanpa Tujuan Laba (OTTL) diatur dalam UndangUndang yang berbeda. Tampaknya kepentingan politis lebih mendominasi alasan belum dibahasnya Rancangan Undang-Undang Yayasan pada waktu itu. 29 Setelah melalui pergantian Pemerintahan, barulah Rancangan UndangUndang Yayasan dibicarakan di DPR, disetujui untuk disahkan menjadi UndangUndang pada tanggal 11 Juli 2001 dan diundangkan pada tanggal 6 Agustus 2001 sebagai Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan. 30 Diundangkannya Undang-Undang Republik Indonesia tentang Yayasan dengan Nomor 16 Tahun 2001, diharapkan usaha untuk mencapai kepastian hukum dan ketertiban hukum tentang Yayasan di Indonesia dapat diwujudkan. Adanya hukum positif dalam aturan-aturan tertulis yang secara jelas dan lengkap berarti memberikan landasan yuridis yang pasti tentang Yayasan, serta mengembalikan fungsi Yayasan sebagai badan hukum yang mempunyai maksud 28
Hamid Attamini, Setneg Tidak Hambat Rancangan Undang-Undang, dalam Harian Suara Pembaruan, 10 Maret 1992, hal. XVI, sebagaimana dikutip oleh Chatamarrasjid Ais, Ibid, hal. 170. 29 Ibid. 30 Ibid.
dan tujuan pendiriannya yang bersifat sosial, keagamaan dan kemanusiaan dan menambah nilai akan keberadaan dan status hukum Yayasan mengenai kewajiban-kewajiban (liabilities), kedudukan dan tugas yang jelas dari para Pendiri, Pembina, Pengawas dan Pengurus, serta memberikan perlindungan hukum bagi aset-asetnya. 31 Akan tetapi setelah dua tahun sejak diundangkannya Undang-Undang Yayasan No. 16 Tahun 2001, UU Yayasan ini dirubah kembali dengan alasan yang terdapat dalam konsideran Undang-Undang No.28 Tahun 2004 tentang Yayasan sebagai revisinya, yakni karena Undang-Undang No. 16 Tahun 2001 dalam
perkembangannya
belum
menampung
seluruh
kebutuhan
dan
perkembangan hukum dalam masyarakat, serta terdapat beberapa substansi yang dapat menimbulkan berbagai penafsiran. Perubahan yang dilakukan tidak secara menyeluruh, hanya beberapa pasal saja yang diubah, dan kedua Peraturan Perundangan ini saling berkaitan. Lahirnya UU Yayasan tersebut dipandang tergolong lama, jika hal itu diukur sejak negara kita merdeka. Kelahirannya seolah-olah menunggu setelah adanya reformasi atau baru terpikirkan ketika negara memasuki era reformasi. Selain itu juga dikarenakan kemungkinan selama ini persoalan Yayasan yang ada dipandang tidak begitu merugikan masyarakat pada umumnya. Persoalan Yayasan lebih banyak menyangkut masalah intern. 32
31
Arie Kusumastuti dan Maria Suhardiadi, Hukum Yayasan di Indonesia, (Jakarta : Perpustakaan Nasional, 2002), hal. 9. 32 Gatot Supramono, Op.Cit, hal. 8.
D. Perangkat / Organ Yayasan UU Yayasan yang lahir menyebabkan terjadinya perubahan terhadap perangkat/organ suatu Yayasan, dimana menjadi terbagi dalam tiga perangkat yang meliputi Pembina, Pengawas dan Pengurus. Ketiga perangkat tersebut bertanggung jawab penuh atas kelangsungan hidup suatu Yayasan dalam menjadi tujuan Yayasan.
1. Pembina Dalam Pasal 28 UU Yayasan disebutkan Pembina adalah organ Yayasan yang mempunyai kewenangan yang tidak diserahkan kepada Pengurus atau Pengawas oleh Undang-Undang atau Anggaran Dasar. Dalam hal ini Pembina adalah merupakan organ Yayasan yang mempunyai kewenangan dalam membuat keputusan mengenai segala hal yang menyangkut Yayasan, yang tidak dapat diserahkan pada organ lain oleh UU Yayasan ataupun Anggaran Dasar Yayasan. Pembina juga merupakan organ tertinggi dalam Yayasan jika dibandingkan dengan organ lain seperti Pengurus ataupun Pengawas. Adapun kewenangan yang dimaksud di atas yakni meliputi : a. Keputusan mengenai perubahan Anggaran Dasar. b. Pengangkatan dan pemberhentian anggota Pengurus dan anggota Pengawas. c. Penetapan kebijakan umum Yayasan berdasarkan Anggaran Dasar Yayasan. d. Pengesahan program kerja dan rancangan Anggaran Tahunan Yayasan. e. Penetapan keputusan mengenai penggabungan atau pembubaran Yayasan. Selain memiliki wewenang seperti di atas, Pembina juga mempunyai kewajiban lain seperti melakukan evaluasi tentang kekayaan, hak dan kewajiban Yayasan selama satu tahun buku dimana evaluasi tersebut dilakukan dalam rapat
tahunan yang diadakan paling kurang sekali setahun, dan kewajiban lainnya untuk menunjuk likuidator jika Yayasan bubar. Pengangkatan anggota Pembina dilakukan berdasarkan dengan rapat anggota Pembina. Pengangkatan Pembina juga tidak selalu didasarkan pada siapa Pendirinya, dalam artian tidak selamanya seorang Pembina adalah Pendiri Yayasan. Adapun kualifikasi yang dapat dijadikan Pembina yakni orang perseorangan sebagai Pendiri Yayasan (dikarenakan pendirilah yang merancang tujuan maupun maksud pendirian Yayasan), atau seseorang yang berdedikasi tinggi untuk mencapai maksud dan tujuan Yayasan, dan yang bukan seorang Pengurus atau Pengawas (agar tidak terjadi tumpang tindih dalam menjalankan kewenangan dan tugas). Diciptakannya organ Pembina, sebagai pengganti Pendiri disebabkan dalam kenyataannya, Pendiri Yayasan pada suatu saat dapat tidak ada sama sekali, yang diakibatkan karena Pendiri meninggal dunia ataupun mengundurkan diri. Keadaaan dimana tidak ada seorang pun Pendiri atau Pendiri hanya tinggal satu orang memberikan kesempatan pada Pendiri yang masih ada untuk memanipulasi Yayasan untuk kepentingan diri sendiri. Hal yang sama juga dapat dilakukan Pengurus dalam hal ketiadaan Pendiri. Adapun organ Pembina ini merupakan suatu hal yang baik untuk menghindarkan hal-hal yang mengakibatkan Yayasan beralih dari tujuannya. Dalam hal terjadinya kekosongan Pembina, apakah dikarenakan meninggal dunia atau pengunduran diri, dan tidak adanya anggota Pembina lain yang dapat mengisi kekosongan tersebut, sesuai dengan yang tercantum dalam Pasal 28 ayat (4) UU Yayasan, paling lambat 30 hari terhitung sejak tanggal kekosongan itu, anggota Pengurus dan anggota Pengawas wajib mengadakan rapat gabungan untuk mengangkat anggota Pembina. Adapun pengangkatan anggota Pembina tersebut dengan memerhatikan Pasal 28 ayat (3), yakni anggota Pembina yang diangkat dinilai memiliki dedikasi yang tinggi untuk mencapai maksud dan tujuan Yayasan.
2. Pengurus
Pengurus adalah organ Yayasan yang melaksanakan kepengurusan Yayasan. Orang yang dapat diangkat menjadi Pengurus adalah orang perseorangan yang mampu melakukan perbuatan hukum, dan Pengurus tidak boleh merangkap sebagai Pembina atau Pengawas. Struktur kepengurusan sebagaimana ditentukan dalam UU Yayasan, terdapat susunan Pengurus sekurang-kurangnya terdiri dari 3 (tiga) bagian yaitu seorang Ketua, seorang Sekretaris dan seorang Bendahara. Ketentuan minimal tersebut dapat dipahami apabila sebuah Yayasan tergolong dalam Yayasan yang kecil, sehingga dengan tiga personel Yayasan dianggap cukup untuk mengelola Yayasan. Namun apabila sebuah Yayasan tergolong maju dan banyak kegiatannya, kemungkinan tidak cukup Pengurusnya hanya berjumlah tiga orang, maka susunan kepengurusan juga perlu dikembangkan. Jika Ketua Yayasan tugasnya banyak dan kesibukannya tergolong tinggi, bisa dibentuk jabatan Wakil Ketua. Selain itu juga dapat dikembangkan jabatan Ketua yaitu Ketua I dan Ketua II, begitu pula untuk Sekretaris dan Bendahara. Selanjutnya masih dapat dikembangkan lagi dengan pembentukan Seksi-Seksi, misalnya Seksi Umum, Seksi Keuangan, Seksi Personalia, dan sebagainya. 33 Sebuah Yayasan tidak dikehendaki diurus oleh seorang Pengurus saja. Dalam UU Yayasan menginginkan Pengurus lebih dari satu orang, agar pekerjaan Pengurus dapat dibagi-bagi dengan Pengurus-Pengurus lainnya, sehingga beban kepengurusan dapat menjadi ringan untuk dipikul secara bersama-sama. Pengangkatan Pengurus Yayasan dilakukan oleh Pembina dalam rapat Pembina. Dalam Undang-Undang No. 16 Tahun 2001, Pengurus yang diangkat akan mengurus Yayasan selama 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk mengurus Yayasan dalam 1 (satu) kali masa jabatan. Akan tetapi setelah perubahan pada UU No. 28 Tahun 2004 tepatnya pada pasal 32 ayat (2) tidak membatasi jangka waktu kepengurusan, dan diserahkan masa jabatannya kepada apa yang ditentukan dalam Anggaran Dasar Yayasan. Apabila pengangkatan, pemberhentian atau penggantian Pengurus dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan Anggaran Dasar, maka atas permohonan yang berkepentingan atau permintaan Kejaksaan, Pengadilan dapat membatalkannya dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal permohonan pembatalan diajukan.
33
Ibid, hal. 88.
Dalam menjalankan tugasnya Pengurus wajib menanamkan itikad baik, dan penuh tanggung jawab untuk kepentingan dan tujuan Yayasan, sesuai dengan yang tertuang dalam Pasal 35 ayat (2) UU Yayasan. Konsekuensi pun menanti apabila Pengurus dalam menjalankan tugasnya tidak sesuai dengan Anggaran Dasar yang menyebabkan kerugian terhadap Yayasan ataupun pihak ketiga. Konsekuensi ini terdapat dalam pasal 35 ayat (5) UU Yayasan, dimana tanggung jawab atas kerugian tersebut dipikul secara pribadi oleh Pengurus yang bersangkutan. Dalam hal Pengurus melakukan perbuatan yang merugikan Yayasan, maka Pengurus tersebut dapat diberhentikan sebelum masa kepengurusannya berakhir berdasarkan Rapat Pembina. Ketika terjadinya pergantian Pengurus, yang memberitahukan kepada Menteri ialah Pengurus yang baru dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal penggantian. Hal ini berbeda dengan apa yang diatur dalam UU No. 16 Tahun 2001 pasal 33, dimana Pembinalah yang wajib memberitahukan kepada Menteri apabila terjadi pergantian Pengurus. Apabila Pengurus dinyatakan bersalah dalam melakukan kepengurusan Yayasan dan tindakannya tersebut membawa kerugian bagi Yayasan, masyarakat ataupun Negara, berdasarkan putusan Pengadilan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal putusan tesebut memperoleh kekuatan hukum yang tetap, tidak dapat diangkat menjadi Pengurus Yayasan manapun. Adapun kewajiban dari Pengurus antara lain ialah : a. Membuat dan menyimpan catatan atau tulisan yang berisi keterangan mengenai hak dan kewajiban serta hal lain yang berkaitan dengan kegiatan usaha Yayasan. b. Membuat dan menyimpan dokumen keuangan Yayasan berupa bukti pembukuan dan data pendukung administrasi keuangan. c. Dalam hal Yayasan mengadakan transaksi dengan pihak lain yang menimbulkan hak dan kewajiban bagi Yayasan, transaksi tersebut wajib dicantumkan dalam laporan tahunan sebagai cerminan dari asas keterbukaan
dan akuntabilitas pada masyarakat yang harus dilaksanakan Yayasan dengan sebaik-baiknya.
3. Pengawas Selain Pembina dan Pengurus, organ Yayasan yang terakhir ialah Pengawas. Pengawas adalah organ Yayasan yang bertugas melakukan pengawasan serta memberikan nasihat kepada Pengurus dalam menjalankan roda kegiatan Yayasan. Berbeda dengan Pembina yang tidak disebut secara jelas, jumlah Pengawas sesuai dengan yang ditetapkan dalam Pasal 40 ayat (2) UU Yayasan berjumlah minimal satu orang. Akan tetapi dalam realitanya, jumlah Pengawas dalam suatu Yayasan disesuaikan dengan kebutuhan Yayasan itu sendiri. Adapun syarat untuk diangkat menjadi Pengawas ialah orang perseorangan yang mampu melakukan perbuatan hukum (Pasal 40 ayat (3)), dan tidak boleh merangkap sebagai Pembina atau Pengurus (Pasal 40 ayat (4)).
Menurut L.Boedi Wahyono dan Suyud Margono, yang dapat diangkat menjadi Pengawas adalah orang perseorangan yang mampu melakukan perbuatan hukum artinya disini adalah 34 : a. Orang yang telah cukup umur atau dewasa. b. Cakap di hadapan hukum. c. Tidak berada di bawah pengampuan. d. Tidak dalam keadaan pailit. e. Tidak sedang menjalani hukuman pidana. f. Mampu melakukan perbuatan hukum sesuai dengan Perundang-Undangan yang berlaku. Anggota Pengawas diangkat oleh Pembina dalam rapat Pembina untuk masa jabatan 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali dalam jangka waktu sesuai dengan yang ditetapkan dalam Anggaran Dasar Yayasan. Pengawas diberi kewenangan untuk memberhentikan sementara anggota Pengurus. Dalam catatan pemberhentian sementara ini dilakukan dengan alasan yang jelas dan dapat membuktikan pelanggaran yang dibuat oleh anggota Pengurus tersebut. Pengawas diwajibkan Pasal 43 ayat (2) untuk melapor secara tertulis kepada Pembina dalam tempo tujuh hari terhitung sejak tanggal pemberhentian. Berdasar laporan tersebut, Pembina wajib memanggil anggota Pengurus yang bersangkutan untuk membela diri dalam tempo tujuh hari. Dan dalam tempo paling lambat tujuh hari terhitung sejak pembelaan diri anggota 34
L. Boedi Wahyono dan Suyud Margono, Antara Fungsi Karitatif Atau Komersial, (Jakarta : Novindo Pustaka Mandiri, 2001), hal. 43-44, sebagaimana dikutip oleh Anwar Borahima, Op.Cit, hal. 216.
Pengurus, dalam Pasal 43 ayat (4) Pembina diwajibkan untuk mengambil keputusan bersifat final, apakah mencabut keputusan pemberhentian sementara tersebut, atau memberhentikan anggota Pengurus yang bersangkutan. Dan dalam hal apabila Pembina tidak mengambil sikap apapun terhadap pemberhentian sementara tersebut, maka berdasarkan ketentuan Pasal 43 ayat (5) pemberhentian sementara tersebut batal demi hukum.
E. Kekayaan Yayasan Berbeda dengan Koperasi dan PT yang memakai istilah “modal”, Yayasan menamakan harta benda awalnya dengan istilah “kekayaan”. Hal ini dikarenakan Koperasi dan PT memiliki kedudukan sebagai badan usaha atau perusahaan yang mencari keuntungan. Hal ini jelas berbeda dengan Yayasan yang tercantum secara jelas dalam tujuannya yakni merupakan wadah kegiatan sosial untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan. Dalam Pasal 9 ayat (1) UU Yayasan ditentukan Yayasan didirikan oleh satu orang atau lebih dengan memisahkan sebagian harta kekayaan pendirinya, sebagai kekayaan awal. Jumlah kekayaan awal yang didirikan oleh orang Indonesia, yang berasal dari pemisahan harta kekayaan pribadi Pendiri, paling sedikit senilai Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), sedangkan jumlah kekayaan awal yang didirikan oleh orang asing ataupun orang asing bersama orang Indonesia, yang
berasal dari pemisahan harta kekayaan pribadi Pendiri, paling sedikit senilai Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
1. Kekayaan Yang Dipisahkan Dalam pendirian Yayasan, pemisahan harta kekayaan oleh Pendiri bisanya dibuktikan dengan surat pernyataan Pendiri mengenai keabsahan harta kekayaan yang dipisahkan tersebut dan bukti yang merupakan bagian dari dokumen keuangan yang dipisahkan. Hal ini sebagai pernyataan bahwa harta itu diperoleh tidak dengan cara melawan hukum, misal tindak pidana korupsi maupun tindak pidana pencucian uang yang dilakukan oleh Pendiri Yayasan. Pemisahan harta kekayaan ini merupakan salah satu syarat materiil pendirian suatu Yayasan untuk menghindari adanya percampuran antara kekayaan Yayasan dengan harta pribadi Pendiri atau harta bersama Pendiri. Kekayaan Yayasan yang dipisahkan ini merupakan kekayaan awal Yayasan yang nantinya dipergunakan untuk mengelola kelangsungan hidup Yayasan demi mencapai tujuannya. Dalam hal ini berarti Pendiri tidak lagi mempunyai kendali ataupun hak atas harta kekayaan yang diberikan tersebut, karena harta yang dipisahkan olehnya telah menjadi milik Yayasan. Dan Pendiri Yayasan bukanlah merupakan pemilik Yayasan. Organ Yayasanlah yang bertanggung jawab secara penuh terhadap pengelolaan kekayaan Yayasan untuk mencapai maksud dan tujuan Yayasan.
Tujuan itu sendiri haruslah merupakan tujuan yang ideal, bukanlah untuk tujuan komersial maupun tujuan untuk mencapai kepentingan sendiri. Dan yang harus dijaga ialah Yayasan tidak boleh berubah menjadi perkumpulan. 35 Sebelum adanya UU Yayasan pun, Yayasan sudah ditandai dengan adanya pemisahan harta kekayaan pribadi pendirinya. Di masa lalu sebelum adanya UU Yayasan yang mengatur, pemisahan harta kekayaan ini hanya berdasarkan atas kebiasaan dan Doktrin. Scholthen dalam defenisinya mengenai Yayasan seperti yang disebut sebelumnya menyatakan Yayasan sebagai badan hukum lahir oleh pernyataan sepihak yang berisi pemisahan suatu kekayaan untuk tujuan tertentu. Akan tetapi tidak disebutkan dengan jelas pemisahan kekayaan tersebut dalam bentuk apa.
2. Perolehan Harta Kekayaan Yayasan Untuk melakukan fungsinya sehingga Yayasan dapat mencapai tujuannya yang filantropis, maka dibutuhkan dana yang cukup. Persoalan dana ini merupakan hal yang paling penting bagi Yayasan, terutama jika Yayasan tersebut tidak mempunyai sumber penghasilan yang tetap. Selain kekayaan yang berasal dari pemisahan kekayaan Pendiri, Yayasan juga dapat memperoleh kekayaan dari sumber-sumber lain yakni sumbangan atau bantuan yang tidak mengikat, wakaf, hibah, wasiat dan peroleh lain yang tidak
35
Ali Rido, Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan, Perkumpulan, Koperasi, Yayasan, Wakaf, (Bandung : Alumni, 1986), hal. 115.
bertentangan dengan Anggaran Dasar Yayasan atau Peraturan PerundangUndangan yang berlaku. Dalam hal sumbangan atau bantuan tidak mengikat yang dimaksud adalah sumbangan atau bantuan yang diberikan dari pihak-pihak lain (donatur) yang tidak menimbulkan keterikatan. Dalam artian, sumbangan yang diberikan memang ikhlas dari lubuk hati si pemberi sumbangan tanpa mengharap adanya imbalan apapun, dan tidak menimbulkan adanya hak atau kewajiban baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap kedua belah pihak, sebelum maupun pada saat atau sesudah pemberian dimaksud. UU Yayasan pun tidak membedakan asal dari sumbangan, apakah sumbangan yang diberikan berasal dari domestik ataupun luar negeri. Adapun pihak-pihak yang memberikan sumbangan tidak mengikat yang dimaksud seperti misalnya dari masyarakat, badan usaha ataupun sumbangan bantuan dari Negara. UU Yayasan juga menyebutkan, Negara dalam hal-hal tertentu dapat memberikan bantuan kepada Yayasan. Dalam hal ini bantuan Negara hanya dapat diberikan kepada Yayasan apabila Yayasan yang bersangkutan memiliki program kerja atau melaksanakan kegiatan yang menunjang program Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah. Bantuan dari Negara kepada Yayasan, baik bantuan luar negeri atau pihak lain yang nilainya mencapai lebih dari Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah), maka ikhtisar laporan tahunannya harus diumumkan dalam surat kabar harian berbahasa Indonesia dan harus pula diaudit oleh Akuntan Publik. Dan hasil
auditnya disampaikan kepada Pembina Yayasan tersebut dengan tembusan kepada Menteri Kehakiman dan Instansi terkait (Pasal 52 ayat (1), ayat (2) huruf a, ayat (3) dan ayat (4) UU Yayasan). Dalam hal kekayaan Yayasan diperoleh dari wakaf, maka berlaku ketentuan hukum perwakafan, yaitu Peraturan Perundang-Undangan di bidang perwakafan, yakni Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dan peraturan lainnya yang berkaitan dengan perwakafan. Wakaf ialah perbuatan hukum wakaf untuk memisahkan dan atau menyerahkan sebagian harta miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu, sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan atau kesejahteraan umum menurut syariah (hukum islam). Harta yang diwakafkan dapat berasal dari seseorang ataupun badan hukum, yakni dengan membuat ikrar wakaf di depan Pejabat pembuat ikrar wakaf. Kedudukan Yayasan sebagai penerima harta wakaf ialah sebagai nazdir, dan harta kekayaan ini selanjutnya akan dikelola untuk menjalankan kegiatan Yayasan mencapai maksud dan tujuannya. Pada Wakaf sendiri, terdapat unsur-unsur seperti yang ada pada Yayasan, seperti : 36
a. Adanya harta kekayaan yang dipisahkan dari pemiliknya semula. b. Mempunyai tujuan tertentu, baik tujuan yang bersifat keagamaan, maupun sosial dan kemanusiaan.
36
Chatamarrasjid Ais, Op.Cit, hal. 157.
c. Mempunyai Organisasi untuk menyelenggarakan lembaga yang didirikan. Dalam hal kekayaan Yayasan diperoleh dari hibah, maka hibah yang dimaksud bukanlah merupakan perjanjian obligatoire atau bertimbal-balik seperti perjanjian jual-beli, sewa-menyewa, tukar-menukar, melainkan perjanjian sepihak. 37 Barang yang dapat dihibahkan baik berupa barang bergerak atau tidak bergerak, tidak dapat ditarik kembali oleh penghibah. Ketika perjanjian hibah itu terjadi maka barang yang dihibahkan sudah berpindah alih kepemilikan. Dalam hal kekayaan Yayasan diperoleh dari hibah wasiat, ketentuan Pasal 957 KUHPerdata menyebutkan hibah wasiat adalah suatu penetapan wasiat yang khusus dengan mana si yang mewariskan kepada seorang atau lebih memberikan beberapa barang-barangnya dari suatu jenis tertentu. Dalam hibah wasiat, penyerahan barang yang dihibahkan baru akan terjadi ketika si penghibah meninggal dunia. Hal ini berbeda dengan hibah, dimana penyerahan barang dapat dilakukan ketika si penghibah masih hidup. Selain perolehan kekayaan yang disebut di atas, perolehan lain yang disebut dalam UU Yayasan ialah perolehan lainnya. Lantas, apa yang dimaksud dengan perolehan lainnya itu? Dalam menjalankan roda organisasi dan kegiatankegiatannya Yayasan tentu memerlukan sumber daya dan sumber dana yang cukup. Yayasan yang hanya menunggu amal, sumbangan, bantuan (charity), dari masyarakat, cenderung kurang mandiri dan kurang stabil. Ketentuan Perundangan kemudian membolehkan sebuah Yayasan ikut melakukan kegiatan usaha atau justru mendirikan badan usaha sendiri. Yayasan diperbolehkan menanam modal di perusahaan lain sebagai pemegang saham sehingga mendapatkan laba berupa dividen. Bahkan untuk menopang biaya operasional Yayasan, diperbolekan pula Yayasan, misalnya menyewakan salah satu gedungnya atau sewa peralatan Yayasan, ikut dalam kegiatan perbankan atau deposito sehingga mendapatkan bunga atau bagi hasilnya. 38 Kesempatan perolehan ini pun disebut dalam penjelasan Pasal 26 ayat (2) huruf e UU Yayasan. UU Yayasan memberikan peluang yang luas bagi Yayasan untuk memperoleh kekayaan dari berbagai sumber, dan tidak bertumpu pada kekayaan modal yang diberi Pendiri saja. Selain itu Yayasan pun dikehendaki untuk mendirikan badan usaha yang kegiatannya sesuai dengan maksud dan tujuan
37 38
Gatot Supramono, Op.Cit, hal. 70. Adib Bahari, Op.Cit, hal. 60.
Yayasan sepanjang tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku.
3. Jenis Kekayaan Yayasan Pendirian Yayasan dilakukan dengan memisahkan sebagian harta kekayaan pendirinya, sebagai kekayaan awal. Hal ini dipertegas kembali dalam Pasal 26 UU Yayasan yang mengatakan, kekayaan Yayasan berasal dari sejumlah kekayaan yang dipisahkan dalam bentuk uang dan barang. Dalam Pasal tersebut UU Yayasan membedakan uang dengan barang. Padahal sebenarnya uang itu sendiri termasuk ke dalam jenis barang, karena dalam KUHPerdata secara garis besarnya membedakan barang ada dua macam, yaitu barang bergerak dan barang tidak bergerak. 39 Jadi yang dimaksud bukanlah benda. Padahal menurut Pasal 499 KUHPerdata pengertian benda tidak hanya meliputi barang akan tetapi juga termasuk hak di dalamnya. 40 R. Subekti menyatakan, “suatu benda dapat tergolong dalam golongan benda yang tidak bergerak (onroerend) karena sifatnya, tujuan pemakaiannya, dan karena memang demikian ditentukan oleh UndangUndang. Selain itu benda termasuk golongan yang bergerak karena sifatnya seperti perabot rumah tangga, dan benda yang bergerak karena penetapan Undang-Undang (surat-surat sero dari suatu Perseroan Perdagangan, surat-surat obligasi negara, dll).” 41
Dalam KUHPerdata benda dibedakan dalam 3 (tiga) bagian : a. Benda bertubuh dan tidak bertubuh. b. Benda bergerak dan tidak bergerak. c. Benda bergerak yang dapat dihabiskan dan tidak dapat dihabiskan. Dalam UU Yayasan, tidak ditemukan ketentuan yang membatasi jenisjenis kekayaan yang dapat dimiliki Yayasan. Yang disebut hanyalah kekayaan itu dipisah dalam berbentuk uang dan barang. Berarti, apakah barang yang dimaksud meliputi benda bergerak dan tidak bergerak ataukah juga meliputi benda-benda lain sesuai dengan yang ada dalam KUHPerdata? 39
Gatot Supramono, Op.Cit, hal. 67. Anwar Borahima, Op.Cit, hal. 112. 41 R. Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, (Jakarta : Kencana, 2003), hal. 61-62. 40
Melihat tidak adanya pembatasan jenis harta kekayaan yang diatur dalam UU Yayasan ini juga menimbulkan pertanyaan apakah boleh suatu Yayasan mendapatkan kekayaan yang rentan terhadap nilai atau harga dari barang tersebut? Mengingat Yayasan merupakan wadah bertujuan sosial yang tidak mengejar keuntungan membuat permasalahan ini berdampak pada penyalahgunaan pihak Yayasan terhadap barang tersebut. Oleh karena itu alangkah lebih baiknya apabila hal ini diatasi dengan memberi peraturan yang tegas terhadap pembatasan jenisjenis harta kekayaan yang dapat dimiliki Yayasan.
F. Penggabungan dan Pembubaran Yayasan 1. Penggabungan Yayasan Setelah keluarnya UU Yayasan, memungkinkan untuk sebuah Yayasan untuk menggabungkan diri dengan Yayasan lain yang sejenis. Penggabungan ini biasa terjadi karena pihak yang menggabungkan diri kurang mampu dalam menjalankan kegiatannya, baik karena dari segi ekonomi atau hal-hal lain yang menghambat jalan kegiatan Yayasan. Dengan adanya penggabungan ini diharapkan kegiatan yang awalnya kurang berjalan dari pihak yang menggabungkan diri menjadi lebih baik sehingga apa yang menjadi tujuan awal dari Yayasan tersebut dapat tercapai. Dalam Pasal 57 ayat (1) UU Yayasan disebutkan secara ringkas penggabungan Yayasan adalah perbuatan hukum yang dapat dilakukan dengan menggabungkan satu atau lebih Yayasan dengan Yayasan lain, sehingga mengakibatkan Yayasan yang menggabungkan diri menjadi bubar. Kemudian selanjutnya dalam Ketentuan Umum Pasal 1 butir (2) Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Tentang Yayasan (Selanjutnya disebut PP Yayasan) menyatakan penggabungan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu Yayasan atau lebih untuk menggabungkan diri dengan Yayasan lain yang mengakibatkan beralihnya karena hukum semua aktiva dan pasiva dari Yayasan yang menggabungkan diri kepada Yayasan yang menerima penggabungan dan Yayasan yang menggabungkan diri bubar karena hukum tanpa diperlukan likuidasi. Ada beberapa unsur yang terkandung dalam rumusan pengertian penggabungan Yayasan di atas, sebagai berikut 42 :
42
Mulhadi, Hukum Perusahaan, (Bogor : Ghalia Indonesia, 2010), hal. 216.
a. Penggabungan dilakukan oleh satu Yayasan atau lebih dengan Yayasan lain yang sudah ada. b. Penggabungan menyebabkan beralihnya hak dan kewajiban atau semua aktiva dan pasiva secara hukum dari Yayasan yang menggabungkan diri menjadi hak dan kewajiban atau aktiva dan pasiva Yayasan yang menerima penggabungan. c. Penggabungan menyebabkan Yayasan yang menggabungkan diri berakhir (bubar) tanpa diperlukan likuidasi. Dalam penggabungan Yayasan pun ada beberapa hal yang harus diperhatikan, jadi penggabungan ini tidak dilakukan secara asal-asalan saja guna menghindari timbulnya sengketa dikemudian hari dan agar maksud dan tujuannya pun dapat sejalan. Adapun hal-hal yang perlu diperhatikan tercantum dalam Pasal 57 ayat (2), yaitu : a. Ketidakmampuan Yayasan melaksanakan kegiatan tanpa didukung Yayasan lain. b. Yayasan yang menerima penggabungan dan yang bergabung kegiatannya sejenis. c. Yayasan yang menggabungkan diri tidak pernah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan Anggaran Dasarnya, ketertiban umum dan kesusilaan. Dalam dunia bisnis perusahaan, penggabungan ini dikenal dengan istilah merger. Namun ada juga yang dikenal dengan istilah konsolidasi dan akuisi. Kemudian timbul pertanyaan, berbentuk apakah penggabungan Yayasan ini? Dalam UU Yayasan tidak terdapat ketentuan yang mengatur mengenai konsolidasi ataupun akuisi. Konsilidasi ialah peleburan usaha, dimana dua perusahaan yang bergabung bubar demi hukum demi didirikannya suatu wadah usaha baru dan dengan nama yang baru, meskipun secara finansial usaha baru tersebut mengambil
alih aset hak dan kewajiban dari dua perusahaan yang bubar tersebut. Sementara akuisi memungkinkan untuk sebuah perusahaan membeli atau mengambil alih perusahaan lain. Menurut Gatot Supramono, “Yayasan tidak mungkin melakukan konsolidasi dikarenakan dalam konsolidasi yang dilebur adalah usahanya agar semakin kuat bersaing untuk mengejar keuntungan. Namun, Yayasan tidak menerapkan konsolidasi karena memang Yayasan bukanlah badan usaha. Demikian juga untuk akuisi, yang mana perusahaan membeli perusahaan atau usaha yang lain agar mendapatkan keuntungan dari pembelian tersebut. Berbeda dengan Yayasan, Yayasan kemungkinan tidak bersedia membeli Yayasan lain karena agenda kegiatan dia akan bertambah banyak, padahal tentu saja bertambahnya kegiatan maka bertambah pula dana yang akan diperlukan”. 43 Penggabungan Yayasan ini hanya dapat dilakukan berdasarkan keputusan rapat Pembina yang dihadiri oleh paling sedikit ¾ (tiga per empat) dari jumlah anggota Pembina dan disetujui paling sedikit oleh ¾
dari jumlah anggota
Pembina yang hadir. Dan usul penggabungan Yayasan dapat disampaikan oleh Pengurus kepada Pembina. Terjadinya penggabungan Yayasan ini juga berdampak pada Anggaran Dasar pihak yang menerima penggabungan. Dalam hal ini Pasal 60 ayat (1) mengatur, akta perubahan Anggaran Dasar Yayasan wajib disampaikan kepada Menteri untuk memperoleh persetujuan dengan dilampiri akta Penggabungan. Selanjutnya, Menteri diberikan waktu paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal permohonan diterima. Dalam hal permohonan ditolak, maka penolakan tersebut harus diberitahukan kepada pemohon secara tertulis disertai alasannya dalam jangka waktu 60 hari. Apabila dalam jangka waktu yang ditentukan Menteri tidak memberikan keputusan apapun, maka perubahan 43
Gatot Supramono, Op.Cit, hal. 324.
Anggaran Dasar dianggap disetujui dan Menteri wajib mengeluarkan keputusan persetujuan.
2. Pembubaran Yayasan Dalam menjalankan roda kegiatannya tentu saja terkadang muncul berbagai permasalahan yang dihadapi Yayasan, baik permasalahan ini timbul dari dalam lingkungan Yayasan, maupun dari pihak luar Yayasan. Dan tidak menutup kemungkinan pula permasalahan yang timbul berunjuk pada berakhirnya sebuah Yayasan. Proses pembubaran Yayasan sendiri diklasifikasi dalam dua macam, yakni Yayasan yang bubar dan Yayasan yang dibubarkan. Yayasan yang bubar, maksudnya Yayasan bubar dengan sendirinya karena faktor internal. Sedangkan Yayasan yang dibubarkan berarti pembubaran dilakukan secara paksa karena intervaksi orang ketiga, dan pembubaran ini umumnya berdasarkan atas penetapan Pengadilan. Adapun Yayasan yang bubar karena faktor internal, yakni : a. Jangka waktunya telah berakhir, dalam artian jangka waktu berdirinya Yayasan yang ditetapkan dalam Anggaran Dasar telah habis masa waktunya. b. Apa yang tercantum dalam Anggaran Dasar mengenai tujuan Yayasan telah tercapai ataupun tidak tercapai. c. Seperti yang dibahas sebelumnya, pembubaran Yayasan terjadi secara otomatis manakala terjadi penggabungan antar Yayasan yang bersangkutan. Sedangkan Yayasan yang dibubarkan secara paksa dikarenakan :
a. Yayasan melakukan pelanggaran terhadap ketertiban umum dan kesusilaan. b. Yayasan tidak mampu membayar utang ketika dinyatakan pailit. c. Harta kekayaan Yayasan tidak cukup melunasi utangnya setelah pernyataan pailit dicabut. Yayasan yang dibubarkan secara paksa berdasarkan putusan Pengadilan tentu dikarenakan adanya pihak ketiga yang mengajukan permohonan tersebut. Lalu siapa sajakah pihak yang dapat mengajukan permohonan pembubaran tersebut? Di dalam UU Yayasan tidak terdapat aturan yang membahas mengenai permasalahan ini.
Gatot Supramono dalam bukunya berpendapat, “Pembubaran Yayasan dengan alasan melanggar ketertiban umum dan kesusilaan, maka pihak yang tepat menjadi pemohonnya ialah Kejaksaan, karena Kejaksaan sebagai pihak yang mewakili kepentingan umum. Hal ini sejalan dengan tugasnya, karena Kejaksaan yang mewakili kepentingan umum, sedangkan perbuatan Yayasan melanggar kepentingan umum. Selanjutnya tentang alasan Yayasan tidak mampu membayar utang setelah dinyatakan pailit maupun alasan harta kekayaan Yayasan tidak cukup untuk melunasi utangnya setelah pernyataan pailit dicabut, menurut beliau yang dapat mengajukan permohonan pembubaran Yayasan adalah krediturnya, karena kreditur yang memiliki kepentingan untuk membubarkan”. 44 Jika melihat pada alasan dan cara pembubaran Yayasan di Belanda hampir sama dengan di Indonesia. Menurut Pasal 300 NBW, Yayasan dapat dibubarkan karena : a. Dalam hal ditentukan oleh Anggaran Dasar. b. Jika Yayasan nyata dalam keadaan insolvensi. c. Oleh hakim dalam hal-hal yang ditentukan oleh Undang-Undang. Pengadilan pun dapat membubarkan Yayasan dalam hal : 44
Ibid, hal. 150.
1. Apabila Anggaran Dasarnya bertentangan dengan ketentuan, bahwa kepada para Pendiri tidak dapat diberikan pembayaran uang. 2. Apabila keuangan Yayasan tidak mencukupi lagi untuk merealisasikan tujuannya, dan tidak dapat dikumpulkan uang dalam jangka waktu pendek dengan salah satu jalan yang sah. 3. Jika tujuan Yayasan telah tercapai atau tidak dicapai lagi. Apabila Yayasan bubar dikarenakan alasan berakhirnya jangka waktu atau tujuan Yayasan sudah tercapai atau tidak tercapai, Pembina menunjuk likuidator untuk membereskan kekayaan Yayasan. Dalam hal Pembina tidak menunjuk likuidator, maka Penguruslah yang bertindak selaku likuidator. Dan apabila Yayasan bubar karena putusan Pengadilan, maka Pengadilanlah yang menunjuk likuidator. Demikian pula jika Pembubaran Yayasan karena pailit, maka berlaku Peraturan Perundang-Undangan di bidang Kepailitan yaitu perlu menunjuk kurator. Harta kekayaan sisa hasil likuidasi Yayasan yang bubar ini diserahkan kepada Yayasan lain yang mempunyai kegiatan atau maksud dan tujuan yang sama dengan Yayasan yang bubar, atau badan hukum lain yang mempunyai kesamaan kegiatan Yayasan yang bubar. Penyerahan kepada Yayasan dengan tujuan yang sama ini mungkin dimaksud agar tujuan Yayasan yang bubar itu tercapai melalui Yayasan yang diberikan sisa hasil likuidasi tersebut. Selain itu apabila Yayasan yang bubar tidak menyerahkan kekayaan sisa hasil likuidasi tersebut kepada Yayasan lain, maka kekayaan tersebut diserahkan kepada Negara dan penggunaannya dilakukan sesuai maksud dan tujuan Yayasan