23
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TANGGUNG JAWAB, PERJANJIAN JUAL BELI DENGAN SISTEM ELEKTRONIK DAN PENGERTIAN CACAT TERSEMBUNYI
2.1 Pengertian dan Prinsip-prinsip Tanggung Jawab Zoon Politicon merupakan sebuah istilah yang dikemukakan oleh Aristoteles untuk menyebut makhluk sosial. Dalam pendapat ini, Aristoteles menerangkan bahwa manusia dikodratkan untuk hidup bermasyarakat dan berinteraksi satu sama lain, atau dengan kata lain manusia adalah makhluk sosial. Manusia dalam kodratnya sebagai makhluk sosial terikat pada aturan-aturan yang berlaku sehingga tidak bisa bebas berbuat sesuka hati. Tindakan dan perbuatan manusia sesuai dengan hak yang dimilikinya harus dibarengi dengan tanggung jawab. Dalam hal ini ada suatu hubungan antara hak dengan tanggung jawab. Terkait dengan hal tersebut, Ibnu Kholdun berpendapat bahwa selalu ada hubungan timbal balik antara hak dan tanggung jawab. Pandangan yang disebut dengan teori korelasi itu terutama dianut oleh pengikut utilitarisme. Menurut mereka, setiap hak dan kewajiban seseorang berkaitan dengan tanggung jawab orang lain. Setiap hak dan kewajiban orang lain berkaitan dengan tanggung jawab seseorang untuk mematuhinya. Manusia baru dapat berbicara tentang hak dalam arti sesungguhnya jika ada korelasinya. Hak yang tidak ada kewajiban tidak perlu
24
ada tanggung jawab dan tidak pantas disebut hak. Sebaliknya tidak adanya kewajiban pada seseorang tidak perlu ada tanggung jawab. 20 Di kalangan para sarjana, baik praktisi maupun akademisi, tanggung jawab diistilahkan
”responsibility”
(verantwoordelijkheid)
maupun
“liability”
(aansprakelijkheid).Tanggung jawab menurut pengetian hukum adalah kewajiban memikul pertanggung jawaban dan memikul kerugian yang diderita (bila dituntut) baik dalam ranah hukum maupun administrasi. 21 Pada umumnya, setiap orang harus bertanggung jawab (aanspraklijk) atas perbuatannya. Oleh karena itu, bertanggung jawab dalam pengertian hukum berarti keterikatan. Tanggung jawab hukum (legal responsibility) dimaksudkan sebagai keterikatan terhadap ketentuan-ketentuan hukum. 22 Menurut Ridwan Halim, tanggung
jawab hukum adalah suatu akibat
lanjutan dari pelaksaan peranan, baik peranan itu merupakan hak dan kewajiban ataupun kekuasaan. Secara umum tanggung jawab hukum diartikan sebagai kewajiban untuk melakukan sesuatu atau berprilaku menurut cara tertentu yang tidak menyimpang dari peraturan yang telah ada. 23 Purbacaraka berpendapat bahwa tanggung jawab hukum bersumber atau lahir atas penggunaan fasilitas dalam penerapan kemampuan tiap orang untuk menggunakan hak dan/atau melaksanakan kewajibannya. Lebih lanjut ditegaskan, 20
M. Yatimin Abdullah, 2006, Pengantar Studi Etika, Raja Grafindo, Jakarta, h. 297-298.
21
Anak Agung Sagung Ngurah Indradewi, 2014, Tanggung Jawab Yuridis Media Penyiar Iklan, Udayana University Press, Denpasar, h. 143. 22
Ibid.
23
Khairunnisa, 2008, Kedudukan, Peran dan Tanggung Jawab Hukum Direksi, tanpa penerbit, Medan, h. 4.
25
setiap pelaksanaan kewajiban dan setiap penggunaan hak, baik yang dilakukan secara tidak memadai maupun yang dilakukan secara memadai pada dasarnya tetap harus disertai dengan pertanggung jawaban, demikian pula dengan pelaksanaan kekuasaan. 24 Dalam suatu bentuk tanggung jawab tentu mengandung prinsip-prinsip yang melandasinya, dimana prinsip-prinsip ini berguna untuk menganalisis siapa yang harus bertanggung jawab dan seberapa jauh tanggung jawab itu dapat dibebankan kepada pihak-pihak terkait. Secara umum, prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum dapat dibedakan sebagai berikut: 25 a. Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (liability based on fault); b. Prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab (pesumtion of liability); c. Prinsp praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab (presumtion of nonliability); d. Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability); e. Prinsip pembatasan tanggung jawab (limitation of liability); f. Tanggung jawab produk (product liability); dan g. Penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden). Ad.1. Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (liability based on fault) Prinsip
ini
menyatakan
bahwa seseorang
baru
dapat
dimintakan
pertanggung jawabannya secara hukum jika ada unsur kesalahan yang 24
Purbacaraka, 2010, Perihal Kaedah Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 37.
25
Celina Tri Siwi Kristiyanti, 2008, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika, Jakarta, h. 92.
26
dilakukannya. Pasal 1365 KUH Perdata, yang lazim dikenal dengan pasal tentang perbuatan melawan hukum, mengharuskan terpenuhinya 4 (empat) unsur pokok, diantaranya: a. Adanya perbuatan; b. Adanya unsur kesalahan; c. Adanya kerugian yang diderita; dan d. Adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian. 26 Ad.2. Prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab (pesumtion of liability) Prinsip ini menyatakan bahwa tergugat selalu dianggap bertanggung jawab (presumtion of liability) sampai ia dapat membuktikan ia tidak bersalah. Atau dengan kata lain, beban pembuktian ada pada si tergugat. Dalam prinsip beban pembuktian terbalik, seseorang dianggap bersalah sampai yang bersangkutan dapat membuktikan sebaliknya, hal ini tentu bertentangan dengan asas hukum praduga tidak bersalah yang lazim dikenal dalam hukum positif Indonesia, namun jika diterapkan dalam kasus konsumen akan tampak prinsip ini cukup relevan karena yang berkewajiban untuk membuktikan kesalahan itu ada di pelaku usaha. 27
26
Ibid., h. 93.
27
Ibid., h. 95.
27
Ad.3. Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab (presumtion of nonliability) Prinsip ini adalah kebalikan dari prinsip kedua. Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab (presumtion of nonliability) hanya dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang sangat terbatas dan pembatasan demikian biasanya secara common sense dapat dibenarkan. Contoh dalam penerapan prinsip ini adalah dalam hukum pengangkutan. Kehilangan atau kerusakan pada bagasi kabin/bagasi tangan, yang biasanya dibawa dan diawasi oleh si penumpang (konsumen) adalah tanggung jawab dari penumpang. Dalam hal ini, pengangkut (pelaku usaha) tidak dapat dimintakan pertanggung jawabannya. 28 Sekalipun demikian, dalam Pasal 44 ayat (2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1995 tentang Angkutan Udara, ada penegasan, ‘prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab’ ini tidak lagi diterapkan secara mutlak, dan mengarah kepada prinsip tanggung jawab dengan pembatasan uang ganti rugi (setinggi-tingginya 1 (satu) juta rupiah). Artinya, kehilangan atau kerusakan pada bagasi kabin/bagasi tangan tetap dapat dimintakan pertanggung jawaban sepanjang bukti kesalahan pihak pengangkut (pelaku usaha) dapat ditunjukan. Pihak yang dibebankan untuk membuktikan kesalahan itu ada pada si penumpang. 29
28
Ibid., h. 96.
29
Ibid.
28
Ad.4. Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) sering diidentikkan dengan prinsip tanggung jawab absolut (absolute liability). Kendati demikian, ada pula para sarjana yang membedakan kedua terminologi tersebut. Ada pendapat yang mengatakan, strict liability adalah prinsip tanggung jawab yang menetapkan kesalahan tidak sebagai faktor yang menentukan. Namun, ada pengecualian-pengecualian yang memungkinkan dibebaskan dari tanggung jawab, misalnya dalam keadaan force majeure. Sebaliknya absolute liability adalah prinsip tanggung jawab tanpa kesalahan dan tidak ada pengecualiannya. 30 Pada dasarnya strict liability adalah bentuk khusus dari tort (perbuatan melawan hukum), yaitu prinsip pertanggung jawaban dalam perbuatan melawan hukum yang tidak didasarkan pada kesalahan (sebagaimana tort pada umumnya), tetapi prinsip ini mewajibkan pelaku usaha langsung bertanggung jawab atas kerugian yang timbul karena perbuatan melawan hukum itu. Dengan prinsip tanggung
jawab mutlak ini, maka kewajiban pelaku usaha untuk mengganti
kerugian yang diderita oleh konsumen karena mengkonsumsi produk yang cacat merupakan suatu risiko, yaitu termasuk dalam risiko usaha. Oleh karena itu, pelaku usaha harus lebih berhati-hati dalam menjaga keselamatan dan keamanan pemakaian produk terhadap konsumen. Di Indonesia, prinsip tanggung jawab mutlak secara implisit dapat ditemukan dalam rumusan Pasal 1367 dan 1368 KUH Perdata. Pasal 1367 KUH Perdata mengatur tentang tanggung jawab seseorang atas kerugian yang 30
Louis Yulius, 2013, “Tanggung Jawab Pelaku Usaha atas Produk yang Merugikan Konsumen”, Jurnal Lex Privatum, Volume I Nomor 3, Juli 2013, h. 31.
29
disebabkan oleh perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya atau oleh barang-barang yang berada di bawah pengawasannya. Sedangkan Pasal 1368 KUH Perdata mengatur tentang tanggung jawab pemilik atau siapapun yang memakai seekor binatang atas kerugian yang diterbitkan oleh binatang tersebut, baik binatang itu ada di bawah pengawasannya, maupun tersesat atau terlepas dari pengawasannya. Keadaan tersesat atau terlepas ini sudah menjadi faktor penentu tanggung jawab tanpa mempersoalkan apakah ada perbuatan melepaskan atau menyesatkan binatangnya. “Dengan perkataan lain, pemilik atau pemakai binatang dapat dituntut bertanggungjawab atas dasar risiko, yaitu risiko yang diambil oleh pemilik/pemakai binatang”. 31 Ad.5. Prinsip pembatasan tanggung jawab (limitation of liability) Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan sangat disenangi oleh pelaku usaha untuk dicantumkan sebagai klausul eksonerasi dalam perjanjian standar yang dibuatnya. Misalnya dalam perjanjian jasa fotokopi, bilamana naskah hasil fotokopi rusak dan/atau tidak sesuai naskah aslinya dan/atau naskah aslinya rusak setelah difotokopi, maka konsumen hanya dibatasi ganti kerugian sebesar 10 (sepuluh) kali dari biaya jasa fotokopi. Prinsip tanggung jawab ini sangat merugikan konsumen bila ditetapkan secara sepihak oleh pelaku usaha. Dalam UU PK, seharusnya pelaku usaha tidak boleh secara sepihak menetukan klausul yang merugikan konsumen, termasuk membatasi maksimal tanggung jawabnya, jika ada pembatasan mutlak, harus berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang jelas. 31
Janus Sidabalok, 2014, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Cet. III, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 103.
30
Ad.6. Tanggung jawab produk (product liability) Menurut Agnes M. Toar, product liability adalah tanggung jawab produsen untuk
produk
yang
telah
dibawanya
kedalam
peredaran
yang
telah
menimbulkan/menyebabkan kerugian karena cacat yang melekat pada produk tersebut. Dalam hal ini, product liability adalah suatu tanggung jawab secara hukum dari orang atau badan yang menghasilkan suatu produk atau dari orang atau badan yang bergerak dalam suatu proses untuk menghasilkan suatu produk dari orang atau badan yang menjual atau mendistribusikan produk tersebut. 32 Product
liability
disebabkan
oleh
keadaan
tertentu
(cacat
atau
membahayakan orang lain). Tanggung jawab ini sifatnya mutlak (strict liability) atau semua kerugian yang diderita seorang pemakai produk cacat atau membahayakan (diri sendiri dan orang lain) merupakan tanggung jawab mutlak dari pembuat produk atau mereka yang dipersamakan dengannya. Dengan diterapkannya tanggung jawab mutlak itu, pelaku usaha telah dianggap bersalah atas terjadinya kerugian pada konsumen akibat produk cacat yang bersangkutan (tanggung jawab tanpa kesalahan “liability without fault”), kecuali apabila ia dapat membuktikan sebaliknya bahwa kerugian itu bukan disebabkan produsen sehingga tidak dapat dipersalahkan padanya. Ad.7. Penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden) Manurut Van Dunne, penyalahgunaan keadaan terjadi karena ada 2 (dua) unsur, yakni kerugian bagi salah satu pihak dan penyalahgunaan kesempatan oleh pihak lain. Dari unsur kedua, timbul sifat perbuatan, yaitu adanya keunggulan 32
Celina Tri Siwi Kristiyanti, op. cit., h. 101.
31
pada salah satu pihak yang bersifat ekonomis dan/atau psikologis. Keunggulan ekonomis terjadi bilamana posisi kemampuan ekonomi kedua belah pihak tidak seimbang sehingga salah satu bergantung pada yang lain. Pada keunggulan psikologis, boleh jadi ketergantungan ekonomis tidak ada, tetapi salah satu pihak mendominasi secara kejiwaan. 33 Kondisi penyalahgunaan keadaan ini dapat tercipta karena adanya “ketergantungan relatif (misalnya antara orang tua dan anak; suami dan istri; dsb); dan salah satu pihak menyalahgunakan keadaan pihak lain untuk kepentingannya. Keadaan yang dimaksud disebabkan, misalnya, yang bersangkutan belum berpengalaman, gegabah, kurang cerdas dan/atau kurang informasi”. 34 Melengkapi pandangan Dunne, J. Satrio menambahkan 6 (enam) faktor lagi yang dapat dianggap sebagai ciri dari penyalahgunaan keadaan, diantaranya: 35 a. Pada waktu menutup perjanjian, salah satu pihak ada dalam keadaan terjepit; b. Karena keadaan ekonomis, kesulitan keuangan yang mendesak; c. Karena hubungan atasan-bawahan, keunggulan ekonomis pada salah satu pihak; hubungan majikan-buruh; orang tua/wali-anak belum dewasa; d. Karena keadaan, seperti pasien membutuhkan pertolongan dokter ahli; e. Perjanjian itu mengandung hubungan yang timpang dalam kewajiban timbal balik antara para pihak (prestasi yang tidak seimbang); pembebasan majikan dari resiko dan menggesernya menjadi tanggungan si buruh; dan f. Kerugian yang sangat besar dari salah satu pihak. 33
Celina Tri Siwi Kristiyanti, op. cit., h. 111.
34
Celina Tri Siwi Kristiyanti, loc. cit.
35
Celina Tri Siwi Kristiyanti, loc. cit.
32
Penyalahgunaan keadaan ini tentulah sangat relevan untuk disinggung dalam kaitan dengan persengketaan transaksi konsumen. Keadaan yang lebih unggul dari pelaku usaha baik dari segi ekonomis maupun psikologis menjadi senjata yang ampuh untuk mempengaruhi konsumen, sehingga tampaklah bahwa konsumen sangat rasional dalam memutuskan kehendaknya padahal sejatinya justru sebaliknya. Terkait dengan uraian diatas, dalam penerapannya, setiap pertanggung jawaban harus memiliki dasar yang jelas. Dasar pertanggung jawaban dapat digolongkan menjadi 2 (dua) jenis, diantaranya: 36 a. Pertanggung jawaban atas dasar kesalahan, yang dapat lahir karena terjadinya wanprestasi, timbulnya perbuatan melawan hukum, atau tindakan yang kurang hati-hati; dan b. Pertanggungjawaban atas dasar resiko, yaitu tanggung jawab yang harus dipikul sebagai resiko yang harus diambil oleh seorang pelaku usaha atas kegiatan usahanya.
2.2 Pengertian dan Keabsahan Perjanjian Jual Beli dengan Sistem Elektronik Dalam pembahasan ini, pengertian dan keabsahan perjanjian jual beli dengan sistem elektronik akan ditinjau dari 2 (dua) sudut pandang, yakni dari: a. UU ITE; dan b. KUH Perdata.
36
Janus Sidabalok, op. cit., h. 91.
33
Dalam UU ITE, pengertian perjanjian/kontrak elektronik hanya diberikan batasan secara umum. Perjanjian/kontrak elektronik menurut Pasal 1 angka 17 UU ITE didefinisikan sebagai perjanjian para pihak yang dibuat melalui Sistem Elektronik. Sedangkan yang dimaksud dengan Sistem Elektronik adalah serangkaian perangkat dan prosedur elektronik yang berfungsi mempersiapkan, mengumpulkan,
mengolah,
menganalisis,
menyimpan,
menampilkan,
mengumumkan, mengirimkan, dan/atau menyebarkan Informasi Elektronik (vide Pasal 1 angka 5 UU ITE). Informasi Elektronik sebagaimana dimaksud diatas adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya (vide Pasal 1 angka 1 UU ITE). Terkait dengan keabsahan perjanjian/kontrak elektronik itu sendiri, dalam UU ITE hanya dirumuskan secara implisit. Pasal 18 ayat (1) UU ITE menyatakan bahwa “Transaksi Elektronik yang dituangkan ke dalam Kontrak Elektronik mengikat para pihak”. Bilamana dianalisis, rumusan pasal ini merujuk pada argumen bahwa perjanjian/kontrak elektronik mengikat para pihak yang membuatnya sebagaimana layaknya sebuah undang-undang bilamana transaksi elektronik yang mendahului lahirnya suatu perjanjian/kontrak elektronik tersebut dibuat secara sah (menurut hukum) dan telah dipenuhinya syarat sahnya suatu perjanjian sebagaimana yang dikenal dalam KUH Perdata.
34
Dalam ketentuan-ketentuan KUH Perdata, pengaturan umum mengenai perjanjian di Indonesia terdapat dalam Buku III KUH Perdata tentang Perikatan. Buku III KUH Perdata pada hakikatnya menganut sistem terbuka (open system) yang memberikan keleluasaan para pihak untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja, asalkan tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan atau ketertiban umum. Sedangkan berkenaan dengan ketentuan pasal-pasal dari Hukum Perjanjian dalam BUKU III KUH Perdata merupakan suatu aanvaludenrecht atau hukum pelengkap, dimana hal ini berarti bahwa ketentuan pasal-pasal tersebut boleh dikesampingkan oleh para pihak bila telah disepakati sebelumnya. Sistem terbuka dalam KUH Perdata tersebut mengandung suatu asas yang disebut dengan asas kebebasan berkontrak yang lazimnya disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata dan dengan melihat pada rumusan Pasal 1319 KUH Perdata,
maka diakui 2 (dua) macam perjanjian yaitu perjanjian bernama
(nominaat) dan perjanjian tidak bernama (innominaat). 37 Jika dicermati, dapat diketahui bahwa apapun bentuk perjanjiannya, baik yang diatur dalam KUH Perdata (nominaat) maupun yang tidak diatur dalam KUH Perdata (innominaat) tunduk pada ketentuan-ketentuan umum dari Buku III KUHPerdata yang ada dalam Bab I dan Bab II. Dengan demikian, maka dapat diketahui bahwa perjanjian jual beli dengan sistem elektronik sebagai suatu jenis perjanjian innominaat secara garis besar memiliki keserupaan dengan perjanjian jual beli konvensional, namun aspek pembeda yang sekaligus menjadi ciri-ciri khusus dari perjanjian jenis ini hanyalah 37
H. Salim HS., 2005, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, Cet. III, Sinar Grafika, Jakarta, (selanjutnya disingkat H. Salim HS. III), h. 6.
35
terletak pada media yang dipergunakan. Media internet sebagai media utama dalam perjanjian jenis ini memungkinkan para pihak yang berbeda wilayah dalam satu waktu yang sama dapat mengikatkan dirinya, dengan demikian kehadiran fisik para pihak tidak menjadi persoalan. Dalam arti bahwa, para pihak tidak perlu bertemu secara langsung dalam penutupan perjanjiannya. Dalam kaitan ini dengan mencermati rumusan Pasal 1313 KUH Perdata yang merumuskan tentang perjanjian, yakni suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Pasal 1457 KUH Perdata yang merumuskan tentang jual beli yaitu suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain membayar harga yang telah dijanjikan. Dengan demikian dapat diketahui bahwa perjanjian jual beli dengan sistem elektronik adalah suatu perjanjian bertimbal balik, dimana pihak yang satu berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang dan pihak lainnya berjanji untuk membayar sejumlah uang sebagai imbalan dimana sebagian atau seluruh tahapan transaksinya dilakukan dengan menggunakan jaringan internet yang memungkinkan para pihak tidak perlu bertatap muka secara langsung. Dalam perjanjian jenis ini, dimungkinkan pula melibatkan pihak ketiga (baik pihak ketiga tersebut terlibat secara langsung maupun tidak) tergantung kompleksitas dari transaksi yang dilakukan, apakah seluruh tahapan transaksi dilakukan melalui jaringan internet atau sebagian saja. Sebagaimana disebutkan diatas, perjanjian jenis ini secara garis besar serupa dengan perjanjian jual beli konvensional. Dengan demikian, maka perjanjian jual
36
beli dengan sistem elektronik dapat dikatakan telah sah bilamana telah memenuhi syarat-syarat sahnya suatu perjanjian sebagaimana termaktub dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu: a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; c. Suatu hal tertentu; dan d. Suatu sebab yang halal. Poin (a) dan (b) disebut syarat subyektif, karena menyangkut subyek/para pihak dari perjanjian tersebut, sedangkan poin (c) dan (d) disebut syarat obyektif, karena menyangkut obyek perjanjian itu sendiri. Sepakat mereka mengikatkan dirinya, hal ini dimaksudkan bahwa para pihak yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu, juga dikehendaki oleh pihak lain. 38 Cara mengutarakan kehendak ini bisa bermacam-macam, dapat dilakukan secara tegas atau secara diam-diam, dengan tertulis (melalui akta otentik atau akta di bawah tangan) atau dengan tanda. Atau dapat pula menggunakan media elektronik. 39 Sehubungan dengan uraian diatas, pada umumnya keadaan yang terjadi pada saat pengikatan para pihak dalam perjanjian jual beli dengan sistem elektronik adalah para pihak belum bahkan tidak sama sekali bertatap muka dikarenakan perbedaan tempat yang cukup jauh, maka timbul suatu pertanyaan, kapankah saat 38
Djaja S. Meliala, op. cit., h. 169.
39
Djaja S. Meliala, loc. cit.
37
perjanjian itu terjadi? Untuk menjawab hal ini akan dijabarkan dengan mempergunakan beberapa teori, diantaranya: 40 a. Teori pernyataan (Uitingstheorie) Menurut teori pernyataan, kesepakatan (toesteming) terjadi pada saat pihak yang menerima penawaran menyatakan bahwa ia menerima penawaran itu. Jadi dilihat dari pihak yang menerima, yaitu pada saat baru telah ditulis surat jawaban penerimaan. b. Teori pengiriman (Verzendstheorie) Menurut teori pengiriman, kesepakatan terjadi pada saat dikirimnya surat jawaban oleh pihak yang kepadanya telah ditawarkan suatu perjanjian, karena sejak saat pengiriman tersebut, si pengirim jawaban telah kehilangan kekuasaan atas surat yang dikirimnya itu. c. Teori pengetahuan (Vernemingstheorie) Teori pengetahuan berpendapat bahwa kesepakatan terjadi apabila pihak yang menawarkan mengetahui adanya acceptie (penerimaan), tetapi penerimaan itu belum diterimanya (tidak secara langsung). d. Teori penerimaan (Ontvangstheorie). Menurut teori penerimaan, bahwa toesteming terjadi pada saat pihak yang menawarkan menerima langsung jawaban dari pihak lawan. Teori ini sangat koservatif, karena sebelum diterimanya jawaban atas tawaran tersebut, kata
40
H. Salim HS. II, op. cit., h. 40.
38
sepakat dianggap belum terjadi, sehingga persyaratan untuk sahnya suatu perjanjian dianggap belum terpenuhi. Merujuk pada uraian diatas, saat lahirnya perikatan dari sebuah perjanjian jual beli dengan sistem elektronik dalam hukum positif Indonesia adalah pada waktu penawaran transaksi yang dikirim pengirim telah diterima dan disetujui oleh penerima, dimana keberlakukan hal ini sepanjang tidak ditentukan lain oleh para pihak. Dalam artian bahwa, perjanjian elektronik telah bersifat mengikat pada saat kesepakatan antara para pihak telah tercapai, dimana hal ini dapat berupa, antara lain: pengecekan data, identitas, nomor identifikasi pribadi (personal identification number/PIN) atau sandi lewat (password). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pengaturan mengenai perjanjian jual beli dengan sistem elektronik dalam hukum positif Indonesia menganut teori penerimaan (Ontvangstheorie), selama hal ini tidak dikesampingkan/tidak ditentukan lain oleh para pihak. Dalam kaitan dengan uraian diatas, ada kalanya terjadi ketidaksesuaian antara kehendak dan pernyataan, misalnya seseorang bermaksud menyatakan ‘ya’ namun keliru menyatakan ‘tidak’, karena keliru mengikuti prosedur yang ditetapkan. Dalam hal ini ada 3 (tiga) teori yang dapat dipakai untuk menjelaskan mengenai ketidaksesuaian antara kehendak dan pernyataan. Adapun teori-teori yang dimaksud diantaranya: 41
41
H. Salim HS. II, op. cit., h. 41.
39
a. Teori kehendak (Wilstheorie) Menurut teori ini, bahwa perjanjian telah terjadi apabila ada persesuaian antara kehendak dan pernyataan. Apabila terjadi ketidakwajaran, kehendaklah yang menyebabkan terjadinya perjanjian. Suatu perjanjian yang tidak didasarkan atas suatu kehendak yang benar adalah tidak sah. b. Teori pernyataan (Verklaringtheorie) Menurut teori ini, kehendak merupakan proses bathiniah yang tidak diketahui orang lain. Akan tetapi yang menyebabkan terjadinya perjanjian adalah pernyataan. Jika terjadi perbedaan antara kehendak dan pernyataan maka perjanjian akan tetap terjadi. c. Teori kepercayaan (Vertrouwentheorie) Menurut teori ini, tidak setiap pernyataan menimbulkan perjanjian, tetapi pernyataan yang menimbulkan kepercayaan saja yang menimbulkan perjanjian. Kepercayaan dalam arti bahwa pernyataan itu benar-benar dikehendaki. Kesepakatan pada suatu perjanjian yang menimbulkan akibat hukum hanyalah kesepakatan yang tidak bercacat atau tidak terdapat cacat kehendak. Cacat kehendak sebagaimana dimaksud ditentukan dalam Pasal 1321 KUH Perdata dapat terjadi karena kekhilapan (dwaling), paksaan (dwang), penipuan (bedrog). 42
42
I Ketut Artadi dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, 2010, Implementasi Ketentuanketentuan Hukum Perjanjian kedalam Perancangan Kontrak, Udayana University Press, Denpasar, h. 54.
40
Unsur kedua untuk sahnya suatu perjanjian adalah kecakapan untuk membuat suatu perikatan. Kecakapan adalah kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan yang (akan) menimbulkan akibat hukum. Orang-orang yang mengadakan perjanjian haruslah orang-orang yang cakap dan mempunyai wewenang untuk melakukan perbuatan hukum, sebagaimana ditentukan oleh undang-undang. Orang yang cakap dan berwenang untuk melakukan perbuatan hukum adalah orang yang sudah dewasa. Ukuran kedewasaan adalah berumur 21 (dua puluh satu) tahun dan sudah kawin. 43 Orang yang tidak berwenang untuk melakukan perbuatan hukum diantaranya: a. Anak di bawah umur; b. Orang yang berada di bawah pengampuan; c. Perempuan bersuami. Namun setelah dikeluarkannya Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1963 serta diundangkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, ketentuan mengenai perempuan bersuami sebagai golongan yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum telah dihapuskan. Unsur ketiga, suatu hal tertentu. Dalam hal ini yang dimaksudkan sebagai suatu hal tertentu adalah suatu hal yang menyangkut obyek perjanjian, baik berupa barang dan/atau jasa yang dapat dinilai dengan uang. Hal ini sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1332 KUH Perdata yang menyatakan bahwa “Hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan yang dapat menjadi pokok perjanjian”.
43
H. Salim HS. II, op. cit., h. 33.
41
Ini berarti “pokok perjanjian harus dapat dinilai dengan uang, atau setidaknya sanksi atas pelanggaran perjanjian adalah ganti rugi uang atau benda yang bernilai uang”. 44 Unsur keempat adalah suatu sebab yang halal. Menurut R. Wirjono Prodjodikoro, “pengertian sebab yang halal ialah bukan hal yang menyebabkan
perjanjian namun isi perjanjian itu sendiri”. 45 Isi perjanjian tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan atau ketertiban umum, kepatutan dan kebiasaan (vide Pasal 1337 jo. Pasal 1339 KUH Perdata). Terpenuhinya seluruh syarat sahnya perjanjian sebagaimana dimaksud diatas mengakibatkan perjanjian tersebut berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya (berlaku mengikat bagi para pihak).
2.2.1 Dasar hukum transaksi elektronik. Transaksi elektronik (E-commerece) di Indonesia dikenal dengan berbagai istilah. Menurut Mariam Darus Badrulzaman sebagaimana yang diucapkan dalam pidato upacara memasuki masa purna bhakti sebagai Guru Besar tetap pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, istilah lain yang dipakai untuk
E-
commerce diantaranya kontrak dagang elektronik, kontrak saiber, transaksi dagang elektronik dan juga kontrak web. 46 Hal itu disebabkan karena
44
I Ketut Artadi dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, op. cit., h. 58.
45
Djaja S. Meliala, op. cit., h. 172.
46
Sukarmi, op. cit., h. 63.
42
permasalahan yang berkaitan dengan E-commerce sangat luas dan dipandang dari berbagai sudut yang berlainan. Menurut Chissick and Kelman, E-commerce is a broad term describing business activities with associated technical data that are conducted electronically atau istilah yang menggambarkan aktivitas-aktivitas bisnis dengan data teknis yang terasosiasi yang dilakukan secara atau dengan menggunakan media elektronik. 47 Sedangkan Sutan Remy Sjahdeini mendefinisikan E-commerce sebagai kegiatan-kegiatan yang menyangkut konsumen, manufaktur, service provider, dan perdagangan perantara yang menggunakan jaringan-jaringan komputer, yaitu internet. 48 Julian Ding dalam bukunya E-commerce: Law & Practice, mengemukakan bahwa E-commerce sebagai suatu konsep yang tidak didefinisikan. E-commerce memiliki arti yang berbeda bagi setiap orang. Hal itu seperti kita mendefinisikan seekor gajah, yaitu tergantung dari bagian mana gajah itu kita lihat atau pegang, maka akan berbeda pula definisi yang dapat diberikan. Julian Ding memberikan definisi mengenai E-commerce sebagai berikut: Electronic Commerce, or Ecommerce as it is also known, is a commercial transaction between a vendor and a purchaser or parties in similar contractual relationships for the supply of goods, services or the acquisition of “rights”. This commercial transaction is executed or entered into in an electronic medium (or digital medium) where the 47
M. Arsyad Sanusi, 2001, E-commerce: Hukum dan Solusinya, Mirzan Grafika Sarana, tanpa tempat terbit, h. 14. 48
Sutan Remi Sjadeini, 2010, “E-commerce (Tinjauan dari Aspek Hukum dan Perspektif Hukum)”, Makalah Sosialisasi Transaksi E-commerce, Jakarta, h. 16.
43
physical presence of the parties is not required, and the medium exist in a public network or system as opposed to a private network (closed system). The public network or system must be considered an open system (e.g. the Internet or the World Wide Web). The transactions are concluded regardless of national boundaries or local requirements. 49 Terjemahan bebasnya adalah Electronic Commerce atau E-commerce adalah transaksi dagang antara pihak penjual dan pihak pembeli untuk menyediakan barang, jasa atau mengambil alih hak. Kontrak ini dilakukan dengan media elektronik (digital medium) dimana para pihak tidak hadir secara fisik. Medium ini terdapat di dalam jaringan umum dengan sistem terbuka yaitu internet atau World Wide Web. Transaksi ini terjadi terlepas dari batas wilayah dan syarat nasional. Melalui E-commerce, semua persyaratan-persyaratan formal yang lazim dipergunakan dalam transaksi jual beli konvensional dikurangi, tentunya hal ini dengan dibarengi kebebasan pihak pembeli (konsumen) untuk mengumpulkan dan melakukan komparasi tentang informasi suatu barang dan/atau jasa yang akan dibeli tanpa dibatasi batasan wilayah. Argumen senada juga dikemukakan oleh Abu Bakar Munir yang menyatakan bahwa “There are several features, which distinguish electronic commerce from business conducted by traditional means. In particular: electronic commerce establishes a global market-place, where
49
Julian Ding, 1999, E-commerce: Law & Practice, Sweet & Maxwell Asia, Malaysia, h. 27.
44
traditional geographic boundaries are not only ignored, they are quite simply irrelevant...”. 50 Pada tahun 2002 dalam Naskah Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pemanfaatan Teknologi Informasi disebutkan bahwa perdagangan elektronik adalah setiap perdagangan baik barang dan/atau jasa yang dilakukan melalui jaringan komputer atau media elektronik lainnya. Dalam perkembangannya Naskah RUU tersebut diundangkan menjadi UU ITE, dimana dalam Pasal 1 angka 2 undang-undang ini disebutkan bahwa “Transaksi Elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan Komputer, jaringan Komputer, dan/atau media elektronik lainnya”. E-commerce pada dasarnya merupakan model transaksi jual beli moderen yang mengimplikasikan inovasi teknologi (internet) sebagai basis media transaksi. “Melalui transaksi perdagangan ini, konsep pasar tradisional (dimana pihak penjual dan pihak pembeli bertemu secara langsung/mengadakan tatap muka) berubah menjadi konsep telemarketing” 51 (perdagangan jarak jauh tanpa membutuhkan kehadiran fisik para pihak). Walaupun sedikit berbeda dengan transaksi jual beli konvensional, selama tidak diperjanjikan lain, maka ketentuan umum tentang perikatan dan perjanjian jual-beli yang diatur dalam Buku III KUH Perdata berlaku sebagai dasar hukum aktifitas E-commerce di Indonesia. Terkait dengan uraian diatas, bilamana ditelusuri ke belakang, kegiatankegiatan yang bersinggungan dengan E-commerce di Indonesia secara garis besar 50
Abu Bakar Munir, 1999, Cyber Law, Policies and Challenges, Butterworths Asia, Malaysia, h. 205-206. 51
Albarda, 1997, “Sistem Informasi untuk Kegiatan Promosi dan Perdagangan”, Makalah Seminar Informasi Institut Teknologi Bandung, Bandung, h. 3.
45
diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan seperti Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, UndangUndang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dan lain-lain. Namun, sejumlah regulasi tersebut ternyata belum mampu mengatasi kekosongan hukum yang berkaitan dengan E-commerce yang dalam perkembangannya menimbulkan masalah-masalah seperti: 52 1. Otentikasi subyek hukum yang melakukan transaksi melalui internet; 2. Saat perjanjian berlaku dan memiliki kekuatan mengikat secara hukum; 3. Obyek transaksi yang diperjualbelikan; 4. Mekanisme peralihan hak; 5. Hubungan hukum para pihak yang terlibat dalam transaksi elektronik baik pihak penjual, pihak pembeli, maupun para pihak pendukung seperti perbankan, internet service provider (ISP), dan lain-lain; 6. Legalitas dokumen catatan elektronik serta tanda tangan digital sebagai alat bukti; 7. Mekanisme penyelesaian sengketa; 8. Pilihan hukum dan forum peradilan yang berwenang dalam penyelesaian sengketa; dan 9. Masalah perlindungan konsumen, Hak Atas Kekayaan Intelektual (HKI), dan lain-lain. 52
Esther Dwi Maghfira, 2004, “Perlindungan Konsumen dalam E-commerce”, http://www.solusihukum.com/artikel/artikel131.php, diakses pada tanggal 13 November 2014.
46
Seiring perkembangannya untuk mengisi kekosongan hukum tersebut sekaligus mengatur secara spesifik mengenai segala aspek yang berhubungan dengan aktifitas-aktifitas E-commerce di Indonesia maka diundangkanlah UU ITE. Di sisi lain, ketentuan-ketentuan mengenai E-commerce juga dapat ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan (khususnya Pasal 65 dan 66) serta dalam PP PSTE. Merujuk pada uraian diatas, dapat diketahui bahwa E-commerce pada hakikatnya merupakan jenis perdagangan konvensional yang bersifat khusus karena sangat dominan peranan media dan alat-alat elektronik serta E-commerce sebenarnya memiliki dasar hukum perdagangan biasa (perdagangan konvesional atau jual beli biasa atau jual beli perdata). 53
2.2.2 Para pihak dalam perjanjian jual beli dengan sistem elektronik. Pada umumnya pihak-pihak yang terlibat dalam suatu perjanjian jual beli dengan sistem elektronik adalah: a. Penjual (merchant); b. Pembeli/konsumen; c. Pihak perantara penagihan/pembayaran (acquirer); d. Penerbit kartu kredit (Issuer); e. Certification Authorities; dan f. Jasa pengiriman barang (ekspedisi). Keterlibatan dari masing-masing pihak tersebut tergantung dari tahapantahapan transaksinya apakah sebagian atau seluruhnya dilakukan melalui jaringan 53
Sukarmi, op. cit., h. 65.
47
internet. Dalam perjanjian jual beli dengan sistem elektronik yang seluruh tahapan transaksinya dilakukan melalui jaringan internet (mulai dari proses transaksi hingga pembayaran), maka akan melibatkan pihak-pihak sebagai berikut: 54 1. Penjual (merchant), yaitu orang perseorangan, perusahaan atau produsen (pelaku usaha) yang menawarkan produknya melalui internet. Bagi merchant yang mengkhususkan dirinya menerima pembayaran melalui kartu kredit (credit card), maka merchant tersebut harus mendaftarkan diri pada sebuah bank untuk mendapat sebuah merchant account.
2. Pembeli/konsumen, yaitu orang-orang yang ingin memperoleh produk (barang dan/atau jasa) melalui pembelian secara online. Pihak pembeli yang akan berbelanja melalui jaringan internet dapat berstatus perorangan atau perusahaan. Apabila pihak pembeli merupakan perorangan, maka yang perlu diperhatikan dalam transaksi elektronik tersebut adalah bagaimana sistem pembayaran
yang
digunakan,
apakah
pembayaran
dilakukan
dengan
mempergunakan credit card atau dimungkinkan pembayaran dilakukan secara manual. Hal ini penting untuk diketahui, mengingat tidak semua konsumen yang akan berbelanja di internet adalah pemegang kartu kredit (card holder). Card holder adalah orang yang namanya tercetak pada credit card yang dikeluarkan oleh penerbit kartu kredit (issuer) berdasarkan perjanjian yang dibuat.
54
Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, 2005, Cyber Law: Aspek Hukum Teknologi Informasi, Refika Aditama, Jakarta., h. 152-154.
48
3. Acquirer, yaitu pihak perantara penagihan (antara merchant dan issuer) dan perantara pembayaran (antara card holder dan issuer). Perantara penagihan adalah pihak yang meneruskan penagihan kepada issuer berdasarkan tagihan yang masuk kepadanya yang diberikan oleh merchant. Pihak perantara pembayaran (antara card holder dan issuer) adalah bank dimana pembayaran credit card dilakukan oleh card holder, selanjutnya bank yang menerima pembayaran ini akan mengirimkan uang pembayaran tersebut kepada issuer.
4. Issuer, yaitu perusahaan yang menerbitkan credit card. Di Indonesia ada beberapa lembaga yang diijinkan untuk menerbitkan credit card, yaitu: a. Bank dan lembaga keuangan bukan bank. Tidak semua bank dapat menerbitkan credit card, hanya bank yang telah memperoleh ijin dari Card International yang dapat menerbitkan credit card, seperti Master dan Visa Card; b. Perusahaan non bank dalam hal ini PT. Dinner Jaya Indonesia International yang membuat perjanjian dengan perusahaan yang ada di luar negeri; dan c. Perusahaan yang membuka cabang dari perusahaan induk yang ada di luar negeri, yaitu American Express. 5. Certification Authorities yaitu pihak ketiga yang netral yang memegang hak untuk mengeluarkan sertifikasi kepada merchant, issuer dan dalam beberapa hal diberikan kepada card holder.
49
Apabila dalam suatu transaksi elektronik yang hanya sebagian tahapannya dilakukan melalui jaringan internet, dengan kata lain hanya proses transaksinya yang online, sementara pembayaran tetap dilakukan secara manual, maka pihak acquirer, issuer dan certification authority tidak terlibat di dalamnya. Di samping pihak-pihak tersebut diatas, pihak lain yang dimungkinkan dilibatkan (secara tidak langsung) dalam transaksi elektronik jenis ini adalah jasa pengiriman barang (ekspedisi). 55
2.3 Pengertian Cacat Tersembunyi Sebuah produk (barang) dapat dikatakan mengalami suatu kecacatan bilamana produk tersebut membahayakan penggunanya serta tidak memenuhi syarat-syarat keamanan tertentu. Bilamana dicermati, cakupan dari hal tersebut begitu
luas,
maka
dalam
hal
ini
ada
beberapa
pertimbangan
untuk
mengklasifikasikan suatu produk mengalami kecacatan, diantaranya: a. Penampilan produk; b. Kegunaan yang seharusnya diharapkan dari produk yang bersangkutan; dan c. Saat produk tersebut diedarkan. Pertimbangan pertama, penampilan produk. Mengapa penampilan produk? Hal ini dikarenakan lebih mudah untuk diamati oleh pihak pembeli, faktornya adalah apakah penampilan produk tersebut baik atau mencurigakan. Pertimbangan kedua adalah kegunaan yang seharusnya diharapkan dari produk yang bersangkutan. Hal ini dimaksudkan sebagai manfaat yang seharusnya dinikmati
55
Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, loc. cit.
50
oleh pihak pembeli setelah mengkonsumsi produk tersebut, sebagai contohnya adalah bilamana pihak pembeli membeli perangkat lunak komputer yang seharusnya berfungsi sebagai program pengolah angka, namun pada kenyataannya program tersebut tidak berjalan sebagaimana fungsinya, maka dalam hal ini perangkat lunak komputer tersebut dapat dikatakan telah mengalami suatu kecacatan. Pertimbangan ketiga adalah saat produk tersebut diedarkan. Disini dipertimbangkan suatu produk tidak cacat apabila di saat lain setelah produk tersebut beredar, dihasilkan pula produk (bersamaan) yang lebih baik. Upaya pendefinisian mengenai produk yang cacat itu sendiri sebenarnya sudah pernah dilakukan, salah satunya adalah pendefinisian yang dilakukan oleh Tim Kerja Penyusun Naskah Akademik Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman Republik Indonesia. Dalam hal ini dirumuskan bahwa yang dimaksud dengan produk yang cacat adalah “Setiap produk yang tidak dapat memenuhi tujuan pembuatannya, baik karena kesengajaan, atau kealpaan dalam proses produksinya maupun disebabkan hal-hal lain yang terjadi dalam peredarannya, atau tidak menyediakan syarat-syarat keamanan bagi manusia atau harta benda mereka dalam penggunaannya, sebagaimana layaknya diharapkan orang”. 56 Dalam KUH Perdata secara tersirat juga dirumuskan mengenai kecacatan tersebut. Cacat dalam hal ini didefinisikan sebagai cacat yang sungguh-sungguh bersifat sedemikian rupa yang menyebabkan barang itu tidak dapat digunakan dengan sempurna sesuai dengan keperluan yang semestinya dihayati oleh barang 56
Anonim, tanpa tahun, “Produk Cacat”, http://republika.co.id (selanjutnya disingkat Anonim I), diakses pada tanggal 16 November 2014.
51
itu, atau mengakibatkan berkurangnya manfaat barang tersebut dari tujuan yang semestinya. 57 Perlu ditekankan bahwa dalam KUH Perdata dikenal 2 (dua) jenis kecacatan pada barang, yakni: a. Cacat kelihatan; dan b. Cacat tersembunyi Pengertian cacat kelihatan adalah cacat yang terdapat pada barang yang sudah terlihat sebelumnya (vide Pasal 1505 KUH Perdata). Sedangkan pengertian cacat tersembunyi secara implisit dirumuskan dalam Pasal 1504 KUH Perdata yang menyatakan bahwa “Penjual harus diwajibkan menanggung terhadap cacat tersembunyi pada barang yang dijual, yang membuat barang itu tak sanggup untuk pemakaian yang dimaksudkan, atau yang demikian mengurangi pemakaian itu sehingga seandaianya pembeli mengetahui cacat itu, ia sama sekali tidak akan membeli barangnya, atau tidak akan membelinya selain dengan harga yang kurang”. Merujuk pada uraian diatas, dapat diketahui bahwa cacat tersembunyi adalah suatu cacat yang terdapat pada barang yang sifatnya tidak mudah dilihat apabila tidak dicermati secara jeli dan teliti. Menurut Yahya Harahap, “cacat tersembunyi ialah cacat yang mengakibatkan kegunaan barang tidak sesuai lagi dengan tujuan pemakaian yang semestinya”. 58 Dengan memfokuskan perhatian
57
Andi Asrianti, 2013, “Cacat Tersembunyi”, http://digilib.unpas.ac.id/files/disk1/11/ jbptunpaspp-gdl-intanpenta-549-1-realskr-i.pdf, diakses pada tanggal 16 November 2014. 58
M. Yahya Harahap, 1986, Segi – Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, h. 198.
52
pada rumusan Pasal 1504 KUH Perdata sebagaimana diuraikan diatas, dapat diformulasikan bahwa unsur-unsur dalam suatu cacat tersembunyi adalah: 59 a. Sesuatu yang tidak tampak atau tidak diketahui pada saat pembelian dilaksanakan; b. Suatu keadaan yang jika diketahui pada saat pembelian dilakukan akan menyebabkan: 1. pembeli tidak akan membeli kebendaan tersebut sama sekali; atau 2. pembeli tidak akan membayar harga pembelian tersebut, kecuali dengan nilai jual yang lebih rendah daripada yang telah dibayar olehnya. Oleh karena cacat tersembunyi tersebut: 1. Mengakibatkan kebendaan yang dibeli tidak dapat dipergunakan sesuai dengan maksud penggunaannya; dan/atau 2. Mengakibatkan berkurangnya manfaat pemakaian atau penggunaan kebendaan tersebut. Terkait dengan uraian diatas, dalam hal ini pengertian cacat tersembunyi dapat diklasifikasikan menjadi 2 (dua) jenis, yaitu: 60 a. Cacat tersembunyi positif Maksudnya adalah apabila cacat barang itu tidak diberitahukan oleh pihak penjual kepada pihak pembeli atau pihak pembeli sendiri tidak mengetahui dan/atau tidak melihat bahwa barang yang bersangkutan cacat, maka terhadap 59
Gunawan Widjaja dan Kartini Muljadi, 2003, Jual Beli, RajaGrafindo Persada, Jakarta, (selajutnya disingkat Gunawan Widjaja dan Kartini Muljadi I), h. 178. 60
Umbu Laiya Sobang W. K. A, 2008, “Tanggung Jawab Para Pihak dalam Perjanjian Jual Beli Meubel Antara UD. Kusuma Jati Salatiga dengan Pembeli” Tesis Program Studi Magister Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Diponegoro, Semarang, h. 42.
53
cacat tersebut pihak penjual berkewajiban untuk menanggungnya. Tentang cacat tersembunyi positif, lebih lanjut diatur dalam Pasal 1504 sampai dengan Pasal 1510 KUH Perdata. Dalam hal ini, menurut Pasal 1504 KUH Perdata bila dikaitkan dengan Pasal 1506 KUH Perdata, dapat dikatakan bahwa pihak penjual harus bertanggung jawab apabila barang yang bersangkutan mengandung cacat tersembunyi, terlepas dari sepengetahuan dan/atau sepengelihatan pihak penjual, kecuali jika dalam hal yang sedemikian telah meminta diperjanjikan bahwa ia tidak diwajibkan menanggung sesuatu apapun. b. Cacat tersembunyi negatif Apabila cacat terhadap suatu barang sebelumnya sudah diberitahukan oleh pihak penjual kepada pihak pembeli, dan dalam masalah ini pihak pembeli benar-benar sudah melihat adanya cacat terhadap barang tersebut, maka pihak pembeli sendiri yang akan menanggungnya. Merujuk pada klasifikasi cacat tersembunyi sebagaimana dimaksud diatas, terlihat jelas ada perbedaan mendasar mengenai ada dan tidak adanya iktikad baik dari pihak penjual untuk memberi tahu pihak pembeli tentang cacat tersembunyi tersebut. Dalam jenis cacat tersembunyi positif dapat dikatakan bahwa pihak penjual telah memiliki iktikad tidak baik karena ia tidak memberi tahu tentang cacat tersembunyi tersebut kepada pihak pembeli. Sebaliknya, dalam jenis cacat tersembunyi negatif, tindakan pihak penjual yang memberi tahu pihak pembeli tentang cacat tersembunyi tersebut merupakan visualisasi iktikad baik dari pihak penjual.
54
Terkait dengan uraian diatas, khususnya dalam jenis cacat tersembunyi positif pada hakikatnya telah memenuhi salah satu klasifikasi wanprestasi dalam hal memenuhi prestasi secara tidak baik. Mengapa demikian? Hal ini didasarkan pada argumen bahwa tindakan pihak penjual yang tidak menginformasikan mengenai cacat tersembunyi yang terkandung pada suatu kebendaan yang akan diperjual belikan tersebut menyebabkan pihak pembeli beranggapan bahwa barang tersebut adalah barang yang laik guna dalam artian bahwa barang tersebut bebas dari kecacatan. Di sisi lain, faktor kesalahan pihak penjual (baik karena kesengajaan atau kelalaian) dalam memilih dan/atau merawat barang juga menjadi salah satu faktor penentu. Dikatakan demikian bilamana barang/obyek perjanjian tersebut adalah barang yang dalam perawatan/penyimpanannya tidak boleh diperlakukan secara sembarangan, namun pihak penjual tidak mengindahkan hal tersebut, maka hal ini dapat berakibat pada kecacatan bahkan kerusakan barang itu sendiri. Contohnya adalah air mineral (air minum) dalam kemasan, dalam penyimpanannya sangat dilarang terpapar sinar matahari secara langsung, bilamana hal ini dilakukan (baik dengan kesengajaan maupun dengan kelalaian), maka air mineral tersebut akan dapat mengalami suatu kecacatan (mineral-mineral yang terkandung di dalamnya menjadi musnah; dan/atau berlumut; dan/atau masa kadaluarsanya menjadi lebih awal). Hal ini tentunya akan sangat merugikan pihak pembeli.