BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA, PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA, KEADAAN MEMAKSA DAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL 2.1
Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja
2.1.1
Pengertian dan tujuan perlindungan hukum terhadap pekerja Pekerja/buruh mempunyai peran yang sangat penting dalam menjalankan
suatu perusahaan. Tanpa adanya pekerja/buruh, pengusaha tidak dapat menjalankan aktifitas perusahaan sebagaimana mestinya. Namun sering kali peran daripada pekerja/buruh belum mendapatkan perhatian baik itu dari perusahaan, maupun pemerintah. Pengusaha sering kali bertindak sewenang-wenang terhadap pekerja/buruh yang mengakibatkan hak-hak pekerja/buruh dilanggar oleh pengusaha. Namun tidak berarti semua kesalahan berada pada pengusaha karena terkadang kelalaian terletak pada pekerja/buruh yang mengakibatkan kerugian kepada pengusaha. Salah satu penyebab terjadinya tindakan sewenang-wenang yang dilakukan pengusaha kepada pekerja/buruh adalah kedudukan yang dimiliki oleh pengusaha lebih tinggi daripada kedudukan buruh yang terbilang rendah dan lemah. Dengan demikian diperlukan adanya perlindungan hukum terhadap pekerja sehingga hakhak pekerja dapat terjamin seutuhnya. Pengertian perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan terhadap subyek hukum dalam bentuk perangkat hukum baik yang bersifat preventif maupun yang bersifat represif, baik yang tertulis
26
27
maupun tidak tertulis. Dengan kata lain perlindungan hukum sebagai suatu gambaran dari fungsi hukum yaitu konsep dimana hukum dapat memberikan keadilan, ketertiban, kepastian, kemanfaatan dan kedamaian.24 Selain itu, menurut Satjipto Raharjo perlindungan hukum adalah upaya untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum.25 Dari pengertian mengenai perlindungan hukum tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa yang dimaksud perlindungan hukum adalah suatu upaya yang dilakukan oleh Negara kepada subyek hukum untuk melindungi hak-hak subyek hukum baik secara preventif maupun represif. Mengenai pengertian perlindungan hukum terhadap pekerja dapat diartikan sebagai upaya yang dilakukan untuk memberikan perlindungan kepada pekerja untuk menikmati hak-haknya dan mencegah terjadinya pelanggaran yang dilakukan oleh majikan atau pengusaha yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Adapun tujuan diberikannya perlindungan hukum terhadap tenaga kerja adalah untuk menjamin berlangsungnya sistem hubungan kerja secara harmonis tanpa disertai adanya tekanan dari pihak yang kuat kepada pihak yang lemah.26 Selain itu tujuan perlindungan hukum terhadap pekerja tidak hanya mencakup pada berlasungnya hubungan kerja tetapi juga pada saat hubungan kerja tersebut berakhir. Hubungan kerja berakhir dapat disebabkan waktu perjanjian kerja berakhir atau dikarenakan tindakan pengusaha melakukan PHK. Disinilah tujuan
24 Polewali Mandar, 2014, “Status Hukum” Serial Blog. URL:http://statushukum.com/tentang-status-hukum, Diakses 19 Januari 2016 Pukul 15.05 Wita. 25
Satjipto Raharjo, 2000, Ilmu Hukum, Cet.V, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm.53.
26
Abdul Khakim, op.cit, hlm. 103.
28
perlindungan hukum yaitu untuk memberikan pemenuhan hak-hak pekerja setalah berakhirnya hubungan hukum tersebut. 2.1.2
Sarana dan objek perlindungan hukum terhadap pekerja Terdapat dua sarana perlindungan hukum, hal ini sebagaimana yang
dijelaskan oleh Philipus M. Hadjon bahwa perlindungan hukum dibagi menjadi 2 (dua), yaitu: 1.
Perlindungan hukum preventif yaitu perlindungan hukum yang bertujuan untuk mencegah terjadinya suatu sengketa.
2.
Perlidungan hukum represif adalah perlindungan hukum yang bertujuan untuk menyelesaikan suatu sengketa.27
Perlindungan hukum preventif ditandai dengan dibentuknya peraturan perundang-undangan yang dimaksudkan untuk membatasi tindakan-tindakan seseorang yang dapat melanggar hak daripada orang lain. Sedangkan perlindungan hukum represif ditandai dengan menerapkan sanksi terhadap pelaku yang diberikan apabila terjadi pelanggaran terhadap aturan-aturan yang telah ditetapkan. Untuk memberikan perlindungan hukum terhadap pekerja maka Pemerintah membentuk UU No. 13 Tahun 2003 dan UU No. 2 Tahun 2004. Objek perlindungan hukum terhadap pekerja berdasarkan UU No. 13 Tahun 2003 tersebut meliputi: a. Perlindungan atas hak-hak dalam hubungan kerja; b. Perlindungan atas hak-hak dasar pekerja/buruh untuk berunding dengan pengusaha, dan mogok kerja; c. Perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja; 27
Fitri Hidayat, 2013, Perlindungan Hukum Unsur Esensial Dalam Suatu Negara Hukum, URL:http://fitrihidayat-ub.blogspot.com/2013/07/perlindungan-hukum-unsuresensialdalam.html?m=1, diakses 2 Desember 2015 pukul 11.42 Wita.
29
d. Perlindungan khusus bagi pekerja/buruh perempuan, anak, dan penyandang cacat; e. Perlindungan tentang upah, kesejahteraan, dan jaminan sosial tenaga kerja; dan f. Perlindungan atas hak pemutusan hubungan tenaga kerja. Soepomo dalam Asikin membagi 3 (tiga) macam perlindungan tenaga kerja yaitu: a. Perlindungan ekonomis, yaitu perlindungan tenaga kerja dalam bentuk penghasilan yang cukup, termasuk apabila tenaga kerja tidak mampu bekerja di luar kehendaknya. b. Perlindungan sosial, yaitu perlindungan tenaga kerja dalam bentuk jaminan kesehatan kerja, dan kebebasan berserikat dan perlindungan hak untuk berorganisasi. c. Perlindungan teknis, yaitu perlindungan tenaga kerja dalam bentuk keamanan dan keselamatan kerja.28 2.2
Pemutusan Hubungan Kerja
2.2.1 Hubungan kerja dan perjanjian kerja Berdasarkan Pasal 1 angka 15 UU No. 13 Tahun 2003 menentukan bahwa “Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah”. Unsur-unsur perjanjian kerja yang menjadi dasar hubungan kerja sesuai ketentuan Pasal 1 angka 14 UU No. 13 Tahun 2003 adalah: 1. 2. 3. 4.
adanya pekerjaan (arbeid); di bawah perintah/gezag ver houding (maksudnya buruh melakukan pekerjaan atas perintah majikan, sehingga bersifat subordinasi); adanya upah tertentu/loan; dalam waktu (tijd) yang ditentukan (dapat tanpa batas waktu/pensiun atau berdasarkan waktu tertentu).29
28
29
Zainal Asikin, et.al, op.cit, hlm 76.
Asri Wijayanti, op.cit , hlm. 36
30
Perjanjian kerja merupakan dasar terbentuknya hubungan kerja. Menurut Shamad, perjanjian kerja ialah suatu perjanjian di mana seseorang mengikatkan diri untuk bekerja pada orang lain dengan menerima imbalan berupa upah sesuai dengan syarat-syarat yang dijanjikan atau disetujui bersama.30 Sedangkan menurut Subekti, perjanjian kerja adalah perjanjian antara seorang buruh dengan seorang majikan, dimana ditandai dengan adanya upah atau gaji tertentu yang diperjanjikan dan hubungan diperatas yaitu hubungan persekutuan dimana pihak yang satu (majikan) berhak memberikan perintah-perintah yang harus ditaati oleh pihak yang lain.31 Berdasarkan Pasal 1 angka 14 UU No. 13 Tahun 2003 menentukan “Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak”. Adapun syarat-syarat perjanjian kerja dalam UU No. 13 Tahun 2003 yakni terdapat 2 (dua) syarat yaitu syarat materiil dan syarat formil. Syarat materiil terdapat dalam ketentuan Pasal 52 UU No. 13 Tahun 2003 yaitu: Perjanjian kerja dibuat atas dasar: 1) Kesepakatan kedua belah pihak; 2) Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum; 3) Adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan 4) Pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan.
30
Yunus Shamad,1995, Hubungan Industrial di Indonesia, PT. Bina Sumberdaya Manusia, Jakarta, hlm. 55. 31
Subekti, 1995, Aneka Perjanjian, Cet. X, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 58.
31
Apabila perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak bertentangan dengan ketentuan pada huruf a dan b maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan sedangkan apabila perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak bertentangan dengan ketentuan pada huruf c dan d maka perjanjian tersebut batal demi hukum. Syarat formil perjanjian kerja terdapat dalam ketentuan Pasal 54 UU No. 13 Tahun 2003 yang menentukan: Perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis sekurang-kurangnya memuat: a. b. c. d. e. f.
Nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha; Nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh; Jabatan atau jenis pekerjaan; Tempat pekerjaan; Besarnya upah dan cara pembayarannya; Syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/buruh; g. Mulai dan jangka waktu berlakuknya perjanjian kerja; h. Tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dan i. Tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja. Menurut waktu berakhirnya, perjanjian kerja dibagi menjadi 2 (dua) macam yaitu perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) dan perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT). Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 100/MEN/VI/2004 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu menyatakan “Perjanjian Kerja Waktu Tertentu yang selanjutnya disebut PKWT adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerjaan tertentu”. Sedangkan perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu berdasarkan Pasal 1 angka 2 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 100/MEN/VI/2004 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu menyatakan “Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu yang selanjutnya
32
disebut PKWTT adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja yang bersifat tetap”. 2.2.2 Pengertian dan macam-macam pemutusan hubungan kerja PHK merupakan salah satu masalah yang sering terjadi dalam dunia ketenagakerjaan. Masalah PHK tidak hanya membawa penderitaan bagi pekerja saja tetapi juga membawa penderitaan bagi keluarga pekerja. Menurut beberapa pendapat para sarjana seperti Ridwan Halim berpendapat bahwa PHK adalah suatu lagkah pengakhiran hubungan kerja antara buruh dengan majikan karena suatu hal tertentu.32 Menurut Manulang mengemukakan bahwa istilah PHK dapat memberikan beberapa pengertian yaitu: a. Termination yaitu putusnya hubungan kerja karena selesainya atau berakhirnya kontrak kerja yang telah disepakati. b. Dismissal yaitu putusnya hubungan kerja karena karyawan melakukan tindakan pelanggaran disiplin yang telah ditetapkan. c. Redundancy yaitu pemutusan hubungan kerja karena perusahaan melakukan
pengembangan
dengan
menggunakan
mesin-mesin
berteknologi baru. d. Retrenchment yaitu pemutusan hubungan kerja yang dikaitkan dengan masalah-maslaah ekonomi.33
32
A. Ridwan Halim, op.cit, hlm.136
Sri Zulhartati, 2010, “Pengaruh Pemutusan Hubungan Kerja Terhadap Karyawan Perusahaan”, http://jurnal.untan.ac.id/index.php/JPSH/article/viewFile/382/385, diakses Rabu, 2 Desember 2015 pukul 12.19 Wita. 33
33
Selain itu, menurut Mutiara S. Panggabean, PHK adalah pengakhiran hubungan kerja antara pekerja dan pengusaha yang dapat disebabkan oleh berbagai macam alasan, sehingga berakhir pula hak dan kewajiban antara mereka.34 Secara yuridis pengertian mengenai PHK tercantum dalam ketentuan Pasal 1 angka 25 UU No. 13 Tahun 2003 menentukan bahwa yang dimaksud dengan “Pemutusan Hubungan Kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha”. Kemudian menurut Pasal 1 angka 4 Kepmenaker No: KEP150/MEN/2000 menentukan “Pemutusan Hubungan Kerja adalah pengakhiran hubungan kerja antara pengusaha dengan pekerja berdasarkan ijin Panitia Daerah dan Panitia Pusat”. Berdasarkan pengertian dari para sarjana dan merujuk peraturan perundang-undangan maka dapat disimpulkan bahwa PHK merupakan pengakhiran hubungan kerja antara pengusaha dengan pekerja dikarenakan alasan-alasan tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban keduanya. Selain PHK yang dilakukan terhadap perseorangan, PHK juga dilakukan secara besar-besaran (massal). Berdasarkan Kepmenaker No: KEP-150/MEN/2000 Pasal 1 angka 5 memberikan pengertian pemutusan hubungan kerja secara besarbesaran (massal) adalah “Pemutusan hubungan terhadap 10 (sepuluh) orang pekerja atau lebih pada satu perusahaan dalam satu bulan atau terjadi rentetan pemutusan hubungan kerja yang dapat menggambarkan suatu itikad pengusaha untuk mengadakan pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran”. PHK dapat dibagi
Made Indah Puspita, 2015, “Peran Serikat Pekerja Dalam Pemutusan Hubungan Kerja Sepihak di Hotel Bali Hyatt”, Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, hlm. 44-45. 34
34
dalam empat macam yaitu PHK demi hukum, PHK oleh pengusaha, PHK oleh pekerja/buruh dan PHK oleh Pengadilan. 1.
Pemutusan Hubungan Kerja Demi Hukum PHK demi hukum merupakan PHK yang terjadi dengan sendirinya secara
hukum. Dalam ketentuan Pasal 1603.e KUH Perdata menentukan bahwa “Hubungan kerja berakhir demi hukum, jika habis waktunya yang ditetapkan dalam perjanjian dan dalam peraturan perundang-undangan atau jika semuanya itu tidak ada, menurut kebiasaan”. Dalam ketentuan Pasal 61 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 menentukan: Perjanjian kerja berakhir apabila: a. Pekerja meninggal dunia; b. Berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja; c. Adanya putusan pengadilan dan/atau putusan atau penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; atau d. Adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya pemutusan hubungan kerja. Adapun alasan PHK demi hukum dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 154 UU No. 13 Tahun 2003 meliputi: a. Pekerja/buruh masih dalam masa percobaan kerja, bilamana telah dipersyaratkan secara tertulis sebelumnya; b. Pekerja/buruh mengajukan permintaan pengunduran diri, secara tertulis atas kemauan sendiri tanpa indikasi adanya tekanan/intimidasi dari pengusaha, berakhirnya hubungan kerja sesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) untuk pertama kali; c. Pekerja/buruh telah mencapai usia pensiun yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-undangan; dan d. Pekerja/buruh meninggal dunia.
35
2.
Pemutusan Hubungan Kerja oleh Pengusaha PHK atas inisiatif pengusaha dapat diklasifikasikan dalam 2 (dua) bagian,
yakni: 1. PHK yang didasarkan pada alasan yang terletak pada diri pekerja/ buruh. 2. PHK yang didasarkan pada alasan yang terletak pada diri pengusaha.35 PHK yang didasarkan pada alasan yang terletak pada diri pekerja/buruh artinya adalah bahwa pengakhiran hubungan kerja dimaksud dikehendaki oleh pengusaha karena terdapat peristiwa hukum yang dilakukan atau melibatkan pekerja/buruh, dimana peristiwa hukum yang dilakukan atau melibatkan pekerja tersebut dapat berakibat diakhirinya hubungan kerja.36 Peristiwa hukum yang dimaksud disini adalah pelanggaran atau kesalahan yang dilakukan pekerja/buruh dalam menjalankan pekerjaannya. Pelanggaran tersebut telah diatur baik dalam peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja bersama maupun peraturan perusahaan. Dengan demikian PHK dapat terjadi apabila pekerja melakukan kesalahan ringan dan/atau kesalahan berat. PHK karena kesalahan ringan tidak diatur dalam UU No. 13 Tahun 2003 dan Kepmenaker No: KEP-150/MEN/2000, tetapi diatur dalam Pasal 18 ayat (1) Permenaker No. Per-4/Men/1986,yaitu: a. Setelah tiga kali berturut-turut pekerja tetap menolak untuk menaati perintah atau penugasan yang layak sebagaimana tercantum dalam perjanjian kerja, perjanjian kerja bersama atau peraturan perusahaan; b. Dengan sengaja atau karena lalai mengakibatkan dirinya dalam keadaan demikian, sehingga ia tidak dapat menjalankan pekerjaan yang diberikan kepadanya; 35
Edy Sutrisno Sidabatur, op.cit, hlm. 11.
36
Edy Sutrisno Sidabatur, op.cit. hlm. 12
36
c. Tidak cakap dalam melakukan pekerjaan walaupun sudah dicoba di bidang tugas yang ada; d. Melanggar ketentuan yang telah ditetapkan dalam kesepakatan kerja bersama, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja. PHK karena kesalahan berat dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 158 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 yang meliputi: a. Melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/atau uang milik perusahaan; b. Memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan perusahaan; c. Mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan, memakai dan atau menggedarkan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya di lingkungan kerja; d. Melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja; e. Menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman sekerja atau pengusaha di lingkungan kerja; f. Membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; g. Dengan ceroboh atau dengan sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya barang milik perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi perusahaan; h. Dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau pengusaha dalam keadaan bahaya di tempat kerja; i. Membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara;atau j. Melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang di ancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih. Kesalahan berat tersebut haruslah didukung dengan bukti sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 158 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003 yakni: a. Pekerja/buruh tertangkap tangan; b. Ada pengakuan dari pekerja/buruh yang bersangkutan; atau c. Bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak yang berwenang di perusahaan yang bersangkutan dan didukung oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi.
37
Selanjutnya, PHK yang didasarkan pada alasan yang terletak pada diri pengusaha artinya terdapat suatu kondisi tertentu dimana pengusaha tidak dapat lagi mempekerjakan
pekerja/buruh.
Ketentuan
UU
No.
13
Tahun
2003
memperbolehkan pengusaha melakukan PHK dengan kondisi tertentu yang dapat dijadikan sebagai alasan pengusaha melakukan PHK. Adapun kondisi tersebut yakni: 1. Terjadi perubahan status, penggabungan, peleburan, atau perubahan kepemilikan perusahaan (Pasal 163 UU No. 13 Tahun 2003); 2. Perusahaan tutup baik karena kerugian secara terus-menerus maupun karena keadaan memaksa (force majeure) (Pasal 164 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003); 3. Perusahaan tutup karena melakukan efisiensi; (Pasal 164 ayat (3) UU No. 13 Tahun 2003); 4. Perusahaan pailit (Pasal 165 UU No. 13 Tahun 2003) Pada kenyataannya sering terjadi PHK oleh pengusaha yang tidak layak dijadikan sebagai alasan PHK. Adapun PHK yang tidak layak tersebut antara lain: a. Jika antara lain tidak menyebutkan alasannya; atau b. Jika alasannya PHK itu dicari-cari (pratext) atau alasannya palsu; c. Jika akibat pemberhentian itu bagi pekerja/buruh adalah lebih berat dari pada keuntungan pemberhentian itu bagi majikan; atau d. Jika pekerja/buruh diperhentikan bertentangan dengan ketentuan dalam undang-undang atau kebiasaan mengenai susunan staf atau aturan ranglijs (seniority rules), dan tidak ada alasan lain penting untuk tidak memenuhi ketentuan-ketentuan itu.37 3.
Pemutusan Hubungan Kerja oleh Pekerja/Buruh
37
G. Kartasapoetra,et.al, 1983, Hukum Perburuhan, Pancasila Bidang Pelaksanaan Hubungan Kerja, Armico, Bandung, hlm.29.
38
PHK oleh pekerja/buruh merupakan tindakan yang dilakukan pekerja/buruh atas kehendaknya sendiri tanpa ada paksaan atau ancaman dari orang lain untuk itu. Adapun alasan PHK oleh pekerja/buruh yakni pekerja/buruh meminta pengunduran diri yang sebagaimana tercantum dalam ketentuan Pasal 154 huruf b UU No. 13 Tahun 2003 yang menyatakan bahwa “Pekerja/buruh mengajukan permintaan pengunduran diri, secara tertulis atas kemauan sendiri tanpa indikasi adanya tekanan/intimidasi dari pengusaha, berakhirnya hubungan kerja sesuai dengan perjanjian kerja tertentu untuk pertama kali”. Alasan lainnya adalah pekerja mengajukan permohonan PHK kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 169 UU No. 13 Tahun 2003 yang menyatakan bahwa: Pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam hal pengusaha melakukan perbuatan sebagai berikut: a. Menganiaya,menghina secara kasar atau mengancam pekerja/buruh; b. Membujuk atau menyuruh pekerja/buruh untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; c. Tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih; d. Tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada pekerja/buruh; e. Memerintahkan pekerja/buruh untuk melaksanakan pekerjaan diluar yang diperjanjikan; f. Memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan, kesehatan, dan kesusilaan pekerja/buruh sedangkan pekerjaan tersebut tidak dicantumkan pada perjanjian kerja. 4.
Pemutusan Hubungan Kerja oleh Pengadilan PHK oleh pengadilan berarti bahwa PHK terjadi karena adanya putusan dari
pengadilan. PHK yang terjadi karena adanya putusan pengadilan merujuk dari adanya sengketa yang terjadi antara pekerja/buruh dengan majikan atau sebaliknya
39
yang berlanjut pada proses peradilan. Pengadilan yang dimaksud disini adalah Pengadilan Hubungan Industrial yang secara khusus berwenang memeriksa dan mengadili perselisihan hubungan industrial. PHK oleh pengadilan ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1603v KUH Perdata yang memberikan hak kepada masing-masing pihak setiap waktu bahkan sebelum pekerjaan dimulai berdasarkan alasan penting untuk mengajukan permohonan tertulis kepada Pengadilan Negeri di tempat kediamannya yang sesungguhnya untuk menyatakan perjanjian kerja putus. 2.2.3 Hak pekerja dalam pemutusan hubungan kerja Jika terjadi PHK yang perlu diperhatikan adalah hak-hak yang wajib diberikan kepada pekerja setelah terjadinya PHK tersebut. Hak-hak tersebut sepatutnya diberikan mengingat jasa-jasa yang telah dilakukan oleh pekerja kepada pengusaha selama ia bekerja. Selain itu, PHK tentu saja membawa penderitaan bagi pekerja karena kehilangan pekerjaan berarti kehilangan penghasilan yang akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya. Untuk itu pemberian hak kepada pekerja setelah terjadinya PHK sangat diperlukan untuk mengurangi penderitaan daripada pekerja. UU No. 13 Tahun 2003 telah mengatur hak yang wajib diberikan oleh pengusaha kepada pekerja yakni sebagaimana tertuang dalam ketentuan Pasal 156 ayat (1) yang menentukan bahwa “Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima”.
40
UU No. 13 Tahun 2003 tidak memuat pengertian mengenai uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian. Pengertian tersebut merujuk pada Permenaker No: KEP-150/MEN/2000. Berdasarkan Pasal 1 angka 6 Permenaker No: KEP-150/MEN/2000 menentukan “Uang pesangon adalah uang pembayaran berupa uang dari pengusaha kepada pekerja sebagai akibat adanya pemutusan hubungan kerja”. Kemudian Pasal 1 angka 7 Permenaker No: KEP150/MEN/2000 menentukan “Uang penghargaan masa kerja adalah uang jasa sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 1964 sebagai penghargaan pengusahaan kepada pekerja yang dikaitkan dengan lamanya masa kerja”. Selanjutya dalam Pasal 1 angka 8 Permenaker No: KEP-150/MEN/2000 menentukan “Ganti kerugian adalah pembayaran berupa uang dari pengusaha kepada pekerja sebagai penggantian istirahat tahunan istirahat panjang, biaya perjalanan pulang ketempat dimana pekerja diterima bekerja, fasilitas pengobatan, fasilitas perumahan dan lain-lain yang ditetapkan oleh Panitia Daerah atau Panitia Pusat sebagai akibat adanya pengakhiran hubungan kerja”. Istilah ganti kerugian sekarang dikenal sebagai uang penggantian hak sesuai dengan ketentuan Pasal 156 UU No. 13 Tahun 2003. Ketentuan Pasal 156 UU No. 13 Tahun 2003 mewajibkan pengusaha membayar uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak. Dalam Pasal 156 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003 menentukan: Perhitungan uang pesangon sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling sedikit sebagai berikut: a. masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan upah; b. masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2 (dua) bulan upah;
41
c. masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga) bulan upah; d. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4 (empat) bulan upah; e. masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 5 (lima) tahun, 5 (lima) bulan upah; f. masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6 (enam) bulan upah; g. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun, 7 (tujuh) bulan upah; h. masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 8 (delapan) tahun, 8 (delapan) bulan upah; i. masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah; Pasal 156 ayat (3) UU No. 13 Tahun 2003 menentukan: Perhitungan uang penghargaan masa kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan sebagai berikut: a. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 2 (dua) bulan upah; b. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 9 (sembilan) tahun, 3 (tiga) bulan upah; c. masa kerja 9 (sembilan) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 12 (dua belas) tahun, 4 (empat) bulan upah; d. masa kerja 12 (dua belas) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 15 (lima belas) tahun, 5 (lima) bulan upah; e. masa kerja 15 (lima belas) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 18 (delapan belas) tahun, 6 (enam) bulan upah; f. masa kerja 18 (delapan belas) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 21 (dua puluh satu) tahun, 7 (tujuh) bulan upah; g. masa kerja 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 24 (dua puluh empat) tahun, 8 (delapan) bulan upah; h. masa kerja 24 (dua puluh empat) tahun atau lebih, 10 (sepuluh) bulan upah; Pasal 156 ayat (4) UU No. 13 Tahun 2003 menentukan: Uang penggantian hak yang seharusnya diterima sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi: a. cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur; b. biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ke tempat di mana pekerja/buruh diterima bekerja; c. penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan di tetapkan 15% (lima belas persen) dari uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat;
42
d. hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Pemberian hak kepada pekerja harus dilihat berdasarkan kebenaran alasan PHK dan jenis perjanjian kerja. Karena hal tersebut akan mempengaruhi jumlah pemberian hak kepada pekerja. 2.3
Keadaan Memaksa (force majeure)
1.3.1 Pengertian keadaan memaksa Keadaan memaksa merupakan istilah yang berasal dari bahasa Inggris yaitu force majeure dan dalam bahasa Belanda disebut overmacht. Ketentuan mengenai keadaan memaksa dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 1244 KUH Perdata yang menentukan “Jika ada alasan untuk itu, si berutang harus dihukum menganti biaya, rugi dan bunga apabila ia tidak dapat membuktikan bahwa hal tidak atau tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perikatan itu disebabkan karena suatu hal yang tidak terduga pun tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya, kesemuanya itu pun jika iktikad buruk tidaklah ada pada pihaknya”. Selain itu pengaturan keadaan memaksa juga diatur dalam ketentuan Pasal 1245 KUH Perdata yang menentukan bahwa “Tidaklah biaya, rugi dan bunga harus digantinya, apabila karena keadaan memkasa (overmacht) atau karena suatu keadaan yang tidak disengaja, si berutang berhalangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau karena halhal yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang”. Ketentuan yang terdapat dalam KUH Perdata tidak memberikan definisi mengenai keadaan memaksa. Untuk itu diperlukan beberapa pendapat para sarjana untuk memberikan suatu definisi yang dapat menggambarkan secara jelas mengenai keadaan memaksa. Adapun beberapa ahli hukum yang memberikan
43
pandangannya mengenai konsep keadaan memaksa (force majeure/overmacht) diantaranya adalah: a. R Subekti: Debitur menunjukkan bahwa tidak terlaksananya apa yang dijanjikan itu disebabkan oleh hal-hal yang sama sekali tidak dapat diduga, dan di mana ia tidak dapat berbuat apa-apa terhadap keadaan atau peristiwa yang timbul di luar dugaan tadi. Dengan perkataan lain, hal tidak terlaksananya perjanjian atau kelambatan dalam pelaksanaan itu, bukanlah disebabkan karena kelalaiannya. Ia tidak dapat dikatakan salah atau alpa dan orang yang tidak salah tidak boleh dijatuhi sanksisanksi yang diancamkan atas kelalaian. Untuk dapat dikatakan suatu “keadaan memaksa” (overmacht), selain keadaan itu “di luar kekuasaannya” si debitur dan “memaksa”, keadaan yang telah timbul itu juga harus berupa keadaan yang tidak dapat diketahui pada waktu perjanjian itu dibuat, setidak-tidaknya tidak dipikul risikonya oleh si debitur. b. Sri Soedewi Masjchoen Sofwan yang menyitir H.F.A. Vollmar: overmacht adalah keadaan di mana debitur sama sekali tidak mungkin memenuhi perutangan (absolute overmacht) atau masih memungkinkan memenuhi perutangan, tetapi memerlukan pengorbanan besar yang tidak seimbang atau kekuatan jiwa di luar kemampuan manusia atau dan menimbulkan kerugian yang sangat besar (relative overmacht). c. Purwahid Patrik mengartikan overmacht atau keadaan memaksa adalah debitur tidak melaksanakan prestasi karena tidak ada kesalahan maka akan berhadapan dengan keadaan memaksa yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya. 38 Selain itu, keadaan memaksa juga diartikan sebagai suatu keadaan ketika debitur tidak dapat melakukan prestasinya kepada kreditur, yang disebabkan adanya kejadian yang berada di luar kekuasaannya, seperti gempa bumi, banjir, tanah longsor, dan lain-lain.39 Menurut undang-undang ada 3 (tiga) unsur yang harus dipenuhi untuk keadaan memaksa yaitu: a. Tidak memenuhi prestasi;
38
Rahmat S.S Soemadipradja, 2010, Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa, Nasional Legal Reform Program, Jakarta, hlm. 7. 39 H. Salim HS, H.Abdullah, Wiwiek Wahyuningsih, 2011, Perancangan Kontrak dan Memorandum of Understanding (MoU ), Cetakan V, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.110.
44
b. Ada sebab yang terletak di luar kesalahan debitur; c. Faktor penyebab itu tidak diduga sebelumnya dan tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur.40 1.3.2 Teori-teori dan akibat hukum keadaan memaksa Terdapat 2 (dua) aliran atau ajaran tentang keadaan memaksa (force majeure) yakni:41 a. Ajaran yang objektif (de objectieve overmachtsleer) atau absolut Menurut ajaran keadaan memaksa objektif, debitur berada dalam keadaan memaksa apabila pemenuhan prestasi itu tidak mungkin (ada unsur impossibilitas) dilaksanakan oleh siapapun juga atau oleh setiap orang. Keadaan memaksa yang dimaksud dalam ajaran objektif ini adalah tertuju pada bencana alam atau kecelakaan yang hebat sehingga dalam keadaan tersebut siapapun tidak dapat memenuhi prestasi. b. Ajaran yang subjektif (de subjectieve overmachtsleeer) atau relatif Menurut ajaran keadaan memaksa subjektif (relatif) keadaan memaksa itu ada, apabila debitur masih mungkin melaksanakan prestasi, tetapi praktis dengan kesukaran atau pengorbanan yang besar (ada unsur diffikultas), sehingga dalam keadaan yang demikian itu kreditur tidak dapat menuntut pelaksanaan prestasi. Terdapat 3 (tiga) akibat keadaan memaksa (force majeure), yaitu: a. Debitur tidak perlu membayar ganti rugi (Pasal 1244 KUH Perdata);
40
Mariam Darus Badrulzaman, dkk, 2001, Kompilasi Hukum Perikatan, Cet.I, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 25. 41
Ibid, hlm 27.
45
b. Beban risiko tidak berubah, terutama pada keadaan memaksa sementara; c. Kreditur tidak berhak atas pemenuhan prestasi, tetapi sekaligus demi hukum bebas dari kewajibannya untuk menyerahkan kontra prestasi kecuali untuk yang disebut dalam pasal 1460 KUH Perdata. 42 Akibat keadaan memaksa tersebut dapat dibedakan menjadi 2 (dua) macam yaitu akibat keadaan memaksa absolut yakni akibat huruf a dan c, dan akibat keadaan memaksa relatif yakni akibat huruf b. 1.4
Perselisihan Hubungan Industrial
1.4.1
Pengertian dan macam-macam perselisihan hubungan industrial Perselisihan merupakan masalah yang umum terjadi dalam kehidupan
manusia. Manusia merupakan makhluk sosial yang selalu berinteraksi dengan manusia lainnya. Di dalam interaksi tersebut manusia yang satu dengan manusia yang lain tidak selalu satu pemahaman. Ketidaksamaan pemahaman tersebut dapat menimbulkan terjadinya perselisihan. Joni Emirzon yang mengutip dalam buku Lalu Husni memberikan pengertian konflik/perselisihan/percekcokan adalah adanya pertentangan atau ketidaksesuaian antara para pihak yang akan dan sedang mengadakan hubungan atau kerja sama.43 Sebelum diundangkannya UU No. 2 Tahun 2004, dasar hukum yang digunakan untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial adalah UndangUndang Nomor 22 Tahun 1957 Tentang Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan. Dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang
42
Salim HS, 2005, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW) Cet.III, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 184-185. 43
Lalu Husni, op.cit, hlm.2.
46
Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pasal 1 ayat (1) huruf c menentukan bahwa “Perselisihan perburuhan adalah pertentangan antara majikan atau perkumpulan majikan dengan serikat buruh atau beberapa serikat buruh berhubungan dengan tidak adanya persesuaian paham mengenai hubungan kerja, syarat-syarat kerja dan atau keadaan perburuhan”. Setelah diundangkannya UU No. 13 Tahun 2003 dan UU No. 2 Tahun 2004, pengertian perselisihan perburuhan diganti dengan perselisihan hubungan industrial. Berdasarkan Pasal 1 angka 22 UU No. 3 Tahun 2003 jo Pasal 1 angka 1 UU No. 2 Tahun 2004 menentukan bahwa “Perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha dan gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, dan perselisihan pemutusan hubungan kerja serta perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan”. Perselisihan Hubungan Industrial dapat dikelompokkan menjadi 4 (empat) macam hal ini sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 2 UU No. 2 Tahun 2004 yakni perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan PHK dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.
1.
Perselisihan Hak Berdasarkan Pasal 1 angka 2 UU No. 2 Tahun 2004 menentukan
“Perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan
47
perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama”. 2.
Perselisihan Kepentingan Berdasarkan Pasal 1 angka 3 UU No. 2 Tahun 2004 menentukan,
“Perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan/atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama”. 3.
Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja Berdasarkan Pasal 1 angka 4 UU No. 2 Tahun 2004 menentukan
“Perselisihan pemutusan hubungan kerja adalah perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak”. Dengan demikian perselisihan PHK timbul setelah adanya PHK yang dilakukan oleh salah satu pihak, yang mana ada salah satu pihak yang tidak menyetujui atau keberatan atas adanya PHK tersebut. Perselisihan PHK antara lain mengenai sah atau tidaknya alasan PHK dan besaran kompensasi atas PHK. 4.
Perselisihan Antar Serikat Pekerja/Serikat Buruh Hanya Dalam Satu Perusahaan Berdasarkan Pasal 1 angka 5 UU No. 2 Tahun 2004 menentukan bahwa
“Perselisihan antar-Serikat Pekerja/Serikat Buruh Hanya Dalam Satu Perusahaan adalah perselisihan antara serikat pekerja/ serikat buruh dengan serikat pekerja/
48
serikat buruh lain hanya dalam satu perusahaan, karena tidak adanya persesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak, dan kewajiban keserikatan. 1.4.2 Tahap-tahap penyelesaian perselisihan hubungan industrial Untuk dapat menyelesaikan perselisihan hubungan industrial, maka UU telah memberikan alternatif penyelesaian yakni sebagaimana yang diatur dalam UU No. 2 Tahun 2004. Adapun prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrial tersebut dapat diselesaikan di luar pengadilan (non litigasi) dan melalui pengadilan (litigasi). Penyelesaian perselisihan hubungan industrial di luar pengadilan dapat dilaksanakan melalui penyelesaian perundingan bipartit dan perundingan tripartit (mediasi, konsiliasi, arbitrase). Sedangkan penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui Pengadilan dilaksanakan pada Pengadilan Hubungan Industrial (Selanjutnya disingkat PHI). 1.
Penyelesaian Melalui Perundingan Bipartit Cara penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang terbaik adalah
dengan penyelesaian melalui perundingan bipartit. Melalui perundingan bipartit atau dengan kata lain melalui musyawarah dan mufakat kedua belah pihak yang berselisih dapat menyelesaikan perselisihan dengan win-win solution. Ketentuan Pasal 1 angka 10 UU No. 2 Tahun 2004 menentukan bahwa “Perundingan bipartit adalah perundingan antara pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial.” Penyelesaian secara bipartit dalam kepustakaan mengenai
49
Alternative Disputes Resolution (ADR) disebut sebagai penyelesaian secara negosiasi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata negosiasi diartikan sebagai: a. Proses tawar-menawar dengan jalan berunding untuk memberi atau menerima guna mencapai kesepakatan bersama antara satu pihak (kelompok atau organisasi) dan pihak (kelompok atau organisasi yang lain), b. Penyelesaian sengketa secara damai melalui perundingan antara pihakpihak yang bersengketa.44 Negosiasi sendiri berasal dari bahasa Inggris yaitu negotiation yang berarti perundingan atau musyawarah. Dalam ketentuan Pasal 3 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2004 menegaskan bahwa “perselisihan hubungan industrial wajib diupayakan penyelesaiannya terlebih dahulu melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mufakat”. Dengan demikian tanpa melalui penyelesaian dengan cara perundingan bipartit para pihak tidak dapat melalui mekanisme penyelesaian selanjutnya. Berdasarkan ketentuan UU No. 2 Tahun 2004 adapun mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui perundingan bipartit yakni sebagai berikut: a. Penyelesaian melalui bipartit harus diselesaikan paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal dimulainya perundingan (Pasal 3 ayat (2)). b. Apabila dalam jangka 30 (tiga puluh) hari kerja salah satu pihak menolak untuk berunding atau telah dilakukan perundingan, tetapi tidak mencapai kesepakatan, maka upaya melalui bipartit dianggap gagal (Pasal 3 ayat (3)). c. Setiap perundingan bipartit harus dibuat risalah yang ditandatangani oleh para pihak (Pasal 6). d. Risalah perundingan sekurang-kurangnya memuat: 1) Nama lengkap dan alamat para pihak; 2) Tanggal dan tempat perundingan; 3) Pokok masalah atau alasan perselisihan; 4) Pendapat para pihak; 5) Kesimpulan atau hasil perundingan; dan 44
Lalu Husni, op.cit, hlm. 53.
50
6) Tanggal serta tandatangan para pihak yang melakukan perundingan (Pasal 6 ayat (2)). e. Apabila tercapai kesepakatan, maka dibuat perjanjian bersama yang ditandatangani oleh para pihak (Pasal 7 ayat (1)). f. Perjanjian bersama wajib didaftarkan oleh para pihak yang melakukan perjanjian pada pengadilan hubungan industrial untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran (Pasal 7 ayat (3) dan (4)). 2.
Penyelesaian Melalui Mediasi Penyelesaian
perselisihan
hubungan
industrial
melalui
mediasi
dilaksanakan apabila dalam perundingan bipartit telah gagal mencapai kesepakatan antara para pihak yang berselisih untuk berdamai. Berdasarkan Pasal 1 angka 11 UU No. 2 Tahun 2004 menyatakan “Mediasi Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut mediasi adalah penyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan
pemutusan
hubungan
kerja,
dan
perselisihan
antarserikat
pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral”. Penyelesaian melalui mediasi ditengahi oleh seorang mediator. Dalam Pasal 1 angka 12 UU No. 2 Tahun 2004 menentukan “Mediator Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut mediator adalah pegawai instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan yang memenuhi syarat-syarat sebagai mediator yang ditetapkan oleh Menteri untuk bertugas melakukan mediasi dan mempunyai kewajiban memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antarserikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan”. Adapun mekanisme penyelesaian perselisihan melalui mediasi berdasarkan ketentuan UU No. 2 Tahun 2004 yakni:
51
a. Apabila upaya melalui bipartit gagal, maka salah satu pihak atau kedua pihak mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian melalui bipartit telah dilakukan (Pasal 4 ayat (1)). b. Apabila bukti-bukti tersebut tidak dilampirkan, maka kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat mengembalikan berkas untuk dilengkapi paling lambat dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja sejak diterimannya pengembalian berkas (Pasal 4 ayat (2)). c. Setelah menerima pencatatan dari salah satu atau para pihak, instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan setempat wajib menawarkan kepada para pihak untuk menyepakati memilih penyelesaian melalui konsiliasi atau melalui arbitrase (Pasal 4 ayat (3)) d. Apabila para pihak tidak menetapkan pilihan penyelesaian melalui konsiliasi atau arbitrase dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja, maka instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat melimpahkan penyelesaian perselisihan kepada mediator (Pasal 4 ayat (4)). e. Penyelesaian perselisihan melalui mediasi dilakukan oleh mediator yang berada di setiap kantor instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota (Pasal 8). f. Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah menerima pelimpahan penyelesaian perselisihan mediator harus mengadakan penelitian tentang duduknya perkara dan segera mengadakan sidang mediasi (Pasal 10). g. Apabila tercapai kesepakatan melalui mediasi, maka dibuat perjanjian bersama yang ditandatangani oleh para pihak dan disaksikan oleh mediator serta didaftar di pengadilan hubungan industrial untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran (pasal 13 ayat (1)). h. Apabila tidak tercapai kesepakatan melalui mediasi, maka: 1. Mediator mengeluarkan anjuran tertulis; 2. Anjuran tertulis sudah disampaikan kepada para pihak selambatlambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sejak mediasi pertama; 3. Para pihak harus sudah memberikan jawaban secara tertulis kepada mediator selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sejak menerima anjuran tertulis, yang isinya menyetujui atau menolak anjuran; 4. Para pihak yang tidak memberikan pendapatnya (atau tidak memberikan jawaban) dianggap menolak anjuran tertulis; 5. Apabila para pihak menyetujui anjuran tertulis, mediator harus sudah selesai membantu para pihak membuat perjanjian bersama selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja sejak anjuran tertuis disetujui yang kemudian didaftar di pengadilan hubungan industrial untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran (Pasal 13 ayat (2)).
52
i. Mediator menyelesaikan tugas mediasi selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sejak pelimpahan perkara (Pasal 15). 3.
Penyelesaian Melalui Konsiliasi Pasal 1 angka 13 UU No. 2 Tahun 2004 menentukan “Konsiliasi Hubungan
Industrial yang selanjutnya disebut konsiliasi adalah penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antarserikat pekerja/ buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih konsiliator yang netral”. Sedangkan yang dimaksud dengan konsiliator dalam Pasal 1 angka 14 UU No. 2 Tahun 2004 adalah “Seorang atau lebih yang memenuhi syarat-syarat sebagai konsiliator ditetapkan oleh Menteri, yang bertugas melakukan konsiliasi dan wajib memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan kerja dan perselisihan antarserikat pekerja/ serikat buruh dalam satu perusahaan”. Penyelesaian secara konsiliasi, konsiliator ikut berperan serta secara aktif untuk memberikan solusi terhadap permasalahan yang diperselisihkan oleh kedua belak pihak. Adapun perbedaan konsiliator dengan mediator adalah konsiliator merupakan pihak ketiga di luar daripada instasi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan sedangkan mediator merupakan pihak ketiga yang merupakan pegawai instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan. Adapun mekanisme penyelesaian melalui konsilasi diatur dalam ketentuan Pasal 17 sampai dengan Pasal 25 UU No. 2 Tahun 2004. Mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui konsiliasi tidak jauh berbeda dengan mekanisme penyelesaian melalui mediasi.
53
4.
Penyelesaian Melalui Arbitrase Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui arbitrase secara
umum telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Arbitrase yang diatur dalam UU. No. 2 Tahun 2004 merupakan aturan khusus untuk penyelesaian perselisihan di bidang hubungan industrial yang berlaku asas lex specialis derogate legi generalis. Pengertian arbitrase diatur dalam Pasal 1 angka 15 UU No. 2 Tahun 2004 yang menyatakan “Arbitrase adalah penyelesaian suatu perselisihan kepentingan, dan perselisihan antarserikat pekerja/ serikat buruh dalam satu perusahaan, di luar Pengadilan Hubungan Industrial melalui kesepakatan tertulis dari para pihak yang berselisih untuk menyerahkan penyelesaian perselisihan kepada arbiter yang putusannya mengikat para pihak dan bersifat final”. Sedangkan yang dimaksud arbiter dalam ketentuan Pasal 1 angka 16 UU No. 2 Tahun 2004 adalah “Arbiter adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang berselisih dari daftar arbiter yang ditetapkan oleh Menteri untuk memberikan putusan mengenai perselisihan kepentigan dan perselisihan antarserikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan yang diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase yang putusannya mengikat para pihak dan bersifat final”. Mekanisme penyelesaian melalui arbitrase dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 29 sampai dengan Pasal 53 UU No. 2 Tahun 2004. Penyelesaian melalui arbitrase dilaksanakan atas dasar kesepakatan para pihak yang berselisih yang dinyatakan secara tertulis dalam surat perjanjian arbitrase. Penyelesaian perselisihan hubungan industrial oleh arbiter diawali dengan upaya mendamaikan
54
kedua pihak yang berselisih. Apabila perdamaian tercapai maka arbiter atau majelis arbiter wajib membuat Akta Perdamaian yang ditandatangani para pihak dan didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri wilayah arbiter mengadakan perdamaian. Namun apabila upaya perdamaian gagal maka arbiter atau majelis arbiter meneruskan sidang arbitrase. Putusan arbiter mempunyai kekuatan hukum tetap yang mengikat para pihak yang berselisih dan merupakan putusan yang bersifat akhir dan tetap. Terhadap putusan arbiter dapat dilakukan upaya pembatalan ke Mahkamah Agung. 5.
Penyelesaian Melalui Pengadilan Hubungan Industrial Masalah mengenai perselisihan hubungan industrial sangat sering terjadi
dan permasalahan yang dihadapi tersebut semakin kompleks, untuk itu dibutuhkan suatu pengadilan khusus yang memeriksa, mengadili dan memutus perselisihan hubungan industrial. Pengadilan Hubungan Industrial merupakan pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan umum yang hadir setelah diundangkannya UU No. 2 Tahun 2004. Jika sampai suatu perselisihan hubungan industrial memasuki ranah Pengadilan maka perselisihan tersebut tidak dapat diselesaikan melalui tahap penyelesaian di luar pengadilan yaitu perundingan bipartit, mediasi, konsiliasi atau arbitrase. Hal ini berarti bahwa penyelesaian melalui Pengadilan Hubungan Industrial merupakan alternatif penyelesaian terakhir yang dapat ditempuh oleh para pihak yang berselisih. Dengan demikian salah satu pihak dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial. Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui Pengadilan Hubungan Industrial, yang mempunyai peranan penting dalam menegakkan
55
kebenaran dan keadilan adalah hakim. Hakim pada pengadilan hubungan industrial adalah hakim karier dan hakim Ad-Hoc. Pasal 1 angka 19 UU No. 2 Tahun 2004 menentukan “Hakim Ad-Hoc adalah Hakim Ad-Hoc pada Pengadilan Hubungan Industrial dan Hakim Ad-Hoc pada Mahkamah Agung yang pengangkatannya atas usul serikat pekerja/ serikat buruh dan organisasi pengusaha. Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial diangkat dengan Keputusan Presiden atas usul Ketua Mahkamah agung. Calon Hakim Ad-Hoc diajukan oleh Ketua Mahkamah Agung dan nama yang disetujui oleh Menteri atas usul serikat pekerja/serikat buruh atau organisasi pengusaha. Berdasarkan ketentuan UU No. 2 Tahun 2004 mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui pengadilan sebagai berikut: a. Hukum acara yang berlaku hukum acara perdata, kecuali yang diatur secara khusus dalam undang-undang ini (Pasal 57). b. Tidak dikenakan biaya termasuk biaya eksekusi untuk nilai gugatan di bawah Rp. 150.000.000 (Pasal 58). c. Gugatan diajukan kepada pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat pekerja/buruh bekerja (Pasal 81). d. Pengajuan gugatan harus dilampiri risalah penyelesaian melalui mediasi, konsiliasi, jika tidak dilampiri hakim wajib mengembalikan gugatan kepada penggugat (Pasal 83 ayat (1)). Adanya dismissal process, di mana hakim wajib memeriksa isi gugatan (Pasal 83 ayat (2)). e. Serikat pekerja/serikat buruh dan organisasi pengusaha dapat bertindak sebagai kuasa hukum untuk beracara di pengadilan hubungan industrial untuk mewakili anggotanya (Pasal 87). f. Ketua pengadilan negeri – sekaligus sebagai ketua pengadilan hubungan industrial – harus menetapkan majelis hakim selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah menerima gugatan (Pasal 88 ayat (1). g. Pemeriksaan dengan acara biasa: Dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak penetepan majelis hakim, maka ketua majelis hakim harus sudah melakukan sidang pertama (Pasal 89 ayat (1)). Pemanggilan untuk datang ke sidang dilakukan secara sah apabila disampaikan dengan surat panggilan kepada para pihak di alamat
56
tempat tinggalnya atau apabila tempat tinggalnya tidak diketahui disampaikan di tempat kediaman terakhir (Pasal 89 ayat (3)). Apabila tempat tinggal maupun tempat kediaman terakhir tidak dikenal, maka surat panggilan ditempelkan pada tempat pengumuman di gedung pengadilan hubungan industrial yang memeriksanya (Pasal 89 ayat (5)). Sidang sah apabila dilakukan majelis hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (1) (Pasal 92). Apabila salah satu pihak atau para pihak tidak dapat hadir tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan, majelis hakim menetapkan hari sidang berikutnya paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal penundaan (Pasal 93). Apabila pada sidang penundaan terakhir pihak-pihak tidak hadir maka akibatnya: Bagi penggugat, gugatanya dianggap gugur (Pasal 94 ayat (1)). Bagi tergugat majelis hakim dapat melakukan putusan verstek (Pasal 94 ayat (2)). Sidang majelis hakim terbuka untuk umum, kecuali majelis hakim menetapkan lain. h. Pemerikasaan dengan acara cepat: Apabila terdapat kepentingan para pihak dan/atau salah satu pihak yang cukup mendesak dapat diajukan permohonan pemeriksaan dengan acara cepat (Pasal 98 ayat (1)). Ketua pengadilan negeri mengeluarkan penetapan tentang dikabulkan atau tidak dikabulkan permohonan tersebut dalam jangka waktu tujuh hari kerja setelah diterimannya permohonan (Pasal 98 ayat (2)). Tidak ada upaya hukum terhadap penetapan ketua pengadilan negeri atas permohonan pemeriksaan dengan acara cepat (Pasal 98 ayat (3)). Apabila permohonan pemeriksaan dengan acara cepat dikabulkan, maka Ketua Pengadilan Negeri menentukan majelis hakim, hari, tempat, dan waktu sidang tanpa melalui prosedur pemeriksaan (Pasal 99 ayat(1)). Tenggang waktu untuk jawaban dan pembuktian kedua belah pihak, masing-masing ditentukan tidak melebihi 14 (empat belas) hari kerja (Pasal 99 ayat (1)). i. Pengambilan putusan: Majelis hakim mengambil putusan dengan mempertimbangkan hukum, perjanjian yang ada, kebiasaan, dan keadilan (Pasal 100). Putusan majelis hakim dibacakan dalam sidang terbuka untuk umum (Pasal 101 ayat (1)). Putusan majelis hakim wajib diberikan selambat-lambatnya 50 (lima puluh) hari kerja sejak sidang pertama (Pasal 103). j. Putusan pengadilan hubungan industrial mengenai perselisihan hak dan perselisihan pemutusan hubungan kerja mempunyai kekuatan hukum
57
tetap apabila tidak diajukan permohonan kasasi kepada Mahkamah Agung dalam waktu selambat-lambatnya empat belas hari kerja (Pasal 110).45 Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan diatas, dalam menyelesaikan perselisihan hubungan industrial, dapat ditempuh melalui 3 (tiga) tahap, yaitu: 1.
Tahap pertama yaitu perundingan bipartit;
2.
Tahap kedua yaitu melalui mediasi, konsiliasi, atau arbitrase;
3.
Tahap ketiga yaitu melalui pengadilan hubungan industrial.46
45
Abdul Khakim, op.cit, hlm. 159-162.
46
Ugo dan Pujiyo,2012, Hukum Acara Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Tata Cara dan Proses Penyelesaian Sengketa Perburuhan,Cet. II, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 53.