BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM KONSUMEN A.
Pengertian dan Sejarah Hukum Konsumen Istilah konsumen berasal dari alih bahasa dari kata consumer (Inggris-
Amerika), atau consument/konsument (Belanda).Secara harafiah arti kata consumer
adalah
(lawan
produsen)
setiap
orang
yang
menggunakan
barang.Tujuan penggunaaan barang atau jasananti menentukan termasuk konsumen kelompok mana pengguna tersebut.Begitu pula kamus bahasa InggrisIndonesia memberi kata consumer sebagai pemakai atau konsumen. 13 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan konsumen adalah setiap orang yang memakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lainnya dan tidak untuk diperdagangkan Untuk membahas perlindungan konsumen, kita harus mengerti terlebih dahulu sejarah dari perlindungan konsumen, baik itu awal mula berdiri higga pada perkembangannya saat ini. Ada tiga pembagian sejarah perlindungan konsumen, 1. Sejarah Perlindungan Konsumen di Barat 2. Sejarah Perlindungan Konsumen di Indonesia 3. Sejarah Perlindungan Konsumen dalam Islam
13
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta : Sinar Grafika 2009), hal 22.
17
18 1. Sejarah Perlindungan Konsumen di Barat Pada awalnya hukum perlindungan konsumen di barat dimulai dengan lahirinya gerakan perlindungan konsumen (consumers movement) , yang disebut sebagai era pertama pergerakan konsumen. Amerika Serikat tercatat sebagai Negara yang banyak memberikan sumabangan dalam masalah perlindungan konsumen.Di New York pada tahun 1891 terbentuk liga konsumen yang pertama kali, dan pada tahun1898 terbentuk liga konsumen nasional di Amerika Serikat. Organisasi ini kemudian tumbuh dan berkembang dengan pesat, sehingga pada tahun 1903 Liga Konsumen Nasional di Amerika Serikat telah berkembang 64 cabang yang meliputi20 negara bagian. 14 Perjuangan untuk mewujudkan perlindungan konsumen ini juga mengalami hambatan dan rintangan.Untuk meloloskan The Food and Drugs Act dan The Meat Inspection Act telah mengalami kegagalan berulangulang.Hal ini terbukti dengan kegagalan Parlemen Amerika Serikat untuk meloloskan Undan-Undang tersebut pada tahun 1892. Usaha tersebut di coba lagi pada tahun 1902 dengan mendapat dukungan bersama-sama oleh Liga Konsumen Nasional, The General Federation of Women’s Club dan State Food and Diary Chemits, namun tetap juga gagal. Akhirnya The Food and Drugs Act dan The Meat Isnspection Act lahir pada tahun 1906
15
.
Perkembagan selanjutnya terjadi pada tahun 1914, dengan dibukanya kemungkinan untuk terbentuknya komisi yang bergerak dalam perlindungan
14
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op. cit., hal. 13. Munir Fuady, Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktik, Buku Kedua, ( Bandung : Citra aditya Bakti, 1994), hal.185 15
19 konsumen, yaitu FTC (FederalTrade Comission), dengan The Federal Trade Comission Act. Era kedua pergerakan konsumen di pentas internasional terjadi sekitar tahun 1903-an. Para pendidik melihat tentang urgensi pendidikan konsumen yang baik. Pada era ini telah dimulai pemeriksaan terhadap barang-barang yang akan dipasarkan kepada konsumen, diantaranya dengan menulis beberapa buku. Pada tahun 1927, Stuart Chase dan F.J. Schlink menulis buku Your Money’s worth dengan subtitle A Study in the Waste of the Consumen Dollar”. Pada tahun 1934 F.J. Schlink kembali menerbitkan beberapa buku, yaitu; “100.000.000 Guinea Pigs, Skin Deep, American Chamber of Horrors, dan Counterfeit, Not Your Money but What It Buys. Tragedi elixir sulfalinamide, sejenis obatan dari bahan sulfa, pada tahun 1937 menyebabkan 93 orang konsumennya di Amerika Serikat meninggal dunia. Tragedi ini ternyata mendorong terbentuknya The Food, Drug and Cosmetics Act pada tahun 1938, yang merupakan amandemen dari The Food and Drugs Act tahun 1906. 16 Era ketiga dari pergerakan perlindungan konsumen terjadi pada tahun 1960-an, era ini melahirkan satu cabang hukum yang baru, yaitu hukum konsumen (consumers law) . Pada tanggal 15 Maret 1962 John F. Kennedy menyampaikan consumers message di hadapan Kongres Amerika Serikat, dan sejak itu dianggap sebagai era baru perlindungan konsumen. Pesan tersebut kemudian didukung oleh mantan presiden Amerika Serikat Lyndon Johnson dan Richard Nixon, dalam preambul consumers massage ini dicantumkan
16
Gunawan Widjaja Dan Ahmad Yani, Op. cit., hal. 14
20 formulasi pokok-pokok pikiran yang sampai sekarang terkenal sebagai hakhak konsumen (consumers bill of right). 17 Perhatian dan apresiasi yang besar terhadap masalah-masalah perlindungan konsumen juga dilakukan oleh Jimmy Carter.Pandangan Carter mengenai isu perlindungan konsumen sebagai a breath of fresh air 18 .Sehingga Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani menyebutkan, bahwa Jimmy Carter juga dapat dipandang sebagai pendekar perlindungan konsumen karena perhatian dan apresiasinya yang besar. 19 Di Negara-negara lain selain Amerika Serikat, baik di Negara maju maupun di Negara berkembang, aspek perlindungan terhadap hak-hak konsumen bangkit dan berkembang setelah era ketiga. Kendatipun sebelumnya telah lahir undang-undang yang berikaitan dengan perlindungan konsumen di bebrapa Negara tersebut. Inggris telah memberlakukan Hops (Prevention of Frauds) Act tahun 1866, The Sale of Goods Act, tahun 1893, Fabrics (Misdescription) Act, tahun 1913, The Food and Drugs Act, yakni the Consumers Protection Act baru muncul pada tahun 1961 yang kemudian diamandemir pada tahun 1971. Di India, prinsip-prinsip perlindungan konsumen juga telah lahir sebelum era ketiga, antara lainIndian Contract Act tahun 1872, The Specific Relief Act tahun 1877, yang kemudian diganti dengan The Specific Relief Act tahun 1963, dan lain-lain. Namun pengaturan perlindungan Konsumen di India Consumers Protection Act baru muncul pada tahun 1986. 20
17
Zulham , Hukum Perlindungan Konsumen, (Medan : Kencana, 2012), hal 28 Munir Fuady, Op. cit., hal. 187 19 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op. cit., hal. 14 20 Zulham, Op. cit, hal 30 18
21 Adapun di Meksiko, pertama kali meneluarkan hukum perlindungan konsumen pada tahun 1975 melalui Mexico’s Federal Concumer Protection Act (FCPA). Sebelumnya pengaturan perlindungan konsumen di Meksiko pada dasarnya tidak ada. Era ketiga ini menyadarkan dunia internasional untuk membentuk Undang-Undang Perlindungan Konsumen, beberapa diantaranya: 21 a. Singapura: The Consumers Protection (Trade Description and Safety Requirement Act), tahun 1975; b. Thailand : Consumers Act, tahun 1979; c. Jepang : The Consumers Protection Fundamental Act, tahun 1968; d. Australia : Consumers Affairi, tahun 1978; e. Irlandia: Consumers Information Act, tahun1978; f. Finlandia:Consumers Protection Act, tahun 1978; g. Inggris: The Consumers Protection Act tahun 1961, diamandemir tahun 1971; h. Kanada: The Consumers ProtectionAct dan The Consumer Protection Amendement Act, tahun 1971; dan i. Amerika Serikat: The Uniform Trade Practieces and Consumer Protection Act (UTPCP) tahun 1967, dimandemir tahun 1969 dan 1970, kemudian Unfair Trade Practices and Consumers Protection (Louisana) Law, tahun 1973.
21
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op. cit., hal. 15
22 Masyarakat Eropa menempuh melalui dua tahap program terkait dengan gerakan perlindungan konsumen, yaitu ; program pertama pada tahun 1973 dan program kedau pada tahun 1981. Fokus program pertama, terkait dengan kecurangan produsen terhadap konsumen, seperti kontrak standar, ketentuan perkreditan, penjualan yang bersifat memaksa, kerugian akibat mengonsumsi produk cacat, praktik iklan yang menyesatkan, serta jaminan setelah pembelian produk. Fokus program kedua, terkait dengan penekanan kembali hak-hak dasar konsumen yang kemudian dilanjutkan dengan pengeluaran tiga kerangka acuan perlindungan konsumen. Pertama,
produk yang dipasarkan harus
memnuhi standar kesehatan dan keselamatan konsumen. Kedua , Konsumen harus dapat menikmati keuntungan dari pasar bersama dengan masyarakat Eropa. Ketiga, bahwa kepentingan konsumen harus selalu diperhitungkan dalam setiap kebijan-kebijakan yang dikeluarkan masyarakat Eropa. Akhirnya, pada tahun 1985 Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan surat bulat menerbitkan Resolusi PBB Nomor A/RES/39/248 tanggal 16 April 1985 tentang The Guidelines For Consumer Protection. Dalam Guidelines terdapat enam kepentingan konsumen yang harus dilindungi, yaitu : 22 1) Perlindungan konsumen dari bahaya-bahaya terhadap kesehatan dan keamanannya; 2) Promosi dan perlindungan kepentingan ekonomi sosial konsumen;
22
Zulham, Op. cit, hal 32
23 3) Tersedianya informasi yang memadai bagi konsumen untuk memberian kemampuan mereka melakukan pilihan yang tepat sesuai kehendak dan kebutuhan pribadi; 4) Pendidikan konsumen; 5) Tersedianya upaya ganti rugi yang efektif; dan 6) Kebebasan untuk membentuk organisasi konsumen atau organisasi lainnya yang relevan dan memberikan kesempatan kepada organisasi tersebut untuk menyuarakan pendapatnya dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan mereka
2. SejarahPerlindunganKonsumenDiIndonesia Pengaturan tentang perlindungan konsumen di Indonesia telah dimulai sejak zaman Hindia Belanda, kendatipun sebagian besar peraturan-peraturan tersebut pada saat ini sudah tidak berlaku lagi. Beberapa peraturan yang berkaitan dengan perlindungan konsumen pada saat itu antara lain: a. Reglement Industriele Eigendom, S. 1912-545, jo. S. 1913 No.214. b. Hinder Ordonnatie (ordonasi Gangguan), S. 1926-226 jo. S. 1927-449, jo. S.1940-1914 dan 450. c. Loodwit Ordonnantie (Ordonasi Timbal Karbonat), S. 1931 No. 28. d. Tin Ordonnatie (Ordonasi Timah Putih), S. 1931-509. e. Vuurwerk Ordonnantie (Ordonansi Petasan), S. 1932-143. f. Verpakkings Ordonnantie (Ordonansi Kemasan), S. 1935 No. 161. g. Ordonnantie Op de Slacht Belasting (Ordonansi Pajak Sembelih), S. 1936-671.
24 h. Sterkwerkannde Geneesmiddelen Ordonnantie (Ordonansi Pajak Sembelih), S. 1936-671 i. Bedrijfsrelementerings
Ordonanntie
(Ordonansi
Penyaluran
Perusahaan), S. 1938-86. Pada sisi lain, dalam beberapa kitab Undang-Undang juga terdapat beberapa ketentuan yang dapat digunakan untuk melindungi konsumen, yaitu: a. KUH Perdata : Bagian 2, Bab V , Buku II mengatur tentang kewajiban penjual dalam perjanjian jual beli. b. KUHD: tentang pihak ketiga harus dilindungi, tentang perlindungan penumpang/barang
muatan
pada
hukum
maritime,
ketentuan
mengenai perantara, asuransi, surat berharga, kepailitan, dan sebagainya c. KUH Pidana: tentang pemalsuan, penipuan, pemalsuan merek, persaingan curang, dan sebagainya. Setelah kemerdekaan Republik Indonesia hingga tahun 1999, UndangUndang Indonesia belum mengenal istilah perlindungan konsumen.Namun peraturan Perundang-Undangan di Indonesia berusaha untuk memenuhi unsur-unsur
perlindungan
konsumen.Kendatipun
demikian,
beberapa
peraturan perundang-undangan tersebut belum memiliki ketegasan dan kepastian hukum tentang hak-hak konsumen.
25 Misalnya:
21. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1961 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1961 tentang Barang, menjadi Undang-undang; 22. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1966 tentang Hygiene; 23. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal; 24. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan; 25. Undang-undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian; 26. Undang-undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan; 27. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang dan Industri 28. Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan; 29. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Agreement Establishing The WorldTrade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia); 30. Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; 31. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Kecil; 32. Undang-undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan; 33. Undang-undang
Nomor
32
Tahun
2009
tentang
Pengelolaan
Lingkungan Hidup; 34. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran; 35. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan; 36. Undang-undang
Nomor
Pemerintahan di Daerah;
5
Tahun
1974
tentang
Pokok-Pokok
26 37. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 tentang Perubahan Atas Undang-undang Hak Cipta sebagai mana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 28 Tahun 2014. 38. Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 13 Tahun 1997tentang Paten; 39. Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Merek; 40. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
Hiruk pikuk gerakan perlindungan konsumen di Indonesia
mulai
terdengar dan popular pada tahun 1970-an, yakni dengan berdirinya lembaga swadaya masyarakat (nongovernmental organization) Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) pada bulan Mei 1973. Organisasi ini untuk pertama kalinya dipimpin oleh Lasmijah Hardi.Organisasi lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang perlindungan konsumen, tentu saja dalam aktivitasnya bertindak selaku perwakilan konsumen (consumer representation) yang bertujuan untuk melayani dan meningkatkan martabat dan kepentingan konsumen. 23 Pada awalnya, YLKI berdiri berdasarakan rasa menjaga diri terhadap promosi barang-barang dalam negeri. Pada tahun 1972, Lasmidjah Hardi memimpin kegiatan Pekan Swakarya, yang berupa aksi promosi terhadap berbagai barang dalam negeri.Setelah Swakarya I muncul desakan
23
Yusuf Sofie, Penyelesaian Sengketa Konsumen menurut UUPK dan Teori Praktek Penegakan Hukum (Jakarta :PT Citra Aditya Bakti, 2003), hal. 16
27 masyarakat, bahwa kegiatan promosi harus diimbangi dengan langkahlangkah pengawasan, agar masyarakat tidak dirugikan dan kualitas barang terjamin. Dari ajang Pekan Swakarya ini
lahir YLKI yang ide-idenya
dituangkan dalam anggaran dasar YLKI di hadapan Notari G.H.S Loemban Tobing, S.H. dengan akta nomor 26, 11 Mei 1973. 24 Yayasan ini sejak semula tidak ingin berkonfrontasi dengan produsen(Pelaku Usaha), apalagi dengan pemerintah.Hal ini dibuktikan oleh YLKI dengan menyelenggarakan pekan promosi Swakarya II dan III.Kegiatan ini akhirnya benar-benar dimanfaatkan oleh kalangan produsen dalam negeri.Dalam suasana kerjasama ini kemudian YLKI melahirkan lahir moto; “Melindungi Konsumen, Menjaga Martabat Produsen, dan Membantu Pemerintah”. Setelah lahirnya YLKI, muncul beberapa oranisasi yang berbasis perlindungan konsumen. Pada Februari 1988, berdiri Lembaga Pembinaan dan Perlindungan Konsumen (LP2K) di Semarang dan bergabung sebagai anggota Consumers Inernational (CI) tahun 1990. Hingga pada saat ini cukup banyak lembaga swadaya masyarakat serupa yang berorientasi kepada kepentingan pelayanan konsumen, seperti Yayasan Lembaga Bina Konsumen Indonesia (YLBKI) di Bandung dan perwakilan YLKI diberbagai provinsi di Tanah Air. 25 Di samping itu, dukungan media massa nasional baik cetak maupun elektronik yang secara rutin menyediakan kolom khusus untuk membahas keluhan-keluhan 24
konsumen,
juga
turut
menggalakkan
pergerakan
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, (Jakarta : Grasindo, 2000), hal.40. ibid hal.40
25
28 perlindungan konsumendi Indonesia. Hasil-hasil penelitian YLKI yang dipublikasikan di media massa juga membawa dampak terhadap konsumen. Perhatian Produsen terhadap publikasi demikian juga terlihat dari reaksireaksi yang diberikan, baik berupa koreksi maupun bantahan.Hal ini menunjukkan dalam memasuki dasawarsa ketiga, YLKI mampu berperan besar, khususnya dalam gerakan menyadarakan konsumen terhadap hakhaknya. Demikian juga dalam berbagai pertemuan ilmiah dan pembahasan peraturan perundang-undangan, YLKI dianggap sebagai mitra yang representative.Keberadaan YLKIjuga sangat
membantu dalam upaya
peningkatan kesadaran atas hak-hak konsumen. Lembaga ini tidak sekadar melakukan penelitian atau pengujian, penertiban, dan menerima pengaduan, tetapi sekaligus juga mengadakan upaya advokasi langsung melalui jalur pengadilan. Selanjutnya, pergerakan pemberdayaan konsumen semakin gencar baik melalui ceramah seminar, tulisan, dan media massa. Gerakan konsumen di Indonesia , termasuk yang diprakarsai YLKI mencatat prestasi besar setelah naskah akademik UUPK berhasil dibawa ke DPR, yang akhirnya disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen pada tanggal 20 April 1999. 26 Pembentukan Undang-undang Perlindungan Konsumen tersebut tidak terlepas dari dinamika politik Indonesia.Iklim politik yang lebih demokratis
26
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op. cit., hal. 16.
29 ditandai dengan gerakan reformasi yang dikomandoi oleh mahasiswa dan ditandai dengan pergantian Presiden Republik Indonesia dari Soeharto kepada B.J. Habibie.Kehidupan yang lebih demokratis mulai diperjuangkan, bersamaan dengan itu pula tuntutan untuk mewujudkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen semkin menguat. Hal ini ditandai dengan keberanian DPR menggunakan hak inisiatifnya untuk mengajukan rancangan Undang-undang yang selama kepemimpinan Soeharto belum pernah digunakan.Rancangan usul inisiatif pertama diajukan DPR adalah Rancangan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.Selain untuk mendapat pengakuan dari pemerintah dan masyarakat, keberanian DPR dalam mengajukan rancangan usul inisiatif ini menjadi penting bagi konsumen, karena orientasi pemikiran legislatif sudah berorientasi kepada kepentingan konsumen. Selain itu, faktor yang mempengaruhi pembentukan Undang-Undang Perlindungan Konsumen di Indonesia adalah munculnya beberapa kasus yang merugikan konsumen dan diakhiri dengan penyelesaian yang tidak memuaskan konsumen.
Di lain pihak, faktor yang turut mendorong pembentukan Undang-Undang Perlindungan Konsumen Di Indonesia adalah system perdagangan global yang dikemas dalam kerangka World Trade Organization (WTO), maupun program International Monetary Fund (IMF), program Bank Dunia. Keputusan Indonesia untuk meratifaksi perjanjian perdagangan dunia diikuti
30 dengan
dorongan
terhadap
Pemerintah
Indonesia
untuk
melakukan
harmonisasi hukum nasional dengan hukum internasional di bidang perdagangan.
3. Sejarah Perlindungan Konsumen Dalam Islam Sebelum Islam datang, Mekkah telah menjadi pusat perhatian seluruh kabila Jazirah Arab karena adanya Ka’bah, dan Quraisy yang berdomisili di Mekkah dikenal sebagai penjaga Ka’bah yang merupakan tempat suci bagi bangsa Arab.Suku Quraisy mendapat keuntungan besar atas status mereka sebagai pemelihara Ka’bah, terutama dalam hal perdagangan. Keuntungan suku Quraisy tersebut terpetik dalam skala yang lebih besar, yakni terjalinnya hubungan politik ekonomi dan perdagangan yang lebih luas.Hal ini dibuktikan dengan terbitnya perizinan perjalanan dan jaminan keamanan berdagang (aylaf) bagi suku Quraisy dari penguasa Negara-negara tetangga, pada waktu itu adalah Syria, Yaman, dan Etiopia.Karena itu pula, Mekkah dianggap sebagai ibukota seluruh Jazirah Arab, dan juga dipandang sebagai pusat perdagangan Jazirah Arab. Pada saat itu, Mekkah telah mencapai kesuksesan yang sangat mencengangkan, kota itu berubah menjadi pusat perdagangan internasional. Para pedagang dan pemodalnya telah menjadi kaya raya melampaui impianimpian tertinggi mereka.Hanya bebarapa generasi pendahulu mereka hidup dalam kemelaratan dan serba kekurangan, kini Mekkah telah menjadi kiblat perdagangan.
31 Keberhasilan bangsa Quraisy dalam perdagangan bukan tanpa alasan, dalam The Wealth Of Nations, Adam Smith yang dianggap sebagai bapak ilmu ekonomi, mengungkap buku doctor pocock, yang menceritakan ketika para pedagang Muslim akan memasuki suatu kota untuk berjualan, mereka akan mengundang orang-orang yang lewat, termasuk orang miskin, untuk makan bersama. Mereka makan bersama dan bersila, memulai makan dengan ucapan bismilah dan mengakhirinya dengan Alhamdulillah.Demikianlah kiat para pedagang Muslim memelihara kepentingan bisnisnya, yakni dengan bermurah hati dan sambutan yang hangat. Secara historis, sejarah perlindungan konsumen dalam islam telah dimulai pada saat Muhammad (sebelum diangkat menjadi Rasulullah) membawa barang dagangan Khadijah binti Khuwailid dengan mendapat imbalan dan/atau upah. Kendatipun tidak banyak literatur perlindungan konsumen pada saat dilakukan perdagangan oleh Rasulullah, namun kita dapat menemukan prinsip-prinsip perlindungan konsumen dari praktik perdagangan yang dilakukan oleh Rasulullah. Jadi
sebelum
perlindungan
Barat
konsumen,
dan Islam
dunia telah
modern
mengenal
menjalankan
pengaturan
prinsip-prinsip
perlindungan konsumen walaupun belum terperinci secara empiris karena keterbatasan teknologi pada saat itu, namun Rasulullah telah berhasil meletakkan dasar-dasar perlindungan konsumen yang akhirnya diadopsi oleh dunia modern sekarang.
32 B. Hak Dan Kewajiban Konsumen Dan Pelaku usaha 1. Hak dan Kewajiban Konsumen Indonesia
melalui
Undang-undang
Perlindungan
Konsumen
menetapkan hak-hak konsumen sebagai berikut: 27 a. Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa; b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; c. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan; e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen. g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur secara tidak diskriminatif. h. Hak untuk mendapat kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau sebagaimana mestinya. i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan lainnya 28
27
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 4.
33 Kewajiban konsumen adalah : a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan; b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa; c. Membayar dengan nilai tukar yang disepakati; d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut. Organisasi
Konsumen
Sedunia
(international
Organization
of
Consumers Union-IOCU) menambahkan empat hak dasar konsumen yang harus dilindungi, yaitu : 29 a. Hak untuk memperoleh kebutuhan hidup. (the right to safety) b. Hak untuk memperoleh ganti rugi.(the right to be informed) c. Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen(the right to choose) d. Hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat(the right to be heard) Masyarakat ekonomi Eropa juga telah menetapkan hak-hak dan dasar konsumen yang perlu mendapat perlindungan, yaitu : 30 a. Hak perlindungan kesehatan dan keamanan b. Hak kepentingan ekonomi c. Hak mendapat ganti rugi
28
Seperti hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan lingkungan Hidup 29 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum perlindungan Konsumen, (Jakarta: Rajawali Pers, 2004), hal. 39 30 Mariam darus, Pembentukan Hukum Nasional dan Permasalahannya, ( Bandung : Alumni, 1981), hal 5.
34 d. Hak atas penerangan e. Hak untuk didengar YLKI menambahkan satu hak dasar lagi sebagai pelengkap empat hak dasar konsumen yang dikemukakan oleh John F. Kennedy, yaitu hak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.Sehingga keseluruhannya dikenal sebagai “Panca Hak Konsumen”. 31 Menurut Prof. Hans W. Miclitz, dalam perlindungan konsumen secara garis besar dapat ditempuh dua model kebijakan, Pertama, kebijakan yang bersifat komplementer, yaitu kebijakan yang mewajibkan pelaku usaha memberikan informasi yang memadai kepada konsumen (hak atas informasi). Kedua,
kebijakan
kompensantoris,
yaitu
kebijakan
yang
berisikan
perlindungan terhadap kepentingan ekonomi konsumen hakatas keamanan dan kesehatan) 32
2. Hak Dan Kewajiban Pelaku Usaha Hak pelaku usaha adalah : a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai
kondisi
dan
nilai
tukar
barang
dan/atau
jasa
yang
diperdagangkan; b. Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikat tidak baik; c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaiakan hukum sengketa konsumen; 31
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, (Jakarta: Grasindo, 2000), hal 16 Ibid., hal 49.
32
35 Kewajiban pelaku usaha adalah : a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya; b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan; c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku; e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan.
C. Dasar Perlindungan Hukum Konsumen Hukum perlindungan konsumen yang berlaku di Indonesia memiliki dasar hukum yang telah ditetapkan oleh pemerintah.Dengan adanya dasar hukum yang pasti, perlindungan terhadap hak-hak konsumen bisa dilakukan dengan penuh optimisme.Hukum Perlindungan Konsumen merupakan cabang dari Hukum Ekonomi.Alasannya, permasalahan yang diatur dalam hukum konsumen berkaitan erat dengan pemenuhan kebutuhan barang / jasa.Pada tanggal 30 Maret 1999, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menyepakati Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang perlindungan konsumen untuk disahkan oleh pemerintah setelah
36 selama 20 tahun diperjuangkan. RUU ini sendiri baru disahkan oleh pemerintah pada tanggal 20 april 1999. Di Indonesia, dasar hukum yang menjadikan seorang konsumen dapat mengajukan perlindungan adalah: a. Undang Undang Dasar 1945 Pasal 5 ayat (1), pasal 21 ayat (1), Pasal 21 ayat (1), Pasal 27 , dan Pasal 33. b. Undang Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1999 No. 42 Tambahan lembaran Negara Republik Indonesia No. 3821 c. Undang Undang No. 5 tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Usaha Tidak Sehat. d. Undang Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbritase dan Alternatif Penyelesian Sengketa e. Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan Pengawasan dan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen f. Surat Edaran Dirjen Perdagangan Dalam Negeri No. 235/DJPDN/VII/2001 Tentang Penangan pengaduan konsumen yang ditujukan kepada Seluruh dinas Indag Prop/Kab/Kota g. Surat Edaran Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri No. 795 /DJPDN/SE/12/2005 tentang Pedoman Pelayanan Pengaduan Konsumen Dengan
diundang-undangkannya
masalah
perlindungan
konsumen,
dimungkinkan dilakukannya pembuktian terbalik jika terjadi sengketa antara konsumen dan pelaku usaha.Konsumen yang merasa haknya dilanggar bisa
37 mengadukan dan memproses perkaranya secara hukum di badan penyelesaian sengketa konsumen (BPSK). Dasar hukum tersebut bisa menjadi landasan hukum yang sah dalam soal pengaturan perlindungan konsumen. Di samping UU Perlindungan Konsumen, masih terdapat sejumlah perangkat hukum lain yang juga bisa dijadikan sebagai sumber atau dasar hukum sebagai berikut : a. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2001 Tanggal 21 Juli2001 tentang Badan Perlindungan Konsumen Nasional. b. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2001 Tanggal 21 Juli
2001
tentang
Pembinaan
dan
Pengawasan
Penyelenggaraan
PerlindunganKonsumen. c. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2001 Tanggal 21 Juli 2001 tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat. d.
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 90 Tahun 2001 Tanggal 21 Juli 2001 tentang Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Pemerintah Kota Medan, Kota Palembang, Kota Jakarta Pusat, Kota Jakarta Barat, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Yogyakarta Kota Surabaya, Kota Malang, dan Kota Makassar.
e. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 302/MPP/KEP/10/2001
tentang
Pendaftaran
Lembaga
Perlindungan
Konsumen Swadaya Masyarakat. f.
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor
605/MPP/KEP/8/2002
tentang
Pengangkatan
Anggota
Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen Pada Pemerintah Kota Makassar, Kota
38 Palembang, Kota Surabaya, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Yogyakarta, dan Kota Medan
D. Prinsip-prinsip Perlindungan Konsumen 1.
Prinsip bertanggung jawab berdasarkan kelalaian Tanggung jawab berdasarkan kelalaian adalah suatu prinsip tanggung
jawab yang bersifat subjektif, yaitu suatu tanggung jawab yang ditentukan oleh perilaku produsen.Sifat subjektifitas muncul pada kategori bahwa seseorang yang bersikap hati-hati mencegah timbulnya kerugian pada konsumen.Berdasarkan teori tersebut, kelalaian produsen yang berakibat pada munculnya kerugian konsumen merupakan faktor penentu adanya hak konsumen untuk mengajukan tuntutan kerugian kepada produsen. Di samping faktor kesalahan dan kelalaian produsen, tuntutan ganti kerugian berdasarkan kelalaian produsen diajukan dengan bukti-bukti, yaitu : 1. Pihak tergugat merupakan produsen yang benar-benar mempunyai kewajiban untuk melakukan tindakan yang dapat menghindari terjadinya kerugian konsumen. 2. Produsen tidak melaksanakan kewajiban untuk menjamin kualitas produknya sesuai dengan standar yang aman untuk di konsumsi atau digunakan. 3. Konsumen penderita kerugian. Kelalaian produsen merupakan faktor yang mengakibatkan adanya kerugian pada konsumen (hubungan sebab akibat antara kelalaian dan kerugian konsumen).
39 Berdasarkan teori ini, kelalaian produsen yang berakibat pada munculnya kerugian konsumen merupakan factor penentu adanya hak konsumen untuk mengajukan gugatan, manakala memenuhi syarat-syarat berikut; 33 1. Suatu tingkah laku yang menimbulkan kerugian, tidak sesuai dengan sikap hati-hati yang normal. 2. Harus dibuktikan bahwa tergugat lalai dalam kewajiban berhati-hati terhadap penggugat. 3. Kelakuan tersebut merupakan penyebab nyata (Proximate Cause) dari kerugian yang timbul
Dalam prinsip tanggung jawab berdasarkan kelalaian juga mengalami perkembangan dengan tingkat responsibilitas yang berbeda terhadap kepentingan konsumen, yaitu: a. Tanggung Jawab atas Kelalaian dengan Persyaratan Hubungan Kontrak Teori murni prinsip tanggung jawab berdasarkan kelalaian adalah suatu tanggung jawab yang didasarkan pada adanya unsur kesalahan dan hubungan kontrak.Teori ini sangat merugikan konsumen karena gugatan baru dapat diajukan jika telah memenuhi dua syarat, yaitu adanya unsur kesalahan atu kelalaian dan hubungan kontrak antara produsen dan konsumen. Teori tanggung jawab produk brdasrkan kelalaian tidak memberikan perlindungan yang maksimal kepada konsumen, karena konsumen dihadapkan pada dua kesulitan dalam mengajukan gugatan kepada produsen, yaitu, pertama, tuntutan adanya hubungan kontrak antara konsumen sebagai penggugat
33
148.
Ahmadi Miru, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: PT Rajawali Pers, 2004), hal
40 dengan produsen sebagai tergugat. Kedua, argumentasi produsen bahwa kerugian konsumen diakibatkan oleh kerusakan barang yang tidak diketahui.
b.
Kelalaian
Dengan
Beberapa
Pengecualian
Terhadap
Persyaratan
Hubungan Kontrak Perkembangan tahap kedua teori tanggung jawab berdasarkan kelalaian adalah prinsip tanggung jawab yang tetap berdasarkan kelalaian namun untuk beberapa kasus terdapat pengecualian terhadap persyaratan hubungan kontrak.Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa persyaratan hubungan kontrak merupakan salah satu hambatan konsumen untuk mengajukan ganti kerugian kepada produsen.Prinsip ini tidak memeihak kepada kepentingan konsumen, karena pada kenyataanya konsumen yang sering mengalami kerugian atas pemakaian suatu produk adalah konsumen yang tidak memiliki kepentingan hukum dengan produsen.
c. Kelalaian Tanpa Persyaratan Hubungan Kontrak Setelah prisip tanggung jawab atas dasar kelalaian dengan beberapa pengecualian terhadap hubungan kontrak sebagai tahap kedua dalam perkembangan substansi hukum tanggung jawab produk, maka tahap berikutnya adalah tahap ketiga yaitu sistem tanggung jawab yang tetep berdasarkan kelalaian, tetapi sudah tidak mensyaratkan adanya hubungan kontrak.
41 d. Prinsip Paduga Lalai dan Prinsip Bertanggung Jawab dengan Pembuktian Terbaik Tahap
pekembangan
trakhir
dalam
prinsip
tanggung
jawab
berdasarkan kelalaian adalah dalam bentuk modifikasi terhadap prisip tanggung jawab berdasarkan kesalahan.Modifikasi ini bermakna, adanya keringanan-keringanan bagi konsumen dalam penerapan tanggung jawab berdasarkan kelalaian, namun prinsip tanggung jawab ini masih berdasarkan kesalahan.Modifikasi ini merupakan masa transisi menuju pembentukan tanggung jawab mutlak.
2. Prinsip Tanggung jawab Berdasarkan Wanprestasi Selain mengajukan gugatan terhadap kelalaian produsen, ajaran hukum juga
memperkenalkan
konsumen
untuk
mengajukan
gugatan
atas
wanprestasi.Tanggung jawab produsen yang dikenal dengan wanprestasi adalah tanggung jawab berdasarkan kontrak.Ketika suatu produk rusak dan mengakibatkan kerugian, konsumen biasanya melihat isi kontrak atau perjanjian atau jaminan yang merupakan bagian dari kontrak, baik tertulis maupun lisan.Keuntungan bagi konsumen dalam gugatan berdasarkan teori ini adalah penerapan kewajiban yang sifatnya mutlak, yaitu suatu kewajiban yang tidak didasarkan pada upaya yang telah dilakukan penjual untuk memenuhi janjinya.Itu berati apabila produsen telah berupaya memenuhi janjinya tetapi konsumen tetap menderita kerugian, maka produsen tetap dibebani tanggung jawab untuk mengganti kerugian. Akan tetapi, dalam prinsip tanggung jawab
42 berdasarkan wanprestasi terdapat beberapa kelemahan yang dapat mengurangi bentuk perlindungan hukum terdapat kepentingan konsumen, yaitu : 1. Pembatasan waktu gugatan. 2. Persyaratan pemberitahuan. 3. Kemungkinan adanya bantahan. 4. Persyaratan hubungan kontrak, baik hubungaan kontrak secara horizontal maupun vertikal. Gugatan berdasarkan prinsip ini sesungguhnya dapat diterima walaupuntanpa hubungan kontrak, dengan pertimbangan bahwa dalam praktik bisnis modern, proses distribusi dan iklan langsung ditujukan kepada masyarakat (konsumen) melalui media massa. Dengan demikian, tidak perlu ada hubungan kontrak yang mengikat antara produsen dan konsumen. 34
3. Prinsip Tanggung Jawab Mutlak Asas tanggung jawab ini dikenal dengan nama product liability. Menurut prinsip ini, produsen wajib bertanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen atas penggunaan produk yang beredar dipasaran. Tanggung jawab mutlak strict liability,yakni unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar ganti kerugian, ketentuan ini merupakan lex specialis dalam gugatan tentang melanggar hukum pada umumnya. Penggugat (konsumen) hanya perlu membuktikan adanya hubungan klausalitas antara perbuatan produsen dan kerugian yang dideritanya.Dengan diterapkannya prinsip tanggung jawab ini, maka setiap konsumen yang merasa dirugikan
34
Ahmadi Miru, Op. cit., hal 148.
43 akibat produk barang yang cacat atau tidak aman dapat menuntut konpensasi tanpa harus mempermasalahkan ada atau tidanya unsur kesalahan di pihak produsen. Alasan-alasan mengapa prinsip tanggung jawab mutlak diterapkan dalam hukum tentang product liability adalah : 35 1. Diantara korban / konsumen di satu pihak ada produsen di lain pihak, beban kerugian seharusnya ditanggung oleh pihak yang memproduksi. 2. Dengan menempatkan / mengedarkan barang-barang dipasaran, berarti produsen menjamin bahwa barang-barang tersebut aman dan pantas untuk digunakan, bilamana terbukti tidak demikian dia harus bertanggung jawab. Undang-undang nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen mengakodomasi dua prinsip penting, yakni tanggung jawab produk (produk liability) dan tanggung jawab profesional (profesional libiatlity). Tanggung jawab produk merupakan tanggung jawab produsen untuk produk yang dipasarkan kepada pemakai, yang menimbulkan dan menyebabkan kerugian karena cacat yang melekat pada produk tersebut. 36
35
M. Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Tentang Permasalahan Hukum, (Bandung Citra Aditya Bakti, 1997) hal 16-17. 36 Shidarta, Op. Cit., hal 80