BAB II TINJAUAN UMUM PEMBIAYAAN BERMASALAH, DENDA, BMT, DAN FATWA DSN A. Pembiayaan Bermasalah 1. Pengertian Persoalan pertama
yang
selalu
menyertai kegiatan
usaha
pembiayaan oleh lembaga keuangan adalah adanya pembiayaan yang tidak lancar pengembaliannya atau tidak sehat. Meskipun BMT sudah semaksimal mungkin menerapkan prinsip kehati-hatian, tetapi tetap saja BMT tidak dapat menghindarkan diri dari adanya pembiayaan bermasalah. Hal ini dikarenakan dalam pemberian dan pengelolaan pembiayaan itu sendiri senantiasa terdapat risiko-risiko yang berpeluang untuk menjadikan suatu pembiayaan bermasalah. Pembiayaan
adalah
penyediaan
atau
tagihan
yang
dapat
dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil. 1 Pembiayaan bermasalah memiliki pengertian yang luas, mulai dari masalah yang kecil seperti menunggak satu hari, karena terlambat menyetor, sampai hal-hal yang besar yaitu pembiayaan bermasalah. Lebih jelasnya pembiayaan bermasalah merupakan keadaan dimana
1
M. Kasmir, Manajemen Perbankan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 73.
20
21
nasabah atau debitur tidak mampu memenuhi kewajiban terhadap BMT sesuai dengan akad perjanjian, 2 Pembiayaan bermasalah yaitu peminjaman yang tertunda atau ketidakmampuan peminjam untuk membayar kewajiban yang telah dibebankan. 3 Hal ini dikarenakan adanya permasalahan: a. Usaha nasabah tidak sebaik pada awal proses pengajuan pembiayaan, sehingga kemampuan dalam membayar tidak sebaik atau sebesar sebelumnya. b. Pengelolaan atau manajemen perusahaan yang tidak baik, tidak professional. c. Pembiayaan yang sudah jatuh tempo tetapi nasabah tidak dapat melunasinya, tetapi masih memungkinkan untuk ditagih. d. Karakter nasabah yang kemudian ternyata tidak baik, sehingga meskipun perusahaan memiliki kemampuan membayar tetapi nasabah tidak atau kurang memiliki kemauan membayar dapat menjadi peluang timbulnya pembiayaan bermasalah.4 2. Faktor Penyebab Pembiayaan Bermasalah Pembiayaan bermasalah tidak muncul begitu saja, selalu ada tandatanda atau indikasi awal, seperti debitur tiba-tiba tidak mau membayar karena tidak memiliki i’tikad baik. Ini salah satu alasan BMT harus
2
Untung Budi, Kredit Perkoperasian di Indonesia, (Yogyakarta: Andi Yogyakarta, 2006), hlm. 15. 3 Muhammad, Manajemen Bank Syari’ah, (Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 2002), hlm. 267. 4 Sinungan Muchdarsyah, Strategi Manajemen Bank, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2000), hlm. 56.
22
berhati-hati dalam memberikan pembiayaan. Karena waktu untuk mengenal calon debitur sangat terbatas. Suatu hal yang sering terjadi dalam lembaga keuangan adalah manajemen tidak peka terhadap berbagai indikasi awal pembiayaan bermasalah, hal ini menjadikan terlambatnya penanganan awal atas pembiayaan bermasalah. Faktor terjadinya pembiayaan bermasalah adalah karena kesulitankesulitan keuangan yang dihadapi nasabah. Secara umum penyebab kesulitan keuangan nasabah dapat dibagi menjadi dua faktor :5 a. Faktor Internal 1) Peminjam kurang cakap dalam usaha 2) Manajemen tidak baik atau kurang rapi 3) Laporan keuangan tidak lengkap 4) Penggunaan dana yang tidak sesuai dengan rencana 5) Perencanaan yang tidak matang 6) Dana yang diberikan tidak cukup untuk menjalankan usaha tersebut.6 b. Faktor Eksternal Adalah faktor yang berada diluar kekuasaan manajerial perusahaan, seperti bencana alam, peperangan, perubahan pada kondisi keuangan dan perdagangan, perubahan tekhnologi dan lainlain. 7 5
Ibid, Sinungan Muchdarsyah, Strategi Menejement Koperasi, hlm. 240. Ibid, Muhammad, Manajement Bank Syariah, hlm. 206. 7 Zainul Arifin, Dasar-Dasar Manajemen Bank Syariah, (Jakarta: Pustaka Alvabeth, 2005), hlm. 267. 6
23
Selain itu juga yang menjadi penyebab terjadinya pembiayaan bermasalah adalah terlalu mudah dalam memberikan pinjaman atau melakukan investasi karena dituntut untuk memanfaatkan kelebihan likuiditas. Akibatnya penilaian kredit atau pembiayaan kurang cermat
dalam mengantisipasi berbagai
kemungkinan risiko usaha yang dibiayainya. 8 Menurut Drs. Ismail faktor penyebab kredit (pembiayaan bermasalah) adalah: a. Faktor Internal 1) Analisis kurang tepat, kredit yang diberikan tidak sesuai dengan
kebutuhan
sehingga
nasabah
tidak
mampu
membayar angsuran yang melebihi kemampuan 2) Adanya kolusi antar pejabat bank yang menangani kredit dan nasabah, sehingga bank memutuskan kredit yang tidak seharusnya diberikan 3) Campur tangan terlalu besar dari pihak terkait, misal: komisaris, pejabat, direktur bank sehingga petugas tidak independen dalam memutuskan kredit 4) Kelemahan dalam melakukan pembinaan dan monitoring.
8
M. Kasmir ,Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 108.
24
b. Faktor Eksternal 1) Unsur Kesengajaan Nasabah a) Nasabah tidak memiliki kemauan atau itikat baik untuk memenuhi kewajiban b) Nasabah menggunakan dana kredit tersebut tidak sesuai dengan tujuan penggunaan, misal: kredit modal kerja digunakan untuk konsumsi 2) Unsur Ketidaksengajaan Nasabah a) Kemampuan keuangan nasabah menurun sehingga tidak dapat membayar angsuran b) Perusahaan nasabah mengalami kerugian c) Perubahan kebijakan dan peraturan pemerintah yang berdampak pada usaha nasabah d) Bencana alam yang dapat menyebabkan kerugian nasabah. 9 3. Penanganan Pembiayaan Bermasalah. Dalam pemberian pembiayaan, dimanapun usaha pasti ada masalah dan risiko. Begitu juga di KJKS Madani tak lepas dari permasalahan atau risiko yang akan dihadapi. Salah satunya risiko tersebut adalah pembiayaan bermasalah. Penanganan pembiayaan bermasalah yang dilakukan adalah dengan cara 3R (Rescheduling, Reconditioning, Restructuring). Apabila dengan cara ini masih juga ada masalah yang 9
Ismail, Manajemen Perbankan: dari Teori Menuju Aplikasi, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 123-124.
25
timbul baru dilakukan penyelesaian masalah dengan penyitaan barang jaminan. Pengertian 3R yaitu: a. Rescheduling (penjadwalan kembali) dengan jangka waktu angsuran serta memperkecil angsuran. b. Restructuring (penataan kembali) Perubahan Jumlah plafon (menambah atau mengurangi pembiayaan) dan jadwal waktu pembiayaan c. Reconditioning, (persyaratan ulang) yaitu: Memperkecil margin keuntungan atau bagi hasil, penundaan bagi hasil, sedangkan nasabah hanya mengangsur pokok terlebih dahulu. 10 Penyitaan jaminan pembiayaan pada dasarnya bukanlah sesuatu yang tercela. Penyitaan adalah jalan terakhir apabila nasabah benarbenar tidak bisa melunasi hutang-hutangnya, dengan terpaksa harus dilakukan dengan penyitaan, maka penyitaan dilakukan kepada nasabah nakal dan tidak beri’tikad baik mengembalikan pembiayaan. Namun tetap dilakukan dengan cara-cara sebagaimana yang diajarkan menurut ajaran Islam, yaitu: 1) Simpati: sopan, menghargai, dan fokus ke tujuan penyitaan 2) Empati: menyelami keadaan nasabah, bicara seakan untuk kepentingan nasabah, membangkitkan kesadaran nasabah untuk mengembalikan hutangnya
10
269.
Muhammad, Manajemen Bank Syari’ah, (Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 2002), hlm.
26
3) Menekan: tindakan ini dilakukan jika dua tindakan sebelumnya tidak diperhatikan. 4. Kriteria Kolektibilitas Pembiayaan Pembiayaan macet atau pembiayaan bermasalah selalu dilihat dan diukur
dari
kolektibilitas
pembiayaan
yang
bersangkutan.
Kolektibilitas adalah keadaan pembayaran pokok atau angsuran dan margin
keuntungan
pembiayaan
oleh
nasabah
serta
tingkat
kemungkinan diterimanya kembali dana tersebut.11 Pembagian klasifikasi pembiayaan menurut surat keputusan direktur koperasi Indonesia No. 30/267/KEP/DIR adalah sebagai berikut:12 a. Pembiayaan Tingkat Lancar Yaitu suatu pembiayaan dimana kewajiban-kewajiban secara lancar dipenuhi oleh nasabah atau debitur dan tidak pernah terjadi penunggakan secara berturut-turut selama 3 bulan, Pembiayaan dapat dikatakan lancar apabila: 1) Pembayaran angsuran pokok dan bunga atau bagi hasil tepat waktu 2) Memiliki mutasi rekening yang aktif 3) Bagian dari pembiayaan yang dijamin dengan angsuran tunai. Tingkat kelancaran tidak dikatakan sebagai pembiayaan bermasalah namun lembaga keuangan juga perlu mewaspadai 11
Ibid, M. Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, hlm. 123. Hermansyah, Hukum Perkoperasian Nasional Indonesia, cet. Ke 1, (Jakarta: Kencana, 2005), hlm. 62. 12
27
terutama gejala-gejala permasalahan yang timbul dari pembiayaan yang diberikan. Oleh karena itu harus memantau jalannya pembiayaan. b. Tingkat dalam Perhatian Khusus Dikatakan dalam perhatian khusus apabila memenuhi kriteria antara lain: 1) Terdapat tunggakan pembayaran angsuran pokok dan bunga atau bagi hasil yang belum melampaui 93 hari 2) Kadang-kadang terjadi penarikan tabungan melebihi saldo yang ada 3) Jarang
terjadi
pelanggaran
terhadap
kontrak
yang
diperjanjikan 4) Mutasi rekening relatif aktif 5) Didukung oleh pinjaman baru.13 Pada tingkat ini dapat dilakukan dengan pengiriman surat pemberitahuan, pengawasan intensif terhadap usaha, stok dan proyek serta rekening nasabah. c. Tingkat Kurang Lancar Dikatakan tingkat kurang lancar apabila memenuhi kriteria di antranya: 1) Terdapat tunggakan pembayaran angsuran pokok dan bunga atau bagi hasil yang belum melampaui 186 hari
13
Ibid, Hermansyah, Hukum Perkoperasian Nasional Indonesia, hlm. 63.
28
2) Sering terjadi Penarikan tabungan 3) Frekuensi mutasi rekening relatif rendah 4) Terjadi pelanggaran terhadap kontrak yang diperjanjikan 5) Terdapat indikasi masalah keuangan yang dihadapi debitur 6) Dokumen pinjaman yang lemah. 14 d. Tingkat Diragukan Dikatakan tingkat diragukan apabila memenuhi kriteria di antaranya: 1) Terdapat tunggakan pembayaran angsuran pokok dan bunga atau bagi hasil yang telah melampaui 279 hari 2) Terjadi penarikan tabungan yang bersifat permanen 3) Terjadi wanprestasi 4) Terjadi rekapitulasi bunga atau bagi hasil 5) Dokumen hukum yang lemah, baik untuk perjanjian kredit maupun pengikatan jaminan. e. Tingkat Macet Tingkat ini merupakan tingkat puncak, dengan kata lain pembiayaan sudah dipastikan tidak bisa memenuhi seluruh kewajibannya kepada lembaga Keuangan. Kriterianya: 1) Terdapat tunggakan angsuran pokok dan bunga atau bagi hasil yang telah melampaui 280 hari. 2) Kerugian operasional ditutup dengan pinjaman baru.
14
Ibid, Hermansyah, Hukum Perkoperasian Nasional Indonesia, hlm. 64.
29
3) Dari segi hukum maupun kondisi pasar, jaminan tidak bisa dicairkan pada nilai yang wajar.15 B. Konsep Dasar Denda 1. Pengertian Denda Kedisiplinan sering didengar dalam setiap aktivitas terutama yang berhubungan dengan rutinitas pekerjaan atau sesuatu hal yang berhubungan dengan pihak lain. Di lembaga keuangan juga kita jumpai kedisiplinan dalam pembayaran angsuran pembiayaan. Permasalahan kedisiplinan muncul manakala ada beberapa nasabah yang tidak disiplin dalam mengembalikan kewajibannya. Denda merupakan konsekuensi yang harus diterima akibat dari ketidak disiplinan dalam pembayaran angsuran.16 Sanksi keterambatan dalam bentuk denda rupiah banyak dipakai di lembaga keuangan, sanksi atau denda diberikan agar nasabah dapat lebih tepat dalam memenuhi kewajibannya untuk membayar angsuran, dengan adanya denda nasabah akan lebih perhatian, besarnya satuan denda sebagai bentuk hukuman bagi nasabah yang terlambat. Penetapan denda biasanya juga tidak terlepas dari kabijakan lembaga keuangan. Denda adalah hukuman yang melibatkan uang yang harus dibayarkan dalam jumlah tertentu (karena melanggar aturan, undang-
15
Ibid, Hermansyah, Hukum Perkoperasian Nasional Indonesia, hlm. 65. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,1998),hlm. 196. 16
30
undang, dsb). Jenis yang paling umum adalah uang, denda yang jumlahnya tetap, yang dibayarkan menurut penghasilan seseorang. 17 Menurut Aliminsyah, denda (fine) diartikan sebagai hukuman berupa uang yang harus dibayarkan karena melanggar peraturan atau undang-undang.18 2. Denda dalam Kacamata Syariah Di tengah-tengah masyarakat sering kita jumpai berbagai bentuk denda berkaitan dengan transaksi muamalah. Terlambat membayar angsuran pembiyaan juga akan mendapatkan denda dengan nominal rupiah tertentu, hukum dari denda diperbolehkan, denda diistilahkan syarth jaza’i. Syarth jaza’i (persyaratan denda atau klausul penalti) merupakan persyaratan yang terdapat dalam suatu akad mengenai pengenaan denda apabila ketentuan akad tidak dipenuhi. 19 Hukum persyaratan berkaitan erat dengan hukum syarat (kalausul) dalam transaksi. Akad merupakan atau pertemuan ijab dan Kabul yang berakibat hukum. Tujuan akad adalah untuk melahirkan suatu akibat hukum, Akibat hukum akad dalam hukum Islam disebut “hukum akad” (hukm al-‘aqd).20
17
Meity Taqdir Qodratullah. Kamus Besar Bahasa Indonesia untuk Pelajar, (Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembianaan Bahasa, Kementrian Pemdidikan dan Kebudayaan, 2011), hlm. 92. 18 Aliminsyah, dan Padji, Kamus Istilah Keuangan dan Perbankan, (Jakarta: Balai Pustaka, 2000), hlm. 53. 19 Dr. Yusuf Al-subaily, Fiqih Perbankan Syariah: Pengantar Fiqih Muamalah dan Aplikasinya dalam Ekonomi Modern. 20 Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah: Studi tentang Teori Akad dalam Fikih Muamalat, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007), hlm. 69.
31
Pada
dasarnya
akad
wajib
dilaksanakan
dalam
semua
kandungannya. Namun terdapat perjanjian di mana salah satu pihak tidak dapat membuat penawaran karena persyaraan (klausul) perjanjian itu telah dibakukan sedemikian rupa dan pihak tersebut tidak punya pilihan kecuali menerimanya. Tidak mustahil terjadi kemungkinan bahwa klausul tersebut ternyata sangat memberatkan pihak yang menerima, tanpa dapat menawar. Perjanjian baku adalah suatu perjanjian yang dibuat oleh dua pihak dimana salah satu pihak menstandarkan klausul-klausulnya kepada pihak lain yang tidak memiliki kebebasan untuk melakukan tawar-menawar dan tidak memiliki pilihan kecuali menerimanya. Akad ini banyak terjadi dalam hukum-hukum modern.21 Karena merupakan fenomena yang lahir dalam kehidupan modern, maka tidak ditemukan pengaturannya dalam sunnah Rasulullah saw. Namun demikian, dalam hukum Islam terdapat sejumlah prinsip yang menekankan keseimbangan dan keadilan di antara para pihak dalam perjanjian, dimana satu pihak tidak dibenarkan menekan pihak lain. Dengan berpegang kepada semangat untuk tidak mengeksploitasi kebutuhan orang banyak untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar, para ahli hukum Islam kontemporer merumuskan doktrin yang menyangkut akad baku dan tujuannya, sesuai dengan prinsip syariah. Hal ini dilakukan untuk memberi perlindungan kepada pihak
21
Anwar, Hukum, hlm. 319.
32
konsumen. Bentuk perlindungan itu adalah memberikan kekuasaan kepada pengadilan untuk menyesuaikan klausul tersebut dalam hal klausul-klausulnya yang memberatkan pihak penerima dengan cara mengubah isi klausulnya atau membebaskan pihak penerima dari klausul memberatkan atas dasar keadilan. Kekuasaan hakim dijadikan sebagai ketertiban umum, dan karena itu tidak dapat dibuat perjanjian yang bertentangan dengannya. Hal ini tercermin dalam Kitab UndangUndang Hukum Perdata yang menyerap hukum syariah seperti Qanun al-Mu’amalat al-Madaniyyah Emirat pasal 248 dan KUH Perdata Irak pasal 167 yang menyatakan: “Apabila akad terjadi secara baku dan mengandung klausul memberatkan, hakim dapat mengubah klausul itu atau membebaskan pihak penerima dari klausul tersebut sesuai dengan tuntutan keadilan. Setiap persetujuan yang dibuat bertentangan dengan ini adalah batal.” 22 Dalam kaitan dengan pelaksanaan isi akad, asasnya adalah bahwa akad harus dilaksanakan sebagaimana dikehendaki oleh isi yang terkandung di dalamnya karena memenuhi perjanjian itu adalah wajib. Namun dalam hukum Islam asas ini harus dibarengi dengan asas lain yang menjadi dasar syariah bagi keadaan yang memberatkan dalam pelaksanaan akad. Dasar syariah dari teori yang keadaan memberatkan sebagai alasan perubahan isi perjanjian menurut hukum Islam adalah asas-asas dalam kaidah fiqih:
22
Ibid., hlm. 320.
33
a. Asas “kerugian harus dihilangkan” (Adh-dhararu yuzal) b. Asas “Kesukaran mendatangkan kelonggaran” (al-masyaqqah tajlibu at-taisir). Adapun syarat yang tidak demikian adalah tergolong syarat yang harus dilaksanakan, karena kaum muslimin berkewajiban memenuhi persyaratan yang telah disepakati bersama. Berikut kutipan dua fatwa para ulama: Pertama adalah Lembaga Fiqih Islam International (majma’ al-fiqh al-Islami) di bawah OKI memutuskan beberapa poin penting, tentang syarat jaza’i diantaranya sebagai berikut: 1. Syart jaza’i adalah kesepakatan antara dua pihak yang berakad (penjual dan pembeli) dalam penentuan sanksi jika si penjual tidak dapat menyerahkan barang atau terlambat dalam penyediaan barang kepada pembeli pada waktu yang telah ditentukan. 2. Syart jaza’i (penyaratan sanksi) atas keterlambatan penyerahan barang dalam transaksi salam tidak dibolehkan, karena hakikat transaksi salam adalah utang, begitu juga pada akad qard (utangpiutang). 3. Syart jaza’i (penyaratan sanksi) dalam transaksi istishna’ adalah hal yang dibolehkan, selama tidak dalam kondisi yang tak terelakkan (force majeure). 4. Adapun pembeli dalam transaksi ba’i bit-taqshith (kredit) yang terlambat membayar angsuran, pihak penjual (lembaga keuangan)
34
tidak diperbolehkan untuk mengambil tambahan (denda) apa pun dari pihak pembeli, baik dengan adanya perjanjian sebelumnya ataupun tanpa perjanjian, karena hal tersebut adalah riba yang haram. Kedua adalah fatwa Haiah Kibar Ulama Saudi (badan ulama besar) Saudi arabia. Secara ringkas keputusan mereka adalah syarth jaza’i yang terdapat dalam berbagai transaksi adalah syarat yang benar dan diakui sehingga wajib dijalankan, selama tidak ada alasan pembenar untuk perjanjian yang sudah disepakati. 3. Denda Nasabah a. Denda bagi Nasabah Mampu Seorang nasabah yang memiliki kemampuan secara financial ekonomis dilarang menunda pembayaran. Hal ini sering terjadi dalam praktek pembiayaan di KJKS Madani. Pihak KJKS Madani dapat mengambil tindakan dengan prosedur hukum demi untuk mendapatkan kembali utang itu dan mengajukan klaim kerugian financial yang terjadi akibat penundaan,23 nasabah yang lalai dalam pembayaran, maka pihak KJKS Madani cenderung mengambil tindakan dengan jalan kekeluargaan, namun jika memang nasabah tidak bisa membayar dalam waktu yang telah ditentukan dan masih mempunyai kemampuan membayar.
23
Wawancara kepada Bapak Musyafa selaku manager di KJKS Madani Kota Pekalongan, Tanggal 19 November 2013.
35
Adapun jika nasabah tidak mau membayar, maka pihak KJKS Madani dapat melakukan penyitaan asset.24 b. Denda bagi Nasabah Tidak Mampu Nasabah yang berhutang dalam kondisi pailit dan gagal menyelesaikan hutangnya karena memang benar-benar tidak mampu secara ekonomi hingga macet dan bukan karena lalai. Nasabah harus beri’tikat baik dengan melaporkan keadaan ekonomi, KJKM Madani akan merundingkan dengan nasabah menyangkut
kemungkinan
memberikan
kelonggaran
atau
tambahan tempo sehingga ia mampu membayar kewajibannya. Apabila telah sampai batas waktu kelonggaran habis, nasabah masih tetap tidak mampu membayar ,maka pihak KJKS Madani boleh mengambil inisiatif untuk menyita jaminan, dengan tetap menjaga dan tidak mengurangi hak nasabah sedikitpun. Dan jika nasabah dalam kesukaran, maka diberi tangguhan waktu sampai ia mampu. Dan menyedekahkan sebagian atau seluruhnya, itu lebih baik. c. Nasabah dalam Keadaan Force Majeur (keadaan yang tidak dapat diprediksi atau bencana) 25 Apabila terjadi force majeur seperti kejadian-kejadian dibawah ini :
24
Wawancara kepada Bapak Musyafa selaku manager di KJKS Madani Kota Pekalongan, Tanggal 19 November 2013. 25 Ibid,.
36
1) Bencana alam: letusan atau ledakan gunung berapi, gempa bumi dan banjir 2) Perang dan permusuhan yang dinyatakan pemerintah 3) Pengambil alihan kegiatan usaha oleh Pemerintah, sehingga nasabah
mengalami force
majeur
karena
tidak
bisa
menjalankan usaha dan tidak bisa melanjutkan kewajibannya terhadap lembaga keuangan, baik untuk seterusnya atau untuk sementara. nasabah yang mengalami force majeur tersebut harus memberitahukan secara tertulis dalam waktu paling lambat 14 hari kepada lembaga keuangan. C. Konsep Dasar Baitul Maal Wa Tamwil (BMT) 1. Pengertian BMT BMT didefinisikan sebagai “lembaga pendukung kegiatan ekonomi masyarakat kecil dengan berlandaskan prinsip syariah”. 26 BMT dalam pedoman bahasa Indonesia adalah Balai Usaha Mandiri terpadu, merupakan lembaga keuangan syariah yang tumbuh seiring dengan perkembangan lembaga keuangan maupun non keuangan syariah lainnya di Indonesia. Baitul Maal Wattamwil (BMT) terdiri dari dua istilah, yaitu baitul maal dan baitul tamwil. Baitul Maal cenderung pada usaha-usaha pengumpulan dan penyaluran dana yang non-profit seperti zakat, infaq dan shadaqah (ZIS). Sedangkan baitul tamwil sebagai usaha 26
hlm. 430.
M. Dawam Raharjo, Islam dan Transformasi Sosial Ekonomi, (Jakarta: LSAF, 1999),
37
pengumpulan dan penyaluran dana komersial. Usaha-usaha tersebut menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari BMT sebagai lembaga pendukung kegiatan ekonomi. Definisi lain yang menjelaskan baitul maal ialah merupakan lembaga keuangan yang kegiatannya mengelola dana yang bersifat nirlaba (sosial), 27 sedangkan baitul tamwil secara etimologi berasal dari kata bait dan tamwil. Yang berarti bait adalah rumah dan tamwil adalah pembiayaan. Jadi baitul tamwil adalah rumah pembiayaan. Dan baitul tamwil secara terminologis dapat diartikan sebagai lembaga (instansi) keuangan yang usaha pokoknya menghimpun dana dari pihak ketiga (deposan) dengan memberikan pembiayaan-pembiayaan kepada usaha-usaha yang produktif dan menguntungkan. BMT (Baitul Maal Wattamwil) atau padanan kata Balai Usaha Mandiri Terpadu adalah lembaga keuangan mikro yang dioperasikan dengan prinsip bagi hasil, menumbuh kembangkan bisnis usaha mikro dan kecil dalam rangka mengangkat derajat dan martabat serta membela kepentingan kaum miskin. 28 2. Ciri-ciri BMT Dari pengertian tentang BMT yang telah di jelaskan diatas, maka ciri-ciri pada BMT itu sendiri adalah sebagai berikut: a. Berorientasi
bisnis,
mencari
laba
bersama,
meningkatkan
pemantauan ekonomi paling banyak untuk anggota dan masyarakat 27
Hertanto Widodo, Panduan Praktis Operasional BMT, (Bandung:Mizan, 1999), hlm.
28
M.Amin Azis, Tata Cara Pendirian BMT, (Jakarta: PKES Publishing,2008), hlm. 18.
81.
38
b. Bukan lembaga sosial, tetapi bermanfaat untuk mengefektifkan pengumpulan dana zakat, infaq, shodaqoh bagi kesejahteraan orang banyak c. Ditumbuhkan dari bawah berlandaskan peran serta masyarakat disekitarnya d. Milik bersama, masyarakat bawah bersama dengan orang kaya disekitar BMT, bukan milik perorangan atau orang dari luar masyarakat. Atas dasarnya ini BMT tidak dapat berbadan hukum perorangan. 3. Dasar Hukum BMT BMT berazaskan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 serta berlandaskan
syariah
kekeluargaan
atau
Islam, koperasi,
keimanan,
keterpaduan
kebersamaan,
(kaffah),
kemandirian,
dan
profesionalisme. Secara Hukum BMT berpayung pada koperasi tetapi sistem operasionalnya tidak jauh berbeda dengan Bank Syari’ah sehingga produk-produk yang berkembang dalam BMT seperti apa yang ada di Bank Syari’ah. 29 Oleh karena berbadan hukum koperasi, maka BMT harus tunduk pada Undang-undang Nomor 25 tahun 1992 tentang Perkoperasian dan PP Nomor 9 tahun 1995 tentang pelaksanaan usaha simpan pinjam oleh koperasi. Juga dipertegas oleh KEP. MEN Nomor 91 tahun 2004 tentang Koperasi Jasa keuangan syari’ah. Undang-undang tersebut 29
Ibid, Hertanto Widodo, Panduan Praktis Operasional BMT, hlm. 20.
39
sebagai payung berdirinya BMT (Lembaga Keuangan Mikro Syari’ah). Meskipun sebenarnya tidak terlalu sesuai karena simpan pinjam dalam koperasi khusus diperuntukkan bagi anggota koperasi saja, sedangkan didalam BMT pembiayaan yang diberikan tidak hanya kepada anggota tetapi juga untuk diluar anggota atau tidak lagi anggota jika pembiayaannya telah selesai. 4. Sifat dan Tujuan BMT BMT bersifat usaha bisnis, mandiri ditumbuhkembangkan secara swadaya dan dikelola secara professional. Aspek baitul maal dikembangkan
untuk
kesejahteraan
anggota
terutama
dengan
penggalangan dana dari zakat, infaq, shodaqoh, wakaf dan lain-lain seiring dengan penguatan kelembagaan BMT. 30 Aspek bisnis BMT menjadi kunci sukses dalam mengembangkan BMT, sehingga BMT akan mampu memberikan bagi hasil yang kompetitif kepada para deposannya serta mampu meningkatkan kesejahteraan anggota dan pengelolanya sejajar dengan lembaga lain, sedangkan aspek BMT berorientasi pada peningkatan kehidupan anggota yang tidak mungkin dijangkau dengan prinsip bisnis Didirikannya BMT bertujuan meningkatkan kualitas usaha ekonomi untuk kesejahteraan anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya. Pengertian tersebut dapat dipahami bahwa BMT berorientasi pada upaya peningkatan kesejahteraan anggota dan
30
Ibid, Hertanto Widodo, Panduan Praktis Operasional BMT, hlm. 25
40
masyarakat, anggota harus diperdayakan (empowering) agar dapat mandiri, tidak dapat dibenarkan jika para anggota dan masyarakat menjadi sangat tergantung kepada BMT, dengan menjadi anggota, masyarakat dapat meningkatkan taraf hidup melalui peningkatan usahanya Pemberian modal pinjaman sedapat mungkin dapat memandirikan ekonomi para peminjam, oleh sebab itu sangat perlu dilakukan pendampingan dalam pelemparan pembiayaan, BMT harus dapat menciptakan suasana keterbukaan, sehingga dapat mendeteksi berbagai kemungkinan yang timbul dari pembiayaan. 5. Fungsi BMT Dalam rangka mencapai tujuannya, BMT berfungsi sebagai berikut: a. Mengidentifikasi, memobilisasi, mengorganisasi, mendorong dan mengembangkan
potensi
serta
kemampuan
ekonomi
para
anggotanya b. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) anggota menjadi lebih professional dan Islami sehingga semakin utuh dan tangguh dalam menghadapi persaingan global c. Menjadi perantara keuangan (financial intermediary) antara para pemilik moda (shohibul maal) dan pengelola (mudhorib) terutama untuk dana-dana sosial seperti: zakat, infaq, shodaqoh, wakaf, dll
41
d. Menjadi perantara keuangan (financial intermediary) antara para pemilik modal (shohibul maal) dan pengelola (mudhorib) untuk pengembangan usaha produktif. 31 D. Konsep Dasar Fatwa DSN-MUI 1. Pengertian Dewan Syariah merupakan sebuah lembaga yang berperan dalam menjamin ke-Islaman keuangan syariah diseluruh dunia. 32 Di Indonesia, peran ini dijalankan oleh Dewan Syariah Nasional (DSN) yang dibentuk oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tahun 1998 dan dikukuhkan oleh SK Dewan Pimpinan MUI No. Kep. 754/MUI/II/1999 tanggal 10 Februari 1999. MUI (Majelis Ulama Indonesia) adalah wadah atau majelis yang menghimpun para ulama, dan cendekiawan muslim Indonesia untuk menyatukan gerak dan langkah-langkah umat Islam Indonesia dalam mewujudkan cita-cita bersama. Majelis Ulama Indonesia berdiri pada tanggal 7 Rajab 1395 H, bertepatan pada tanggal 26 Juli 1975 di Jakarta, sebagai hasil dari pertemuan atau musyawarah para ulama, cendekiawan, dan zuama yang datang dari berbagai penjuru tanah air. Dalam khitah pengabdian Majelis Ulama Indonesia telah dirumuskan lima fungsi dan peran utama MUI yaitu : 1. Sebagai pewaris tugas-tugas para Nabi (Warasatul Anbiya)
31
Muhammad Ridwan, Baitul Maal Wa Tamwil (BMT), (Yogyakarta: UII Press, 2004),
hlm. 131. 32
534.
Yusuf Qardhawi, Fatwa-fatwa Kontemporer, (Jakarta: Gema Insani, Press, 2002), hlm.
42
2. Sebagai pemberi fatwa (mufti) 3. Sebagai pembimbing dan pelayanan umat 4. Sebagai gerakan Islah wa al Tajdid (Riwayat wa khadim al ummah) 5. Sebagai penegak amar ma’ruf dan nahi munkar. 33 DSN (Dewan Syariah Nasional) adalah badan yang dibentuk oleh MUI yang bertugas dan memiliki kewenangan untuk menetapkan fatwa tentang produk dan jasa dalam kegiatan usaha bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, pembentukan fatwa bidang ekonomi syariah oleh DSN adalah untuk menghindari adanya perbedaan ketentuan yang dibuat oleh DPS adalah untuk menghindari adanya perbedaaan ketentuan yang dibuat oleh DPS pada masingmasing LKS. 34 Pembentukan Fatwa DSN-MUI ini terjadi karena semakin berkembangnya lembaga-lembaga keuangan syariah di tanah air akhirakhir ini., dan adanya Dewan Pengawas Syariah pada setiap lembaga keuangan, dipandang perlu didirikan Dewan Syariah Nasional yang akan menampung berbagai masalah atau kasus yang memerlukan fatwa agar diperoleh kesamaan dalam penanganannya dari masing-masing Dewan Pengawas Syariah yang ada di lembaga keuangan syariah. Pembentukan Dewan Syariah Nasional merupakan langkah efisiensi dan
33
koordinasi
para
ulama
dalam
menanggapi
isu-isu
yang
www.mui.or.id/konten/mengenai-mui/sekitartentangkami. diakses pada Tanggal 17 November 2013. 34 Yeni Salma Barlinti, Kedudukan Fatwa Dewan Syariah Nasional dalam Sistem Hukum Nasional di Indonesia, (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI, 2010), hlm. 11.
43
berhubungan dengan masalah ekonomi atau keuangan. Dewan Syariah Nasional diharapkan dapat berfungsi untuk mendorong penerapan ajaran Islam dalam kehidupan ekonomi. Dewan Syariah Nasional berperan secara pro-aktif dalam menanggapi perkembangan masyarakat Indonesia yang dinamis dalam bidang ekonomi dan keuangan. 2. Tugas dan Wewenang Dewan Syariah Nasional (DSN) yaitu : 1. Tugas Dewan Syariah Nasional (DSN) a. Menumbuh-kembangkan penerapan nilai-nilai syariah dalam kegiatan perekonomian pada umumnya dan keuangan pada khususnya. b. Mengeluarkan fatwa atas jenis-jenis kegiatan keuangan. c. Mengeluarkan fatwa atas produk dan jasa keuangan syariah. d. Mengawasi penerapan fatwa yang telah dikeluarkan.35 2. Wewenang Dewan Syariah Nasional (DSN) a. Mengeluarkan fatwa yang mengikat Dewan Pengawas Syariah dimasing-masing lembaga keuangan syariah dan menjadi dasar tindakan hukum pihak terkait. b. Mengeluarkan
fatwa
yang
menjadi
landasan
bagi
ketentuan/peraturan yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang, seperti Departemen Keuangan dan Bank Indonesia.
35
Ibid,.
44
c. Memberikan rekomendasi dan/atau mencabut rekomendasi nama-nama yang akan duduk sebagai Dewan Pengawas Syariah pada suatu lembaga keuangan syariah. d. Mengundang para ahli untuk menjelaskan suatu masalah yang diperlukan dalam membahas ekonomi syariah, termasuk otoritas moneter/lembaga keuangan dalam maupun luar negeri. e. Memberikan peringatan kepada lembaga keuangan syariah untuk menghentikan penyimpangan dari fatwa yang telah dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional. f. Mengusulkan
kepada
instansi
yang
berwenang
untuk
mengambil tindakan apabila peringatan tidak diindahkan. 36 3. Fatwa DSN-MUI No.17/DSN-MUI/IX/2000 tentang sanksi atas nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran Untuk memnghindari hal-hal yang tidak diinginkan dalam pelaksanaan denda pembayaran dan pelunasan pembiayaan maka DSN-MUI mengeluarkan fatwa No. 17 tahun 2000 tentang sanksi atas nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran. Fatwanya sebagai berikut: a. Pertama: Ketentuan Umum 1. Sanksi yang disebut dalam fatwa ini adalah sanksi yang dikenakan LKS kepada nasabah yang mampu membayar, tetapi menunda-nunda pembayaran dengan disengaja. 36
http://www.mui.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=55:tentangdewan-syariah-nasional&catiel=39:dewan-syariah-nasional&itemid=58. diakses pada tanggal 17 November . 2013.
45
2. Nasabah yang tidak/belum mampu membayar disebabkan force majeur tidak boleh dikenakan sanksi. 3. Nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran dan/atau tidak mempunyai kemauan dan itikad baik untuk membayar boleh dikenakan sanksi. 4. Sanksi didasarkan pada prinsip ta’zir, yaitu bertujuan agar nasabah lebih disiplin dalam melaksanakan kewajibannya. 5. Sanksi dapat berupa denda sejumlah uang yang besarnya ditentukan atas dasar kesepakatan dan dibuat saat akad ditandatangani. 6. Dana yang berasal dari denda diperuntukkan sebagai dana sosial. b. Kedua: Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah. c. Ketiga: Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya. 37
37
Dewan Syariah Nasional MUI. Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI, Edisi Revisi Tahun 2006, Jilid 1, Fatwa Nomor 17.