BAB II TINJAUAN TEORITIS
2.1 Konsep perawat jiwa Konsep perawat jiwa meliputi definisi perawat kesehatan jiwa, peran perawat jiwa, fungsi perawat jiwa.
2.1.1 Definisi perawat kesehatan Jiwa Keperawatan kesehatan jiwa adalah suatu bidang spesialisasi praktik keperawatan yang menerepkan teori perilaku manusia sebagai ilmunya dan penggunaan diri sendiri secara terapeutik sebagai kiatnya atau instrumennya. Keperawatan jiwa merupakan sebagian dari penerapan ilmu tentang perilaku manusia, psikososial, bio-psik dan teori-teori kepribadian, dimana penggunaan diri perawat itu sendiri secara terapeutik sebagai alat atau instrumen yang digunakan dalam memberikan asuhan keperawatan (Erlinafsiah, 2010) Keperawatan jiwa adalah pelayanan kesehatan profesional yang didasarkan pada ilmu perilaku, ilmu keperawatan jiwa pada manusia sepanjang siklus kehidupan dengan respon psiko-sosial yang maladaptif yang disebabkan oleh gangguan bio-psiko-sosial, dengan menggunakan diri sendiri dan terapi keperawatan jiwa melalui proses keperawatan untuk meningkatkan, mencegah, mempertahankan dan memulihkan masalah kesehatan jiwa individu, keluarga dan masyarakat (Sujono dan Teguh, 2009).
Universitas Sumatera Utara
2.1.2 Peran perawat jiwa Peran perawat kesehatan jiwa mempunyai peran yang bervariasi dan spesifik (Dalami, 2010). Aspek dari peran tersebut meliputi kemandirian dan kolaborasi diantaranya adalah yang pertama yaitu sebagai pelaksana asuhan keperawatan, yaitu perawat memberikan pelayanan dan asuhan keperawatan jiwa kepada individu, keluarga dan komunitas. Dalam menjalankan perannya, perawat menggunakan konsep perilaku manusia, perkembangan kepribadian dan konsep kesehatan jiwa serta gangguan jiwa dalam melaksanakan asuhan keperawatan kepada individu, keluarga dan komunitas. Perawat melaksanakan asuhan keperawatan secara komprehensif melalui pendekatan proses keperawatan jiwa, yaitu pengkajian, penetapan diagnosis keperawatan, perencanaan tindakan keperawatan, dan melaksanakan tindakan keperawatan serta evaluasi terhadap tindakan tersebut. Peran perawat yang kedua yaitu sebagai pelaksana pendidikan keperawatan yaitu perawat memberi pendidikan kesehatan jiwa kepada individu, keluarga dan komunitas agar mampu melakukan perawatan pada diri sendiri, anggota keluarga dan anggota masyarakat lain. Pada akhirnya diharapkan setiap anggota masyarakat bertanggung jawab terhadap kesehatan jiwa. Peran yang ketiga yaitu sebagai pengelola keperawatan adalah perawat harus menunjukkan sikap kepemimpinan dan bertanggung jawab dalam mengelola asuhan keperawatan jiwa. Dalam melaksanakan perannya ini perawat diminta menerapkan teori manajemen dan kepemimpinan, menggunakan berbagai strategi perubahan yang
Universitas Sumatera Utara
diperlukan, berperan serta dalam aktifitas pengelolaan kasus dan mengorganisasi pelaksanaan berbagai terapi modalitas keperawatan. Peran perawat yang kekempat yaitu sebagai pelaksana penelitian yaitu perawat mengidentifikasi masalah dalam bidang keperawatan jiwa dan menggunakan hasil penelitian serta perkembangan ilmu dan teknologi untuk meningkatkan mutu pelayanan dan asuhan keperawatan jiwa.
2.1.3 Fungsi perawat jiwa Fungsi perawat jiwa adalah memberikan asuhan keperawatan secara langsung dan asuhan keperawatan secara tidak langsung (Erlinafsiah, 2010). Fungsi tersebut dapat dicapai melalui aktifitas perawat jiwa, yaitu: pertama, memberikan lingkungan terapeutik yaitu lingkungan yang ditata sedemikian rupa sehingga dapat memberikan perasaan aman, nyaman baik fisik, mental,dan sosial sehingga dapat membantu penyembuhan pasien. Kedua, bekerja untuk mengatasi masalah klien “here and now” yaitu dalam membantu mengatasi segera dan tidak ditunda sehingga tidak terjadi penumpukkan masalah. Ketiga, sebagai model peran yaitu perawat dalam memberikan bantuan kepada pasien menggunakan diri sendiri sebagai alat melalui contoh perilaku yang ditampilkan oleh perawat. Fungsi perawat yang keempat yaitu memperhatikan aspek fisik dari masalah kesehatan klien merupakan hal yang sangat penting. Dalam hal ini perawat perlu memasukkan pengkajian biologis secra menyeluruh dalam evaluasi pasien jiwa untuk mengidentifikasi adanya penyakit fisik sedini mungkin sehingga dapat diatasi dengan cara yang tepat. Kelima, memberikan pendidikan kesehatan yang
Universitas Sumatera Utara
ditujukan kepada pasien, kleuarga dan komunitas yang mencakup pendidikan kesehatan jiwa, gangguan jiwa, ciri-ciri sehat jiwa, penyebab gangguan jiwa, ciriciri gangguan jiwa, fungsi dan tugas keluarga, dan upaya perawatan pasien ganggua jiwa. Keenam, sebagai perantara sosial yaitu perawat dapat menjadi perantara dari pihak pasien, keluarga dan masyarakat dalam memfasilitasi pemecahan masalah pasien. Fungsi yang ketujuh adalah kolaborasi dengan tim lain adalah perawat membantu pasien mengadakan kolaborasi dengan petugas kesehatan lain yaitu dokter jiwa, perawat kesehatan masyarakat (perawat komunitas), pekerja sosial, psikolog, dll. Kedelapan, memimpin dan membantu tenaga perawatan adalah pelaksanaan pemberian asuhan keperawatan jiwa didasarkan pada manajemen keperawatan kesehatan jiwa. Kesembilan, menggunakan sumber di masyarakat sehubungan dengan kesehatan mental. Hal ini penting diketahui oleh perawat bahwa sumber-sumber yang ada dimasyarakat perlu diidentifikasi untuk digunakan sebagai faktor pendukung dalam mengatasi masalah kesehatan jiwa yang ada dimasyarakat.
2.2 Konsep klien dengan perilaku kekerasan Konsep klien dengan perilaku kekerasan meliputi definisi klien dengan perilaku kekerasan, perubahan-perubahan yang terjadi pada klien dengan perilaku kekerasan, rentang respon marah pada klien dengan perilaku kekerasan, faktor predisposisi dan faktor presipitasi, perilaku-perilaku yang berkaitan dengan perilaku kekerasan, tindakan keperawatan yang dilakukan untuk menengani klien
Universitas Sumatera Utara
dengan perilaku kekerasan, serta prinsip-prinsip dalam pengelolaan klien dengan perilaku kekerasan
2.2.1 Definisi klien dengan perilaku kekerasan Perilaku kekerasan adalah tingkah laku individu yang ditujukan untuk melukai atau mencelakakan individu lain yang tidak menginginkan datangnya tingkah laku tersebut. Perilaku kekerasan merupakan suatu tanda dan gejala dari gangguan skizofrenia akut yang tidak lebih dari 1 % (Purba dkk, 2009). Perilaku kekerasan merupakan suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai seseorang secara fisik maupun psikologis (Berkowitz, 1993 dalam Sujono dan Teguh, 2009). Berdasarkan defenisi ini maka perilaku kekerasan dapat dibagi dua menjadi perilaku kekerasan scara verbal dan fisik (Keltner et al, 1995 dalam Sujono dan Teguh, 2009). Perilaku kekerasan seperti perilaku mencederai orang lain dapat berupa acaman melukai diri sendiri; perilaku merusak lingkungan seperti peraot rumah tangga, membangting pintu; ancaman verbal berupa katakata kasar, nada suara yang tinggi dan bermusuhan (Morrisson, 1993 dalam Purba dkk, 2009). Sedangkan marah tidak harus memiliki tujuan khusus. Marah lebih menunjuk kepada suatu perangkat perasaan-perasaan tertentu yang biasanya disebut dengan perasaan marah (Berkowitz, 1993). Kemarahan adalah perasaan jengkel yang timbul sebagai respons terhadap kecemasan yang dirasakan sebagai ancaman (Keliat, 1996 dalam Sujono dan Teguh, 2009).
Universitas Sumatera Utara
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan di mana klien mengalami perilaku yang dapat membahayakan klien sendiri, lingkungan termasuk orang lain dan barang-barang (Maramis, 2005).
2.2.2 Perubahan yang terjadi pada klien dengan perilaku kekerasan Menurut Stuart dan Laraia dalam Purba dkk (2009), klien dengan perilaku kekerasan dapat memperlihatkan perubahan-perubahan baik secara fisik, psikologis maupun spiritual. Perubahan secara fisik yang diperlihatkan oleh klien dengan perilaku kekerasan yaitu dengan mencederai diri klien itu sendiri dan peningkatan mobilitas tubuh. Perubahan secara psikologis yang terlihat dari klien yaitu emosional, marah yang tidak dapat dikontrol, mudah tersinggung dan menentang. Sementara perubahan secara spiritual yang klien perlihatkan yaitu merasa dirinya yang paling berkuasa dan tidak bermoral.
2.2.3 Rentang respon marah pada klien dengan perilaku kekerasan Respons kemarahan dapat berfluktuasi dalam rentang adaptif – mal adaptif. Rentang respon kemarahan dapat dijelaskan sebagai berikut (Keliat, 1997, dalam Sujono dan Teguh, 2009) : 1) Assertif adalah mengungkapkan marah tanpa menyakiti, melukai perasaan orang lain, atau tanpa merendahkan harga diri orang lain. 2) Frustasi adalah respons yang timbul akibat gagal mencapai tujuan atau keinginan. Frustasi dapat dialami sebagai suatu ancaman dan kecemasan. Akibat dari ancaman tersebut dapat menimbulkan kemarahan.
Universitas Sumatera Utara
3) Pasif adalah respons dimana individu tidak mampu mengungkapkan perasaan yang dialami. 4) Agresif merupakan perilaku yang menyertai marah namun masih dapat dikontrol oleh individu. Orang agresif biasanya tidak mau mengetahui hak orang lain. Dia berpendapat bahwa setiap orang harus bertarung untuk mendapatkan kepentingan sendiri dan mengharapkan perlakuan yang sama dari orang lain. 5) Mengamuk atau perilaku kekerasan adalah rasa marah dan bermusuhan yang kuat disertai kehilangan kontrol diri. Pada keadaan ini individu dapat merusak dirinya sendiri maupun terhadap orang lain.
2.2.4 Faktor predisposisi Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya perilaku kekerasan menurut teori biologik, teori psikologi dan teori sosiokultural yang dijelaskan oleh Townsend (1996) dalam Purba dkk (2009) hlm 118 : 1) Teori biologik Teori ini terdiri dari beberapa pandangan yang berpengaruh terhadap perilaku: a. Neurobiologik Ada 3 area pada otak yang berpengaruh terhadap proses impuls agresif: sistem limbik, lobus frontal, dan hipothalamus. Neurotransmitter juga mempunyai peranan dalam memfasilitasi atau menghambat proses impuls agresif. Sistem limbik merupakan sistem informasi, ekspresi emosi,
Universitas Sumatera Utara
perilaku dan memori. Apabila ada gangguan pada sistem ini maka akan meningkatkan atau menurunkan potensial perilaku kekerasan. Adanya gangguan pada lobus frontal maka individu tidak mampu membuat keputusan, kerusakan pada penilaian, perilaku tidak sesuai, dan agresif. Beragam komponen dari sistem neurologis mempunyai implikasi memfasilitasi dan menghambat impuls agresif. Sistem limbik terlibat dalam menstimulasi timbulnya perilaku agresif. Pusat otak atas secara konstan berinteraksi dengan pusat agresif (Goldstein dikutip dari Purba dkk, 2009)
b. Biokimia Goldstein (dikutip dari Purba dkk, 2009) menyatakan bahwa berbagai neurotransmitter (epinefrine, noreepinefrine, dopamine, asetilkolin, dan serotonin) sangat berperan dalam memfasilitasi atau menghambat impuls agresif. Teori ini sangat konsisten dengan fight atau flight yang dikenalkan oleh Selye dalam teorinya tentang respon terhadap stres.
c. Genetik Penelitian membuktikan adanya hubungan langsung antara perilaku kekerasan dengan genetik karyotype XYY.
Universitas Sumatera Utara
d. Gangguan otak Sindroma otak organik terbukti sebagai faktor predisposisi perilaku agresif dan tindak kekerasan. Tumor otak, khususnya yang menyerang sistem limbik dan lobus temporal; trauma otak, yang menimbulkan perubahan serebral; dan penyakit seperti ensefalitis, dan epilepsi, khususnya lobus temporal, terbukti berpengaruh terhadap perilaku agresif dan tindak kekerasan.
2) Teori psikologik a. Teori psikoanalitik Teori ini menjelaskan tidak terpenuhinya kebutuhan untuk mendapatkan kepuasan dan rasa aman dapat mengakibatkan tidak berkembangnya ego dan membuat konsep diri rendah. Agresif dan tindak kekerasan memberikan kekuatan dan prestise yang dapat meningkatkan citra diri dan memberikan arti dalam kehidupannya. Perilaku agresif dan perilaku kekerasan merupakan pengungkapan secara terbuka terhadap rasa ketidakberdayaan dan rendahnya harga diri.
b. Teori pembelajaran Anak belajar melalui perilaku meniru dari contoh peran mereka, biasanya orang tua mereka sendiri. Contoh peran tersebut ditiru karena dipersepsikan sebagai prestise atau berpengaruh, atau jika perilaku tersebut diikuti dengan pujian yang positif. Anak memiliki persepsi ideal tentang
Universitas Sumatera Utara
orang tua mereka selama tahap perkembangan awal, namun dengan perkembangan yang dialaminya, mereka mulai meniru pola perilaku guru, teman, dan orang lain. Individu yang dianiaya ketika masih kanak-kanak atau mempunyai orang tua yang mendisiplinkan anak mereka dengan hukuman fisik akan cendrung untuk berperilaku kekerasan setelah dewasa (Owens & Straus dikutip dari Purba dkk, 2009).
3) Teori Sosiokultural Pakar sosiolog lebih menekankan pengaruh faktor budaya dan struktur sosial terhadap perilaku agresif. Ada kelompok sosial yang secara umum menerima perilaku kekerasan sebagai cara untuk
menyelesaikan
masalahnya. Masyarakat juga berpengaruh pada perilaku kekerasan, apabila individu menyadari bahwa kebutuhan dan keinginan mereka tidak dapat terpenuhi secara konstruktif. Penduduk yang ramai dan lingkungan yang ribut dapat berisiko untuk perilaku kekerasan. Adanya keterbatasan sosial dapat menimbulkan kekerasan dalam hidup individu.
2.2.5 Faktor presipitasi Stresor yang mencetuskan perilaku kekerasan bagi setiap individu bersifat unik. Stresor tersebut dapat disebabkan dari luar maupin dalam. Contoh stresor yang berasal dari luar antara lain serangan fisik, kehilangan, kematian, dan lainlain. Sedangkan stresor yang berasal dari dalam adalah putus hubungan dengan orang yang berarti, kehilangan rasa cinta, ketakutan terhadap penyakit fisik, dan
Universitas Sumatera Utara
lain-lain. Selain itu lingkungan yang terlalu ribut, padat, kritikan yang mengarah pada penghinaan, tindakan kekerasan, dapat memicu perilaku kekerasan.
2.2.6 Perilaku-perilaku yang berkaitan dengan perilaku kekerasan Ada beberapa perilaku-perilaku yang berkaitan dengan perilaku kekerasan antara lain (Sujono dan Teguh, 2009), perilaku-perilaku tersebut antara lain : (1) Menyerang atau menghindar (fight or flight) Pada keadaan ini respon fisiologis timbul karena kegiatan sistem saraf otonom beraksi terhadap sekresi epinephrin. (2) Menyatakan secara asertif (assertiveness) Perilaku yang sering ditampilkan individu dalam mengekspresikan kemarahannya yaitu dengan perilaku pasif, agresif dan asertif.
Perilaku
asertif adalah
cara
yang
terbaik
untuk
mengekspresikan marah karena individu dapat mengekspresikan rasa marahnya tanpa menyakiti orang lain secara fisik maupun psikolgis. Di samping itu perilaku ini dapat juga untuk pengembangan diri klien. (3) Memberontak (acting out) Perilaku yang muncul biasanya disertai akibat konflik perilaku “acting out” untuk menarik perhatian orang lain. (4) Perilaku kekerasan Tindakan kekerasan atau amuk yang ditujukan kepada diri sendiri, orang lain maupun lingkungan.
2.2.7 Tindakan keperawatan yang dilakukan untuk menangani klien dengan perilaku kekerasan Tindakan keperawatan yang dapat dilakukan seorang perawat jiwa pada klien dengan perilaku kekerasan adalah : (1)Bina hubungan saling percaya. Dalam membina hubungan saling percaya perlu dipertimbangkan agar klien merasa aman
Universitas Sumatera Utara
dan nyaman saat berinteraksi dengan perawat. Tindakan yang harus perawat lakukan dalam rangka membina hubungan saling percaya adalah: Mengucapkan salam terapeutik, berjabat tangan, menjelaskan tujuan interaksi, membuat kontrak topik, waktu dan tempat setiap kali bertemu pasien. Tindakan yang selanjutnya, (2) Diskusikan bersama klien penyebab perilakukekerasan saat ini dan yang lalu. (3) Diskusikan bersama klien jika terjadi penyebab perilaku kekerasan. Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan baik secara fisik, psikologis, sosial, spiritual, dan intelektual. (4) Diskusikan bersama klien perilaku kekerasan yang biasa dilakukan pada saat marah secara sosial
atau
verbal,
terhadap
orang
lain,
terhadap
diri
sendiri,
dan
terhadaplingkungan. (5) Diskusikan bersama klien akibat perilaku kekerasan yang dilakukannya. (6) Diskusikan dengan klien cara mengontrol perilaku kekerasan secara: fisik, obat, sosial atau verbal, dan spiritual. Selanjutnya tindakan (7) Latihan mengontrol perilaku kekerasan secara fisik dengan latihan napas dalam dan pukul kasur-bantal, olahraga, kemudian susun jadwal latihan napas dalam dan pukul kasur-bantal serta olahraga. (8) Latihan mengontrol perilaku kekerasan secara sosial ataupun verbal dengan menolak dengan baik, meminta dengan baik, mengungkapkan persaan dengan baik. Kemudian susun jadwal latihan mengungkapkan marah secara verbal. (9) Latihan mengontrol perilaku kekerasan secara spiritual dengan sholat atau berdoa sesuai dengan keyakinan dan cara klien kemudian susun jadwal untuk berdoa. (10) Latihan mengontrol perilaku kekerasan dengan patuh minum obat secara teratur dengan prinsip lima benar kemudian susun jadwal minum obat secara teratur.
Universitas Sumatera Utara
2.2.8 Prinsip-prinsip dalam pengelolaan klien dengan perilaku kekerasan Ada beberapa prinsip yang perlu diperhatikan pada saat melakukan pengelolaan klien dengan perilaku kekerasan (Sujono dan Teguh, 2009). Prinsip yang perlu diperhatikan tersebut adalah sebagai berikut: (1) Seluruh staf sebaiknya diberi latihan khusus mengenai pencegahan dan pengelolaan klien perilaku kekerasan termasuk bermain peran untuk memberikan intervensi keperawatan. Perbandingan klien dengan perawat 1:1. (2) Pada pasien kehilangan kendali secara akut, tangani segera dengan pengekangan fisik. Untuk memberikan tindakan pengamanan staf, sebaiknya dilakukan secara kompak, tidak dibenarkan menghadapi klien dengan perilaku kekerasan seorang diri. (3) Berikan informasi atas tindakan yang akan dilakukan dan pemberian obat. (4) Staf sebaiknya harus dapat melindungi bagian tubuh yang vital dari upaya perlukaan. Selanjutnya prinsip yang dilakukan adalah (5) Setelah situasi ditangani, segera mungkin staf mendiskusikan insiden yang terjadi. (6) Setelah klien tenang dan dapat mengontrol perilakunya, berikan kesempatan kepadanya untuk mengekspresikan perasaannya. (7) Berikan penguatan positif apabila klien dapat mengekspresikan perasaannya.
2.3 Riset Fenomenologi Fenomenologi merupakan suatu ilmu yang bertujuan untuk menjelaskan fenomena, ataupun kejadian khusus, misalnya pengalaman hidup. Fokus utama fenomenologi adalah pengalaman nyata. Hal ini yang dikaji adalah deskriptif mengenai bagaimana pengalaman orang lain dan apa maknanya bagi mereka
Universitas Sumatera Utara
(Saryono dan Anggraeni, 2010). Penelitian fenomenologi berusaha untuk memahami respon seluruh manusia terhadap suatu hal atau sejumlah situasi (Dempsey dan Dempsey, 2002). Tujuan penelitian fenomenologi adalah untuk mengembangkan makna pengalaman hidup dari suatu fenomena dalam mencari kesatuan makna dengan mengidentifikasi inti fenomena dan menggambarkan secara akurat dalam pengalaman hidup sehari-hari (Steubert dan Carpenter, 2003). Terdapat dua macam penelitian fenomenologi yaitu fenomenologi deskriptif dan fenomenologi interpretif. Fenomenologi deskriptif berfokus pada penyelidikan fenomena, kemudian pengalaman yang seperti apakah yang terlihat dalam fenomena (fenomena
deskriptif)
dan
bagaimana
pengalaman
mereka
menafsirkan
pengalaman tersebut atau disebut fenomenologi interpretif. Kehidupan seseorang adalah berharga dan menarik, karena kesadaran seseorang tentang kehidupan tersebut. Dalam sebuah penelitian fenomenologi sumber data utama adalah data percakapan yang mendalam, dengan peneliti dan informan sebagai partisipan. Peneliti membantu partisipan untuk menggambarkan pengalaman hidup tanpa memimpin diskusi. Selanjutnya dalam percakapanyang mendalam peneliti berusaha memahami kehidupan informan untuk mendapatkan kemudahan untuk memaknai pengalaman hidup mereka (Polit, Beck, & Hungler, 2001). Untuk memperoleh hasil penelitian yang dapat dipercaya maka data divalidasi dengan beberapa kriteria yaitu credibility, transferbility, dependability, dan confirmability (Lincoln & Guba, 1985). (1) kreabilitas, merupakan kriterian
Universitas Sumatera Utara
untuk memenuhi nilai kebenaran dari data dan informasi yang dikumpulkan, (2) transferabilitas, digunakan untuk memenuhi kriteria bahwa hasil penelitian yang dilakukan dalam konteks tertentu dapat di transfer ke subjek lain yang memiliki tipologi yang sama. Dengan kata lain, apakah hasil penelitian ini dapat diterapkan pada situasi yang lain, (3) dependabilitas, digunakan untuk menilai kualitas dari proses yang ditempuh oleh peneliti, (4) komfirmabilitas, yang dilakukan dengan membicarakan hasil penelitian dengan orang yang tidak ikut dan tidak berkepentingan dalam penelitian dengan tujuan agar hasil dapat lebih objektif. Konfirmabilitas merupakan kriteria untuk menilai kualitas hasil penelitian.
Universitas Sumatera Utara