BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Garam Secara fisik, garam adalah benda padatan berwarna putih berbentuk kristal yang merupakan kumpulan senyawa dengan bagian terbesar Natrium klorida (>80 %) serta senyawa lainnya seperti Magnesium klorida, Magnesium Sulfat, kalsium klorida dan lain-lain. Garam mempunyai sifat / karakteristik yang
mudah
menyerap air, density (tingkat kepadatan) sebesar 0,8 - 0,9 dan titik lebur pada tingkat suhu 801oC (BRKP, 2001). Pengelompokan garam di Indonesia berdasarkan SNI adalah garam konsumsi dan garam industri. Kelompok kebutuhan garam konsumsi antara lain untuk konsumsi rumah tangga, industri makanan, industri minyak goreng, industri pengasinan dan pengawetan ikan, sedangkan kelompok kebutuhan garam industri antara lain untuk industri perminyakan, tekstil dan penyamakan kulit, CAP (Chlor Alkali Plant) industrial salt yang digunakan untuk proses kimia dasar pembuatan soda dan chlor, dan pharmaceutical salt (BRKP, 2001). Menurut penggunaannya, garam dapat digolongkan menjadi garam proanalisis (p.a), garam industri, dan garam konsumsi. Garam proanalisis adalah garam untuk reagent (tester) pengujian dan analisis di laboratorium, juga untuk keperluan garam farmasetis di industri farmasi, garam industri yaitu untuk bahan
baku industri kimia dan pengeboran minyak, sedangkan garam konsumsi untuk keperluan garam konsumsi dan industri makanan ssrta garam pengawetan untuk keperluan pengawetan ikan. Untuk garam proanalisis dan garam farmasi, mempunyai kandungan NaCl > 99%, garam konsumsi mempunyai kandungan NaCl > 94% dan garam untuk pengawetan memiliki kandungan NaCl > 90%. Semakin besar kandungan NaClnya, akan semakin kompleks dan rumit proses produksi dan pemurniannya (Rismana, 2004). 2.2 Garam Dapur yang Dikonsumsi Masyarakat Indonesia
Garam dapur yang dikonsumsi masyarakat Indonesia ada tiga jenis yaitu Garam konsumsi yang diproduksi PN Garam, garam ini diawasi dan dibina seksama oleh pemerintah sehingga yang beredar di pasaran adalah garam yang telah memenuhi syarat dan standar mutu untuk konsumsi garam dapur. Jenis garam yang diimpor dari luar negeri merupakan garam yang dipasok dari luar negeri hanya dalam jumlah kecil dan pengimpornya dilakukan bila produksi dalam negeri tidak memenuhi kebutuhan masyarakat, misalnya karena musim hujan berkepanjangan atau kesulitan teknik lainnya dan garam rakyat produksi pengrajin garam, merupakan garam rakyat yang mutunya sebagian besar belum memenuhi standar industri bagi garam konsumsi karena cara pengolahannya masih sederhana (BPPI,1984). 2.3 Produksi Garam di Indonesia Selama ini garam di Indonesia diproduksi oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam hal ini PT. Garam (Persero), dan petani-petani garam atau yang dikenal sebagai penggaraman rakyat. Sebagian besar sumber garam di Indonesia
didapat dari air laut, dan dalam jumlah yang relatif sangat kecil sekali didapat dari air garam dalam tanah, Teknologi pembuatan garam yang digunakan adalah dengan sistem penguapan air laut menggunakan sinar matahari (solar energy) diatas lahan tanah, namun ada beberapa daerah yang memproduksi garam dengan cara memasak karena kondisi tanah yang porous yaitu propinsi Aceh dan Bali. Produktifitas lahan garam tiap daerah tidaklah sama, hal ini sangat dipengaruhi oleh kualitas tanah yang tersedia, kelembaban udara, kecepatan angin dan sistem teknologi yang digunakan. Jumlah areal penggaraman yang dimiliki oleh PT. Garam (Persero) relatif luas dan letaknya menyatu (tidak berpencar-pencar). Berbeda dengan yang dimiliki oleh rakyat, dimana meskipun total area penggaraman rakyat seluruh Indonesia adalah relatif lebih luas namun karena merupakan milik-milik pribadi dengan luas kepemilikan rata-rata < 3 Ha dan letaknya terpencar-pencar, maka satu tahapan proses produksi dilakukan pada lahan yang sama. Tentu saja hal ini berpengaruh pada kualitas produksi yang dihasilkan (BRKP, 2001). 2.4 Fortifikasi Iodium Tujuan dasar dari program zat gizi mikro nasional adalah untuk menjamin bahwa zat gizi mikro yang dibutuhkan tersedia dan dikonsumsi dalam jumlah yang cukup oleh penduduk (terutama penduduk yang rentan terhadap kekurangan zat gizi mikro tersebut). Strategi – strategi yang digunakan harus tepat untuk menjawab kebutuhan dan harus menggunakan sistem yang tersedia. Kombinasi beberapa intervensi mencakup promosi pemberian asi, modifikasi makanan (meningkatkan ketersediaan dan konsumsi pangan), fortifikasi pangan dan suplementasi. Fortifikasi pangan (pangan yang lazim dikonsumsi) dengan zat gizi
mikro merupakan salah satu strategi utama yang dapat digunakan untuk meningkatkan status mikro nutrient pangan. Fortifikasi harus dipandang sebagai bagian dari upaya untuk memperbaiki kualitas pangan (Siagian, 2003). Fortifikasi pangan adalah penambahan satu atau lebih zat gizi (nutrient) ke pangan. Tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan tingkat konsumsi dari zat gizi yang ditambahkan untuk meningkatkan status gizi populasi. Harus diperhatikan bahwa peran pokok dari fortifikasi pangan adalah pencegahan defisiensi, dengan demikian menghindari terjadinya gangguan yang membawa kepada penderitaan manusia dan kerugiaan sosioekonomis. Namun demikian, fortifikasi pangan juga diguanakan untuk menghapus dan mengendalikan defisiensi zat gizi dan gangguan yang diakibatkannya (Siagian, 2003). Diantara strategi - strategi penghapusan GAKI untuk jangka panjang adalah fortifikasi iodium. Sampai tahun 60an, beberapa cara suplementasi iodium kedalam berbagai jenis pangan pembawa seperti garam, roti, susu, gula dan air telah dicoba. Iodisasi garam menjadi metode paling umum yang dapat diterima oleh banyak negara didunia, sebab garam digunakan secara luas oleh seluruh lapisan masyarakat, prosesnya sederhana dan tidak mahal. Fortifikasi yang biasa digunakan adalah Kalium Iodida (KI) dan Kalium Iodat (KIO3). Iodat lebih stabil dalam garam murni pada penyerapan dan kondisi lingkungan (kelembapan) yang buruk, tidak menyebabkan perubahan warna dan rasa garam. Negara-negara dengan program iodisasi garam, efektif memperlihatkan pengurangan yang berkesinambungan akan pravelensi GAKI (Siagian, 2003). 2.5 Pengaruh Iodium Bagi Kesehatan
iodium merupakan zat gizi esensial bagi tubuh, karena merupakan komponen dari hormon tirokin. iodium dikonsentrasikan didalam kelenjar gondok (glandula thyroide) untuk dipergunakan dalam sintesa hormon tiroksin. Hormon ini ditimbun dalam folikel kelenjar gondok, terkonjugasi dengan protein (globulin), dan disebut trioglobulin, bila diperlukan triglobulin dipecah dan terlepas, hormon tiroksin yang dikeluarkan dari folikel kelenjar masuk ke dalam aliran darah (Sediaoetama, 2006). Apabila jumlah iodium yang tersedia tidak mencukupi, produksi tiroksin menurun, akibatnya sekresi triglobulin oleh sel tiroid meningkat yang menyebabkan kelenjar membesar dan terjadi hiperplasia yang mengakibatkan gondok (Cahyadi, 2004). Defisiensi
iodium
memberikan
berbagai
gambaran
klinik,
yang
kesemuanya disebut Iodium Deficiency Deseases (IDD), atau Gangguan Akibat Kurang Iodium (GAKI). Gangguan yang ditimbulkan akibat kekurangan iodium dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Gangguan Akibat Kekurangan Iodium Tahap Kehidupan Kelainan Fetus Keguguran Lahir mati Kelainan congenital Meningkatkan kematian bayi Defisiensi mental, bisu, tuli Kelainan Psikomotor Neonatal Goiter neonatal Hipotiroid neonatal Anak dan remaja Goiter Hambatan perkembangan fisik Dewasa Goiter dengan komplikasi Hipotiroid Impaired mental function Semua Usia Meningkatkan kerentanan terhadap radiasi nuklir
Sedangkan kelebihan iodium dapat digolongkan menjadi empat yaitu:
1. Kelebihan dalam jumlah sedang, akan mempercepat penyerapan iodium oleh kelenjar tiroid. 2. Kelebihan dalam jumlah cukup besar, akan menghambat pelepasan iodium dari tiroksin pada kelenjar tiroid atau dari kelenjar tiroid dimana pelepasan iodium dipercepat oleh TSH. 3. Kelebihan dalam jumlah besar, akan menghambat pembentukan iodium organik dan menyebabkan goiter. 4. Kelebihan yang sangat besar akan menjenuhkan mekanisme transportasi aktif ion iodium (DGKM, 2007). Cara yang dianjurkan untuk memeriksa status iodium adalah penilaian angka kejadian gondok, baik gondok yang telah terlihat maupun baru teraba. Secara umum gondok yang terlihat akan lebih mudah dipastikan dari pada gondok yang baru teraba. Keparahan gondok dikaji berdasarkan klasifikasi yang ditentukan oleh WHO yaitu (a) stadium 0 = tidak ada gondok, (b) stadium 1a = ada gondok, (c) stadium 1b = gondok teraba dan hanya nampak jika leher ditekuk, (d) stadium 2 = gondok telah nampak pada posisi leher normal, (e) stadium 3 = ukuran gondok sangat besar. Status iodium dapat pula dilihat berdasarkan ekskresi iodium dalam urin yang mencerminkan besaran asupan iodium, dan hanya sedikit sekali yang diekskresikan melaui tinja. Penentuan ekskresi iodium dalam urin dapat dilakukan dengan sampel urin 24 jam. Namun, urin 24 jam tidak praktis untuk digunakan dalam survei berskala luas, yang melibatkan banyak sekali sampel (Arisman, 2008). 2.6 Garam Beriodium
Garam beriodium adalah suatu inovasi yang ditawarkan kepada konsumen atau setiap keluarga untuk mencegah kekurangan iodium sebagai upaya jangka panjang. Kualitas garam beriodium mengacu kepada Standar Nasional Indonesia (SNI) No. 01-3556-2000 seperti tertera pada Tabel 2. Tabel 2. Syarat Mutu Garam Konsumsi Beriodium No Parameter Satuan
Persyaratan Kualitas
1 2
Kadar air (H2O) % b/b Kadar NaCl (Natrium Klorida) di % adbk hitung dari jumlah klorida 3 Iodium dihitung sebagai Kalium mg/kg Iodat (KIO3) 4 Cemaran logam Timbal (Pb) mg/kg Tembaga (Cu) mg/kg Raksa (Hg) mg/kg 5 Arsen (As) mg/kg Keterangan : b/b = bobot/bobot adbk = atas dasar berat kering
maks. 7 min 94,7 min. 30
maks. 10 maks. 10 maks 0,1 maks 0,1
Garam beriodium pertama kali digunakan di Switzerland tahun 1920. Penggunaan garam beriodium di Indonesia dilakukan tahun 1927 di daerah Tengger dan Dieng. Wilayah Tengger dan Dieng merupakan daerah pegunungan yang endemis GAKI (Gangguan Akibat Kekurangan Iodium), dibandingkan model penanggulangan GAKI yang lain, penggunaan garam beriodium yang paling murah biayanya. Hal ini disebabkan garam merupakan kebutuhan seharihari, tidak ada pengolahan makanan yang tidak menggunakan garam. Hasil pemantauan Biro Pusat Statistik (BPS) terhadap garam konsumsi beriodium ditingkat rumah tangga sejak tahun 1997 sampai dengan 1999 dibagi dalam 3 kelompok yaitu (1) garam yang memenuhi syarat (kadar KIO3 > 30-80 ppm), (2) garam yang tidak memenuhi syarat (kadar KIO3 < 30 ppm), (3) garam yang tidak mengandung iodium (KIO3 0 ppm) (BRKP, 2001).
2.7 Penetapan Kadar Kalium Iodat Dalam Garam Dapur Penetapan kadar kalium iodat dalam garam dapur dapat dilakukan dengan cara metode volumetri, menggunakan titrasi iodometri. Metode volumetri masih digunakan secara luas karena merupakan metode yang tahan, murah dan mampu memberikan ketepatan yang tinggi. Dalam analisis volumetri atau analisis kuantitatif dengan mengukur volume, sejumlah zat yang diselidiki direaksikan dengan larutan baku (standar) yang kadar (konsentrasi) nya telah diketahui secara teliti dan reaksinya berlangsung secara kuantitatif (Rohman, 2007). Larutan baku yang diteteskan disebut sebagi titran. Semua perhitungan dalam volumetri didasarkan pada konsentrasi titran yang harus dibuat secara teliti, titran semacam ini disebut larutan baku (standar). Suatu larutan standar dapat dibuat dengan cara melarutkan sejumlah senyawa baku tertentu yang sebelumnya senyawa tersebut ditimbang secara tepat dalam volume larutan yang diukur dengan tepat. Larutan standar ada dua macam yaitu, larutan baku primer, mempunyai kemurnian yang tinggi, dan larutan baku skunder yang harus dibakukan dengan larutan baku primer. Suatu proses dimana larutan baku skunder dibakukan dengan larutan baku primer disebut dengan standarisasi (Vogel, 1994). Daftar baku primer yang umum digunakan untuk membakukan larutan baku dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Daftar Baku Primer No Baku Primer 1 Kalium Biftalat 2
Kalium Iodat
Kegunaan Pembakuan Natrium Hidroksida Pembakuan larutan Asam perklorat Pembakuan larutan Natrium Tiosulfat melalui pembentukan iodium
3 Natrium Karbonat anhidrat 4 Logam Zn (Rohman, 2007).
Pembakuan Asam Klorida Pembakuan Larutan EDTA
Larutan standar biasanya ditambahkan dari dalam sebuah buret. Proses penambahan larutan standar sampai reaksi tepat lengkap, disebut titrasi, dan zat yang akan ditetapkan, dititrasi. Titik (saat) pada mana reaksi itu lengkap disebut titik ekivalen (setara) atau titik akhir teoritis. Lengkapnya titrasi, harus terdeteksi oleh suatu perubahan, yang tidak dapat disalah lihat oleh mata, yang dihasilkan oleh larutan standar itu sendiri, atau lebih lazim lagi oleh penambahan suatu regensia pembantu yang dikenal sebagai indikator. Setelah reaksi antara zat dan larutan standar praktis lengkap, indikator harus memberi perubahan visual yang jelas dengan cairan yang sedang dititrasi, titik pada saat ini terjadi disebut titik akhir titrasi (Vogel, 1994). Iodometri merupakan titrasi tidak langsung dan digunakan untuk menetapkan senyawa - senyawa yang mempunyai potensial oksidasi yang lebih besar dari pada sistem iodium iodida atau senyawa-senyawa yang bersifat oksidator. Pada iodometri sampel yang bersifat oksidator direduksi dengan kalium iodida berlebihan dan akan menghasilkan iodium yang selanjutnya dititrasi dengan larutan baku natrium tiosulfat yang dilakukan dalam suasana asam. Banyaknya volum natrium tiosulfat yang digunakan sebagai titran setara dengan iodium yang dihasilkan dan setara dengan banyaknya sampel (Rohman, 2007). Suatu larutan dari iodium dalam larutan air iodida, memberikan warna kuning sampai coklat tua atau satu tetes larutan iod 0,1 N menimbulkan warna kuning pucat yang terlihat pada 100 ml air, sehingga dalam larutan-larutan yang tanpa iodium akan tak berwarna, iodium dapat berfungsi sebagai indikatornya
sendiri. Uji ini dibuat jauh lebih peka dengan menggunakan larutan kanji (larutan dari pati) sebagai indikator. Kanji bereaksi dengan iodium, dengan adanya iodida, membentuk suatu kompleks yang berwarna biru kuat, yang akan terlihat pada konsentrasi - konsentrasi iodium yang sangat rendah. Pati dapat dipisah menjadi dua komponen utama, amilosa dan amilopektin yang terdapat dalam proporsi berbeda - beda dalam berbagai tumbuh-tumbuhan. Amilosa, suatu senyawa berantai lurus dan terdapat berlimpah dalam pati kentang, memberi warna biru dengan iod dan rantainya mengambil bentuk spiral. Amilopektin, yang mempunyai struktur rantai bercabang membentuk suatu produk berwarna ungu merah mungkin dengan adsorbsi (Vogel,1994). Berdasarkan pemeriksaan yang dilakukan oleh Manalu (2007), yang menggunakan metode volumetri dengan cara titrasi iodometri di Laboratorium Kesehatan Daerah Kota Medan Sumatera Utara terhadap kadar kalium iodat pada 5 merk garam yang beredar di desa Garoga Kabupaten Tapanuli Utara menunjukkan hasil bahwa hanya 2 merk sampel garam yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh SNI 01-3556-1994 (30-80 ppm) yaitu sampel merk garam Kuda Terbang (32,16 ppm), dan merk Dholpin (38,29 ppm), sedangkan 3 sampel merk lainnya yaitu merk Anak pintar (94,81 ppm), merk segitiga A-B (9,75 ppm), Merk A-B (29,06 ppm) tidak memenuhi standar yang ditetapkan. 2.8 Persen Perolehan Kembali Merupakan ukuran yang menunjukkan derajat kedekatan hasil analisis dengan kadar analit yang sebenarnya. Dapat ditentukan dengan dua cara yaitu metode simulasi (spiked-placebo recovery) dan metode penambahan baku (standard addition method). Dalam metode simulasi sejumlah analit bahan murni
ditambahkan ke dalam campuran bahan pembawa sediaan farmasi lalu campuran tersebut dianalisis dan hasilnya dibandingkan dengan kadar analit yang ditambahkan, tetapi bila tidak memungkinkan membuat sampel placebo karena matriksnya tidak diketahui seperti obat-obat paten atau karena analitnya berupa suatu senyawa endogen misalnya metabolit skunder maka dapat dipakai metode adisi. Metode adisi dibuat dengan menambahkan sejumlah analit dengan konsentrasi tertentu pada sampel yang diperiksa, lalu dianalisis dengan metode tersebut (Harmita, 2004).