Bab II Tinjauan Pustaka
BAB II Tinjauan Pustaka 2.1
Dermaga Dermaga merupakan bagian dari pelabuhan yang digunakan untuk merapat dan menambatkan kapal yang melakukan bongkar muat barang dan menaik-turunkan penumpang. dimensi dermaga didasarkan pada jenis dan ukuran kapal yang merapat dan bertambat pada dermaga tersebut.
2.2
Tipe Dermaga Dermaga dapat dibedakan menjadi dua tipe yaitu tipe wharf atau quai dan jetty atau pier. a.
Wharf atau Quai Wharf atau Quai adalah dermaga yang dibuat sejajar pantai dan
dapat dibuat berimpit dengan garis pantai atau agak menjorok ke laut. Wharf dibangun apabila garis kedalaman laut hampir merata dan sejajar dengan garis pantai. b.
Jetty atau Pier Jetty atau Pier adalah dermaga yang dibuat dengan membentuk
sudut terhadap garis pantai. Pada jenis ini, kedua sisi bisa digunakan untuk bertambat kapal. terdapat dua bentuk dermaga jenis jetty atau pier, yaitu bentuk L dan T. Dalam tugas akhir ini, bentuk jetty yang akan digunakan adalah bentuk T yang pertimbangannya agar dapat digunakan kedua sisi dermaga
II - 1
Bab II Tinjauan Pustaka
untuk bertambat kapal-kapal dengan kapasitas dibawah 1000 DWT (deadwight tonnage).
2.3
Pemilihan Tipe Dermaga Pemilihan tipe dermaga didasarkan pada tinjauan sebagai berikut :
2.3.1 Tinjauan Topografi Bentuk topografi menentukan tipe dermaga yang akan digunakan. Di perairan yang dangkal memiliki kedalaman yang cukup agak jauh dari darat, pada kondisi ini penggunaan tipe jetty akan lebih ekonomis karna tidak diperlukan pengerukan yang besar. Sedangkan pada lokasi yang kemiringan dasar cukup curam, pembuatan pier dengan melakukan pemancangan tiang di perairan yang dalam menjadi tidak praktis dan sangat mahal. Dalam hal ini pembuatan whraft menjadi lebih tepat
2.3.2 Jenis Kapal Dermaga yang melayani kapal minyak (tanker) dan kapal barang curah mempunyai konstruksi yang lebih ringan disbanding dengan dermaga barang. Dikarnakan dermaga tersebut tidak memerlukan peralatan bongkar muat barang yang besar (crane), jalan kereta dan gudang-gudang
2.3.3 Daya Dukung Tanah Kondisi tanah sangat menentukan dalam pemilihan tipe dermaga. Pada umumnya tanah di dekat daratan mempunyai daya dukung yang lebih II - 2
Bab II Tinjauan Pustaka
besar dibandingkan tanah dasar laut. Dasar laut umumnya terdiri dari endapan yang belum padat. Ditinjau dari daya dukung tanah, pembuatan wharf atau dinding penahan tanah lebih menguntungkan. Tetapi apabila tanah dasar berupa karang pembuatan wharf akan mahal karena untuk memperoleh kedalaman yang cukup di depan wharf diperlukan pengerukan.
2.4
Perencanaan Dermaga Dalam perencanaan dermaga, penentuan tipe dermaga adalah langkah awal dalam perencanaa. Perencanaan dermaga sangat dipengaruhi dari data-data pendukung seperti data fasilitas dermaga, topografi, bathimetri, pasang surut dan geoteknik.
2.4.1 Fasilitas Dermaga Fasilitas dermaga merupakan segala sesuatu yang terdapat didermaga yang berfungsi untuk mempermudah aktivitas yang terjadi di dermaga. Contoh dari fasilitas dermaga antara lain crane dan rell. Crane digunakan untuk mempermudah dalam melakukan bongkar muat kapal-kapal yang bertambat. Rell digunakan untuk mempermudah mobilisasi barang-barang dari dermaga ke gudang maupun dari gudang ke dermaga. Dalam perencanaan dermaga, pemilihan atau penentuan fasilitas apa saja yang akan disediakan di dermaga menjadi acuan penting dalam perencanaan struktur dermaga. Hal ini dikarnakan fasilitas yang terpasang di dermaga akan menambahkan beban kerja pada dermaga. II - 3
Bab II Tinjauan Pustaka
2.4.2 Topografi Topografi merupakan data yang menyajikan bentuk permukaan bumi. Data ini diperlukan dalam penentuan tipe dermaga dikarnakan gambaran yang terdapat dalam data atau peta topografi ini menjadi acuan penggunaan tipe wharf atau jetty. Jika bentuk topografi pada pantai tidak curam maka digunakan tipe jetty. Jika bentuk topografi pada pantai cenderung curam dan memiliki kedalaman yang cukup untuk kapal, maka digunakan tipe wharf.
2.4.3 Bathimetri Batimetri adalah ilmu yang mempelajari kedalaman di bawah air dan studi tentang tiga dimensi lantai samudra atau danau. Sebuah peta batimetri umumnya menampilkan relief lantai atau dataran dengan garis-garis kontor (contour lines) yang disebut kontor kedalaman (depth contours atau isobath), dan dapat memiliki informasi tambahan berupa informasi navigasi permukaan. Batimetri merupakan unsur serapan yang secara sederhana dapat diartikan sebagai kedalaman laut. Dari Kamus Hidrografi yang dikeluarkan
oleh
Organisasi
Hidrografi
Internasional
(International
Hydrographic Organization, IHO) tahun 1994, Batimetri adalah penentuan kedalaman laut dan hasil yang diperoleh dari analisis data kedalaman merupakan konfigurasi dasar laut. Dalam penentuan dermaga, peta batimetri berfungsi sebagai penentu titik lokasi dermaga dan titik aman kapal agar tidak karam.
II - 4
Bab II Tinjauan Pustaka
2.4.3 Pasang Surut Data pasang surut merupakan data yang diperlukan dalam perencanaan dermaga yang fungsinya untuk menentukan elevasi dermaga. Penentuan elevasi dermaga ini sangat penting. Pertimbangannya adalah jika elevasi kurang dari kebutuhan maka saat air pasang dermaga akan tenggelam. Sebaliknya jika elevasi dermaga lebih dari kebutuhan, saat air surut maka pengoperasian dermaga akan memiliki kendala.
2.4.1 Geoteknik Dalam pekerjaan sipil, kita tidak akan lepas dari unsur geoteknik, begitu juga dalam perencanaan dermaga. Beban yang bekerja pada dermaga termasuk beban sendiri dermaga akan disalurkan ke tanah. Maka dari itu data geoteknik ini diperlukan dalam perencanaan dermaga untuk mengetahui parameter-parameter daya dukung tanah sehingga dapat direncanakan tiang pondasi untuk dermaga Perencanaan dermaga ini tidak lepas dari perencanaan struktur dermaga yang terdiri dari plat, balok, kepala tiang, dan pondasi tiang. Bagian-bagian struktur ini yang akan menjadi output dari tugas akhir ini.
2.5
Gaya yang Bekerja pada Dermaga Gaya yang bekerja pada dermaga dapat dibedakan menjadi gaya lateral dan vertikal. gaya lateral meliputi gaya benturan kapal pada dermaga, gaya tarik kapal dan gaya gempa; sedangkan gaya vertikal adalah berat sendiri bangunan dan beban hidup. II - 5
Bab II Tinjauan Pustaka
2.5.1 Gaya Benturan Kapal Gaya benturan merupakan gaya yang terjadi saat kapal yang masih memiliki kecepatan merambat pada dermaga sehingga terjadi benturan antara kapal dan dermaga. Dalam perencanaan dianggap benturan maksimum terjadi apabila kapal bermuatan penuh menghantam dermaga pada sudut 100 terhadap sisi depan dermaga (Triatmojo, 2003) Gaya benturan kapal saat akan bertambat dihitung sebagai berikut :
dimana ; E
= energy benturan (ton meter)
V
= komponen tegak lurus sisi dermaga dari kecepatan kapal pada saat membentur dermaga (m/d)
W
= displacement (berat) kapal
g
= percepatan gravitasi
Cm = koefisien massa Ce
= koefisien eksentrisitas
Cs
= koefisien kekerasan (diambil 1)
Cc
= koefisien bentuk dari tambatan (diambil 1) Gaya benturan kapal 50 % diterima oleh sistem fender dan 50 %
diterima oleh konstruksi tambatan (Kramadibrata, 2002).
II - 6
Bab II Tinjauan Pustaka
Kecepatan kapal adalah faktor penting dalam perencanaan dermaga dan system fender, yang ditentukan dari nilai pengukuran dan pengalaman. secara umum kecepatan merapat kapal diberikan dalam tabel dibawah : Tabel 1 Kecepatan Merapat Kapal Pada Dermaga Kecepatan Merapat
Ukuran kapal (Deadweight tonnage = DWT) Sampai 500 500 - 10.000 10.000 – 30.000 di atas 30.000
Pelabuhan (m/d)
Laut Terbuka (m/d)
0,25 0,15 0,15 0,12
0,30 0,20 0,15 0,15
2.5.2 Gaya Tekan Akibat Dorongan Arus Pada Kapal Arus yang bekerja pada bagian kapal yang terendam air juga menyebabkan terjadinya gaya pada kapal yang kemudian diteruskan pada dermaga dan alat penambat. Besarnya gaya yang ditimbulkan oleh arus dirumuskan dengan persamaan berikut ini. a.
Gaya tekanan karana arus yang bekerja dalam arah haluan :
b.
Gaya tekanan karana arus yang bekerja dalam arah sisi kapal :
dimana : R
= gaya akibat arus (kgf)
S
= luas tampang kapal yang terendam air (m2) = rapat massa air laut, = 104,5 (kgf/m4)
C
= koefisien tekanan arus II - 7
Bab II Tinjauan Pustaka
V
= kecepatan arus (m/d)
B’
= luas sisi kapal di bawah muka air (m2)
2.5.3 Gaya Tarik Kapal pada Dermaga Bollard harus mampu menahan gaya tarik yang paling tidak sama dengan gaya yang dapat memutuskan tali penambat (Keramadibrata, 2002). Gaya tarikan kapal diberikanan pada tabel 2.3. Untuk berbagai ukuran kapal dalam DWT (Deadweight tonnage). Selain gaya tersebut yang bekerja secara horizontal, bekerja juga gaya vertikal sebesar 0,5 dari nilai yang tercantum dalam tabel. Tabel 2 Gaya Tarik pada Bollart dan Bitt
200 – 500
Gaya Tarik Pada Bollard (ton) 15
Gaya Tarik Pada Bitt (ton) 15
501 – 1000
25
25
1001 – 2000
35
25
2001 – 3000
35
35
3001 – 5000
50
35
5001 – 10000
70
50 (25)
10001 – 15000
100
70 (25)
15001 – 20000
100
70 (35)
20001 – 50000
150
100 (35)
50001 - 100000
200
100 (50)
Bobot Kapal (DWT)
2.5.4 Gaya Gempa Bangunan
dermaga termasuk dalam bangunan katagori khusus,
maka besaran koefisien gempa harus dikalikan 2 dari koefisien gempa dasar. II - 8
Bab II Tinjauan Pustaka
Arah kerja gempa harus diperkirakan pada segala arah. Sebagai akibat gaya gempa yang tiba-tiba, dalam perhitungan dapat digunakan kenaikan tegangan pada konstruksi-konstruksi kayu, beton dan baja sebesar
1,5 dari
tegangan-tegangan yang diizinkan bagi tegangan-tegangan tarik, tekan dan geser, sedangkan daya dukung tanah digunakan pada kenaikan antara 30 % 50 % tergantung dari jenis/klasifikasi tanah (Krambata, 2002). Besaran gaya gempa dihitung sebagai berikut :
(
)
dimana : F
= gaya gempa
W
= beban vertikal dengan beban muatan hidup penuh
k
= koefisien gempa
kj
= koefisien gempa berdasarkan tingkat yang bersangkutan
f
= koefisien berdasarkan tingkat penggunaan bangunan (untuk pelabuhan f = 2)
ko
= koefisien gempa dasar
L
= faktor lanju gempa (Indonesia dibagi menjadi 3 daerah lajur gempa, masing-masing L1 = 1,00 ; L2 = 0,50 ; L3 = 0,25)
B
= faktor tanah yang mendukung bangunan besar koefisien gempa dasar ditentukan berdasarkan tinggi-randahnya bangunan.
II - 9
Bab II Tinjauan Pustaka
a.
H ≤ 10 m
Gambar 1 Beban Gempa pada Bangunan ≤ 10 m b.
10 M ≤ H ≤ 40 M
Gambar 2 Beban Gempa pada Bangunan < 40 m Besar koefisien faktor tanah sebagai berikut : Tabel 3 Koefisien Faktor Tanah
Jenis Tanah Keras Sedang Lunak
Kayu 0,6 0,8 1,0
Konstruksi Beton Baja Bertulang 0,6 0,8 0,8 0,9 1,0 1,0
Tembok 1,0 1,0 1,0
Dalam hal ini, penentuan gaya gempa juga dipengaruhi oleh letak wilayah rencana terhadap area gempa yang digambarkan pada gambar dibawah ini :
II - 10
Bab II Tinjauan Pustaka
(sumber : SNI 03 1726 2003) Gambar 3 Penyebaran Wilayah Gempa
II - 11
Bab II Tinjauan Pustaka
Dari pemetaan daerah penyebaran wilayah gempa di atas. Tanjung Batu yang masuk dalam wilayah provinsi Kepulauan Bangka Balitung tidak termasuk kedalam zona rawan gempa. Dalam perencanaan disain maka masuk kedalam wilayah gempa 1.
2.5.5 Gaya Vertikal Gaya vertikal adalah gaya akibat muatan vertikal yang terdiri dari beban mati (dead load) dan beban hidup (live load). Beban mati terdiri dari berat konstruksi-konstruksi yang terdapat pada dermaga. Beban hidup terdiri dari beban merata dan beban terpusat akibat beban roda truk, mobil dan peralatan lain yang bekerja untuk melakukan bongkar muat pada dermaga. Beban merata biasanya untuk menampung muatan-muatan kapal seperti
minyak/air/barang-barang
curah
dan
lain-lain,
umumnya
2000 – 4000 kg/m2 (Kramadibrata, 2002).
2.6 Pondasi Tiang Pancang Fondasi tiang dikenal sebagai fondasi dalam (deep foundation), tempat dukungan tanah berada jauh di dalam tanah. Pada bangunan pelabuhan kedalaman ini bertambah, berhubungan dengan adanya kedalaman air yang diperlukan guna memungkinkan kapal dapat bertambat, jenis-jenis tiang pancang yang digunakan umumnya dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
II - 12
Bab II Tinjauan Pustaka
Tabel 4 Klasifikasi Tiang Fondasi (sumber : Kramadibrata, 2002)
No.
Jenis Tiang
1. 2.
Kayu Beton Cor (Cast In Situ) Pipa Baja (Tanpa Diisi Beton) Tiang Beton Pracetak Pipa Baja Diisi Beton Bajah H Tiang Beton Pipa Pratekan
3. 4. 5. 6. 7.
Panjang Maksimum (m) 16 18
Beban Maksimum yang dapat dipikul (ton) 30 60
25
50
25 30 30
80 80 100
40
120
2.6.1 Gaya Vertikal Pada Tiang Tiang-tiang berfungsi sebagai penyangga dermaga yang harus memikul gaya-gaya vertikal (beban merata dan terpusat) dan gaya-gaya horisontal. Tiang-tiang ini merupakan kolom panjang, biasanya dengan pembebanan sentries. Gaya horisontal yang dipikul dermaga diteruskan untuk kemudian dipikul tiang-tiang miring (better piles). Ujung tiang atas (kepala tiang) dianggap berfungsi sebagai terjepit apabila konstruksi balok-balok dan lantai dermaga merupakan konstruksi berat dan ikatanya sehingga hubungan antara tiang dengan balok/lantai tersebut
dibuat
dengan
ikatan
yang
menjamin
adanya
kekakuan
(Kramadibrata, 2002).
2.6.2 Kapasitas Dukung Tiang Dalam menentukan kapasitas dukung tiang diperlukan klasifikasi tiang dalam mendukung beban yang bekerja. Menurut Terzaghi, klasifikasi tiang didasarkan padafondasi tiang yaitu II - 13
Bab II Tinjauan Pustaka
a.
Tiang gesek (friction pile), bila tiang pancang pada tanah berbutir. Akibat pemancangan tiang, tanah disekitar tiang menjadi padat. Porositas dan kompresibilitas tanah akibat getaran pada waktu tiang dipancang menjadi berkurang dan angka gesekan antara butir – butir tanah dan permukaan tiang pada arah lateral menjadi bertambah.
b.
Tiang lekat (cohesion pile), bila tiang dipancang pada tanah lunak (permeabilitas rendah) atau tanah mempunyai kohesi yang tinggi.
c.
Tiang mendukung dibagian ujung tiang (point / end bearing pile), bila tiang dipancang dengan ujung tiang mencapai tanah keras sehingga seluruh bebanyang dipikul oleh tiang diteruskan ke tanah keras melalui ujung tiang.
d.
Tiang tekan, bila tiang telah menumpu pada tanah keras dan mendapatkan tekanan vertikal dari beban mati maupun beban hidup.
e.
Tiang tarik, bila tiang pancang pada tanah berbutir mendapat gaya yang bekerja dari lendutan momen yang mengakibatkan tiang mengalami gaya tarik. Pada kenyataannya di lapangan, tanah sangat heterogen dan pada
umumnya merupakan kombinasi dari kelima hal tersebut di atas. Berbagai metode dalam usaha menentukan kapasitas dukung tiang ini, tapi umumnya dibedakan dalam dua kategori yaitu untuk tiang tunggal dan kelompok tiang.
II - 14
Bab II Tinjauan Pustaka
2.6.2 Kapasitas Dukung Tiang Tunggal Kapasitas dukung tiang terdiri dari kapasitas dukung ujung tiang (Qp) dan kapasitas dukung selimut tiang (Qs), yang dapat dilihat pada Gambar berikut :
Gambar 4 Kapasitas Dukung Tiang Pancang a.
Kapasitas Dukung Ujung Tiang Menurut cara Meyerhoff (1976), menentukan kapasitas dukung ujung tiang tergantung jenis tanahnya. Berikut ini adalah rumus yang digunakan untuk menghitung kapasitas dukung ujung tiang menurut jenis tanahnya : 1)
Tanah Pasir
Qp
= Ap . qP
qP
= c.Nc’ + q . Nq’
pada tanah pasir c = 0 dimana : Qp
= Kapasitas dukung ujung tiang ( ton )
Ap
= Luas penampang ujung tiang (m2)
Qp
= Kapasitas dukung batas / unit tahanan ujung
Φ
= Sudut gesek dalam tanah
II - 15
Bab II Tinjauan Pustaka
Nq’
= Faktor kapasitas dukung (Gambar 3.2)
Nilai Nq’ dan Nc’ didapat dari gambar berikut :
(sumber : Joseph E. Bowels) Gambar 5 Faktor Kapasitas Dukung (Mayerhorf, 1976)
2)
Tanah Lempung
Qp
= Ap . qP
qP
= c.Nc’ + q . Nq’
Pada tanah lempung
= 0, maka nilai q . Nq’ = 0,
Sedangkan nilai NC’ = 9 (Poulos & Davis) Qp
= Ap . CU. 9
dimana : Qp
= Kapasitas dukung ujung tiang ( ton )
CU
= Kohesi tanah undrained
NC’ = Faktor kapasitas dukung tanah pada ujung tiang
II - 16
Bab II Tinjauan Pustaka
(sumber : Manual Struktur Fondasi Dalam) Gambar 6 Nilai Cu Terhadap Nilai b.
Kapasitas Ujung Tiang Berdasarkan Hasil Sondir Penentuan daya dukung ujung tiang dengan data hasil pengujian dilapangan dihitung dengan rumus sbb : Qp
= 0,5 . (p1+p2) . Ap
dimana :
c.
Qp
= daya dukung ujung tiang
p1
= nilai tekanan konus pada kedalaman 8D diatas ujung tiang
p2
= nilai tekanan konus pada kedalaman 3D dibawah ujung tiang
Ap
= luas penampang ujung tiang (m2)
Kapasitas Ujung Tiang Berdasarkan Hasil N-SPT Penentuan daya dukung ujung tiang dengan data hasil pengujian dilapangan dihitung dengan rumus sbb : Qp
= Ap . qP II - 17
Bab II Tinjauan Pustaka
d.
qP
= 40 N LB/D ≤ 400 N (satuan Kn)
Qp
= Ap . qP = Ap . 40 N LB/D ≤ 400 N (satuan Kn)
Kapasitas Dukung Selimut Tiang (Qs) Kapasitas dukung selimut tiang dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut (sumber : Braja M Das) Qs
= ∑AS . f
AS
=p.
dimana : AS
= luas selimut tiang
p
= keliling tiang = panjang tiang
F
= gesekan selimut
Kapasitas dukung selimut tiang dapat dilihat pada gambar berikut :
(sumber : Manual Struktur Fondasi Dalam) Gambar 7 Kapasitas Dukung Selimut Tiang Sedangkan untuk menentukan nilai
gesekan selimut (f) adalah
berdasarkan jenis tanahnya. Dalam penentuan nilai gesekan selimut (f) dapat digunakan rumus sebagai berikut : II - 18
Bab II Tinjauan Pustaka
1)
Tanah Pasir
ƒ
= K σ’v .tg δ
K
= (1 – 2 ) Ko untuk displacement besar
K
= (0,75 – 1,75) Ko untuk displacement kecil
K
= (0,75 – 1,0) Ko untuk bored pile
Ko
= 1 – sin φ
dimana : Φ
= Sudut gesek dalam
K
= Koefisien tekanan tanah
Ko
= Koefisien tekanan tanah saat diam
σ’v
= Tegangan vertikal efektif tanah, dianggap konstan setelah kedalaman15d (Meyerhoft)
δ
= Sudut gesek permukaan
δ beton = (0,80 – 1) φ δ kayu
= ϕ 32
δ baja
= (0,59 – 0,90).φ
δ cor ditempat
2)
=φ
Tanah Lempung Pada tanah lempung ada 3 metode untuk menghitung nilai gesekan
selimut(ƒ). (Sumber : Braja M Das). a)
Metode Lambda (λ ) dari Vijayvergiya dan Focht
ƒave
= λ (σ’ave+ 2.Cu ave)
dimana : II - 19
Bab II Tinjauan Pustaka
ƒave
= Gesekan selimut rata – rata
λ
= Konstanta (ditentukan berdasarkan Gambar 3.6)
σ’ave
= Tegengan vertikal efektif rata –rata
Cu ave = Kohesi tanah undrained rata – rata
(sumber : Braja M Das) Gambar 8 Koefisien (λ ) dari Vijayvergiya dan Focht Untuk nilai Cu ave dihitung dengan rumus berikut : Cu ave =
∑ni=1 ui . i
dimana : Cu
= Kohesi tanah undrainedlapis ke i
Li
= Panjang segment tiang lapis Kei
L
= Panjang tiang
b)
Metode beta (β) / tegangan efektif
ƒave
= β . σ’
dimana : ƒave
= Gesekan selimut rata –rata
β
= K.tg φ r
φr
= Sudut geser tanah kondisi terdrainasi II - 20
Bab II Tinjauan Pustaka
K
= 1 – sin φ r (untuk terkonsolidasi normal)
K
= (1 – sin φ r) O R (untuk tanah overconsolidated)
OCR
= Over Consolidation Ratio
c)
Metode alpha (α) dari Tomlinson
ƒ
=α . u
dimana : Α
= Faktor adhesi
Cu
= Kohesi tanah undrained (Grafik 2.2)
e.
Kapasitas Dukung Ultimate Tiang Rumus yang digunakan untuk menghitung kapasitas dukung ultimate
tiang (Qu) adalah sebagai berikut : Qu
= Qp + Qs
dimana : Qu
= Kapasitas dukung ultimit tiang (ton)
Qp
= Kapasitas dukung ujung tiang (ton)
Qs
= Kapasitas dukung selimut tiang (ton)
2.7 Beton Bertulang Dalam disain beton bertulang saat ini, kita menggunkan metode elastis untuk menganalisis struktur yang dibebani beban terfaktor untuk beban ultimate. Dalam perencanaannya dimensi maupun penulangan pada beton baik plat ataupun balok serta poer beton sangat dipengaruhi oleh momen maksimal. Dalam tugas akhir ini akan direncanakan perencanaan plat beton dan balok beton. II - 21
Bab II Tinjauan Pustaka
2.7.1 Pelat beton Pelat adalah elemen bidang tipis yang menahan beban-beban transversal melalui aksi lentur ke masing-masing tumpuan. Pada konstruksi beton bertulang pelat digunakan sebagai lantai, atap dari gedung, lantai jembatan, lapis perkerasan pada jalan raya dan landasan bagi pesawat terbang di bandara. Hal ini terjadi karena pelat merupakan elemen struktur penahan beban vertikal yang rata dan dapat dibuat dengan luasan yang cukup besar. Untuk
merencanakan
pelat
beton
bertulang,
yang
perlu
dipertimbangkan bukan hanya pembebanan, tetapi juga ukuran dan syaratsyarat tumpuan pada tepi. Ada 3 jenis perletakan paka pelat, yaitu : a)
Turtumpu bebas;
b)
Terjepit penuh/terjepit sempurna;
c)
Terjepit sebagian/terjepis elastis.
Gambar 9 Jenis Perletakan pada Pelat
II - 22
Bab II Tinjauan Pustaka
2.7.1.1
Sistem Pelat Pelat terbagi menjadi bebarapa sistem, yaitu : a.
Sistem Flate Slab Pelat beton bertulang yang langsung ditumpu oleh kolom-kolom
tanpa balok-balok disebut Sistem Flat Slab. Sistem ini digunakan bila bentang tidak besar dan intensitas beban tidak terlalu berat. Kadang-kadang bagian kritis pelat disekitar kolom penumpu perlu dipertebal untuk memperkuat pelat terhadap gaya geser, pons dan lentur. Bagian penebalannya disebut Drop Panel, sedangkan penebalan yang membentuk kepala kolom disebut Column Capital. Flat slab yang memiliki ketebalan merata tanpa adanya Drop Panel dan Column Capital disebut Flat Plate.Tebal lantai Flat Slab adalah 125 hingga 250 mm untuk bentangan 4,5 hingga 7,5 m. Sistem ini banyak digunakan pada bangunan rendah yang beresiko rendah terhadap beban angin dan gempa.
Gambar 10 Sistem lantai flat plate dan flat slab
II - 23
Bab II Tinjauan Pustaka
b.
Sistem Lantai Grid 2 Arah Sistem lantai grid 2 arah (Waffle-system) memiliki balok-balok
yang saling bersilangan dengan jarak yang relatif rapat yang menumpu pelat atas yang tipis. Ini dimakudkan untuk mengurangi berat sendiri pelat dan dapat didesain sebagai Flat Slab atau pelat dua arah, tergantung konfigurasinya. Sistem ini efisien untuk bentang 9 hingga 12 m.
Gambar 11 Sistem Lantai Grid c.
Sistem Lajur Balok Sistem ini hampir sama dengan system balok-pelat tetapi
menggunakan balokbalok dangkal yang lebih lebar. Sistem lajur balok banyak diterapkan pada bangunan yang mementingkan tinggi antar lantai. Balok lajur tidak perlu dihubungkan dengan kolom interior atau eksterior. Alternatif lain adalah dengan menempatkan balok anak membentang di antara balok-balok lajur. Sistem ini menghemat pemakaian cetakan. II - 24
Bab II Tinjauan Pustaka
Gambar 12 Sistem Laur Balok d.
Sistem Pelat dan Balok Sistem ini terdiri dari slab menerus yang ditumpu balok-balok
monolit yang umumnya ditempatkan pada jarak sumbu 3 m hingga 6 m. Tebal pelat ditempatkan berdasarkan pertimbangan struktur yang biasanya mencakup aspek keamanan terhadap bahaya kebakaran. Sistem ini yang banyak dipakai.
Gambar 13 Sistem Lantai Pelat dan Balok
II - 25
Bab II Tinjauan Pustaka
2.7.1.2
Klasifikasi Pelat Pelat diklasifikasikan berdasarkan cara pelat tersebut “didukung” dengan sistem pendukung tersebut, pelat akan melendut dalam satu arah atau dua arah. Pada pelat satu arah, biasanya pelat hanya ditumpu pada kedua sisinya yang saling berhadapan.
Gambar 14 Pelat Satu Arah Pada pelat dua arah, pelat ditumpu pada ke empat sisinya. Tetapi bila perbandingan antara sisi panjang (Ly) dan sisi pendek (Lx) lebih besar dari 2,maka pelat tersebut dapat dianggap sebagai pelat satu arah, di mana beban pelat hanya dipikul dalam arah bentang pendek.
Gambar 15 Pelat Dua Arah
II - 26
Bab II Tinjauan Pustaka
2.7.1.3
Pelat Satu Arah Distribusi gaya dalam pada pelat satu arah di atas dua atau lebih tumpuan dapat dianggap sebagai balok di atas dua atau lebih tumpuan. Untuk struktur statis tertentu, besar reaksi perletakannya dapat ditentukan dengan persamaan keseimbangan statika : ∑H=0
∑V=0
Untuk struktur statis tak tentu, besar reaksi perletakannya dapat ditentukan dengan cara Clayperon, cara Cross dan lain-lain. Selain cara tersebut di atas, boleh direncanakan dengan cara berikut ini, asalkan batasan-batasan berikut dipenuhi. a.
Jumlah batang ≥ 2;
b.
Selisih antara bentang terpanjang dan terpendek lebih kecil atau sama dengan sepertiga bentang terpanjang;
c.
Beban yang bekerja adalah beban terbagi rata;
d.
Beban hidup ≤ 3 x beban mati;
e.
Penggunaan kofisien momen dapat berdasarkan : - untuk momen lapangan : bentang teoritis (l) di antara dua tumpuan; - untuk momen tumpuan : bentang teoritis (l) rata-rata di kiri dan kanan tumpuan.
f.
Koefisien momen - momen yang ditetapkan dalam SK SNI-T199103 akan dirangkum pada gambar dibawah ini :
II - 27
Bab II Tinjauan Pustaka
G
(sumber : CUR seri 4) Gambar 16 Koefisien Momen dikalikan Wu Ln2 Bentang teoritis pelat Dalam
perhitungan
perencanaan
pelat
beton
bertulang,
digunakan istilah bentang teoritis yang dinyatakan dengan :
dimana
:
bentang bersih
panjang perletakan pada kedua tumpuan - bila b ≤ 2h maka - bila b > 2h maka II - 28
Bab II Tinjauan Pustaka
Untuk perletakan yang tidak monolite dengan pelat
Gambar 17 Perletakan tidak Monolite dengan Pelat h
= tebal pelat;
b1, b2
= lebar balok.
Tebal minimum pelat Pada SK SNI-T-15-1991-03 tabel 3.2.5.a, tercantum tebal minimum sebagai fungsi dari bentang. Tabel 5 Tebal Minimum Pelat Satu Arah Bila Lendutan Tidak Dihitung
II - 29
Bab II Tinjauan Pustaka
Pemeriksaan lebar retakan Retak
pada
komponen
stuktur
dengan
tulangan
dapat
mengakibatkan korosi pada baja tulangan. Oleh karena itu bila meninjau lebar retak, harus memperhitungksn kemungkinan korosi. Secara eksperimen, lebar retak ditentukan sebagai berikut: √
L
di mana : w
= lebar retak
b
= perbandingan lebar retak pada penampang tidak bertulang terhadap penampang bertulang = 1,2 untuk pelat lantai
fs
= tegangan pada tulangan » 0,6 ´ fy
A
= luas = 2 ´ dc ´ s
dc
= jarak antara titik berat tulangan tarik ke serat tarik terluar
s
= jarak antar tulangan
Gambar 18 Lebar Retak pada Pelat Satu Arah Rumus di atas hanya berlaku untuk fy > 300 MPa. Untuk fy ≤ 300 Mpa lebar retak tidak perlu diperiksa. Lebar retak yang disyaratkan:
=
0,40 mm, untuk struktur di dalam ruangan/tidak dipengaruhi cuaca
=
0,30 mm, untuk struktur di luar ruangan/dipengaruhi cuaca II - 30
Bab II Tinjauan Pustaka
Pada SK SNI-T-15-1991-03 pasal 3.3.3.6, agar persyaratan untuk batas lebar retak memadai, maka: √
30 MN/m (di dalam ruangan)
√
25 MN/m (di luar ruangan)
Detail penulangan a)
Spasi tulangan
Gambar 19 Jarak Bersih Antar Tulangan Jarak bersih antar tulangan sejajar selapis : ≥ d tul atau 25 mm Jarak bersih antar tulangan sejajar untuk pelat dan dinding :≤ 3 ´ tebal pelat/dinding atau 500 mm b)
Selimut beton Tebal minimum penutup beton yang disyaratkan dalam SK SNI-T-
15-1991-03 ditunjukkan pada tabel berikut: Tabel 6 Tebal Minimum Penutup Beton pada Tulangan Terluar
II - 31
Bab II Tinjauan Pustaka
c)
Tulangan susut (tulangan pembagi) Rasio tulangan susut dan suhu terhadap luas bruto penampang
beton diperlihatkan pada tabel berikut: Tabel 7 Rasio Tulangan Susut
Jarak antara tulangan sejajar selapis untuk tulangan susut ≤ 5 ´ tebal pelat atau 500 mm
Tulangan susut dipasang tegak lurus terhadap tulangan pokok pada pelat satu arah. Tulangan susut disebut juga tulangan pembagi.
2.7.1.4 Pelat Dua Arah Sistem pelat ini berdasarkan kondisi tumpuannya, dapat melendut dalam dua arah. Pelat lantai/atap gedung umumnya menggunakan sistem pelat dua arah, yang mana pelat tersebut dipikul oleh balok-balok dan atau kolom–kolom dan atau dinding-dinding yang letaknya teratur sehingga panel-panel pelatnya berbentuk empat persegi panjang. Ditinjau dari sistem pendukungnya, sistem pelat dua arah dikelompokkan menjadi dua, yaitu : II - 32
Bab II Tinjauan Pustaka
a.
Pelat dengan balok;
b.
Pelat tanpa balok, ada dua macam
1)
Dipikul langsung oleh kolom (Flat Plate);
2)
Dipikul oleh kolom dengan kepala kolom dan atau penebalan pelat di sekitar kolom (Flat Slab). Pada pelat dengan balok di mana panel-panel pelatnya berbentuk
empat persegi panjang, besarnya momen maksimum di tumpuan (Mtp) dan di lapangan (Mlap) pada kedua arah dapat ditentukan dengan menggunakan tabel-tabel yang tersedia dengan tebal pelat tetap yang ditumpu pada ketiga atau keempat sisinya dengan memperhatikan kondisi tumpuannya. Bila panel-panel pelatnya tidak berbentuk persegi empat (tidak beraturan), besarnya Mtp dan Mlap pada kedua arah ditentukan dengan “metode garis leleh” (Yield Line Method). Bila terdapat lubang pada panel pelat berbentuk persegi empat, besarnya Mtp dan Mlap pada kedua arah ditentukan dengan “metode jalur” (Strip Method). Menurut SK SNI-T-15-1991-03: baik untuk pelat dengan atau tanpa balok, perhitungan Mtp dan Mlap dapat ditentukan dengan “ ara Perencanaan
angsung” (Direct Design Method), asalkan persyaratan
pada pasal 3.6.6. dipenuhi. Bila persyaratan tersebut tidak dipenuhi, dimungkinkan menggunakan “ ara Rangka Ekivalen” (Portal Equivalent Method) pada pasal 3.6.7 Pembahasan pelat dua arah dikhususkan pada panel pelat yang berbentuk empat persegi panjang dengan tebal pelat tetap. II - 33
Bab II Tinjauan Pustaka
Perhitungan gaya-gaya dalam Perhitungan gaya-gaya dalam (Mtp dan Mlap) dapat menggunakan tabeltabel yang ada, diantaranya Peraturan Beton Indonesia (PBI) 1971 dan SK SNI-T-15-1991-03. Peraturan-peratutan tersebut menyediakan tabel untuk pelat persegi yang menumpu pada keempat sisinya akibat beban terbagi rata. Kondisi-kondisi tumpuan pada tabel-tabel tersebut adalah: a)
Tertumpu bebas Asumsi pelat tertumpu bebas, diambil apabila tepi pelat tersebut
menumpu atau tertanam di dalam tembok. Pada tepi pelat ini harus dianggap bekerja momen tumpuan tidak terduga sebesar harga terbesar dari:
0,5 Mlap di arah //¤ tepi pelat tersebut atau;
0,3 Mlap di arah ┴ tepi pelat tersebut. Pada sudut-sudut pelat di mana bertemu tepi-tepi yang menumpu
bebas, harus dipasang tulangan atas dan tulangan bawah dalam kedua arah untuk memikul momen-momen puntir. Jumlah tulangan untuk kedua arah tersebut harus diambil sama dengan jumlah tulangan lapangan terbesar. Jaring tulangan ini harus meliputi daerah tidak kurang dari 1/5 x bentang pelat di arah ┴ tepi pelat yang ditinjau. b)
Terjepit elastis Asumsi pelat terjepit elastis pada salah satu sisinya diambil apabila
tepi pelat tersebut merupakan satu kesatuan monolit dengan balok
II - 34
Bab II Tinjauan Pustaka
pemikulnya yang relatif tidak terlalu kaku dan sesuai dengan kekakuannya memungkinkan pelat berputar pada tumpuan itu. c)
Tejepit penuh/terjepit sempurna Asumsi pelat terjepit penuh pada salah satu sisinya diambil apabila
tepi pelat tersebut merupakan satu kesatuan monolit dengan balok pemikulnya yang relative sangat kaku atau apabila penampamg pelat di atas tumpuan itu merupakan bidang simetri terhadap pembebanan dan ukuran-ukuran pelat. Besar momen-momen lapangan dan momen-momen tumpuan di dalam panel pelat persegi yang menumpu pada ke empat sisinya akibat beban terbagi rata untuk berbagai kondisi tumpuan adalah sebagai berikut:
II - 35
Bab II Tinjauan Pustaka
Tabel 8. Momen di Dalam Pelat Persegi yang Menumpu pada ke Empat Tepinya Akibat Beban Terbagi Rata ly/lx I
II
III
IV a
IV b
V a
V b
VI a
VI b
Catatan :
:
1.0
1,1
1,2
1,3
1,4
1,5
1,6
1,7
1,8
1,9
2.0
2,1
2,2
2,3
2,4
2,5
> 2.5
Mlx
=
+
0,001
q.lx2
X
44
52
59
66
73
78
84
88
93
97
100
103
106
108
110
112
125
Mly
=
+
0,001
q.lx2
X
44
45
45
44
44
43
41
40
39
38
37
36
35
34
33
32
25
Mtx
=
Mty Mlx
= =
+
0 0,001
q.lx2
X
21
25
28
31
34
36
37
38
40
40
41
41
41
42
42
42
42
Mly Mtx
= =
+ -
0,001 0,001
q.lx2 q.lx2
X X
21 52
21 59
20 64
19 69
18 73
17 76
16 79
14 81
13 82
12 83
12 83
11 83
11 83
11 83
10 83
10 83
8 83
Mty Mlx
= =
+
0,001 0,001
q.lx2 q.lx2
X X
52 28
54 33
56 38
57 42
57 45
57 48
57 51
57 53
57 55
57 57
57 58
57 59
57 59
57 60
57 61
57 61
57 63
q.lx2 q.lx2 q.lx2 q.lx2 q.lx2
X
28
28
28
27
26
25
23
23
22
21
19
18
17
17
16
16
13
X
68
77
85
92
98
103
107
111
113
116
118
119
120
121
122
122
125
X
68
72
74
76
77
77
78
78
78
78
79
79
79
79
79
79
79
X
22
28
34
42
49
55
62
68
74
80
85
89
93
97
100
103
125
X
32
35
37
39
40
41
41
41
41
40
39
38
37
36
35
35
25
X X
70 32
79 34
87 36
94 38
100 39
105 40
109 41
112 41
115 42
117 42
119 42
120 42
121 42
122 42
123 42
123 42
125 42
0
Mly
=
+
0,001
Mtx
=
-
0,001
Mty
=
-
0,001
Mlx
=
+
0,001
Mly
=
+
0,001
Mtx
=
0
Mty Mlx
= =
+
0,001 0,001
q.lx2 q.lx2
Mly Mtx
= =
+ -
0,001 0,001
q.lx2 q.lx2
X X
22 70
20 74
18 77
17 79
15 81
14 82
13 83
12 84
11 84
10 84
10 84
10 84
9 83
9 83
9 83
9 83
8 83
Mty
=
Mlx
=
+
0,001
q.lx2
X
31
38
45
53
60
66
72
78
83
88
92
96
99
102
105
108
125
Mly
=
+
0,001
q.lx2
X
37
39
41
41
42
42
41
41
40
39
38
37
36
35
34
33
25
Mtx
=
Mty
=
-
0,001
q.lx2
X
84
92
99
104
109
112
115
117
119
121
122
122
123
123
124
124
125
Mlx
=
+
0,001
q.lx2
X
37
41
45
48
51
53
55
56
58
59
60
60
60
61
61
62
63
Mly Mtx
= =
+ -
0,001 0,001
q.lx2 q.lx2
X X
31 84
30 92
28 98
27 103
25 108
24 111
22 114
21 117
20 119
19 120
18 121
17 122
17 122
16 123
16 123
15 124
13 125
Mty
=
Mlx
=
+
0,001
q.lx2
X
21
26
31
36
40
43
46
49
51
53
55
56
57
58
59
60
63
Mly Mtx
= =
+ -
0,001 0,001
q.lx2 q.lx2
X X
26 55
27 65
28 74
28 82
27 89
26 94
25 99
23 103
22 106
21 110
21 114
20 116
20 117
19 118
19 119
18 120
13 125
X X
60 26
65 29
69 32
72 35
74 36
76 38
77 39
78 40
78 40
78 41
78 41
78 42
78 42
78 42
78 42
79 42
79 42
0
0
0
Mty Mlx
= =
+
0,001 0,001
q.lx2 q.lx2
Mly Mtx
= =
+ -
0,001 0,001
q.lx2 q.lx2
X X
21 60
20 66
19 71
18 74
17 77
15 79
14 80
13 82
12 83
12 83
11 83
11 83
10 83
10 83
10 83
10 83
8 83
Mty
=
-
0,001
q.lx2
X
55
57
57
57
58
57
57
57
57
57
57
57
57
57
57
57
57
= Terletak bebas = Terjepit Penuh
II - 36
Bab II Tinjauan Pustaka
Tabel 9 Momen di Dalam Pelat Persegi yang Menumpu pada ke Empat Tepinya Akibat Beban Terbagi Rata ly/lx I
II
III
IV a
IV b
V a
V b
VI a
VI b
1.0
1,1
1,2
1,3
1,4
1,5
1,6
1,7
1,8
1,9
2.0
2,1
2,2
2,3
2,4
2,5
> 2.5
Mlx
=
+
0,001
q.lx2
X
44
52
59
66
73
78
84
88
93
97
100
103
106
108
110
112
125
Mly
=
+
0,001
q.lx2
X
44
45
45
44
44
43
41
40
39
38
37
36
35
34
32
32
25
Mtx
=
Mty Mlx
= =
+
0 0,001
q.lx2
X
36
42
46
50
53
56
58
59
60
61
62
62
62
63
63
63
63
Mly Mtx
= =
+ -
0,001 0,001
q.lx2 q.lx2
X X
36 36
37 42
38 46
38 50
38 53
37 56
36 58
36 59
35 60
35 61
35 62
34 62
34 62
34 63
34 63
34 63
13 63
Mty Mlx
= =
+
0,001 0,001
q.lx2 q.lx2
X X
36 48
37 55
38 61
38 67
38 71
37 76
36 79
36 82
35 84
35 86
35 88
34 89
34 90
34 91
34 92
34 92
38 94
Mly
=
+
0,001
q.lx2
X
48
50
51
51
51
51
51
50
50
49
49
49
48
48
47
47
19
Mtx
=
-
0,001
q.lx2
X
48
55
61
67
71
76
79
82
84
86
88
89
90
91
92
92
94
Mty
=
-
0,001
q.lx2
X
48
50
51
51
51
51
51
50
50
49
49
49
48
48
47
47
19
Mlx
=
+
0,001
q.lx2
X
22
28
34
41
48
55
62
68
74
80
85
89
93
97
100
103
125
Mly
=
+
0,001
q.lx2
X
51
57
62
67
70
73
75
77
78
79
79
79
79
79
79
79
25
Mtx
=
Mty Mlx
= =
0,001 0,001
q.lx2 q.lx2
X X
51 51
57 54
62 57
67 59
70 60
73 61
75 62
77 62
78 63
79 63
79 63
79 63
79 63
79 63
79 63
79 63
75 63
+ -
0,001 0,001
q.lx2 q.lx2
X X
22 51
20 54
18 57
17 59
15 60
14 61
13 62
12 62
11 63
10 63
10 63
10 63
9 63
9 63
9 63
9 63
13 63
:
0 +
Mly Mtx
= =
Mty
=
Mlx
=
+
0,001
q.lx2
X
31
38
45
53
59
66
72
78
83
88
92
96
99
102
105
108
125
Mly
=
+
0,001
q.lx2
X
60
65
69
73
75
77
78
79
79
80
80
80
79
79
79
79
25
Mtx
=
Mty
=
-
0,001
q.lx2
X
60
65
69
73
75
77
78
79
79
80
80
80
79
79
79
79
25
Mlx
=
+
0,001
q.lx2
X
60
66
71
76
79
82
85
87
88
89
90
91
91
92
92
93
94
Mly Mtx
= =
+ -
0,001 0,001
q.lx2 q.lx2
X X
31 60
30 66
28 71
27 76
25 79
24 82
22 85
21 87
20 88
19 89
18 90
17 91
17 91
16 92
16 92
15 93
12 94
Mty
=
Mlx
=
+
0,001
q.lx2
X
38
46
53
59
65
69
73
77
80
83
85
86
87
88
89
90
54
Mly Mtx
= =
+ -
0,001 0,001
q.lx2 q.lx2
X X
43 38
46 46
48 53
50 59
51 65
51 69
51 73
51 77
50 80
50 83
50 85
49 86
49 87
48 88
48 89
48 90
19 54
X X
43 13
46 48
48 51
50 55
51 57
51 58
51 60
51 61
50 62
50 62
50 62
49 63
49 63
48 63
48 63
48 63
56 63
0
0
0
Mty Mlx
= =
+
0,001 0,001
q.lx2 q.lx2
Mly Mtx
= =
+ -
0,001 0,001
q.lx2 q.lx2
X X
38 13
39 48
38 51
38 55
37 57
36 58
36 60
35 61
35 62
34 62
34 62
34 63
33 63
33 63
33 63
33 63
13 63
=
-
0,001
q.lx2
X
38
39
38
38
37
36
36
35
35
34
34
34
33
33
33
33
38
Mty
Catatan :
0
= Terletak bebas = Menerus atau terjepit elastis II - 37
Bab II Tinjauan Pustaka
Bentang teoritis pelat Penentuan bentang teoritis pada masing-masing arah seperti pada pelat satu arah. Tebal minimum pelat Menurut SK SNI-T-15-1991-03: (
)
[
(
)]
.........................................(1.1)
dimana : h
= tebal pelat (mm)
ln
= bentang bersih terpanjang, diukur dari muka kolom (mm)
fy
= tegangan leleh baja (MPa)
b
= perbandingan antara bentang bersih terpanjang dan bentang bersih terpendek = harga rata-rata dari perbandingan kekakuan lentur balok terhadap kekakuan lentur pelat pada ke empat sisinya. [∑
]
................................(1.2)
II - 38
Bab II Tinjauan Pustaka
Gambar 20 Denah Pelat, Potongan Balok dan Potongan Pelat ....................................(1.3) ....................................(1.4)
II - 39
Bab II Tinjauan Pustaka
Gambar 21 Panjang Bentang dan Penomoran Tepi Pelat
....................................(1.5) Dalam menentukan harga am, harga h harus diperkirakan terlebih dahulu. Perkiraan harga h didasarkan pada pembatasan harga h yang akan diperoleh dari persamaan tadi. a)
Apabila tidak digunakan balok atau balok yang digunakan sangat
fleksibel, maka harga h yang akan diperoleh menjadi terlampau besar dari yang sesungguhnya diperlukan. (
).................................(1.6)
II - 40
Bab II Tinjauan Pustaka
b)
Sebaliknya apabila balok yang digunakan sangat kaku, maka harga
h yang akan diperoleh menjadi terlampau kecil dari yang sesungguhnya diperlukan. Untuk mengatasi hal tersebut, harga h tidak boleh kurang dari: (
).................................(1.7)
Penentuan tebal pelat berdasarkan persamaan (1.1) telah menjamin kenyamanan dalam penggunaannya, dengan kata lain lendutan yang terjadi tidak perlu diperhitungkan lagi. Dalam segala hal, hmin pelat tidak boleh kurang dari harga berikut ini:
Untuk m < 2,0 hmin = 120 mm (pada pelat lantai)
Untuk m ≥ 2,0 hmin = 90 mm (pada pelat lantai) Analisis pelat dua arah Pelat dua arah melentur dengan bentuk permukaan seperti
mangkuk jika dibebani dalam dua arah. oleh karna itu, pelat ini harus ditulangi dalam kedua arah dengan tulangan berlapis tegak lurus satu dengan yang lainnya. Sesungguhnya, kenyataan bahwa adanya redistribusi tegangan banyak terjadi pada pelat semacam ini pada beban tinggi, tidaklah diperlukan perencanaan yang didasarkan pada analisis teoritis. Oleh karna itu perencanaan pelat dua arah umumnya didasarkan pada koefisien momen empiris, dimana meskipun koefisien ini tidak memprediksi variasi tegangan secara akurat, menghaslkan pelat dengan keseluruhan faktor keamanan yang memadai. Dengan kata lain, jika pada satu bagian pelat di II - 41
Bab II Tinjauan Pustaka
berikan tulangan terlalu bangyak dan terlampau sedikit pada bagian lain, perilaku peat yang dihasilkan mungkin masih baik, jumlah tulangan total dalam pelat lebih penting dari pada penempatannya (Jack C. McCormac. Edisi Kelima).
2.7.2 Balok Beton Balok beton adalah bagian dari struktur bangunan yang berfungsi untuk menopang lantai diatasnya, balok juga berfungsi sebagai penyalur momen menuju kolom-kolom. Balok dikenal sebagai elemen lentur, yaitu elemen struktur yang dominan memikul gaya dalam berupa momen lentur dan juga geser. Konstruksi balok biasanya berupa balok bertulang yang merupakan konstruksi yang sudah tidak asing dalam bidang teknik sipil. Hampir di setiap bangunan sipil baik itu gedung, jembatan maupun bangunan air, beton bertulang digunakan sebagai struktur utama maupun struktur pelengkap. Seperti diketahui bahwa kuat geser dijumpai dalam semua unsur beton bertulang. Pada beton bertulang keruntuhan geser terjadi tanpa ada tanda-tandanya secara pasti sebelumnya. Hal ini sangat berbahaya maka harus dihindarkan. Untuk itu perlu adanya perencanaan yang cermat dan teliti terhadap kuat geser pada beton yang akan digunakan. Besarnya kekuatan geser pada beton bertulang erat hubungannya dengan kondisi baja tulangan yang digunakan untuk menyusun beton tersebut. Kondisi baja adalah suatu keadaan yang memperlihatkan apakah baja tulangan tersebut masih dalam kondisi normal atau telah mengalami reaksi dengan lingkungan sekitarnya yang II - 42
Bab II Tinjauan Pustaka
memungkinkan terjadinya penurunan kualitas baja tulangan tersebut. Salah satu hal yang dapat menurunkan kualitas dari baja tulangan adalah terjadinya korosi pada baja tulangan tersebut. Beton hanya mempunyai elastisitas yang seditik berbeda dengan kayu atau baja yang mempunyai kelenturan yang cukup besar. Balok beton terlentur beton bertulang lebih sering didesain untuk memikul momen lentur dengan menggunakan penampang bertulang ganda, sebab ditinjau dari mekanisme lentur penampang bertulang ganda mempunyai daktilitas yang lebih besar daripada penampang bertulang tunggal. Beton bertulang terdiri dari dua material, beton dan baja, yang sifatnya berbeda. Jika baja dianggap sebagai material homogen yang propertinya terdefinisi jelas maka sebaliknya dengan material beton , merupakan material heterogen dari semen, mortar dan agregat batuan, yang properti mekaniknya bervariasi dan tidak terdefinisi dengan pasti. Beton mempunyai sifat susut dan rangkak. Susut adalah pemendekan beton selama proses pengerasan dan pengeringan pada temperatur konstan, sedangkan rangkak terjadi pada beton yang dibebani secara tetap dalam jangka waktu yang lama. Oleh karena itu pada balok beton dikenal istilah short-term (immediate) deflection dan long-term deflection. Lendutan adalah fungsi dari kekakuan yaitu perkalian antara modulus elastisitas beton Ec dengan inersia penampang I, lebih pepuler dengan istilai EI. Lendutan itu harus dibatasi, karena itu menyangkit
II - 43
Bab II Tinjauan Pustaka
masalah kenyamanan maupun seni dalam seni arsitektur . SNI-Beton2002 dengan telah mengatur mengenai kontrol terhadap lendutan.
2.7.2.1 Perencanaan Balok a.
Tinggi balok Dalam perencanaan balok, penentuan tinggi minimum balok telah
diatur dalam SNI-Beton-2002. Tabel 10 Tebal Minimum Balok Non-Prategang atau Pelat Satu Arah Jika Lendutan tidak Dihitung (sumber :SNI-Beton-2002)
Catatan Panjang bentang dalam mm Nilai yang diberikan harus digunakan langsung untuk komponen struktur dengan beton normal (Wc = 2400 kg/m3) dan tulangan BJTD 40. Untuk kondisi lain, nilai di atas harus dimodifikasikan sebagai berikut: 1)
Untuk struktur beton ringan dengan berat jenis di antara 1500
kg/m3 sampai 2000 kg/m3, nilai tadi harus dikalikan dengan [1,65-(0,00
II - 44
Bab II Tinjauan Pustaka
3) Wc] tetapi tidak kurang dari 1,09 dimana Wc adalah berat jenis dalam Kg/m3. 2)
Untuk Fy selain 400 Mpa, nilainya harus dikalikan dengan (0,4
+Fy/700) b.
Selimut beton Selimut adalah bagian yang melindungi tulangan yang berfungsi
untuk :
Memberikan daya lekat tulangan ke beton.
Melindungi tulangan dari korosi.
Melindungi tulangan dari panas tinggi jika terjadi kebakaran.
(Panas tinggi dapat menyebabkan menurun/hilangnya kekuatan baja tulangan). Dalam SNI-Beton-2002 telah diatur tebal minimum selimut beton yang ditampilkan pada tabel dibawah ini : Tabel 11 Tebal Minimum Selimut Beton (sumber : SNI-Beton-2002) Tebal Selimut Minimum (mm) Beton
yang dicor langsung diatas tanah dan berhubungan langsung dengan tanah Beton yang berhubungan dengan tanah atau dengan cuaca: Dinding panel, slab, balok berusuk......dan struktur lainnya Beton yang tidak langsung berhubungan dengan tanah atau cuaca : Pelat, dinding, pelat berusuk....... db tidak kurang dari 20 mm
75
40
20
II - 45
Bab II Tinjauan Pustaka
Gambar 22 Selimut Beton Jarak antar tulangan ditetapkan sebagai berikut :
Gambar 23 Jarak Antar Tulangan c.
Batasan penulangan Tulangan minimum balok empat persegi (komponen struktur
lentur) diambil nilai terbesar dari dua rumus berikut : 1)
√
2) Dimana bw adalah lebar badan balok. Diharapkan keruntuhan yang terjadi pada elemen lentur adalah keruntuhan tarik (underreinforced), karena ada tanda-tanda berupa defleksi yang besar sebelum terjadi keruntuhan jenis ini. Pada jenis keruntuhan ini rasio tulangan II - 46
Bab II Tinjauan Pustaka
Agar dapat dijamin bahwa jenis keruntuhan balok betul-betul pada keruntuhan tarik, maka SNI beton 2002 membatasi rasio tulangan maksimum balok
max = 0, 75
(
d.
, dimana :
)
Ketentuan kekuatan Pada perencanaan dengan menggunakan kekuatan batas, ada 2
kekuatan yang harus diperhatikan :
Kuat Perlu
Kuat Rencana
dimana Kuat perlu ≤ Kuat rencana Kuat perlu : kekuatan yang harus mampu dipikul balok akibat bebanbeban yang sudah dikalikan faktor keamanan (kombinasi beban). Secara umum, ada 6 macam beban (jika ada) yang perlu diperhitungkan pada perancangan struktur beton bertulang : 1)
Beban mati (D) : yaitu beban yang selalu ada pada struktur.
2)
Beban hidup (L) : yaitu beban yang sifatnya berpindah-pindah.
3)
Beban atap (A) : beban yang tidak tetap di atap (beban orang bekerja atau/dan beban peralatan).
4)
Beban hujan (R) : genangan air hujan di atap.
5)
Beban Angin (W)
II - 47
Bab II Tinjauan Pustaka
6)
Beban gempa (E) : beban ekivalen yang bekerja pada struktur akibat pergerakan tanah pada peristiwa gempa. Menurut SNI beton 2002 pasal 11.2, secara umum ada 6 macam
kombinasi beban yang harus dipertimbangkan, 1)
U = 1,4 D (pada tahap pelaksanaan bangunan)
2)
U = 1,2 D + 1,6 L + 0,5(A atau R)
3)
U = 1,2 D + 1,0 L ± 1,6 W + 0,5(A atau R)
4)
U = 0,9 D ± 1,6 W
5)
U = 1,2 D + 1,0 L ± 1,0 E
6)
U = 0,9 D + ± 1,0 E Kuat Rencana : adalah kekuatan yang harus ada pada elemen beton
bertulang, yakni berupa kekuatan nominal x faktor reduksi kekuatan . e.
Faktor reduksi Menurut SNI beton 2002 pasal 11.3.2, faktor reduksi kekuatan adalah :
1)
Lentur tanpa beban aksial
2)
Beban aksial dab beban aksial dengan lentur : a) aksial tarik dan aksial tarik dengan lentur.
: 0,8
: 0,8
b) aksial tekan dan aksial tekan dengan lentur i. Komponen struktur dengan tulangan spiral
: 0,7
ii. Komponen struktur lainnya
: 0,65
3)
Geser dan torsi
: 0,75
4)
Tumpuan pada beton
: 0,65
5)
Beton polos struktural :
0,55 II - 48
Bab II Tinjauan Pustaka
Jika Mu merupakan momen perlu yang harus dipikul balok akibat kombinasi beban, dan Mn momen nominal yang sanggup dipikul penampang balok, maka: atau
II - 49