BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Suatu teori dalam penelitian memegang peranan penting yang berfungsi untuk merumuskan hipotesis dan menjelaskan suatu fenomena. Oleh sebab itu, teori yang digunakan harus mampu mencapai maksud penelitian. Teori utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori atribusi dan teori u terbalik, teori pendukungnya adalah tekanan anggaran waktu, locus of control, komitmen profesional, dan perilaku penurunan kualitas audit. 2.1 Teori Atribusi Teori
atribusi
mempelajari
suatu
proses
bagaimana
seseorang
menginterpretasikan terjadinya suatu peristiwa, alasan, atau sebab perilakunya (Suartana, 2010:181).
Teori atribusi menjelaskan tentang cara kita menilai
individu secara berbeda, kita berupaya untuk menentukan apakah perilaku tersebut disebabkan secara internal atau eksternal (Robbins, 2008:177). Perilaku yang disebabkan secara internal adalah perilaku yang dipengaruhi oleh kendali pribadi seorang individu, sedangkan perilaku yang disebabkan secara eksternal adalah perilaku yang disebabkan karena sebab-sebab luar (Robbins, 2008:177). Robbins (2008:177) menyatakan selain dari faktor internal dan eksternal, penentuan perilaku individu sebagian besar tergantung pada tiga faktor, yaitu: 1) Kekhususan, merujuk pada perilaku yang ditunjukkan individu berbeda dalam situasi yang berbeda.
12
13
2) Konsensus, perilaku yang menunjukkan saat semua individu menghadapi situasi yang serupa merespon dengan cara yang sama. 3) Konsistensi, merujuk pada perilaku yang sama yang dilakukan seseorang dari waktu ke waktu. Keterkaitan antara teori atribusi dengan penelitian ini adalah untuk meneliti apakah perilaku penurunan kualitas audit yang dilakukan auditor lebih banyak dipengaruhi oleh faktor eksternal atau internal. Teori atribusi diterapkan dengan menggunakan variabel locus of control (Suartana, 2010:181).
2.2 Teori U Terbalik Hubungan antara stres dan kinerja dalam sejumlah penelitian banyak dijelaskan dengan menggunakan pola U terbalik. Pola U terbalik pertama kali didokumentasikan oleh Yerkes dan Dodson pada tahun 1908 yang dikenal sebagai Hukum Yerkes-Dodson (Adler dan Fich, 2012). Hukum ini menyatakan kinerja meningkat sesuai dengan stimulus tetapi hanya pada sampai titik tertentu, ketika tingkat stimulus menjadi terlalu tinggi, kinerja justru menurun, sehingga disimpulkan terdapat stimulus optimal untuk suatu aktivitas tertentu. Menurut Baumler (1994) dalam Adler dan Fich (2012), hukum ini telah digunakan untuk menjelaskan pengaruh reward, motivasi, stimulus, dan stres pada pembelajaran, kinerja, pemecahan masalah atau memori.
Penelitian dalam psikologi telah
menemukan bukti hubungan lengkung antara stimulus (arousal) dan kinerja (performance).
14
Robbins (2015:435) menyatakan level stres yang rendah hingga moderat akan menstimulasi tubuh dan meningkatkan kemampuan untuk bereaksi, sehingga pelaksanaan tugas dapat dilakukan dengan lebih baik, lebih intens, atau lebih cepat. Sebaliknya, stres yang tinggi akan memberikan banyak tuntutan yang dapat menghasilkan kinerja yang lebih rendah. Beberapa studi telah memberikan bukti yang mendukung Hukum YerkesDodson, seperti Choo (1995); Kelly dan Margheim (1990); Kelly dan McGrath (1983); Smith, et.al (1997); Sweeney dan Pierce (2004) dalam Bowrin dan King (2010). Choo (1986) dalam Silaban (2009) menemukan terdapat hubungan bentuk U terbalik antara stres kerja dengan kinerja tugas. Choo (1995) dalam Bowrin dan King (2010) melaporkan hubungan antara tekanan waktu dan keakuratan penilaian auditor berbentuk U terbalik.
Tinggi
Kinerja
Rendah
Rendah
Stres
Tinggi
Gambar 2.1 Kurva U Terbalik : Hubungan antara Stres dan Kinerja
15
2.3 Tekanan Anggaran Waktu (Time Budget Pressure) Tekanan anggaran waktu didefinisikan sebagai permasalahan yang terjadi pada perikatan audit karena terbatasnya waktu yang dialokasikan untuk melaksanakan seluruh tugas audit (DeZoort dan Lord,1997). Temuan hasil survei yang dilakukan secara luas di Amerika Serikat oleh Rhode mengindikasikan adanya insiden yang mengganggu dari perilaku
disfungsional auditor yang
utamanya disebabkan oleh tekanan anggaran waktu (Otley dan Pierce 1996b). Anggaran waktu audit yang ketat dapat mengakibatkan auditor merasakan tekanan anggaran waktu (time budget pressure) dalam pelaksanaan program audit akibat ketidakseimbangan antara anggaran waktu audit yang tersedia dan waktu yang dibutuhkan untuk penyelesaian program audit (Kelley dan Seiler, 1982). Pada saat seorang auditor mengalami tekanan anggaran waktu, maka auditor akan memberikan respon dengan dua cara, yaitu fungsional dan disfungsional (De Zoort dan Lord, 1997). Tipe fungsional adalah perilaku auditor untuk bekerja lebih baik dan menggunakan waktu sebaik-baiknya (Kelley dan Seiler, 1982; Cook dan Kelley, 1991; Otley dan Pierce, 1996a). Tipe disfungsional adalah perilaku auditor yang berpotensi menyebabkan perilaku penurunan kualitas audit (Rhode dalam Simanjuntak 2008). (2003) menyatakan, saat
Akers dan Eton
auditor merasakan tekanan anggaran waktu selama
pelaksanaan tugas audit, maka auditor kemungkinan bertindak dengan cara fungsional, yaitu dengan melaksanakan prosedur audit sebagaimana mestinya dan melaporkan waktu sesungguhnya yang digunakan dalam pelaksanaan tugas tersebut, atau dengan cara disfungsional, yaitu tidak melakukan prosedur audit
16
sebagaimana mestinya, tetapi auditor menyatakan bahwa mereka telah melakukan prosedur audit sebagaimana mestinya. Cara disfungsional ini merupakan cara auditor mengatasi tekanan anggaran waktu dengan perilaku penurunan kualitas audit.
2.4 Locus of Control Locus of control atau pusat kendali merupakan salah satu variabel kepribadian yang membedakan perilaku atau tindakan seseorang dengan orang lain. Locus of control merupakan tingkat keyakinan yang dimiliki oleh seseorang tentang sejauhmana mereka meyakini bahwa mereka adalah penentu nasib mereka sendiri (Robbins, 2008:138). Locus of control terdiri atas locus of control internal dan locus of control eksternal. Robbins (2008:138) menyatakan individu dengan locus of control internal adalah individu yang meyakini bahwa mereka merupakan pemegang kendali atas apa yang terjadi pada diri mereka, sedangkan individu dengan locus of control eksternal adalah individu yang meyakini apapun yang terjadi pada diri mereka dikendalikan oleh kekuatan luar, seperti kesempatan atau keberuntungan. Silaban (2009) menyatakan dalam literatur psikologi ditunjukkan beberapa perbedaan perilaku individu yang diakibatkan oleh locus of control, yaitu: 1) Perbedaan atas tanggung jawab atau konsekuensi dari suatu tindakan yang dilakukan.
17
Individu yang memiliki locus of control internal pada umumnya lebih bertanggung jawab atas konsekuensi dari tindakan yang mereka perbuat dibandingkan dengan individu dengan locus of control eksternal. 2) Perbedaan dalam memandang keterkaitan dari suatu kejadian dengan kejadian berikutnya. Individu
dengan
locus of control internal memandang kejadian atau
pengalaman adalah saling berkaitan dan mereka belajar dari pengalaman yang berulang, pada pihak lain invidu yang memiliki locus of control eksternal cenderung memandang suatu kejadian atau pengalaman tidak berhubungan dengan kejadian berikutnya dan mereka tidak belajar dari pengalaman. 3) Saat memandang suatu kondisi atau keadaan yang mereka hadapi. Individu yang memiliki locus of control internal cenderung memandang suatu keadaan atau kondisi sebagai peluang atau kondisi yang tidak menimbulkan tekanan (stres), sedangkan pihak yang memiliki locus of control eksternal cenderung memandang suatu kondisi atau keadaan sebagai ancaman atau menimbulkan tekanan stres. 4) Perbedaan dalam menanggulangi tekanan Pada saat mengatasi suatu kondisi yang dapat menimbulkan stres individu yang memiliki locus of control internal cenderung menggunakan strategi berfokus masalah yaitu dengan mengelola atau merubah tekanan, sementara individu dengan locus of control eksternal cenderung menggunakan strategi berfokus emosi yaitu dengan menyerah pada masalah.
18
Hasil penelitian Hastuti (2013) menunjukkan locus of control eksternal berpengaruh positif pada perilaku penurunan kualitas audit, sementara locus of control internal berpengaruh negatif pada perilaku penurunan kualitas audit.
2.5 Komitmen Profesional Komitmen auditor terhadap profesinya merupakan faktor penting yang berpengaruh pada perilaku auditor dalam melakukan tugas audit (Silaban, 2009). Komitmen profesional didefinisikan sebagai kekuatan relatif terhadap keterlibatan individu dalam suatu profesi tertentu, serta kemauan untuk mengerahkan usaha atas nama profesi dan keinginan untuk mempertahankan keanggotaan di dalamnya (Aranya dan Ferris, 1984). Menurut Hassanuddin dalam Gustati (2012) terdapat tiga pengertian profesionalisme, pertama, profesionalisme bisa berarti suatu keahlian, mempunyai kualifikasi tertentu, berpengalaman sesuai dengan bidang keahliannya, atau memperoleh imbalan karena keahliannya. Yang kedua, mengacu pada suatu standar pekerjaan, prinsip-prinsip moral, dan etika profesi. Yang ketiga, profesionalisme juga berarti moral, dalam hal ini akuntan/auditor berupaya mempertahankan atau menjaga martabat dan kepercayaan yang diberikan masyarakat. Hall, et al (2005) mengusulkan komitmen profesional multi dimensi pada profesi akuntansi.
Ketiga dimensi tersebut adalah komitmen
profesional afektif (affective professional commitment), komitmen profesional kontinu (continuance professional commitment), dan komitmen profesional normatif (normative professional commitment).
19
Komitmen profesional afektif berhubungan pada sejauh mana individu ingin berada pada suatu profesi (Meyer, et al, 1993). Komitmen profesional afektif terjadi apabila individu
ingin menjadi bagian dari organisasi karena
adanya ikatan emosional atau psikologis terhadap organisasi (Lubis, 2010:55). Komitmen profesional kontinu berhubungan dengan pada sejauh mana individu tetap berada pada suatu profesi (Meyer, et al, 1993; Hall, et al, 2005). Komitmen profesional kontinu timbul apabila individu tetap bertahan pada suatu organisasi karena membutuhkan organisasi tersebut (Lubis, 2010:55). Komitmen normatif merupakan keterikatan individu dengan suatu profesi karena merasakan suatu kewajiban atau tanggung jawab untuk tetap berada pada suatu profesi (Silaban, 2011). Meyer, et.al (1993) menyatakan komitmen profesional normatif berhubungan pada sejauh mana individu meyakini bahwa mereka harus tetap berada pada suatu profesi.
2.6 Perilaku Penurunan Kualitas Audit Perilaku penurunan kualitas audit didefinisikan sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan auditor selama pelaksanaan audit yang dapat menurunkan efektifitas bukti-bukti audit yang dikumpulkan (Malone dan Robert, 1996). Herrbach (2001) mendefinisikan perilaku penurunan kualitas audit sebagai eksekusi yang buruk terhadap prosedur audit yang mengurangi tingkat bukti yang dikumpulkan untuk audit, sehingga bukti-bukti yang dikumpulkan tidak dapat diandalkan, palsu atau tidak memadai secara kuantitatif maupun kualitatif. Perilaku penurunan terjadi ketika auditor tidak benar melaksanakan prosedur audit
20
yang diperlukan untuk menyelesaikan tugas-tugas mereka. Perilaku ini tidak hanya akan memiliki efek negatif pada individu auditor, namun juga mengancam validitas hasil audit sehingga mempengaruhi kinerja keseluruhan organisasi dan pengguna keputusan ekonomi. Perilaku penurunan kualitas audit mengakibatkan bukti-bukti yang dikumpulkan selama pelaksanaan audit tidak dapat diandalkan sehingga bukti-bukti tersebut tidak kompeten dan cukup sebagai dasar memadai bagi auditor dalam mendeteksi kekeliruan dan ketidakberesan yang terdapat dalam laporan keuangan yang diaudit (Silaban, 2009). Perilaku penurunan kualitas audit diantaranya adalah penghentian prematur atas prosedur audit, menerima penjelasan klien yang lemah, membuat ulasan dokumen klien secara dangkal, gagal meneliti kesesuaian prinsip akuntansi yang diterapkan klien, dan mengurangi pekerjaan audit dari yang seharusnya dilakukan (Malone dan Robert, 1996; Otley dan Pierce, 1996a). Tindakan-tindakan seperti yang disebutkan di atas secara langsung dapat menurunkan kualitas audit karena auditor memilih untuk tidak melaksanakan seluruh tahapan program audit secara cermat dan seksama (Silaban, 2009).
2.7 Hasil Penelitian Sebelumnya Cook dan Kelley (1988) meneliti tekanan anggaran waktu yang dirasakan auditor dalam pelaksanaan audit dan cara auditor mengatasinya. Hasil studi mereka menunjukkan dalam mengatasi tekanan anggaran waktu, auditor cenderung menempuh cara disfungsional (yaitu dengan melakukan perilaku penurunan kualitas audit dan underreporting time) dibandingkan dengan cara
21
fungsional (meminta tambahan anggaran waktu atau lebih giat dalam melaksanakan tugasnya). Mereka menyimpulkan perilaku audit disfungsional cenderung meningkat sesuai dengan peningkatan tekanan anggaran waktu yang dialami auditor dalam pelaksanaan tugas audit. Malone dan Robert (1996) memfokuskan penelitiannya dengan menguji faktor-faktor yang berkaitan dengan perilaku penurunan kualitas audit. Variabelvariabel yang diuji meliputi karakteristik personal auditor (locus of control, self esteem, dan lainnya), karakteristik profesional auditor (komitmen organisasional, komitmen profesional dan keinginan untuk berpindah), kontrol kualitas dan prosedur review (kontrol kualitas obyektif, kontrol kualitas yang dirasakan, dan hukuman terhadap praktek melakukan penurunan kualitas audit), struktur perusahaan audit dan persepsi auditor tentang tekanan anggaran waktu. Hasil penelitiannya adalah kontrol kualitas, prosedur review, dan hukuman terhadap praktek melakukan penurunan kualitas audit berhubungan terbalik pada perilaku penurunan kualitas audit. Pengaruh tekanan anggaran waktu, karakteristik personal auditor, dan karakteristik profesional auditor terhadap perilaku penurunan kualitas audit hasilnya tidak signifikan. Coram, et al (2003) melakukan survei tentang tekanan anggaran waktu dan perilaku penurunan kualitas audit pada KAP di Australia. Hasilnya adalah faktor yang mendorong auditor melakukan perilaku penurunan kualitas audit adalah risiko audit rendah, dan tekanan anggaran waktu dalam pelaksanaan prosedur audit.
22
Simanjuntak (2008) meneliti mengenai pengaruh time budget pressure dan risiko kesalahan terhadap penurunan kualitas audit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tekanan anggaran waktu dan resiko audit berpengaruh pada perilaku penurunan kualitas audit. Penelitian Hastuti (2013) membuktikan bahwa tekanan anggaran waktu berhubungan positif dengan perilaku audit disfungsional, locus of control eksternal berpengaruh positif dengan perilaku audit disfungsional, locus of control internal berpengaruh negatif terhadap perilaku penurunan kualitas audit, serta komitmen profesional afektif, kontinu, dan normatif berhubungan negatif dengan perilaku penurunan kualitas audit.