BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Simbol Teori tentang simbol berasal dari Yunani kata symboion dari syimballo (menarik kesimpulan berarti memberi kesan). Simbol atau lambang sebagai sarana atau mediasi untuk membuat dan menyampaikan suatu pesan, menyusun sistem epistimologi
dan
keyakinan
yang
dianut
(Sukamto,
2001).
Dalam
perkembangannya menurut semiotika memiliki tiga jenis yaitu: 1. Jenis Semiotika Konotatif yaitu makna tanda-tanda konotatif yang diterapkan pada bidang kesusasteraan dan arsitektur. 2. Jenis Semiotika Ekspansif yaitu pengembangan dari semiotika konotatif. Jenis ini mengambil makna sepenuhnya oleh pengertian yang diberikan seperti telah diambil alih oleh peran filosofi. 3. Jenis Semiotika Komunikatif yaitu digunakan oleh orang yang mempelajari tanda sebagai bagian proses komunikasi berupa tanda yang digunakan oleh pengirim dan diterima oleh penerima dengan maksud yang sama. Adapun maksud yang terima secara denotatif (makna yang langsung dari suatu tanda yang telah disepakati bersama dan semua orang mengetahuinya dengan arti yang sama) dan konotatif (maksud kedua atau yang tersirat selain dari dari denotatif ). Pembentukan suatu tanda yaitu akibat hubungan yang kuat antara "signifier" (pemberi tanda/semainon) dan signified (maksud dari tanda tersebut) (Havet, 1978). Berdasarkan dasarnya terdapat jenis tanda (Zoest, 1978) yaitu:
4 Universitas Sumatera Utara
5
1. Legisign yaitu berasal dari kata lex (hukum). Legisign merupakan suatu tanda karena suatu keberaturan tertentu seperti sistem stuktur bangunan. 2. Sinsign yaitu berasal dari kata sin yang mengadaptasi dari kata singular (tunggal). Sinsign meruapakan tanda yang berdasarkan atas kejadian, bentuk yang asli seperti bangunan tradisional yang memiliki keunikan dan keaslian. 3. Qualisign yaitu berasal dari kata quality atau kwalitas ataupun sifat. Qualisign yaitu tanda yang didasari oleh sifatnya. Beberapa jenis tanda lainnya (Charles, 1977) yaitu :
Ikon yaitu tanda yang menyerupai benda yang diwakilinya atau tanda yang menggunakan kesamaan ciri-ciri benda tersebut. Sifat-sifat ikon yaitu sesuatu yang pasti, memperlihatkan atau menggambarkan sesuatu, berhubungan dengan kenyataan dan mengikuti dengan apa yang diwakili.
Indeks yaitu berkaitan terhadap sebab-akibat dengan apa yang diwakilinya yang memiliki sifat tergantug pada keberadaan bendanya. Misalnya gula dan semut, dimana semut akan datang jika ada gula maka semut merupakan indeks. Indeks yang berperan sebagai tanda akan kehilangan cirinya jika bendanya disingkirkan tetapi masih akan mempunyai arti.
Simbol atau lambang yaitu tanda dimana hubungan antara tanda dengan denotum (penanda) ditentukan oleh suatu peraturan yang berlaku umum atau kesepakatan bersama. Simbol dapat menggambarkan suatu ide abstrak dimana tidak ada kemiripan antara bentuk tanda dan arti. Makna simbol akan menghilang jika tidak dapat dipahami oleh masyarakat yang
Universitas Sumatera Utara
6
latar belakangnya berbeda. Simbol adalah tidak pernah benar-benar menghasilkan makna baru dalam setiap konteks yang berbeda. Hal ini bukannya tidak beralasan karena ada ketidaksempurnaan ikatan alamiah antara penanda dan petanda seperti simbol keadilan yang berupa sebuah timbangan tidak dapat digantikan oleh identitas lainnya seperti kendaraan atau kereta (Berger, 2000). Berdasarkan teori symbol, simbol dibagi menjadi dua, yaitu (Langer, 1957): 1. Simbol diskursif, ialah bentuk yang digunakan secara literal dimana unitunitnya bermakna berdasarkan konvensi (aturan yang disepakati bersama). Setiap unit memiliki maknanya sendiri seperti kata dalam serangkaian kalimat. Symbol diskursif memiliki ciri-ciri logika, parsial, gramatika, mengandung pesan, dan denotatif.
Logika Menurut KBBI, logika adalah jalan pikiran yang masuk akal. Karya
arsitektural yang dapat diterima oleh akal pikiran dan telah disepakati bersama (konvensi)
Parsial Menurut KBBI adalah bagian dari keseluruhan. Karya arsitektur terdiri
dari elemen-elemen yang dipersatukan sehingga memiliki makna yang utuh. Elemen-elemen tersebut sebenarnya memiliki makna tersendiri secara parsial.
Gramatika / tatanan
Universitas Sumatera Utara
7
Menggabungkan elemen-elemen menjadi karya arsitektur memiliki tatanan yang telah disepakati. Seperti dalam penyusunan kata menjadi serangkaian kalimat.
Mengandung pesan Suatu karya arsitektur yang tersusun dari elemen-elemen dan ditata
menurut tatanan yang ada akan memberikan pesan khusus bagi penggunanya. Apabila ada elemen yang dihilangkan, pesan tersebut akan berubah dari sebelumnya.
Tersurat / denotatif Makna dari elemen-elemen arsitektur digambarkan secara tersurat dan
dapat dilihat secara inderawi oleh pengguna. 2. Symbol presentasional, tidak terdiri dari unit-unit yang memiliki arti tetap untuk digabung berdasarkan aturan tertentu dan juga tidak dapat diuraikan. Maknanya ada didalam bentuk secara keseluruhan. Symbol presentasional terkait dengan rasa (sense), holistic, gestalt, kesan, dan konotatif.
Sense (rasa) Setiap karya arsitektur akan menghadirkan sense berbeda-beda. Sense
tersebut diakibatkan adanya gabungan elemen arsitektur yang saling berkaitan.
Holistic Penekanan terhadap pentingnya keseluruhan dan saling keterkaitan
dari bagian-bagiannya dan tidak bisa terpisahkan.
Gestalt
Universitas Sumatera Utara
8
Berarti kesatuan yang utuh dan terpadu.
Kesan Menurut KBBI adalah sesuatu yang terasa (terpikir) sesudah melihat
(mendengar). Dalam arsitektur, kesan pengguna terhadap karya arsitektur sangat penting. Karena kesan tersebut yang akan terus melekat pada pikiran manusia.
Konotatif Menurut KBBI adalah makna yang ditambahkan pada makna denotasi.
Makna konotatif akan didapatkan oleh pengguna setelah dilakukan kajian terhadap karya arsitektur secara keseluruhan. Beberapa fungsi simbol yaitu (Raho, 2007) : 1. Simbol membantu manusia untuk berhubungan dengan bidang material dan sosial dengan memperbolehkan mereka memberi nama, membuat kategori, dan mengingat objek-objek yang mereka temukan dimana saja. Dalam hal ini bahasa mempunyai peran yang sangat penting. 2. Simbol dapat menyempurnakan manusia untuk memahami lingkungannya. 3. Simbol dapat menyempurnakan kemampuan manusia untuk berpikir. Dalam hal ini, berpikir dapat dianggap sebagai interaksi simbolik dengan diri sendiri. 4. Simbol dapat meningkatkan kemampuan manusia untuk mecari solusi persoalan
manusia.
Sedangkan
manusia
bisa
berpikir
dengan
menggunakan simbol-simbol sebelum melakukan pilihan-pilihan dalam melakukan
sesuatu.
Universitas Sumatera Utara
9
5. Penggunaan simbol-simbol memungkinkan manusia berpikir melampaui pemahaman yang biasanya dari segi waktu, tempat dan bahkan diri mereka sendiri.
Dengan
menggunakan
simbol-simbol
manusia
bisa
membayangkan bagaimana hidup dimasa lampau atau akan datang. Mereka juga bisa membayangkan tentang diri mereka sendiri berdasarkan pandangan orang lain. 6. Simbol-simbol memungkinkan manusia bisa membayangkan kenyataankenyataan metafisis seperti surga dan neraka. 7. Simbol-simbol memungkinkan manusia agar tidak diperbudak oleh lingkungannya. Mereka bisa lebih aktif ketimbang pasif dalam mengarahkan dirinya kepada sesuatu yang mereka perbuat. 2.2 Pengertian Rumah Arsitektur adalah lingkungan fisik. Arsitektur adalah pewadahan aktifitas/kegiatan manusia. Di dalam lingkungan fisik tersebut terdapat "lingkungan fisik terkecil" dalam aktifitas manusia, yaitu rumah tinggal. Dalam arsitektur, merancang rumah tinggal mempunyai keunikan tersendiri. Rumah merupakan produk arsitektur yang paling dasar dan lengkap. Rumah tinggal mewakili pelaku aktifitas di dalamnya, yaitu manusia yang beraktifitas di dalamnya (Setiyoko, 2007). Dimana arsitektur berkaitan dengan lingkungan buatan sebuah lingkungan tempat tinggal yang diciptakan untuk melindungi dirinya dari pengaruh alam secara global dan dalam kenyataan sebenarnya berupa gedung
dan
lingkungan
fisik
(alam)
di
sekitarnya
(Ronald,
2005).
Universitas Sumatera Utara
10
Rumah tinggal berfungsi sebagai tempat beristirahat, tempat bersosialisasi, tempat berlindung, dan tempat menciptakan rasa kekeluargaan antara anggota keluarga (Mukono,2000). Fungsi rumah tinggal lainnya (Turner, 1976) yaitu: a. Rumah sebagai penunjang identitas keluarga (identity) yang ditampilkan pada hunian atau perlindungan yang diberikan oleh hunian tempat individu melakukan aktifitasnya. Kebutuhan akan rumah tinggal dimaksudkan agar penghuni dapat memiliki tempat berteduh guna melindungi diri dari iklim dan lingkungan setempat. b. Rumah sebagai penunjang kesempatan (opportunity) keluarga untuk mengembangkan kehidupan sosial budaya dan sosial ekonomi. Kebutuhan rumah ditinjau dari pemenuhan kebutuhan sosial budaya dimana dalam kehidupan, bersosialisasi dengan lingkungan dan masyarakat sangat dibutuhkan dan kemudahan menuju tempat kerja untuk mendapatkan sumber penghasilan. c. Rumah sebagai penunjang rasa aman (security) dalam arti terjaminnya keadaan keluarga di masa depan setelah mendapatkan rumah. Jaminan keamanan atas lingkungan rumah tinggal serta jaminan keamanan berupa kepemilikan rumah dan lahan. Rumah yang dikategorikan sehat yaitu tempat berlindung dan beristirahat serta sebagai sarana pembinaan keluarga yang dapat menumbuhkan kehidupan sehat secara fisik, mental, dan sosial sehingga seluruh anggota keluarga dapat bekerja secara produktif (Keman, 2005). Setiap pemilik rumah atau yang dikuasakannya wajib memanfaatkan rumah sebagaimana mestinya sesuai dengan fungsinya sebagai tempat tinggal atau hunian dan mengelola serta memelihara
Universitas Sumatera Utara
11
rumah sebagaimana mestinya (Undang-Undang Republik Indonesia No.4 Tahun 1992 dengan judul Perumahan dan Permukiman). 2.3 Rumah Tradisional Tradisional adalah sikap dan cara berfikir serta bertindak yang selalu berpegang pada norma dan adat yang ada secara turun temurun. Tradisional berasal dari kata “tradisi” artinya adat kebiasaan turun temurun yang masih dijalankan oleh kelompok masyarakat (Suharjanto, 2011). Tradisionalism adalah suatu paham yang berdasarkan pada tradisi (Poerwadarminta. 1976) Rumah tradisional adalah rumah dari beberapa generasi tidak mengalami perkembangan, maupun perubahan (Hidayati, 1993). Dalam satu budaya tertentu, di lingkungan tertentu pula, terdapat bermacam-macam perilaku masyarakat, tidak selalu memiliki kesamaan perilaku dari anggota budaya tertentu. Norma budaya diturunkan dari satu generasi ke generasi lainnya melalui proses sosialisasi. Kesetiaan pada adat kebiasaan ini bergantung pada persepsi seseorang (Marcella, 2004). Rumah tradisional secara umum memiliki kesamaan yang khas, yaitu pondasi rumah panggung yang merupakan pondasi umpak yang berada di permukaan tanah dan di atasnya berdiri struktur rangka kayu dengan menggunakan 2 sistem. Sistem pertama menggunakan konstruksi bertiang dengan balok-balok pengikat, sistem hubungan tiang ke balok menggunakan pasak dan pen. Sistem kedua menggunakan konstruksi balok bulat horizontal sebagai penyangga badan rumah. Aspek-aspek tersebut adalah landasan untuk
Universitas Sumatera Utara
12
menentukan corak modernisasi yang akan mewarnai arsitektur Indonesia selanjutnya (Soeroto, 2003). 2.4 Rumah Tradisional Karo Perkembangan
kebudayaan
berkaitan
dengan
sejarah
kebangsaan
sedangkan perkembangan arsitektur berhubungan dengan sejarah kebudayaan suatu bangsa. Masuknya suatu peradaban baru mustahil dapat menggoyahkan kebudayaan yang sedemikian utuh. Teknologi dan tata nilai berhasil diadaptasi ke dalam bentuk bangunan tradisional. Proses pembaharuan berlangsung tanpa merusak nilai-nilai yang menjiwai wujud arsitekturnya, dan arsitektur tradisional mencapai puncak keindahannya sebagai gambaran kebesaran kebudayaan suatu bangsa (Soeroto, 2003). Dengan mengetahui dan memahami arsitektur tradisional dan mengetahui latar belakang budayanya, maka nilai-nilai tradisi akan terus hidup dan berkembang sebagai bagian kebudayaan bangsa. Pemahaman tradisi dan budaya tersebut akan mengembalikan jati diri dan memberi warna pada bangunan-bangunan yang bercirikan kepribadian Indonesia. Kehidupan yang terus berjalan dan kebudayaan pun akan berkembang seiring jaman. Kebudayaan harus menciptakan bentuk arsitekturnya yang lahir dari keinginan rohani. Dari bentuk yang jujur, wajar, sederhana dan memancarkan kebenaran niscaya terwujud keindahan sejati (Soeroto, 2003) yaitu dengan membahas dan mempelajari kembali nilai-nilai luhur kebudayaan dan juga kearifan arsitekturnya. Secara umum rumah tradisional Karo mempunyai bentuk empat persegi panjang dengan dua buah pintu (ture) sebagai pintu utama yaitu pintu hulu (Ture
Universitas Sumatera Utara
13
Julu) dan pintu hilir (Ture Jahe) sebagai pintu utama. Bagian-bagian atapnya berbentuk paduan trapesium dimana bagian depan atap berbentuk segitiga yang disebut dengan wajah rumah (ayo atau lambe-lambe). Bagian dinding yang juga berbentuk trapesium yang ditopang oleh dapur-dapur yang terletak di atas beberapa tiang. Terdapat beberapa jenis bangunan tradisional Karo yaitu: 1. Si Waluh Jabu, yaitu tempat tinggal raja yang memiliki banyak ornamen dan makna. Delapan rumah atau makna sebenarnya berarti delapan keluarga dalam satu kekerabatan. Rumah Si Waluh Jabu adalah nama lain dari Gerga atau Belang Ayo.
Gambar 2.1 Si Waluh Jabu Sumber: id.pinterest.com
Universitas Sumatera Utara
14
Gambar 2.2 Denah rumah Siwaluh Jabu Sumber : Buku Arti dan Fungsi Tanah (2015)
Nama kedudukan dan fungsi setiap jabu adalah (Antonius, 2015):
Jabu nomor 1 dinamakan jabu bena kayu, yaitu sebagai tempat kedudukan keluaga bangsa taneh. Derajatnya sebagai pemimpin merangkap anggota jabu-jabu. Dialah yang berhak tanah rumah siwaluh jabu.
Jabu nomor 2 dinamakan jabu ujung kayu, yaitu sebagai tempat kedudukan anak beru dari jabu benah kayu. Penghuni jabu ini bertindak mewakili penghuni jabu bena kayu untuk menyampaikan perintah-perintah atau nasihat-nasihat pada semua penghuni atau anggota
rumah
siwaluh
jabu.
Universitas Sumatera Utara
15
Jabu nomor 3 dinamakan jabu leper bena kayu, yaitu sebagai tempat kedudukan pihak anak, saudara penghuni jabu benah kayu. Penghuni jabu tergolong bangsa taneh. Menurut fungsi bahwa jabu ini dinamakan jabu sungkun barita, karena bertugas meneliti dan menyampaikan berita yang diperoleh dari luar.
Jabu nomor 4 disebut jabu leper ujung kayu, yaitu sebagai tempat kedudukan pihak kalimbubu juga jabu simangan minem. Kedudukan penghuni jabu sangat dihormati karena statusnya sebagai kalimbubu.
Jabu nomor 5 disebut jabu sedapurka bena kayu yaitu sebagai tempat kedudukan anak beru menteri dari jabu benah kayu. Sesuai dengan fungsinya, jabu ini dinamakan juga jabu peninggel-ninggel yang artinya mendengarkan. Fungsi jabu yaitu mendengarkan segala pembicaraan dan keputusan di dalam musyawarah anggota rumah adat.
Jabu nomor 6 dinamakan jabu sedapurka ujung kayu, yaitu sebagai tempat kedudukan anak, saudara dari penghuni jabu kalimbubu bena kayu. Jabu ini disebut juga jabu ariteneng yaitu yang dianggap sebagai pemberi ketenangan, ketentraman bagi seluruh penghuni jabu.
Jabu nomor 7 disebut jabu sedapurka leper bena kayu yaitu sebagai tempat kedudukan guru atau dukun. Jabu ini dinamakan jabu bicara guru yang berkewajiban mengatur hal-hal yang berhubungan dengan kepercayaan.
Jabu nomor 8 disebut jabu sedapurka leper ujung kayu yaitu disebut sebagai tempat kedudukan anak, saudara penghuni jabu ujung kayu.
Universitas Sumatera Utara
16
Jabu ini disebut juga jabu singkapur belo sesuai dengan kedudukannya yang bertugas menyediakan, menyuguhkan sirih kepada seseorang pendatang dan pembantu penghuni jabu bena kayu menjamu tamu.
2. Sepulu Jabu, yaitu satu rumah yang terdiri dari 10 keluarga dalam satu kekerabatan dan memiliki ukuran lebih besar dari Si Waluh Jabu 3. Sepulu Dua Jabu, yaitu rumah yang terdapat 12 keluarga dalam satu kekerabatan yang tidak memiliki kamar seperti Rumah Si Waluh Jabu dan Sepuluh Jabu.
Gambar 2.3 Sepulu Dua Jabu Sumber: Collectie Tropen Museum, Netherland
4. Sepulu Enem Jabu, yaitu rumah tertinggi di Indonesia. Dihuni oleh 16 keluarga dalam satu kekerabatan dan merupakan rumah terbesar di budaya Karo
Universitas Sumatera Utara
17
Gambar 2.4 Sepulu Enem Jabu Sumber: Collectie Tropen Museum, Netherland
5. Si Enem Jabu, yaitu rumah yang berukuran lebih kecil dari Si Waluh Jabu dan dihuni oleh 6 keluarga dalam satu kekerabatan 6. Si Empat Jabu, yaitu rumah yang berukuran palig kecil dan dihuni oleh 4 keluarga dalam satu kekerabatan. 7. Jambur, yaitu suatu Balai Pertemuan Adat. Bangunan yang memiliki bentuk rumah tradisional Karo dengan atap ijuk merupakan tempat pelaksanaan acara-acara adat dan juga kegiatan masyarakat lainnya. Jambur juga digunakan sebagai tempat beristirahat anak muda. Para pemuda bertanggung jawab atas keamanan kampung Simpang Empata. Para pemuda tidak pantas tidur dengan orangtuanya dalam satu kelambu yang disekat-sekat dan sempit. 8. Griten (Geriten), yaitu bangunan sebagai tempat menyimpan tengkorak keluarga yang telah meninggal. Terdiri dari 2 tingkat dan berbentuk panggung, yang ditopang oleh tiang penyangga bangunan. 9. Sapo Page dan Lesung yaitu lumbung padi yang berbentuk seperti rumah tradisional Karo dan berada pada halaman depan rumah. Terdiri dari dua
Universitas Sumatera Utara
18
tingkat dan ditopang oleh tiang dan lantai bawah tidak memiliki dinding. Ruang ini juga digunakan sebagai tempat duduk-duduk, beristirahat dan sebagai ruang tamu. Pada bagian atas digunakan sebagai menyimpan padi.
Gambar 2.5 Sapo Page Sumber: pusakaKaro.wordpress.com
10. Keben yaitu tempat untuk menyimpan beras yang merupakan bagian terpenting dari budaya Karo karena beras merupakan tingkat status yang menunjukkan kekayaan seseorang.
Gambar 2.6 Keben Sumber: amstrophel13architect.files.wordpress.com
Universitas Sumatera Utara
19
2.5 Masyarakat Karo Suku Karo dikenal diperkirakan pada tahun 1250. Pada mulanya suku ini bernama suku Haru yang kemudian disebut Haro dan akhirnya dinamai suku Karo (Putro, 1951). Haru adalah kerajaan yang cukup kuat dan memiliki wilayah yang sangat luas, mulai dari Siak (Riau) hingga ke sungai Wampu di Langkat. Raja kerajaan Haru sudah berganti secara turun-temurun karena kerajaan yang sudah cukup lama bertahan, dan pada tahun 1539 kerajaan Haru kalah akibat serangan tentara Aceh yang memiliki senjata yang kuat. Setelah menerima serangan, rakyat pergi menyelamatkan diri hingga ke Singkel, Pak-pak/Dairi, Aceh(Gayo Alas), Asahan, Simalungun dan dataran tinggi Karo (Karo Gugung), daerah Sipi-sipis dan Tebing Tinggi (Wahid, 2013). Pada awalnya terdapat tiga kelompok kekerabatan (marga), yakni Ginting, Peranginangin dan Tarigan, kemudian bertambah menjadi marga Karo-Karo dan Sembiring, tergambar pada bentuk pemerintahan lokal yaitu: Kerajaan Sinembah yang rajanya berasal dari keturunan Sembiring Meliala, Kerajaan Suka dari keturunan Ginting Suka, dan Kerajaan Lingga dari keturunan Sinulingga. Pada jaman kolonial Belanda ditambah lagi dengan kerajaan Kuta Buluh yang rajanya berasal dari keturunan Peranginangin (Wahid, 2013) Di dalam wilayah suku bangsa Karo terdapat beberapa bagian daerah yaitu (Putro, 1981): 1. Daerah Karo Gugung yaitu Kabupaten Karo. Daerah Karo Gugung terbagi lagi yaitu Taneh Urung Julu, Taneh Urung Gunung-Gunung dan Taneh Urung
Melas
Universitas Sumatera Utara
20
2. Daerah Karo Timur yaitu Serdang Hulu dan daerah bekas Kecamatan Cingkes tahun 1946 3. Daerah Karo Baluren, Urung Taneh Pinem dan Pamah yang berada disepanjang sungai Lau Renun 4. Daerah Karo Jahe yaitu derah Hulu 5. Daerah Karo Binge yaitu Karo Salapian, Karo Buah Orok yang sekarang disebut dengan Karo Langkat Orang yang mendirikan kampung (kuta) pasti memiliki marga. Misalnya kampung yang didirikan oleh marga Karo-Karo, maka kampung disebut Panteken (yang mendirikan) marga Karo-Karo. Maka marga Karo-Karo sebagai marga (anak) tanah. Dan jika ada marga lain yang datang untuk tinggal di kampung tersebut akan menjadi satu keluarga dan memiliki kedudukan sebagai kalimbubu (pihak keluarga perempuan yang dinikahi) atau anak beru (keluarga laki-laki yang menikahi anak perempuan sebuah keluarga). 2.6 Pola Perkampungan Masyarakat Karo Perkampungan Karo pada umumnya mempunyai pola mengelompok dan pengelompokannya
berada
pada
satu
bidang
tanah
tertentu
tetapi
pengelompokkannya dibagi menjadi beberapa sektor atau Kesain (halaman kampung yang diketuai oleh seorang penghulu) (Sitanggang, 1991). Pola perkampungan Karo pada umumnya mengelompok atau berbaris mengikuti alur sungai sehingga perletakan rumah didasarkan pada aliran sungai, dimana pintu utama atau depan menghadap ke hulu sungai sedangkan pintu belakang menghadap ke hilir sungai. Namun, pada saat tertentu dapat juga mengikuti arah
Universitas Sumatera Utara
21
Utara-Selatan, dimana pintu utama diletakkan searah dengan aliran sungai atau dibagian selatan, dengan demikian panjang bangunan diletakkan pada arah utara selatan dan lebarnya pada arah timur dan barat. Dengan demikian tidak terdapat rumah yang dibangun menentang arus sungai. Mata angin yang digunakan masyarakat Karo disebut Desa Siwaluh yaitu mata angin yang terdiri dari delapan penjuru yang sama halnya dengan mata angin pada umumnya (Wahid,2013). 2.7 Rumah Tradisional Karo 2.7.1 Bagian Bawah Rumah Merupakan barisan kolom (binangun) yang terbuat dari kayu damar laut atau pohon enau (perangkih) berbentuk segidelapan atau bulat dengan diameter 30 cm sebanyak 16 buah, delapan diantaranya digunakan sebagai pemikul lantai dan atap sedang, delapan lainnya hanya memikul lantai saja. Jarak antar kolom adalah 3 depan atau sekitar 3 mm. Rangkaian kolom diikat dengan susunan balok (pemajang) berukuran 10x20 cm yang ditembuskan melewati kolom dengan pen dan disusun berselang-seling dengan jarak antara lapis dengan lapis sekitar 15-20 cm. Pada kolom sudut, balok menjulur keluar sekitar 40 cm. Ketinggian kolom dihitung antara permukaan tanah dengan permukaan lantai adalah sekitar 150-175 cm atau 2,5 m. Seluruh rangkaian kolom diletakkan diatas pondasi batu kali (palas) yang ditanam kedalam tanah sampai kedalaman sekitar 60 cm. Pondasi ini diletakkan di atas beberapa lembar sirih (belo cawir) dan sejenis besi (besi mersik) (Wahid, 2013).
Universitas Sumatera Utara
22
Gambar 2.7 Bagian Bawah Rumah Sumber : Buku Arsitektur Dan Sosial Budaya Sumatera Utara
2.7.2 Bagian Tengah Rumah (Lantai) Bangunan Karo menggunakan lantai berlapis dengan ketinggian lantai bawah 1,5 m dari tanah dan jarak antara lantai atas dan bawah adalah sekitar 0,4 cm. Konstruksi rangka lantai diawali dari balok-balok (awit) kecil terbuat dari pohon enau kering (pengguh) bulat berdiameter 10 cm atau berbentuk papan berukuran 8x12 cm yag menjorok keluar sepanjang 70 cm dan terletak melintang diatas balok penghubung kolom-kolom (pemajang) bangunan yang paling atas dimana struktur lantai diletakkan dinamai dabuhen. Di atas balok-balok (awit) kecil tersebut diletakkan belahan bambu (galigar awit) berukuran 6x12 cm yang tidak struktural yang disusun rapat yang ditutupi dengan lapisan salimar yang terbuat dari papan dengan ketebalan 6 cm. Di atas susunan belahan bambu terdapat balok dan konsol (kemping atau bangunan kalang papan) berukuran 7x40 cm yang terletak berlawanan arah dengan susunan bambu, kemudian diatas balok binangun kalang papan ini diletakkan balok-balok (kalang papan) berukuran 8x15 cm yang berfungsi menunjang langsung papan-papan lantai (papan jabu) berukuran 5x20 cm. Pada
Universitas Sumatera Utara
23
ujung awit yang menjorok keluar sejauh 0,7 m yang menopang balok keliling berukuran 88x20 cm yang disebut dapur-dapur yang diletakkan miring. Dapur yang mirip dengan perahu dibuat mengelilingi bangunan dan dapur melintang dan membujur dihubungkan dengan pen (Wahid, 2013). 2.7.3 Bagian Tengah Rumah (Dinding) Dinding bangunan berada pada posisi miring sekitar 30 derajat dengan ketinggian sekitar 100 m, terletak di atas dapu-dapur yang terdiri dari papanpapan dari bahan kayu yang dinamakan ndap-dap tua yang dihubungkan dengan satu sama lain dengan cara diikat dengan tali ijuk (ret-ret). Di bagian bawah, dinding tegak miring lalu dihubungkan dengan sambungan celah dengan dapudapur dan dibagian atas dinding miring bertumpu pada balok (Junjungan Derpih) berukuran 7x15 cm yang berfungsi untuk pengikat, di atas junjungan derpih terdapat rusuk-rusuk (perongkil) penahan penutup atap ijuk berukuran 5x5x200 cm berjarak sekitar 40 cm antara satu dengan lainnya yang dibuat dari batang enau (Wahid, 2013). Ukiran horizontal yang memanjang di bagian dinding secara keseluruhan membentuk motif binatang melata seperti cecak. Sudut dinding (Susi atau Cuping) terbuat dari bahan kayu yang cukup tua yang terdiri dari papan berukur berukuran 4x30 cm yang terletak di sudut dapu-dapur dan digunakan untuk memikul junjungan derpik dan disambung dengan pen (Wahid, 2013).
Universitas Sumatera Utara
24
Gambar 2.8 Dinding Rumah Sumber : Buku Arsitektur Dan Sosial Budaya Sumatera Utara
2.7.4 Bagian Tengah Rumah (Pintu Atau Labah) Rumah Karo pada umumnya memiliki dua buah pintu (labah) yang terletak pada bagian hilir (pintu jahe) dan dibagian hulu atau pintu hulu. Tetapi di bagian sebelah kamar rumah raja juga terdapat pintu yang berbentuk seperti bentuk labah tetapi lebih kecil. Setiap pintu diberi palang dibagian dalam sebagai kunci (Wahid, 2013). Rumah Karo pada umumnya juga memiliki jendela, paling sedikit terdapat dua buah jendela di setiap sisi bangunannya yaitu bagian hilir (pintu perik kenjahe) dan satu di bagian hulu (pintu perik kenjulu). Tetapi sering juga terdapat di setiap kamar. Jendela kecil yang berbentuk memanjang dengan ukuran panjang 120 cm dan lebar 25 cm. Jendela lainnya yaitu jendela yang disebut pintu perik mirip dengan pintu tetapi hanya dengan satu daun (Wahid, 2013). Daun pintu dibuat dari bahan kayu yang terdiri dari 2 papan berupa daun pintu dengan ketebalan 5 cm dan lebar 40 cm atau 8x30 cm dan dibentuk sehingga mempunyai pen dan engsel. Pintu tersebut diletakkan pada dapur-dapur bagian bawah dan menyangkut pada junjungan derpik bagian atas sehingga keduanya merangkap sebagai kusen dan ditempatkan memanjang ditengah ruang. Biasanya
Universitas Sumatera Utara
25
dilengkapi dengan pegangan tangan (cikepen). Pintu diukir dan dilengkapi dengan kunci pen kayu (Wahid, 2013).
Gambar 2.9 Pintu Rumah Sumber : Buku Arsitektur Dan Sosial Budaya Sumatera Utara
Gambar 2.10 Jenis Jendela Rumah Sumber : Buku Arsitektur Dan Sosial Budaya Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
26
Gambar 2.11 Jenis Jendela Rumah Sumber : Buku Arsitektur Dan Sosial Budaya Sumatera Utara
2.7.5 Bagian Tengah Rumah (Para Atau Rak) Para adalah tempat berbentuk rak yang ditopang dengan beberapa tiang atau digantung yang diletakkan pada bagian yang tinggi dalam rumah. Terdapat 4 buah para yang diletakkan bertingkat (Wahid, 2013) yaitu: 1. Para pengeringan (Tuhor) Para pengeringan terletak di atas dapur masing-masing jabu (ruang) yang terdapat dalam rumah. Ukuran para tuhor 2x2 m (sesuai dengan luas dapur). Tiap-tiap sudut para pengeringan diberi gantungan untuk tempat menggantungkan sesuatu seperti daging, parang dan lain-lain. Sedangkan pada bagian tengahnya dijadikan tempat mengeringkan lada dan lain-lain. 2. Para penyimpanan periuk (Kudin) Para periuk adalah bagian dari para pengeringan yang terletak pada bagian atas, berbentuk bak dengan kedalaman 30 cm. Para ini berfungsi sebagai tempat menyimpan kuali atau periuk dan mengeringkan kemiri dan lainlain. 3. Para sesajen (Ndegeng)
Universitas Sumatera Utara
27
Para sesajen adalah para yang terletak diatas “Jabu Bata Ruang” yang terbuat dari balok atau papan dengan lebar 2 m dengan panjang 6 m. Para ini berfungsi sebagai tempat memberikan sesajen kepada dewa dan arwah leluhur. 4. Para layar Para layar terletak pada bagian teratas dari ketiga lainnya yang digunakan sebagai tempat untuk menyimpan periuk yang diperkirakan adalah periuk tempat sesembahan. 2.7.6 Bagian Tengah Rumah (Beranda) Setiap rumah mempunyai dua buah beranda (ture) yang terletak disebelah hilir (ture jahe) dan satu bagian hulu (ture julu). Beranda ini terbuat dari lantai bambu ulat yang ditopang dengan tiang setinggi 1,5 m, dengan panjang sekitar 3 m dan lebar 6 m. Beranda berfungsi sebagai (Wahid, 2013) :
Tempat para wanita menganyam bakul, tikar dan lain-lain pada saat malam hari
Tempat berbincang dan memadu kasih antara gadis dan pemuda pada malam hari
Tempat memandikan anak
Tempat memandikan mayat (bila ada salah satu anggota rumah yang meninggal dunia)
Tempat buang air bagi anak-anak
Universitas Sumatera Utara
28
Gambar 2.12 Beranda Rumah Sumber : Buku Arsitektur Dan Sosial Budaya Sumatera Utara
2.7.7 Bagian Tengah Rumah (Dapur) Setiap rumah mempunyai 4 buah dapur, yaitu dua dibagian hilir dan dua dibagian hulu yang terdapat pada tiap jabu ruang. Tiap dapur digunakan oleh dua keluarga yang saling bersebelahan (Sedapuren). Dapur berbentuk bujur sangkar, dengan ukuran 2x2 meter persegi dilengkapi dengan anak batu (mutu), dan tiga buah tungku (diliken) di tengah-tengah dapur, yang menggambarkan kelompok kekerabatan masyarakat Karo yang disebut pengikat tiga (Rakut si telu) yaitu, anak beru, kalimbubu, dan senina. Karena setiap dapur digunakan oleh dua keluarga, maka setiap dapur terdapat dua pasang tungku yang terdiri dari enam buah tungku (diliken) (Wahid, 2013). 2.7.8 Bagian Atas Rumah (Atap) Beberapa kolom bangunan memiliki ketinggian lantai sekitar 2,5 m dari muka tanah dan yang lainnya memanjang sampai pada bagian bawah atap yaitu pada ketinggian para-para sekitar 4,5 m dari muka tanah atau sekitar 2 m dari
Universitas Sumatera Utara
29
lantai. Bentuk atap merupakan gabungan antara pelana dan perisai dan pada ujung puncak atap pelana terdapat kepala kerbau yang terbuat dari ijuk sebagai simbol (Wahid, 2013). Tanduk rumah terbuat dari tanduk kerbau yang diletakkan pada atas ujungujung bubungan pada rangka ujung atas rusuk yang menyerupai kepala kerbau. Di Barus Jahe tanduk rumah terletak pada ruang kayu yang terbuat dari tanduk kerbau jantan dan pada bagian utara adalah tanduk kerbau betina. Pada bagian mulut kerbau digantungkan periuk tanah yang terbuat yang diisi dengan sesajen yang memiliki arti agar kerbau tidak memangsa penghuni rumah (Wahid, 2013).
Gambar 2.13 Tanduk Kerbau Sumber : Buku Arsitektur Dan Sosial Budaya Sumatera Utara
Atap pada bangunan Karo merupakan unsur yang paling dominan dari segi tampak dan potongan karena memiliki ketinggian ¾ dari ketinggian rumah. Bagian segitiga ang dibentuk oleh atap pelana yang dinamakan lambe-lambe (ayo rumah) terbuat dari papan atau tepas yang dianyam dan diletakkan sesuai dengan arah hulu ke hilir. Motif yang digunakan pada lambe-lambe yaitu bunga Gundur,
Universitas Sumatera Utara
30
Tampune-tampune, Pako-pako, Lumut laut, Ampik-ampik lembu, ujen labang, desa sawaluh serta lipan-lipan (Wahid, 2013). Rangka tempat dudukan atap ijuk terbuat dari bambu yang dibelah dengan ukuran 1x3 cm yang disusun dengan jarak 4 cm dan diikat dengan rotan, atap ijuk diikatkan dengan diapit bambu belah dan disusun secara berlapis-lapis sehingga semakin kebawah maka akan semakin tebal. Ketebalan pada bagian atas hanya sekitar 15 cm tetapi di bagian bawah memiliki ketebalan 25 cm. Di bagian samping cucuran atap disusun dengan membuat gulungan ijuk berdiameter 10 cm yang disusun dua lapis secara teratur dan diikat lalu ditutup dengan lembaranlembaran ijuk lainnya lalu diikat dengan ijuk (Wahid, 2013). Penutup atap terbuat dari ijuk yang dikaitkan dengan reng yang terbuat dari belahan kayu bambu kecil-kecil yang dihubungkan dengan rusuk-rusuk atap dengan cara diikat dengan tali rotan atau ijuk. Adapun perhitungan keperluan banyaknya ijuk (Wahid, 2013) yaitu :
Berat ijuk penutup atap 2,4 ton untuk setiap rumah
1 rumah memerlukan 20 ikat ijuk
1 ikat memiliki berat 20 kg yang terdiri dari 100 hingga 200 lembar lempengan ijuk. Manurut bentuk atapnya terdapat dua tipologi rumah yaitu rumah biasa
dan rumah Raja Sibayak. Adapun pembagian lainnya yaitu: 1. Rumah dengan atap (tersek) tak bertingkat (Rumah kurung manik)
Universitas Sumatera Utara
31
Gambar 2.14 Rumah Kurung Manik Sumber : Buku Arsitektur dan Sosial Budaya Sumatera Utara
2. Rumah dengan beratap satu tingkat (Sada tersek)
Gambar 2.15 Rumah Sada Tersek Sumber : Buku Arsitektur dan Sosial Budaya Sumatera Utara
3. Rumah dengan atap bertingkat dua dilengkapi dengan menara (anjunganjung) 2.8 Makna Ragam Hias Tradisional Karo Ragam hias yang diterapkan di rumah-rumah arsitektur Karo biasanya bermotif dari tumbuh-tumbuhan, binatang dan alam lainnya. Namun sering terlihat bahwa antara nama dan wujud sebenarnya berbeda, misalnya wujud yang
Universitas Sumatera Utara
32
kelihatan tumbuh-tumbuhan (salur-saluran) namun namanya hubun sikawiten (embun beranak), berupa cosmos. Ragam hias tersebut biasa ditemukan di dapur. Terdapat 5 jenis warna pada ragam hias yang disesuaikan dengan banyak marga di Tanah Karo (marga utama). Adapun makna dari kelima warna tersebut yaitu :
(1) Putih yang artinya berhati bersih/suci, (2) Merah yang artinya
merawa/garang, (3) Hitam yang artinya Si kujuma kurumah/rakyat jelata/awam, (4) Biru yang arinya pendek/orang yang sering berdoa, (5) Kuning yang artinya guru/dukun. Tabel 2.1 Ragam Hias Pada Rumah Tradisional Karo
Gambar
Nama Pengeret-eret
Arti Ornamen Sebagai kekuatan menolak bala, ancaman dari roh jahat
terhadap
penghuni/pemilik
rumah
dan juga sebagai persatuan keluarga.
Ornamen
ini
terbuat dari anyaman ijuk dan
dikaitkan
dinding
depan
dengan rumah
sebagai pengganti paku. Tapak Raja Sulaiman
Nama ornamen diadaptasi dari
nama
dianggap
raja
yang
sakti
dan
dihormati serta ditakuti oleh
roh-roh
sehingga menghindari
jahat dapat
niat
jahat
Universitas Sumatera Utara
33
Gambar
Nama
Arti Ornamen yang datang secara nyata atau tidak nyata. Ornamen ini
memiliki
makna
kekeluargaan
dan
kekuatan. Panai
Sebagai tolak bala pada anak-anak
Tupak Salah Silima- Melambangkan lima
kekeluargaan
merga
silima
sistem
sebagai
sosial masyarakat Karo yang utuh dan dihormati. Kesatuan
dimaknai
sebagai kekuatan karena kekuatan masyarakat Karo pada hakikatnya terletak pada kebersamaan yang dibangun. Kelima merga merupakan merga induk yang diikat oleh struktur sosial dan tak terpisahkan antara satu dengan yang lainnya. Dan ornamen ini sebagai
penolak
bala
terhadap niat jahat dari adanya
keinginan
mengganggu
yang
keutuhan
merga silima.
Universitas Sumatera Utara
34
Gambar
Nama Ornamen Siwaluh
Arti Ornamen Desa Berbentuk seperti
geometris
bintang
dengan
delapan
bagian
yang
berfungsi
sebagai
arah
mata angindan juga dapat menentukan baik
arah
dan
yang buruk.
Kedelapan
mata
yaitu
Purba(timur),
:
angin
Aguni(tenggara), Daksina(selatan), Nariti(barat
daya),
Pustima(barat), Mangabiya(barat
laut),
Utara (utara), Irisen (timur laut). Embun Sikawiten
Sebagai
petunjuk
hubungan
antara
kalimbubu
(awan
tebal
bagian atas) dan anak beru (bayangan awan di bagian bawah).
Sesuai
peranan
dengan
kalimbubu
sebagai pelindung anak beru
dalam
hubungan
sistem
masyarakat
Karo. Bayangan awan di bawah mengikuti
akan bergerak iringan
Universitas Sumatera Utara
35
Gambar
Nama
Arti Ornamen gumpalan awan tebal di atasnya
sesuai
dengan
fungsi kalimbubu. Bindu Matagah
Sebagai
kekuatan batin
agar pemilik rumah tidak diganggu oleh kekuatan jahat. Biasanya terletak pada dinding pemikul. Bindu Matoguh
Berbentuk
menyilam
diagonal. Yang memiliki arti keteguhan masyarakat Karo untuk bertindak adil dan
tidak
melanggar
norma. Indung-indung Simata
Sebagai
hiasan
pada
bangunan gantang beruberu,
cimba
lau,
dan
gantang perburiken. Tulak Paku Petundal
Sebagai penolak niat jahat terhadap penghuni rumah.
Lipan Tongkeh
Nangkih Lipan memanjat tunggul, terbuat dari benang merah di
atas kain
berwarna
gelap
Universitas Sumatera Utara
36
Gambar
Nama Kite-kite Perkis
Arti Ornamen Segala sesuatu yang dapat digunakan
sebagai
jembatan dinamakan kitekite, sedang perkis adalah nama untuk semut Ipen-ipen
Sebagai yang
menolak
bala
diadaptasi
dari
runcingnya segitiga yang seperti gigi. Lukisen Suki
Suki artinya pojok, jadi artinya
lukisan
yang
diletakkan dipojok Bunga Bincole
Bunga Bincole
Pucuk Merbung
Pucuk pakis Aji
Pucuk Tenggiang
Pucuk pakis Aji
Surat Buta
Tujuh huruf dari aksara Karo
yang
dianggap
memiliki kekuatan untuk menangkal roh jahat
Universitas Sumatera Utara
37
Gambar
Nama
Arti Ornamen
Bendi-bendi
Pegangan
pintu
atau
jendela Keret-keret Ketadu
Keret artinya keratin atau potongan
sedangkan
ketadu adalah sejenis ulat hijau Litap-litap Lembu
Pegangan
pintu
atau
pintu
atau
jendela Lukisen Tonggal
Pegangan jendela
Taruk-taruk
Pucuk labu kuning
Kidu-kidu
Jeroan
Lukisan Perdamaiken
Lukisan perdamaian
Lukisan Binara
Burung Binara
adalah
jenis
tanaman yang digunakan sebagai
ramuan
obat,
sedangkan arti keduanya adalah nama seorang dewa yang
menguasai
angin
ribut
Universitas Sumatera Utara
38
Gambar
Nama Tanduk Kerbo Payung
Arti Ornamen Tanduk kerbau
Sumber: Buku Arsitektur dan Sosial Budaya Sumatera Utara
2.9 Desa Lingga Desa Lingga terdapat di Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo. Jarak Desa Lingga dari ibukota Kabupaten Karo yaitu 4,5km. Kecamatan Simpang Empat memiliki luas wilayah 93,48 meter persegi dan memiliki penduduk sebanyak 20.009 orang (website BPS Kabupaten Karo). Desa Lingga memiliki bangunan rumah tradisional Karo berusia 250 tahun yang dikenal dengan nama Rumah Siwaluh Jabu yang dihuni oleh 8 kepala rumah tangga yang hidup berdampingan dalam keadaan damai dan tenteram. Bahan bangunan rumah tradisional Siwaluh Jabu terbuat dari kayu bulat, papan, bambu dan beratap ijuk tanpa menggunakan paku yang dikerjakan oleh tenaga masyarakat pada zaman dulu. Jarak dari Kota Berastagi ke desa Lingga yaitu 15 kilometer yang dapat ditempuh menggunakan kendaraan umum dan kendaraan bus pariwisata.
Universitas Sumatera Utara
39
Gambar 2.16 Rumah Tradisional Karo di Desa Lingga Sumber : Karo.or.id
Desa Lingga terletak pada ketinggian 1200 meter dari permukaan laut.. Jarak Desa Lingga dari ibukota kecamatan Simpang Empat yaitu 5 km. Luas keseluruhan Desa Lingga adalah 16,24 km2. Desa Lingga terletak di dataran rendah yang dikelilingi desa-desa lainnya yang merupakan daerah pertanian. Adapun batas-batas Desa Lingga yaitu :
Sebelah utara berbatasan dengan Desa Surbakti.
Sebelah selatan berbatasan dengan Desa Kacaribu.
Sebelah timur berbatasan dengan Desa Kaban.
Sebelah barat berbatasan dengan Desa Nang Belawan
1. Iklim Desa Lingga yaitu iklim kemarau dan penghujan. 2. Mata pencaharian utama masyarakat Desa Lingga yaitu bertani. 3. Agama pada Desa Lingga terdiri dari Agama Kristen Protestan 55%, Agama Islam 10% dan Agama Katholik 35%.
Universitas Sumatera Utara
40
Gambar 2.17 Desa Lingga Sumber: Website Pariwisata Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
41
2.10 KERANGKA BERPIKIR
LATAR BELAKANG
Desa Lingga dikenal sebagai desa tradisional yang menjadi salah satu objek wisata karena desa-desa tersebut mewakili sejarah dan peradaban budaya Karo. Rumah tradisional Karo terkenal dengan seni arsitekturnya yang khas, gagah dan kokoh dan juga ornamen-ornamen yang kaya akan filosofi mendukung rumah tradisional Karo menjadi salah satu aset budaya yang ada di Indonesia khususnya di Sumatera Utara. Dengan berkembangya zaman, masyarakat pada Desa Lingga sudah tidak banyak yang memiliki bangunan dengan gaya rumah tradisional Karo.
PERUMUSAN MASALAH 1. Bagaimana simbol pada arsitektur bagian dinding rumah tradisional Karo yang ada di Desa Lingga? 2. Bagaimana pengaruh simbol tersebut terhadap masyarakat pada Desa Lingga yang masih mempertahankan rumah tradisional Karo?
TUJUAN PENELITIAN
1. Mengetahui simbol pada arsitektur yang terdapat di dinding rumah tradisional Karo yang ada pada Desa Lingga. 2. Mengetahui pengaruh simbol tersebut terhadap masyarakat pada Desa Lingga yang masih mempertahankan rumah tradisional Karo.
METODOLOGI PENELITIAN 1. Jenis penelitian. 2. Variabel penelitian 3. Sampel penelitian 4. Metoda pengumpulan data 5. Kawasan penelitian 6. Metoda analisis data
HASIL DAN PEMBAHASAN
Universitas Sumatera Utara