BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Perpajakan
2.1.1
Pengertian Perpajakan Pengertian pajak menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 28 Tahun
2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata cara Perpajakan adalah sebagai berikut: “Pajak adalah kontribusi wajib pajak kepada Negara yang terutang oleh orang pribadi, atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Pengertian pajak menurut Soemitro dalam Mardiasmo (2011) adalah sebagai berikut: “Pajak adalah iuran kepada kas Negara berdasarkan Undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal balik (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum”. Beberapa pengertian pajak lainnya yang dikemukakan oleh salah satu ahli yaitu M.J.H. Smeets dalam Erly Suandy (2011) adalah sebagai berikut: “Pajak adalah prestasi kepada pemerintah yang terutang melalui norma-norma umum, dan yang dapat dipaksakan, tanpa ada kalanya kontraprestasi yang dapat ditunjukkan dalam hal yang individual, maksudnya adalah untuk membiayai pengeluaran pemerintah. Menurut Erly Suandy (2011) ciri-ciri pajak yang tersimpul dalam berbagai definisi tersebut adalah sebagai berikut: 15
16
1. Pajak peralihan kekayaan dari orang/badan ke pemerintah. 2. Pajak dipungut berdasarkan/dengan kekuatan undang-undang serta aturan pelaksanaannya, sehingga dapat dipaksakan. 3. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi langsung secara individual yang diberikan oleh pemerintah. 4. Pajak dipungut oleh negara baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. 5. Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang bila dari pemasukannya masih terdapat surplus, dipergunakan untuk membiayai publik investment. 6. Pajak dapat digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu dari pemerintah. 7. Pajak dapat dipungut secara langsung atau tidak langsung. 2.1.2
Fungsi Pajak Sebagaimana telah diketahui ciri-ciri yang melekat pada pengertian pajak dari
berbagai definisi, terlihat adanya dua fungsi pajak menurut Waluyo (2011) yaitu sebagai berikut: 1. Fungsi Penerimaan (Budgeter) 2. Fungsi Mengatur (Regular)
17
Menurut Waluyo (2011) fungsi pajak yang pertama yaitu sebagai Fungsi Penerimaan (Budgeter). Yang dimaksud dengan Fungsi Penerimaan (Budgeter) adalah sebagai berikut: “Penerimaan pajak berfungsi sebagai sumber dana yang diperuntukkan bagi pembiayaan pengeluaran-pengeluaran pemerintah. Sebagai contoh: dimasukkannya pajak dalam APBN sebagai penerimaan dalam negeri”. Sedangkan Fungsi pajak yang kedua menurut Waluyo (2011) yaitu sebagai Fungsi mengatur (Regular). Yang dimaksud dengan Fungsi Mengatur (Regular) adalah sebagai berikut: “Pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan di bidang social dan ekonomi. Sebagai contoh: dikenakannya pajak yang lebih tinggi terhadap minuman keras, dapat ditekan. Demikian pula terhadap barang mewah”.
2.1.3
Jenis Pajak Menurut Waluyo (2011) pajak dapat dikelompokkan ke dalam tiga kelompok,
adalah sebagai berikut: 1. Menurut golongan atau pembebanan, dibagi menjadi berikut ini: a. Pajak langsung, adalah pajak yang pembebananya tidak dapat dilimpahkan pihak lain, tetapi harus menjadi beban langsung Wajib Pajak yang bersangkutan. Contoh: Pajak Penghasilan. b. Pajak tidak langsung, adalah pajak yang pembebanannya dapat dilimpahkan kepada pihak lain. Contoh: Pajak Pertambahan Nilai.
18
2. Menurut sifat Pembagian pajak menurut sifat dimaksudkan pembedaan dan pembagiannya berdasarkan ciri-ciri prinsip adalah sebagai berikut: a. Pajak subjektif, adalah pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya yang selanjutnya dicari syarat objektifnya, dalam arti memperhatikan keadaan dari Wajib Pajak. Contoh: Pajak Penghasilan. b. Pajak objektif, adalah pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada objeknya, tanpa memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak. Contoh: Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. 3. Menurut pemungut dan pengelolanya, adalah sebagai berikut : a. Pajak pusat, adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga Negara. Contoh: Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan, dan Bea Materai. b. Pajak daerah, adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. Contoh: pajak reklame, pajak hiburan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), Pajak Bumi dan Bangunan sector perkotaan dan pedesaan.
19
2.2
Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)
2.2.1 Pengertian Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) adalah nomor yang diberikan kepada wajib pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas wajib pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya (Mardiasmo, 2009:23). Menurut Resmi (2009:26), nomor pokok wajib pajak merupakan suatu sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas wajib pajak. Pengertian nomor pokok wajib pajak (NPWP) menurut Waluyo, (2009:24) adalah: “Nomor yang diberikan Direktur Jenderal Pajak kepada wajib pajak sebagai sarana administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas wajib pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya”. Semua wajib pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan berdasarkan sistem self assessment, wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak untuk dicatat sebagai wajib pajak dan sekaligus untuk mendapatkan nomor pokok wajib pajak (NPWP). Persyaratan objektif adalah persyaratan bagi subjek pajak yang menerima
atau
memperoleh
penghasilan
atau
yang
diwajibkan
untuk
20
pemotongan/pemungutan
sesuai
dengan
ketentuan
Undang-Undang
Pajak
Penghasilan 1984 dan perubahannya (Diana dan Setiawati, 2009:4). 2.2.2 Tata Cara Pendaftaran NPWP Wajib pajak mengisi Formulir Permohonan Pendaftaran Wajib Pajak dan/atau Formulir Permohonan Pengukuhan PKP secara lengkap dan jelas serta ditandatangani oleh wajib pajak atau kuasanya dan menyerahkannya kepada petugas pendaftaran wajib pajak. Jika permohonan ditandatangani oleh orang lain, harus memiliki surat kuasa khusus. Selain mengisi Formulir Pendaftaran, wajib pajak harus menyertakan data pendukung yang perlu, diantaranya sebagai berikut (Tansuria, 2010:3): 1. Untuk Wajib Pajak Orang Pribadi yang menjalankan/tidak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas: Kartu Tanda Penduduk bagi penduduk Indonesia, atau paspor bagi oran asing. 2. Untuk Wajib Pajak Badan a. Akte pendirian dan perubahan atau surat keterangan penunjukan dari kantor pusat bagi Bentuk Usaha Tetap. b. NPWP Pimpinan dan Penanggung Jawab Badan. c. Kartu Tanda Penduduk bagi penduduk Indonesia atau paspor bagi orang asing sebagai penanggung wajib. 3. Untuk Bendahara sebagai Pemungut dan Pemotong:
21
a. Surat penunjukkan sebagai Bendahara. b. Kartu Tanda Penduduk Bendahara. 4. Untuk Joint Operation sebagai Wajib Pajak Pemungut atau Pemotong: a. Perjanjian kerjasama/Akte Pendirian sebagai Joint Operation. b. Kartu Tanda Penduduk bagi penduduk Indonesia , atau paspor bagi orang asing sebagai penanggung jawab. c. NPWP pimpinan/Penanggung Jawab Joint Operation. Bagi pemohon yang berstatus cabang, Wajib Pajak Orang Pribadi pengusaha tertentu atau wanita kawin tidak pisah harta harus memiliki NPWP Kantor Pusat/domisili suami. 2.2.3 Fungsi NPWP Menurut Mardiasmo (2009:22), fungsi Nomor Pokok Wajib Pajak yaitu: 1. Sarana dalam administrasi perpajakan. 2. Tanda pengenal diri atau Identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya. 3. Dicantumkan dalam setiap dokumen perpajakan. 4. Menjaga ketertiban dalam pembayaran pajak dan pengawasan administrasi perpajakan.
22
2.2.4 Format NPWP NPWP terdiri dari 15 digit yaitu 9 digit pertama merupakan kode wajib pajak yang mengindikasikan apakah wajib pajak yang dimaksud adalah orang pribadi atau badan atau pemungut bendaharawan, dan 6 digit berikutnya merupakan kode administrasi perpajakan. Contoh NPWP 08.516.767.0-823.000, dapat dijabarkan sebagai berikutnya (Tansuria, 2010:1): 08
: identitas wajib pajak orang pribadi
516.767
: nomor urut/nomor registrasi
0
: cek digit (sebagai alat pengaman agar tidak terjadi pemalsuan dan kesalahan NPWP
823
: kode KPP (KPP Pratama Bitung)
00
: kode pusat/suami atau cabang/istri
NPWP merupakan identitas yang unik oleh karena kepada setiap wajib pajak harus diberikan satu NPWP dengan demikian dapat menjaga ketertiban dalam proses administrasi perpajakan. 2.2.5 Penghapusan NPWP dan Persyaratannya Penghapusan nomor pokok wajiw pajak dilakukan oleh direktur Jenderal Pajak apabila memenuhi syarat sebagai berikut (Tansuria, 2010:8):
23
1. Wajib pajak sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif, misalnya wajib pajak orang pribadi meninggal dunia dan tidak meninggalkan warisan. 2. Wajib pajak badan dalam rangka likuidasi atau pembubaran karena penghentian atau penggabungan usaha. 3. Wanita yang sebelumnya telah memiliki NPWP dan menikah tanpa membuat perjanjian pemisahan harta dan penghasilan. 4. Wajib pajak bentuk badan usaha tetap yang menghentikan usahanya di Indonesia. 5. Warisan yang belum terbagi dalam kedudukan sebagai Subjek Pajak sudah selesai dibagi. 6. Dianggap perlu oleh Direktur Jenderal Pajak untuk menghapus NPWP dari wajib pajak yang sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. 2.2.6 Sanksi Tidak Mendaftarkan Diri Sanksi bagi seseorang yang diwajibkan memiliki NPWP namun tidak mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP menurut Pasal 39 ayat 1 Undangundang nomor 28 tahun 2007, adalah sebagai berikut:
24
1. Setiap orang yang dengan sengaja: a. Tidak mendaftarkan diri untuk diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak atau tidak melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak b. Menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan pengusaha Kena Pajak c. Tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan d. Menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap e. Menolak untuk dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 f. Memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar, atau tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya g. Tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan di Indonesia, tidak memperhatikan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lain h. Tidak menyimpan buku, catatan, atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau diselenggarakan secara program aplikasi on-line di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (11); atau
25
i. Tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang bayar. 2. Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambahkan 1 (satu) kali menjadi 2 (dua) kali sanksi pidana apabila seseorang melakukan lagi tindak pidana dibidang perpajakan sebelum lewat 1 (satu) tahun, terhitung sejak selesainya menjalani pidana penjara yang dijatuhkan. 3. Setiap orang yang melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, atau menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, dalam rangka mengajukan permohonan restitusi atau melakukan kompensasi pajak atau pengkreditan pajak, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah restitusi yang dimohonkan dan/atau kompensasi atau pengkreditan yang dilakukan dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah restitusi yang dimohonkan dan/atau kompensasi atau pengkreditan yang dilakukan.
26
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 tentang pajak penghasilan Pasal 21 ayat (5a), Pasal 22 ayat (3) dan Pasal 23 ayat (1a) menjelaskan bahwa: 1. Pasal 21 ayat (5a) Pasal ini menyebutkan bahwa pemotongan PPh Pasal 21 harus menerapkan tarif yang lebih tinggi 20% terhadap Wajib Pajak yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dibanding tarif yang ditetapkan terhadap Wajib Pajak yang dapat menunjukkan Nomor Pokok Wajib Pajak. Dan sedikit tambahan Khusus untuk Pasal 21 (imbalan sehubungan dengan pekerjaan), pihak pemberi kerja (swasta, bendaharawan) atau pekerja (karyawan, PNS) akan sama-sama dirugikan kalau ada karyawan yang tidak memiliki NPWP. Oleh karena mekanisme pembayaran pajak Pasal 21 bagi swasta biasanya ditanggung oleh pemberi kerja, sedangkan bagi PNS, khusus denda Pasal 21 akibat tidak punya NPWP, pajaknya akan ditanggung oleh PNS itu sendiri. 2. Pasal 22 ayat (3) Dalam pasal ini disebutkan bahwa pemungut PPh pasal 22 harus menerapkan tarif yang lebih tinggi 100% terhadap Wajib Pajak yang tidak memiliki NPWP dibanding tarif yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang dapat menunjukkan NPWP.
27
3. Pasal 23 ayat (1a) Pasal ini menyebutkan bahwa pemotong PPh pasal 23 harus menerapkan tarif yang lebih tinggi 100% terhadap Wajib Pajak yang tidak memilki NPWP dibanding tarif yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang dapat menunjukkan NPWP. 2.3
Pemeriksaan Pajak
2.3.1 Pengertian Pemeriksaan Pajak Pengertian pemeriksaan menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 dikutip dari Pardiat (2008:11) adalah sebagai berikut: “Pemeriksaan Pajak adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dann profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan”. Menurut Priantara (2000:24), pemeriksaan merupakan interaksi antara pemeriksa dengan wajib pajak. Untuk itu, dibutuhkan sikap positif dari wajib pajak sehingga pelaksanaan pemeriksaan dapat lebih efektif. Sedangkan menurut Pardiat (2008:11) pengertian pemeriksaan pajak adalah menekankan pada pemeriksaan bukti yang berupa buku-buku, dokumen dan catatan yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau
28
untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan. 2.3.2
Unsur-unsur Pemeriksaan Pajak Unsur-unsur pokok dalam pemeriksaan pajak yang dapat diuraikan menurut
Erly Suandy (2011) adalah sebagai berikut: 1. Informasi yang terukur dengan kriteria tetap, yaitu untuk proses pemeriksaan pajak dimulai dengan mencari, menghimpun, dan mengolah informasi yang tertuang dalam Surat Pemberitahuan (SPT) yang diisi oleh Wajib Pajak sesuai dengan system self assessment. Dalam setiap pemeriksaan diperlukan informasi yang dapat dibuktikan dan standar atau kriteria yang dapat dipakai pemeriksa sebagai pegangan untuk melakukan evaluasi terhadap informasi yang diperoleh. 2. Satuan usaha, yaitu setiap akan melakukan pemeriksaan pajak, ruang lingkup pemeriksaan harus dinyatakan secara jelas. Kesatuan usaha dapat berbentuk Wajib Pajak Perorangan atau Wajib Pajak badan. Pada umumnya periode waktu pemeriksaan pajak adalah satu tahun tetapi ada pula pemeriksaan untuk satu bulan, satu kuartal atau beberapa tahun. Hal ini disesuaikan dengan kebutuhan. 3. Mengumpulkan dan mengevaluasi bahan bukti, maksudnya adalah segala informasi yang dipergunakan oleh pemeriksa pajak untuk menentukan
29
informasi terukur yang diperiksa melalui evaluasi agar sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan. 4. Pemeriksa yang kompeten dan independen, yaitu setiap pemeriksa pajakharus memiliki pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang cukup agar dapat memahami kriteria yang dipergunakan. 2.3.3
Tujuan Pemeriksaan Mardiasmo (2011) mengemukakan tujuan pemeriksaan pajak adalah untuk
menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dalam rangka memberikan kepastian hukum, keadilan, dan pembinaan kepada Wajib Pajak, yang dapat dilakukan dalam hal: a. Surat pemberitahuan menunjukkan kelebihan pembayaran pajak, termasuk yang telah diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak. b. Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan menunjukkan rugi. c. Surat Pemberitahuan tidak disampaikan atau disampaikan tidak pada waktu yang telah ditetapkan. d. Surat Pemberitahuan yang memenuhi kriteria seleksi yang ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak. e. Ada indikasi kewajiban perpajakan selain kewajiban Surat Pemberitahuan tidak terpenuhi.
30
2.3.4
Kriteria Pemeriksaan Pajak Terdapat dua kriteria pemeriksaan pajak, yaitu kriteria rutin dan kriteria
khusus. Menurut peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 kriteria pemeriksaan rutin diatur di pasal 4 yaitu terdiri dari: a. Wajib pajak menyampaikan Surat Pemberitahuan yang menyatakan lebih bayar, selain yang mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak; b. Wajib pajak yang telah diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran; c. Wajib pajak menyampaikan Surat Pemberitahuan yang menyatakan rugi; d. Wajib pajak melakukan penggabungan, peleburan, pemekaran likuidasi, pembubaran, atau akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya; e. Wajib pajak melakukan perubahan tahun buku atau metode pembukuan atau karena dilakukannya penilaian kembali aktiva tetap; f. Wajib pajak tidak menyampaikan atau menyampaikan Surat Pemberitahuan tetapi melampaui jangka waktu yang telah ditetapkan dalam surat teguran yang terpilih untuk dilakukan pemeriksaan berdasarkan analisis risiko; atau g. Wajib pajak menyampaikan Surat Pemberitahuan yang terpilih untuk dilakukan pemeriksaan berdasarkan analisis risiko.
31
2.3.5
Prosedur Pemeriksaan Untuk melakukan pemeriksaan pajak menurut Mardiasmo (2011) Petugas
pajak harus melakukan prosedur pemeriksaan sebagai berikut: 1. Petugas pemeriksa harus dilengkapi dengan Surat Perintah Pemeriksaan dan harus memperlihatkan kepada Wajib Pajak yang diperiksa. 2. Wajib pajak yang diperiksa harus: a. Memperlihatkan dan atau meminjamkan buku atau catatan dokumen yang menjadi dasarnya dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak. b. Memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruang yang dipandang perlu dan memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan. c. Memberi keterangan yang diperlukan. 3. Apabila dalam mengungkapkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen serta keterangan yang diminta, Wajib Pajak terikat oleh suatu kewajiban untuk merahasiakan, maka kewajiban merahasiakann itu ditiadakan. 4. Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan penyegelan tempat atau ruangan tertentu, bila Wajib Pajak tidak memenuhi kewajibannya.
32
2.3.6
Jenis-jenis Pemeriksaan Pajak Jenis-jenis
pemeriksaan
pajak
menurut
Erly Suandy (2011)
dapat
dikelompokkan menjadi dua, yaitu sebagai berikut: 1. Pemeriksaan Rutin 2. Pemeriksaan Khusus Berdasarkan jenis-jenis pemeriksaan di atas menurut Suandy (2011) dijelaskan sebagai berikut: 1. Pemeriksaan Rutin, adalah pemeriksaan yang langsung dilakukan oleh unit pemeriksa tanpa harus ada persetujuan terlebih dahulu dari unit atasan, biasanya harus segera dilakukan terhadap: a. Surat Pemberitahuan (SPT) lebih bayar; b. Surat Pemberitahuan (SPT) rugi; c. Surat
Pemberitahuan
(SPT)
yang
menyalahi
penggunan
norma
penghitungan. Batas waktu pemeriksaan rutin lengkap paling lama tiga bulan sejak pemeriksaan dimulai. Sedangkan pemeriksaan lokasi lamanya maksimal 45 hari sejak Wajib Pajak diperiksa. Pemeriksaan rutin terhadap Wajib Pajak yang tahun sebelumnya telah dilakukan pemeriksaan lengkap dua tahun berturut-turut tidak lagi dilakukan pemeriksaan lengkap pada tahun ketiga.
33
2. Pemeriksaan Khusus, dilakukan setelah ada persetujuan atau instruksi dari unit atasan (Direktur Jenderal Pajak atau kepala kantor yang bersangkutan) dalam hal: a. Terdapat bukti bahwa Surat Pemberitahuan (SPT) yang disampaikan oleh Wajib Pajak tidak benar; b. Terdapat indikasi bahwa Wajib Pajak melakukan tindak pidana dibidang perpajakan; c. Sebab-sebab lain berdasarkan instruksi dari Direktur Jenderal Pajak atau kepala kantor wilayah (misalnya ada pengaduan dari masyarakat). 2.3.7
Metode Pemeriksaan Pajak Metode pemeriksaan pajak yang sering digunakan menurut Waluyo (2012)
adalah sebagai berikut: 1. Metode Langsung Metode langsung adalah teknik dan prosedur pemeriksaan dengan melakukan pengujian atas kebenaran angka-angka dalam SPT yang dilakukan langsung terhadap laporan keuangan dan buku-buku, catatan-catatan, serta dokumendokumen pendukungnya sesuai dengan urutan proses pemeriksaan. 2. Metode Tidak Langsung Sedangkan metode tidak langsung adalah teknik dan prosedur pemeriksaan pajak dengan melakukan pengujian atas kebenaran angka-angka dalam SPT.
34
Pendekatan yang dilakukan untuk metode tidak langsung yaitu dengan perhitungan tertentu mengenai penghasilan dan biaya yang meliputi Metode transaksi tunai, metode transaksi bank, metode sumber dan pengadaan dana, metode perbandingan kekayaan bersih, metode perhitungan persentase, metode satuan dan volume, pendekatan produksi, pendekatan laba kotor dan pendekatan biaya hidup. 2.3.8
Jangka Waktu Pelaksanaan Pemeriksaan Jangka waktu pelaksanaan pemeriksaan menurut Waluyo (2012) ditetapkan
sebagai berikut: 1. Pemeriksaan kantor dilakukan dalam jangka waktu paling lama enam bulan yang dihitung sejak tanggal Wajib Pajak datang memenuhi surat penggilan dalam rangka pemeriksaan kantor sampai dengan tanggal laporan hasil pemeriksaan. 2. Pemeriksaan lapangan dilakukan dalam jangka waktu paling lama empat bulan dan dapat diperpanjang menjadi paling lama delapan bulan yang dihitung sejak tanggal surat perintah pemeriksaan sampai dengan tanggal laporan hasil pemeriksaan. 3. Apabila dalam pemeriksaan lapangan ditemukan indikasi transaksi yang terkait dengan transfer pricing dan/atau transaksi khusus lain yang berindikasi adanya rekayasa transaksi keuangan yang memerlukan pengujian yang lebih
35
mendalam serta memerlukan waktu yang lebih lama, pemeriksaan lapangan dilaksanakan dalam jangka waktu paling lama dua tahun. 4. Dalam pemeriksaan dilakukan berdasarkan kriteria pemeriksaan pajak, mengenai pengajuan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak oleh Wajib Pajak, jangka waktu pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada butir 1, 2 dan 3 di atas, harus memperhatikan jangka waktu penyelesaian permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak. 2.3.9
Produk Hukum Pemeriksaan Pajak Produk hukum pemeriksaan pajak menurut Suhartono dan Ilyas (2010) adalah
sebagai berikut: 1. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) Diterbitkan apabila berdasarkan hasil pemeriksaan terdapat pajak yang terutang tidak atau kurang bayar. 2. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) Diterbitkan apabila berdasarkan hasil pemeriksaan jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang telah dibayar lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang. 3. Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN) Diterbitkan apabila berdasarkan hasil pemeriksaan jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar sama dengan jumlah pajak yang terutang, atau
36
pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak atau tidak ada pembayaran pajak. 4. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) Diterbitkan apabila ditemukan data baru yang mengakibatkan penambahan jumlah pajak terutang. Penerbitan SKPKBT dengan syarat sebelumnya telah terbit ketetapan pajak (SKPKB, SKPN, atau SKPLB) untuk tahun atau Masa Pajak yang sama. 5. Surat Tagihan Pajak (STP) Diterbitkan untuk menagih sanksi administrasi berupa denda atau bunga terkait keterlambatan pembayaran atau pelaporan SPT, dan pembuatan Faktur Pajak tidak sesuai ketentuan perpajakan. 2.3.10 Hak dan Kewajiban Wajib Pajak Selama Pemeriksaan Menurut Waluyo (2012) hak dan kewajiban Wajib Pajak selama pemeriksaan adalah sebagai berikut: 1. Hak Wajib Pajak selama proses pemeriksaan ini meliputi: a. Meminta Tanda Pengenal Pemeriksa dan Surat Perintah Pemeriksaan kepada pemeriksaan pajak; b. Meminta Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Pajak; c. Meminta penjelasan maksud dan tujuan pemeriksaan kepada Pemeriksa Pajak;
37
d. Meminta tanda bukti peminjaman bukti-bukti, catatan-catatan, dokumendokumen secara terperinci; e. Meminta rincian dan penjelasan yang berkenaan dengan hal-hal yang berbeda antara hasil pemeriksaan dengan Surat Pemberitahuan (SPT) untuk ditanggapi; f. Memberikan
sanggahan
terhadap
koreksi-koreksi
yang
dilakukan
Pemeriksa Pajak, dengan menunjukkan bukti-bukti yang kuat dan sah dalam rangka closing conference; g. Meminta petunjuk mengenai penyelenggaraan pembukuan atau pencatatan dan petunjuk lainnya mengenai pemenuhan kewajiban perpajakan sehubungan dengan pemeriksaan yang dilakukan dengan tujuan agar penyelenggaraan pembukuan atau pencatatan dan pemenuhan kewajiban perpajakan dalam tahun-tahun selanjutnya dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku; h. Menerima buku-buku, catatan-catatan dan dokumen-dokumen yang dipinjam oleh Pemeriksa Pajak selama proses pemeriksaan secara lengkap paling lama 14 (empat belas) hari sejak selesainya proses pemeriksaan. 2. Kewajiban Wajib Pajak apabila dilakukan pemeriksaan pajak, maka Wajib Pajak wajib untuk: a. Memenuhi panggilan untuk datang menghadiri pemeriksaan kantor sesuai dengan waktu yang ditentukan;
38
b. Memenuhi permintaan peminjaman buku-buku, catatan-catatan, dan dokumen-dokumen yang diperlukan untuk kelancaran pemeriksaan; c. Memberi kesempatan kepada pemeriksa untuk memasuki tempat atau ruangan yang dipandang perlu; d. Memberikan keterangan secara tertulis maupun lisan yang diperlukan oleh Pemeriksa selama proses pemeriksaan; e. Menandatangani surat pernyataan persetujuan apabila Wajib Pajak menyetujui seluruh hasil pemeriksaan; f. Menandatangani Berita Acara Hasil Pemeriksaan, bila Wajib Pajak tidak atau tidak seluruhnya menyetujui hasil pemeriksaan tersebut; g. Menandatangani surat pernyataan penolakan pemeriksaan, apabila Wajib Pajak/wakil/kuasanya menolak membantu kelancaran pemeriksaan; h. Memberi kesempatan kepada pemeriksa untuk melakukan penyegelan tempat atau ruangan tertentu. 2.3.11 Sanksi Terkait Pemeriksaan Pajak UU KUP menegaskan mengenai sanksi perpajakan yang terkait dengan pemeriksaan yang dikutip oleh Suhartono Ilyas (2010) adalah sebagai berikut: 1. Apabila Hasil Pemeriksaan Terdapat Pajak Kurang Dibayar a. Jumlah pajak yang kurang dibayar pajak ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan paling lama
39
24 (dua puluh empat) bulan, dihitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian tahun pajak, atau tahun pajak sampai diterbitkannya SKPKB. b. PPN & PPnBM ternyata tidak seharusnya dikompensasikan selisih lebih pajak atau tidak seharusnya dikenai tarif 0% dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% atas pajak yang tidak atau kurang bayar. 2. Wajib Pajak Tidak Memenuhi Kewajiban Pemeriksaan Sanksi Administrasi Apabila kewajiban pembukuan atau pemeriksaan tidak dipenuhi sehingga tidak dapat diketahui besarnya pajak terutang, atas jumlah pajak dalam SKPKB ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan yaitu: a. 50% untuk PPh Badan dan/atau Orang Pribadi, b. 100% untuk pemotongan dan/atau pemungutan PPh, dan PPN dan PPnBM. Sanksi Pidana Dipidana penjara paling singkat 6 bulan dan paling lama 6 tahun, serta denda paling sedikit 2 kali jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4 kali jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar apabila termasuk kategori tindak pidana perpajakan sesuai Pasal 39 UU KUP.
40
2.4
Penagihan Pajak
2.4.1
Pengertian Penagihan Pajak Pada pasal 1 angka 9 dalam Undang-undang penagihan pajak dengan surat
paksa yang dimaksud dengan penagihan pajak yaitu: “Penagihan pajak adalah serangkaian tindakan agar penanggung pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus memberitahukan surat paksa, mengusulkan pencegahan, melaksankaan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, menjual barang yang telah disita.” Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa adanya surat penagihan untuk memberitahukan agar penanggung pajak melunasi utang dan biaya penagihan pajak dan sekaligus memberitahuan surat paksa mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, dan menjual barang yang telah disita. 2.4.2
Timbulnya Utang Pajak Pengertian utang pajak menurut Pasal 1 ayat (8) tentang Undang-undang
Penagihan Pajak adalah sebagai berikut: "Utang Pajak adalah pajak yang masih harus dibayar termasuk sanksi administrasi berupa bunga, denda, atau kenaikan yang tercantum dalam surat ketetapan pajak atau surat sejinisnya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.” Menurut Siti Resmi (2008) ada dua ajaran yang mengatur timbulnya utang pajak (saat pengakuan adanya utang pajak) yaitu: 1. Ajaran Materiil; dan
41
2. Ajaran Formil. Dari kedua ajaran diatas, Ajaran Materil menyatakan bahwa utang pajak timbul karena diberlakukannya undang-undang perpajakan. Seseorang dikenai pajak karena suatu keadaan atau perbuatan yang dapat menimbulkan utang pajak. Sedangkan Ajaran Formil menyatakan bahwa utang pajak timbul karena dikeluarkannya surat ketetapan pajak oleh fiskus (pemerintah). 2.4.3
Dasar Penagihan Pajak Dasar penagihan pajak menurut Pasal 18 ayat (1) Undang-undang KUP adalah
sebagai berikut: 1. Surat Tagihan Pajak (STP) 2. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) 3. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) 4. Surat Keputusan Pembetulan 5. Surat Keputusan Keberatan 6. Putusan Banding, dan 7. Putusan Peninjauan kembali Dasar penagihan di atas menurut Siti Resmi (2009) dijelaskan sebagai berikut:
42
1. Surat Tagihan Pajak (STP) Surat tagihan pajak adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan atau sanksi administrasi berupa bunga dan atau denda. Surat Tagihan Pajak mempunyai ketetapan hukum yang sama dengan surat ketetapan pajak. 2. Surat Ketetapan Kurang Bayar (SKPKB) Surat Ketetapan Kurang Bayar adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi dan jumlah pajak yang masih harus dibayar. SKPKB hanya dapat diterbitkan terhadap Wajib Pajak yang berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain tidak memenuhi kewajiban formal dan/atau kewajiban material. 3. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan SKPKBT dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak apabila ditemukan data baru yang mengakibatkan penambahan jumlah pajak yang terutang setelah dilakukan tindakan pemeriksaan dalam rangka penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan. 4. Surat Putusan Pembetulan Atas permohonan Wajib Pajak, atau karena jabatannya, Direktur Jenderal Pajak dapat membetulkan Surat Ketetapan Pajak dan Surat Tagihan Pajak yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau
43
kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan. 5. Surat Keputusan Keberatan Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap surat ketetapan pajak atau terhadap pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga yang diajukan oleh Wajib Pajak. 6. Putusan Banding Putusan banding adalah putusan badan peradilan pajak atas banding terhadap Surat Keputusan Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak apabila Wajib Pajak masih belum puas dengan Surat Keberatan yang diajukannya. 7. Putusan Peninjauan Kembali Putusan Peninjauan Kembali adalah putusan Mahkamah Agung atas permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Wajib Pajak atau Direktur Jenderal Pajak terhadap Putusan Banding atau Putusan Gugatan dari badan peradilan pajak, apabila Wajib Pajak masih belum puas dengan Putusan Banding. Berdasarkan dasar penagihan pajak di atas menurut pasal 19 ayat (1) Undangundang KUP dapat dijelaskan sebagai berikut: “Apabila Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, serta Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah, pada saat jatuh tempo pelunasan tidak atau kurang bayar, atas jumlah pajak yang
44
tidak atau kurang dibayar itu dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan untuk seluruh masa, yang dihitung dari tanggal jatuh tempo sampai dengan tanggal pelunasan atau tanggal diterbitkannya Surat Tagihan Pajak”. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa pasal 19 ayat (1) hanya mengatur pengenaan sanksi administrasi berupa bunga berdasarkan jumlah pajak yang masih harus dibayar yang tidak atau kurang dibayar pada saat jatuh tempo pelunasan atau terlambat dibayar. 2.4.4
Penagihan Seketika dan Sekaligus Menurut Mardiasmo (2011) yang dimaksud dengan penagihan seketika dan
sekaligus adalah tindakan penagihan yang dilaksanakan oleh Jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran yang meliputi seluruh utang pajak dari semua pajak, Masa Pajak, dan Tahun Pajak. Penagihan ini dilakukan dalam hal: 1. Penanggung Pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya atau berniat untuk itu; 2. Penanggung Pajak memindahtangankan barang yang dimiliki atau yang dikuasai dalam rangka menghentikan atau mengecilkan kegiatan perusahaan atau pekerjaan yang dilakukan di Indonesia. 3. Terdapat tanda-tanda Penanggung Pajak akan membubarkan badan usahanya, atau
memnggabungkan
usahanya,
atau
memekarkan
usahanya,
45
memindahtangan-kan perusahaan yang dimiliki atau dikuasainya, atau melakukan perubahan bentuk lainnya. 4. Badan usaha akan dibubarkan oleh Negara. 5. Terjadi penyitaan atas barang Penanggung Pajak oleh pihak ketiga atau terdapat tanda-tanda kepailitan. 2.4.5
Tindakan Penagihan Pajak Proses penagihan pajak menurut Suhartono dan Ilyas (2010) adalah sebagai
berikut: Tabel 2.1 Tindakan Penagihan Pajak Urutan 1
2
3
Tahapan kegiatan
Waktu pelaksanaan kegiatan Penerbitan Surat Teguran atau 7 (tujuh) hari sejak Surat Peringatan atau surat saat jatuh tempo lain yang sejenis utang pajak penanggung pajak tidak melunasi utang pajaknya Penerbitan Surat Paksa Sudah lewat 21(dua puluh satu) hari sejak diterbitkannya Surat teguran/surat peringatan dan penanggung pajak tidak melunasi utang pajak Penerbitan surat perintah Setelah lewat 2x24 melaksanakan penyitaan jam Surat Paksa diberitahukan kepada
Dasar hukum Pasal 8 s.d 11 Permenkeu Nomor 24/PMK.03/2008
(pasal 7 UU Nomor 19/2000 dan pasal 15 s.d 23 peraturan menteri keuangan nomor 24/PMK.03/2008
Pasal 12 UU Nomor 19/2000
46
4
Pengumuman lelang
5
Penjualan / pelelangan barang sitaan
2.4.6
penanggung pajak dan utang pajak belum dilunasi Setelah lewat waktu 14 hari sejak tanggal pelaksanaan penyitaan dan penanggung pajak tidak melunasi utang pajak
Pasal 26 peraturan menteri keuangan nomor 24/PMK.03.2008
Pasal 26 UU Nomor 19/2000 dan pasal 28 peraturan menteri keuangan nomor 24/PMK.03.2008
UU Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (PPSP) Menurut Fidel (2010) UU PSP yaitu: 1. Falsafah UU PSP No.19/2000 a. Menampung
perkembangan
sistem
hukum
nasional
perlunya
dipertegaskan perolehan hak karena waris dan hibah wasiat yang merupakan objek pajak. b. Mendorong peningkatan kesadaran dan kepatuhan masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. c. Adanya kepastian hukum dan menegakkan keadilan. 2. Tujuan Perubahan UU PPSP No.19/2000
47
a. Banyaknya tunggakan pajak dari waktu ke waktu menunjukkan jumlah yang semakin besar, untuk itu perlu dilaksanakan tindakan penagihan pajak yang mempunyai kekuatan hukum yang memaksa. b. Kepatuhan Wajib Pajakn dalam membayar pajak merupakan posisi strategis dalam pengingkatan penerimaan pajak. c. Penagihan
pajak
yang
dilakukan
secara
konsisten
dan
berkesinambungan merupakan wujud lawan enfercoment untuk meningkatkan kepatuhan yang menimbulkan aspek psikologis bagi Wajib Pajak. d. Memberikan perlindungan hukum, baik kepada Penanggung Pajak maupun kepada pihak ketiga berupa hak untuk mengajukan gugatan. 3. Hal-hal yang menjadi perhatian pada UU PSP No.19/2000 a. Mempertegaskan proses
pelaksanaan penagihan pajak
dengan
menambahkan ketentuan Penerbitan Surat Teguran, Surat Peringatan dan Surat Lain yang sejenisnya sebelum Surat Paksa dilaksanakan. b. Mempertegaskan jangka waktu pelaksanaan penagihan aktif. c. Mempertegaskan pengertian Penanggung Pajak yang meliputi komisaris, pemegang saham, dan pemilik modal. d. Menaikan nilai peralatan usaha yang dikecualikan dari penyitaan dalam rangka menjaga kelangsungan usaha Penanggung Pajak. e. Menambah jenis barang yang penjualannya dikecualikan dari lelang.
48
f. Mempertegaskan besarnya biaya penagihan pajak, yang didasarkan atas persentase tertentu dari hasil penjualan. g. Mempertegaskan bahwa pengajuan keberatan atau permohonan banding oleh Wajib Pajak tidak menunda pembayaran dan pelaksanaan penagihan pajak. h. Memberi kemudahan pelaksanaan lelang dengan cara memberi batasan nilai barang yang diumumkan tidak melalui media massa dalam rangka efisiensi. i. Memperjelas hak Penanggung Pajak untuk memperoleh ganti rugi dan pemulihan nama baik dalam hal gugatannta dikabulkan. j. Mempertegas pemberian sanksi pidana kepada pihak yang sengaja mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan pelaksanaan penagihan pajak. 2.4.7
Daluwarsa Penagihan Pajak Menurut Pasal 22 ayat (1) Undang-undang KUP menjelaskan bahwa
daluwarsa penagihan ini perlu ditetapkan untuk memberi kepastian hukum kapan Utang Pajak tersebut tidak dapat ditagih lagi. Daluwarsa penagihan pajak 5 (lima) tahun dihitung dejak Surat Tagihan Pajak dan Surat Ketetapan Pajak diterbitkan. Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan pembetulan, keberatan, banding, atau peninjauan kembali, daluwarsa penagihan pajak 5 (lima) tahun dihitung sejak
49
tanggal penerbitan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Peninjauan Kembali. 2.4.8
Tertangguhnya Daluwarsa Penagihan Pajak Menurut Pasal 22 Undang-Undang KUP daluwarsa tertangguh apabila: a. Diterbitkannya Surat Paksa; b. Ada pengakuan Utang Pajak dari Wajib Pajak baik Langsung maupun tidak langsung; c. Diterbitkan SKPKB atau SKPKBT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) dan Pasal 15 ayat (4); atau d. Dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.
2.5
Penerimaan Pajak Peran penerimaan pajak sangat penting bagi kemandirian pembangunan,
karena pajak merupakan salah satu sumber penerimaan Negara dari dalam negeri yang paling utama selain dari minyak dan gas bumi untuk mendanai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Jika dilihat dari sisi ekonomi, penerimaan dari sektor pajak merupakan penerimaan Negara yang potensial, karena melalui pajak pemerintah dapat membiayai sarana dan prasarana publik diseluruh sektor kehidupan, seperti sarana transportasi, air, listrik, pendidikan, kesehatan, keamanan, komunikasi, sosial dan berbagai fasilitas lainnya yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pembangunan.
50
Peningkatan penerimaan pajak memegang peranan strategis karena akan meningkatkan kemandirian pembiayaan pemerintah. Berbagai kebijakan pemerintah untuk meningkatkan penerimaan negara dari sektor pajak terus digulirkan. Salah satu langkah yang dilakukan dalam meningkatkan penerimaan pajak yaitu dengan diberlakukannya kewajiban kepemilikan NPWP bagi wajib pajak. Semua wajib pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan berdasarkan sistem self assessment, wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak untuk dicatat sebagai wajib pajak dan sekaligus untuk mendapatkan NPWP. Kerjasama fiskus dan wajib pajak diperlukan pula dalam meningkatkan penerimaan pajak dimasa depan (Gisijanto, 2008). 2.6
Penelitian Terdahulu
Peneliti (tahun) Bambang Sujatmiko (2011)
Tabel 2.2 Tabel Penelitian Terdahulu Judul Metode Penelitian Penelitian Persamaan Perbedaan Kewajiban Variabel: Variabel: Pemilikan Kewajiban Pemeriksaan Nomor Pokok Pemilikan pajak, Wajib Pajak Nomor Pokok Penagihan dalam Wajib Pajak Pajak, dan Pengalihan Penerimaan Hak atas Pajak Tanah Ruang dan/atau lingkup Bangunan penelitian ini (Tinjauan dilakukan terhadap Pada Peraturan KPP Pratama Direktur Majalaya
Hasil Penelitian (kesimpulan) Kewajiban pemilikan nomor pokok wajib pajak masih diberlakukan dan tetap didata oleh Direktorat Jenderal Pajak yaitu pada Kantor Pajak Pratama Pangkalan Bun, selanjutnya berdasarkan hasil
51
Jenderal Pajak Nomor 35/PJ/2008)
Marisa Herryanto dan Agus Arianto Toly (2013)
Pengaruh kesadaran wajib pajak, kegiatan sosialisasi, dan pemeriksaan pajak terhadap penerimaan pajak penghasilan di KPP Pratama Surabaya Sawahan
Bandung sedangkan ruang lingkup jurnal ini pada KPP Pratama Pangkalan Bun
Variabel: Pemeriksaan Pajak dan Penerimaan Pajak Metode: Analisis regresi berganda
interview, penulis dengan masyarakat dan/atau wajib pajak yang melakukan perbuatan hukum dalam jual beli yang dibuat dihadapan Eko Soemarno, Sarjana Hukum, Pejabat Pembuat Akta Tanah. Variabel: Hasil penelitian Kewajiban ini membuktikan Kepemilikan bahwa variabel NPWP dan kesadaran wajib Penagihan pajak, kegiatan Pajak sosialisasi perpajakan, dan Ruang pemeriksaan lingkup pajak secara penelitian ini bersamasama dilakukan berpengaruh Pada terhadap KPP Pratama penerimaan pajak Majalaya penghasilan di Bandung KPP Pratama sedangkan Surabaya ruang lingkup Sawahan. jurnal ini Pengujian secara pada KPP parsial Pratama menyimpulkan Surabaya bahwa kesadaran Sawahan wajib pajak berpengaruh positif, sedangkan kegiatan sosialisasi tidak berpengaruh, dan
52
Ellya Florentin Listyaningtya s (2012)
Efektivitas Pelaksanaan Pemeriksaan Dalam Rangka Meningkatka n Penerimaan Negara dari Sektor Pajak (Studi kasus di KPP Tulungagung)
Variabel: Efektivitas Pelaksanaan Pemeriksaan Pajak dan Penerimaan Pajak
Sukirman
Pengaruh
Variabel:
pemeriksaan pajak berpengaruh positif terhadap penerimaan pajak pengahsilan di KPP Pratama Surabaya Sawahan. Variabel: Efektivitas dari Kewajiban segi penyelesaian Kepemilikan yang dihitung NPWP dan berdasarkan pada Penagihan penerbitan Pajak dan realisasi Surat Perintah Ruang Pemeriksaan lingkup Pajak (SP3) 2009penelitian ini 2010 dilakukan termasuk dalam Pada kriteria efektif, KPP Pratama persentase sebesar Majalaya 100%, sedangkan Bandung 2011 cukup sedangkan efektif persentase ruang lingkup sebesar jurnal ini 85,71%. pada KPP Efektivitas dari Tulungagung segi penyelesaian atas hasil pemeriksaan yang dihitung berdasarkan target dan realisasi ketetapan pemeriksaan, 2009-2011 sangat efektif yaitu masingmasing 110,03%, 104,35%, dan 105,02%. Variabel: Dari variabel
53
(2011)
Titin Vegirawati (2011)
Manajemen Pemeriksaan Pajak terhadap Penerimaan Pajak (Studi kasus di KPP Semarang Timur)
Pemeriksaan Pajak dan Penerimaan Pajak
Hubungan antara Penerbitan Surat Tagihan Pajak dengan Penerimaan Pajak Pada KPP Pratama Ilir Timur Palembang
Variabel: Penagihan pajak dan penerimaan Pajak
Kewajiban Kepemilikan NPWP dan Penagihan Pajak
Data di analisis dengan uji Ruang normalitas lingkup penelitian ini dilakukan Pada KPP Pratama Majalaya Bandung sedangkan ruang lingkup jurnal ini pada KPP Semarang Timur
Variabel: Kewajiban Kepemilikan NPWP, pemeriksaan pajak. Ruang lingkup penelitian ini dilakukan Pada KPP Pratama Majalaya Bandung sedangkan ruang lingkup jurnal ini pada KPP
yang diamati ternyata pemeriksaan pajak secara nominal berpengaruh secara signifikan terhadap Penerimaan Pajak di KPP Semarang Timur.
Korelasi jumlah penerbitan STP Dengan Penerimaan Pajak mempunyai korelasi yang signifikan
54
Zakiah M Syahab dan Hantoro Arief Gisijanto (2008)
Deddy Arif Setiawan (2007)
Pengaruh Penagihan Pajak dan Surat Paksa Pajak Terhadap Penerimaan Pajak Penghasilan Badan”
Penagihan Pajak dan Penerimaan Pajak
Analisis Hubungan antara Ekstensifikasi Wajib Pajak dan Surat Setoran Pajak Dengan Penerimaan Pajak (Studi kasus: di KPP Jakarta Palmerah)
Variabel: Penerimaan pajak
Metode: Analisis regresi Berganda
Metode: Uji normalitas
Pratama Ilir Timur Palembang Variabel: Kewajiban Kepemilikan NPWP, Pemeriksaan Pajak Metode Penelitian ini menggunaka n Data sekunder di KPP Majalaya Bandung sedangkan jurnal ini menggunaka n metode survey di KPP Pratama DKI Jakarta Pusat Variabel: Kewajiban kepemilikan NPWP, Pemeriksaan pajak, dan Penagihan Pajak Ruang lingkup Peneliti dilakukan Pada KPP
Dari ketiga variabel yang diamati ternyata Penagihan Pajak dan Surat Paksa Pajak kedua variabel tersebut berpengaruh secara signifikan terhadap Penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) Badan di KPP Pratama Kanwil DJP Jakarta Pusat
H0 ditolak, artinya jumlah wajib pajak berpengaruh terhadap penerimaan pajak. H0 ditolak, artinya jumlah Surat Setoran Pajak memiliki pengaruh Terhadap penerimaan pajak
55
Sony Junaidy dan Amelia Sandra (2009)
Evaluasi proses pelaksanaan penagihan pajak dalam rangka pengamanan penerimaan pajak (Studi kasus: di KPP Jakarta XYZ)
Variabel: Penagihan pajak dan penerimaan Pajak Pengumpulan data mengunakan data sekunder
Pratama Majalaya Bandung Sedangkan jurnal ini pada KPP Jakarta Palmerah Variabel: Kewajiban kepemilikan NPWP dan pemeriksaan pajak. Ruang lingkup peneliti dilakukan Pada KPP Pratama Majalaya Bandung sedangkan jurnal pada KPP Pratama XYZ
Penagihan tunggakan pajak oleh KPP Pratama telah sesuai dengan ketentuan perundangundangan perpajakan. Penerimaan pelunasantunggak an pajak yang diperoleh KPP Pratama Jakarta XYZ tidak mencapai target dikarenakan masih sangat rendahnya kepatuhan wajib pajak untuk membayar atau melunasi tunggakan pajaknya, artinya wajib pajak baru akan melunasi tunggakan pajak setelah adanya penagihan aktif dari KPP Pratama Jakarta XYZ.
56
2.7
Kerangka Pemikiran
2.7.1
Pengaruh kewajiban kepemilikan NPWP terhadap penerimaan pajak Penelitian yang dilakukan oleh Setyawan (2007) dan Sujatmiko (2011)
menyatakan bahwa kepemilikan NPWP berhubungan positif terhadap penerimaan pajak. Nomor pokok wajib pajak (NPWP) merupakan nomor yang diberikan kepada wajib pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas wajib pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya. Menurut Setiawan (2007), pengesahan pemberian NPWP dilakukan dengan pemberian Surat Keterangan Terdaftar. Surat tersebut menginformasikan pemenuhan kewajiban perpajakan setiap wajib pajak. Berdasarkan hasil penelitian petugas Seksi Tata Usaha Perpajakan, kewajiban perpajakan tersebut diisi dan harus dilaknakan oleh setiap wajib pajak. Pengisian kewajiban perpajakan harus didasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku, sehingga pelaksanaan atas kewajiban perpajakan oleh setiap wajib pajak dapat mengamankan penerimaan pajak. Semakin banyak yang diisi kewajiban perpajakan oleh petugas secara benar dan tepat maka penerimaan pajak dapat meningkat. 2.7.2
Pengaruh pemeriksaan pajak terhadap penerimaan pajak Pemeriksaan pajak merupakan serangkaian kegiatan menghimpun dan
mengolah data, keterangan dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka
57
melaksanakan ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan. Sebagaimana penelitian yang telah dilakukan oleh Sukirman (2011) bahwa pemeriksaan pajak secara nominal telah meningkatkan penerimaan pajak dan menurut penelitian Herryanto dan Agus Arianto Toly (2013) dengan judul “pengaruh kesadaran wajib pajak, kegiatan sosialisasi perpajakan dan pemeriksaan pajak terhadap penerimaan pajak penghasilan di KPP Pratama Surabaya Sawahan” menunjukkan bahwa variabel pemeriksaan pajak memiliki nilai signifikan t sebesar 0,023. Angka tersebut lebih kecil dari 0,05 sehingga terdapat pengaruh dari pemeriksaan pajak terhadap penerimaan pajak. Penelitian yang dilakukan Listyaningsih (2012), efektivitas dari segi penyelesaian yang dihitung berdasarkan pada penerbitan dan realisasi Surat Perintah Pemeriksaan Pajak (SP3) 2009-2010 termasuk dalam kriteria efektif, persentase sebesar 100%, sedangkan 2011 cukup efektif persentase sebesar 85,71%. Efektivitas dari segi penyelesaian atas hasil pemeriksaan yang dihitung berdasarkan target dan realisasi ketetapan pemeriksaan, 2009-2011 sangat efektif yaitu masingmasing 110,03%, 104,35%, dan 105,02%. Dari semua data baik efektivitas dari segi penyelesaian yang dihitung berdasarkan pada penerbitan dan realisasi Surat Perintah Pemeriksaan Pajak (SP3) maupun efektivitas dari segi penyelesaian penerimaan atas hasil pemeriksaan yang dihitung berdasarkan target dan realisasi ketetapan pemeriksaan semuanya benarbenar dituntaskan dengan baik. Hasil realisasinya pun melebihi dari apa yang ditargetkan oleh KPP. Pemeriksaan pajak perlu dilakukan untuk mendeteksi adanya kecurangan yang dilakukan oleh wajib pajak dan juga mendorong mereka untuk membayar pajak dengan jujur sesuai ketentuan yang
58
berlaku. Dalam penelitian yang dilakukan Sutanto (2009) juga disimpulkan bahwa pemeriksaan pajak berpengaruh terhadap penerimaan pajak di KPP Mataram, yang dapat dilihat dari meningkatnya jumlah penerimaan PPh di tahun berikutnya setelah SKPKB dikeluarkan. 2.7.3
Pengaruh penagihan pajak terhadap penerimaan pajak Di dalam penelitian yang dilakukan oleh Vegirawati (2011) menyatakan
bahwa korelasi jumlah penerbitan STP dengan Penerimaan Pajak mempunyai korelasi yang signifikan dan Gisijanto (2008) menyatakan bahwa penagihan pajak dengan surat paksa berpengaruh secara signifikan terhadap penerimaan pajak, yang menunjukkan bahwa jumlah penerimaan pajak penghasilan (PPh) Badan di KPP Pratama Kanwil DJP Jakarta Pusat terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Namun Peningkatan tersebut belum dicapai secara optimal, hal ini terlihat dari realisasi dibandingkan target penerimaan pajak penghasilan badan, adapun variabel yang paling besar memberikan kontribusi pengaruh terbesar terhadap penerimaan PPh Badan adalah penagihan pajak. Penagihan pajak merupakan serangkaian tindakan agar penanggung pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus memberitahukan surat paksa, mengusulkan pencegahan, melaksankaan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, menjual barang yang telah disita. Penelitian yang dilakukan Ginting (2006) menyatakan wajib pajak lebih banyak melunasi utang pajaknya setelah
59
diberikan Surat Teguran yaitu 95% dan sebagian lagi melunasinya setelah diterbitkan Surat Paksa.
2.7.4
Pengaruh kewajiban kepemilikan NPWP, pemeriksaan pajak dan penagihan pajak terhadap penerimaan pajak. Penelitian yang dilakukan oleh Setyawan (2007) dan Sujatmiko (2011)
menyatakan bahwa kepemilikan NPWP berhubungan positif terhadap penerimaan pajak. Dalam penelitian yang dilakukan Sutanto (2009) juga disimpulkan bahwa pemeriksaan pajak berpengaruh terhadap penerimaan pajak di KPP Mataram, yang dapat dilihat dari meningkatnya jumlah penerimaan PPh di tahun berikutnya setelah SKPKB dikeluarkan. Penelitian yang dilakukan Ginting (2006) menyatakan wajib pajak lebih banyak melunasi utang pajaknya setelah diberikan Surat Teguran yaitu 95% dan sebagian lagi melunasinya setelah diterbitkan Surat Paksa. Berdasarkan penelitian diatas maka dapat disimpulkan bahwa kewajiban kepemilikan NPWP, pemeriksaan pajak dan penagihan pajak berpengaruh positif secara simultan terhadap penerimaan pajak. Berdasarkan pemaparan di atas, struktur hubungan antara variabel independen dan variabel dependen adalah sebagai berikut:
60
Kewajiban Kepemilikan NPWP (X1) Pemeriksaan Pajak (X2)
Penerimaan Pajak (Y)
Penagihan Pajak (X3)
Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran Keterangan : Parsial Simultan
2.8
Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, maka penulis mengajukan hipotesis sebagai berikut : Hipotesis 1 HO1:
Tidak terdapat pengaruh signifikan secara parsial dari Kewajiban kepemilikan NPWP terhadap Penerimaan pajak.
61
Ha1:
Terdapat pengaruh yang signifikan secara parsial dari Kewajiban kepemilikan NPWP terhadap Penerimaan pajak.
Hipotesis 2 HO2:
Tidak terdapat pengaruh signifikan secara parsial dari Pemeriksaan pajak terhadap Penerimaan pajak.
Ha2:
Terdapat pengaruh yang signfikan secara parsial dari Pemeriksaan pajak terhadap penerimaan pajak.
Hipotesis 3 HO3:
Tidak terdapat pengaruh yang signifikan secara parsial dari penagihan pajak terhadap penerimaan pajak.
Ha3:
Terdapat pengaruh yang signifikan secara parsial dari penagihan pajak terhadap penerimaan pajak.
Hipotesis 4 HO4:
Tidak terdapat pengaruh yang signifikan secara simultan dari kewajiban kepemilikan NPWP, pemeriksaan pajak dan penagihan pajak terhadap penerimaan pajak.
62
Ha4:
Terdapat pengaruh yang signifikan secara simultan dari kewajiban kepemilikan NPWP, pemeriksaan pajak dan penagihan pajak terhadap penerimaan pajak.