BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Insektisida Dalam Peraturan Pemerintah nomor 7 tahun 1973 tentang Pengawasan atas Peredaran, Penyimpanan dan Penggunaan Insektisida, insektisida adalah semua zat kimia dan bahan lain serta jasad renik, serta virus yang dipergunakan untuk memberantas atau mencegah binatang-binatang yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia (Anonim, 2012:3). Aplikasi pengendalian vektor penyakit secara umum dikenal dua jenis insektisida yang bersifat kontak/non-residual dan insektisida residual. Insektisida kontak/non-residual merupakan insektisida yang langsung berkontak dengan tubuh serangga saat diaplikasikan. Aplikasi kontak langsung dapat berupa penyemprotan udara (space spray) seperti pengkabutan panas (thermal fogging), dan pengkabutan dingin(cold fogging) / ultra low volume (ULV). Insektisida residual adalah Insektisida yang diaplikasikan pada permukaan suatu tempat dengan harapan apabila serangga melewati/hinggap pada permukaan tersebut akan terpapar dan akhirnya mati (Anonim, 2012:3). Cara kerja Insektisida dalam tubuh serangga dikenal istilah mode of action dan cara masuk atau mode of entry. Mode of action adalah cara Insektisida memberikan pengaruh melalui titik tangkap (target site) di dalam tubuh serangga. Cara kerja Insektisida yang digunakan dalam pengendalian vektor terbagi dalam 5 kelompok yaitu: 1). Mempengaruhi sistem saraf,
8
2). Menghambat produksi energi, 3). Mempengaruhi sistem endokrin, 4). Menghambat produksi kutikula dan 5). Menghambat keseimbangan air. Mode of entry adalah cara insektisida masuk ke dalam tubuh serangga, dapat melalui kutikula (racun kontak), alat pencernaan (racun perut), atau lubang pernafasan (racun pernafasan). Meskipun demikian suatu insektisida dapat mempunyai satu atau lebih cara masuk ke dalam tubuh serangga (Anonim, 2012:3-4). B. Bioinsektisida Hutan tropis basah yang diperkirakan menyimpan jenis-jenis tumbuhan yang memiliki bioaktivitas. Hutan tropis merupakan sumber hayati yang kaya berbagai spesies tumbuh-tumbuhan. Bioinsektisida memiliki kelebihan tertentu yang tidak dimiliki oleh insektisida sintetik. Di alam, insektisida tumbuhan memiliki sifat yang tidak stabil sehingga memungkinkan dapat didegradasi secara alami (Arnason et al., 1993; Isman, 1995). Selain dampak negatif yang ditimbulkan pestisida sintetik seperti resistensi dan terbunuhnya hama bukan sasaran dewasa ini harga pestisida sintetik relatif mahal dan terkadang sulit untuk memperolehnya. Di sisi lain ketergantungan petani akan penggunaan insektisida cukup tinggi. Hal ini menyebabkan orang terus mencari pestisida yang aman atau sedikit membahayakan lingkungan serta mudah memperolehnya. Alternatif yang bisa dikerjakan di antaranya adalah memanfaatkan tumbuhan yang memiliki khasiat
9
insektisida. Laporan dari berbagai propinsi di Indonesia menyebutkan lebih 40 jenis tumbuhan berpotensi sebagai bioinsektisida (Direktorat BPTP & Ditjenbun, 1994). Hamid & Nuryani (1992) mencatat di Indonesia terdapat 50 famili tumbuhan penghasil racun. Famili tumbuhan yang dianggap merupakan sumber potensial insektisida nabati adalah Meliaceae, Annonaceae, Asteraceae, Piperaceae dan Rutaceae, namun hal ini tidak menutup kemungkinan untuk ditemukannya famili tumbuhan yang baru. Didasari oleh banyaknya jenis tumbuhan yang memiliki khasiat insektisida maka penggalian potensi tanaman sebagai sumber insektisida tumbuhan sebagai alternatif pengendalian hama tanaman cukup tepat. Alam sebenarnya telah menyediakan bahan-bahan alami yang dapat dimanfaatkan untuk menanggulangi serangan hama dan penyakit tanaman. Tetapi memiliki kekurangan dan kelebihan yaitu: Kelebihan: 1. Degradasi/penguraian yang cepat oleh sinar matahari. 2. Memiliki pengaruh yang cepat, yaitu menghentikan napsu makan serangga walaupun jarang menyebabkan kematian. 3. Toksisitasnya umumnya rendah terhadap hewan dan relatif lebih aman pada manusia dan lingkungan. 4. Memiliki spektrum pengendalian yang luas (racun lambung dan syaraf).
10
5. Dapat diandalkan untuk mengatasi OPT (Organisme Penganggu Tanaman) yang telah kebal pada pestisida sintetik. 6. Phitotoksitas rendah, yaitu tidak meracuni dan merusak tanaman. 7. Murah dan mudah dibuat oleh petani. Kelemahannya: 1. Capat terurai dan kerjanya relatif lambat sehingga aplikasinya harus lebih sering. 2. Daya racunnya rendah (tidak langsung mematikan serangga). 3. Produksinya belum dapat dilakukan dalam jumlah besar karena keterbatasan bahan baku. 4. Kurang praktis. 5. Tidak tahan disimpan. (Sinaga, 2009:15) Setiap tanaman mengandung zat metabolit sekunder dengan konsentrasi berbeda-beda, bahwa semakin tinggi konsentrasi, maka jumlah zat metabolit sekunder yang mengenai kulit semakin banyak, sehingga dapat menghambat pertumbuhan dan menyebabkan kematian serangga lebih banyak. (Sutoyo, 1997; Sinaga, 2009:16). Bioinsektisida memiliki beberapa fungsi, antara lain: repelan, yaitu menolak kehadiran serangga. Misal: dengan bau yang menyengat. Antifeedant, mencegah serangga memakan tanaman yang telah disemprot, merusak perkembangan telur, larva dan pupa, menghambat reproduksi serangga betina, racun syaraf, mengacaukan sistem hormon di dalam tubuh serangga (Sinaga, 2009:17).
11
Hasil studi etnobotani pemanfaatan tumbuhan sebagai pestisida di daerah hutan penyangga Taman Nasional Bukit Baka - Bukit Raya (Kabupaten Sintang) dan Taman Nasional Gunung Palong (Kabupaten Ketapang) mengungkapkan bahwa tidak kurang dari 53 jenis tumbuhan pernah dimanfaatkan petani dan masyarakat setempat sebagai pestisida. Jumlah jenis tumbuhan ini tentunya akan bertambah bila dilakukan studi etnobotani pada kabupaten-kabupaten lainnya. Dari sejumlah tanaman yang digunakan sebagai pestisida, 19 jenis tumbuhan digunakan petani sebagai insektisida, sedangkan sisanya digunakan sebagai racun hewan lainnya. Jenis tumbuhan yang pernah dimanfaatkan sebagai insektisida tumbuhan pada suatu tempat dengan tempat lainnya sangat beragam, sedangkan cara pemanfaatannya umumnya relatif hampir sama. Umumnya terdapat beberapa cara yang biasa dilakukan petani, antara lain dengan : 1. Penyemprotan cairan perasan tumbuhan, 2. Penyebaran atau penempatan/ penanaman bagian tumbuhan di sudut-sudut tertentu pada lahan pertanaman, 3. Pengasapan (pembakaran bagian tanaman yang mengandung bahan insektisida), 4. Penggunaan bagian tumbuhan untuk pengendalian hama di penyimpanan.
12
C. Mekanisme Kerja Insektisida Menurut cara kerjanya pada tanaman setelah diaplikasikan, insektisida secara kasar dibedakan menjadi tiga macam sebagai berikut. a. Insektisida Sistemik Insektisida sistemik diserap oleh organ-organ tanaman, baik lewat akar, batang atau daun. Selanjutnya, insektisida sistemik tersebut mengikuti gerakan cairan tanaman dan ditransportasikan ke bagian-bagian tanaman lainnya. Contoh insektisida sistemik adalah furatiokarb, fosfamidon, isolan, karbofuran, dan monokrotofos (Djojosumarto,2000 :41). b. Insektisida Nonsistemik Insektisida nonsistemik satelah diaplikasikan pada tanaman sasaran tidak diserap oleh jaringan tanaman, tetapi hanya menempel di bagian luar tanaman (Djojosumarto,2000:42). c. Insektisida Sistemik Lokal Insektisida sistemik lokal adalah kelompok insektisida yang dapat diserap oleh jaringan tanaman (umumnya daun), tetapi tidak ditranslokasikan ke bagian tanaman lainnya (Djojosumarto, 2000:42). D. Cara Masuk Insektisida Menurut cara masuk insektisida ke dalam tubuh serangga sasaran dibedakan menjadi tiga kelompok insektisida sebagai berikut. 1. Racun lambung (Racun Perut, Stomach Poison) Racun lambung (Racun Perut, Stomach Poison) adalah insektisidainsektisida yang membunuh serangga sasaran bila insektisida tersebut masuk
13
ke dalam organ pencernaan serangga dan diserap oleh dinding saluran pencernaan. Selanjutnya, insektisida tersebut dibawa oleh cairan tubuh serangga ke tempat sasaran yang mematikan (misalnya ke susunan syaraf pusat serangga) (Djojosumarto, 2000:42). Oleh karena itu serangga harus memakan tanaman yang terlebih dahulu disemprot menggunakan insektisida dalam jumlah yang cukup untuk membunuhnya. Insektisida yang benar-benar murni racun perut tidak terlalu banyak. Kebanyakan insektisida memiliki efek ganda, yaitu racun perut dan racun kontak. 2. Racun kontak Racun kontak merupakan insektisida yang mampu masuk kedalam tubuh serangga melalui kulit, serangga kemudian akan mati apabila bersinggungan dengan insektisida tersebut. Kebanyakan racun kontak juga berperan sebagai racun perut. Beberapa insektisida yang memiliki sifat racun kontaknya kuat adalah diklorfos dan pirimifos metil (Djojosumarto, 2000:43). 3. Racun pernapasan Merupakan insektisida yang bekerja lewati saluan pernapasan. Serangga hama akan mati apabila menghirup insektisida dalam jumlah yang cukup. Kebanyakan racun napas berupa gas, misalnya metil bromide, alumunium fosfida, (Djojosumarto, 2000:43). Berikut adalah bagan cara kerja insektisida.
14
Nonsistemik
Cara kerja pada tanaman
Sistemik
Sistemik lokal INSEKTISIDA
Racun perut
Cara masuk ke dalam tubuh
Racun kontak
Racun pernapasan
Gambar 1. Cara Kerja Insektisida (Djojosumarto,2000:45) E. Tanaman Mara Tunggal 1. Taksonomi Tanaman mara tunggal, atau disebut juga dengan nama daerah Sicerek atau juga Tikusan. Memiliki klasifikasi sebagai berikut (Asmaliyah, 2010). Divisi
: Spermatophyta
Sub divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledonae
Bangsa
: Rutales
Suku
: Rutaceae
Marga
: Clausena
Jenis
: Clausena excavata Burm F
15
2. Morfologi dan Ekologi Tanaman dengan nama spesies Clausena excavata Burm F, memiliki nama umum Tikusan (Jawa Tengah), mara tunggal (Jawa Tengah), Temung (Aceh), Ki Bajetah (Sunda) dan juga Sicerek (Minangkabau). Pohon mara tunggal merupakan pohon tahunan dengan tinggi antara 2 hingga 3 meter. Batang tanaman berbetuk bulat, bercabang, berkayu dengan warna hijau kotor. Daun tanaman ini merupakan daun majemuk, menyirip ganjil, berseling, bulat telur, ujungnya runcing, tepi rata, pangkal membulat, pertulangan menyirip panjang 4-7,5 cm, lebar 2-4 cm, tangkai pendek, permukaan daun berbulu halus, hijau. Bunga tanaman Clausena excavata Burm F, majemuk, bentuk malai, di ketiak daun dan di ujung batang, berbulu, panjang ±10 cm, kelopak bunga berbulu, berlekalan, ujung bertajuk, hijau, mahkota lepas, bentuk pita, warna putih, dengan tangkai benangsari warna putih. Kepala sari kuning keputih-putihan, tangkai putik hijau kekuningan, kepala putik berwarna ungu (Asmaliyah, 2010). Buahnya buni, berbentuk bulat dengan diameter + 1 cm, saat masih muda berwarna hijau muda, setelah tua berwarna jingga. Biji dari buah ini berbentuk bulat telur dengan diameter + 5 mm, warna hijau bergaris putih. Memiliki akar tunggang. Berikut gambar tanaman mara tunggal.
16
Gambar 2. Tanaman Mara Tunggal (Clausena excavata Burm F) Sumber: Ismail Adam Arbab dkk. 2011 3. Kandungan Kimia Tanaman Mara Tunggal Pengekstrakan tanaman daun Clausena excavata Burm F, telah menghasilkan Koumarin dengan nama clauslactone-R, Clauslacton-B, dan scopoletin. Juga jenis triterpena yaitu friedelin, stigmasterol, bsitosterol, 5-gluten-3, dan karbazole alkaloids. Selain itu dalam minyak daun ekstrak Clausena excavata, mengandung aktivitas larvasidal, antimicrobial, antifungi dan sitotoksisk. Komponen didalamnya adalah elemicin (65,02 %) dan methyl eugenol (12,95 %) sebagai kandungan utamanya.
Komponen minor lainnya adalah linalool, safrol,
terpinolena, a-humulena, a-terpinena dan b-elemena. (Lim Gin Keat, 2005:5-6). Selain itu juga mengandung saponin, flavanoida dan tannin. Menurut Utami dkk (2007:210), penelitian yang dilakukannya menggunakan ekstrak kering daun mara tunggal (Clausena excavata Burm F.) terhadap mortalitas hama Spodoptera litura, berhasil
17
mematikan 92 % larva, pada konsentrasi 100 % sehingga larva gagal terbentuk pupa. Dalam ekstrak daun mara tunggal terdapat tannin, yaitu senyawa polifenol yang dapat membentuk senyawa kompleks dengan protein. Tannin tidak dapat dicerna lambung dan mempunyai daya ikat dengan protein, karbohidrat, vitamin dan mineral (Ridwan, 2010; Permana, 2016:6). Menurut Yunita dkk (2009) tanin dapat mengganggu serangga dalam mencerna makanan karena tannin akan mengikat protein dalam sistem pencernaan yang diperlukan serangga untuk pertumbuhan sehingga diperkirakan proses pencernaan larva menjadi terganggu akibat zat tanin tersebut. Selain itu tannin memilik rasa yang pahit sehingga dapat menghambat aktivitas makan serangga. Menurut Sinaga (2009:17), bioinsektisida memiliki beberapa fungsi, antara lain : repelan, yaitu menolak kehadiran serangga. Misal : dengan bau yang menyengat. Antifidan, mencegah serangga memakan tanaman yang telah disemprot, merusak perkembangan telur, larva dan pupa, menghambat reproduksi serangga betina, racun syaraf, mengacaukan system hormon di dalam tubuh serangga Lu (1994; Permana, 2016:6), mengatakan bahwa, senyawa yang bersifat racun yang masuk ke tubuh akan mengalami biotransformasi. Proses metabolisme tersebut membutuhkan energi, semakin banyak senyawa racun yang masuk ke tubuh serangga menyebabkan energi yang dibutuhkan untuk proses netralisir semakin besar. Banyaknya
18
energi yang digunakan untuk menetralisir senyawa racun tersebut menyebabkan penghambatan terhadap metabolisme yang lain sehingga serangga akan kekurangan energi dan akhirnya mati. Selain itu, senyawa saponin dapat bersifat sebagai insektisida, yaitu dengan merubah perilaku makan serangga dengan cara menghambat uptake makanan pada saluran pencernaan. Saponin juga dapat menghambat pertumbuhan stadium larva dengan menganggu tahap moulting larva (Chaieb, 2010; Permana,2016:6). Seperti penelitian Sinaga (2009) yang menyatakan bahwa kandungan metabolit sekunder dalam tanaman seperti glikosida flavonoid bersifat racun perut (stomach poisoning), yang bekerja apabila senyawa tersebut masuk dalam tubuh serangga maka akan mengganggu organ pencernaannya. Selain meracuni perut, senyawa golongan flavonoid juga dapat mengiritasi kulit dan menghambat transportasi asam amino leusin. Diduga senyawa flavonoid menghambat leusin yang berperan dalam proses pembentukan asetil koA pada Siklus Kreb. Pada saat proses ini terhambat, asetil koA tidak dapat menambahkan fragmen nya pada oksaloasetat dan akibatnya siklus kreb terganggu dan tidak dapat menghasilkan ATP (Sinaga, 2009). Senyawa flavonoid yang terkandung dalam ekstrak daun mara tunggal adalah suatu kelompok senyawa fenol yang terbesar yang ditemukan di alam. Menurut Hollingworth (2001; Utami, 2010:99)
19
bahwa flavonoid mempunyai efek toksik, antimikrobia, antifeedant. Salah satu senyawa golongan flavonoid yakni rotenone memiliki efek mematikan serangga sebagai racun respirasi sel. F. Tanaman Sawi 1. Klasifikasi Menurut Haryanto (2003:9), tanaman sawi memiliki klasifikasi sebagai berikut. Kingdom
: Plantae
Subkingdom : Tracheobionta Super Divisi
: Spermatophyta
Divisi
: Magnoliophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Sub kelas
: Dilleniidae
Ordo
: Capparales
Famili
: Brassicaceae
Genus
: Brassica
Spesies
: Brassica juncea L.
2. Deskripsi Tanaman Sawi hijau (Brassica rapa convar. parachinensis; suku sawisawian atau Brassicaceae) merupakan jenis sayuran yang cukup populer. Dikenal pula sebagai caisim, caisin, atau sawi bakso, sayuran ini mudah dibudidayakan dan dapat dimakan segar (biasanya dilayukan dengan air panas) atau diolah menjadi asinan (kurang umum). Jenis
20
sayuran ini mudah tumbuh di dataran rendah maupun dataran tinggi. Bila ditanam pada suhu sejuk tumbuhan ini akan cepat berbunga. Karena biasanya dipanen seluruh bagian tubuhnya (kecuali akarnya) (Haryanto, 2003:11). Tanaman semusim yang mudah tumbuh. Perkecambahannya epigeal (muncul dipermukaan tanah). Sewaktu muda tumbuh lemah, tetapi setelah daun ketiga dan seterusnya akan membentuk setengah roset dengan batang yang cukup tebal, namun tidak berkayu. Daun elips, dengan bagian ujung biasanya tumpul. Warnanya hijau segar, biasanya tidak berbulu. Menjelang berbunga sifat rosetnya agak menghilang, menampakkan batangnya. Bunganya kecil, tersusun majemuk berkarang. Mahkota bunganya berwarna kuning, berjumlah 4 (khas Brassicaceae). Benang sarinya 6, mengelilingi satu putik. Buahnya menyerupai polong tetapi memiliki dua daun buah dan disebut siliqua (Haryanto, 2003:12). 3. Manfaat Tanaman sawi, baik setelah diolah maupun sebagai lalapan, mengandung beragam zat makanan yang esensial bagi kesehatan tubuh. Menurut data yang tertera dalam daftar komposisi makanan yang diterbitkan oleh Direktorat Gizi Departemen Kesehatan, komposisi zatzat makanan yang terkandung dalam setiap 100 g berat basah sawi adalah : 2,3 g protein, 0,3 g lemak, 4,0 g karbohidrat, 220,0 mg kalsium, 38 mg phospor, 2,9 mg Fe, vitamin A 1.940 mg, vitamin B 0,09 mg,
21
vitamin C 102 mg. Selain memiliki kandungan vitamin dan gizi yang penting untuk kesehatan, sawi dipercaya dapat menghilangkan rasa gatal di tenggorokan akibat batuk, penderita penyakit ginjal dianjurkan untuk banyak-banyak mengkonsumsi sawi karena dapat membatu memperbaiki fungsi kerja ginjal (Haryanto, 2003:5-7). 4. Jenis-Jenis Tanaman Sawi a. Sawi Hijau atau Sawi Asin Sawi hijau atau sawi asin kurang banyak dikonsumsi sebagai bahan sayuran segar karena rasanya agak pahit. Sawi hijau berukuran lebih kecil dibanding sawi jabung atau sawi putih, tetapi warnanya lebih hijau tua. Batangnya sangat pendek, tetapi tegap. Daunnya lebar, tangkai daunnya agak pipih, sedikit berliku tetapi kuat (Haryanto, 2003:10). b. Sawi Huma Disebut sawi huma, karena sawi ini tumbuh baik ditanam di tempat-tempat kering, seperti tegalan dan huma. Sawi huma daunnya sempit, panjang, dan berwarna hijau keputih-putihan. Tidak seperti sawi putih dan sawi hijau, sawi huma berbatang kecil, tetapi panjang. Tangkainya berukuran sedang seperti bersayap (Haryanto, 2003:11). c. Sawi Putih atau Sawi Jabung Sawi putih atau sawi jabung merupakan jenis sawi yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat. Tanaman ini dapat
22
dibudidayakan di tempat kering. Bila sudah desawa, sawi ini memiliki daun yang lebar dan berwarna hijau tua. Tangkainya panjang, tetapi lemas dan halus, batangnya pendek tetapi tegap dan bersayap. Beberapa varietas sawi putih diantaranya rugosa rob dan prain (Haryanto, 2003:10). d. Caisim alias sawi bakso Menurut Haryanto (2003:10), caisim, merupakan jenis sawi yang paling banyak dipasarkan dan dikonsumsi. Tangkai daunnnya panjang, langsing, dan berwarna putih kahijauan. Daunnya lebar memanjang, tipis, dan berwarna hijau. e. Sawi keriting Seperti namanya, ciri khas sawi ini adalah daunnya keriting. Bagian daun yang hijau sudah mulai tumbuh dari pangkal tangkai daun. Tangkai daunnya berwarna putih. Selain daunnya yang keriting, jenis sawi ini amat mirip dengan sawi hijau biasa (Haryanto, 2003:12). f. Sawi Monumen Sawi monumen memiliki ciri khas tubuhnya amat tegak dan berdaun kompak. Penampilan sawi ini sekilas mirip dengan petsai. Tangkai daun berwarna putih, berukuran agak lebar dengan tulang daun yang juga berwarna putih. Jenis sawi ini tergolong terbesar dan terberat diantara jenis sawi lainnya (Haryanto, 2003:12).
23
5.
Syarat tumbuh Sawi dikenal sebagai tanaman sayuran daerah iklim sedang (subtropis), tetapi saat ini berkembang pesat di daerah tropis. Kondisi iklim yang dikehendaki untuk pertumbuhan tanaman sawi adalah daerah yang mempunyai suhu malam hari 15,6° C dan siang hari 21,1° C serta penyinaran matahari antara 10-13 jam per hari. Di Indonesia, tanaman sawi pada umumnya banyak di tanam di dataran rendah. Tanaman ini selain tahan terhadap suhu panas (tinggi), juga mudah berbunga dan menghasilkan biji secara alami pada kondisi iklim tropis Indonesia, sehingga tidak harus mengandalkan benih impor. Sawi dapat ditanam pada berbagai jenis tanah, namun paling baik adalah jenis tanah lempung berpasir; seperti tanah andosol. Pada tanah-tanah yang mengandung liat perlu pengelolaan lahan secara sempurna, antara lain pengolahan tanah yang cukup dalam, penambahan pasir dan pupuk organik dalam jumlah dosis tinggi. Syarat tanah yang ideal untuk tanaman sawi adalah subur, gembur, banyak mengandung bahan organik (humus), tidak menggenang (becek), tata udara dalam tanah berjalan dengan baik, dan pH tanah antara 6-7. Penelitian dan pengembangan tanaman sawi di dataran rendah, umumnya ditanam pada jenis tanah Latosol dengan pH 6 serta dosis pupuk kandang minimum 20 ton/hektar. Dari berbagai literatur ditemukan, sawi toleran terhadap kisaran pH 6-7 (Haryanto, 2003:2425).
24
G. Spodoptera litura 1. Morfologi dan biologi Menurut Kalshoven (1981), klasifikasi ulat grayak (Spodoptera litura) adalah: Kingdom
: Animalia
Filum
: Arthropoda
Kela
: Insecta
Ordo
: Lepidoptera
Famili
: Noctuidae
Genus
: Spodoptera
Spesies
: Spodoptera litura
Ulat grayak mengalami metamorphosis sempurna yang terdiri dari empat stadium hidup yaitu telur, larva, pupa, dan imago. Larva Spodoptera litura mempunyai warna yang bervariasi, mempunyai warna kulit (corak) berbentuk bulan sabit berwarna hitam pada segmen abdomen keempat dan kesepuluh. Pada sisi lateral dan dorsal terdapat garis kuning. Larva yang baru menetas berwarna hijau muda, bagian sisi coklat atau hitam kecoklat-coklatan dan hidup berkelompok. Beberapa hari kemudian, larva menyebar dengan menggunakan benang sutera dari mulutnya. Biasanya larva berpindah ke tanaman lain secara bergerombol dalam jumlah besar (Setiani, 2012:5). Berikut adalah gambar hama Spodoptera litura.
25
Gambar 3. Larva Instar III Hama Spodoptera litura (Sumber: Dokumentasi pribadi) 2. Siklus Hidup Hama Spodoptera litura a) Telur Imago betina meletakkan telur pada malam hari, telur berbentuk bulat. Telur diletakkan berkelompok di atas permukaan daun. Dalam satu kelompok, jumlah telur antara 30-100 butir. Telur-telur tersebut menetas antara 2-4 hari. Kelompok telur ditutupi oleh rambut-rambut halus yang berwarna putih, kemudian telur berubah menjadi kehitam-hitaman pada saat akan menetas (Setiani, 2012:5). b) Larva Larva instar satu S. litura yang baru menetas biasanya hidup berkelompok, tetapi menyebar sendiri-sendiri setelah besar. Larva memakan ujung daun muda dan mengalami perubahan warna sesuai dengan perubahan instar yang dialaminya. Larva instar satu berwarna hijau, kemudian berubah menjadi hijau tua saat memasuki instar dua. Pada instar tiga dan empat warnanya menjadi hijau kehitaman pada bagian abdomen, pada abdomen terdapat garis hitam yang melintang.
26
Pada saat larva memasuki instar lima warnanya berubah menjadi coklat muda. Stadium larva S. litura berkisar antara 9 – 14 hari. Larva instar akhir bergerak dan menjatuhkan diri ke tanah. Setelah berada di dalam tanah, larva akan memasuki pra pupa dan kemudian berubah menjadi pupa (Setiani, 2012:5). c) Pupa Pupa S. litura
berwarna cokelat muda dan pada saat akan
menjadi imago berubah menjadi cokelat kehitaman. Pupa memiliki panjang 9-12 mm, pupa berada di dalam kedalaman tanah dengan kedalama kurang lebih 1 cm (Setiani, 2012:6). d) Imago Imago memiliki panjang yang berkisar 10-14 mm dengan rentang sayap 24-30 mm, sayap depan berwarna putih keabu-abuan, pada bagian tengah sayap depan terdapat tiga pasang bintik-bintik yang berwarva perak. Sayap belakang putih pada bagian tepi berwarna cokelat gelap (Kalshoven, 1981). 3. Daerah Sebar dan Ekologi Ulat grayak merupakan hama yang menyerang sayuran muda. S. litura menyerang tanaman pada malam hari dan biasanya serangan dilakukan bersama-sama. Pada siang hari biasanya ulat grayak bersembunyi di balik daun. Serangan S. litura
menyebabkan kerusakan lebih dari 20 % pada
tanaman umur lebih dari 20 HST (Adisarwanto et al 1999; Setiani, 2012:7).
27
4. Tanaman Inang dan Gejala Kerusakan Kebanyakan larva kupu-kupu dan ngengat makan tumbuh-tumbuhan tetapi jenis yang berbeda makan dengan cara-cara yang berbeda. Larva yang lebih besar biasanya makan di pinggiran daun dan makan semuanya kecuali rangka-rangka daun yang lebih besar, larva yang kecil makan daging daun (yang menyebabkan daun tinggal rangkanya) atau membuat lubang-lubang yang kecil di dalam daun (Borror, et all, 1992). Kerusakan daun yang diakibatkan larva yang masih kecil merusak daun dengan meninggalkan sisasisa epidermis bagian atas, transparan dan tinggal tulang-tulang daun saja. Larva instar lanjut merusak tulang daun. Pada serangan berat menyebabkan gundulnya tanaman (Sudarmo, 1992). H. Kerangka Berfikir Daun tanaman mara tunggal terdapat kandungan flavonoid, tannin, alkaloid, kumarin, limonoid yang merupakan racun bagi serangga. Tannin dapat menyebabkan pencernaan hama Spodoptera litura terganggu karena memiliki daya ikat dengan protein, karbohidrat, dan mineral, dan juga menimbulkan rasa pahit yang bias menurunkan nafsu makan hama. Senyawa alkaloid dan flavonoid dapat menyebabkan racun perut serangga, mengiritasi kulit, dan sebagai antifeedant. Sedangkan saponin dapat menghambat uptake pencernaan dengan menurunkan tegangan selaput mukosa dinding digestive larva sehingga korosif, dan juga menyebabkan lemah syaraf dan kerusakan spirakel sehingga hama tidak bias bernafas. Jika zat metabolit sekunder tersebut masuk ke dalam tubuh hama Spodoptera litura akan menyebabkan kematian, dan juga pemendekan umur
28
larva menjadi pupa. Selain itu, bagi tanaman inang yang disemprot bioinsektisida ekstrak daun mara tunggal akan menyebabkan berkurangnya tingkat kerusakan tanaman sawi dan meningkatkan berat basah tanaman sawi. Berikut adalah kerangka berpikir peneliti.
Bioinsektisida dengan menggunakan ekstrak daun mara tunggal (Clausena excavata Burm F) mengandung komponen metabolit sekunder seperti, tannin, saponin, alkaloid, limonoid dan flavonoid.
Tannin
- Memiliki daya ikat dengan protein, karbohidrat dan vitamin. - Memiliki rahsa pahit
Saponin
- Menghambat uptake pencernaan - Kerusakan organ digestive serangga - Lemah syaraf dan kerusakan spirakel
Alkaloid
- Racun perut serangga - Anti feedant
Limonoid
Flavonoid
- Memiliki sifat insektidal
- Mengiritasi kulit serangga - Racun perut - Antifeedant
Spodoptera litura
Tanaman sawi
• •
• •
Perubahan tingkat kerusakan tanaman Perbedaan berat basah
Mortalitas hama Spodoptera litura Pemendekan siklus hama dari larva instar III menjadi pupa
Gambar 4. Kerangkan Berpikir Peneliti
29
I. Hipotesis 1. Semakin tinggi dosis yang diberikan, maka semakin tinggi tingkat mortalitas hama. 2. Semakin tinggi dosis ekstrak daun mara tunggal, semakin pendek lama hidup larva menjadi pupa. 3. Semakin tinggi dosis ekstrak daun mara tunggal, maka semakin kecil tingkat kerusakan tanaman sawi dan semakin tinggi berat basah tanaman sawi.
30