7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sungai
Sungai adalah tempat-tempat dan wadah-wadah serta jaringan pengaliran air mulai dari mata air sampai muara dengan dibatasi kanan dan kirinya sepanjang pengalirannya oleh garis sempadan (PP No. 38 Tahun 2011, Tentang Sungai). Sungai sebagai drainase alam mempunyai jaringan sungai dengan penampangnya, mempunyai areal tangkapan hujan atau disebut Daerah Aliran Sungai (DAS). Bentuk jaringan sungai sangat dipengaruhi oleh kondisi geologi, kondisi muka bumi DAS, dan waktu sedimentasi, erosi/gerusan, pelapukan permukaan DAS, pergerakan berupa tektonik, vulkanik, longsor lokal, dan faktor lainnya.
Berkaitan dengan perilaku sungai secara umum dapat dipahami bahwa sungai akan mengalirkan debit air yang sering terjadi (frequent discharge) pada saluran utamanya, sedangkan pada kondisi air banjir, pada saat saluran utamanya sudah penuh, maka sebagian airnya akan mengalir ke daerah bantarannya, Kaitan banjir dengan permasalahan yang menyebabkan sungai meluap, antara lain: a.
Berkurangnya luas profil pengaliran penampang basah sungai karena terjadi pendangkalan dasar sungai oleh pengendapan bahan-bahan padat yang terbawa air yang berasal dari erosi, longsoran tebing sungai, bahan-bahan letusan gunung berapi, dan lain sebagainya.
8
b.
Rintangan-rintangan terhadap aliran oleh batang-batang pohon yang tumbang dan menghalang di dalam palung sungai.
c.
Meningkatnya
debit
sungai
karena
penggundulan
hutan-hutan
atau
pembukaan tanah di daerah pengalirannya. d.
Rusaknya tanggul-tanggul oleh tanaman, tumbuh-tumbuhan, hewan dan sebagainya.
e.
Semakin tersumbatnya muara sungai karena kurang intensifnya pengerukan, dan lain sebagainya.
2.2. Banjir
Banjir adalah setiap aliran dengan muka air yang relatif tinggi yang melampaui tebing sungai sehingga aliran air tersebut menyebar ke dataran sungai dan menimbulkan masalah pada manusia (Chow, 1989). Suatu genangan air tidak dikatakan banjir apabila tidak menimbulkan masalah bagi manusia yang tinggal di daerah genangan tersebut. Artinya, banjir terjadi apabila kapasitas air sungai telah terlampaui dan air telah menyebar ke dataran banjir, bahkan lebih jauh yang mengakibatkan terjadinya genangan.
Definisi lain dari istilah Banjir adalah peristiwa yang terjadi ketika aliran air yang berlebihan merendam daratan. Diakibatkan karena keadaan alur sungai yang belum stabil atau kapasitas nya lebih kecil dari volume air yang melimpas, bahkan ada beberapa alur yang dipersempit, pendangkalan dasar sungai dan kelongsoran tebing sungai, hal ini mengakibatkan berkurangnya kapasitas sungai untuk menampung air sehinga terjadilah banjir.
9
2.3. Penyebab Banjir
Banjir sungai merupakan peningkatan debit air yang terjadi di badan sungai. Jika debit air sungai semakin meningkat dan badan sungai tidak mampu lagi menampung debit air, maka air sungai itu akan melimpah keluar badan sungai (Kironoto, 2008), Menurut Kodoatie dan Sugiyanto (2002), Faktor penyebab terjadinya banjir dapat dikelompokkan dalam 2 kategori, yaitu banjir yang disebabkan oleh sebab-sebab alamiah dan banjir yang diakibatkan oleh tindakan manusia. Banjir yang disebabkan oleh sebab-sebab alamiah diantaranya curah hujan, pengaruh fisiografi, erosi dan sedimentasi, kapasitas sungai, kapasitas drainase yang tidak memadai dan pengaruh air pasang. Sedangkan banjir yang disebabkan oleh tindakan manusia adalah perubahan kondisi DAS, kawasan kumuh, sampah, kerusakan bangunan pengendali banjir dan perencanaan sistem pengendalian banjir tidak tepat.
Menurut Kodoatie dan Sjarief (2006), perubahan tata guna lahan merupakan penyebab utama banjir dibandingkan dengan yang lainnya, dimana perubahan tata guna lahan memberikan kontribusi dominan kepada aliran permukaan (run-off). Hujan yang jatuh ke tanah, airnya akan menjadi aliran permukaan di atas tanah dan sebagian meresap ke dalam tanah tergantung kondisi tanahnya. Suatu kawasan hutan bila diubah menjadi pemukiman maka yang terjadi adalah bahwa hutan yang bisa menahan run-off cukup besar diganti menjadi pemukiman dengan resistensi run-off yang kecil. Akibatnya ada peningkatan aliran permukaan tanah yang menuju sungai dan hal ini berakibat adanya peningkatan debit sungai yang besar sehingga terjadilah banjir.
10
2.4. Analisis Hidrologi
Analisis hidrologi pada penelitian ini dimaksudkan untuk memperkirakan besarnya debit banjir dengan kala ulang tertentu pada daerah yang diobservasi. Debit semacam ini dikenal dengan sebutan debit banjir rancangan yang dihitung dengan mengolah data debit harian, tetapi karena data debit harian suatu sungai sulit didapat maka perhitungan debit rancangan dilakukan dengan mentransfer hujan rancangan menjadi debit rancangan. Langkah perhitungan debit rancangan dengan mentransfer hujan rancangan adalah sebagai berikut: a.
Melakukan perhitungan hujan rerata DAS
b.
Melakukan perhitungan curah hujan rancangan
c.
Melakukan perhitungan debit rancangan
Untuk keperluan perencanaan bangunan air, biasanya perhitungan debit rancangan dilakukan untuk mengetahui debit puncak banjir guna mengukur dimensi bangunan air. Tetapi untuk keperluan pengendalian banjir, perhitungan debit rancangan dilakukan untuk mengetahui perilaku debit berdasarkan waktu. Pada akhirnya analisis hidrologi akan diikuti dengan analisis hidrolika untuk membandingkan besaran debit dengan kapasitas alir sungai. Dalam perhitungan debit banjir rencana ada beberapa metode/teori pendekatan diantaranya adalah metode weduwen, metode Rasional dan metode Nakayasu, dalam penelitian ini menggunakan salah satu metode (Nakayasu) tanpa harus membandingkan dengan hasil perhitungan dengan menggunakan metode yang lain. Hal karena dalam melakukan analisis hidrolika, besaran debit banjir rencana akan digunakan sebagai
11
data input untuk mengetahui hasil pemodelan dengan mode running steady flow dan unsteady flow.
2.5. Perhitungan Hujan Rerata DAS
Perhitungan hujan rerata DAS yang digunakan yaitu Metode Poligon . Dalam menghitung curah hujan rerata dengan metode Thiessen, stasiun-stasiun hujan yang ada di dalam DAS dihubungkan satu sama lain sehingga membentuk poligon. Dari poligon-poligon tersebut akan terbentuk daerah-daerah hujan yang diwakili oleh satu stasiun. Prosedur perhitungan curah hujan rata-rata DAS dengan metode poligon Thiessen adalah sebagai berikut: a.
Hubungkan setiap stasiun hujan dengan garis lurus sehingga membentuk poligon-poligon segitiga seperti pada gambar 2.1.
b.
Tarik garis tegak lurus pada/dan di tengah-tengah poligon-poligon segitiga seperti pada gambar 2.2.
c.
Hitung luas masing-masing daerah hujan seperti pada gambar 2.3.
d.
Hitung hujan rata-rata DAS dengan rumus: R
R1 .A1 ... Rn .An A ...........................................................................
(1)
Dimana: R
: hujan rata-rata DAS pada suatu hari (mm).
R1,Rn
: hujan yang tercatat di stasiun 1 sampai stasiun n pada hari yang sama (mm).
n
: jumlah stasiun hujan.
A1,An
: luas daerah hujan 1 sampai n (km2).
A
: luas total DAS (km2).
12
Untuk lebih memperjelas keterangan, berikut ini adalah contoh prosedur pembuatan poligon 3 stasiun dan perhitungan hujan harian rata-rata di suatu DAS dengan metode Thiessen.
Gambar 2.1. (a) Proses Pembuatan Poligon Thiessen Tahap I (b) Proses Pembuatan Poligon Thiessen Tahap II (c) Proses Pembuatan Poligon Thiessen Tahap III
2.6. Perhitungan Curah Hujan Rancangan
Perhitungan curah hujan rencana akan dilakukan terhadap data curah hujan harian maksimum tahunan dan akan dihitung dengan kala ulang 2 tahun, 5 tahun, 10 tahun dan 20 tahun,
Metode yang digunakan untuk melakukan analisis
distribusi/sebaran data curah hujan harian terhadap nilai rata-rata tahunannya dalam periode ulang tertentu antara lain adalah menggunakan: a.
Distribusi Gumbel Persamaan empiris untuk distribusi Gumbel X
= X Sx.K ................................................................................
(2)
13
K
=
YT Yn ................................................................................... Sn
(3)
YT
Tr 1 = – ln ln .................................................................. Tr
(4)
untuk T 20, maka Y = ln T Dimana: X
: nilai X untuk kala ulang tertentu
X
: nilai rata-rata hitung data X
Sx
: simpangan baku data X
YT
: nilai reduksi data dari variabel yang diharapkan terjadi pada Periode ulang tertentu
Yn
: nilai rata-rata dari reduksi data, nilainya tergantung dari jumlah data (n) dan dapat dilihat pada tabel 1
Sn
: deviasi standar dari reduksi data, nilainya tergantung dari jumlah data (n) dan dapat dilihat pada tabel 2
Tabel 2,1, Hubungan Reduksi Data Rata-rata (Yn) dengan Jumlah Data (n) N 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Yn 0,4952 0,4996 0,5035 0,5070 0,5100 0,5128 0,5157 0,5181 0,5202 0,5220 0,5236 0,5252 0,5268 0,5283 0,5296
n 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47
Yn 0,5388 0,5396 0,5402 0,541 0,5418 0,5424 0,543 0,5436 0,5442 0,5448 0,5453 0,5458 0,5463 0,5468 0,5473
n 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70
Yn 0,5508 0,5511 0,5515 0,5518 0,5521 0,5524 0,5527 0,553 0,5533 0,5535 0,5538 0,554 0,5543 0,5545 0,5548
n 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93
Yn 0,5567 0,5569 0,5570 0,5572 0,5574 0,5576 0,5578 0,5580 0,5581 0,5583 0,5585 0,5586 0,5587 0,5589 0,5591
14
N Yn n 25 0,5309 48 26 0,5320 49 27 0,5332 50 28 0,5343 51 29 0,5353 52 30 0,5362 53 31 0,5371 54 32 0,5380 55 Sumber : Triatmojo, 2008
Yn 0,5477 0,5481 0,5485 0,5489 0,5493 0,5497 0,5501 0,5504
n 71 72 73 74 75 76 77 78
Yn 0,5550 0,5552 0,5555 0,5557 0,5559 0,5561 0,5563 0,5565
n 94 95 96 97 98 99 100
Yn 0,5592 0,5593 0,5595 0,5596 0,5598 0,5599 0,5600
Tabel 2,2, Hubungan antara Deviasi Standar (Sn) dan Reduksi Data dengan Jumlah Data (n) N Sn n 10 0,9496 33 11 0,9676 34 12 0,9833 35 13 0,9971 36 14 1,0095 37 15 1,0206 38 16 1,0316 39 17 1,0411 40 18 1,0493 41 19 1,0565 42 20 1,0628 43 21 1,0696 44 22 1,0754 45 23 1,0811 46 24 1,0864 47 25 1,0915 48 26 1,0961 49 27 1,1004 50 28 1,1047 51 29 1,1086 52 30 1,1124 53 31 1,1159 54 32 1,1193 55 Sumber : Triatmojo, 2008 b.
Sn 1,1226 1,1255 1,1285 1,1313 1,1339 1,1363 1,1388 1,1413 1,1436 1,1458 1,1480 1,1499 1,1519 1,1538 1,1557 1,1574 1,1590 1,1607 1,1623 1,1638 1,1658 1,1667 1,1681
n 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78
Sn 1,1696 1,1708 1,1721 1,1734 1,1747 1,1759 1,1770 1,1782 1,1793 1,1803 1,1814 1,1824 1,1834 1,1844 1,1854 1,1863 1,1873 1,1881 1,1890 1,1898 1,1906 1,1915 1,1923
n 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100
Sn 1,1930 1,1938 1,1945 1,1953 1,1959 1,1967 1,1973 1,1980 1,1987 1,1994 1,2001 1,2007 1,2013 1,2020 1,2026 1,2032 1,2038 1,2044 1,2049 1,2055 1,2060 1,2065
Distribusi Log-Pearson III Metoda Log Pearson Type III ini mempunyai persamaan sebagai berikut: Ln Rt = Ln Ri G S ............................................................................
(5)
15
Rt e Log Rt ............................................................................................... Cs
Ck
n Ln Ri Ln Ri
(6)
3
........................................................................
(n 1)( n 2)( S ) 3
n 2 Ln Ri Ln Ri
4
.................................................................
(8)
........................................................................
(9)
(n 1)( n 2)( n 3)( S ) 4
Ln Ri Ln Ri
(7)
2
S
n 1
Dimana: Ln Ri : Logaritma hujan (dengan bilangan dasar e)
Ln Ri : Rerata Hujan logaritma G
: Faktor frekwensi yang merupakan fungsi dari probalilitas (periode ulang) dan koefisien kemencengan (skewness)
Cs
: Nilai Skewness
Ck
: Nilai Kurtosis
S
: Standart Deviasi
Rt
: Curah hujan rencana pada periode ulang t
Tabel 2,3, Faktor Frekwensi (G) (Kemencengan Negatif) Skew Coefficient CS -0,1 -0,2 -0,3 -0,4 -0,5 -0,6 -0,7 -0,8
2
5
50 0,017 0,033 0,050 0,066 0,083 0,099 0,116 0,132
20 0,846 0,850 0,853 0,855 0,856 0,857 0,857 0,856
return period in years 10 25 50 exceedence probability 10 4 2 1,270 0,716 2,000 1,258 1,680 1,945 1,245 1,643 1,890 1,231 1,606 1,834 1,216 1,567 1,777 1,200 1,528 1,720 1,183 1,488 1,663 1,166 1,448 1,606
100
200
1 2,252 2,178 2,104 2,029 1,955 1,880 1,806 1,733
0,5 2,482 2,388 2,294 2,201 2,108 2,016 1,926 1,837
16
Skew Coefficient CS -0,9 -1 -1,1 -1,2 -1,3 -1,4 -1,5 -1,6 -1,7 -1,8 -1,9 -2 -2,1 -2,2 -2,3 -2,4 -2,5 -2,6 -2,7 -2,8 -2,9 -3 Sumber :
2
5
50 20 0,148 0,854 0,164 0,852 0,180 0,848 0,195 0,844 0,210 0,838 0,225 0,832 0,240 0,825 0,254 0,817 0,268 0,808 0,282 0,799 0,294 0,788 0,307 0,777 0,319 0,765 0,330 0,752 0,341 0,739 0,351 0,725 0,360 0,711 0,368 0,696 0,376 0,681 0,384 0,666 0,390 0,651 0,396 0,636 Triatmodjo, 2008
return period in years 10 25 50 exceedence probability 10 4 2 1,147 1,407 1,549 1,128 1,366 1,492 1,107 1,324 1,435 1,086 1,282 1,379 1,064 1,240 1,324 1,041 1,198 1,270 1,018 1,157 1,217 0,994 1,116 1,166 0,970 1,075 1,116 0,945 1,035 1,069 0,920 0,996 1,023 0,895 0,959 0,980 0,969 0,923 0,939 0,844 0,888 0,900 0,819 0,855 0,864 0,795 0,823 0,830 0,771 0,793 0,798 0,747 0,764 0,768 0,724 0,738 0,740 0,702 0,712 0,714 0,681 0,683 0,689 0,666 0,666 0,666
100
200
1 1,660 1,588 1,518 1,449 1,383 1,318 1,256 1,197 1,140 1,087 1,037 0,990 0,946 0,905 0,867 0,832 0,799 0,769 0,740 0,714 0,690 0,667
0,5 1,749 1,664 1,581 1,501 1,424 1,351 1,282 1,216 1,155 1,097 1,044 0,995 0,949 0,907 0,869 0,833 0,800 0,769 0,741 0,714 0,690 0,667
100
200
1 4,051 4,013 3,973 3,932 3,889 3,845 3,800 3,753 3,705 3,656 3,605 3,553
0,5 4,970 4,909 4,847 4,783 4,718 4,652 4,584 4,515 4,444 4,372 4,298 4,223
Tabel 2,4, Faktor Frekwensi (G) (kemencengan positif) Skew Coefficient CS 3 2,9 2,8 2,7 2,6 2,5 2,4 2,3 2,2 2,1 2,0 1,9
return period in years 2
5
50 -0,396 -0,390 -0,384 -0,376 -0,368 -0,360 -0,510 -0,341 -0,330 -0,319 -0,307 -0,294
20 0,420 0,440 0,460 0,479 0,499 0,518 0,537 0,555 0,574 0,592 0,609 0,627
10 25 50 exceedence probability 10 4 2 1,180 2,278 3,152 1,195 2,277 3,134 1,210 2,275 3,114 1,224 2,272 3,093 1,238 2,267 3,071 1,250 2,262 3,048 1,262 2,256 3,023 1,274 2,248 2,997 1,284 2,240 2,970 1,294 2,230 2,942 1,302 2,219 2,912 1,310 2,207 2,881
17
Skew
return period in years
Coefficient CS
2
5
50 20 1,8 -0,282 0,643 1,7 -0,268 0,660 1,6 -0,254 0,675 1,5 -0,240 0,690 1,4 -0,225 0,705 1,3 -0,210 0,719 1,2 -0,195 0,732 1,1 -0,180 0,745 1,0 -0,164 0,758 0,9 -0,148 0,769 0,8 -0,132 0,780 0,7 -0,116 0,790 0,6 -0,099 0,800 0,5 -0,083 0,808 0,4 -0,066 0,816 0,3 -0,050 0,824 0,2 -0,033 0,830 0,1 -0,017 0,836 0,0 0,000 0,842 Sumber : Triatmodjo, 2008
10 25 50 exceedence probability 10 4 2 1,318 2,193 2,848 1,324 2,179 2,815 1,329 2,163 2,780 1,333 2,146 2,743 1,337 2,128 2,706 1,339 2,108 2,666 1,340 2,087 2,626 1,341 2,066 2,585 1,340 2,043 2,542 1,339 2,018 2,498 1,336 1,993 2,453 1,333 1,967 2,407 1,328 1,939 2,359 1,323 1,910 2,311 1,317 1,880 2,261 1,309 1,849 2,211 1,301 1,818 2,159 1,292 1,785 2,107 1,282 1,751 2,054
100
200
1 3,499 3,444 3,388 3,330 3,271 3,211 3,149 3,087 3,022 2,957 2,891 2,824 2,755 2,686 2,615 2,544 2,472 2,400 2,326
0,5 4,147 4,069 3,990 3,910 3,828 3,745 3,661 3,575 3,489 3,401 3,312 3,223 3,132 3,041 2,949 2,856 2,763 2,670 2,576
Dalam rangka penentuan distribusi apa yang akan dipakai dalam perhitungan hujan rancangan, perlu diketahui dulu nilai skewness (Cs) dan kurtosis (Ck) dari data yang bersangkutan dan dihitung dengan rumus:
Cs
Ck
n Ri R
3
................................................................................ (10)
(n 1)( n 2)( S n1 ) 3
n 2 Ri R
4
(n 1)( n 2)( n 3)( S n1 ) 4
Dimana: R
: Rerata Aljabar
S
: Simpangan baku
..................................................................... (11)
18
Cs
: Koefisien skewness
Ck
: Koefisien kurtosis
Xi
: Data hujan harian maksimum ke i (1,2,3,……,n)
n
: Jumlah data
Ketentuan yang berlaku dalam penentuan distribusi ini adalah: a.
Distribusi Gumbel Cs = 1,1396 dan Ck = 5,4002
b.
Distribusi Log Pearson III Tidak ada sifat khas, distribusi ini bisa digunakan jika dari hasil pengujian, ternyata harga Cs dan Ck dari data yang diuji tidak sesuai dengan sifat-sifat khas sebaran jenis distribusi lainnya.
2.7. Perhitungan Debit Banjir Rancangan
Sebelum menghitung debit banjir rancangan maka diperlukan menghitung hujan rancangan terlebih dahulu. Untuk keperluan pengalihragaman data hujan ke besaran debit banjir (hidrograf banjir) dengan metode hidrograf satuan, diperlukan data hujan jam-jaman. Distribusi hujan jam-jaman dapat diperoleh dengan menggunakan metode mononobe. Persamaan Metode Mononobe sebagai berikut: 2
R 24 3 I 24 24 t .................................................................................................. (12)
Dimana: R24
: Curah hujan maksimum dalam 24 jam (mm)
T
: Durasi hujan (jam)
19
Selanjutnya perhitungan debit rancangan dapat dilakukan dengan beberapa metode yaitu sebagai berikut: a.
Metode Rational Bentuk persamaan dasar analisis debit banjir rencana (design flood) Metode Rational adalah sebagai berikut : 0 .6
V
H = 72 L
r
R 24 = , 24 t
t
=
Q
= α , r , ( A / 3,6 ) ........................................................................ (16)
................................................................................ (13) 2/3
............................................................................ (14)
L ............................................................................................ (15) V
Dimana:
b.
Q
: debit banjir rencana periode ulang T (tahun)
t
: waktu konsetrasi (jam)
R
: curah hujan harian maksimum (mm)
r
: intensitas hujan selama waktu konsentrasi (mm/hari)
V
: kecepatan perambatan banjir (mm/hari)
: koefesien limpasan air hujan
L
: Panjang sungai (km)
H
: beda tinggi antara titik terjauh dan mulut catchment (km)
Metode Der Weduwen Rumus banjir Der Weduwen didasarkan pada rumus berikut : Qn
= , , qn , A ............................................................................. (17)
=
1 4.1 β q n 7
............................................................................ (18)
20
t 1 A t 9 ............................................................................ (19) 120 A
120
=
qn
=
t
= 0,25 L Q-0,125 I-0,25 .................................................................... (21)
R n 67.65 ............................................................................ (20) . 240 t 1.45
Dimana: Qn : debit banjir (m3/dt) dengan periode ulang n tahun Rn : curah hujan maksimum harian (mm/hari) dengan periode ulang n tahun
: koefisien limpasan air hujan
: koefisien pengurangan luas untuk curah hujan di daerah aliran sungai
qn : luasan curah hujan m3/dt,km2 dengan periode ulangan tahun
c.
A
: luas daerah aliran, km2 sampai 100 km2
T
: lamanya hujan, jam
L
: panjang sungai, km
I
: kemiringan sungai atau medan,
Metode Nakayasu Adapun tahapan perhitungan debit banjir dengan Metode Nakayasu adalah sebagai berikut : 1.
Perhitungan distribusi hujan rencana Distribusi hujan rencana dihitung berdasarkan rumus (12) yaitu metode mononobe.
21
2.
Waktu Konsentrasi Waktu konsentrasi dihitung dengan rumus : Tg
3.
= 0,4 + 0,058 L ........................................................................ (22)
Satuan Waktu dari Curah Hujan Satuan waktu dari curah hujan dihitung dengan rumus : Tr
4.
= (0,5 sampai 1 ) Tg ................................................................ (23)
Waktu Permulaan Banjir Sampai Puncak Hidrograf Banjir dan Debit Puncak Banjir a). Waktu permulaan banjir sampai puncak hidrograf banjir dihitung dengan rumus: Tp = Tg + 0,8 Tr ........................................................................ (24) b). Debit puncak banjir dihitung dengan rumus: Qp
C A Rt ............................................................. (25) 3,6 ( 0,3 Tp T0,3 )
c). Debit banjir pada 0 < T < Tp Pada saat 0 < T < Tp , kurva hidrograf banjir mempunyai bagian lengkung naik dan debitnya dihitung dengan rumus : T Qa Qp Tp
2, 4
....................................................................... (26)
d). Waktu Dari Puncak Hidrograf Banjir Sampai 0,3 Debit Puncak Banjir Dan 0,09 Debit Puncak Banjir 1). Waktu dari puncak hidrograf banjir sampai 0,3 debit puncak banjir dihitung dengan rumus: T0,3 = α Tg .......................................................................... (27)
22
Pada saat Tp < T < (Tp + T0,3) ; kurva hidrograf banjir mempunyai lengkung turun dengan debit banjir dihitung menggunakan rumus : T Tp T 0,3
Qd 1 Qp 0,3
.............................................................. (28)
2). Waktu dari 0,3 debit puncak banjir sampai 0,09 debit puncak banjir dihitung dengan rumus : T0,09 = 1,5 T0,3 ..................................................................... (29) Pada saat (Tp + T0,3) < T < (Tp + 2,5 T0,3) ; kurva hidrograf banjir mempunyai lengkung turun dengan debit banjir dihitung menggunakan rumus : T Tp 0.3T0.3 1.5 T0 , 3
Qd 2 Qp 0,3
..................................................... (30)
3). Waktu setelah 0,09 debit puncak banjir dihitung dengan rumus : Pada saat T > (Tp + 2,5 T0,3) ; kurva hidrograf banjir mempunyai lengkung turun dengan debit banjir dihitung menggunakan rumus : T Tp 0.3T0.3 2 T0 , 3
Qd 3 Qp 0,3
..................................................... (31)
2.8. Aliran Dasar (Base Flow) Aliran dasar (baseflow) didefinisikan sebagai aliran yang berasal dari groundwater. Mengetahui besarnya aliran dasar menjadi salah satu hal terpenting untuk pengembangan strategi manajemen air khususnya pada musim kering. Hal ini karena aliran dasar (baseflow) merupakan komponen dari aliran debit yang berkontribusi besar pada saat musim kemarau.
23
Dalam analisa hidrolgi ini, nilai baseflow perlu diketahui karena hasil perhitungan dalam analisa debit banjir rencana dengan kala ulang tertentu belum mengakomodir besarnya aliran yang selalu ada dalam suatu sungai, sehingga diasumsikan sungai tersebut tidak dalam keadaan kering (kosong). Banyak metode yang dapat digunakan dalam menentukan besarnya aliran dasar, diantaranya adalah dengan teknik pemisahan baseflow dari hidrograf debit aliran total dan dengan metode pendekatan yang lebih sederhana, yaitu dengan pengamatan langsung dilapangan. Dalam analisis ini digunakan pendekatan yang sederhana yaitu dengan menghimpun data lapangan berupa informasi ketinggian atau kedalaman rata air di sungai disaat musim kemarau. Dari ketinggian muka air rata rata tersebut dengan morfologi sungai pada posisi pengamatan tinggu muka air, dapat dihitung nilai debit yang mengalir sepanjang tahun (baseflow). 2.9.
Analisa Hidrolika
Analisa hidrolika dilakukan untuk mengenali dampak terjadinya banjir dan upaya penanggulangannya, sehingga optimalisasi penampang sungai terhadap debit banjir dapat dilakukan dengan lebih efisien dan efektif. Untuk keperluan tersebut, maka diperlukan suatu model pendekatan atau pemodelan banjir yang dapat mewakili permasalahan yang sedang dihadapi semirip mungkin, Model
pendekatan
atau
pemodelan
banjir
ini
dapat
berupa
model
numerik/matematik atau model fisik. Pada penelitian ini digunakan model numerik untuk menyelesaikan permasalahan hidrolik. Meski hasil outputnya tidak seakurat jika digunakan model fisik tetapi model numerik memiliki keunggulan dalam hal penghematan waktu dan tenaga.
24
Model pendekatan atau pemodelan banjir numerik/matematik yang digunakan dalam penelitian ini dengan bantuan paket program komputer yang disebut Paket program HEC-RAS yang dibuat dan dikembangkan oleh Hydraulic Engineering Center, salah satu divisi dari the Institute for Water Resources (IWR), U,S, Army Corps of Engineer. Program ini merupakan salah satu bagian dari pengembangan Next Generation (NextGen) dari software Hydrologic Engineering.
2.10. Model Pendekatan atau Pemodelan Banjir
Untuk dapat menganalisis masalah banjir diperlukan alat bantu untuk mengenali dampak akibat banjir dan mencari upaya penanggulanggannya (Benavides, 2001). Salah satu alat bantu yang saat ini digunakan untuk menganalisis banjir dilakukan dengan pemodelan hidrolika sungai adalah HEC-RAS. HEC – RAS (River Analysis System) merupakan model hidrolika aliran satu dimensi. Program ini adalah sebuah program yang di dalamnya terintegrasi analisa hidrolika, dimana pengguna program dapat berinteraksi dengan sistem menggunakan fungsi Graphic User Interface (GUI). Program ini dapat menunjukkan perhitungan profil permukaan aliran mantap (steady), termasuk juga aliran tidak mantap (unsteady), pergerakan sedimen dan beberapa hitungan desain hidrolika. Dalam terminologi HEC-RAS, sebuah pengaturan file data akan dihubungkan dengan sistem sungai. Data file dapat dikategorikan sebagai data plan data, geometric data, steadyflow data, unsteadyflow data, sediment data dan hydraulic design data (Institut Pertanian Bogor, 2011).
25
Selain menunjukkan profil permukaan aliran, program HEC-RAS juga dapat digunakan untuk melakukan simulasi untuk model steady maupun unsteady flow, menganalisis besarnya tampungan untuk kebutuhan pengaturan air, serta desain infrastruktur bangunan air.
HEC-RAS pada intinya terdiri dari 3 (tiga) komponen analisa hidraulik 1 (satu) dimensi (one dimensional computation) yaitu : 1.
Simulasi aliran mantap satu dimensi (one dimensional steady flow).
2.
Simulasi aliran tidak mantap satu dimensi (one dimensional unsteady flow)
3.
Perhitungan pengangkutan pergerakan sedimen.
Diagram alir dibawah ini menunjukkan tentang cara kerja sederhana pemodelan dengan menggunakan HEC-RAS.
Gambar 2,2, Diagram Alir Pemodelan Hidrolika dengan HEC-RAS
26
2.11. Persamaan Aliran Tidak Permanen Pada HEC-RAS
HEC-RAS membagi alur saluran menjadi tiga bagian, yaitu bantaran kiri, alur utama dan bantaran kanan. Pada saat air di sungai naik, maka air bergerak menyamping dan menjauhi alur utama, menggenangi bantaran dan mengisi tampungan–tampungan yang ada di sepanjang bantaran. Seiring dengan kenaikan muka air lebih lanjut, air di bantaran mulai mengalir ke hilir dimana aliran di bantaran ini umumnya menempuh jarak yang lebih pendek daripada aliran di alur utama. Karena arah utama aliran adalah sepanjang alur utama, aliran dua dimensi ini sering dapat didekati dengan anggapan aliran satu dimensi. Kawasan genangan di luar alur utama dapat dimodelkan sebagai kawasan tampungan yang airnya dapat saling berpindah ke dan dari alur utama. Aliran di bantaran dapat didekati sebagai aliran melalui alur terpisah dari alur utama (Istiarto, 2012).
Gambar 2.3 Aliran melalui alur utama dan bantaran (Sumber : Istiarto, 2012)
Berbagai cara telah dilakukan untuk memodelkan permasalahan aliran melalui alur utama dan bantaran. Salah satu cara adalah pengabaian kapasitas angkut bantaran dan menganggap bahwa bantaran hanya berfungsi sebagai tampungan, Cara ini cocok untuk sungai-sungai besar yang alurnya dibatasi tanggul dan bantarannya merupakan kawasan bervegetasi lebat atau merupakan sebuah kawasan tampungan (off-channel storage).
27
Cara HEC-RAS memodelkan aliran di bantaran didasarkan pada metode yang awalnya dikembangkan oleh Fread (1976) dan Smith (1978), yang kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Barkau (1982), Secara garis besar, metode ini dipaparkan di bawah ini.
Fread (1976) dan Smith (1978) mamandang aliran melalui alur utama dan melalui bantaran sebagai dua aliran yang melewati dua tampang saluran terpisah serta menuliskan persamaan kontinuitas dan persamaan momentum untuk masingmasing tampang tersebut. Penyederhanaan dilakukan dengan menganggap muka air di kedua tampang saluran pada arah lateral (tegak lurus arah aliran) datar atau horizontal. Dengan demikian: 1) transfer momentum di antara kedua tampang dapat diabaikan, dan 2) debit terbagi ke kedua tampang berdasarkan kapasitas angkut (conveyance) masing-masing tampang yaitu:
.................................................................................................. (32)
Dimana: Qc
= debit aliran melalui alur utama (channel),
Q
= debit total aliran,
= Kc / (Kc + Kf)
Kc
= kapasitas angkut tampang alur utama,
Kf
= kapasitas angkut tampang bantaran,
Dengan anggapan tersebut, maka persamaan aliran satu dimensi dapat digabungkan menjadi satu kelompok persamaan sebagai berikut:
28
.......... (33) Dalam kedua persamaan di atas, subskrip c mengacu pada alur utama dan subskrip f mengacu pada bantaran. Persamaan di atas dijabarkan dengan pendekatan beda hingga implisit dan persamaan yang diperoleh diselesaikan dengan cara iterasi Newton-Raphson.
Barkau (1982) menyempurnakan cara penyelesaian di atas dengan menjabarkan kedua persamaan ke dalam bentuk beda hingga yang penyelesaiannya lebih efisien dan stabil, HEC-RAS mengadop cara ini. Detail penjabaran bentuk persamaan beda hingga dan cara atau teknik penyelesaiannya dapat dibaca pada buku Hydraulic Reference HEC-RAS,(Istiarto, 2012).