BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Kanker Serviks Serviks terletak pada bagian bawah rahim yang menonjol kedalam vagina wanita. Kanker
serviks muncul ketika sel serviks mulai membelah secara tidak terkontrol. Sel yang membelah secara abnormal akan membentuk masa atau tumor. Ketika sel terus menerus membelah, sel akan menyerang sel normal disekitarnya. Disamping itu sel juga dapat pecah dari masa atau tumor tersebut dan menyebar ke jaringan yang lain, hal ini disebut dengan metastasis (Rajaram, 2012). Penyakit kanker serviks disebabkan oleh infeksi satu atau lebih tipe onkogenik dari HPV. Resiko terbesar infeksi virus ini adalah melalui hubungan seksual. Pada sebagian besar wanita yang terinfeksi, HPV dapat menghilang secara spontan, tetapi sebenarnya virus ini bertahan sehingga menimbulkan ketekunan dan perkembangan pada cervical intraepithelial neoplasia (CIN) terutama pada CIN 3 dan adenocarcinoma in situ. Jika tidak diobati, kanker ini akan berkembang sangat cepat dalam kurun waktu 5-15 tahun (Borruto, 2012). Kanker diberi nama sesuai dengan dimana tempatnya berkembang. Seperti contoh, kanker serviks berkembang pada bagian serviks. Pada permukaan serviks terdapat dua tipe sel yang berbeda yaitu sel epitel kolumnar dan sel epitel skuamosa. Sel epitel merupakan sel yang menutupi permukaan tubuh. Sel epitel kolumnar dan sel epitel skuamosa terlihat berbeda dibawah mikroskop. Sel epitel kolumnar berbentuk panjang dan tersusun rapat antara sel satu dengan sel lainnya. Sel skuamosa berbentuk tipis, rata, panjang serta sel saling tertimbun satu dengan yang lainnya (Heather, 2009). 8
Kanker dikategorikan berdasarkan pada sel dimana mereka pertama kali terbentuk. Kanker serviks berkembang dari sel epitel skuamosa yang diberi nama karsinoma sel skuamosa. Sedangkan
kanker
serviks
yang berkembang dari
sel
epitel
kolumnar
dinamakan
adenokarsinoma. Sebagian besar sel kanker merupakan sel karsinoma skuamosa. Sel karsinoma skuamosa bertanggungjawab untuk 80-90% seluruh angka kejadian kanker serviks. Tumor dari sel karsinoma skuamosa terlihat seperti benjolan kecil dengan berbagai ukuran (Heather, 2009). Adenokarsinoma
merupakan
penyebab
kedua
terbentuknya
kanker
serviks.
Adenokarsinoma berasal dari sel epitel kolumnar. Sel tersebut terbentuk dari kelenjar pada serviks. Kelenjar serviks menghasilkan mukus. Sekitar 10-20 % dari kanker serviks merupakan adenokarsinoma (Dunleavey, 2009). Pada serviks, anatomi dibagi lagi menjadi endocervix dan exocervix atau ectocervic. Endocervix adalah nama untuk 2/3 bagian atas dari serviks dan ectocervix merupakan 2/3 bagian bawah, dan bagian ini lebih mudah dilihat dalam pemeriksaan kolposkopi. Ectocervix dan endocervix dilapisi dengan dua tipe epithelium yang berbeda. Endocervix dilapisi dengan epithelium glandular kolumnar dan ectocervix dengan epithelium skuamosa. Skuamosa dan epitel glandular bertemu pada squamocolumnar junction (SCJ) (Dunleavey, 2009).
2.2
HPV (Human Pappilomavirus) Human Papillomaviruses (HPV) merupakan virus yang sederhana, tidak terbungkus,
berbentuk DNA untai ganda yang termasuk kedalam kelas Papillomaviridae. Lebih dari 200 jenis virus ini telah diidentifikasi dan dimasukkan kedalam kategori low risk (LR HPV) atau high risk (HR HPV). Contoh HPV resiko rendah seperti HPV 6 dan HPV 11 akan menimbulkan
penyakit genital warts. Sedangkan HPV dengan resiko tinggi seperti HPV 16 dan HPV 18 akan menginduksi adanya kanker serviks. Genome HPV terdiri dari beberapa open reading frame yang akan mengkode protein dalam replikasi DNA virus (fase awal E1 dan E2), regulasi ekspresi gen virus (E2), perakitan virus (E4), serta immortalisasi dan transformasi sel epitel yang terinfeksi (E5, E6, E7, hanya HR HPV). Open reading frame (late, L1 dan L2) mengkode dua kapsid protein. Virus HPV biasanya menyerang stem sel dari epitel skuamosa. Integrasi viral DNA muncul dengan tipe HR dan menyebabkan over ekspresi dari 2 viral onkoprotein yaitu E6 dan E7. Protein tersebut jika dikombinasikan dengan E5 akan menyebabkan kematian dan transformasi dari sel yang terinfeksi (Borruto, 2012).
2.3
Stadium Kanker Serviks Penetapan stadium kanker serviks penting dalam memperkirakan penyebaran penyakit dan
merupakan faktor kunci dalam penentuan terapi yang tepat. Pembagian ini didasarkan atas pemeriksaan klinik (Williams and Wilkins, 2001). Tabel 2.1 Klasifikasi Stadium Klinis Kanker Serviks Menurut International Federation of Gynecology and Obstetric (FIGO) (Williams and Wilkins, 2001; Disaia and Creasman, 2007). Stadium Kriteria 0
Karsinoma in-situ atau karsinoma intraepitel
I
Kanker terbatas pada serviks (perluasan ke korpus uterus diabaikan)
IA
Kanker invasif hanya didiagnosis secara mikroskopis
IA1
Ukuran invasi stroma kedalamannya < 3 mm dan lebarnya ≤ 7 mm
IA2
Ukuran invasi stroma kedalamannya 3-5 mm dan lebarnya ≤ 7 mm
IB
Lesi klinis mengurung serviks atau lesi preklinis yang melebihi stadium IA
IB1
Ukuran lesi klinis ≤ 4 cm
IB2
Ukuran lesi klinis > 4 cm
II
Kanker menyebar di luar serviks tetapi tidak menyebar ke dinding pelvis dan 1/3 bagian bawah vagina
IIA
Kanker mengenai 2/3 bagian vagina atas, tidak jelas keterlibatan parametrium
IIA1 IIA2
Lesi klinis sebesar 4,0 cm atau kurang dalam dimensi yang lebih besar ukuran lesi klinis berukuran lebih dari 4 cm
IIB
Kanker jelas menginvasi parametrium, tetapi belum mencapai dinding pelvis
III
Kanker menginvasi 1/3 bagian bawah vagina atau menginvasi parametrium sampai dinding pelvis; atau kanker menimbulkan hidronefrosis atau insufisiensi ginjal
IIIA
Kanker menginvasi 1/3 bagian bawah vagina, tidak terjadi perluasan ke dinding pelvis
IIIB
Perluasan ke dinding pelvis atau menyebabkan hidronefrosis atau tidak berfungsinya ginjal
IV
Penyebaran kanker melewati pelvis minor atau kanker menginvasi mukosa buli-buli atau mukosa rektum
IVA
Kanker bermetastasis ke organ yang berdekatan
IVB
Kanker bermetastasis ke organ jauh
2.4
Penatalaksanaan Kanker Serviks Secara Kemoterapi Kanker serviks dapat ditangani dengan beberapa metode, antara lain pembedahan,
radioterapi, kemoterapi, atau kombinasi dari metode-metode tersebut (Komite Medik, 2004). Pemilihan terapi tergantung pada ukuran tumor, stadium klinis, tingkat penyebaran tumor, gambaran histologis, adanya keterlibatan kelenjar getah bening, faktor risiko dari pembedahan atau terapi radiasi, umur, dan kondisi kesehatan pasien (Williams and Wilkins, 2001).
Salah satu terapi yang dilakukan adalah kemoterapi yaitu pengobatan kanker dengan menggunakan obat sitoktosik. Kebanyakan obat sitotosik mempunyai efek yang utama pada proses sintesis dan fungsi molekul makroseluler, yaitu pada proses sintesis DNA, RNA, atau protein atau mempengaruhi kerja molekul tersebut. Proses ini cukup menimbulkan kematian sel. Sel yang mati pada setiap pemberian kemoterapi hanya proporsional, oleh karena itu kemoterapi harus diberikan berulang kali secara terus menerus untuk mengurangi populasi sel (Aziz dkk., 2006). Kemoterapi kanker serviks umumnya diberikan secara intravena dan bersiklus yang diselingi dengan waktu istirahat untuk membatasi kerusakan sel-sel sehat (GCF, 2005). Salah satu ciri kemoterapi adalah sering terjadi efek samping yang berat walaupun pada dosis terapeutik.
Algoritme terapi pada pasien kanker serviks secara umum adalah sebagai berikut:
Pasien Kanker Serviks
Stadium IA1 dapat dilakukan histerektomi biasa
Stadium IA2 dilakukan radikal histerektomi dan bilateral limfadenektomi atau radioterapi
Stadium IBIIA dilakukan histerektomi dan terapi radiasi primer
Stadium IIBIVA dilakukan radioterapi atau chemoradiot herapi
2. -
Fist line kombinasi Cisplatin/ Paclitaxel Karboplatin/paclitaxel Cisplatin/topotecan Cisplatin/gemcitabine
1. Terapi agent tunggal - Cisplatin - Karboplatin - Paclitaxel
3. Second line - Bevacizumab - Docetaxel - Epirubicin - 5-FU - Ifosfamid - Irinotecan - Liposomal doxorubicin - Mitomycin - Pemetrexed - Topotecan - Vinorelbine (NCCN, 2010)
Regimen kemoterapi yang biasa digunakan di RSUP Sanglah adalah kombinasi paclitaxel cisplatin, kombinasi paclitaxel karboplatin dan kombinasi bleomisin, Oncovin®, mitomisin dan cisplatin (BOMP), dan kombinasi bleomisin, Oncovin®, mitomisin, dan Karboplatin (BOMKarboplatin) (Komite Medik, 2004). Pemilihan metode terapi pada kanker serviks sangat dipengaruhi oleh stadium klinis (Vasilev et al., 2011). Pedoman pemilihan terapi berdasarkan Standar Prosedur Operasional (SPO) kanker serviks di RSUP Sanglah Denpasar tertera pada tabel di bawah ini.
Tabel 2.2 Pemilihan Terapi Berdasarkan Stadium Penyakit (Komite Medik, 2006). Stadium Tindakan Terapi yang Dianjurkan 0
I–IIA
IIB
a. Bila masih ingin memiliki anak dilakukan konisasi b. Bila tidak ingin memiliki anak lagi dilakukan histerektomi sederhana Radikal histerektomi a. Jika terdapat sel ganas pada kelenjar limfe/vaskular, maka ditambahkan radiasi eksternal 5.000–6.000 rad atau sitostatika b. Jika tidak terdapat sel ganas pada kelenjar limfe/vaskular, maka dilakukan pengawasan lebih lanjut Neoadjuvan (Kemoterapi/ ditambah radiasi internal)
a. b.
a. Jika operabel, maka diberikan radikal histerektomi, kemudian radiasi ekternal 4000–5000 rad b. Jika non operabel, maka diberikan radiasi ekternal 4000–5000 rad
a. Kemoterapi + radiasi b. Radiasi eksternal IV Paliatif (radiasi/operasi/sitostatika paliatif dan simptomatis) Catatan: Jika pasien berisiko tinggi diperlukan adjuvan radioterapi atau kemoterapi. Dikatakan risiko tinggi jika terdapat sel ganas, tepi tidak bebas tumor atau radioterapi kurang efektif, dan terdapat pendarahan ke uterus III
2.5
Mekanisme Kerja Bleomisin, Oncovin®, Mitomisin, Karboplatin (BOM-Karboplatin) Bleomisin, Oncovin® (vinkristin), mitomisin, dan karboplatin (BOM-Karboplatin)
merupakan salah satu regimen yang digunakan dalam prosedur kemoterapi untuk kanker serviks di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah (Komite Medik, 2006). a.
Mekanisme Kerja Bleomisin Bleomisin adalah antibiotik antikanker yang mekanisme kerjanya mengikat DNA dan
paling efektif pada fase G2 dan M dari siklus sel (Sweetman, 2009). Bleomisin adalah campuran dari 13 fraksi glycopeptide diproduksi oleh Streptomyces verticillus. Efek antineoplastik yang dimiliki adalah pemotongan DNA untai tunggal dan ganda, memproduksi eksisi basa timin yang dimediasi melalui pengikatan ion ferric iron dan berikutnya memproduksi hidroksil yang sangat reaktif dan radikal superoksida. Bleomisin bekerja spesifik pada fase siklus sel tertentu, dengan aktivitas maksimal pada fase G2 (premitotic) (Anderson et al., 2002). Efek samping dari bleomisin adalah muntah (rendah hingga sedang), alopesia, demam akut, eritema dengan edema, terkadang muncul hiperpigmentasi dan penebalan kulit. Toksisitas yang paling serius untuk pemakaina jangka panjang adalah fibrosis pulmonary yang dimanifestasikan oleh batuk kering, dyspnea, dan infiltrasi bilateral. Studi menunjukan adanya hipoksemia dan penurunan kapasitas difusi CO. Toksisitas pulmonary biasanya tidak muncul pada dosis di
bawah 150 unit/m2, frekuensi meningkat hingga 55% pada dosis > 283 unit/m2 dan 66% pada 360 unit/m2 (Anderson et al., 2002). Toksisitas paru terjadi pada 10% pasien yang menerima terapi bleomisin. Sekitar 1% dapat menyebabkan pneumonitis oleh bleomisin yang dapat berkembang menjadi fibrosis paru, dan kematian (Debnath, 2010). Hipomagnesemia juga terlihat pada terapi menggunakan bleomisin akibat rusaknya tubulus ginjal (Saif, 2008). Bleomisin memiliki tingkat steady-state selama pemberian infus 20 unit/hari berkisar antara 50-200 miliunit/L. Nilai volume distribusi bleomisisn sebesar 17 L/m2, dan nilai t ½ sebesar 2 jam. Kecepatan klirens dari bleomisin yaitu 35 mL/menit. 50%-60% dosis bleomisin yang telah mengalami proses filtrasi oleh ginjal, 68% merupakan bleomisin dalam bentuk bebasnya (Anderson et al., 2002). Bleomisin sulfat 150 unit dilarutkan didalam Dextrose 5% dengan wadah PVC mengalami kehilangan sebanyak 54% selama 28 hari pada temperatur ruangan diluar pengaruh sinar matahari. Jika disimpan didalam wadah kaca dengan konsentrasi 300 units akan kehilangan 10 % dalam waktu 8-10 jam pada suhu 230C. Bleomisin sulfat dengan konsentrasi 15 unit didalam semua wadah (wadah PVC, wadah gelas, dan wadah polyethylene) tidak ada kehilangan jika dilihat dengan spektroskopi UV dalam 24 jam dengan sinar matahari langsung (Trissel, 2009). b.
Mekanisme Kerja Oncovin (Vinkristin) Oncovin memiliki mekanisme kerja yang sama dengan vinblastin yaitu mengikat protein
mikrotubular dan mencegah mitosis pada metafase, sehingga spesifik untuk fase M dari siklus sel. Oncovin juga mengganggu metabolisme glutamat dan sintesis asam nukleat, dan memiliki beberapa aktivitas imunosupresan (Sweetman, 2009). Oncovin merupakan alkaloid vinca yang bekerja sebagai agen antimitotik. Aktivitas sitotoksiknya dihubungkan dengan ikatan spesifik pada mikrotubulus protein tubulin sehingga
menyebabkan disolusi mikrotubulus. Hal ini akan memblok pembentukan apparatus benang mitotic yang diperlukan dalam pembelahan sel. Golongan vinca menyebabkan kematian sel pada dosis tinggi sedangkan pada dosis rendah menyebabkan penghentian pembelahan sel pada tahap metafase mitosis (Anderson et al., 2002). Toksisitas utama dari Oncovin adalah neuropati perifer yang dimanifestasikan oleh konstipasi, paresthesias, nyeri rahang, penurunan refleks tendon dalam, dan terkadang bladder atony atau paralitik ileus. Semua gejala neurologis ini secara perlahan teratasi setelah 1 bulan dan memerlukan penurunan dosis jika terjadi saat administrasi obat (Anderson et al., 2002). Oncovin mengalami proses metabolisme di CYP3A4 hati, dengan nilai t ½ yaitu 10,5-155 jam. 44% dari total oncovin yang masuk ke dalam tubuh akan berikatan dengan protein plasma. Kecepatan klirens oncovin sebesar 146 mL/menit dengan volume distribusi oncovin yaitu 8,4 L/kg. Oncovin dapat dieliminasi melalui urin maupun feses, dengan masing-masing presentasenya 10-20% dan 33-80% (Anderson et al., 2002). Oncovin dilarutkan dalam Dextrose 5% dengan konsentrasi 16,7 mg didalam wadah PVC akan stabil dalam 24 jam pada temperatur ruangan. Oncovin dilarutkan dalam NaCl 0,9% didalam wadah PVC dengan konsentrasi 10, 20, 40, 60, 80, 120 mg tidak mengalami kehilangan setelah 7 hari pada suhu 40C diikuti selama hari pada suhu 230C (Trissel, 2009). c.
Mekanisme Kerja Mitomisin Mitomisin adalah antibiotik toksisitas tinggi yang memiliki aktivitas antikanker dengan
mekanisme kerja menekan sintesis asam nukleat. Merupakan agen nonspesifik pada siklus sel, tetapi paling aktif pada fase G1 dan awal fase S (Sweetman, 2009). Obat ini diaktivasi secara kimia dan metabolik menjadi spesies pengalkil. Obat ini bekerja non-spesifik pada fase siklus sel, tetapi efikasi maksimumnya pada fase G1 dan S. Mitomisin digunakan secara primer pada
tumor saluran cerna (intravena) dan kanker kandung kemih (intravesikal). Efek samping dari obat ini adalah mual, muntah, diare, alopesia, dan terkadang nefrotoksisitas. Obat ini juga dapat menyebabkan sterilitas, mutagenitas, dan teratogenitas. Toksisitas pada dosis terbatas adalah myelosuppression, trombositopenia dan anemia. Terapi jangka panjang terkadang menimbulkan sindrom hemolitik-uremik (Anderson et al., 2002). Valavaara dan Nordman (1895) mengatakan, frekuensi dari toksisitas ginjal, yang berkorelasi pada dosis kumulatif mitomisin C, terlihat diantara 118 pasien yang menjadi subjek penelitian, pada dosis kurang dari 50 mg/m2, risiko kerusakan ginjal yaitu 1,6%. Tetapi pada dosis diatas 70 mg/m2, risiko kerusakan ginjal mencapai 30%. Setelah pemberian intravena mitomisin sebanyak 15m/m2, tingkat puncak serumnya pada konsentrasi 1mg/L. Obat ini dieliminasi terutama melalui hati sebesar 20% dan 10-30% dalam bentuk bebasnya melalui urin. Mitomisin memiliki nilai volume distribusi sebesar 16-56 L/m2. Nilai klirens mitomisin sebesar 0,3-0,4 L/jam/kg. Mitomisin memiliki waktu paruh (t ½ ) pada fase α yaitu 5-10 menit setelah diinjeksikan dan pada fase β yaitu 46 menit (Anderson et al., 2002). Mitomisin dilarutkan dalam Dextrose 5% dengan konsentrasi 20 mg dalam wadah gelas, mitomisin mengalami kehilangan sebanyak 10% dalam waktu 3 jam pada suhu 250C. Mitomisin dalam wadah PVC dengan konsentrasi yang sama akan mengalami kehilangan sebanyak 10% dalam waktu 7 jam pada suhu 250C (Trissel, 2009). d.
Karboplatin Karboplatin merupakan cyclobutane carboxylato turunan cisplatin yang lebih stabil. Obat
ini secara perlahan aktif untuk menyerang 2 untai DNA pada platinum II koordinasi kompleks. Obat berikatan dengan DNA oleh inter dan intrastrand cross link, namun lebih lambat
dibandingkan cisplatin. Karboplatin lebih mudah larut dalam air dan nefrotoksik lebih rendah dibandingkan cisplatin. Aksi obat ini berupa fase siklus sel non spesifik. Karboplatin mengakibatkan turunnya elektrolit dalam tubuh sebesar 20-30%, terutama natrium, kalium dan magnesium (Anderson et al., 2002). Efek samping serius yang dapat terjadi pada pemberian karboplatin adalah depresi sumsum tulang (trombositopenia 60-70 %), neutropenia (95%), anemia (88%), hipokalsemia, hipomagnesemia (30-60 %), hiponatremia (10-50 %), hipokalemia (10-50 %), neurotoksisitas (hanya terjadi setelah pemberian cisplatin sebelumnya), nefrotoksisitas, ototoksisitas, gagal jantung, hepatitis, serta pendarahan (Ehrenpreis and Eli, 2001). Adanya platinum pada karboplatin berikatan dengan protein ginjal dan akumulasi platinum pada ginjal kemungkinan besar berperan dalam menginduksi terjadinya nefrotoksisitas akibat adanya kerusakan glomerular. Karboplatin pada dosis tinggi diperkirakan menginduksi nefrotoksisitas melalui kerusakan ginjal oksidatif (Husain et al., 2002). Karboplatin pada dosis tinggi yaitu 1200 mg/m2 berhubungan dengan nefrotoksisitas lebih dari 50% pasien mengalami penurunan nilai GFR 25% sampai 50% (McKeage, 1995). Dari keseluruhan karboplatin yang masuk dalam tubuh, 30% berikatan secara ireversibel dengan protein plasma dan ikatan memiliki waktu paruh hingga lebih dari 5 hari. Karboplatin memiliki nilai volume distribusi sebesar 16-20L/m2. Secara perlahan karboplatin dihidrolisis secara in vivo untuk berinteraksi dengan dua sisi berikatan DNA. Fraksi bebas dari karboplatin dan hasil dari proses hidrolisis diekskresikan melalui filtrasi glomerulus dan sekresi tubular. Karboplatin bebas dieliminasi melalui urin lebih dari 65% pada pasien dengan kondisi ginjal yang baik. t ½ dari karboplatin pada fase α sebesar 90±50 menit dan pada fase β sebesar 180±50 menit. Nilai klirens dari karboplatin yaitu 4,4 L/jam (Anderson et al, 2002).
Karboplatin dengan konsentrasi 1gram/L dilarutkan dalam NaCl 0,9% didalam wadah gelas secara fisik kompatibel dengan kehilangan 5% dalam 24 jam pada suhu 250C. Dengan konsentrasi 7 gram/L didalam NaCl 0,9% mengalami kehilangan sebanyak 8% dalam 2 jam penyimpanan pada suhu 270C (Trissel, 2009). Untuk pasien yang belum pernah menerima agen tunggal karboplatin, target AUC yang digunakan adalah 5-7. Sedangkan untuk pasien yang sebelumnya pernah menerima agen karboplatin atau sedang memperoleh agen myelosupresive, target AUC yang digunakan adalah 35 (Albert and Robert, 1998).
2.6
Albumin Albumin merupakan protein yang terkandung sebanyak 55%-65% dari total protein
plasma. Albumin berguna untuk menjaga tekanan osmotik plasma, berperan dalam transport, menyimpan berbagai jenis ligan, sumber dari asam amino endogen serta ikatan albumin dan senyawa terlarut seperti bilirubin, kalsium dan asam lemak rantai panjang. Manfaat lain dari albumin adalah mampu mengikat toksik ion logam berat dan berbagai toksik yang dihasilkan dari produk farmasetikal. Hal inilah yang menjadikan alasan konsentrasi albumin yang rendah dalam darah memiliki efek signifikan terhadap farmakokinetika (Roche, 2005). Sekitar 3,3 g albumin di filtrasi melalui ginjal setiap hari. Pada bagian tubulus proksimal terjadi reabsorpsi sebesar 71%. Sebesar 23% terjadi di lengkung henle dan tubulus distal. Hal tersebut mengindikasikan bahwa ginjal berperan penting dalam metabolisme protein (Tojo and Kinugasa, 2012). Walaupun albumin merupakan protein anionik berukuran besar, namun tidak sepenuhnya ditahan oleh barrier filtrasi glomerulus. Dalam mencegah proteinuria, albumin di absorpsi kembali pada tubulus proksimal oleh reseptor perantara endositosis, yang berkaitan
dengan ikatan protein megalin dan kubilin (Gekle, 2005). Molekul albumin terbawa kedalam lisosom pada tubulus proksimal selama 6-15 menit dan terdegradasi menjadi asam amino setelah 30-120 menit (Tojo and Kinugasa, 2012). Beberapa metode digunakan untuk mengevaluasi fungsi tubulus pada pasien yang menerima terapi cisplatin. Fungsi tubulus proksimal dievaluasi dengan laju ekskresi dari protein berukuran kecil seperti mikroglobulin dan asam amino. Protein ini difiltrasi secara bebas melalui membran glomerulus dan di absorpsi kembali pada tubulus proksimal. Ekskresi urin ditemukan meningkat selama dan sesudah terapi cisplatin (Daugaard and Abildgaard, 1989). Hipoalbuminemia muncul pada banyak penyakit dan disebabkan oleh beberapa faktor seperti pada penyakit liver atau sebagai konsekuensi pengurangan konsumsi protein, peningkatan katabolisme akibat dari kerusakan jaringan (terbakar) atau inflamasi, malabsorpsi dari asam amino dan proteinuria akibat dari sindrom nefrotik. Pada kasus hipoalbiminemia yang berat, konsentrasi maksimum albumin pada plasma adalah 2,5 g/dL. Hal tersebut diakibatkan karena rendahnya tekanan osmotik plasma sehingga air masuk melalui kapilar darah kedalam jaringan (edema). Penentuan nilai albumin bermanfaat dalam mengontrol suplemen diet pasien dan berguna untuk uji fungsi liver. Nilai normal untuk serum albumin adalah 3,4 g/dL sampai 4,8 g/dL (Roche, 2005).
2.7
Natrium dan Kalium Elektrolit terlibat pada sebagian besar fungsi metabolik dalam tubuh. Natrium dan kalium
merupakan contoh ion yang paling dibutuhkan secara fisiologis. Elektrolit ini, masuk melalui makanan, diserap dalam jalur gastrointestinal dan dikeluarkan melalui ginjal. Natrium merupakan cairan yang paling banyak terdapat pada ekstraseluler dan berfungsi untuk menjaga
distribusi cairan dan tekanan osmotik. Jika kadar natrium menurun dapat menyebabkan muntah berkepanjangan atau diare, mengurangi reabsorpsi pada ginjal dan retensi cairan yang parah. Sebaliknya jika terjadi peningkatan kadar natrium akan berakibat kehilangan cairan, konsumsi garam yang tinggi serta meningkatkan reabsorpsi ginjal. Nilai normal untuk natrium adalah sebesar 136 mmol/L sampai 145 mmol/L (Roche, 2005). Hiponatremia merupakan gangguan elektrolit yang sering ditemui pada pasien kanker. Gangguan ini berhubungan dengan komplikasi neurologi yang dapat mengancam nyawa. Mild hiponatremia dikategorikan jika nilai natrium <135 mmol/L; moderate <132 mmol/L; severe <130 mmol/L. Hiponatremia muncul ketika kemampuan ginjal untuk mengekskresikan air bebas tergangganggu. Hiponatremia yang disebabkan oleh terapi obat kanker yaitu cisplatin mengakibatkan terganggunya absorpsi natrium dengan cara rusaknya tubulus ginjal (Adedayo et al., 2007). Kalium merupakan cairan tubuh utama yang terdapat pada intraseluler dan sangat penting untuk neural serta aktivitas sel otot. Turunnya kadar kalium dapat disebabkan oleh berkurangnya asupan mengandung kalium yang dimakan atau kehilangan kalium yang besar dari dalam tubuh akibat muntah dan diare yang terus menerus atau meningkatnya ekskresi ginjal. Ginjal memiliki peran penting dalam eliminasi kalium dalam tubuh. Meningkatnya kadar kalium dapat disebabkan oleh dehidrasi atau syok, diabetik ketoasidosis dan retensi kalium oleh ginjal. Nilai normal kalium adalah sebesar 3,5 mmol/L sampai 5,1 mmol/L (Roche, 2005). Hipokalemia merupakan manifestasi kedua terbanyak dari hipomagnesemia yang dikarenakan pemberian terapi cisplatin. Meningkatnya sekresi kalium pada lengkung henle diketahui sebagai mekanisme hipokalemia (Atsmon and Dolev, 2005). 2.8
Magnesium
Kurang dari 2% total magnesium tubuh terletak pada kompartemen cairan ekstraseluler. Walaupun magnesium memiliki distribusi intraseluler dan ekstraseluler yang mirip dengan kalium, sebagian besar magnesium intraseluler berikatan dan tidak dapat bertukar dengan cairan ekstraseluler. Intraseluler magnesium bebas sangat sulit beregulasi, walaupun terdapat variasi yang sangat besar dalam konsentrasi magnesium ekstraseluler. Hal ini berkaitan dengan peran magnesium dalam metabolisme intraseluler. Magnesium dibutuhkan untuk mengaktivasi enzim intraseluler dalam jumlah yang besar (Roche, 2005). Karena magnesium sebagian besar terdapat pada elektrolit intraseluler, hipomagnesemia tidak selalu mencerminkan habisnya magnesium. Mekanisme penting pada hipomagnesemia dan hilangnya magnesium termasuk diantaranya berkurangnya asupan (kelaparan), berkurangnya absorpsi di usus halus (malabsorpsi) dan peningkatan ekskresi pada ginjal. Manifestasi neurologikal dari hipomagnesemia adalah agitasi, bingung, kejang, tremor, myoclonus, dan tetani. Gejala tersebut muncul dengan konsentrasi serum magnesium kurang dari 0,8 mEq/L. Nilai normal untuk serum magnesium adalah sebesar 1,8 mg/dL sampai 2,4 mg/dL (Roche, 2005). Neurologikal dari hipomagnesemia mirip dengan hipokalsemia. Hal ini menyebabkan pada saat terjadi hipokalsemia, gejala hipomagnesemia juga ikut muncul. Maka dari itu, penting untuk mengevaluasi kadar magnesium pada pasien hipokalsemia yang gagal menerima asupan kalsium (Roche, 2005). Kekurangan Mg dapat meningkatkan risiko terkena penyakit onkogenesis. Lebih dari 300 enzim yang mempengaruhi metabolisme karbohidrat, asam amino, asam nukleat, dan protein memerlukan Mg. Efek dari Mg pada kanker diproduksi oleh transplantasi tumor atau oleh zat
kimia. Asupan Mg yang optimal dapat bersifat profilaktik terhadap beberapa neoplasma, karena sel kanker memiliki kebutuhan metabolik yang tinggi (Saif, 2008). Cisplatin menyebabkan hipomagnesemia pada sebagian besar penderita kanker. Hipomagnesemia selama terapi cisplatin mungkin akut maupun kronis. Pada fase akut, selain cisplatin faktor yang berkontribusi pada hilangnya Mg termasuk pada penggunaan diuretik dan asupan Mg yang kurang. Hipomagnesemia yang kronis mulai berkembang 3 minggu setelah pemberian kemoterapi dan akan tetap bertahan selama beberapa bulan. Analog dari cisplatin yaitu karboplatin memiliki efek nefrotoksik yang lebih ringan, dan diketahui hanya 10% dari pasien yang mengalami hipomagnesemia (Saif, 2008).