BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sepanjang penelusuran penulis, penelitian tentang analisis emosi pada syair, khususnya syair ulama sufi yang saat ini sedang penulis lakukan, merupakan penelitian pertama yang dilakukan oleh mahasiswa untuk meraih gelar kesarjanaan di Program Studi Bahasa Arab Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara. Disamping asosiasi, emosi merupakan faktor yang amat penting dalam sebuah puisi/syair, bahkan kedua instrumen inilah yang menjadi pembeda antara sebuah puisi dengan karya sastra lainnya. Emosi memberi pengaruh terhadap cara berbuat dan berpikir seseorang. Ia dapat memberi semangat kepada seseorang untuk berkembang dan sebaliknya ia dapat membuat frustasi bila tidak dikendalikan dengan baik. Penulis berusaha membahas tentang emosi pada syair Imam Ghazali dalam kitab “
” إﺣﻴﺎء ﻋﻠﻮم اﻟﺪﻳﻦ/`I ḥyā`u ‘Ulūmi al-dīni/ khususnya bab yang memuat syair
amar ma’ruf dan nahi munkar. Pilihan terhadap Imam Ghazali dan syair-syair amar ma’ruf dan nahi munkar ini, tidak hanya berangkat dari kekaguman subjective penulis terhadap karya-karya beliau. Tetapi berlandaskan pula dari sebuah pandangan teologis bahwa setiap muslim memiliki kewajiban untuk menjalankan amar ma’ruf dan nahi munkar. Sebagaimana yang dinyatakan dalam firman Allah SWT surat An-Nahl: 90 yang berbunyi:
ان اﷲ ﻳﺄﻣﺮﺑﺎﻟﻌﺪل واﻻﺣﺴﺎن واﻳﺘﺎء ذى اﻟﻘﺮﰉ وﻳﻨﻬﻰ ﻋﻦ اﻟﻔﺨﺸﺎء واﳌﻨﻜﺮ واﻟﺒﻐﻰ (٩٠ :)اﻟﻨﺤﻞ
/inna allaha ya`muru bil’adli wa al-iḥsāni wa ītā`i żi al-qurba wayanha ‘ani al-faḥsyā`i wa al-munkari wa al-bagi/. ‘sesungguhnya Allah memerintahkan menjalankan keadilan, berbuat kebaikan dan memberi kepada kerabat-kerabat dan Ia melarang perbuatan keji, pelanggaran dan kedurhakaan’ (Qs. An-Nahl: 90). Kewajiban ini merupakan manifestasi kesadaran seorang yang beriman untuk menegakkan sendi-sendi moral dan hukum (syariat) di dalam kehidupan pribadi maupun kolektif masyarakat luas. Amar ma’ruf dan nahi munkar yang secara bahasa bermakna memerintahkan hal-hal yang baik (kebajikan) dan melarang hal-hal yang munkar, bergaris lurus dengan hukum. Oleh karena itu, sangat penting untuk
Universitas Sumatera Utara
memahami kedudukan amar ma’ruf dan nahi munkar, baik sebagaimana yang diulas oleh Imam Al-Ghazali maupun yang dipaparkan oleh ulama-ulama lain melalui aktivitas dakwah mereka. Sebagai seorang sufi, pemikir, dan ulama, perjalanan rohani Al-Ghazali mampu membawa karya-karyanya menembus ruang dan waktu, sehingga tetap terasa segar hingga saat ini. Pendapat-pendapatnya, sering dijadikan rujukan sekaligus pada saat yang sama menimbulkan berbagai perdebatan dan diskusi serius dikalangan cendikiawan. Apa yang beliau tuangkan dalam karyanya ini secara tegas menggambarkan situasi emosi Al-Ghazali ketika menghadapi realitas masyarakat pada zamannya. Berkenaan dengan hal ini, Semi (1988: 111) menuturkan bahwa emosi seseorang dapat membuat sebuah karya sastra jadi memukau. Ia juga menambahkan bahwa emosi yang ada dalam syair harus sesuai dengan tujuan serta situasi dan kondisi. Karena kesesuaian dan keharmonisan sangat menentukan keberhasilan seorang penyair. Sensitivitas seorang penyair dapat menyebabkan ia mampu menangkap momen estetis yang merupakan dasar penciptaan karyanya. Faktor emosi memberi pengaruh yang sedemikian kuat dalam sebuah karya seni. Peristiwa-peristiwa yang memiliki muatan emosional hadir silih berganti, sejatinya turut memperkaya pengalaman hidup. Dengan emosi, manusia bisa melakukan tindakan yang dianggap perlu untuk stabilisasi kehidupannya dan mengkomunikasikan apa yang dialami saat itu kepada orang lain. Karena emosi manusia sangat beragam, sehingga bahasa yang dimiliki amat terbatas dalam mendeskripsikan dan mendiferensiasikannya secara akurat. Di dalam Al-Qur’an, kecerdasan emosional seringkali dihubungkan dengan hati/kalbu “
ﻗﻠﺐ
” /qalbun/ dan tentu saja dengan istilah lain yang mirip dengan
fungsi kalbu seperti jiwa “
“ اﻟﻨﻔﺲ/al-nafsu/ intuisi “ “ ﺣﺪس/ḥadsun/ dan beberapa
istilah lainnya. Tidak dijumpai kosa kata spesifik yang berdenotasi emosi dalam AlQur’an, tetapi ditemukan banyak ayat yang berbicara tentang prilaku emosi yang ditampilkan manusia dalam berbagai peristiwa kehidupan. Ungkapan Al-Qur’an tentang emosi manusia digambarkan langsung bersama peristiwa yang sedang terjadi,
Universitas Sumatera Utara
misalnya gambaran dalam kondisi bahagia, marah, takut, benci, kaget, atau dalam keadaan yang lain. Adapun yang menjadi emosi dasar manusia menurut Hude (2006: 137) meliputi: emosi senang, marah, sedih, takut, benci, heran dan kaget. Hampir semua pakar psikologi berpendapat bahwa emosi manusia bersifat dwirasa, dalam arti tidak ada emosi yang berdiri secara tunggal. Benci dan sayang saling bercampur. Seorang laki-laki mungkin membenci seseorang wanita tetapi sekaligus dia juga tertarik kepadanya. Konflik emosi, pada dasarnya adalah konflik antara perasaan bawah sadar dengan keinginan-keinginan yang muncul dari luar (Semi, 1989: 47). Peninjauan emosi juga terdapat dalam karya sastra. Semi menyebutkan bahwa pemanfaatan emosi dalam suatu karya sastra akan tergantung kepada pembentukan asosiasi mental. Asosiasi mental ini pada dasarnya merupakan kesadaran diri dalam menghubung-hubungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain. Kenyataannya, asosiasi mental sangat penting dan menentukan dalam penciptaan karya sastra dan menentukan pula dalam berespon terhadap puisi. Asosiasi mental adalah ide-ide, imajinasi, dan perasaan yang dihubungkan dengan objek yang real dengan memanfaatkan kata (Semi, 1988: 111). Asosiasi mempunyai kekuatan yang besar untuk membangkitkan emosi. Misalnya dalam syair yang menceritakan tentang wajib amar ma’ruf dan nahi munkar dalam kitab “ اﻟﺪﻳﻦ
إﺣﻴﺎء ﻋﻠﻮم
”/`I ḥyā`u ‘Ulūmi al-dīni / (Al-Ghazali, t.t : 344)
ﳘﻮﻣﺎ ﻛﻠﻤﺎ ﻛﺜﺮت ﻟﺪﻳﻪ وﺗﻜﺮم ﻛﻞ ﻣﻦ ﻫﺎﻧﺖ ﻋﻠﻴﻪ وﺧﺬ ﻣﺎاﻧﺖ ﳐﺘﺎج اﻟﻴﻪ
أرى اﻟﺪﻧﻴﺎ ﳌﻦ ﻫﻲ ﰲ ﻳﺪﻳﻪ ﲔ اﳌﻜﺮﻣﲔ ﳍﺎ ﺑﺼﻐﺮ إذا اﺳﺘﻐﻨﻴﺖ ﻋﻦ ﺷﻴﺊ ﻓﺪﻋﻪ
/ara al-dunyā liman hiya fi yadaihi/ /humūmān kullumā kaṡurat ladaihi/ /tuhīnu al-mukramīna lahā biṣugrin/ /watukrimu kullu man hānat ̒alaihi/ /izā ̀żāstagnaita ̒an syaíin fada̒hu/ /wakhuż māanta mukhtājun ilaihi/
(Ghazali, t.t: 344). ‘aku melihat dunia, bagi orang yang mempunyainya, merupakan duka-cita, setiap kali bertambah banyak padanya. dan itu menghinakan orang, yang memuliakannya dengan yang kecil saja.
Universitas Sumatera Utara
dan memuliakan tiap-tiap orang, yang menghinakan kepadanya. apabila engkau tidak memerlukan, akan sesuatu, maka tinggalkanlah’. dan apa yang engkau perlukan, maka ambilkanlah!’ (Yakub, 1978: 486). Dalam kitab aslinya, syair di atas berjumlah 3 baris. Syair ini terdapat di halaman 344 buku “ اﻟﺪﻳﻦ
” إﺣﻴﺎء ﻋﻠﻮم/`I ḥyā`u ‘Ulūmi al-dīni / jilid 2 Penerbit: Darul
Kutub Ilmiah. Pada umumnya, seseorang yang membaca sebuah syair sudah barang tentu mempunyai kemampuan berasosiasi. Kemampuan ini tentu tidak timbul begitu saja, melainkan harus dibina dan dikembangkan melalui banyak membaca serta memikirkan tentang makna kehidupan yang dialami. Secara sepintas, tema utama yang diusung dalam syair tersebut dapat dengan mudah diinterpretasikan. Hal tersebut dapat ditelusuri dengan menelaah struktur bahasa penyair. Pendekatan kebahasaan yang dilakukan oleh Al-Ghazali pada syair tersebut secara tidak langsung menunjuk pada sebuah ajaran dalam tasawuf yaitu zuhud. Zuhud adalah sebuah ajaran yang mendorong manusia agar membebaskan hatinya dari hal-hal yang bersifat materi (dunia). Zuhud bukan berarti meninggalkan dunia, akan tetapi tidak meletakkan dunia di dalam hati. Para ulama sufi menegaskan bahwa hakikat zuhud adalah menyingkirkan semua kenikmatan dunia dari kalbu (Al-Kharaz, 2003: 45). Bagi orang-orang yang hatinya telah dipenuhi oleh cahaya kebajikan, akan mampu menyimpulkan bahwa dunia adalah hawa nafsu dengan segala hasratnya. Apabila seorang hamba dapat mengendalikan apa-apa yang diinginkan oleh hawa nafsunya, niscaya ia pun akan mampu meninggalkan dunia. Zuhud dari masalah dunia sagatlah rumit dan tidak bisa dianggap ringan. Karena itu, kezuhudan seorang hamba bergantung pada kadar pengenalan dan pengetahuannya akan Allah SWT, sehingga barangsiapa yang menjauhkan hatinya dari kenikmatan dunia, ia pun bisa dikatakan sebagai orang yang telah mengenal zuhud. Dan sebaliknya, barangsiapa yang mengikuti hawa nafsunya dan tidak mampu menahan segala kemauannya, maka ia belum bisa dikatakan telah menjauhi dunia dan mencintai akhirat.
Universitas Sumatera Utara
Tahapan inilah yang ingin dilukiskan Al-Ghazali melalui syairnya tersebut. Orang-orang yang mengikuti petunjuk Allah SWT dalam segala perbuatannya adalah orang-orang yang memiliki visi jauh ke depan dan derajat mereka di sisi Allah adalah yang paling tinggi. Dengan demikian, bagi orang-orang yang bersikap zuhud, tindakan menjaga jarak dari dunia serta tidak meletakkannya dalam hati adalah suatu keharusan dengan tanpa perlu mengharapkan balasan dari Allah SWT. Semua yang dilakukan, murni karena mengikuti petunjuk Allah demi memuliakan keagungan-Nya serta meyakini bahwasanya Allah tidak akan menyia-nyiakan kebajikan dari orangorang yang berbuat baik. Syair tersebut memiliki relevansi dengan perintah Allah SWT kepada umat manusia untuk bersikap zuhud berkenaan dengan pemerolehan kekayaan, melalui firmanNya dalam potongan ayat berikut ini :
ﻓﻞ ﻣﺘﺎع اﻟﺪﻧﻴﺎ ﻓﻠﻴﻞ واﻻﺧﺮة ﺧﲑ ﳌﻦ اﺗﻘﻰ
/qul matā’ u al-dunyā qalilun, wa al-ākhiratu khairun liman attaqa/. ’katakanlah, kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertaqwa’ (Qs. An-Nisa’: 77). Dalam Al-Quran, ada banyak terdapat ayat-ayat lain yang menekankan betapa kehidupan dunia dan segala keindahannya hanyalah kesenangan temporal. Tak jarang ayat tersebut dibarengi dengan penekanan bahwa kehidupan akhirat adalah kehidupan abadi yang harus dipersiapkan bekalnya sejak dini. Seruan untuk bersikap zuhud terhadap dunia bukanlah berarti meninggalkan kehidupan dunia secara total. Dunia adalah alat dan bukan tujuan hidup manusia. Syair ini merupakan cerminan diri dari Al-Ghazali, bisa pula dikatakan kritik terhadap dirinya sendiri dalam mencari hakikat kebenaran. Syair tersebut termasuk ke dalam kategori sastra sufi, yakni sastra keagamaan yang menghubungkan kebenaran hakiki ajaran agama itu sendiri dengan menyatukan dimensi sosial yang menunjuk pada kehidupan manusia serta transdental (keindahan Ilahi) yang menunjuk pada kehidupan yang lebih tinggi, yang berpuncak pada Yang Gaib (Allah). Dimensi yang kedua ini memberikan kedalaman pada suatu karya, menopangnya dengan nilai-nilai kerohanian, membuat suatu karya seni bersifat vertikal atau meninggi (Hadi, 2004: 1). Dengan demikian, syair di atas serta merta membangkitkan asosiasi pembaca terhadap kehidupan dunia yang sedang dijalani. Bermakna sesungguhnya amar ma’ruf (menyuruh berbuat kebajikan) dan nahi munkar (melarang berbuat yang munkar) adalah hal yang terpenting di dalam agama yang harus diimplementasikan dalam
Universitas Sumatera Utara
kehidupan seseorang di dunia, sehingga diharapkan dapat membuat kita menjadi pribadi yang utuh. Allah Ta’ala menyifatkan orang-orang mukmin untuk mengerjakan yang baik (amar ma’ruf) dan melarang mengerjakan yang salah (nahi munkar) yang dapat kita mulai dari hal-hal yang kecil seperti menghormati orang tua, memuliakan tamu, bertutur kata yang santun dan sebagainya. Dalam syair tersebut, jelas terungkap bahwasanya untuk urusan ibadah dan ketaatan terhadap Allah SWT wajib dilakukan oleh setiap manusia. Seperti contoh bahwa tiap-tiap orang awam yang mengetahui syarat-syarat shalat, maka haruslah ia mengajarkan orang lain. Karena kalau tidak, maka ia bersekutu pada dosa (Yakub, 1978: 558). Syair ini mengandung aspek psikologis yang menjelaskan tentang upaya meraih kecintaan terhadap Allah dengan jalan berbuat kebajikan dengan lebih mengedepankan aspek-aspek ukhrawi tanpa
mengesampingkan masalah duniawi.
Aspek psikologi pada gilirannya masuk ke dalam wilayah sastra yang menurut Hardjana melalui empat jalan utama: (1) pembahasan tentang proses penciptaan sastra, (2) pembahasan psikologi terhadap pengarangnya (baik sebagai suatu tipe maupun sebagai seorang pribadi), (3) pembicaraan tentang ajaran dan kaidah psikologi yang dapat ditimba dari karya sastra, dan (4) pengaruh karya sastra terhadap pembacanya (Hardjana, 1991: 60). Di tempat lain Endraswara (2003: 96) menyatakan psikologi sastra adalah yang memandang karya sebagai aktifitas kejiwaan, pengarang akan menggunakan cipta, rasa dan karsa dalam berkarya, begitu pula para pembaca dan menanggapi karya sastra juga tidak akan lepas dari kejiwaan masing-masing. Karya Al-Ghazali dalam penelitian ini masuk ke dalam psikologi sastra, sehingga aspek-aspek kejiwaan tokoh Al-Ghazali dalam karyanya ini, harus dilihat pula dari sudut pandang psikologi dengan memanfaatkan pertolongan pengetahuan ilmu psikologi modern. Sastra dan segala sesuatu yang diklasifikasikan ke dalam seni, seperti fiksi, drama, syair, puisi, menurut Siswantoro sangat berbeda dengan psikologi yang memfokuskan titik perhatiannya pada jiwa manusia. Namun keduanya memiliki titik temu atau kesamaan. Keduanya berangkat dari manusia dan kehidupan manusia sebagai sumber kajian utama. (Siswantoro, 2005: 29).
Universitas Sumatera Utara