8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini penulis akan membahas tentang tinjauan pustaka, dengan penekanan pembahasan pada tinjauan teori tentang luka, sectio ceasarea, faktor – faktor yang mempengaruhi penyembuhan luka post operasi sectio caesarea, kerangka konsep, hipotesa dan defenisi operasional. 2.1 Tinjauan Umum Tentang Luka 2.1.1
Definisi Luka Luka adalah hilangnya sebagian jaringan tubuh. Keadaan ini dapat
disebabkan oleh trauma benda tajam atau tumpul, perubahan suhu, zat kimia, ledakan, sengatan listrik, atau gigitan hewan (Sjamsuhidajat,2005) Menurut kozier (1995) Luka adalah hilangnya kontinuitas kulit, mukosa membran dan tulang atau organ tubuh lain. Luka adalah rusaknya struktur dan fungsi anatomis normal akibat proses patologis yang berasal dari internal maupun eksternal dan mengenai organ tertentu (Lazarus et al, 1994) 2.1.2
Klasifikasi Luka Luka digolongkan berdasarkan sifat kejadiannya akan terbagi menjadi
dua, yaitu luka disengaja dan luka tidak disengaja. Luka disengaja adalah luka yang yang dibuat karena satu dan lain hal contohnya luka yang terkena radiasi atau luka bedah, sedangkan luka yag tidak disengaja contohnya adalah luka yang diakibatkan oleh trauma. Luka trauma dapat di golongkan lagi menjadi dua yaitu luka terbuka dan luka tertutup. Disebut luka tertutup jika terjadi robekan dan
9
kelihatan seperti luka abrasio (luka akibat gesekan), luka puncture (luka akibat tusukan) dan hautration (luka akibat alat perawatan luka) (Alimul 2006). 2.1.3
Proses Penyembuhan Luka Penyembuhan luka akan melibatkan proses fisiologis. Sebenarnya sifat
penyembuhan dari semua luka adalah sama, hanya ada beberapa hal yang membedakan yaitu bergantung pada lokasi, tingkat keparahan, dan luasnya luka. Namun yang paling menentukan adalah kemampuan sel untuk beregenerasi (kembali ke struktur normal). Menurut (Morison, 2004) fisiologis penyembuhan luka alami terbagi menjadi 4 fase utama yaitu Respon inflamasi akut terhadap cedera, fase destruktif, fase poliferatif, dan fase maturasi. Sedangkan menurut (Potter, 2006) proses fisiologis penyembuhan luka alami lebih disederhanakan yaitu terdiri dari tiga yaitu Reaksi, regenerasi, dan remodeling. a. Fase reaksi (Inflamasi) Fase ini dimulai dari adanya reaksi tubuh terhadap luka dimulai dari beberapa menit setelah cedera dan berlangsung selama beberapa hari. Dalam fase ini terjadi proses hemostatis (pengontrolan perdarahan) yaitu sesuai dengan perintah otak, tubuh akan mengirim suplai darah ke area yang mengalami cedera, kemudian membentuk sel-sel epitel (epitelialisasi). Selama proses ini pembuluh darah yang menyumplai darah ke area luka akan mengalami kontriksi dan trombosit akan berkumpul di area luka untuk menghentikan proses perdarahan dengan membentuk jaring-jaring benang fibrin (matriks fibrin) dari matriks fibrin inilah yang nantinya akan menjadi kerangka perbaikan sel. Kemudian jaringan
10
yang rusak yang menyekresi histamin yang merangsang vasodilatasi kapiler di area luka dan mengeluarkan serum dan sel darah putih. Kedua komponen ini akan menyebabkan inflamasi guna membunuh kuman penyakit yang mungkin ada saat luka terjadi. Proses inflamasi ini tentunya akan menyebabkan tanda inflamasi berupa kemerahan, bengkak, hangat, dan nyeri lokal. Proses inflamasi ini sangat bagus dan normal dan tidak perlu dihawatirkan. b. Fase Regenerasi (Poliferasi) Dalam fase ini tanda-tanda dari inflamasi mulai berkurang, di area luka akan muncul pembuluh darah baru sebagai hasil dari rekonstruksi dan mulai menginfiltrasi luka. Fase ini akan berlangsung selama 3-24 hari. Area luka akan mulai diisi dengan jaringan penyambung (granulasi) yang baru dan akan menutup bagian atas luka yang berperan dalam hal ini adalah fibroblast. Fibrolast agar dapat berfungsi dengan baik membutuhkan vitamin B dan C, oksigen dan Asam amino. Dalam periode ini luka akan tertutup oleh jaringan baru dengan banyak pembuluh kapiler baru, jaringan baru ini sangat rapuh sehingga mudah sekali rusak jika dilakukan penanganan luka yang kasar. c. Fase Remodeling (Maturasi) Remodeling (maturasi) adalah fase terakhir dalam proses penyembuhan luka. Luka akan sangat rentan terhadap trauma dan daya elastisitas akan menurun dan berbeda dengan sebelum terjadinya luka. Fase ini akan membutuhkan waktu yang lumayan lama mulai dari bulanan hingga tahunan berdasarkan luas dan kedalam luka. Epitelisasi terjadi 3 kali lipat, dan jaringan baru akan terbentuk
11
dengan sedikit pigmentasi dan memiliki warna yang lebih terang dari warna kulit normal. 2.1.4
Faktor-Faktor Yang Memperlambat Penyembuhan Luka Dalam
penyembuhan
luka
banyak
faktor-faktor
yang
dapat
memperlambat, faktor-faktor tersebut di bagi menjadi 2 yaitu faktor yang ada hubungannya dengan pasien yaitu faktor intrinsik seperti kondisi – kondisi yang kurang menguntungkan pada tempat luka, dan sejumlah kondisi media yang dapar menyebabkan lingkungan sekitar buruk bagi penyembuhan luka (hospitalisasi yang membuat sistem imun menurun), serta faktor-faktor ekstrinsik, seperti pengolahan luka yang kurang tepat (Morizon, 2004: 15) Selain hal yang dapat memperlambat terdapat juga beberapa masalah yang dapat terjadi dalam proses penyembuhan luka adalah sebagai berikut (Alimul, 2006) : a. Perdarahan, Ditandai dengan adanya perdarahan disertai dengan perubahan tanda-tanda vital seperti kenaikan denyut nadi, kenaikan pernafasan, turunnya tekanan darah, melemahnya kondisi tubuh, dehidrasi, serta keadaan kulit yag dingin. b. Infeksi, Terjadi bila terdapat tanda-tanda seperti kulit kemerahan, demam atau panas, nyeri lokal dan timbul bengkak, jaringan disekitar luka mengeras, serta adanya kenaikan leukosit. c. Dehiscene, merupakan pecahnya luka sebagian atau seluruhnya yang dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti kegemukan, kurangnya
12
nutrisi, terjadinya trauma. Sering juga ditandai dengan kenaikan suhu tubuh, takikardi, dan nyeri lokal. d. Eviceration, yaitu menonjolnya organ tubuh bagian dalam ke arah luar melalui luka. Hal ini dapat terjadi jika luka tidak segera menyatu dengan baik atau akibat proses penyembuhan yang lambat 2.2
Tinjauan Umum Sectio Caesarea
2.2.1
Sectio Caesarea Sectio caesarea atau persalinan sesaria adalah prosedur pembedahan untuk
melahirkan janin melalui sayatan perut. Indikasi dilakukannya sectio caesarea adalah persalinan lama sampai persalinan macet, ruptura uteri iminens, gawat janin, janin besar, dan perdarahan antepartum. Sesuai perkembangan sekarang sectio caesarea dilakukan tanpa indikasi dan alasan medis yang jelas. Pada umumnya mereka memilih dilakukannya operasi karena takut akan mengalami kesakitan pada saat melahirkan normal atau ketakutan akan organ kelaminnya rusak setalah persalinan. Alasan lain yang dikemukakan yaitu lebih mudah dalam menentukan tanggal dan bulan kelahiran anak sesuai dengan keinginan (Sugiharta, 2006). Dalam operasi sectio caesarea ada tujuh lapisan yang diiris pisau bedah, yaitu lapisan kulit, lapisan lemak, sarung otot, otot perut, lapisan dalam perut, lapisan luar rahim, dan rahim. Luka sectio caesarea dapat diklasifikasikan menjadi 3 jenis yaitu : a.
Sectio Caesarea Transperitonealis Profunda, jenis ini merupakan jenis yang paling banyak dilakukan dengan insisi disegmen bawah uterus
13
keunggulan pembedahan ini terletak pada luka insisi dengan perdarahan yang sedikit, bahaya kejadian peritonitis tidak terlalu besar, luka parut yang dihasilkan umumnya kuat sehingga bahaya ruptur uteri di kemudian hari tidak besar karena dalam masa nifas segmen uterus tidak seberapa banyak mengalami kontraksi seperti korpus uteri, sehingga luka dapat sembuh dengan sempurna. b.
Sectio Caesarea Klasik atau Corporal, jenis ini dilakukan dengan pembuatan insisi pada bagian tengah korpus uteri kurang lebih 10cm-12cm dengan ujung bawah diatas batas plika vesiko uterine. Insisi ini dibuat jika ada indikasi halangan untuk melakukan sectio caesarea profunda (misalnya melekat eratnya uterus dengan dinding perut karena sectio sebelumnya, insisi dibagian bawah uterus mengandung bahaya perdarahan banyak berhubungan dengan letaknya plasenta pada plasenta previa). Kekurangan pembedahan ini yaitu adanya bahaya terjadinya peritonitis dan ruptur uteri padakehamilan yang akan datang. Sesudah sectio caesarea klasik sebaiknya dilakukan sterilisasi atau histerektomi.
c.
Sectio Caesarea Ekstraperitoneal, jenis ini dilakukan untuk mengurangi bahaya infeksi puerperal, akan tetapi dengan kemajuan pengobatan terhadap infeksi pembedahan jenis ini sekrang tidak banyak dilakukan karena sulit dalam tekniknya (Wiknjosastro, 2005).
14
2.3 Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Penyembuhan Luka Sectio Caesarea. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi penyembuhan luka post operasi Sectio Caesarea yaitu : 2.3.1
Usia Terdapat perbedaan yang signifikan di dalam struktur dan karakteristik
kulit sepanjang rentang kehidupan yang disertai dengan perubahan fisiologis normal berkaitan dengan usia yang terjadi pada sistem tubuh lainnya, yang dapat mempengaruhi
predisposisi
terhadap
cedera
dan
efisiensi
mekanisme
penyembuhan luka. Dalam sistem tubuh yang berbeda akan terdapat kecepatan tumbuh yang berbeda pula. Namun, penurunan efesiensi jantung, kapasitas vital, penurunan efesiensi sistem imun dan beberapa fungsi lainnya secara signifikan akan terjadi pada usia lebih dari 30 tahun, sehingga akan terjadi perlambatan penyembuhan seiring dengan bertambahnya usia (Morison, 2004). Terdapat juga perubahan yang signifikan yang berhubungan dengan kulit yaitu kecenderungan cedera seoerti dekubitus dan buruknya penyembuhan luka. Dimana faktor usia akan mengakibatkan penurunan frekuensi pergantian sel epidermis, respon inflamasi terhadap cedera, presepsi sensorik, proteksi mekanis, dan fungsi barier kulit. Sehingga semakin bertambahnya usia semakin naik frekuensi gangguan patologis yang dapat memperlambat penyembuhan luka melalui berbagai mekanisme (Morison, 2004).
15
2.3.2
Gizi Gizi adalah ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk dari
variabel tertentu atau perwujudan dari nutriture dalam bentuk variabel tertentu (Supariasa, 2001) Luka akan lambat dan sulit sembuh jika faktor-faktor esensial penyembuhan luka tidak terpenuhi secara baik. Faktor – faktor yang esensial untuk penyembuhan seperti asam amino, vitamin, dan mineral. Diketahui juga bahwa nutrisi merupakan unsur utama dalam membantu perbaikan sel, terutama karena kandungan zat gizi didalamnya. Contoh vitamin A diperlukan untuk membantu proses epitelisasi atau penutupan luka dan sintesis kolagen, vitamin B kompleks sebagai kofaktor pada sistem enzim yang mengatur metabolisme protein, karbohidrat, dan lemak. Vitamin C dapat berfungsi sebagai fibroblast, mencegah timbulnya infeksi dan membentuk kapiler-kapiler darah, vitamin K membantu sintesis protrombin dan berfungsi sebagai zat pembekuan darah (Alimul, 2006) Jika seseorang menjalani tindakan sectio caesarea sudah pasti post operasi sectio caesarea akan menghasilkan luka. Luka yang terbentuk akan membedakan keadaan tubuh pasien sebelum adanya luka sebagai keadaan yang normal, dan setelah adanya luka sebagai keadaan yang abnormal, sehingga dapat dilihat kebutuhan akan nutrisi pasti menjadi lebih tinggi dari keadaan normal (Kinney, 1980). Defesiensi protein tidak hanya memperlambat penyembuhan, tetapi juga mengakibatkan luka tersebut akan sembuh dengan kekuatan renggangan yang
16
menyusut. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya dehicence pada pasien gamuk dengan luka post operasi bedah sectio caesarea. Untuk penyembuhan yang optimal masukan dan absorbsi vitamin dan mineral cukup sangat dibutuhkan (Morison, 2004). Penilaian gizi secara langsung menurut Supariasa 2001 ada 4 cara yaitu: a. Antropometri Antropometri secara umum diartikan sebagai ukuran tubuh manusia. Antropometri gizi berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur. Secara umum antropometri digunakan untuk melihat ketidakseimbangan asupan protein dan energi. Ketidakseimbangan akan terlihat pada pola pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh seperti lemak, otot, dan jumlah air dalam tubuh. Pengukuran antropometri salah satunya adalah indeks massa tubuh (IMT) terdiri dari berat badan dan pengukuran linear yang meliputi tinggi badan,panjang badan, lingkar dada, lingkar kepala, LILA dan tinggi lutut. Adapun penentuan status gizi berdasarkan IMT standart WHO adalah : IMT = Berat badan / Tinggi badan2 (m) Dengan kriteria sebagai berikut : a. Status gizi kurus tingkat berat
: < 17,0
b. Status gizi kurus tingkat ringan
: 17,0-18,5
c. Status gizi normal
: <18,5-25,0
d. Status gizi gemuk tingkat ringan : >25,0-27,0 e. Status gizi gemuk tingkat berat
: >27
17
b. Klinis Pemeriksaan klinis adalah metode yang sangat penting untuk menilai status gizi. Metode ini didasarkan atas perubahan yang terjadi dihubungkan dengan ketidakcukupan zat gizi. Hal ini dapat dilihat dijaringan epitel seperti kulit, mata, rambut, dan mukosa oral, atau organ yang dekat dengan permukaan tubuh seperti kelenjar tubuh. Metode ini umunya digunakan untuk survei klinis secara cepat (rapid clinikal surveys). Survei ini dirancang untuk mendeteksi secara cepat tandatanda klinis umum dari kekurangan salah satu atau lebih gizi. Disamping itu digunakan untuk mengetahui tingkat gizi seseorang dengan melakukan pemeriksaan fisik yaitu tanda dan gejala atau riwayat penyakit. c. Biokimia Penilaian dilakukan secara biokimia yaitu pemeriksaan spesimen yang diuji secara laboratoris yang dilakukan pada berbagai macam jaringan tubuh seperti pada darah, urin, tinja, dan jaringan hari atau otot. Metode ini digunakan untuk suatu peringatan bahwa kemungkinan akan terjadi malnutrisi yang lebih parah lagi. d. Biofisik Metode ini melakukan penilaian melalui biofisik dengan melihat perubahan struktur jaringan (khususnya jaringan) umumnya digunakan dalam situasi tertentu seperti kejadian buta senja epidemik. Cara yang digunakan adalah test adaptif gelap.
18
2.3.3
Mobilisasi Dini Mobilisasi adalah kemampuan seseorang untuk bergerak secara bebas,
mudah, dan teratur yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehat. Setiap orang
butuh
untuk
bergerak.
Kehilangan
kemampuan
untuk
bergerak
menyebabkan ketergantungan dan ini membutuhkan tindakan keperawatan. Mobilisasi
diperlukan
untuk
meningkatkan
kemandirian
diri,
meningkatkan kesehatan, memperlambat proses penyakit khususnya penyakit degeneratif, dan untuk aktualisasi diri (Mubarak, 2008). Mobilisasi secara garis besar dibagi menjadi dua yaitu mobilisasi secara pasifdan mobilisasi secara aktif. Mobilisasi secara pasif yaitu mobilisasi dimanan pasien dalam menggerakkan anggota tubuhnya dengan cara dibantu oleh orang lain secara parsial atau total. Mobilisasi aktif adalah mobilisasi dimana pasien dalam menggerakkan anggota tubuhnya dilakukan secara mandiri tanpa bantuan dari orang lain (Priharjo, 1997). Mobilisasi secara tahap demi tahap sangat berguna untuk membantu jalannya penyembuhan pasien. Adupun tujuan dari mobilisasi itu sendiri meliputi: a. Secara psikologis, mobilisasi akan memberikan kepercayaan pada pasien bahwa dia mulai merasa sembuh, perubahan gerakan dan posisi ini harus diterangkan pada pasien atau keluarga. Pasien dan keluarga akan mengetahui dengan jelas manfaat dari mobilisasi, sehingga akan berpartisipasi dalam pelaksanaan mobilisasi. Mobilisasi penuh akan memberikan sangat banyak keuntungan bagi kesehatan, baki fisiologhis atau psikologia bagi pasien untuk memenuhi kebutuhan dan
19
kesehatan secara bebas, mempertahankan interaksi sosial dan peran dalam kehidupan sehari hari. b. Secara fisik, dengan bergerak hal ini akan mencegah kekakuan otot dan sendi sehingga juga mengurangi nyeri, menjamin kelancaran peredaran darah, memperbaiki pengaturan metabolisme tubuh, mengembalikan kerja fisiologi organ-organ vital yang pada akhirnya justru akan mempercepat penyembuhan luka. Mengerakkan badan atau melatih kembali otot-otot dan sendi pasca operasi di sisi lain akan memperbugar pikiran dan mengurangi dampak negatif dari beban psikologis yang tentu saja memiliki pengaruh yang baik juga terhadap pemulihan fisik. Mobilisasi sudah dapa dilakukan sejak 8 jam setelah pembedahan, tentu saja setelah pasien sadar atau anggota gerak tubuh dapat digerakkan kembali setelah dilakukan pembiusan regional. Pada saat awal, pergerakan fisik bisa dilakukan diatas tempat tidur dengan menggerakkan tangan dan kaki yang bisa ditekuk dan diluruskan, mengkontraksikan otot-otot dalam keadaan statis maupun dinamis termasuk juga menggerakkan badan lainnya, miring ke kiri atau kanan. Hampir semua jenis operasi setalh 12-24 jam dianjurkan meninggalkan tempat tidur. Pada 12 sampai 24 jam berikutnya badan bisa diposisikan duduk, baik bersandar maupun tidak dan fase selanjutnya duduk diatas tempat tidur dengan kaki dijatuhkan atau ditempatkan dilantai sambil digerak-gerakkan. Dihari berikutnya pasca operasi, rata-rata untuk pasien yang dirawat dikamar atau bangsal dan tidak ada hambatan fisik untuk berjalan,
20
semestinya memang sudah bisa beraktifitas, misalnya berjalan sendiri ke toilet atau kamar mandi dengan posisi infus yang tetap terjaga. Mobilisasi akan membuat suplai darah ke daerah luka lebih baik dibandingkan tanpa mobilisasi, luka dengan suplai darah yang buruk akan lambat sembuh, faktor-faktor essensial yang dibahas pada bagian nutrisi tidak akan sampai dengan sempurna pada bagian yang luka sehingga epitelisasi tidak akan terbentuk dengan sempurna walaupun status nutrisi pasien baik. Sehingga mobilisasi juga sangat penting mengingat tepian luka yang sedang tumbuh merupakan suatu daerah yang aktivitas metaboliknya sangat tinggi (Morison, 2004). 2.4 Sistem Perawatan Luka Perawatan luka bertujuan untuk mencegah trauma pada kulit membran mukosa dan jaringan lain yang disebabkan oleh adanya trauma, fraktur, ataupun luka operasi yang dapat merusak permukaan kulit. 2.4.1
Tujuan perawatan luka Mencegah infeksi dari masuknya mikroorganisme ke dalam kulit dan
membran mukosa, Mencegah bertambahnya kerusakan jaringan disekitar luka, Mempercepat masa penyembuhan, Membersihkan luka dari benda asing atau debris, Drainase untuk memudahkan pengeluaran eksudat, Mencegah perdarahan, Mencegah excoriasi kulit sekitar drain. 2.4.2
Perawatan Luka Luka perlu ditutup dengan kasa steril sehingga sisa darah dapat diserap
oleh kasa. Tindakan menutup luka dapat mencegah kontaminasi (masuknya
21
kuman), tersenggol, dan memberi kepercayaan bahwa lukanya diperhatikan oleh perawat. Sehabis operasi luka yang timbul langsung ditutup dengan kasa steril selagi dikamar bedah dan akan diganti pada hari ke 3 setelah operasi, kecuali bila terjadi perdarahan hingga darah menembus kasa barulah diganti dengan kasa steril. Pada saat mengganti kasa perlu diperhatikan teknik asepsis yaitu dengan menggunakan 1 set steril per orang dan selalu mencuci tangan setiap berpindah pasien yang dilakukan perawatan agar tidak terjadi infeksi nantinya. Jahitan dibuka pada hari ke 5 atau hari ke 6 (Oswari, 2005). 2.5 Kerangka Konsep Penelitian 2.5.1
Kerangka konsep Kerangka konsep penelitian ini dikembangkan berdasarkan tinjauan
pustaka, dan sebagai variable independen disini adalah Usia, status gizi dan mobilisasi dini sedangkan variabel dependenya adalah penyembuhan luka. Adapun kerangka konsep dari beberapa variabel yang akan diteliti sebagai berikut : Usia
Status Gizi
Mobilisasi Dini
Perawatan Luka
Penyembuhan Luka
22
Keterangan : : Variabel independen
: Variabel dependen
: Garis Variabel