BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengelasan 2.1.1. Deskripsi Umum Las Menurut penemuan-penemuan benda bersejarah, dapat diketahui bahwa teknik penyambungan logam telah diketahui sejak dari zaman prasejarah, misalnya pembrasingan logam paduan emas tembaga dan pematrian timbal-timah, menurut keterangan telah diketahui dan dipraktekkan dalam rentang waktu antara tahun 4000 sampai 3000 SM dan diduga sumber panas berasal dari pembakaran kayu dan arang. Pada abad ke 19 teknologi pengelasan berkembang dengan pesat karena telah dipergunakannya sumber energi listrik (Suharno, 2008). Menurut Deutsce Industrie Normen (DIN) las adalah ikatan metalurgi pada sambungan logam paduan yang dilaksankan dalam keadaan, dijelaskan lebih lanjut bahwa las adalah sesuatu proses dimana bahan dan jenis yang sama digabungkan menjadi satu sehingga terbentuk suatu sambungan melalui ikatan kimia yang dihasilkan dari pemakaian panas dan tekanan (Suharno, 2008). 2.1.2. Jenis-Jenis Pengelasan Berdasarkan proses pengelasan, maka pengelasan terbagi menjadi dua antara lain (Bintoro, 1999) : 1. Las Oksi Asetilen Las oksi asetilen merupakan proses pengelasan secara manual dengan pemanasan permukaan logam yang akan dilas atau disambung sampai mencair oleh nyala gas asetilen melalui pembakaran C2H2 dengan gas O2 dengan atau tanpa logam pengisi. Pembakaran gas C2H2 oleh oksigen (O2) dapat menghasilkan suhu yang
Universitas Sumatera Utara
sangat sangat tinggi sehingga dapat mencairkan logam. Gas asetilen merupakan salah satu jenis gas yang sangat mudah terbakar dibawah pengaruh suhu dan tekanan. Gas asetilen disimpan di dalam suatu tabung yang mampu menahan tekanan kerja. Bahaya-bahaya yang dapat ditimbulkan oleh gas asetilen antara lain: a. Polimerisasi, peristiwa ini akan menyebabkan suhu gas meningkat jauh lebih tinggi dalam waktu yang sangat singkat. Polimerisasi ini akan terjadi pada suhu 300°C, jika berada pada tekanan 1 atm. Oleh sebab itu, gas asetilen tidak boleh disimpan atau digunakan pada suhu diatas 300°C. b. Disosiasi, yaitu adanya panas yang ditimbulkan oleh proses pembentukan zat-zat. Disosiasi terjadi pada suhu 600°C jika berada pada tekanan 1 atm atau 530°C jika tekanan 3 atm. Jika terjadi disosiasi maka tekanan gas meningkat dan hal ini sangat membahayaka karena bisa menimbulkan ledakan. 2. Las listrik Las tahanan listrik adalah proses pengelasan yang dilakukan dengan jalan mengalirkan arus listrik melalui bidang atau permukaan-permukaan benda yang akan disambung. Elektroda-elektroda yang dialiri listrik digunakan untuk menekan benda kerja dengan tekanan yang cukup. Penyambungan dua buah logam atau lebih menjadi satu dengan jalan pelelehan atau pencairan dengan busur nyala listrik. Tahanan yang ditimbulkan oleh arus listrik pada bidang-bidang sentuhan akan menimbulkan panas dan berguna untuk mencairkan permukaan yang akan disambung. Bahaya pada las listrik yaitu, loncatan bunga api yang terjadi pada nyala busur listrik karena adanya potensial tegangan atau beda tegangan antara ujung-ujung elektroda dan benda kerja. Tegangan yang digunakan sangat menentukan terjadinya loncatan bunga api, semakin besar tegangan semakin mudah terjadi loncatan bunga
Universitas Sumatera Utara
api listrik. Hal yang perlu diperhatikan, bahwa tegangan yang tinggi akan membahayakan operator las, karena tubuh manusia hanya mampu menderita tegangan listrik sekitar 42 volt. Selain penggunaan arus dan tegangan yang bisa membahayakan operator, nyala busur listrik juga memancarkan sinar ultra violet dan sinar infra merah yang berinteraksi sangat tinggi. Pancaran atau radiasi dari sinar tersebut sangat membahayakan mata maupun kulit manusia (Bintoro, 1999). 2.1.3. Manajemen dalam Pengelasan Juru las yang terampil dan peralatan las yang baik belum tentu dapat menjamin hasil las yang bermutu tinggi, apabila sarana lainnya tidak terpenuhi. Manajemen pengelasan dalam hal ini harus mengatur beberapa sarana penting yang dapat mempengaruhi hasil pengelasan seperti pelaksanaan yang aman, pengawasan mutu, dan pemeriksaan proses. Manajemen tersebut terdiri atas beberapa pengawasan (Wiryosumarto dan Okumura, 2004) antara lain : 1. Pengamanan pelaksanaan Agar pengelasan dapat dilakukan dengan aman, alat-alat pengamanan harus lengkap dan juru las harus mengerti dan dapat serta mau menggunakan alat pengaman tersebut, dalam hal ini yang penting adalah : a. Pemakaian baju kerja yang sesuai dan aman. b. Pemakaian pelindung dengan baik. c. Pada pengelasan di tempat yang tinggi harus menggunakan alat pengaman agar tidak terjatuh. d. Pengamanan terhadap bahaya kebakaran dan ledakan. 2. Pengawasan umum
Universitas Sumatera Utara
Untuk mendapatkan mutu pengelasan yang baik perlu adanya pengawasan pada peralatan yang digunakan, bahan las yang dipilih, pelaksanaan dan keterampilan. Pengawasan yang dimaksud diatas diterangkan sebagai berikut a. Pengawasan peralatan Dengan menggunakan peralatan yang sempurna, akan diperoleh mutu hasil lasan yang baik dan efisiensi kerja yang tinggi, karena itu diperlukan sistem manajemen yang dapat menentukan cara-cara pemilihan alat, pembelian alat, peminjaman alat kepada pekerja dan cara memperbaiki alat yang rusak. b. Pengawasan bahan las Pengaturan pembelian bahan las baik dalam jenis maupun dalam jumlah harus menjamin agar selalu terdapat jumlah persediaan seperti yang telah ditentukan dan yang sesuai dengan jadwal pelaksanaan. c. Pengawasan pelaksanaan Apabila proses pengelasan telah ditentukan, maka perlu untuk mengadakan pengawasan agar prosedur pengelasan diikuti sepenuhnya. Untuk mempermudah pengawasan dan menghindari kesalahan perlu dibuat petunjuk kerja yang terperinci yang meliputi kondisi pengelasan, penggunaan alat, pemakaian bahan, prosedur pengerjaan dan cara-cara mengadakan perbaikan bila terjadi cacat. d. Pengawasan keterampilan Untuk mendapatkan juru las yang terampil perlu diadakan pelatihan dan pendidikan. Tiap-tiap juru las harus mempunyai kualifikasi berdasarkan peraturan yang ditentukan oleh badan yang berwenang dalam bidang konstruksi yang sesuai dan menguasai tentang pengelasan. e. Pengawasan proses
Universitas Sumatera Utara
Pengawasan terhadap proses ditujukan untuk mempertinggi produktivitas, yang berarti hasil yang baik dengan cepat dan murah. Pengawasan proses meliputi pengawasan dan pengaturan tempat, pengaturan pekerja, pengaturan bahan, alat dan lain sebagainya. 2.1.4. Bahaya Dalam Pengelasan Pada pekerjaan pengelasan banyak risiko yang akan terjadi apabila tidak hatihati terhadap penggunaan peralatan, mesin dan posisi kerja yang salah. Beberapa risiko bahaya yang paling utama pada pengelasan (Wiryosumarto dan Okumura, 2004) antara lain : 1. Cahaya dan sinar yang berbahaya Selama proses pengelasan akan timbul cahaya dan sinar yang dapat membahayakan juru las dan pekerja lain yang ada di sekitar pengelasan. Cahaya tersebut meliputi cahaya yang dapat dilihat atau cahaya tampak, sinar ultraviolet dan sinar inframerah. a. Sinar ultraviolet Sinar ultraviolet sebenarnya adalah pancaran yang mudah diserap, tetapi sinar ini mempunyai pengaruh yang besar terhadap reaksi kimia yang terjadi di dalam tubuh. Bila sinar ultraviolet yang terserap oleh lensa dan kornea mata melebihi jumlah tertentu maka pada mata akan terasa seakan-akan ada benda asing di dalamnya. Dalam waktu antara 6 sampai 12 jam kemudian mata akan menjadi sakit selama 6 sampai 24 jam. Pada umunya rasa sakit ini akan hilang setelah 48 jam. b. Cahaya tampak
Universitas Sumatera Utara
Semua cahaya tampak yang masuk ke mata akan diteruskan oleh lensa dan kornea ke retina mata. Bila cahaya ini terlalu kuat maka akan segera menjadi lelah dan kalau terlalu lama mungkin akan menjadi sakit. Rasa lelah dan sakit ini sifatnya juga hanya sementara. c. Sinar inframerah Adanya sinar inframerah tidak segera terasa oleh mata, karena itu sinar ini lebih berbahaya sebab tidak diketahui, tidak terlihat dan tidak terasa. Pengaruh sinar inframerah terhadap mata sama dengan pengaruh panas, yaitu menyebabkan pembengkakan pada kelopak mata, terjadinya penyakit kornea, presbiopia yang terlalu dini dan terjadinya kerabunan. 2. Arus listrik yang berbahaya Besarnya kejutan yang timbul karena listrik tergantung pada besarnya arus dan keadaan badan manusia. Tingkat dari kejutan dan hubungannya dengan besar arus adalah sebagai berikut: a.
Arus 1 mA hanya akan menimbulkan kejutan yang kecil saja dan tidak membahayakan.
b.
Arus 5 mA akan memberikan stimulasi yang cukup tinggi pada otot dan menimbulkan rasa sakit.
c.
Arus 10 mA akan menyebabkan rasa sakit yang hebat.
d.
Arus20 mA akan menyebabkan terjadi pengerutan pada otot sehingga orang yang terkena tidak dapat melepaskan dirinya tanpa bantuan orang lain.
e.
Arus 50 mA sangat berbahaya bagi tubuh.
f.
Arus 100 mA dapat mengakibatkan kematian.
3. Debu dan gas dalam asap las.
Universitas Sumatera Utara
Debu dalam asap las besarnya berkisar antara 0,2 µm sampai dengan 3 µm. Komposisi kimia dari debu asap las tergantung dari jenis pengelasan dan elektroda yang digunakan. Bila elektroda jenis hydrogen rendah, di dalam debu asap akan terdapat fluor (F) dan oksida kalium (K2O). Dalam pengelasan busur listrik tanpa gas, asapnya akan banyak mengandung oksida magnesium (MgO). Gas-gas yang terjadi pada waktu pengelasan adalah gas karbon monoksida (CO), karbon dioksida (CO2), ozon (CO3) dan gas nitrogen dioksida (NO2). 4.
Bahaya kebakaran. Kebakaran terjadi karena adanya kontak langsung antara api pengelasan
dengan bahan-bahan yang mudah terbakar seperti solar, bensin, gas, cat kertas dan bahan lainnya yang mudah terbakar. Bahaya kebakaran juga dapat terjadi karena kabel yang menjadi panas yang disebabkan karena hubungan yang kurang baik, kabel yang tidak sesuai atau adanya kebocoran listrik karena isolasi yang rusak. 5.
Bahaya Jatuh. Didalam pengelasan dimana ada pengelasan di tempat yang tinggi akan selalu
ada bahaya terjatuh dan kejatuhan. Bahaya ini dapat menimbulkan luka ringan ataupun berat bahkan kematian karena itu usaha pencegahannya harus diperhatikan.
2.1.5. Perlengkapan Keselamatan Kerja Las Demi keamanan dan kesehatan tubuh, operator las harus memakai alat-alat yang mampu melindungi tubuh dari bahaya-bahaya yang ditimbulkan akibat pengelasan. Perlengkapan tersebut antara lain (Bintoro, 1999): 1.
Pelindung muka
Universitas Sumatera Utara
Bentuk dan pelindung muka ada beberapa macam tetapi secara prinsip pelindung muka mempunyai fungsi yang sama, yaitu melindungi mata dan muka dari pancaran sinar las dan percikan bunga api. Pelindung muka mempunyai kacamata yang terbuat dari bahan tembus pandang yang berwarna sangat gelap dan hanya mampu ditembus oleh sinar las. Kacamata ini berfungsi melihat benda kerja yang dilas dengan mengurangi intensitas cahaya yang masuk ke mata. 2.
Kacamata bening Untuk
membersihkan
torak
atau
untuk
proses
finishing
misalnya
penggerindaan, mata perlu perlindungan, tetapi tidak dengan pelindung muka las. Mata tidak mampu melihat benda kerja karena kacamata yang berada pada pelindung muka sangat gelap. Oleh karena itu, diperlukan kacamata bening yang mampu digunakan untuk melihat benda kerja dan sangat ringan sehingga tidak mengganggu proses pekerjaan. 3.
Masker wajah Masker berfungsi untuk menyediakan udara segar yang akan dihirup oleh
sistem pernapasan manusia. Masker digunakan untuk pengelasan ruangan yang sistem sirkulasi udaranya tidak baik. Karena proses pengelasan akan menghasilkan gas-gas yang membahayakan sistem pernapasan jika dihirup dalam jumlah besar. Jika gas hasil pengelasan tidak segera dialirkan ke luar ruangan maka akan dihirup oleh operator. 4.
Pakaian las Pakaian ini berfungsi untuk melindungi tubuh dari percikan bunga api dan
pancaran sinar las. Pakaian las terbuat dari bahan yang lemas sehingga tidak membatasi gerak si pemakai. Selain bahan pakaian yang digunakan lemas, juga harus
Universitas Sumatera Utara
ringan, tidak mudah terbakar, dan mampu menahan panas atau bersifat isolator. Model lengan dan celana dibuat panjang agar mampu melindungi seluruh tubuh dengan baik. 5.
Pelindung badan (apron) Untuk melindungi kulit dan organ-organ tubuh pada bagian badan dari
percikan bunga api dan pancaran sinar las yang mempunyai intensitas tinggi maka pada bagian badan perlu dilindungi sperti halnya pada bagian muka, karena baju las yang digunakan belum mampu sepenuhnya melindungi kulit dan organ tubuh pada bagian dada. 6.
Sarung tangan Kontak dengan panas dan listrik sering terjadi yaitu melewati kedua tangan,
contoh: penggantian elektroda atau memegang sebagian dari benda kerja yang memperoleh panas secara konduksi dari proses pengelasan. Untuk melindungi tangan dari panas dan listrik maka operator las harus menggunakan sarung tangan, karena mempunyai sifat mampu menjadi isolator panas dan listrik (mampu menahan panas dan tidak menghantarkan listrik).
7.
Sepatu las Sepatu las dapat melindungi telapak dan jari-jari kaki kemungkinan tergencet
benda keras, benda panas atau sengatan listrik. Dengan memakai sepatu las bebarti tidak ada aliran arus listrik dari mesin las ke ground (tanah) melewati tubuh kita, karena bahan sepatu berfungsi sebagai isolator listrik.
Universitas Sumatera Utara
2.2. Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) 2.2.1. Pengertian Keselamatan dan Kesehatan Kerja Keselamatan (safety) mempunyai arti keadaan terbebas dari celaka (accident) ataupun hampir celaka (near miss acccident). Upaya kesehatan kerja adalah upaya penyerasian antara kapasitas kerja, beban kerja dan lingkungan kerja agar setiap pekerja dapat bekerja secara sehat tanpa membahayakan dirinya sendiri maupun pekerja lain di sekelilingnya, sehingga diperoleh produktivitas kerja yang optimal. Kesehatan kerja merupakan hubungan dua arah antara pekerjaan dan kesehatan. Kesehatan kerja tidak hanya menyangkut hubungan antara efek lingkungan kerja misalnya panas, bising debu, zat-zat kimia dan lain-lain, tetapi hubungan antara status kesehatan pekerja dengan kemampuannya untuk melakukan tugas yang harus dikerjakannya. Tujuan utama kesehatan kerja adalah mencegah timbulnya gangguan kesehatan daripada mengobatinya (Suma’mur, 2009). Menurut Depnaker RI (2005), Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) adalah segala daya dan upaya dan pemikiran yang dilakukan dalam rangka mencegah, mengurangi, dan menanggulangi terjadinya kecelakaan dan dampaknya melalui langkah-langkah identifikasi, analisa, dan pengendalian bahaya dengan menerapkan sistem pengendalian bahaya secara tepat dan melaksanakan perundang-undangan tentang keselamatan dan kesehatan kerja. 2.2.2. Persyaratan Keselamatan Kerja Persyaratan keselamatan dan kesehatan kerja menurut Undang-undang No. 1 tahun 1970 (Suma’mur, 2009) adalah sebagai berikut : 1.
Mencegah dan mengurangi kecelakaan, hal ini berkaitan dengan upaya pencegahan kecelakaan dan setiap pekerjaan atau kegiatan berbahaya.
Universitas Sumatera Utara
2.
Mencegah, mengurangi dan memadamkan kebakaran, berkaitan dengan sistem proteksi dan pencegahan kebakaran (fire protection system) dalam rancangan bangun, operasi, dan penggunaan sarana, pabrik, banguna dan fasilitas lainnya.
3.
Mencegah dan mengurangi bahaya kebakaran, meliputi upaya pencegahan bahaya kebakaran (fire prevention) dalam kegiatan yang dapat mengandung bahaya kebakaran, menggunakan api atau kegiatan lainnya.
4.
Memberi kesempatan atau jalan menyelamatkan diri dalam kejadian kebakaran atau kejadian lainnya. Berkaitan dengan sistem tanggap darurat (emergency response) serta fasilitas penyelamat di dalam bangunan atau tempat kerja (means of escape).
5.
Memberikan pertolongan dalam kecelakaan. Menyangkut aspek P3K atau pertolongan jika terjadi kecelakaan termasuk resque dan pertolongan korban.
6.
Memberikan alat pelindung diri bagi pekerja. Berkaitan dengan penyediaan alat keselamatan yang sesuai untuk setiap pekerjaan yang berbahaya.
7.
Mencegah dan mengendalikan timbul atau menyebar luasnya suhu, kelembaban, debu, kotoran, asap, uap, gas, hembusan angin, cuaca, sinar atau radiasi, suara atau getaran. Berkaitan dengan keselamatan lingkungan kerja, pencemaran atau buangan industri serta kesehatan kerja.
8.
Mencegah dan mengendalikan timbulnya penyakit akibat kerja baik fisik, psikis, peracunan, infeksi, dan penularan.
9.
Memperoleh penerangan yang cukup dan sesuai.
10. Menyelenggarakan suhu dan lembab udara yang baik. 11. Menyelenggarakan penyegaran udara yang baik. 12. Memelihara kebersihan, kesehatan dan ketertiban.
Universitas Sumatera Utara
13. Memperoleh keserasian antara tenaga kerja, alat kerja, lingkungan dan proses kerja. Berkaitan dengan aspek ergonomi di tempat kerja. 14. Mengamankan dan memelihara segala jenis bangunan. Berkaitan dengan keselamatan konstruksi dan bangunan mulai dari pembangunan sampai penempatannya. 15. Mengamankan dan memperlancar pekerjaan bongkar muat, perlakuan, dan penyimpanan barang. Syarat ini berkaitan dengan kegiatan pelabuhan dan pergudangan. 16. Mencegah terkena aliran listrik yang berbahaya, berkaitan dengan keselamatan ketenagalistrikan. 17. Menyesuaikan dan menyempurnakan pengamanan pada pekerjaan yang bahayanya menjadi bertambah tinggi .
2.3.
Kecelakaan Kerja Kecelakaan kerja tidak terjadi kebetulan, melainkan ada sebabnya, sebab
kecelakaan harus diteliti dan ditemukan, agar selanjutnya dengan tindakan korektif yang ditujukan kepada penyebab itu serta dengan upaya preventif lebih lanjut kecelakaan dapat dicegah dan kecelakaan serupa tidak terulang kembali. Ada dua golongan penyebab kecelakaan kerja. Golongan pertama adalah faktor mekanisme dan lingkungan, yang meliputi segala sesuatu selain faktor manusia. Golongan kedua adalah faktor manusia itu sendiri yang merupakan penyebab kecelakaan (Suma’mur 2009)
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.1 Teori Domino Heinrich
Teori ini menyatakan bahwa kecelakaan merupakan akibat dari peristiwa berurutan, kiasan seperti garis domino jatuh. Jika salah satu domino jatuh, itu akan memicu jatuhnya berikutnya, dan domino berikutnya, dan domino berikutnya, hingga domino terakhir. Menghapus faktor kunci membantu mencegah terjadinya reaksi berantai. Heinrich menyoroti domino ketiga sebagai Kunci domino. Faktor-faktor yang berkaitan dengan terjadinya kecelakaan kerja antara lain : 1.
Situasi kerja
Situasi kerja berkaitan dengan kondisi lingkungan kerja yang mempengaruhi produktivitas pekerja. Situasi kerja yang dimaksud meliputi : a. Pengendalian manajemen yang kurang b. Standar kerja yang minim c. Lingkungan kerja yang tidak memenuhi standar d. Peralatan kerja yang gagal atau tempat kerja yang tidak mencukupi 2.
Kesalahan orang
Kesalahan orang meliputi : a. Keterampilan dan pengetahuan pekerja yang minim b. Masalah fisik dan mental c. Motivasi yang minim atau salah penempatan d. Perhatian yang kurang
Universitas Sumatera Utara
3.
Tindakan tidak aman Kesepakatan domino ketiga Heinrich dengan penyebab langsung terjadinya
kecelakaan. Heinrich merasa bahwa tindakan tidak aman dan kondisi tidak aman merupakan faktor utama penyebab terjadinya kecelakaan kerja. Kondisi lingkungan kerja yang dimaksud sperti : a. Tidak mengikut i metode kerja yang telah disetujui b. Mengambil jalan pintas c. Menyingkirkan atau tidak menggunakan perlengkapan keselamatan kerja. 4.
Kecelakaan Heinrich mendefinisikan kecelakaan sebagai kejadian yang sudah umum
terjadi dilingkungan kerja. a. Kejadian yang tidak terduga b. Akibat kontak dengan mesin atau listrik yang berbahaya c. Terjatuh d. Terhantam mesin atau material yang jatuh, dan sebagainya 5.
Cedera/ kerusakan
Cedera atau kerusakan terhadap pekerja dibedakan menjadi. a. Terhadap pekerja yang meliputi sakit dan penderitaan, kehilangan pendapatan, kehilangan kualitas hidup. b. Terhadap majikan meliputi kerusakan pabrik, pembayaran kompensasi, kerugian produksi, dan kemungkinan proses pengadilan (Ridley, 2006)
Universitas Sumatera Utara
2.4. Konsep Perilaku 2.4.1. Pengertian Perilaku Perilaku manusia merupakan hasil daripada segala macam pengalaman serta interaksi manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap dan tindakan. Dengan kata lain, perilaku merupakan respon/reaksi seorang individu terhadap stimulus yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya (Sarwono, 2007). Perilaku diartikan sebagai semua kegiatan atau aktivitas, baik yang dapat diamati langsung maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar. Menurut Skiner bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Oleh karena itu perilaku terjadi melalui
proses adanya
stimulus terhadap organism, dan kemudian organisme tersebut merespon, maka teori Skinner ini disebut teori “S-O-R” atau Stimulus-Organisme-Respons (Notoatmodjo, 2003). Perilaku dapat dibedakan menjadi dua berdasarkan bentuk respon terhadap stimulus yang diterima (Notoatmodjo, 2003) yakni : 1.
Perilaku tertutup (covert behavior) Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung atau tertutup.
Respons atau reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan/kesadaran, dan sikap yang terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebut, dan belum dapat diamati secara jelas oleh orang lain. 2.
Perilaku terbuka (overt behavior) Respons seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau
terbuka. Respons terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk-bentuk
Universitas Sumatera Utara
tindakan atau praktek (practice), yang dengan mudah dapat diamati atau dilihat oleh orang lain. 2.4.2. Determinan Perilaku Meskipun perilaku adalah bentuk respon atau reaksi terhadap stimulus atau rangsangan dari luar organisme (orang), namun dalam memberikan respon sangat tergantung pada karakteristik atau faktor-faktor lain dari orang yang bersangkutan. Hal ini berarti bahwa meskipun stimulusnya sama bagi beberapa orang, namun respon tiap-tiap orang berbeda. Faktor-faktor yang membedakan respon terhadap stimulus yang berbeda disebut determinan perilaku. Faktor penentu atau determinan perilaku manusia sulit untuk dibatasi karena perilaku merupakan penggabungan dari berbagai faktor. Faktor-faktor yang dimaksud yakni faktor internal dan faktor eksternal (lingkungan) (Notoatmodjo, 2003) antara lain: 1.
Faktor internal Faktor internal yaitu karakteristik orang yang bersangkutan yang bersifat
bawaan, misalnya tingkat kecerdasan, tingkat emosional, jenis kelamin, dan sebagainya. Aliran ini disebut aliran negatisme yang di tokohi oleh Schopenhower (Jerman) yang mengatakan bahwa perilaku manusia itu sudah dibawa sejak lahir. 2.
Faktor eksternal Faktor eksternal yaitu lingkungan baik lingkungan fisik, sosial, budaya,
ekonomi, politik dan sebagainya. Faktor lingkungan ini sering merupaka faktor yang dominan mewarnai perilaku seseorang. Hal ini sesuai dengan aliran positivisme yang dikemukakan oleh Jhon Locke yang mengatakan bahwa perilaku manusia ditentukan oleh lingkungan.
Universitas Sumatera Utara
2.5. Tindakan Tidak Aman 2.5.1. Pengertian Tindakan Tidak Aman Menurut Illyas (2000) dalam Pratiwi (2009) perilaku tidak aman adalah perilaku yang dilakukan oleh pekerja yang menyimpang dari prinsip-prinsip keselamatan atau tidak sesuai dengan prosedur kerja yang berisiko untuk timbulnya masalah. Menurut Kletz (2001) dalam Pratiwi (2009) menyatakan bahwa pada dasarnya tindakan/perilaku tidak aman merupakan kesalahan manusia dalam mengambil sikap/tindakan. Klasifikasi kesalahan manusia antara lain : 1.
Kesalahan karena lupa Kesalahan terjadi biasanya pada seseorang yang sebetulnya tahu, mampu dan berniat, mengerjakan secara benar dan aman dan telah biasa dilakukan, namun melakukan kesalahan karena lupa. Contoh : menekan tombol yang salah, lupa membuka atau menutup keran.
2.
Kesalahan karena tidak tahu Kesalahan
terjadi
karena
orang
tersebut
tidak
mengetahui
cara
mengerjakan/mengoperasikan peralatan secara benar dan aman atau terjadi kesalahan perhitungan. Hal tersebut terjadi disebabkan karena kurang pelatihan, kurang/ salah instruksi, perubahan informasi. 3.
Kesalahan karena tidak mampu Kesalahan terjadi karena tidak mampu melakukan tugasnya. Contoh : pekerjaan terlalu sulit, beban fisik maupun mental pekerjaan terlalu berat, tugas/ informasi terlalu banyak.
Universitas Sumatera Utara
4.
Kesalahan karena kurang motivasi Kesalahan karena kurang motivasi ini bisa terjadi karena hal-hal :
a. Dorongan pribadi (desire) : ingin cepat selesai, melalui jalan pintas, ingin nyaman, malas memakai APD, menarik perhatian dengan mengambil resiko berlebihan.
2.5.2. Klasifkasi tindakan tidak aman Menurut Bird (1990) dalam Pratiwi (2009) tindakan tidak aman meliputi sebagai berikut : 1.
Pengoperasian peralatan pada kecepatan yang tidak pantas.
2.
Mengoperasika peralatan pada otoritas yang tidak pantas.
3.
Penggunaan peralatan yang tidak sesuai.
4.
Penggunaan peralatan yang cacat.
5.
Tindakan yang menyebabkan alat keselamatan tidak dapat dioperasikan.
6.
Kegagalan memberi isyarat atau untuk menjalani/mengamankan peralatan.
7.
Kegagalan menggunakan APD.
8.
Penempatan peralatan/persediaan yang tidak sesuai.
9.
Pengambilan posisi kerja yang tidak sesuai.
10. Memperbaiki/ merawat peralatan yang sedang bergerak. 11. Bercanda dalam bekerja. 12. Bekerja di bawah pengaruh alkohol. 13. Penggunaan obat-obat terlarang. 14. Merokok pada lokasi yang dilarang misalnya pada lokasi tempat bekerja.
Universitas Sumatera Utara
2.6. Teori dan Model Perilaku Kesehatan 2.6.1. Teori Lawrence Green Menurut Lawrence Green dalam Notoatmodjo (2005), faktor perilaku ditentukan oleh tiga faktor utama, yaitu: a.
Faktor predisposisi (disposing), yaitu faktor yang mempermudah terjadinya perilaku seseorang, antara lain pengetahuan, sikap, keyakinan, kepercayaan, nilai-nilai dan tradisi.
b.
Faktor pemungkin (enabling), adalah faktor yang memungkinkan atau memfasilitasi perilaku, antara lain sarana dan prasarana atau fasilitas untuk terjadinya kesehatan.
c.
Faktor penguat (reinforcing), faktor yang mendorong atau memperkuat terjadinya perilaku, seperti pada tokoh panutan bagi seseorang dalam berperilaku.
2.6.2. Behavior Based Safety (BBS) Pengertian Behavior Based Safety (BBS) atau perilaku berbasis keselamatan menurut Krause (1999) dalam Syaaf (2008) merupakan proses yang membantu pekerja mengidentifikasi dan memilih perilaku aman dan selamat atau tidak dengan proses sebagai berikut: 1.
Mengidentifikasi perilaku yang berkaitan dengan keselamatan dan kesehatan kerja.
2.
Mengumpulkan data kelompok pekerja.
3.
Memberikan feedback dua arah mengenai perilaku keselamatan dan kesehatan kerja.
4.
Mengurangi atau meniadakan hambatan sistem untuk perkembangan lebih lanjut
Universitas Sumatera Utara
Eckenfelder (2003) dalam Syaaf (2008) mengemukakan beberapa kelebihan dari pendekatan BBS yaitu: a.
Mengutamakan pekerja.
b.
Mendefinisikan safe/unsafe behavior
c.
Melatih perilaku yang diharapkan dan mengurangi perilaku yang salah.
d.
Melibatkan partisipasi pekerja dalam prosesnya.
e.
Melibatkan Top supervisor untuk pelaksanaan program. Tujuan dari perilaku berbasis keselamatan adalah untuk mengubah perilaku
pekerja dari perilaku “berisiko” menjadi perilaku “aman”. Para peneliti menggunakan apa yang disebut dengan model ABC untuk mengubah perilaku pekerja. 2.6.3. Model ABC dan Perilaku Menurut Geller (2001) dalam Syaaf (2008) perilaku merupakan fungsi dari lingkungan sekitar. Kejadian yang terjadi di lingkungan sekitar dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu kejadian yang mendahului suatu perilaku dan kejadian yang mengikuti suatu perilaku. Kejadian yang muncul sebelum suatu perilaku disebut anteseden sedangkan kejadian yang mengikuti suatu perilaku disebut konsekuensi. Perilaku memiliki prinsip dasar dapat dipelajari dan diubah dengan mengidentifikasi dan memanipulasi keadaan lingkungan atau stimulus yang mendahului dan mengikuti suatu perilaku Fleming dan Lardner (2002) dalam Syaaf (2008) menjelaskan bahwa elemen inti dari modifikasi perilaku adalah model ABC dari perilaku. Menurut model ABC , perilaku dipicu oleh beberapa rangkaian peristiwa anteseden (sesuatu yang mendahului sebuah perilaku dan secara kausal terhubung dengan perilaku itu sendiri) dan diikuti oleh konsekuensi (hasil nyata dari perilaku bagi individu) yang dapat
Universitas Sumatera Utara
meningkatkan atau menurunkan kemungkinan perilaku tersebut akan terulang kembali. Analisis ABC membantu dalam mengidentifikasi cara-cara untuk mengubah perilaku dengan memastikan keberadaan anteseden yang tepat dan konsekuensi yang mengandung perilaku yang diharapakan Anteseden yang juga disebut sebagai aktivator dapat memunculkan suatu perilaku untuk mendapatkan konsekuensi yang diharapkan (reward) atau menghindari konsekuensi yang tidak diharapkan ( penalty). Dengan demikian, anteseden mengarahkan suatu perilaku
dan konsekuensi
menentukan apakah perilaku tersebut akan muncul kembali. Hubungan antara anteseden, perilaku, dan konsekuensi dapat dilihat pada gambar. Panah dua arah diantara perilaku dan konsekuensi menegaskan bahwa konsekuensi mempengaruhi kemungkinan perilaku tersebut akan muncul kembali. Konsekuensi dapat menguatkan atau melemahkan perilaku sehingga dapat meningkatkan atau mengurangi frekuensi kemunculan perilaku tersebut. Dengan kata lain, konsekuensi dapat meningkatkan atau menurunkan kemungkinan perilaku akan muncul kembali dalam kondisi yang serupa (McSween, 2003). Anteseden adalah penting namun tidak cukup berpengaruh untuk menghasilkan perilaku. Konsekuensi menjelaskan mengapa orang mengadopsi perilaku tertentu (Fleming dan. Lardner, 2002).
Anteseden
Behavior
Conse quences
Gambar 2.2 Hubungan anteseden, perilaku, dan konsekuensi
Universitas Sumatera Utara
Model ABC dapat digunakan untuk mempromosikan perilaku sehat dan selamat. Sebagai contoh, analisis ABC dapat digunakan untuk menyelidiki mengapa pekerja tidak menggunakan alat pelindung telinga pada lingkungan yang bising dan mngidentifikasi bagaimana cara untuk mempromosikan penggunaan Alat Pelindung Telinga (APT) sehingga dapat mengurangi kehilangan pendengaran (Fleming dan Lardner, 2002). 2.6.3.1. Anteseden (Antecedent) Anteseden adalah peristiwa lingkungan yang membentuk tahap atau pemicu perilaku. Anteseden yang secara reliable mengisyaratkan waktu untuk menjalankan sebuah perilaku dapat meningkatkan kecenderungan terjadinya suatu perilaku pada saat dan tempat yang tepat. Anteseden dapat bersifat alamiah (dipicu oleh peristiwaperitiwa lingkungan) dan terencana (dipicu oleh pesan/peringatan yang dibuat oleh komunikator) (Graeff, dkk. 1996). Contoh anteseden yaitu peraturan dan prosedur, peralatan dan perlengkapan yang sesuai, informasi, rambu-rambu, keterampilan dan pengetahuan, serta pelatihan Menurut Anne R. French seperti yang dikutip Roughton (2002), anteseden dapat berupa safety meetings, penetapan tujuan, peraturan, perjanjian kontrak, kebijakan dan prosedur, penambahan dan pengurangan insentif, intruksi, penempatan rambu label keselamatan, pelatihan, permodelan ( Fleming dan Lardner, 2002). Meskipun anteseden diperlukan untuk memicu perilaku, namun kehadirannya tidak menjamin kemunculan suatu perilaku. Sebagai contoh, adanya peraturan dan prosedur keselamatan belum tentu memunculkan perilaku aman. Bagaimanapun anteseden yang memiliki efek jangka panjang seperti pengetahuan sangat penting untuk menciptakan perilaku aman. Anteseden adalah penting untuk memunculkan
Universitas Sumatera Utara
perilaku, tetapi pengaruhnya tidak cukup untuk membuat perilaku tersebut bertahan selamanya. Untuk memelihara perilaku dalam jangka panjang dibutuhkan konsekuensi yang signifikan bagi individu (Fleming dan Lardner, 2002). 2.6.3.2. Konsekuensi (Consequences) Konsekuensi adalah peristiwa lingkungan yang mengikuti sebuah perilaku, yang juga menguatkan, melemahkan atau menghentikan suatu perilaku. Secara umum, orang cenderung mengulangi perilaku-perilaku yang membawa hasil-hasil positif dan menghindari perilaku-perilaku yang memberikan hasil-hasil negatif. (Graeff, dkk, 1996). Konsekuensi didefenisikan sebagai hasil nyata dari perilaku individu yang mempengaruhi kemungkinan perilaku tersebut akan muncul kembali. Dengan demikian, frekuensi suatu perilaku dapat meningkat atau menurun dengan menetapkan konsekuensi yang mengikuti perilaku tersebut. (Fleming dan Lardner, 2002). Konsekuensi dapa berupa pembuktian diri, penerimaan atau penolakan dari rekan kerja, sanksi, umpan balik, cedera atau cacat, penghargaan, kenyamanan atau ketidaknyamanan, rasa terimakasih, penghematan waktu (Roughton, 2002). Ada tiga macam konsekuensi yang mempengaruhi perilaku, yaitu penguatan positif, peguatan negatif, dan hukuman. Penguatan positif dan penguatan negatif memperbesar kemungkinan suatu perilaku untuk muncul kembali sedangkan hukuman memperkecil kemungkinan suatu perilaku untuk muncul kembali (Fleming dan Lardner, 2002). Penguatan positif dapat berupa mendapatkan sesuatu yang diinginkan seperti umpan balik positif terhadap pencapaian, dikenal oleh atasan, pujian dari rekan kerja,
Universitas Sumatera Utara
dan penghargaan. Penguatan negative dapat berupa terhindar dari sesuatu yang tidak diingiinkan seperti terhindar dari pengucilan oleh rekan kerja, terhindar dari rasa sakit, terhindar dari kehilangan insentif, dan terhindar dari denda. Hukuman dapat berupa mendapatkan sesuatu yang tidak diinginkan atau kehilangan sesuatu yang dimiliki atau diinginkan seperti kehilangan keuntungan, aksipendisiplinan, rasa sakit/cedera, perasaaan bersalah (Fleming dan Lardner, 2002). Konsekuensi diatas dapat digunakan satu saja atau gabungan ketiganya untuk mengubah perilaku. Sebagai contoh, frekuensi seorang manajer mengadakan inspeksi dapat ditingkat dengan : 1. Penguatan positif berupa pujian dari atasan setelah melakukan inspeksi. 2. Penguatan negative untuk menghindari pengucilan oleh rekan kerja jika tidak melaksanakan inspeksi. 3. Hukuman berupa bonus bagi manajer dikurangi jika tidak melakukan isnpeksi. Meskipun penguatan positif dan penguatan negatif sama-sama meningkatkan frekuensi kemunculan suatu perilaku, keduanya menimbulkan hasil yang berbeda. Penguatan negatif hanya menghasilkan perilaku untuk menghindari sesuatu yang tidak diinginkan. Dengan kata lain mempengaruhi penilaian individu. Seseorang memunculkan perilaku karena memang keinginannya bukan karena keharusan (Fleming dan Lardner, 2002). Penguatan dan hukuman ditentukan berdasarkan efeknya. Jadi sebuah konsekuensi yang tidak dapat mengurangi frekuensi dari perilaku bukan merupakan hukuman dan konsekuensi yang tidak dapat meningkatkan frekuensi bukan merupakan penguatan. Faktanya, suatu tindakan yang sama dapat sekaligus menjadi
Universitas Sumatera Utara
penguatan bagi seseorang dalam situasi dan hukuman dalam situasi lain (Fleming dan Lardner, 2002). Seringkali konsekuensi menimbulkan efek yang bertentangan dengan efek yang diharapkan. Hal ini disebabkan karena konsekuensi pada perilaku tidak ditentukan oleh tindakan khusus atau tujuan yang diharapkan, tetapi orang yang melakukan perilaku tersebut. Sebagai contoh, seorang manajer ingin memberikan penghargaan atas keterlibatan pekerja dalam program peningkatan keselamatan, Ia mengundang pekerjanya untuk menghadiri makan malam dan upacara penghargaan serta menghadiahkan tiket permainan golf di akhir minggu untuk dua orang. Meskipun maksud manajer tersebut adalah memberikan penguatan positif, namun hadiah tersebut tidak memiliki efek yang diharapkan jika penerimanya merupakan orang tua tunggal. Karyawan tersebut kemungkinan besar tidak akan menggunakan kesempatannya untuk berlibur karena tidak memiliki seseorang untuk diajak, tidak dapat meninggalkan anaknya sehingga tidak bisa bermain golf (Fleming dan Lardner, 2002). Berdasarkan ilustrasi diatas, aspek permasalahan ketika menggunakan modifikasi perilau untuk mengubah perilaku adalah dalam memiki konsekuensi yang menurut orang lain memberikan penguatan baginya. Apa yang kita pikir dapat memberikan penguatan belum tentu efeknya bagi orang lain. Ada beberapa strategi yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi penguatan yang efektif yaitu: a. Melibatkan target individu atau kelompok dalam menentukan konsekuensi. b. Memperhatikan apa yang dipilih oleh target individu atau kelompok untuk dilakukan ketika mereka meimiliki pilihan. Tugas kerja yang dipilih oleh
Universitas Sumatera Utara
mereka secara aktif dapat digunakan untuk menguatkan aktivitas lain yang kurang diinginkan. c. Dalam menggunakan analisis ABC pada perilaku yang kompleks dibutuhkan beberapa kriteria untuk menilai efek konsekuensi.
2.7. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Perilaku Kerja 2.7.1. Pelatihan Salah satu cara yang baik untuk mempromosikan keselamatan di tempat kerja adalah dengan memberikan pelatihan bagi pekerja. Pelatihan keselamatan awal harus menjadi bagian proses orientasi pekerja baru. Pelatihan selanjutnya diarahkan pada pembentukan pengetahuan yang baru, spesifik dan lebih dalam serta memperbaharui pengetahuan yang sudah ada (Goestsch, 1996). Pelatihan memberikan manfaat ganda dalam promosi keselamatan. Pertama, pelatihan memastikan pekerja tahu bagaimana cara bekerja dengan aman dan mengapa hal itu penting. Kedua, pelatihan menunjukkan bahwa manajamen memiliki komitmen terhadap keselamatan. Pelatihan merupakan komponen utama dalam setiap program keselamatan. Pelatihan dimaksudkan untuk meningkatkan pemahaman kerja terhadap hazard dan risiko. Dengan adanya peningkatan kesadaran terhadap risiko, pekerja dapat menghindari kondisi tertentu dengan mengenali pajanan dan memodifikasinya dengan mengubah prosedur kerja menjadi lebih aman Latihan keselamatan adalah penting mengingat kebanyakan kecelakaan terjadi pada pekerja baru yang belum terbiasa bekerja dengan selamat. Sebabnya adalah ketidaktahuan cara mencegahnya, sekalipun tahu tentang adanya suatu risiko bahaya tersebut. Ada pula tenaga kerja baru yang sebenarnya menaruh perhatian tehadap
Universitas Sumatera Utara
adanya bahaya, tetapi ia tidak mau disebut takut dan akhirnya menderita kecelakaan. Pentingnya segi keselamatan harus ditekankan kepada tenaga kerja oleh pelatih, pimpinan kelompok atau isntruktur (Suma’mur 2009). 2.7.2. Peraturan Dalam penelitiannya Pratiwi (2009) mengemukakan pendapat beberapa ahli seperti Peraturan merupakan dokumen tertulis yang mengkomunikasikan standar, norma dan kebijakan untuk perilaku yang diharapkan (Geller, 2001). Peraturan memiliki peran besar dalam menentukan perilaku mana yang dapat diterima dan tidak dapat diterima (Roughton, 2002). Notoatmodjo (1993) dalam Syaaf (2008) menyebutkan salah satu strategi perubahan perilaku adalah dengan menggunakan kekuatan atau kekuasaan misalnya peraturan-peraturan dan perundang-undangan yang harus dipatuhi oleh anggota masyarakat. Cara ini menghasilkan perilaku yang cepat, akan tetapi perubahan tersebut belum tentu akan berlangsung lama karena perubahan perilaku yang terjadi tidak atau belum didasari oleh kesadaran sendiri. Secara umum, kewajiban manajemen dalam peraturan keselamatan dapat dirangkum sebagai berikut (Goestch, 1996): 1.
Manajemen harus memiliki peraturan yang memastikan keselamatan dan kesehatan di tempat kerja.
2.
Manajemen harus memastikan bahwa setiap pekerjanya memahami peraturan tersebut.
3.
Manajamen harus memastikan bahwa peraturan tersebut dilaksanakan secara objektif dan konsisten.
Universitas Sumatera Utara
Manajemen yang tidak memenuhi kriteria di atas dianggap teledor. Memiliki peraturan saja tidak cukup, demikian juga memiliki peraturan dan meningkatkan kesadaran pekerja terhadap peraturan. Manajemen harus merumuskan peraturan yang sesuai, mengkonsumsikan peraturan tersebut kepada pekerja, dan menegakkan peraturan tersebut di tempat kerja. Penegakkan peraturan merupakan hal yang sering dilupakan (Goestch, 1996). Objektivitas dan konsistensi merupakan hal yang penting ketika menegakkan peraturan. Objektivitas maksudnya peraturan tersebut berlaku bagi semua pekerja dari mulai pekerja baru hingga kepada eksekutif. Konsistensi maksudnya adalah peraturan tersebut ditegakkan dalam setiap kondisi tanpa ada pengaruh dari luar. Hal ini berarti hukuman diberikan kepada setiap pelanggaran. Gagal untuk menjadi objektif dan konsisten dapat menurunkan kredibilitas dan efektivitas upaya perusahaan untuk mempromosikan keselamatan (Goestch, 1996). Peraturan keselamatan akan lebih efektif jika dibuat dalam bentuk tertulis dikomunikasikan dan didiskusikan dengan seluruh pekerja yang terlibat. Hubungan antar peraturan keselamatan dan konsekuensi yang diterima akibat pelanggaran dapat didiskusikan
bersama
dengan
pekerja.
Pekerja
kemudian
diminta
untuk
menandatangani pernyataan bahwa mereka telah membaca dan memahami peraturan tersebut dan juga telah mendapatkan penjelasan tentang konsekuensi yang akan mereka terima bila melanggarnya. Ketika pekerja ikut dilibatkan dalam perumusan peraturan, mereka akan lebih memahami dan mau mengikuti peraturan tersebut (Roughton, 2002).
Universitas Sumatera Utara
Petunjuk untuk membangun peraturan keselamatan (Goestch, 1996) antara lain: 1.
Kurangi jumlah peraturan. Terlalu banyak peraturan dapat menimbulkan overload.
2.
Tulis peraturan dalam bahasa yang jelas dan mudah dipahami. Langsung pada poin pentingnya saja dan hindari penggunaan kata-kata yang memiliki makna ambigu atau sulit dipahami.
3.
Tulis hanya peraturan penting untuk memastikan keselamatan dan kesehatan di tempat kerja.
4.
Libatkan pekerja dalam perumusan peraturan yang berlaku bagi area operasi tertentu.
5.
Rumuskan hanya peraturan yang dapat dan akan ditegakkan.
6.
Gunakan akal sehat dalam merumuskan peraturan.
2.7.3. Pengawasan Kelemahan dari peraturan keselamatan adalah hanya berupa tulisan yang menyebutkan bagaimana seseorang bisa selamat, tetapi tidak mengawasi tindakan aktivitasnya. Pekerja akan cenderung melupakan kewajibannya dalam beberapa hari atau minggu (Roughton, 2002). Oleh karena itu, dibutuhkan pengawasan untuk menegakkan peraturan di tempat kerja. Menurut Roughton (2002), beberapa tipe individu yang harus terlibat dalam mengawasi tempat kerja yaitu : 1.
Pengawas (Supervisor) Setiap pengawas yang ditunjuk harus mendapatkan pelatihan terlebih dahulu
mengenai bahaya yang mungkin akan ditemui dan juga pengendaliannya.
Universitas Sumatera Utara
2.
Pekerja Ini merupakan salah satu cara untuk melibatkan pekerja dalam proses
keselamatan. Setiap pekerja harus mengerti mengenai potensi bahaya dan cara melindungi diri dan rekan kerjanya dari bahaya tersebut. Mereka yang terlibat dalam pengawasan membutuhkan pelatihan dalam mengenali dan mengendalikan potensi hazard. 3.
Safety Professional Safety Professional harus menyediakan bimbingan dan petunjuk tentang
metode inspeksi. Safety Professional dapat diandalkan untuk bertanggung jawab terhadap kesuksesan atau permasalahan dalam program pencegahan dan pengendalian bahaya. 2.7.4. Ketersediaan Fasilitas Penggunaan APD merupakan penyambung dari berbagai upaya pencegahan kecelakaan lainnya atau ketika tidak ada metode atau praktek lain yang mungkin untuk dilakukan (Roughton, 2002). Aneka alat-alat APD adalah kaca mata (goggles), safety shoes, sarung tangan, topi pengaman, pelindung telinga, pelindung paru-paru, dan lain-lain. Desain dan pembuatan APD harus memenuhi standar-standar tertentu dan sudah diuji terlebih dahulu kemampuan perlindungannya (Suma’mur, 2009). Melindungi Lawrence Green dalam Notoatmodjo (2005) perilaku dapat terbentuk dari tiga faktor, salah satunya faktor pendukung (enabling) yaitu ketersediaan fasilitas atau sarana kesehatan. Ketersediaan APD dalam hal ini merupakan salah satu bentuk dari faktor pendukung perilaku, dimana suatu perilaku
Universitas Sumatera Utara
otomatis belum terwujud dalam suatu tindakan jika tidak terdapat fasilitas yang mendukung terbentuknya sikap tersebut Pekerja membutuhkan pelatihan tentang APD agar dapat dimengerti arti pentingnya penggunaan APD dan bagaimana cara menggunakan serta merawatnya dengan baik. Pekerja juga harus diberitahu mengenai keterbatasan dari APD. APD tidak selalu cocok untuk digunakan dalam setiap situasi karena memang didesain secara khusus untuk suatu pekerjaan saja. Selain pelatihan, penguatan positif dan peraturan yang mengatur tentang penggunaan APD juga sangat dibutuhkan. 2.7.5. Hukuman dan Penghargaan Menurut Geller (2011) hukuman adalah konsekuensi yang diterima individu atau kelompok sebagai bentuk akibat dari perilaku yang tidak diharapkan. Hukuman dapat menekan atau melemahkan perilaku. Hukuman tidak hanya berorientasi untuk meghukum pekerja yang melanggar peraturan, melainkan sebagai control terhadap lingkungan kerja sehingga pekerja terlindung dari insiden (Roughton, 2002). Sedangkan penghargaan menurut Geller (2001) dalam Syaaf (2008) adalah konsekuensi positif yang diberikan kepada individu atau kelompok dengan tujuan mengembangkan, mendukung dan memelihara perilaku yang diharapkan. Jika digunakan sebagaimana mestinya, penghargaan dapat memberikan yang terbaik kepada setiap orang karena penghargaan membentuk parasaan percaya diri, penghargaan diri, pengendalian diri, optimistisme, dan rasa memiliki. Menurut Wilde dalam Syaaf (2008) penekanan pada hukuman dapat memotivasi perilaku seseorang dalam keselamatan, namun bukti dari efektifitasnya tidak diketahui dengan pasti. Adapun kelemahan dari hukuman ini adalah :
Universitas Sumatera Utara
1.
Efek Atribusi. Sebagai contoh, menilai seseorang sebagai karakteristik yang tidak diharapkan dapat merangsang seseorang untuk berperilaku seperti mereka benarbenar memiliki karakteristik itu. Menilai seseorang tidak bertanggung jawab akan membuat mereka berperilaku seperti itu.
2.
Penekanan pada pengendalian proses pembentukan perilaku. Sebagai contoh menggunakan alat pelindung diri atau mematuhi batas kecepatan kerja daripada menekankan pada hasil akhir yang ingin dicapai yaitu keselamatan. Pengendalian proses tidak praktis untuk didesain dan diimplementasikan serta tidak dapat merangkum seluruh perilaku yang tidak diharapkan dari pekerja dalam setiap waktu.
3.
Hukuman membawa efek samping negatif. Hukuman menimbulkan disfungsi iklim organisasi yang tidak ditandai oleh dendam, tidak mau bekerja sama, sikap antagonis, bahkan sabotase. Hasilnya, perilaku yang tidak diharapkan mungkin akan muncul.
Universitas Sumatera Utara
2.8.
Kerangka Konsep Anteseden yang terdiri dari pengetahuan, pelatihan, peraturan, pengawasan
dan ketersediaan fasilitas merupakan variable bebas (dependen) sedangkan konsekuensi merupakan variabel bebas (dependen) yang memiliki keterkaitan timbal balik dengan perilaku berisiko. Perilaku berisiko merupakan variabel terikat (independen).
Anteseden 1. Pengetahuan tentang bahaya di tempat kerja. 2. Pelatihan keselamatan 3. Peraturan
Consequences Perilaku Berisiko
1. Sanksi 2. Penghargaan
4. Pengawasan 5. Ketersediaan fasilitas
Universitas Sumatera Utara