BAB II TINJAUAN PUSTAKA
1.6.
Kerangka Teoritis
2.1.1. Badan Karantina Pertanian 10 Isnadi (1999) menyebutkan bahwa karantina adalah pembatasan secara hukum dalam lalu lintas komoditi pertanian dengan tujuan untuk mencegah dan menghambat menetapnya hama dan penyakit di daerah yang belum diketahui adanya hama penyakit tersebut. Karantina dimasukkan pula peraturan-peraturan yang bertujuan untuk membantu mengendalikan hama dan penyakit yang bersangkutan. Karantina penyakit tanaman, hewan dan ikan adalah usaha-usaha yang diambil oleh Pemerintah untuk menghindarkan pemasukan hama penyakit asing baik tanaman, hewan, dan ikan ke dalam suatu wilayah. Karantina didasarkan pada landasan bahwa pemerintah memiliki hak dan kewajiban dalam melindungi sumberdaya dan industri pertanian dari pengaruh-pengaruh destruktif dari hama maupun penyakit. Badan Karantina Pertanian adalah institusi pemerintah sebagai tempat pengasingan dan tindakan sebagai upaya pencegahan masuk serta tersebarnya hama dan penyakit atau organisme pengganggu tumbuhan serta hewan dari luar 10 Isnadi. 1999. Menuju Terbentuknya Badan Karantina Pertanian Nasional Menghadapi Era Globalisasi. Jakarta: Pusat Karantina Pertanian Departemen Pertanian.
negeri, dan dari suatu area ke area lain didalam negeri atau keluarnya dari dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tugas pokok Badan Karantina Pertanian adalah untuk melaksanakan perkarantinaan tumbuhan, tanaman pangan, hortikultura dan tanaman perkebunan serta hewan, produk hewan, tumbuhan dan produk tumbuhan yang diimpor, diekspor serta diantar-areakan. Seiring perkembangan zaman, fungsi karantina berkembang sebagai salah satu instrumen perdagangan baik dalam lingkup nasional maupun internasional.
2.1.2. Komunikasi Komunikasi menurut Treece (1989), adalah proses sosial dari orang-orang yang terlibat dalam hubungan sosial dan memiliki kesamaan makna mengenai sesuatu hal. Ross (1974) mendefinisikan komunikasi sebagai proses transaksional yang meliputi pemisahan dan pemilihan bersama lambang secara kognitif, begitu rupa sehingga membantu orang lain untuk mengeluarkan dari pengalamannya sendiri arti atau respon yang sama dengan yang dimaksud oleh sumber. Peristiwa komunikasi senantiasa berlangsung untuk mencapai tujuan tertentu. Berlo (1960) merumuskan tiga tujuan komunikasi sebagai berikut: 1.
Informative, cara berkomunikasi yang bertujuan untuk menyampaikan sesuatu hal, ide-ide, gagasan-gagasan, rumusan pemikiran baru, perasaan dengan melakukan pendekatan pikiran. Keefektifan dapat dicapai apabila informasi yang disampaikan bersifat faktual dan obyektif.
2.
Persuasive, cara berkomunikasi yang bertujuan untuk menggugah perasaan seseorang dari sesuatu situasi ke situasi lainnya, dari tidak suka menjadi suka. Dengan demikian pendekatan yang diakukan tidak lagi ditekankan pada
pendekatan pikiran semata tetapi menyangkut pendekatan aspek emosional. 3.
Entertainment, pada tipe ini komunikasi bertujuan untuk menghibur atau menyenangkan seseorang melalui peragaan-peragaan tertentu. Perkembangan
komunikasi,
Berlo
(1964)
menggambarkan
model
komunikasi sebagai berikut : Source
Encoder
Message
Channel
Decoder
Receiver
Gambar 1. Model Komunikasi Berlo (1964)
Rogers mengembangkan model Berlo dengan menambahkan satu unsur baru yang disebut effects atau umpan balik, yaitu proses sampainya tanggapan komunikan kepada sumber pesan. Source
Message
Channel
Receiver
Effects
Gambar 2. Model Komunikasi Rogers
Model Rogers diatas memperhatikan efek komunikasi berdasarkan pada perubahan perilaku dari penerima pesan dalam wujud perubahan pengetahuan, sikap, dan juga keterampilan. Komunikasi menjadi efektif menurut Rahmat (1985), apabila ada pengertian, kesenangan, mempengaruhi sikap, mempunyai hubungan sosial yang baik dan adanya tindakan. Oleh karena itu, agar komunikasi dapat berjalan secara efektif ada lima hal yang perlu diperhatikan yaitu: 1. Respek Komunikasi harus diawali dengan saling menghargai. Adanya penghargaan biasanya akan menimbulkan kesan serupa (feedback) dari si penerima pesan. Orangtua akan sukses berkomunikasi dengan anak bila ia melakukannya dengan
penuh respek. Bila ini dilakukan maka anak pun akan melakukan hal yang sama ketika berkomunikasi dengan orangtua atau orang-orang disekitarnya. Menurut Yuhana dkk (2006), sikap berkomunikasi yang paling baik adalah asertif karena sikap ini bersifat positif terhadap orang lain. 2. Empati Empati adalah kemampuan untuk menempatkan diri kita pada situasi dan kondisi yang dihadapi orang lain. Syarat utama dari sikap empati adalah kemampuan untuk mendengar dan mengerti orang lain, sebelum didengar dan dimengerti orang lain. Orangtua yang baik tidak akan menuntut anaknya untuk mengerti keinginannya, tapi ia akan berusaha memahami anak itu terlebih dahulu. Ia akan membuka dialog dengan mereka, mendengar keluhan dan harapannya. Mendengarkan disini tidak hanya melibatkan indra saja, tetapi melibatkan pula mata hati dan perasaan. Cara seperti ini dapat memunculkan rasa saling percaya dan keterbukaan dalam keluarga. 3. Audibel Yang dimaksud dengan audibel berarti “dapat didengarkan” atau bisa dimengerti dengan baik. Sebuah pesan harus dapat disampaikan dengan cara atau sikap yang bisa diterima oleh si penerima pesan. Raut muka yang cerah, bahasa tubuh yang baik, kata-kata yang sopan, atau cara menunjuk, termasuk ke dalam komunikasi yang audibel ini. 4. Jelas
Pesan yang disampaikan harus jelas maknanya dan tidak menimbulkan banyak pemahaman, selain itu pesan yang disampaikan juga harus jelas dan transparan. Ketika berkomunikasi dengan anak, orangtua harus berusaha agar pesan yang disampaikan bisa jelas maknanya. Salah satu caranya adalah berbicara sesuai dengan bahasa yang mereka pahami (dengan melihat tingkatan usia). 5. Rendah Hati Sikap rendah hati mengandung makna saling menghargai, tidak memandang rendah, lemah lembut, sopan, dan penuh pengendalian diri. Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya kelembutan itu apabila ada pada sesuatu ia akan memperindahnya, dan apabila ia tercerabut dari sesuatu akan tercelalah ia”. 2.1.3. Pengertian dan Jenis-jenis Komunikasi Massa Komunikasi massa dengan merujuk pada institusi pembawa pesan atau media adalah komunikasi untuk setiap orang (Rivers et al., 2004). McQuail (2005) mengemukakan bahwa komunikasi massa merupakan suatu bentuk pengorganisasian pesan untuk menjangkau khalayak banyak yang tersebar di berbagai wilayah dalam jangka waktu yang bersamaan melalui penggunan media massa dan memiliki pengaruh yang besar. Pesan disampaikan oleh media, seperti koran, majalah, radio dan televisi melalui simbol verbal maupun non verbal, baik secara audio maupun visual. Komunikasi dengan bentuk seperti ini bersifat satu arah atau asimetris, khalayak bersifat heterogen dan merupakan refleksi dari masyarakat itu sendiri (McQuail, 2005). Media cetak merupakan salah satu bentuk komunikasi massa. Media ini diklaim oleh Jahi (1993) memiliki keunggulan diantaranya keleluasaan pembaca
dalam mengontrol keterdadahan, mudah disimpan dan dilihat kembali. Meski demikian, media ini juga memiliki kelemahan karena tidak tepat digunakan pada masyarakat yang memiliki kemampuan baca rendah dan kurang cepat mencapai sasaran apabila dijadikan satu-satunya teknik penyampaian pesan. Bentuk lain dari
komunikasi
massa
adalah
televisi,
dimana
Rahmatiasih
(2006)
mengungkapkan bahwa televisi adalah media yang memiliki kemampuan maksimum sebagai media audio visual yang murah dan dimiliki oleh mayoritas masyarakat dari berbagai golongan dan mudah dijangkau. Syaichu (2006) mengungkapkan bahwa media televisi juga dinilai memiliki kelebihan dibandingkan media cetak, dimana media cetak membuat otak bekerja dua kali lipat memahami suatu pesan dibandingkan penyampaian pesan melalui televisi. Saat seseorang menerima selebaran, maka dia harus membaca dahulu kemudian memahami, berbeda dengan pesan melalui televisi yang langsung masuk ke dalam kepala pemirsa tanpa proses macam-macam. Media massa memang banyak digunakan untuk menyampaikan informasi yang bersifat umum kepada khalayak karena seperti yang dikemukakan McQuail (2005) bahwa penggunaan media massa lebih mudah dikontrol. Rivers et al. (2004) mengungkapkan bahwa media tetap tidak dapat menjangkau keseluruhan khalayak, bahkan untuk informasi tertentu tidak jarang terjadi salah sasaran khalayak karena media cenderung memilih khalayak dan demikian pula sebaliknya, sifat dari komunikasi massa adalah satu arah. Banyak faktor yang berperan terhadap kegagalan komunikasi massa dalam menyampaikan informasi menurut Rivers et al. (2004) diantaranya adalah faktor geografi, tingkat pendidikan, kebiasaan, usia, sikap individual dan tingkat kepercayaan. Pendapat
lain datang dari Moss dan Tubbs (1996), mengemukakan bahwa khalayak komunikasi massa adalah khalayak yang aktif, mencari apa yang diinginkan, menolak lebih banyak isi media daripada menerimanya, berinteraksi dengan anggota-anggota kelompok yang dimasuki dan dengan isi media yang mereka terima, dan sering menguji pesan media massa dengan membicarakannya dengan orang lain atau membandingkannya dengan isi media lain. Rakhmat (2001) mengemukakan meskipun media massa berpengaruh, tetapi pengaruh tersebut disaring, diseleksi, bahkan mungkin ditolak sesuai dengan faktor-faktor personal yang mempengaruhi reaksi mereka. Pengaruh tersebut menurut Rakhmat (2000) ditentukan oleh faktor perantara atau variabel yang menghubungkan media massa dengan khalayak sehingga pesan tersebut dapat mempengaruhi aspek pengetahuan, sikap, dan tindakan. Faktor perantara tersebut meliputi sifat stimulus (jarak isu, kedekatan, geografis, dan sumber) dan sifat khalayak (data demografis, keanggotaan dalam sistem sosial, kebutuhan, sikap, diskusi interpersonal dan terpaan media).
2.1.4. Komunikasi Interpersonal Komunikasi interpersonal merupakan komunikasi antara orang-orang secara tatap muka yang memungkinkan setiap pesertanya menangkap reaksi orang lain secara langsung, baik secara verbal maupun non-verbal (Mulyana, 2000). Komunikasi interpersonal berperan penting karena membuat manusia lebih akrab dengan sesamanya sesuai dengan sifatnya yang menimbulkan umpan balik seketika (Mulyana, 2000). Saluran interpersonal juga lebih efektif mempengaruhi individu dalam menerima ide baru terutama apabila saluran tersebut
menghubungkan dua atau lebih individu yang memiliki kesamaan seperti kesamaan status sosial ekonomi atau tingkat pendidikan. Model komunikasi dua tahap seperti yang dikemukakan oleh Wiryanto (2000) mengacu pada pesan yang tidak seluruhnya mencapai khalayk secara langsung. Model ini menitikberatkan pada konsep pemuka pendapat dan pengikut, pemuka pendapat memiliki pengaruh atas pengikutnya karena posisinya. Moss dan Tubbs (1996) mengemukakan bahwa dalam model dua tahap, informasi diteruskan dari media massa oleh pemuka pendapat kepada orang-orang lain dalam populasinya. Pemuka pendapat yang dikutip oleh Moss dan Tubbs (1996), merupakan anggota kelompok yang memainkan peranan komunikasi yang penting, untuk itu pemuka pendapat tidak melulu berasal dari lapisan sosial ekonomi yang lebih tinggi dibandingkan masyarakat lainnya. Pemuka pendapat merupakan orang yang pertama kali terdedah informasi. Tanpa pemuka pendapat, pesan kepada khalayak cenderung tidak efektif. Asumsi ini diperkuat dengan penelitian oleh Siswanto (1998) di Sampang yang menunjukkan bahwa masyarakat Sampang tidak banyak terkena terpaan media, karena karakteristik sosial sebagai masyarakat agamis yang menganggap media memberi pengaruh buruk, sehingga medium utama informasi adalah kyai (pemuka pendapat).
2.1.5. Perilaku Perilaku merupakan reaksi dari hasil interaksi antar individu dengan rangsangannya atau lingkungannya. Lutfiyah (2007) mengatakan perilaku adalah sesuatu yang benar-benar dilakukan oleh seseorang. Perilaku individu meliputi
segala sesuatu yang meliputi pengetahuannya (knowledge) yang menjadi sikapnya (attitude) dan yang bisa dikerjakan (action). Perilaku muncul sebagai hasil interaksi antara individu dengan lingkungannya dan benar-benar dilakukan seseorang dalam bentuk tindakan. Perilaku menurut Sukanto (2000) adalah jawaban atau tanggapan seseorang terhadap suatu keadaan. Sementara menurut Sarwono (1992), dalam Budhiarty (2004), mengartikan perilaku sebagai perbuatan-perbuatan manusia baik yang kasat mata (memukul, menendang) atau yang tidak kasat mata (sikap, minat, dan emosi). Berdasarkan teori diatas dapat disimpulkan bahwa perilaku adalah reaksi atau tindakan nyata yang terjadi dari hasil interaksi dengan rangsangan atau lingkungannya dan yang benar-benar dilakukan oleh seseorang dalam bentuk tindakan. Menurut Rakhmat (2001), bahwa perilaku dipengaruhi oleh dua faktor: 1)
Faktor-faktor Personal
a.
Faktor Biologis Struktur biologis manusia seperti genetika, sistem syaraf, dan sistem hormonal sangat mempengaruhi perilaku manusia.
b.
Faktor- faktor Sosiopsikologis, diantaranya adalah : 1. Komponen Kognitif, berkaitan dengan aspek pengetahuan. 2. Komponen Afektif, berkaitan dengan sikap (rasa suka atau tidak suka, setuju atau tidak setuju). 3. Komponen Konatif, berkaitan dengan kebiasaan dan kemauan.
2)
Faktor-faktor Situasional, diantaranya adalah: faktor ekologis (keadaan alam), faktor temporal (waktu), suasana lingkungan, teknologi, dan faktorfaktor sosial (struktur kelompok dan organisasi).
2.1.6. Kampanye Rogers dan Storey (1987), dalam Ardianthi (2008), menyatakan bahwa kampanye merupakan aktifitas komunikasi didalam menyampaikan pesan melalui jaringan saluran komunikasi secara terpadu, dan mengorganisir aktifitas komunikasi tersebut dengan tujuan menghasilkan dampak pada individu-individu dalam jumlah besar, dan atau kelompok masyarakat sesuai dengan target yang ingin dicapai, pada satuan waktu tertentu. Umumnya, kampanye publik dilakukan dengan mengkoordinasi kemampuan jaringan media dalam bersinergi untuk menyampaikan pesan-pesan yang diinginkan oleh pembuat keputusan, baik dalam hubungan antar pribadi (interpersonal) maupun hubungan dengan komunitas (community based), dengan frekwensi intensif, jangkauan yang signifikan, dan pengemasan produk komunikasi yang mudah dicerna oleh khalayak, sehingga dapat berpengaruh dalam perubahan sikap publik. Kampanye secara umum menampilkan suatu kegiatan yang bertitik tolak untuk membujuk khalayak sebagai target sasarannya. Kampanye merupakan aktivitas komunikasi yang terorganisasi secara langsung ditujukan kepada khalayak tertentu pada periode waktu yang telah ditentukan untuk mencapai tujuan tertentu. Kampanye dilakukan secara sadar, menunjang, dan meningkatkan proses pelaksanaan yang terencana (Antar, 2004). Kampanye secara garis besar dapat diartikan sebagai bagian dari komunikasi persuasif. Komunikasi persuasif sendiri merupakan sebuah ajakan
tetapi bukan propaganda atau doktrin dalam proses berkomunikasi, baik melalui media massa maupun komunikasi tatap muka. Komunikasi persuasif banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari terutama digunakan dalam pesan-pesan di media massa (Malik, 1994). Penerima pesan diberi pandangan-pandangan baru, diajak meneliti kembali kerangka acuan tindakan mereka dan pola tingkah laku selama ini, serta akhirnya dibujuk untuk mengubah kerangka berfikir dan pola tindakan sesuai dengan yang dikehendaki komunikator (Malik, 1994). Setiap aktivitas kampanye komunikasi menurut Malik (1994), setidaknya harus mengandung empat hal, yakni: 1.
Tindakan kampanye yang ditujukan untuk menciptakan efek atau dampak tertentu.
2.
Jumlah khalayak sasaran yang besar.
3.
Biasanya dipusatkan pada kurun waktu tertentu.
4.
Melalui serangkaian tindakan komunikasi yang terorganisasi.
2.1.7. Penerimaan dan Efektifitas Kampanye Penerimaan terhadap proses komunikasi adalah bagaimana khalayak memandang serta mengapresiasi proses komunikasi tersebut. Setiap bentuk kegiatan komunikasi memiliki efek terhadap khalayak. Efek dari komunikasi merupakan suatu pengaruh atau reaksi penerima terhadap pesan yang diterima sehingga terjadi perubahan pada dirinya. Terdapat tiga dimensi efek dari komunikasi yaitu, dimensi kognitif, dimensi afektif dan dimensi konatif. Meski berhubungan satu sama lain tetapi ketiga dimensi tersebut independen. Perubahan
tiga dimensi tersebut terjadi dalam berbagai sekuen dan perubahan dalam satu dimensi tidak perlu diikuti perubahan pada dimensi lain (Jahi, 1993). McQuail (2005) mengungkapkan bahwa media massa adalah salah satu alat yang berpengaruh besar dalam pembentukan opini dan merubah perilaku. Media dapat menyebabkan perubahan yang disengaja atau tidak disengaja, perubahan dalam skala kecil atau besar, memfasilitasi perubahan, memperkuat apa yang sudah ada maupun mencegah perubahan. Meski media massa dapat merubah perilaku namun media massa sulit untuk merubah sikap karena sikap memiliki sifat ambivalen, yaitu bisa bersifat positif atau negatif. McQuail (2005) mengemukakan bahwa pemberian informasi dapat menimbulkan efek yang diinginkan dan yang tidak diinginkan. Perubahan perilaku bukanlah hal yang mudah diusahakan karena, seperti yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat (2004), bahwa mentalitas bangsa Indonesia tidak biasa berspekulasi akibat pengaruh dari kehidupan agraris, meski demikian hal ini bukan tidak mungkin untuk berubah selama ada proyeksi yang jelas atas apa yang akan diraih apabila mereka mau berubah atau apa yang terjadi apabila tidak berubah. Sarwono (1999) mengemukakan bahwa perilaku adalah sesuatu yang dipelajari serta dapat dipengaruhi dan dirubah. Penerimaan terhadap kampanye berkaitan dengan perilaku. Perilaku mengandung tiga domain, masingmasing adalah domain kognitif atau peningkatan kesadaran dan pengetahuan, domain afektif yang berhubungan dengan perasaan, serta domain konatif berupa kecenderungan untuk bertindak. Pengaruh kampanye terhadap perilaku dapat menjadi sangat kuat atau bahkan lemah sehingga kampanye berlalu tanpa kesan seperti temuan pada penelitian (Rahmatiasih, 2003).
Efektifitas secara umum menurut Hardjana (2000), dalam Ardianthi (2008), adalah mengerjakan hal-hal yang benar, membawa hasil, menangani tantangan masa depan, meningkatkan keuntungan atau laba, dan mengoptimalkan penggunaan sumberdaya, pengertian efektifitas ini lebih dipandang dari kacamata keekonomian. Prinsip efektif menurut Sugandha (1988), dalam Ardianthi (2008), adalah kemampuan untuk mencapai sasaran dan tujuan akhir melalui kerjasama orangorang dengan memanfaatkan sumber-sumber yang ada seefisien mungkin. Pengertian lain efektifitas seperti yang dikemukakan Subiakto (1996) adalah bagaimana penerima melakukan tindakan sesuai dengan makna yang diinginkan si pengirim. Menurut Wilbur Schramm, yang dikutip oleh Ardianthi (2008), kondisikondisi yang harus dipenuhi sebagai penunjang bagi komunikasi yang efektif adalah sebagai berikut: a.
Pesan harus dirancang dan disampaikan sedemikian rupa, sehingga dapat menarik perhatian komunikan.
b.
Pesan harus menggunakan lambang-lambang tertuju kepada pengalaman yang sama antara komunikator dan komunikan, sehingga samasama mengerti.
c.
Pesan harus membangkitkan kebutuhan pribadi komunikan dan menyarankan beberapa cara untuk memperoleh kebutuhan tersebut.
d.
Pesan harus menyarankan suatu jalan untuk memperoleh kebutuhan tadi yang layak bagi situasi kelompok dimana komunikan berada pada saat ia digerakkan untuk memberikan tanggapan yang dikehendaki.
Efektifitas juga sering kali dikaitkan dengan evaluasi, dimana Weiss (1972) mengemukakan bahwa evaluasi biasa dilakukan pada program yang didesain untuk merubah pengetahuan, sikap, nilai dan perilaku yang dianut oleh khalayak, serta dilakukan untuk mengukur ketercapaian tujuan program dan melakukan perbaikan terhadap program tersebut. Perbedaan penelitian evaluasi atau pengukuran efektifitas dibandingkan penelitian lain terletak pada hipotesis yang didasari oleh tujuan dari program. Pertanyaan yang seringkali diajukan dalam penelitian evaluasi adalah apakah program telah sukses mencapai tujuan, apakah ada cara yang lebih baik dalam mencapai tujuan dan apakah benar-benar program itu sendiri yang mempengaruhi ketercapaian tujuan atau faktor lain dari luar program (Weiss, 1972).
2.1.8. Kesadaran Kesadaran sebenarnya berawal dari sebuah kebutuhan dan kemudian muncul sebuah kemauan dan diwujudkan melalui aktualisasi diri yang mana aktualisasi tersebut disesuaikan dengan kondisi lingkungan sekitar. Sebagaimana diungkapkan oleh Freud (2009), dalam Hagijanto (2009), kesadaran itu bukan hanya abstraksi hipotetik tetapi kenyataan empirik. Perwujudan, lewat aktualisasi diri yang merupakan tingkat kebutuhan tertinggi dari suatu hirarki kebutuhan (Maslow). Teori kesadaran lainnya menurut Jung (2009), dalam Hagijanto (2009), mengatakan bahwa dalam kepribadian manusia itu terdiri dari dua alam, alam sadar dan alam tak sadar. Alam sadar, berfungsi untuk mengadakan penyesuaian diri terhadap lingkungan atau dunia luar. Sementara pada alam tak sadar mempunyai peranan untuk mengadakan penyesuaian terhadap dunia dalam, yaitu
dunia batin.11 Menurut Sudiana (1986), dalam Hagijanto (2009), menyatakan bahwa pengaruh kesadaran terbentuk dengan beberapa tahapan yakni kesadaran, pengetahuan, menyukai, kegandrungan, dan tindakan. Tahap pertama mencakup tingkat-tingkat pengetahuan dan kesadaran yang dapat dibandingkan dengan komponen pengetahuan akan kognitif sikap. Komponen afektif dari suatu sikap, aspek suka-tidak suka, terwakili dalam model Ladvidge dan Steiner, dalam Hagijanto (2009), oleh peringkat menyukai atau kegandrungan. Komponen sikap mengingatkan adalah komponen konatif, sedangkan unsur motivasi atau tindakan diwakili oleh peringkat keyakinan, yang merupakan dua tingkat terakhir dalam model tersebut. Teori kesadaran mampu mengakomodasikan berbagai tingkat kognitif, seperti amarah. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kesadaran diantaranya adalah sifat internal dan karakteristik individu seperti usia, pendidikan, jenis kelamin dan pekerjaan, serta faktor eksternal (Rakhmat, 2000).12
2.1.9. Flu Burung (Avian Influenza) Virus flu burung di Indonesia pertama kali ditemukan pada tahun 2003. Diawali dengan ditemukannya wabah mematikan pada ayam di Jawa Tengah yang kemudian menyebar ke Jawa Timur. Departemen Pertanian menginformasikan bahwa wabah pada ayam tersebut adalah penyakit tetelo akibat virus Vilogenic vicerotropic. Pada tahun yang sama berdasarkan uji laboratorium Pusat Informasi 11
Hagijanto, A. 2009. Menciptakan Brand Awareness. http://desaingrafisindonesia.files.wordpress.com/2009/03/dkv01030102.pdf. (diakses pada tanggal 7 Mei 2009). 12 Hagijanto, A. 2009. Menciptakan Brand Awareness. http://desaingrafisindonesia.files.wordpress.com/2009/03/dkv01030102.pdf. (diakses pada tanggal 7 Mei 2009).
Unggas menemukan bahwa virus flu burung ikut berperan pada wabah ayam tersebut. Sehingga pada tahun berikutnya Departemen Pertanian mengumumkan adanya wabah flu burung pada unggas di Indonesia. Pada saat itu belum ditemukan terjadinya penularan dari unggas ke manusia.13 Sudarisman (2006) mengatakan bahwa Avian Influenza (AI) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus, dan dapat menyebabkan penyakit gangguan pernafasan sampai pada kematian pada berbagai unggas dan mamalia. Flu burung adalah sejenis penyakit yang disebabkan oleh virus yang ditemukan pada burung, tetapi bisa juga menjangkit beberapa jenis mamalia lainnya. Virus flu burung memiliki karakteristik akan mati pada 80 derajat celcius selama 1 menit, 60 derajat celcius selama 30 menit pada daging, 64 derajat celcius selama 45 menit pada telur, tahan hidup selama 32 hari, sangat labil, mudah berubah bentuk, akan mati pada sediaan desinfektan (Balitvet, 2004; Ditkeswan, 2004). Penyebab flu burung di Indonesia adalah virus influenza tipe A subtipe H5N1, yaitu jenis virus yang tidak menular ke manusia. Berdasarkan hasil sementara laboratorium rujukan WHO di Hongkong, virus H5N1 yang terdapat di Indonesia berbeda dengan virus yang ditemukan di Vietnam dan Thailand, namun berhubungan dekat dengan virus yang berasal dari Cina. Departemen Pertanian menyatakan bahwa flu burung di Indonesia berpotensi menular dari unggas ke manusia terutama jika virus H5N1 ini mengalami mutasi.14
13
Blessed, Miaoli dan Formosa. 2009. Refleksi terhadap Flu Burung. http://kontaktuhan.org/news/news162/nu1.htm. (diakses pada tanggal 31 Maret 2009). 3 Dharmayanti, Indi dan Risa Indriani. 2006. Deteksi Virus Avian Influenza Subtype H5 pada Beberapa Jenis Burung di Jakarta dan Sukabumi. Bogor: Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner.
Indonesia dan banyak Negara lain yang terkena wabah flu burung, dampak flu burung mengakibatkan meruginya peternak unggas akibat kematian atau pemusnahan unggas. Selain juga jatuhnya harga telur dan daging ayam potong ke titik terendah karena masyarakat khawatir tertular jika mengkonsumsi telur dan daging ayam. Walaupun berbagai media telah menginformasikan bahwa flu burung adalah penyakit yang penularannya melalui pernafasan (airborne disease) bukan melalui makanan (foodborne disease). Akibat wabah flu burung beban perekonomian domestik banyak negara menjadi terganggu, belum lagi ditambah dengan tuntutan biaya yang tidak sedikit untuk mencegah meluasnya wabah seperti biaya penyediaan vaksin, pemusnahan ribuan unggas, atau pengawasan ekstra lalu lintas unggas.15
2.1.10. Partisipasi Masyarakat Partisipasi menurut Siswanto (2004), berkaitan dengan proses pembebasan manusia dari segala macam hambatan yang berupa ketidaksederajatan, tekanan, ancaman, ketakutan dan penindasan dari pihak eksternal yang merasa lebih berpengetahuan-berpangkat-berjabatan
dan
lain
sebagainya.
Partisipasi
merupakan bentuk keterlibatan masyarakat secara aktif (Siswanto, 2004). Dua macam pengetahuan yang bertentangan dapat dijembatani dengan jalan proses saling belajar dari kedua pihak, pihak perencana belajar pengetahuan eksperimental dari klien, sedangkan klien belajar pengetahuan teknis dari perencana. Melalui proses ini, kedua macam pengetahuan tersebut akan melebur 15
Majalah Poultry Indonesia Online.2009. Wabah flu burung gelombang kedua dan kemungkinan menjadi pandemic asia. http://www.poultryindonesia.com/modules.php?name=News&file=article. (diakses pada tanggal 31 Maret 2009).
menjadi satu. Pada saat pengetahuan kedua belah pihak melebur, maka persepsi dari pihak satu terhadap pihak yang lain akan berubah (Siswanto, 2004). Singhal (2001) memaparkan bahwa partisipasi berkaitan dengan komunikasi adalah suatu proses transformasi informasi yang bersifat dinamis dan timbalbalik
diantara
individu,
kelompok
maupun
institusi
sehingga
memungkinkan masing-masing pihak menyadari potensi mereka dan bergerak sesuai dengan kebutuhan. Freire (1970), yang dikutip oleh Papa (2006), secara singkat mengemukakan bahwa partisipasi berarti bekerjasama dengan serta dari masyarakat, dan bukan bekerja atas nama atau untuk masyarakat. Partisipasi seperti yang diungkapkan Adjid (1979), yang dikutip oleh Ardianthi (2008), merupakan manifestasi perilaku seseorang atau sekelompok masyarakat dalam mewujudkan peranannya sesuai dengan harapan masyarakat yang melakukan tindakan sosial untuk mencapai tujuan tertentu. Pengertian lain diungkapkan oleh Yadav (1980), yang dikutip oleh Ardianthi (2008), bahwa partisipasi adalah keikutsertaan seseorang dalam hal pengambilan keputusan, pelaksanaan program dan evaluasi program. Beberapa hal yang diidentifikasi sebagai unsur atau prinsip partisipasi sebagaimana yang dikemukakan oleh Sulamto (1993), yakni: a.
Terdapat
keterlibatan
mental
dan
emosional
dari
seseorang
yang
berpartisipasi, b.
Terdapat ketersediaan dari seseorang untuk memberikan korbanan, baik berupa sumbangan, materi, tenaga, pikiran untuk ikut dalam suatu kegiatan untuk mencapai tujuan bersama,
c.
Partisipasi menyangkut kegiatan-kegiatan dalam kehidupan komunitas,
d.
Terdapat rasa tanggung jawab terhadap aktivitas yang dilakukan seseorang,
e.
Terkandung
hal-hal
yang
bersifat
menguntungkan
bagi
individu
bersangkutan, yang berarti terpenuhinya kebutuhan dirinya. Mubyarto (1984), yang dikutip oleh Ardianthi (2008), membagi partisipasi menjadi tiga tahap, yakni: (1) Tahap perencanaan, dimana masyarakat ikut berpartisipasi mengajukan usul atau rencana pembangunan, (2) Tahap pelaksanaan, dimana masyarakat ikut berpartisipasi dalam pelaksanaan program baik fisik maupun non fisik, (3) Tahap pemanfaatan, bahwa masyarakat ikut berpartisipasi memanfaatkan dan menikmati hasil dari program. Hollsteiner (1977), yang dikutip oleh Noveri (1990), mengemukakan bahwa partisipasi diperlukan agar: a.
Mensukseskan program secara lebih terjamin dan lebih tepat sasaran,
b.
Mendekatkan pengertian pihak pelaksana dengan khalayak,
c.
Media bagi pemupukan keterampilan masyarakat, persaudaraan dan rasa percaya diri,
d.
Partisipasi aktif merupakan ciri masyarakat modern. Partisipasi aktif masyarakat dalam pembangunan memerlukan beberapa
syarat:16 a.
Masyarakat harus memiliki kemauan untuk berpartisipasi. Kemauan merupakan aspek emosi terhadap obyek tertentu,
16
Sulamto. 1993. Partisipasi Masyarakat Desa dalam Peningkatan Kegiatan Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu), Kasus di Desa-desa Kabupaten Semarang. Thesis. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor.
b.
Masyarakat harus memiliki kemampuan untuk berpartisipasi. Kemampuan merupakan
kesanggupan
seseorang
karena
keberadaan
seperangkat
pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan, c.
Keberadaan kesempatan atau peluang agar masyarakat dapat berpartisipasi dalam pembangunan. Perbedaan strategi komunikasi dalam rangka perubahan sosial yang
bersifat partisipatif dan non-partisipatif dikemukakan Dagron (2001), dalam Ardhianthi (2008) dalam Tabel 1 berikut:
Tabel 1. Strategi Partisipatif versus Non-partisipatif untuk Perubahan Sosial Partisipatif
Non Partisipatif
Komunikasi berlangsung secara horizontal
Komunikasi berlangsung secara vertikal dari sumber informasi kepada penerima informasi
Proses komunikasi mengutamakan dialog
Proses komunikasi mengutamakan kampanye massal yang berlangsung secara singkat
Proses perubahan berlangsung secara bertahap dalam jangka waktu yang relatif lama
Perencanaan jangka pendek dan cepat
Mengutamakan keputusan kolektif dan pemberdayaan
Penekanan pada perubahan perilaku secara individu
Mengikutsertakan komunitas
Untuk komunitas
Spesifik sesuai karakteristik wilayah, bahasa dan kebudayaan
Berlaku secara umum
Fokus utama adalah kebutuhan masyarakat
Fokus utama adalah kepentingan institusi
Dimiliki oleh komunitas
Akses ditentukan oleh faktor sosial, politik, dan ekonomi
Pembentukan kesadaran
Pemaksaan dalam waktu singkat
Sumber: Dagron (2001:164)
1.7.
Kerangka Konseptual Kampanye flu burung merupakan bagian dari program Badan Karantina
Pertanian yang diselenggarakan oleh sub-bagian Humas, yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat (Public Awareness) akan pentingnya peranan Karantina dalam mencegah penyebaran penyakit hewan, khususnya flu burung. Tingkat efektifitas program kampanye dapat dilihat melalui dua faktor yang mempengaruhinya, yaitu kesadaran masyarakat, dan perilaku. Sedangkan kesadaran masyarakat dan perilaku dipengaruhi oleh karakteristik dari responden itu sendiri, dalam hal ini ialah para traveler. Keberhasilan pelaksanaan kampanye dapat dilihat dari perubahan perilaku dan pengetahuan masyarakat mengenai Karantina dan flu burung yang dilakukan melalui survey dengan menyebarkan kuesioner kepada responden. Kampanye memiliki efek minimal berupa perubahan pengetahuan dan kesadaran, yang dapat diartikan sebagai penerimaan dan tindakan perkarantinaan yang sesuai dengan prosedur yang ditetapkan Karantina. Sehingga kampanye dikatakan efektif apabila kesadaran masyarakat tinggi dengan peningkatan persentase hasil survey dikaitkan dengan karakteristik seperti tingkat pendidikan, usia, jenis kelamin, dan pekerjaan, serta faktor eksternal seperti media. Sesuai dengan konsep yang telah dikemukakan di atas, maka karakteristik responden, yang mempengaruhi perilaku dan tingkat kesadaran, meliputi: (1) Tingkat pendidikan; (2) Usia; (3) Jenis kelamin; (4) Pekerjaan; dan (5) Media. Sedangkan perilaku yang akan diteliti meliputi: (1) Efektifitas ditinjau dari
pengetahuan responden mengenai Karantina Pertanian; (2) Efektifitas yang ditinjau dari media; (3) Efektifitas yang ditinjau dari perilaku responden. Faktor-faktor yang mempengaruhi efektifitas program ditinjau dari kesadaran masyarakat, maka dapat dilihat pada Gambar 1.
Internal Karakteristik
Perilaku Public Awareness
Eksternal
Terpaan Media
Gambar 3. Kerangka Konseptual
2.3. 1.
Definisi Operasional Tingkat Pendidikan Jenjang Pendidikan formal tertinggi yang pernah diperoleh responden. Tingkat pendidikan responden dibedakan dalam dua kategori: a. Rendah, yaitu responden dengan tingkat pendidikan SD–SLTP, b. Tinggi, yaitu responden dengan tingkat pendidikan SMU–Perguruan Tinggi (D3, S1, S2 dan S3).
2. Usia Rentang waktu dari lahir hingga sekarang yang dimiliki oleh responden yang dinyatakan dalam tahun. Usia responden yang akan diteliti dibagi ke dalam dua kategori, yaitu: a. < 28 tahun
b. ≥ 28 tahun.
3. Jenis Kelamin a. Pria
b. Wanita.
4. Pekerjaan Dalam penelitian kali ini, pekerjaan responden dibagi menjadi: a. PNS
b. Non-PNS
5. Media Penyampai Informasi Media yang disukai responden untuk memperoleh informasi. Dibagi menjadi: a. Media, seperti media massa dan media elektronik b. Non-Media, seperti keluarga dan teman. 6. Pengetahuan mengenai Badan Karantina Pertanian Pengetahuan responden terhadap Badan Karantina Pertanian seperti fungsi dan tugas pokok karantina maupun peraturan perkarantinaan. Dibagi menjadi: a. Ya
b. Tidak
7. Pengetahuan mengenai Flu Burung Pengetahuan responden terhadap penyakit flu burung. Dibagi menjadi: a. Ya
b. Tidak
8. Sumber Utama Informasi Dimana informasi diperoleh dan dipercayai oleh responden, yaitu: a. Pemerintah
b. Petugas Karantina c. Media d. Dokter hewan e. Keluaga atau teman f. Lainnya. 9. Perjalanan yang dilakukan Tujuan perjalanan yang akan dilakukan oleh traveler. Dibagi menjadi: a. Antar Pulau
b. Antar Propinsi
10. Alat transportasi Transportasi yang digunakan traveler dalam melakukan perjalanan dan yang paling disukai. Dibagi menjadi: a. Pesawat b. Kapal laut/Ferry c. Bis d. Lainnya. 11. Tindakan Membawa hewan atau produk hewan (Tingkat Treveler melakukan perjalanan dengan membawa hewan atau produk hewan). Dibagi menjadi: a. Selalu b. Kadang-kadang c. Tidak pernah 2.4. Hipotesis Hipotesis penelitian adalah: 1. Efektifitas dipengaruhi oleh Pengetahuan, media dan perilaku responden
2. Karakteristik responden dan media mempengaruhi Kesadaran Masyarakat.