BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lingkungan Kerja Lingkungan kerja adalah tempat dimana karyawan melakukan aktivitas setiap harinya. Lingkungan kerja yang kondusif memberikan rasa aman dan memungkinkan karyawan untuk dapat bekerja optimal (Harrianto, 2010). Lingkungan kerja dapat mempengaruhi emosi karyawan (Lewa dan Subowo, 2005). Jika karyawan menyenangi lingkungan kerja dimana dia bekerja, maka karyawan tersebut akan betah dalam melakukan aktivitas, sehingga waktu kerja dipergunakan secara efektif. Lingkungan kerja itu mencakup hubungan kerja yang terbentuk antara sesama karyawan dan hubungan kerja antara bawahan dan atasan serta lingkungan fisik tempat karyawan bekerja (Sedarmayanti, 2009). Lingkungan kerja dalam suatu perusahaan termasuk hal yang penting untuk diperhatikan. Meskipun lingkungan kerja yang memuaskan bagi karyawannya dapat meningkatkan kinerja, sebaliknya lingkungan kerja yang tidak memadai akan dapat menurunkan kinerja dan akhirnya menurunkan motivasi kerja karyawan (Sakitri, 2009; Nurhaida, 2010). Menurut Supardi dalam Nurhaida (2010), lingkungan kerja merupakan keadaan sekitar tempat kerja, baik secara fisik maupun non fisik yang dapat memberikan kesan yang menyenangkan, mengamankan, menentramkan, dan betah kerja. Nitisemito (2000) mendefinisikan lingkungan kerja sebagai berikut: lingkungan kerja adalah segala sesuatu yang ada di sekitar para pekerja yang dapat mempengaruhi dirinya dalam menjalankan tugas-tugas yang diembankan.
10
11
Lewa dan Subowo (2005) menyatakan bahwa lingkungan kerja didesain sedemikian rupa agar tercipta hubungan kerja yang mengikat pekerja dengan lingkungannya.
Lingkungan
kerja
yang baik apabila
karyawan
dapat
melaksanakan kegiatan secara optimal, sehat, aman dan nyaman. Lingkungan kerja yang kurang baik dapat menuntut tenaga kerja serta waktu yang lebih banyak dan tidak mendukung diperolehnya rancangan sistem kerja yang efisien (Lewa dan Subowo, 2005). Dari beberapa pendapat di atas, disimpulkan bahwa lingkungan kerja merupakan segala sesuatu yang ada di sekitar karyawan pada saat bekerja, baik yang berbentuk fisik ataupun non fisik, langsung atau tidak langsung, yang dapat mempengaruhi dirinya dan pekerjaannya saat bekerja (Novita, 2013). Lingkungan kerja yang mendukung produktivitas kerja akan menimbulkan kepuasan kerja bagi pekerja dalam suatu organisasi. Menurut Sihombing (2004), indikator dari lingkungan kerja adalah: fasilitas kerja, gaji dan tunjangan, serta hubungan kerja. 2.1.1 Jenis Lingkungan Kerja Lingkungan kerja dapat dibagi atas 2 (dua) jenis, yaitu: lingkungan kerja non fisik dan lingkungan kerja fisik (Nurhaida, 2010; Novita, 2013). Lingkungan kerja non fisik mencakup hubungan kerja yang terbina dalam perusahaan (Sedarmayanti, 2009). Seseorang bekerja di dalam perusahaan tidaklah seorang diri, dan dalam melakukan aktivitas, orang tersebut juga membutuhkan bantuan orang lain. Lingkungan kerja fisik adalah semua keadaan berbentuk fisik yang terdapat di sekitar tempat kerja di mana dapat mempengaruhi karyawan baik secara langsung
3
maupun tidak langsung (Sedarmayanti , 2009). Lingkungan kerja fisik dapat dibagi menjadi 2 (dua ) kategori yakni: 1. Lingkungan yang secara langsung berhubungan dengan karyawan (seperti pusat kerja, kursi, meja dan sebagainya). 2. Lingkungan perantara atau lingkungan umum dapat juga disebut lingkungan kerja yang mempengaruhi kondisi manusia, misalnya suhu, kelembaban, sirkulasi udara, pencahayaan, kebisingan, getaran mekanis, bau tidak sedap, warna, dan lain-lain. Robbins dan Stephen (2002) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi lingkungan kerja fisik adalah: suhu, kebisingan, penerangan, dan mutu udara. Suhu adalah variabel dimana terdapat perbedaan individual yang besar. Dengan demikian untuk memaksimalkan produktivitas, karyawan harus bekerja di suatu lingkungan dimana suhu diatur sedemikian rupa, sehingga berada di antara rentang kerja yang dapat diterima setiap individu. Bekerja pada ruangan yang gelap dan samar-samar akan menyebabkan ketegangan pada mata (Marji, 2012). Intensitas cahaya yang tepat dapat membantu karyawan dalam memperlancar aktivitas kerjanya (ILO, 2013). Tingkat yang tepat dari intensitas cahaya juga tergantung pada usia karyawan (Harrianto, 2010). Pencapaian kinerja pada tingkat penerangan yang lebih tinggi akan lebih besar untuk karyawan yang lebih tua dibandingkan yang lebih muda. Mutu udara merupakan fakta yang tidak bisa diabaikan karena menghirup udara yang tercemar membawa efek yang merugikan pada kesehatan pribadi (Suma’mur, 1980). Udara yang tercemar dapat mengganggu kesehatan karyawan (Harrianto,
4
2010; ILO, 2013). Udara yang tercemar di lingkungan kerja dapat menyebabkan sakit kepala, mata perih, kelelahan, lekas marah, dan depresi (Harrianto, 2010). Faktor lain yang mempengaruhi lingkungan kerja fisik adalah rancangan ruang kerja. Rancangan ruang kerja yang baik dapat menimbulkan kenyamanan bagi karyawan di tempat kerjanya. Menurut Robbins dan Stephen (2002), faktor-faktor dari rancangan ruang kerja terdiri atas: ukuran ruang kerja, pengaturan ruang kerja, dan privasi. Ruang kerja merujuk pada besarnya ruangan per karyawan, sedangkan pengaturan merujuk pada jarak antara orang dan fasilitas. Pengaturan ruang kerja itu penting, karena sangat mempengaruhi interaksi sosial (Novita, 2013). Orang lebih mungkin berinteraksi dengan individu-individu yang dekat secara fisik. Oleh karena itu , lokasi kerja karyawan mempengaruhi informasi yang ingin diketahui. 2.1.2 Faktor –Faktor Yang Mempengaruhi Lingkungan Kerja Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi terbentuknya suatu kondisi lingkungan kerja dikaitkan dengan kemampuan karyawan. Sedarmayanti (2009) menyatakan terdapat 11 faktor yang menentukan lingkungan kerja yaitu: 1. Pencahayaan tempat kerja Cahaya atau penerangan sangat besar manfaatnya bagi karyawan guna mendapatkan keselamatan dan kelancaran kerja. Oleh karena itu, perlu diperhatikan adanya penerangan yang cukup tetapi tidak menyilaukan. Cahaya yang kurang jelas, sehingga pekerjaan akan lambat, banyak mengalami kesalahan, dan pada akhirnya menyebabkan kurang efisien dalam melaksanakan pekerjaan, sehingga tujuan organisasi sulit dicapai.
5
2.
Suhu tempat kerja Tubuh manusia selalu mempertahankan keadaan normal, dengan suatu sistem tubuh yang sempurna, sehingga dapat menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi di luar tubuh. Namun demikian, kemampuan untuk menyesuaikan diri tersebut ada batasnya. Tubuh manusia masih dapat menyesuaikan dirinya dengan suhu luar jika perubahan suhu luar tubuh tidak melebihi dari 20% untuk kondisi panas dan 35% untuk kondisi dingin dari keadaan normal tubuh.
3.
Kelembaban di tempat kerja Kelembaban adalah banyaknya air yang terkandung dalam udara, biasa dinyatakan dalam persentase. Kelembaban ini berhubungan atau dipengaruhi oleh suhu udara, dan secara bersama-sama antara suhu, kelembaban dan kecepatan udara serta radiasi panas akan mempengaruhi keadaan tubuh manusia pada saat menerima atau melepaskan panas dari tubuhnya. Suatu keadaan dengan suhu udara sangat panas dan kelembaban tinggi, akan menimbulkan pengurangan panas dari tubuh secara besar-besaran, karena sistem penguapan. Pengaruh lain, adalah makin cepatnya denyut jantung karena makin aktifnya peredaran darah untuk memenuhi kebutuhan oksigen, dan tubuh manusia selalu berusaha untuk mencapai keseimbangan antara panas tubuh dengan suhu sekitarnya.
4.
Sirkulasi udara di tempat kerja Oksigen merupakan gas yang dibutuhkan oleh mahkluk hidup untuk menjaga kelangsungan hidup, yaitu untuk proses metabolisme. Udara di sekitar dikatakan kotor apabila kadar oksigen dalam udara tersebut telah berkurang dan telah
6
bercampur dengan gas atau bau-bauan yang berbahaya bagi kesehatan tubuh. Sumber utama adanya udara segar adalah adanya tanaman di sekitar tempat kerja. Tanaman merupakan penghasil oksigen yang dibutuhkan oleh manusia. Dengan cukup oksigen di sekitar tempat kerja, ditambah dengan pengaruh secara psikologis akibat adanya tanaman di sekitar tempat kerja, keduanya akan memberikan kesejukan dan kesegaran pada jasmani. Rasa sejuk dan segar selama bekerja akan membantu mempercepat pemulihan tubuh akibat lelah setelah bekerja. 5.
Kebisingan di tempat kerja Salah satu polusi yang cukup mengganggu adalah polusi suara, yang merupakan bunyi yang tidak dikehendaki oleh telinga. Tidak dikehendaki, terutama dalam jangka panjang karena bunyi tersebut dapat mengganggu ketenangan bekerja, merusak pendengaran dan menimbulkan kesalahan komunikasi, bahkan menurut penelitian, kebisingan yang serius bisa menimbulkan gangguan psikologis. Oleh karena pekerjaan membutuhkan konsentrasi, maka suara bising hendaknya dihindari agar pelaksanaan pekerjaan dapat dilakukan dengan efisien sehingga produktivitas kerja meningkat.
6.
Getaran mekanis di tempat kerja Getaran mekanis artinya getaran yang ditimbulkan oleh alat mekanis, yang sebagian dari getaran tersebut sampai ke tubuh karyawan dan dapat menimbulkan akibat yang tidak diinginkan. Getaran mekanis pada umumnya sangat mengganggu tubuh karena ketidakteraturannya dalam hal intensitas maupun frekuensinya. Secara umum, getaran mekanis dapat menggaggu
7
konsentrasi bekerja, mengakibatkan kelelahan dan timbul beberapa penyakit, seperti penyakit mata, saraf, peredaran darah, otot, tulang, dan lain-lain. 7.
Bau-bauan di tempat kerja Adanya bau-bauan di sekitar tempat kerja dapat dianggap sebagai pencemaran, karena dapat mengganggu konsentrasi bekerja, dan bau-bauan yang terjadi terus menerus dapat mempengaruhi kepekaan penciuman. Pemakaian sirkulasi udara dan pertukaran udara merupakan salah satu solusi untuk mengurangi dampak bau di tempat kerja.
8.
Tata warna di tempat kerja Tata warna merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari segi dekorasi. Hal ini dapat dimaklumi karena warna mempunyai pengaruh besar terhadap perasaan. Sifat dan pengaruh warna kadang-kadang menimbulkan rasa senang, sedih, dan lain-lain, karena dalam sifat warna dapat merangsang perasaan manusia.
9.
Dekorasi di tempat kerja Dekorasi berkaitan dengan tata letak, perlengkapan dan kemudahan akses ergonomis dalam bekerja. Dekorasi yang baik adalah yang mendukung konsep ergonomis yang mendukung aspek aksesibilitas dan tata letak barang maupun perlengkapan.
10. Musik di tempat kerja Menurut para pakar, musik yang nadanya lembut sesuai dengan suasana, waktu dan tempat dapat membangkitkan dan merangsang karyawan untuk bekerja. Oleh karena itu, lagu-lagu perlu dipilih dengan selektif untuk dapat dikumandangkan di tempat kerja. Musik yang tidak sesuai dengan tempat kerja
8
justru akan merusak konsentrasi dalam bekerja. 11. Keamanan di tempat kerja Dalam menjaga tempat dan kondisi lingkungan kerja tetap dalam keadaan aman maka perlu diperhatikan adanya upaya menjaga keamanan di tempat kerja; tidak saja aspek keamaan dari bahaya gangguan kriminal, tetapi lebih juga pada aspek keamanan pekerja dalam melakukan pekerjaan dengan menekankan pada aspek pelaksanaan K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja). 2.2 Potensi Risiko dan Hazards Lingkungan Kerja Terhadap Pekerja Jika tempat kerja aman dan sehat, setiap orang dapat melanjutkan pekerjaan mereka secara efektif dan efisien (Kurniawidjaja, 2012). Sebaliknya, jika tempat kerja tidak terorganisir dan banyak terdapat bahaya, kerusakan dan absen sakit tak terhindarkan, mengakibatkan hilangnya pendapatan bagi pekerja dan produktivitas berkurang bagi perusahaan (Harrianto, 2010; Mutaqin, 2013). Meskipun kenyataannya, para pengusaha di seluruh dunia telah secara hati-hati merencanakan strategi bisnis mereka, banyak yang masih mengabaikan masalah penting seperti keselamatan, kesehatan dan kondisi kerja. Biaya untuk manusia dan finansial dianggap besar (Subaris dan Haryono, 2008). Menurut ILO (2013), setiap tahun ada lebih dari 250 juta kecelakaan di tempat kerja dan lebih dari 160 juta pekerja menjadi sakit karena bahaya di tempat kerja. Terlebih lagi, 1,2 juta pekerja meninggal akibat kecelakaan dan sakit di tempat kerja. Data menunjukkan, biaya manusia dan sosial dari produksi terlalu tinggi.
9
Dalam istilah ekonomi, diperkirakan bahwa kerugian tahunan akibat kecelakaan kerja dan penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan di beberapa negara dapat mencapai 4 % dari produk nasional bruto (PNB). Biaya langsung dan tidak langsung dari dampak yang ditimbulkannya meliputi (Kurniawidjaja, 2012; ILO, 2013): a.
Biaya medis;
b.
Kehilangan hari kerja;
c.
Mengurangi produksi;
d.
Hilangnya kompensasi bagi pekerja;
e.
Biaya waktu / uang dari pelatihan dan pelatihan ulang pekerja;
f.
Kerusakan dan perbaikan peralatan;
g.
Rendahnya moral staf;
h.
Publisitas buruk;
i.
Kehilangan kontrak karena kelalaian.
Di masa lalu, kecelakaan dan gangguan kesehatan di tempat kerja dipandang sebagai bagian tak terhindarkan dari produksi (Suma’mur, 1980; Subaris dan Haryono, 2008). Namun, waktu telah berubah. Sekarang ada berbagai standar hukum nasional dan internasional tentang keselamatan dan kesehatan kerja yang harus dipenuhi di tempat kerja (Kurniawidjaja, 2012). Standar-standar tersebut mencerminkan kesepakatan luas antara pengusaha/pengurus, pekerja dan pemerintah bahwa biaya sosial dan ekonomi dari kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja harus diturunkan. Sekarang dipahami bahwa semua biaya ini memperlamban daya saing bisnis, mengurangi kesejahteraan ekonomi negara dan
10
dapat dihindari melalui tindakan di tempat kerja yang sederhana tetapi konsisten (Nitisemito, 2000). Seperti diketahui, potensi bahaya keselamatan dan kesehatan kerja dapat berupa berbagai bentuk. Terlebih lagi, masing-masing risiko bisa menjadi tinggi atau rendah, tergantung pada tingkat peluang bahaya yang ada. Risiko yang ditimbulkan dapat berupa berbagai konsekuensi dan dapat dibagi menjadi 4 (empat) kategori besar seperti yang dijelaskan pada Tabel 2.1. Tabel 2.1 Potensi Bahaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja Didasarkan Pada Dampak Korban
Sumber : ILO (2013) Dari sudut pandang kesehatan kerja, sistem kerja mencakup empat komponen kerja, yaitu pekerja, lingkungan kerja, pekerjaan, pengorganisasian pekerjaan dan
11
budaya kerja (Subaris dan Haryono, 2008; Kurniawidjaja, 2012). Setiap komponen tersebut dapat menjadi sumber atau situasi yang berpotensi menimbulkan kerugian bagi kesehatan pekerja. Sumber atau situasi yang potensial tersebut dikenal sebagai hazard atau faktor risiko kesehatan (Harrianto, 2010; Kurniawidjaja, 2012). Sedangkan peluang hazard kesehatan menimbulkan suatu cidera atau gangguan kesehatan disebut sebagai risiko (Kurniawidjaja, 2012). Kurniawidjaja (2012) menyebutkan bahwa terdapat 6 buah sumber hazard kesehatan di tempat kerja, antara lain : 1.
Somatic Hazard Somatic hazard merupakan hazard yang berasal dari tubuh pekerja yang berupa kapasitas kerja dan status kesehatan pekerja. Contohnya yaitu pekerja dengan buta warna kemudian mengerjakan alat elektronik yang penuh
dengan
kabel
warna-warni,
hazard
somatiknya
dapat
membahayakan dirinya maupun orang lain. 2.
Behavioural Hazard Hazard perilaku merupakan hazard yang timbul karena perilaku pekerja itu sendiri. Contohnya kebiasaan merokok para pekerja bengkel yang menyebabkan kerusakan fungsi paru dan bahkan risiko kebakaran atau peledakan apabila di tempat tersebut terdapat uap yang mudah terbakar.
3.
Environment Hazard Hazard lingkungan dapat berupa faktor kimia, fisika dan biologi. Ketiga faktor ini berpotensi menimbulkan gangguan kesehatan apabila intensitas pajanannya tinggi dan melampaui toleransi kemampuan tubuh pekerja.
12
Faktor atau bahaya fisik yang berpotensi menimbulkan penyakit akibat kerja meliputi suhu lingkungan kerja yang ekstrim, kebisingan, pencahayaan, getaran, tekanan dan radiasi baik pengion maupun tidak (Daryanto, 2010; Harrianto, 2010). Sedangkan Faktor dari bahaya kimia di lingkungan kerja seperti logam berat, pelarut organik, gas dan uap, pestisida serta partikel di dalam udara (Kurniawidjaja, 2012). Faktor risiko biologi di tempat kerja akan dapat menimbulkan penyakit secara langsung kepada pekerja berupa penyakit infeksi seperti hepatitis, tuberkulosis, jamur (mikosis), maupun parasit. 4.
Ergonomic Hazard Hazard ergonomi yang dimaksud terkait dengan kondisi pekerjaan dan peralatan kerja yang dipakai oleh pekerja termasuk juga ke dalamnya adalah work station.
5.
Work Organization Hazard Hazard pengorganisasian pekerjaan bisa menimbulkan stres kerja bagi para pekerja. Pengaturan sumber daya manusia yang tidak baik serta jam kerja yang tidak sesuai atau melebihi dari ketentuan undang-undang dapat menimbulkan permasalahan kesehatan bagi pekerja.
6.
Work Culture Hazard. Hazard budaya kerja juga memiliki potensi menimbulkan penyakit dan gangguan kesehatan bagi pekerja. Beban kerja yang berlebihan akibat budaya kerja menunda pekerjaan serta budaya kerja sampai jauh malam
13
adalah contoh bagaimana budaya kerja dapat menurunkan kualitas kesehatan pekerja.
2.3 Klasifikasi Bengkel Bengkel merupakan suatu unit usaha yang padat karya karena di dalamnya melibatkan banyak pekerja dengan masing-masing divisi yang mengerjakan tugas berbeda (Daryanto, 2010). Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI (1999) dalam Keputusan No. 551/MPP/Kep/10/1999 mendefinisikan bengkel umum kendaraan bermotor adalah bengkel umum kendaraan yang berfungsi untuk membetulkan, memperbaiki, dan merawat kendaraan bermotor agar tetap memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan. Keputusan
Menteri
551/MPP/Kep/10/1999
Perindustrian
Tentang
Bengkel
dan
Perdagangan
Umum
Kendaraan
RI
No.
Bermotor
ditindaklanjuti oleh Direktur Jenderal Industri dan Logam Mesin Elektronik dan Aneka dengan mengeluarkan Keputusan Dirjen No. 04/SK/DJ-ILMEA/V/2000 Tentang Persyaratan dan Penilaian Klasifikasi Bengkel Umum Kendaraan Bermotor (Dirjen Industri dan Logam Mesin Elektronik dan Aneka, 2000). Berdasarkan peraturan tersebut, maka bengkel dapat dibagi menjadi : a. Bengkel Kelas I tipe A, B dan C b. Bengkel Kelas II tipe A, B dan C c. Bengkel kelas III tipe A, B dan C Menurut peraturan tersebut klasifikasi bengkel ini didasarkan atas tingkat pemenuhan terhadap persyaratan sistem mutu, mekanik, fasilitas dan peralatan, serta
14
manajemen informasi sesuai dengan penilaian masing-masing kelas bengkel yang telah diatur oleh keputusan Dirjen. Dalam Surat Keputusan menteri Perindustrian dan Perdagangan RI No. 191/MPP/Kep/2001 tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan
Nomor
551/MPP/Kep/10/1999
(Menteri
Perindustrian
dan
Perdagangan RI, 1999) , disebutkan tentang tipe bengkel didasarkan pada tipe pekerjaan yang mampu dilakukan, yaitu: a. Bengkel tipe A merupakan bengkel yang mampu melakukan jenis pekerjaan perawatan berkala, perbaikan kecil, perbaikan besar, perbaikan chasis dan body. b. Bengkel tipe B merupakan bengkel yang mampu melakukan jenis pekerjaan perawatan berkala,perbaikan kecil dan perbaikan besar, atau jenis pekerjaan perawatan berkala, perbaikan kecil serta sebagian perbaikan chasis dan body. c. Bengkel tipe C merupakan bengkel yang mampu melakukan jenis pekerjaan perawatan berkala, perbaikan kecil. Klasifikasi sistem mutu bengkel seperti yang tampak pada Tabel 2.2, terdiri dari 5 (lima) point persyaratan yaitu persyaratan umum, pedoman bengkel, pengendalian atas peralatan bengkel, personil bengkel kendaraan bermotor dan kemampuan identifikasi telusur hasil perawatan dan perbaikan kendaraan. Penetapan kelas bengkel ditentukan dari capaian yang ditentukan dengan persen pada masing-masing point seperti yang dijelaskan pada Tabel 2.2.
15
Tabel 2.2 Point Dasar Penilaian Kelas Bengkel Umum Kendaraan Kelas Bengkel
Peryaratan umum Pedoman Bengkel : a) Tanggung jawab manajemen b) Perencanaan sistem mutu c) Prosedur mutu 1. Proses penerimaan order 2. Proses pengerjaan perawatan dan perbaikan 3. Proses inspeksi / pemeriksaan dan pengendalian hasil perawatan perbaikan 4. Proses penyerahan 5. Suku cadang 6. Standar biaya/standar jam kerja 7. Pelatihan 8. Penanganan limbah 3 Pengendalian atas peralatan bengkel 4 Personil bengkel kendaraan bermotor 5 Identifikasi dan mampu telusur hasil perawatan dan perbaikan Sumber : Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI (1999).
II
III Mencapai nilai < 60 dalam sistem penilaian
1 2
I
MEncapai nilai 60 s/d 80 dalam sistem penilaian
Persyaratan Sistem Mutu
Mencapai nilai > 80 dalam sistem penilaian
No
Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI tahun 1999 menjelaskan bahwa bengkel kendaraan bermotor baik roda 4 atau lebih dan bengkel kendaraan roda 2 sekurang-kurangnya harus memiliki fasilitas, yang terdiri dari.: 1. Fasilitas umum, adalah fasilitas yang disediakan untuk memberikan pelayanan kepada pelanggan atau personil bengkel yang terdiri dari : a. Ruang penerimaan pelanggan b. Ruang administrasi c. Ruang tunggu dan toilet d. Ruang staf dan mekanik e. Area parkir
16
2. Fasilitas penyimpanan, adalah fasilitas yang disediakan dan berfungsi sebagai ruang / tempat penyimpanan dari : a. Peralatan b. Suku cadang c. Oli/pelumas 3. Fasilitas keselamatan, adalah fasilitas yang disediakan untuk penanggulangan bahaya seperti kebakaran dengan penyediaan : a. Alat pemadam api ringan b. Tanda/petunjuk penyelamatan 4. Fasilitas penampung limbah, adalah fasilitas yang disediakan untuk menampung /menyaring limbah bengkel yang berupa : a. Oli bekas b. Sampah suku cadang bekas c. Air bekas cucian kendaraan Dalam Keputusan Direktur Jenderal Industri dan Logam Mesin Elektronik dan Aneka No. 04/SK/DJ-ILMEA/V/2000 Tentang Persyaratan dan Penilaian Klasifikasi Bengkel Umum Kendaraan Bermotor (Dirjen Industri dan Logam Mesin Elektronik dan Aneka, 2000) disebutkan bahwa setiap bengkel kendaraan bermotor wajib memiliki dan memenuhi persyaratan fasilitas bengkel, stall atau pit dan peralatan sesuai kelas dan tipenya, serta kualifikasi mekanik sesuai dengan kelas bengkel tersebut. Stall atau pit adalah area khusus disediakan untuk melakukan kegiatan perawatan dan perbaikan tertentu kendaraan bermotor.
17
2.4 Limbah Industri Bengkel Dalam pikiran beberapa orang, bengkel selalu identik dengan kesan kotor, hiruk pikuk, berlumuran minyak dan kumuh, hampir setiap hari bengkel membuang limbah oli bekas yang kotor dan berlumpur (BPPT, 2008). Begitu juga dengan bahan buangan seperti air aki bekas, pelarut cat, cairan pembersih yang semuanya mengganggu kesehatan. Ada 3 (tiga) penyebab yang membuat bengkel motor atau mobil tampil kotor yaitu (BPPT, 2008; Daryanto, 2010) : a.
Pertama, sumber daya manusianya kurang memahami kegiatan kerja perbengkelan. Akibatnya sering terjadi kesalahan prosedur reparasi dan servis. Akibat lebih jauh, mereka cenderung mengabaikan kedisiplinan, keselamatan dan kesehatan kerja.
b.
Kedua, penataan ruangan yang kurang baik. Ukuran ruangan yang tidak dirancang sesuai dengan standar, tetapi apa adanya. Ini mengganggu pekerjaan yang seharusnya bisa cermat, tidak ceroboh dan asal-asalan.
c.
Ketiga, kesadaran lingkugan yang amat rendah, kurangnya pemahaman akan arti pentingnya kesehatan lingkungan, sehingga mereka tidak memperdulikan bahaya limbah terhadap lingkungan dan pada akhirnya akan berimbas ke manusia juga.
Jenis limbah yang dihasilkan oleh aktivitas perbengkelan terdiri dari beberapa jenis yaitu (BPPT, 2008) : 2.4.1 Limbah Gas Hasil pembakaran bahan bakar pada kendaraan bermotor merupakan faktor penyebab pencemaran udara. Komponen utama bahan bakar fosil ini adalah hidrogen
18
(H) dan karbon (C). Pembakarannya akan menimbulkan senyawa hidrokarbon (HC), karbon monoksida (C), karbon dioksida (CO2), serta nitrogen oksida (NOx) pada kendaraan yang berbahan bakar bensin (BPPT, 2008; Marji, 2012). Pada kendaraan yang berbahan bakar solar, gas buangnya mengandung sedikit HC dan CO tetapi lebih banyak SO-nya. Dari senyawa-senyawa itu, HC dan CO paling berbahaya bagi kesehatan manusia. Jika sering terhirup, HC bisa mengakibatkan timbulnya penyakit kanker, asma, dan sakit kepala, sedangkan CO dapat menyebabkan radang tenggorokan. Yang lebih berbahaya lagi bila kadarnya tinggi, di mana gas CO mampu melumpuhkan sistem pembuluh darah serta meredam kemampuan sel darah merah mengedarkan oksigen ke seluruh tubuh (Harrianto, 2010). Dalam hal ini sel darah merah akan sangat mudah berafiliasi dengan gas CO. 2.4.2 Limbah Padat Bengkel pada umumnya juga menghasilkan limbah padat. Limbah padat dari daerah perbengkelan dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu limbah logam dan non logam (Marji, 2012). Limbah padat non logam dapat berupa ban bekas/karet, busa, kulit sintetis, kain lap bekas yang telah terkontaminasi oli bekas/pelarut (majun), cat kering, dan lain-lain. Limbah logam banyak terdiri dari berbagai potongan logam, mur/skrup, bekas ceceran pengelasan dan lain-lain. 2.4.3 Limbah Cair Limbah cair dari usaha perbengkelan dapat berupa oli bekas, bahan ceceran, pelarut/pembersih,
dan
air
(Ayuningtyas
dan
Wilujeng,
2012).
Bahan
pelarut/pembersih pada umumnya mudah sekali menguap, sehingga keberadaannya
19
dapat menimbulkan pencemaran terhadap udara yang dihirup oleh para pekerja. Bahan bakar cairan merupakan cairan yang mudah terbakar oleh nyala api, dan juga merupakan bahan yang mudah sekali dibawa oleh aliran air. Bahan bakar bensin mudah sekali menguap dan terhirup oleh pekerja (Daryanto, 2010). Air limbah dari usaha perbengkelan banyak terkontaminasi oli, gemuk, dan bahan bakar. Air yang sudah terkontaminasi akan mengalir mengikuti saluran yang ada, sehingga air ini mudah sekali untuk menyebarkan bahan-bahan kontaminan yang terbawa olehnya. Oli bekas jika tidak dikelola dengan baik dapat menimbulkan kesan kotor dan membutuhkan waktu untuk membersihkannya yang berakibat pada lantai yang licin yang memudahkan terjadinya kecelakaan (Ayuningtyas dan Wilujeng, 2012). 2.5 Standar Operasional Prosedur Sebagai Aspek Penting K3 (Kesehatan dan Keselamatan Kerja) Bengkel Sepeda Motor 2.5.1 Petunjuk Bagi Pekerja Sebelum seseorang bekerja pada bengkel diharuskan terlebih dahulu memahami tentang petunjuk dan peraturan-peraturan tentang keselamatan kerja. Walaupun setiap pekerjaan selalu ada risiko, akan tetapi dengan memahami terlebih dahulu sebab-sebab terjadinya kecelakaan dan mengikuti petunjukpetunjuk kerja, maka jumlah kecelakaan pasti akan berkurang. Menurut perkiraan 70% dari kecelakaan yang terjadi di bengkel disebabkan oleh ketidaktelitian atau kelalaian kerja (Daryanto, 2010; ILO, 2013). Kenyataan menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia, termasuk pekerja sepeda motor, kurang memperhatikan keselamatan kerja (ILO, 2013).
20
Kemungkinan
penyebabnya
pertama,
mereka
mungkin
tidak
memiliki
pengetahuan tentang keselamatan kerja. Kedua, mereka sudah tahu, tetapi mengabaikan karena punya kebiasaan buruk (Suma’mur, 1980; Saifuddin et al., 2013). Kebiasaan tidak mematuhi aturan keselamatan kerja untuk pekerja teknologi sepeda motor tidak dapat ditolerir. Untuk menjadi pekerja profesional, setiap orang wajib terlebih dahulu mempelajari keselamatan kerja (Daryanto, 2010; Mutaqin, 2013). Semuanya ada aturan, dan aturan keselamatan kerja harus dilaksanakan dengan kesadaran yang tinggi. Sikap dan kebiasaan kerja yang profesional dibentuk melalui disiplin yang kuat. Bahkan, sikap dan kebiasaan kerja merupakan kunci sukses seorang teknisi yang sukses. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa keselamatan kerja dapat dinyatakan sebagai sesuatu yang menjamin keadaan, keutuhan, kesempurnaan, baik jasmani maupun rohani manusia, serta hasil karya dan budayanya tertuju pada keselamatan masyarakat pada umumnya dan pekerja. Keselamatan kerja adalah upaya yang dilakukan untuk mengurangi terjadinya kecelakaan, kerusakan dan segala bentuk kerugian baik terhadap manusia, maupun yang berhubungan dengan peralatan, obyek kerja, bengkel tempat bekerja, dan lingkungan kerja, secara langsung dan tidak langsung (Daryanto, 2010; Marji, 2012). Sejalan dengan kemajuan teknologi, maka permasalahan keselamatan kerja menjadi salah satu aspek yang sangat penting, mengingat risiko bahaya dalam penerapan teknologi juga semakin kompleks. Keselamatan kerja merupakan tanggung jawab semua orang baik yang terlibat langsung dalam
21
pekerjaan dan juga masyarakat produsen dan konsumen pemakai teknologi pada umumnya (ILO, 2013). Peraturan keselamatan kerja harus diberlakukan di mana saja oleh setiap orang yang bekerja, maupun oleh instansi yang memberikan pekerjaan. Hal yang harus dilakukan seseorang untuk melaksanakan keselamatan kerja (Suma’mur, 1980; Daryanto, 2010; Mutaqin, 2013) adalah : a. Bersikap mawas diri terhadap kemungkinan terjadinya kecelakaan; b. Bekerja dengan sungguh-sungguh, cepat, teliti, dan tekun; c. Menghindari sikap melamun dalam bekerja; d. Usahakan untuk tidak ceroboh dalam bekerja; e. Istirahat bila sudah lelah dan bosan; f. Menghindari sikap bercanda dalam bekerja; g. Memahami prosedur kerja dan tidak mencoba-coba; h. Waspada dalam bekerja; i. Menggunakan alat pengaman dalam bekerja dan tindakan lainnya yang menunjang untuk selamat dalam bekerja. Kecelakaan akibat kerja dapat dicegah dengan (Suma’mur, 1980; Harrianto, 2010) : a. Disiplin terhadap peraturan perundangan; b. Standarisasi prosedur kerja; c. Pengawasan; d. Penelitian bersifat teknis; e. Riset medis;
22
f. Penelitian psikologis; g. Penelitian secara statistik; h. Pendidikan dan latihan keselamatan i. Petunjuk keselamatan kerja yang jelas dan tertulis Bengkel yang bersih dan tersusun rapi, sangat membantu dalam mengurangi jumlah kecelakaan. Alat-alat dan benda kerja jangan sampai ditinggalkan pada tempat di mana seseorang dapat terjatuh. Gang dan jalan yang dilalui oleh pekerja harus bersih. Oleh karena itu, bangku kerja, alat-alat dan benda kerja harus tersusun secara rapi dan sistematis. Khusus untuk bengkel otomotif, minyak, minyak pelumas dan gemuk yang berserakan dilantai, sebelum menimbulkan kecelakaan harus ditutup dengan pasir atau serbuk gergaji (ILO, 2013; Novita, 2013). 2.5.2 Tata Peralatan Ruang Bengkel Bengkel kerja yang bersih dan tersusun rapi, sangat membantu dalam mengurangi jumlah kecelakaan. Sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1970 Tentang Keselamatan Kerja, pasal 3 mengatur mengenai syarat– syarat keselamatan kerja (Kurniawidjaja, 2012). Pada pasal 3 menyebutkan bahwa “Dengan peraturan perundangan ditetapkan syarat-syarat keselamatan kerja untuk memelihara kebersihan, kesehatan dan ketertiban ”. Alat-alat dan benda kerja jangan sampai ditinggalkan pada tempat di mana seseorang dapat terjatuh. Jalan yang dilalui oleh pekerja harus bersih (Daryanto, 2010). Bangku kerja, alat-alat dan benda kerja harus tersusun secara rapi dan sistematis. Oli atau minyak pelumas dan gemuk yang berserakan dilantai, sebelum
23
menimbulkan kecelakaan harus ditutup dengan pasir atau serbuk gergaji (Harrianto, 2010; Marji, 2012). 2.5.3 Bahan Bakar dan Minyak Pelumas Di dalam bengkel otomotif biasa terdapat bahan bakar dan minyak pelumas seperti bensin atau premium, solar dan adakalanya minyak tanah, oli dan gemuk (Daryanto, 2010). Bahan ini dipergunakan untuk percobaan menghidupkan mesin maupun sebagai bahan pencuci. Penyimpanan bahan bakar haruslah di tempat yang tertutup, dan jauh dari nyala api maupun cahaya yang keras. Bahan bakar mempunyai sifat yang mudah sekali menguap. Uap bensin mempunyai berat jenis yang lebih ringan dari udara (Mahardika, 2012). Karena itu, bahan bakar yang menyebar di lantai harus segera dibersihkan. Bila dibiarkan, uap bensin dengan udara sangat mudah menyambar percikan api dan menimbulkan kebakaran dan ledakan. Bila ada bahan bakar yang tumpah di lantai, janganlah mengerjakan penyambungan kabel, ataupun alat yang berarus listrik, karena pekerjaan demikian dapat menimbulkan bunga api. Namun, jika terjadi kebakaran terhadap bahan bakar jangan sekali-kali menyiramnya dengan air, karena bahan bakar tersebut akan mengapung di atas air dan kebakaran akan menyebar. Pergunakanlah gas racun api (extinguisher) atau pasir dan karung goni yang basah untuk memadamkan api (Daryanto, 2010; Marji, 2012). Gemuk dipergunakan untuk melindungi komponen yang selesai dibersihkan atau untuk membantu pemasangan komponen. Pemakaian yang berlebihan akan menyebabkan benda kerja malah jadi kotor atau hinggap pada bagian-bagian lain atau di lantai. Bila
24
terjadi demikian, harus segera dibersihkan. Tidak perlu ditunggu dan dicari siapa yang ceroboh melakukannya. 2.5.4 Karbonmonoksida Gas sisa pembakaran yang keluar dari knalpot (silencer) mengandung karbonmonoksida
(CO).
Pembakaran
yang
sempurna
menyisakan
gas
karbonmonoksida yang tidak berwarna, namun tetap berbahaya (Harrianto, 2010). Bila pembakaran tidak sempurna, maka asap hitam akan mengepul. Bila ini terjadi maka dianjurkan untuk mematikan mesin segera, karena mesti ada sesuatu yang tidak benar terutama dalam penyetelan pembakaran (Daryanto, 2010). Gas buang melalui knalpot dapat dijadikan indikasi kondisi mesin sebagai ukuran apakah pembakaran sempurna atau kurang sempurna (Suma’mur, 1980). Gas ini adalah racun, masuk ke dalam paru-paru melalui pernafasan yang dapat mematikan manusia. Karena itu jika ada motor yang dihidupkan maka pintu-pintu harus dibuka semua. Sebuah bengkel otomotif harus mempunyai ventilasi yang baik (Marji, 2012). Tempatkanlah mesin-mesin percobaan pada ruang terbuka dengan sirkulasi udara yang cukup. Dianjurkan untuk tidak menghidupkan mesin percobaan terlalu lama. Bila harus melakukan pemanasan mesin, lakukanlah di luar ruangan (Daryanto, 2010). 2.5.5 Peralatan Mesin Tangan (Portable Machines) Bagian-bagian mesin yang berputar seperti ban, roda, puli, batang poros, roda gigi dan rantai yang ada di bengkel otomotif haruslah mempunyai pelindung (Mutaqin, 2103). Alat-alat pelindung yang sudah rusak dan alat pengaman lainnya
25
yang sudah tidak berfungsi lagi, harus segera dilaporkan pada pengawas untuk diganti (Harrianto, 2010). Mesin kompresor bekerja dengan ban pemindah putaran. Ban tidak boleh dibiarkan dalam keadaan terbuka. Tutup pelindung ban harus selalu terpasang. Mesin lain yang paling sering digunakan adalah bor tangan, mesin gerinda dan pemutar baut. Mata bor dan batu gerinda harus terpasang dan dikunci secara kuat. Mesin bor tangan (portable) merupakan peralatan yang perlu diperhatikan pemakaiannya. Kerusakan yang sering terjadi adalah mata bor sering tumpul atau patah (Marji, 2012). Mata bor yang tersedia di pasaran mulai dari yang kualitas rendah sampai kualitas tinggi. Tentunya disarankan agar menggunakan alat dan bahan yang berkualitas tinggi. Perhatian yang lain adalah posisi kerja yang nyaman (ergonomic). 2.5.6 Hazard Fisik di Bengkel Motor Hazard fisik di bengkel sepeda motor yang sering dijumpai antara lain kebisingan, getaran dan suhu ruangan serta pencahayaan. Sumber kebisingan di bengkel sepeda motor berasal dari suara mesin gerinda dan suara kompresor yang dipakai saat proses perbaikan dan perawatan sepeda motor (Daryanto, 2010; Marji, 2012). Kebisingan dapat diartikan sebagai suara yang timbul dari getaran-getaran yang tidak teratur dan periodik serta menciptakan suara yang tidak dikehendaki. Pengaruh utama dari kebisingan terhadap kesehatan adalah kerusakan pada indera indera pendengar, yang menyebabkan ketulian progresif (Harrianto, 2010; Kurniawidjaja, 2012). Akibat kebisingan selama bekerja di bengkel akan
26
membuat pembicara terpaksa berteriak-teriak yang memerlukan tenaga ekstra, kesulitan berkonsentrasi dalam bekerja yang pada akhirnya berpotensi menimbulkan kecelakaan dan penyakit akibat kerja (Subaris dan Haryono, 2008). Getaran merupakan hazard fisik yang juga sering dijumpai dan dihadapi oleh para pekerja bengkel sepeda motor. Penggunaan alat pelepas baut yang terhubung dengan kompresor serta penggunaan mesin gerinda merupakan salah satu contoh alat yang menghasilkan getaran langsung pada tangan. Penggunaan alat pelindung diri berupa sarung tangan pelindung akan mengurangi impact getaran yang dihasilkan mesin ke tangan (Kurniawidjaja, 2012). Namun, sering kali dijumpai para mekanik tersebut tidak memakai alat pelindung diri tersebut saat bekerja. Nilai Ambang Batas (NAB) getaran alat kerja yang kontak langsung maupun tidak langsung pada lengan dan tangan tenaga kerja sebesar 4 m/s2 untuk waktu paparan selama 4 jam atau kurang dari 8 jam kerja (Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI, 2011). Suhu lingkungan kerja juga sangat berpengaruh terhadap kesehatan para pekerja mekanik di bengkel sepeda motor. Makin tinggi panas lingkungan, semakin besar pula pengaruhnya terhadap suhu tubuh. Sebaliknya semakin rendah suhu lingkungan, makin banyak pula panas tubuh yang akan hilang (Daryanto, 2010; Kurniawidjaja, 2012). Dengan kata lain terjadi suatu pertukaran panas antara tubuh manusia yang didapat melalui proses metabolisme dengan tekanan panas yang dirasakan sebagai kondisi panas lingkungan. Selama pertukaran ini seimbang, tidak akan menimbulkan gangguan, baik penampilan kerja maupun kesehatan kerja. Tekanan panas yang berlebihan akan merupakan beban tambahan
27
yang harus diperhitungkan. Beban tambahan berupa panas lingkungan dapat menyebabkan beban fisiologis misalnya kerja jantung bertambah. Nilai ambang batas untuk cuaca (iklim) kerja adalah 21-30 ˚C suhu basah. Sedangkan untuk pekerja tropis suhu efektifnya adalah 22-27˚C (Subaris dan Haryono, 2008). Yang dimaksud dengan temperatur efektif adalah suatu beban panas yang dapat diterima oleh tubuh dalam ruangan. Temperatur efektif akan memberikan efek yang nyaman bagi orang yang berada di luar ruangan. 2.5.7 Pengangkat Sepeda Motor ( Bike Lift) Bengkel sepeda motor yang standar dilengkapi dengan peralatan khusus pengangkatan sepeda motor. Gunanya adalah untuk kenyamanan dan kesehatan para pekerja. Hampir semua pekerjaan pada sepeda motor berada pada posisi rendah, kecuali pekerjaan pada bagian stang yang terdiri dari lampu, speedometer, lampu-lampu dan kunci kontak (ignition key). Dengan menggunakan alat angkat bike lift pekerja tidak perlu jongkok dalam bekerja. Pekerjaan yang membutuhkan waktu yang lama, seperti pembongkaran mesin atau transmisi, pekerja akan cepat lelah dan mengalami kesulitan menjangkau obyek kerja. Oleh karena itu, sepeda motor ditempatkan di atas bike lift dan dikunci agar tidak jatuh. Kemudian bike lift dinaikkan sehingga ketinggian obyek kerja sesuai dengan kebutuhan pekerja. 2.5.8 Petunjuk Khusus Pelayanan Bagi Pekerja Mekanik Pekerjaan pelayanan (service) sepeda motor bervariasi mulai dari yang sangat sederhana sampai kepada yang rumit. Namun pelayanan sepeda motor yang rumit sekalipun tidak akan melebihi enam langkah (BPPT, 2008; Daryanto, 2010)
28
yakni:
mengukur
(measuring),
membongkar
(disassembling),
perbaikan
(machining), memasang kembali yang baru atau hasil perbaikan (reassembling), dan penyetelan. Enam langkah ini dapat diuraikan seperti di bawah ini. a. Pengukuran (measuring) biasanya dilakukan dengan alat ukur seperti feeler gauge, caliper, micrometer, depth and small hole gauges dan dial indicators. Namun dalam praktek, mata, telinga dan penciuman merupakan indera manusia yang digunakan untuk mengukur. Bila asap gas buang terlihat hitam tebal bisa disimpulkan bahwa pembakaran tidak sempurna. Gas buang yang mengeluarkan bau yang tajam dan tidak sedap merupakan ukuran sensori bahwa sudah terjadi sesuatu misalnya dinding silinder sudah aus, atau ring oli sudah aus. Baterai yang sudah lemah diketahui dari ampermeter, voltmeter atau battery liquid tester. Telinga juga dapat digunakan untuk mendengarkan kebisingan atau suara yang tidak normal. Pada sepeda motor, tekanan kompresi diukur dengan compression tester. Hasil dari pengukuran akan menjadi petunjuk bagian mana yang harus dikerjakan, dan ini merupakan langkah pertama bagi teknisi untuk mengambil langkah-langkah selanjutnya. b. Membongkar (disassembly) atau membuka bagian yang akan diperbaiki. Ada kalanya bagian yang dicurigai memerlukan perbaikan tidak dapat langsung dibuka, tetapi harus dibuka bagian lain untuk sampai pada bagian yang akan diperbaiki. Misalnya,bila dicurigai bahwa katup tidak bekerja dengan baik, maka yang lebih dahulu dibuka adalah kepala silinder. Pekerjaan membuka harus dikerjakan hati-hati dan bagian yang dibuka
29
ditempat pada tempat tersendiri atau panci. Pada waktu membuka ingat posisi dan tempatnya. Bila perlu diberi tanda untuk diingat pada waktu pemasangan kembali. c. Langkah perbaikan (machining) yaitu melakukan pembersihan, penyetelan dan perbaikan. Bila tidak bisa diperbaiki atau akan lebih baik diganti baru, maka pekerjaan selanjutnya adalah mempersiapkan pemasangan kembali. d. Pemasangan kembali (reassembly) dikerjakan dengan urutan terbalik dari membongkar. Posisi bagian yang dibongkar dikembalikan secara benar. Bila pada pembongkaran ada seal atau perapat atau baut yang lecet pada waktu dibuka maka pada pemasangan kembali bagian tersebut sebaiknya diganti baru. Bila ada baut yang dikencangkan, jarak platina, kelonggaran katup, dan jarak elektroda busi haruslah mengacu pada standar spesifikasi kendaraan. e. Pekerjaan kelima adalah memastikan bahwa semua sudah terpasang dengan benar dan siap untuk distel dan diuji coba. Sebelum mesin dihidupkan, maka semua bagian yang bergerak harus digerakkan atau diputar dulu dengan tangan. Sesudah dirasakan semua bergerak dengan lancar barulah mesin dihidupkan secara stasioner. f. Langkah terakhir adalah uji coba jalan (running test). Teknisi harus mampu menentukan apakah pekerjaan sudah dapat diselesaikan dengan baik. Semua bagian haruslah disesuaikan dengan standar baku, sesuai dengan spesifikasi yang dikeluarkan pabrik pembuat kendaraan.
30
2.6 Uji Fungsi Paru Uji fungsi paru merupakan salah satu metode yang dapat dipakai untuk menentukan kesehatan paru pekerja yang terpapar oleh polutan berupa debu ataupun senyawa pencemar udara lainnya (Budiono, 2007). Salah satu metode untuk dapat melakukan pemeriksaan fungsi paru adalah spirometri (Subaris dan Haryono, 2008). Pemeriksaan spirometri ini adalah pemeriksaan klinis dari fungsi ventilasi paru-paru dengan menggunakan alat spirometer yang mengukur arus dalam satuan isi dan waktu (Guyton dan Hall, 2012). Metode uji ini sangat menguntungkan karena merupakan uji paling sederhana dan paling murah serta terbukti dapat diandalkan untuk tujuan epidemiologi (Budiono, 2007; Harrianto, 2010). Hasil dari uji fungsi paru dengan menggunakan spirometer ini tidak dapat digunakan dalam mendiagnosis suatu penyakit paru-paru (Guyton dan Hall, 2012). Uji fungsi paru hanya memberikan gambaran tentang gangguan fungsi paru yang dibedakan menjadi : a. Kelainan restriktif Kelainan restriktif merupakan gangguan pada fungsi paru yang menimbulkan
kekakuan
paru
sehingga
mengakibatkan
fungsi
pengembangan paru-paru menjadi terbatas. Gangguan restriktif ini mempengaruhi kemampuan inspirasi. b. Kelainan obstruktif Kelainan obstruktif adalah setiap keadaan yang menimbulkan terjadinya hambatan aliran udara yang ditimbulkan oleh sumbatan
31
atau penyempitan pada saluran nafas. Adanya kelainan obstruktif ini menyebabkan limitasi pada kemampuan ekspirasi. Dalam memeriksa atau menentukan fungsi paru ada banyak parameter yang dapat diuji, tetapi dalam penelitian ini akan ditentukan 2 (dua) parameter yaitu kapasitas vital paksa (Forced Vital Capacity) dan volume ekspirasi paksa dalam 1 detik (Forced Expiration Volume in 1 second). a. FVC (forced vital capacity)/kapasitas vital paksa Kapasitas vital paksa merupakan pengukuran kapasitas vital paru yang diperoleh pada ekspirasi yang dilakukan dengan cepat dan sekuat mungkin. Udara dalam FVC memiliki volume yang kurang lebih sama dengan kapasitas vital paru. b. FEV1 (forced expiration volume in 1 second) Volume ekspirasi paksa dalam 1 (satu) detik merupakan volume udara yang dapat dihembuskan paksa pada satu detik pertama. Nilai normalnya adalah 3,2 liter. Orang sehat dapat menghembuskan 7580% atau lebih FVC-nya dalam satu detik, sehingga rasio normal FEV1/FVC = 75-80%. Prosedur yang paling umum digunakan dalam pengukuran spirometri adalah subyek menarik nafas secara maksimal dan menghembuskannya secepat dan selengkap mungkin dan nilai kapasitas vital paksa dibandingkan terhadap nilai normal dan nilai prediksi berdasarkan usia, tinggi badan dan jenis kelamin responden (Guyton dan Hall, 2012). Cara menggunakan spirometer dalam pengujian fungsi paru dapat diuraikan sebagai berikut :
32
1. Siapkan alat spirometer, dan kalibrasi harus dilakukan sebelum pemeriksaan. 2. Responden harus dalam keadaan sehat, tidak ada flu atau infeksi saluran napas bagian atas dan hati-hati pada penderita asma karena dapat memicu serangan asma. 3. Responden harus menghindari memakai pakaian yang ketat dan makan makanan berat dalam waktu 2 jam. 4. Responden juga tidak harus merokok dalam waktu 1 jam dan menkonsumsi alkohol dalam waktu 4 jam. 5. Masukkan data yang diperlukan, yaitu umur, jenis kelamin, tinggi badan, berat badan, dan ras untuk megetahui nilai prediksi. 6. Beri pentunjuk dan demonstrasikan manuver pada Responden, yaitu pernafasan melalui mulut, tanpa ada udara lewat hidung dan celah bibir yang mengatup mouth piece. 7. Responden dalam posisi duduk atau berdiri, lakukan pernapasan biaa tiga kali berturut-turut, dan langsung menghisap sekuat dan sebanyak mungkin udara ke dalam paru-paru, dan kemudian dengan cepat dan sekuat-kuatnya dihembuskan udara melalui mouth piece. 8. Manuver dilakukan 3 kali untuk mendapatkan hasil terbaik. Hasil dari pemeriksaan spirometri dapat diinterpretasikan berdasarkan nilai dari FEV1, FVC, dan nilai rasio FEV1/FVC. Adapun nilai interpretasi dari spirometri dapat dijelaskan sebagai berikut :
33
a. Normal: FVC≥ 80%, FEV1/FVC≥75% b. Gangguan obstruksi: FEV1< 80% nilai prediksi, FEV1/FVC< 70% nilai prediksi c. Gangguan restriksi: Kapasitas Vital < 80% nilai prediksi, FVC<80% . d. Gangguan campuran: FVC < 80% nilai prediksi, FEV1/FVC< 75% nilai prediksi.
McKay et al. dalam Budiono, 2007 lebih lanjut memberikan klasifikasi yang lebih rinci terkait dengan nilai gangguan restriktif dan obstruktif dari fungsi paru seperti pada Tabel 2.3. Tabel 2.3 Interpretasi Nilai Restriktif Pada Spirometri % FEV1 / FVC
% FVC > 80 60-79 > 75 % 30-59 < 30 Sumber : McKay et al. dalam Budiono, 2007
Kesimpulan Normal Resriktif ringan Restriktif sedang Restriktif berat
Tabel 2.4 Interpretasi Nilai Obstruktif Pada Spirometri % FVC
% FEV1/FVC > 75 60-74 > 75 % 30-59 < 30 Sumber : McKay et al dalam Budiono, 2007
Kesimpulan Normal Obstruktif ringan Obstruktif sedang Obstruktif berat