BAB II TINJAUAN PUSTAKA
1.1. Pengertian Hukum dan Hukum Pidana. 1.1.1. Hukum. Menurut E. Utrecht,4 hukum adalah himpunan petunjuk hidup yang mengatur tata tertib dalam masyarakat dan seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat yang bersangkutan, oleh karena pelanggaran terhadap petunjuk hidup itu dapat menimbulkan tindakan dari pemerintah masyarakat itu. Sedangkan menurut J. Van Apeldoorn,5 bahwa tidak mungkin memberikan definisi kepada hukum karena begitu luas yang diaturnya. Hanya pada tujuan hukumnya mengatur pergaulan hidup secara damai. Hukum adalah seperangkat norma atau kaidah yang berfungsi mengatur tingkah laku manusia dengan tujuan untuk ketentraman dan kedamaian di dalam masyarakat. 1.1.2. Hukum Pidana. Hukum pidana adalah hukum yang mengatur tentang pelanggaran dan kejahatan terhadap kepentingan umum. Pelanggaran (perbuatan pidana yang ringan) dan kejahatan (perbuatan pidana yang berat) tersebut di ancam dengan hukuman yang merupakan penderitaan atau siksaan bagi yang bersangkutan. 4
E. Utrecht, dalam bukunya Yulis Tiena Masriani, Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta. Sinar Grafika, 2008, Jakarta, hlm. 6 5 J. Van Apeldoorn, dalam bukunya Yulis Tiena Masriani, Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta. Sinar Grafika, 2008, Jakarta, hlm. 6
6
Ada dua macam tujuan hukum pidana, yaitu : 1. Untuk menakut-nakuti setiap orang agar tidak melakukan perbuatan pidana (fungsi preventif/pencegahan); 2. Untuk mendidik orang yang telah melakukan perbuatan pidana agar menjadi orang yang baik dan dapat di terima kembali dalam masyarakat (fungsi prepesif)/kekerasan.6
2.2. Penegakkan Hukum. Menurut Soerjono Soekanto, 7 secara konsepsional, inti dan arti penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Lebih lanjut dikatakannya keberhasilan penegakan hukum mungkin di pengaruhi oleh beberapa faktor yang mempunyai arti yang netral, sehingga dampak negatif atau positifnya terletak pada isi-isi faktor tersebut. Faktor-faktor ini mempunyai hubungan yang saling berkaitan dengan eratnya, merupakan esensi serta tolak ukur dan efektivitas penegakan hukum. Faktor-faktor tersebut adalah : 1.
Hukum (undang-undang); Undang-undang dalam arti materiel adalah peraturan tertulis yang berlaku umum dan dibuat oleh Penguasa Pusat maupun Daerah yang sah.
6
Op cid, hlm 61 Soejono soekanto. Dalam bukunya Abdul Muis Yusuf dan Mohammad Taufik Makarao Hukum Kehutanan di Indonesia. Jakarta. PT RiNeka Cipta, 2011, hlm. 21 7
7
Dengan demikian, maka undang undang dalam material (selanjutnya disebut undang-undang) mencakup : a. Peraturan Pusat yang berlaku untuk semua warga Negara atau suatu golongan tertentu saja maupun yang berlaku umum di sebagian wilayah Negara. b. Peraturan setempat yang hanya berlaku disuatu tempat atau daerah saja. Gangguan terhadap penegakan hukum yang berasal dari undang-undang mungkin disebabkan, karena: a. Tidak diikutinya asas-asas berlakunya undang-undang. b. Belum adanya peraturan pelaksanaan yang sangat dibutuhkan untuk menerapkan undang-undang. c. Ketidak jelasan arti kata-kata dalam undang-undang8. 2.
Faktor penegak hukum, yakni pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum; Secara sosiologis, maka setiap penegak hukum tersebut mempunyai kedudukan (status) dan peranan (role). Kedudukan (sosial) merupakan posisi tertentu didalam struktur kemasyarakatan, yang mungkin tinggi, sedang-sedang saja atau rendah. Kedudukan tersebut sebenarnya merupakan suatu wadah, yang isinya adalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban tertentu. Hak-hak dan kewajiban-kewajiban tadi merupakan peranan atau role. Oleh
8
Soerjono soekanto, factor-faktor yang mempengaruhi penegakan hokum. Jakarta. PT Raja Grafindo Persada, 2004, Hlm. 17-18
8
karena itu, seseorang yang mempunyai kedudukan tertentu, lazimnya dinamakan peranan (role accupant). Suatu hak sebenarnya merupakan wewenang untuk berbuat atau tidak berbuat, sedangkan kewajiban adalah beban atau tugas. Suatu peranan tertentu, dapat dijabarkan kedalam unsurunsur, sebagai berikut: a. Peranan yang ideal (ideal role) b. Peranan yang seharusnya (expected role) c. Peranan yang dianggap oleh diri sendiri (perceived role) d. Peranan yang sebenarnya dilakukan (actual role) Peranan yang sebenarnya dilakukan kadang-kadang juga dinamakan role performance atau role playing. Kiranya dapat dipahami, bahwa peranan yang ideal dan yang seharusnya datang dari pihak (atau pihak-pihak) lain, sedangkan peranan yang dianggap oleh diri sendiri serta peranan yang sebenarnya dilakukan berasal dari diri pribadi. Sudah tentu bahwa didalam kenyataannya,
peranan-peranan
tadi
berfungsi
apabila
seseorang
berhubungan dengan pihak lain (disebut role sector) atau dengan beberapa pihak (role set). Seorang penegak hukum, sebagaimana halnya dengan warga-warga masyarakat lainnya, lazimnya mempunyai beberapa kedudukan dan peranan sekaligus. Dengan demikian tidaklah mustahil, bahwa antara berbagai kedudukan dan peranan timbul konflik (status conflict dan conflict of roles). Kalau didalam kenyataannya terjadi suatu kesenjangan antara peranan yang
9
seharusnya dengan peranan yang sebenarnya dilakukan atau peranan aktual, maka terjadi suatu kesenjangan peranan (role-distance). 3.
Sarana atau fasilitas yang mendukung penegak hukum; Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu, maka tidak mungkin penegakan hukum akan berlangsung dengan lancar. Sarana atau fasilitas tersebut, antara lain, mencakup tenaga yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup, dan seterusnya. Kalau hal-hal itu tidak terpenuhi, maka mustahil penegakan hukum akan mencapai tujuannya. Agar masalah tersebut dapat dipahami dengan mudah, akan disajikan suatu contoh mengenai proses peradilan.
4.
Masyarakat, yakni dimana hukum tersebut diterapkan; Penegakan hukum berasal dari masyarakat, dan bertujuan untuk mencapai kedamaian didalam masyarakat. Oleh karena itu, dipandangdari sudut tertentu, maka masyarakat dapat mempengruhi penegakan hukum tersebut. Didalam bagian ini, diketengahkan secara garis besar perihal pendapat-pendapat masyarakat yang mengenai hukum, yang sangat mempengaruhi kepatuhan hukumnya. Kiranya jelas, bahwa hal ini pasti ada kaitannya dengan faktor-faktor terdahulu, yaitu Undang-undang, penegak hukum, dan sarana atau fasilitas.
5.
Dan faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang di dasarkan pada karsa manusia dalam pergaulan hidup;
10
Faktor kebudayaan yang sebenarnya bersatu padu dengan faktor masyarakat
sengaja
dibedakan,
karena
didalam
pembahasannya
diketengahkan masalah sistem nilai-nilai yang menjadi inti dari kebudayaan spiritual atau non materiel. Sebagai suatu sistem (atau subsistem dari system kemasyarakatan), maka hukum mencakup, struktur, substansi, dan kebudayaan (Lawrence M. Friedman,1977). Struktur mencakup wadah ataupun bentuk dari sistem tersebut yang, umpamanya, mencakup tatanan lemabaga-lembaga hukum formal, hubungan antara lembaga-lembaga tersebut, hak-hak dan kewajiban-kewajibannya, dan seterusnya. Substansi mencakup isi norma-norma hukum beserta perumusannya maupun acak untuk menegakannya yang berlaku bagi pelaksana hukum maupun pencari keadilan. Kebudayaan (sistem) hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan konsepsikonsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik (sehingga dianuti) dan apa yang dianggap buruk (sehingga dihindari). Nilai-nilai tersebut, lazimnya merupakan pasangan nilai-nilai yang mencerminkan dua keadaan ekstrim yang harus diserasikan. Penegakkan hukum (Law Enforcement) dalam operasionalnya bukanlah suatu hal yang berdiri sendiri melainkan yang berkaitan dengan berbagai aspek/faktor. Penegakkan hukum tidak hanya berkaitan dengan hukum itu sendiri, akan tetapi dengan manusianya, baik sebagai penegak hukum maupun masyarakatnya. Dalam
11
pembahasan tentang penegakkan hukum tidak dapat dilepaskan dari konsep Laurence Meir Friedman 9 tentang tiga unsur sistem hukum yang terdiri atas : a.
Struktur Hukum (Legal Structure) Di Indonesia, apabila berbicara tentang struktur dalam sistem hukum, termasuk di dalamnya adalah struktur atau institusi-institusi yang menentukan penegak hukum, seperti Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan.
b.
Substansi Hukum (Legal Substance) Substansi hukum adalah aturan, norma dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem hukum itu, yang kalau di Indonesia substansi hukum adalah produk yang dihasilkan oleh badan legislatif, termasuk putusan pengadilan.
c.
Kultur Hukum (Legal Culture) Kultur hukum adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukuum, kepercayaan, penilaian, serta harapan masyarakat terhadap hukum. Jadi dengan kata lain, Kultur hukum adalah suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum itu digunakan, dihindari atau bahkan disalahgunakan termasuk oleh penegak hukum itu sendiri. Selain itu juga, secara khusus Salim H.S, mengemukakan empat faktor yang
harus diperhatikan dalam penegakan hukum di bidang kehutanan , yaitu : 1.
Adanya ketentuan hukum yang akomodatif, artinya ketentuan hukum yang ada harus mampu memecahkan masalah yang terjadi dalam bidang kehutanan.
9
Laurence Meir Friedman. Dalam bukunya. Suriansyah Murhaini, Hukum Kehutanan (Penegakan Hukum terhadap Kejahatan di Bidang Kehutanan). Yogyakarta. Laksbang Grafika. 2012. Hlm 14-15
12
Sebenarnya ketentuan hukum di bidang kehutanan telah cukup memadai karena telah mengatur berbagai hal seperti tata cara penyidikan, penuntutan, serta memuat tentang sanksi, yaitu sanksi administratif, sanksi perdata dan pidana. 2.
Adanya penegakan hukum yang tangguh, terampil dan bermoral di bidang kehutanan, seperti Pejabat Pegawai Negeri Sipil di lingkungan instansi kehutanan, Penyidik Polri, Kejaksaan selaku penuntut umum, dan Hakim di lingkungan peradilan.
3.
Adanya fasilitas yang mendukung ke arah penegakan hukum seperti tersedianya mesin tik, kertas dan alat-alat transportasi lainnya.
4.
Adanya partisipasi masyarakat dalam mendukung penegakan hukum di bidang kehutanan, karena tanpa partisipasi masyarakat maka penegak hukum akan sulit menjalankan fungsi dan tugasnya.
2.3. Hukum kehutanan dan Asas-Asas Hukum Kehutanan. 2.3.1. Hukum Kehutanan. Hukum kehutanan merupakan salah satu bidang hukum yang sudah berumur 137 tahun, yaitu sejak diundangkannya Reglemen Hutan 1865. Namun, perhatian ilmuwan hukum terhadap bidang ini sangat kurang. Terbukti kurangnya literature yang mengkaji tentang hukum kehutanan. Hukum kehutanan kuno hanya mengatur hutan-hutan yang di kuasai oleh kerajaan, sedangkan hutan rakyat (hutan milik) tidak mendapat pengaturan
13
secara khusus dalam pengaturan perundang-undangan inggris. Namun, dalam perkembangannya aturan hukum mengenai kehutanan disempurnakan pada tahun 1971 melalui Act 1971. Di dalam Act 1971 ini bukan hanya mengatur hutan kerajaan semata-mata, tetapi juga mengatur tentang hutan rakyat (hutan milik).10 Idris Sarong Al Mar 11 mengatakan bahwa yang disebut dengan hukum kehutanan adalah serangkaian kaidah-kaidah atau norma-norma (tidak tertulis) dan peraturan-peraturan (tertulis) yang hidup dan dipertahankan dalam hal-hal hutan dan kehutanan. Biro Hukum dan Organisai Departemen Kehutanan merumuskan hukum kehutanan adalah “kumpulan (himpunanan) peraturan yang tertulis yang berkenaan dengan kegiatan yang bersangkut paut dengan hutan dan pengurusannya”. Hukum kehutanan dalam kedua definisi di atas dititikberatkan pada kekuasaan negara dalam pengelolaan dan pengurusan hutan dan kehutanan semata-mata, padahal persoalan itu bukan hanya menjadi urusan negara, tetapi juga menjadi urusan manusia secara perorangan, jika ia mengusahakan penanaman kayu diatas tanah miliknya. Salim12 mengatakan hukum kehutanan adalah kumpulan kaidah atau ketentuan hukum yang mengatur hubungan antar negara dengan hutan dan
10
Robby Amu. (tesis) Peranan Penyidik Polri Dalam Rangka Penyidikan Tindak Pidana Pembalakan Liar di Polres Limboto. Hlm. 11 Idris Sarong Al Mar. Dalam bukunya Salim H.S, Dasar-Dasar Hukum Kehutanan, Jakarta, Sinar Grafika, 2008, Hlm. 5 12 Salim H.S, Dasar-Dasar Hukum Kehutanan, Jakarta, Sinar Grafika, 2008, Hlm. 5
14
kehutanan dan hubungan antara individu (perorangan) dengan hutan dan kehutanan. Ada 3 (tiga) unsur yang terkandung dalam rumusan hukum kehutanan yaitu: 1. Adanya kaidah hukum kehutanan, baik secara tertulis maupun secara tidak tertulis; 2. Mengatur hubungan antara Negara dengan hutan dan kehutanan; Serta 3. Mengatur hubungan antara individu (perorangan) dengan kehutanan. Hukum kehutanan tertulis adalah kumpulan kaidah hukum yang dibuat oleh lembaga yang berwewenang untuk mengatur hal-hal yang berkaitan dengan hutan dan kehutanan. Hukum kehutanan tertulis ini dapat dilihat dalam peraturan perundang-undangan, baik yang telah dikeluarkan oleh pemerintah Hindia Belanda maupun yang telah ditetapkan oleh pemerintah dengan persetujuan DPR sejak bangsa indonesia merdeka. Sendangkan Hukum kehutanan tidak tertulis atau disebut juga hukum adat mengenai hutan adalah aturan-aturan hukum yang tidak tertulis, timbul, tumbuh dan berkembang di masyarakat. Jadi, sifatnya adalah lokal. 13 Hal-hal yang diatur dalam hukum kehutanan tidak tertulis adalah : 1. Hak membuka tanah di hutan; 2. Hak untuk menebang kayu; 3. Hak untuk memungut hasil hutan; 13
Robby Amu. (tesis) Peranan Penyidik Polri Dalam Rangka Penyidikan Tindak Pidana Pembalakan Liar di Polres Limboto. Hlm.21 dan 22.
15
4. Hak untuk mengembalakan ternak dan sebagainya. Diberbagai daerah hak-hak tersebut diatur oleh desa dan dahulu hakhak adat itu dikuasai oleh raja serta kini dikuasai oleh negara. Penggunaan hak-hak adat diatur sedemikian rupa dan tidak boleh bertentangan dengan kepentingan
bangsa
dan
negara.
Apabila
negara
menghendaki
penguasaannya, hak-hak rakyat atas hutan tersebut harus mengalah demi kepentingan yang besar. Penguasaan negara ini semata-mata untuk mengatur dan merencanakan peruntukan hutan guna meningkatkan kesejahteraan rakyat. Hubungan antara negara dengan hutan dan kehutanan erat kaitannya dengan kedudukan negara sebagai organisasi tertinggi yang mempunyai wewenang untuk menetapkan dan mengatur perencanaan, peruntukan, dan penggunaan hutan sesuai fungsinya, serta mengatur pengurusan hutan dalam arti luas. Hubungan antara individu (perorangan) dengan hutan dan kehutanan mempunyai hubungan yang sangat erat. Karena individu tersebut telah mengusahakan tanah miliknya untuk menanam kayu yang mempunyai nilai ekonomi tinggi, sehingga pengurusan dan pemenfaatannya diatur dan bersangkutan. Namun demikian, individu tersebut harus membayar biaya pengujian, dan iuran hasil hutan (IHH). 14
14
Ibid.
16
2.3.2. Asas-asas Hukum Kehutanan. Homes15 mengemukakan bahwa asas hukum itu tidak boleh dianggap sebagai norma hukum konkret, akan tetapi perlu dipandang sebagai dasar umum atau sebagai petunjuk bagi hukum yang berlaku. Dengan kata lain, asas hukum ialah dasar atau petunjuk arah dalam pembentukan hukum positif. Sudikno Mortokusumo 16 mengatakan bahwa yang disebut dengan asas hukum bukanlah kaidah hukum konkret, melainkan merupakan latar belakang peraturan yang konkret dan yang bersifat umum atau abstrak dan untuk menemukan asas-asas hukum tersebut harus dicari sifat umum dalam kaidah atau peraturan yang konkret. Hal ini berarti menunjuk pada kesamaan yang terdapat dalam ketentuan yang konkret itu. Pasal 2 Undang-undang No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan disebutkan pasal-pasal dalam penyelenggaraan kehutanan di Indonesia. Asas-asas tersebut meliputi : a.
Asas Manfaat dan Lestari. Asas manfaat dan lestari dimaksudkan agar setiap pelaksanaan penyelenggaraan
kehutanan
memperhatikan
keseimbangan
dan
kelestarian unsur lingkungan, sosial, budaya, dan ekonomi atau pemanfaatan sumber daya hutan harus dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. 15
Homes. Dalam bukunya Salim H.S, Dasar-Dasar Hukum Kehutanan, Jakarta, Sinar Grafika, 2008, Hlm.8. 16 Sudikno Mortokusumo. Dalam bukunya Salim H.S, Dasar-Dasar Hukum Kehutanan, Jakarta, Sinar Grafika, 2008, Hlm. 8
17
b. Asas Kerakyatan dan Keadilan. Asas
kerakyatan
dan
keadilan
dimaksudkan
agar
setiap
penyelenggaraan kehutanan harus memberikan peluang dan kesempatan yang sama kepada semua warga negara sesuai dengan kemampuannya sehingga dapat meningkatkan kemakmuran seluruh rakyat. Oleh karena itu dalam pemberian wewenang pengelolaan dan izin pemanfaatan hutan harus dicegah terjadinya praktek-praktek yang tidak sesuai. c. Asas Kebersamaan. Asas kebersamaan dimaksudkan agar dalam penyelenggaraan kehutanan menerapkan pola usaha bersama sehingga terjalin keterkaitan dan saling ketergantungan secara sinergis antara masyarakat setempat dengan pemerintah. d. Asas Keterbuakaan. Asas
keterbuakaan
penyelenggaraan
yang
kehutanan
dimaksud
agar
mengikutsertakan
setiap
kegiatan
masyarakat
dan
memperhatikan aspirasi masyarakat. e. Asas Keterpaduan. Asas keterpaduan dimaksudkan agar setiap penyelenggaraan kehutanan dilakukan secara terpadu dengan memperhatikan kepentingan Nasional, sektor lain, dan masyarakat setempat. 17
17
Undang-undang No. 41 Tahun 1991 tentang Kehutanan.(tesis) Robby Amu. Peran Penyidik Polri dalam Penyidikan Tindak Pidana di Polres Limboto. Hlm. 24 dan 25.
18
2.4. Illegal Loging Sejalan dengan UUD 45 hasil Amandemen Bab XIV, tentang kesejahteraan nasional, pasal 33 ayat (3) menyebutkan bahwa “bumi air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesarbesarnya kemakuran rakyat”. Sebagai landasan konstitusional yang mewajibkan agar bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk kemakmuran rakyat, maka penyelenggaraan kehutanan senantiasa
mengandung jiwa
dan semangat kerakyatan, berkeadilan dan
berkelanjutan. Kekayaan alam dalam pengertian sumber daya alam, secara umum dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok, yaitu : a.
Sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui (Non Reneweble Resources) seperti tambang dan energi;
b.
Sumber daya alam yang dapat diperbaharui (Reneweble Resources) yaitu sumber daya alam hayati seperti : hutan, ikan, hewan dan sebagainya;
c.
Sumber daya alam yang tidak pernah habis (Flou Resources) seperti : sinar matahari, angin, panas bumi, gelombang laut yang mempunyai sifat tidak tetap, tidak terbatas dan tidak habis.18
18
Ibid.
19
Dalam hal ini hutan termasuk sumber daya alam yang dapat diperbaharui yang memerlukan penata usahaan hasil hutan kayu yang memerlukan pengawasan dalam pelaksanaannya. Salah satu bentuk kejahatan di bidang kehutanan seperti pencurian kayu atau pembalakan kayu atau lebih dikenal dengan istilah Illegal Logging dalam Undangundang Kehutanan memang tidak menyebut secara khusus dengan istilah Illegal Logging sebagai suatu tindak pidana. Istilah Illegal Logging berasal dari bahasa inggris, yaitu illegal artinya tidak sah, dilarang atau bertentangan dengan hukum. Dalam Black’s Law Dictionary kata illegal berarti forbidden by law, unlawful (dilarang menurut hukum atau tidak sah). Sedangkan kata logging berasal kata log yang berarti batang kayu atau kayu gelondongan, dan kata Logging berarti menebang kayu dan membawa ke tempat gergajian. 19 Secara gramatikal pengertian illegal logging adalah menebang kayu untuk kemudian membawa ke tempat gergajian yang dilakukan secara melanggar hukum, bertentangan dengan hukum atau tidak sah menurut hukum. Ada pula yang mengartikan illegal logging dengan pembalakan kayu secara ilegal, yaitu meliputi semua kegiatan di bidang kehutanan yang berkaitan dengan pemanenan, pengelolaan dan perdangan kayu yang bertentangan dengan hukum. Menurut Forrest Watch Indonesia (FWI) illegal logging terdiri dari dua bentuk, yaitu pertama, dilakukan oleh operator sah yang melanggar ketentuan-ketentuan dalam ijin yang dimiliki. Kedua, melibatkan pencuri kayu, dimana pohon-pohon ditebang 19
Suriansyah Murhaini, Hukum Kehutanan (Penegakan Hukum Terhadap Kejahatan di Bidang Kehutanan). Yogyakarta. Laksbang Grafika, 2012, Hlm. 29-30
20
oleh orang yang sama sekali tidak mempunyai hak legal untuk menebang pohon. Praktik illegal logging tidak saja dilakukan oleh perorangan atau badan hukum tetapi juga dilakukan secara terorganisir oleh satu sindikat dengan melibatkan aparat kepolisian dan pejabat instansi kehutanan. Penebangan liar atau illegal logging dapat didefinisikan sebagai tindakan menebang kayu dengan melanggar peraturan kehutanan. Tindakan ini adalah sebuah kejahatan yang mencakup kegiatan seperti menebang kayu di area yang dilindungi, area konservasi dan taman nasional, serta menebang kayu tanpa ijin yang tepat di hutan-hutan produksi. Mengangkut dan memperdagangkan kayu illegal dan produk kayu illegal juga dianggap sebagai kejahatan kehutanan. Atau dengan kata lain, batasan/pengertian illegal logging adalah meliputi serangkaian pelanggaran peraturan yang mengakibatkan eksploitasi sumber daya hutan yang berlebihan. Pelanggaran-pelanggaran ini terjadi di semua lini tahapan produksi kayu, misalnya pada tahap penebangan, tahap pengangkutan kayu gelondongan tahap pemrosesan dan tahap pemasaran; dan bahkan meliputi penggunaan cara-cara yang korup untuk mendapatkan akses ke kehutanan dan pelanggaran-pelanggaran keuangan, seperti penghindaran pajak. 20 Wayan21 mengemukakan illegal logging adalah sebuah bentuk aktifitas manusia dalam mengeksploitasi sumber daya hutan diluar sistem pengelolaan hutan lestari yang berlaku, yang dilakukan oleh sekelompok orang/oknum tertentu secara
20
Wahyu Catur Adinugroho, Penebangan Liar (Illegal Logging), Sebuah Bencana Bagi Dunia Kehutanan Indonesia Yang Tak Kunjung Terselesaikan, Institut Pertanian Bogor, 2009, Hlm. 3-4. 21 Wayan. Robby Amu. (tesis) Peran Penyidik Polri dalam Penyidikan Tindak Pidana di Polres Limboto. Hlm.37.
21
sistematis baik dalam sebuah jaringan maupun cara-cara lain untuk kepentingan kelompok dan atau orang/oknum tertentu secara illegal. Riza Suarga 22 mengatakan bahwa illegal logging adalah sebuah praktek eksploitasi praktek hutan berupa kayu dari kawasan hutan negara melalui aktifitas penebangan pohon, atau pemanfaatan dan peredaran kayu atau olahannya yang berasal dari hasil tebangan yang tidak sah. Esensi yang penting dalam praktik illegal logging ini adalah perusakan hutan yang akan berdampak pada kerugian baik dari aspek ekonomi, illegal logging mempunyai potensi merusak hutan yang kemudian berdampak pada perusakan lingkungan. Illegal Logging adalah setiap usaha pengusahaan kayu hasil hutan yang meliputi kegiatan menebang, memanen, mengangkut, menguasai, atau memiliki kayu hasil hutan yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan ketentuan yang lain berlaku.
2.5. Penyidik dan Penyidikan. Pasal 1, Bab 1, ketentuan umum dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, yang dimaksud dengan Penyidik adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan. Penyidik pembantu adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia yang karena diberi wewenamg tertentu dapat melakukan tugas penyidikan.
22
Riza Suarga, Pemberantasan Illegal Logging I, Wana Aksara, Jakarta, 2005, hal. 7.
22
Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang hukum acara pidana untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi. Pasal 77 UU No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan menyatakan : Selain pejabat penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pengurusan hutan, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam kitab undang-undang hukum acara pidana. 23 Adapun pengurusan hutan sesuai dengan UU No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan, pasal 10 menyatakan : 1.
Pengurusan hutan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat 2 huruf a, bertujuan untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya serta serbaguna dan lestari untuk kemakmuran rakyat.
2.
Pengurusan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat 1, meliputi kegiatan penyelenggaraan : a.
Perencanaan kehutanan;
b.
Pengelolaan hutan;
c.
Penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta penyuluhan kehutanan;
23
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
23
d.
Pengawasan.24
Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 pasal 77 UU No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan, berwewenang untuk : 1.
Melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan yang berkenaan dengan tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;
2.
Melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana yang menyangkut hutan;
3.
Memeriksa tanda pengenal seseorang yang berada dalam kawasan hutan atau wilayah hukumnya;
4.
Melakukan penggeledahan dan penyitaan barang bukti tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan sesuai dengan ketentuan-ketentuan perundangan-undangan yang berlaku;
5.
Meminta keterangan dan barang bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;
6.
Menangkap dan menahan dalam koordinasi dan pengawasan penyidik kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai kitab undang-undang hukum acara pidana;
7.
24
Membuat dan menandatangani berita acara;
Undang-undang No. 41 tahun 1999 pasal 10 tentang Kehutanan.
24
8.
Menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti tentang adanya tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan.25
2.6. Polisi KEHUTANAN. Ujung tombak terdepan di dalam tugas pengamanan dan perlindungan hutan dilaksanakan aparatur pemerintah di daerah berada di tangan petugas kehutanan yang di beri kewenangan kepolisian khusus. Jabatan fungsional ini melekat di pundak setiap polisi khusus kehutanan atau disebut “jagwana”. Peranan penting yang di emban membantu tindakan pungusutan dan penyidikan perkara perusakan hutan yang terjadi di dalam wilayah tugasnya masing-masing.26 Tugas ini dilakukan melalui pengawasan dan pengamanan hutan dari gangguan yang mengakibatkan kerusakan hutan negara. Polisi kehutanan adalah pejabat tertentu dalam lingkungan instansi kehutanan pusat dan daerah yang sesuai dengan sifat pekerjaannya, menyelenggarakan atau melaksanakan usaha perlindungan hutan yang oleh kuasa undang-undang diberikan wewenang kepolisian khusus dibidang kehutanan dan konversi sumber daya alam hayati dan ekosistimnya. Tugas pokok polisi kehutanan adalah menyiapkan, melaksanakan, mengembangkan, atau memantau, dan mengevaluasi serta melaporkan kegiatan perlindungan dan pengamanan hutan serta peredaran hasil hutan. 25 26
Undang-undang No. 41 Tahun 1999 Pasal 77 tentang Kehutanan. Alam Setia Zain S.H, Hukum Lingkungan Konservasi Hutan, Jakarta, PT Rineka Cipta, 2000, Hlm. 56
25
Polisi kehutanan atas perintah pimpinan berwenang untuk melakukan penyelidikan, dalam rangka mencari dan menangkap tersangka. Pasal 51 ayat (2) UU No. 41 Tahun 1999, Adapun wewenang dari polisi kehutanan yaitu : 1.
Mengadakan patroli/perondaan di dalam kawasan hutan atau wilayah hukumnya.
2.
Memeriksa surat-surat atau dokumen yang berkaitan dengan pengangkutan hasil hutan di dalam kawasan hutan atau wilayah hukumnya.
3.
Menerima laporan tentang telah terjadinya tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan.
4.
Mencari keterangan dan barang bukti yang menyangkut tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan.
5.
Dalam hal tertangkap tangan, wajib menangkap tersangka untuk diserahkan kepada yang berwewenang. 27
6.
Membuat laporan dan menandatangani laporan tetang terjadinya tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan dan hasil hutan. Sesuai Pasal 4 Permenhut No : P.5/Menhut-II/2010, standar jenis peralatan
dan sarana polhut berupa : a.
27
Jenis peralatan terdiri atas : 1.
Senjata api dan amunisi.
2.
Alat komunikasi.
3.
Alat navigasi.
Undang-undang No. 41 Tahun 1999 Pasal 51 tentang Kehutanan.
26
b.
4.
Alat dokumentasi dan intelejen.
5.
Alat pemadam kebakaran. Dan
6.
Alat pendakian, selam dan penyelamatan.
Jenis sarana terdiri atas : 1. Sarana mobilisasi. 2. Pos dan pondok jaga. 3. Tempat penyimpanan barang bukti. 4. Tempat penyimpanan senjata dan amunisi. 5. Tempat/ruang tahanan. 6. Asrama polhut.
27