BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kulit Buah Jeruk Nipis (Citrus aurantifolia (Christm.) Swingle) 2.1.1. Klasifikasi tanaman jeruk nipis Kingdom
: Plantae
Divisi
: Magnoliophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Ordo
: Sapindales
Keluarga
: Rutaceae
Genus
: Citrus
Spesies
: Citrus aurantifolia
Nama Binomial
: Citrus aurantifolia (Christm.) Swingle (Apraj et al., 2011)
2.1.2. Deskripsi simplisia kulit buah jeruk nipis Irisan tipis kulit buah dengan tepi tidak rata, permukaan luar berwarna hijau kecoklatan, permukaan bagian dalam putih kekuningan, bau khas, rasa kelat, pahit, dan sedikit asam (Kemenkes RI, 2011). Gambar buah jeruk nipis dan simplisia kulit buah jeruk nipis ditampilkan pada gambar 2.1.
6
7
a
b
Gambar 2.1 Buah jeruk nipis (a) (Apraj et al., 2011); Simplisia kulit buah jeruk nipis (b) (Kemenkes RI, 2011)
2.1.3. Kandungan kimia Kulit buah jeruk nipis mengandung banyak senyawa golongan minyak atsiri dan golongan flavonoid. Senyawa golongan minyak atsiri yang paling dominan adalah golongan monoterpen hidrokarbon yaitu: limonen, α-pinen, β-pinen, γterpinen, β-mirsen dan beberapa golongan seskuiterpen seperti β-bisabolen (Tundis et al., 2012). Sedangkan senyawa golongan flavonoid yang terdapat dalam kulit buah jeruk nipis adalah kuersetin, mirisitin, rutin, tangerin, naringin, dan hesperidin (Okwu, 2008).
2.1.4. Khasiat tanaman Jeruk nipis telah banyak dimanfaatkan sebagai pengobatan secara turun temurun. Jeruk nipis memiliki khasiat empiris sebagai obat batuk, obat penurun panas, dan obat pegel linu (Depkeskesos RI, 2001). Menurut beberapa penelitian, ekstrak kulit buah jeruk nipis diketahui memiliki aktivitas antibakteri dan antifungi (Pathan et al., 2012), antispasmodik (Spadaro et al., 2012), anti
8
osteoporosis (Shalaby et al., 2010), antioksidan, dan antikolinesterase (Tundis et al., 2012),
2.1.5. Senyawa penanda dan identitas 2.1.5.1. Rutin Rutin merupakan senyawa yang digunakan sebagai pembanding KLT pada identifikasi bercak ekstrak kulit buah jeruk nipis (Kemenkes RI, 2011). Rutin merupakan senyawa flavonoid golongan flavonol glikosida yang terdiri dari aglikon kuersetin dan disakarida rutinosa. Struktur rutin terdapat pada gambar 2.2.
Gambar 2.2. Struktur kimia rutin (keterangan: A, B, C: cincin A, B, C flavonoid; (Hussain et al., 2009)
Rutin memiliki nama lain kuersetin 3-rutinosida dengan rumus molekul C27H30O16 dan berat molekul 610,53 (Harborne et al., 1999). Rutin memiliki pola spektrum dengan dua pita dimana puncak tertinggi berada pada pita I dengan panjang gelombang maksimum 360 nm. Pola spektrum rutin terdapat pada gambar 2.3.
9
Gambar 2.3. Spektrum rutin pada rentang panjang gelombang 200-400 nm (spektrum hijau: spektrum standar rutin; spektrum merah: spektrum senyawa pada noda yang diduga rutin pada tanaman Ginko biloba) (CAMAG, 2010)
2.1.5.2. Hesperidin Hesperidin merupakan senyawa identitas dari kulit buah jeruk nipis (Kemenkes RI, 2011). Hesperidin adalah senyawa flavonoid golongan flavanon glikosida. Hesperidin memiliki nama lain hesperetin 7-O-rutinosida dengan rumus molekul C28H34O15 dan berat molekul 610,57 (Harborne et al., 1999). Struktur hesperidin terdapat pada gambar 2.4.
Gambar 2.4. Struktur kimia hesperidin (Kemenkes RI, 2011)
Hesperidin memiliki pola spektrum dengan dua puncak yaitu puncak II pada panjang gelombang 284 nm dan puncak pita I pada panjang gelombang 326 nm (Gattuso et al., 2007). Spektrum hesperidin terdapat pada gambar 2.5.
10
Gambar 2.5. Spektrum hesperidin pada rentang panjang gelombang 200-380nm (Gattuso et al., 2007)
2.1.6. Pola kromatografi Berdasarkan FHI, pola kromatografi kulit buah jeruk nipis dengan metode KLT dapat dilakukan dengan parameter sebagai berikut: Fase gerak
: Etil asetat : asam format : air (100:15:17)
Fase diam
: Silika gel 60 F254
Volume penotolan : Totolkan 10 µL larutan uji Deteksi
: Pereaksi sitroborat, panaskan lempeng pada suhu 100°C selama 5-10 menit dan UV366 (Kemenkes RI, 2011)
Rutin digunakan sebagai pembanding KLT ekstrak kulit buah jeruk nipis. Rutin memiliki nilai Rf 0,68 dan pola KLT ekstrak kulit buah jeruk nipis terdapat pada gambar 2.6.
11
Gambar 2.6. Pola KLT kulit buah jeruk nipis (keterangan: s:sampel, p:pembanding; 1: Rf 0,09; 2: Rf 0,18; 3: Rf 0,68; 4: Rf 0,74; 5: Rf 0,78; 6: Rf 0,86) (Kemenkes RI, 2011)
2.2. Ekstraksi Ekstraksi merupakan teknik pemisahan suatu zat dari campurannya dengan menggunakan pelarut yang sesuai (Kristanti dkk, 2008). Prinsip ekstraksi adalah melarutkan senyawa polar dalam pelarut polar dan senyawa non polar dalam pelarut non polar (like dissolves likes) (Depkes RI, 2000). Salah satu metode ekstraksi adalah ekstraksi dengan bantuan sonikasi. Sonikasi memanfaatkan energi gelombang yang menyebabkan proses kavitasi, yaitu proses pembentukan gelembung-gelembung kecil akibat adanya transmisi gelombang ultrasonik untuk membantu difusi pelarut ke dalam dinding sel tanaman. Hal ini menyebabkan proses perpindahan massa senyawa bioaktif dari dalam sel tanaman ke pelarut menjadi lebih cepat (Ashley et al., 2001).
2.3. Kromatografi Sidik Jari Kromatografi sidik jari adalah metode yang digunakan untuk identifikasi dan kuantifikasi senyawa aktif dalam bahan tanaman herbal. Di negara maju,
12
kromatografi sidik jari telah banyak digunakan sebagai metode standardisasi dalam upaya sebagai kontrol kualitas suatu bahan dan atau produk herbal (Giri et al, 2010). Kromatografi sidik jari mencirikan pola kimia yang terdiri dari puncakpuncak yang terdeteksi oleh instrumen saat dianalisis. Pola tersebut menyajikan komposisi yang unik dari sampel dalam suatu bentuk kromatogram. Profil kromatografi yang tersedia harus mengandung beberapa informasi penting tentang produk herbal tersebut seperti kejelasan, kesamaan, atau perbedaan dengan senyawa pembanding dari produk herbal yang diteliti. (MacLennan et al., 2002). Kesamaan kromatografi sidik jari dinyatakan dalam fungsi kosinus, faktor similiritas, dan koefisien korelasi (Goodarzi et al., 2013). Berdasarkan hal tersebut dapat ditetapkan bahwa sampel dengan pola kimia yang sama mungkin memiliki sifat yang mirip (Luo et al., 2003). Kromatografi sidik jari yang diperoleh sangat tergantung pada derajat pemisahan kromatografi dan distribusi konsentrasi setiap komponen kimia penyusunnya (Mendes, 2013). Beberapa teknik kromatografi yang umum digunakan dalam kromatografi sidik jari seperti Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT), Kromatografi Gas (KG), Elektroforesis Kapiler dan Kromatografi Lapis Tipis (KLT) (Liang et al., 2004).
2.4. KLT-Spektrofotodensitometri Metode sederhana yang dapat digunakan untuk mendapatkan fingerprint suatu sampel adalah Kromatografi Lapis Tipis (KLT). KLT adalah metode standar yang digunakan hampir di semua farmakope dalam identifikasi herbal (Srivastava,
13
2011). Prinsip KLT adalah suatu pemisahan campuran karena adanya pergerakan fase gerak melewati permukaan datar dimana komponen-komponen dalam suatu campuran akan bermigrasi dengan kecepatan yang berbeda-beda tergantung dari derajat kelarutan, adsorpsi, ukuran molekul, muatan dan elusi (Fifield and Kealey, 2000). Spektrofotodensitometri merupakan metode yang umum digunakan untuk mendapatkan infomasi pada setiap noda pada KLT. Spektrofotodensitometri adalah metode analisis instrumental yang berdasarkan interaksi antara radiasi elektromagnetik dari sinar UV-Visibel dengan analit yang terdapat pada plat sebagai spot atau noda plat. Radiasi elektromagnetik yang datang menuju plat diabsorpsi oleh analit kemudian ditransmisi atau diteruskan. Detektor akan memberikan respon terhadap konsentrasi analit dari noda-noda pada plat setelah pemisahan. Sinyal yang didapat kemudian diplot sebagai sebuah fungsi dari jarak yang ditempuh analit dan konsentrasi analit sehingga didapatkan suatu rangkaian puncak-puncak yang disebut kromatogram (Skoog and West, 1980). Beberapa
keunggulan
metode
KLT
dengan
kombinasi
spektrofotodensitometri dibandingkan dengan metode Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) maupun Kromatografi Gas (KG), diantaranya adalah: 1. Cepat, karena penggunaannya biasanya tidak membutuhkan preparasi khusus. 2. Dapat digunakan untuk analisis sampel dengan jumlah mencapai 30 sampel pada satu plat dan dapat memisahkan sampel-sampel tersebut secara bersamaan.
14
3. Adanya instrumen scanning modern yang dikontrol dengan komputer, instrumen aplikasi sampel semi otomatis maupun otomatis, serta instrumen pengembangan dapat membantu memberikan akurasi dan presisi yang setara dengan metode KCKT maupun KG. 4. Terdapat berbagai pilihan pelarut fase gerak untuk memisahkan sampel seperti basa, asam atau organik. 5. Setiap sampel dapat dipisahkan dengan plat baru sehingga dapat menghindari masalah kontaminasi silang sampel dan tidak perlu melakukan regenerasi fase diam. 6. Dalam hal konsumsi pelarut pengembang, metode KLT tergolong hemat, sehingga dapat meminimalkan biaya untuk pembelian pelarut. 7. Kombinasi KLT dengan densitometer adalah dapat dilakukan pengulangan pada tahap pemindaian tanpa mengkhawatirkan gangguan pada proses lanjutan dikarenakan semua proses berjalan secara independen (Sherma and Fried, 1996).
15
2.5. Parameter Kromatografi Dalam suatu sistem kromatografi akan diperoleh data berupa kromatogram. Parameter baik atau tidaknya suatu kromatogram umumnya didasarkan pada beberapa faktor diantaranya adalah daya pisah atau resolusi (Rs) dan faktor asimetri atau tailling factor (Tf). a. Resolusi (Rs) Untuk hasil pemisahan yang baik, puncak-puncak dalam kromatogram harus terpisah secara sempurna dari puncak lainnya dengan sedikit tumpang tindih (overlapping) atau tidak ada tumpang tindih sama sekali. Tingkat pemisahan antara puncak-puncak kromatografi yang bersebelahan merupakan fungsi jarak antara puncak maksima dan lebar puncak yang berhubungan. Untuk puncak Gaussian, hal ini cukup digambarkan dengan resolusi atau daya pisah puncak (Gandjar dan Rohman, 2007). Rumus untuk menghitung resolusi (Rs) terdapat pada persamaan 1. Harga Rs yang baik adalah lebih besar dari 1,5 (Ahuja dan Dong, 2005). Rs =
.............................................................................................. (1)
b. Faktor Asimetri (Tailling Factor) Dalam kondisi ideal, puncak kromatografi akan memiliki bentuk puncak gaussian yaitu puncak simetri sempurna. Namun, suatu situasi yang menunjukkan kinerja kromatografi yang kurang baik adalah ketika ditemukan suatu puncak yang mengalami pengekoran (tailing) sehingga menyebabkan
16
puncak tidak simetris. Contoh puncak asimetri dapat dilihat pada gambar 2.7 dan rumus untuk menghitung Tailling factor (Tf) terdapat pada persamaan 2.
Gambar 2.7 Perhitungan Tailling factor (Tf) (Ahuja and Dong, 2005).
Tailling factor (Tf) adalah ukuran dari puncak asimetri. Dalam perhitungan digunakan lebar puncak pada ketinggian puncak 5% (W0,05). Tailling factor untuk sebagian besar puncak harus jatuh antara 0,9 dan 1,4, dengan nilai 1,0 mengindikasikan puncak simetris sempurna. Puncak tailing biasanya disebabkan oleh adsorpsi atau interaksi kuat dari analit lain dengan fase diam, kehadiran puncak sementara sepertinya dapat disebabkan oleh overloading kolom, reaksi kimia atau isomerisasi selama proses kromatografi. Peningkatan puncak yang asimetri akan menyebabkan penurunan resolusi, batas deteksi, dan presisi (Ahuja dan Dong, 2005).
17
2.6. Analisis Data dengan Fungsi Korelasi Silang Dalam membandingkan bentuk spektrum suatu senyawa dalam sampel digunakan analisis fungsi korelasi silang “cross correlation function”. Rumus untuk mencari nilai koefisien korelasi (r) terdapat pada persamaan 3. ………………………………………………………....................(3)
Dimana xi dan yi adalah harga absorban unit dari dua spektrum yang dibandingkan pada suatu panjang gelombang, penjumlahan dilakukan pada rentang panjang gelombang yang sesuai dengan analit (Harmita, 2004).
2.7. Analisis Data dengan Fungsi Kosinus Fungsi kosinus ditentukan untuk menyatakan hubungan kedekatan antara dua vektor dalam hal ini adalah hubungan kedekatan antara dua buah sampel. Fungsi kosinus ini diterapkan dalam kromatografi fingerprint untuk menentukan hubungan kedekatan sampel satu dengan sampel lainnya. Nilai korelasi antara dua kromatogram dapat dihitung dengan rumus pada persamaan 4. ………………..................…………(4)
Dimana a1, a2, a3, …, an menyatakan besaran atau nilai dari variabel 1 – n untuk kromatogram a, dan b1, b2, …, bn menyatakan besaran variable 1 – n untuk kromatogram b. Fungsi kosinus memiliki keuntungan yaitu mudah memproses hasil dari perhitungan dan memberikan nilai data tunggal dibandingkan nilai hasil grafik. Pada fungsi kosinus, dua kromatogram yang dibandingkan merupakan dua
18
vektor yang akan membentuk sudut. Hasil perhitungan fungsi cosinus ini secara langsung akan menunjukkan hubungan antara suatu sampel dengan sampel yang lainnya Semakin kecil sudut vektor dua kromatogram, maka semakin dekat hubungan dua kromatogram yang dibandingkan (Esseiva et al., 2003).