BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kesehatan Lingkungan dan Ruang lingkup Kesehatan Lingkungan Menurut Achmadi (1991) dalam Bapelkes Cikarang (2011), kesehatan lingkungan pada hakikatnya adalah suatau kondisi atau keadaan lingkungan yang optimum sehingga berpengaruh positif terhadap terwujudnya status kesehatan yang optimum pula. Ruang lingkup kesehatan lingkungan tersebut antara lain mencakup: perumahan, pembuangan kotoran manusia (tinja), penyediaan air bersih, pembuangan sampah, pembungan air kotor (air limbah), rumah hewan ternak (kandang) dan sebagainya. Adapun yang dimaksud dengan usaha kesehatan lingkungan adalah suatu usaha untuk memperbaiki atau mengoptimumkan lingkungan hidup manusia agar merupakan media yang baik untuk terwujudnya kesehatan yang optimum bagi manusia yang hidup di dalamnya. 2.2. Sanitasi Lingkungan Sanitasi adalah bagian dari ilmu kesehatan lingkungan yang meliputi cara dan usaha individu atau masyarakat untuk mengontrol dan mengendalikan lingkungan hidup eksternal yang berbahaya bagi kesehatan serta yang dapat mengancam kelangsungan hidup manusia (Chandra, 2007). Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di sekitar manusia, baik berupa benda hidup, benda mati, benda nyata atau abstrak, termasuk manusia lainnya serta suasana yang terbentuk karena terjadinya interaksi antara elemen-elemen yang ada di alam (Slamet, 1994). Sanitasi lingkungan adalah pengawasan lingkungan fisik, biologis, sosial dan ekonomi yang mempengaruhi kesehatan manusia, dimana lingkungan yang berguna ditingkatkan
Universitas Sumatera Utara
dan diperbanyak sedangkan yang merugikan diperbaiki atau dihilangkan (Entjang, 2000). Sanitasi merupakan cara untuk mencegah kontak antara manusia daripada bahaya bahan buangan untuk mempromosikan kesehatan. Bahaya ini mungkin bisa terjadi dari segi fisik, mikrobiologi dan agen-agen kimia bagi penyakit terkait. Bahan buangan yang dapat menyebabkan masalah kesehatan terdiri dari tinja manusia atau binatang, sisa bahan buangan padat, air bahan buangan domestik (cucian, air seni, bahan buangan mandi atau cucian), bahan buangan industri dan bahan buangan pertanian. Cara pencegahan bersih dapat dilakukan dengan menggunakan solusi teknis (contohnya perawatan cucian dan sisa cairan buangan), teknologi sederhana (contohnya kakus, tangki septik), atau praktek kebersihan pribadi (contohnya membasuh tangan dengan sabun) (Surotinojo, 2009). Sarana/fasilitas Sanitasi Umum adalah fasilitas Penyehatan Lingkungan Pemukiman (PLP) yang dapat berupa MCK, jamban Jamak, jamban sekolah termasuk bangunan atas dan bangunan bawah. Sedangkan pekerjaan sanitasi meliputi pembangunan fasilitas; penyediaan air minum, penanganan ke-PLP-an (seperti :drainase, air limbah dan persampahan) dan perumahan yang sehat (Surotinojo, 2009). 2.3. Pengertian MCK Komunal/Umum MCK singkatan dari Mandi, Cuci, Kakus adalah salah satu sarana fasilitas umum yang digunakan bersama oleh beberapa keluarga untuk keperluan mandi, mencuci, dan buang air di lokasi permukiman tertentu yang dinilai berpenduduk cukup padat dan tingkat kemampuan ekonomi rendah (Pengembangan Prasarana
Universitas Sumatera Utara
Perdesaan (P2D) (2002) dalam (Proyek Rehabilitasi dan Rekonstruksi Masyarakat dan Permukiman Berbasis Komunitas – Java Reconstruction Fund (2010)). MCK komunal/umum adalah sarana umum yang digunakan bersama oleh beberapa keluarga untuk mandi, mencuci dan buang air di lokasi pemukiman yang berpenduduk dengan kepadatan sedang sampai tinggi (300-500 orang/Ha) (Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman (2001) dalam (Proyek Rehabilitasi dan Rekonstruksi
Masyarakat
dan
Permukiman
Berbasis
Komunitas
–
Java
Reconstruction Fund (2010)). 2.3.1. Jenis MCK Komunal/Umum Jenis MCK Komunal dibagi menjadi 2 (dua) terkait dengan fungsinya pelayanannya yaitu: (Proyek Rehabilitasi dan Rekonstruksi Masyarakat dan Permukiman Berbasis Komunitas – Java Reconstruction Fund, 2010) 1. MCK lapangan evakuasi/penampungan pengungsi. MCK ini berfungsi untuk melayani para pengungsi yang mengungsi akibat terjadi bencana, sehingga lokasinya harus berada tidak jauh dari lokasi pengungsian (dalam radius +/50 m dari lapangan evakuasi). Bangunan MCK dibuat Typical untuk kebutuhan 50 orang, dengan pertimbangan disediakan lahan untuk portable MCK. 2. MCK untuk penyehatan lingkungan pemukiman. MCK ini berfungsi untuk melayani masyarakat kurang mampu yang tidak memiliki tempat mandi, cuci dan kakus pribadi, sehingga memiliki kebiasaan yang dianggap kurang sehat dalam melakukan kebutuhan mandi, cuci dan buang airnya. Lokasi MCK jenis ini idealnya harus ditengah para penggunanya/ pemanfaatnya dengan radius
Universitas Sumatera Utara
50 – 100m dari rumah penduduk dan luas daerah pelayanan maksimum untuk 1 MCK adalah 3 ha. Disain MCK sangat tekait dengan kebiasaan atau budaya masyarakat setempat sehingga disain tersebut perlu dimusyawarahkan dengan masyarakat pengguna dengan tetap menjaga kaidah kaidah MCK yang sehat. 2.3.2. Komponen MCK (Mandi, Cuci, Kakus) Komunal/Umum Komponen MCK terdiri dari bilik MCK (bilik untuk mandi, cuci dan keperluan buang air besar atau kakus), pengolahan limbah yang terdiri dari tangki septik, anaerobik bafel reaktor, resapan, dan lahan basah buatan. Selain itu, komponen MCK juga terdiri dari sumber air bersih (termasuk water toren), dan utilitas pelengkap seperti listrik untuk penerangan dan kebutuhan pompa listrik serta drainase air bekas mandi dan cuci. Pada kondisi tertentu MCK bisa diberi pagar (Proyek Rehabilitasi dan Rekonstruksi Masyarakat dan Permukiman Berbasis Komunitas – Java Reconstruction Fund, 2010). 2.3.2.1. Bilik/Ruangan MCK Komunal/Umum Disain bilik/ruang MCK dilaksanakan dengan mempertimbangkan kebiasaan dan budaya masyarakat penggunanya sehingga perlu dimusyawarahkan. Hal tersebut biasanya terkait dengan antara lain tata letak, pemisahan pengguna laki laki dan perempuan, jenis jamban dan lain lain. Perlu dipertimbangkan disain untuk pengguna yang menggunakan kursi roda (defabel) (Proyek Rehabilitasi dan Rekonstruksi Masyarakat dan Permukiman Berbasis Komunitas – Java Reconstruction Fund, 2010). Untuk kapasitas pelayanan, semua ruangan dalam satu kesatuan dapat menampung pelayanan pada waktu (jam-jam) paling sibuk dan banyaknya ruangan
Universitas Sumatera Utara
pada setiap satu kesatuan MCK untuk jumlah pemakai tertentu tercantum dalam tabel dibawah . Tabel 2.1 Jumlah Pengguna MCK dan Banyaknya Bilik yang Diperlukan Jumlah Bilik/ Ruangan Mandi Cuci Kakus 10 – 20 2 1 2 21 – 40 2 2 2 41 – 80 2 3 4 81 – 100 2 4 4 101 – 120 4 5 4 121 – 160 4 5 6 161 – 200 4 6 6 Sumber: Tata Cara Perencanaan Bangunan MCK komunal/umum -SNI 03 - 2399 2002 Catatan : Jumlah Pemakai
Jumlah bilik untuk mandi dan kakus bisa digabungkan menjadi satu dan didiskusikan dengan warga pemakai. Tempat cuci dalam kondisi lahan terbatas, dapat ditempatkan di dekat sumur dengan memperhitungkan rembesan air limbah cucian tidak kembali masuk ke sumur. 1. Kamar Mandi Meliputi lantai luasnya minimal 1,2 m2 (1,0 m x 1,2 m) dan dibuat tidak licin dengan kemiringan kearah lubang tempat pembuangan kurang lebih 1 %. Pintu, ukuran: lebar 0,6 - 0,8 m dan tinggi minimal 1,8 m, untuk pengguna kursi roda (defabel) digunakan lebar pintu yang sesuai dengan lebar kursi roda. Bak mandi / bak penampung air untuk mandi dilengkapi gayung. Bilik harus diberi atap dan plafond yang bebas dari material asbes (Proyek Rehabilitasi dan Rekonstruksi Masyarakat dan Permukiman Berbasis Komunitas – Java Reconstruction Fund, 2008).
Universitas Sumatera Utara
2. Sarana Tempat Cuci Luas lantai minimal 2,40 m2 (1,20 m x 2,0 m) dan dibuat tidak licin dengan kemiringan kearah lubang tempat pembuangan kurang lebih 1 %. Tempat menggilas pakaian dilakukan dengan jongkok atau berdiri, tinggi tempat menggilas pakaian dengan cara berdiri 0,75 m di atas lantai dengan ukuran sekurang-kurangnya 0,60 m x 0,80 m (Proyek Rehabilitasi dan Rekonstruksi Masyarakat dan Permukiman Berbasis Komunitas – Java Reconstruction Fund, 2008). 3. Kakus/Jamban a. Pengertian Jamban Jamban sehat adalah fasilitas pembuangan tinja yang efektif untuk memutus mata rantai penularan penyakit
(KEPMENKES RI Nomor.
852/MENKES/SK/IX/2008). Setiap jamban melayani 6 KK (25 orang) dan satu unit MCK Plus++ dapat melayani 100-200 KK. Tipe jamban untuk fasilitas sanitasi MCK Plus++ ini adalah jamban leher angsa (Kementerian Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal Cipta Karya, 2010). Jamban dapat dibedakan atas beberapa macam, yaitu : (Azwar, 1996) 1. Jamban cubluk (pit privy) adalah jamban yang tempat penampungan tinjanya dibangun dekat di bawah tempat injakan, dan atau di bawah bangunan jamban. Jamban model ini ada yang mengandung air berupa sumur-sumur yang banyak ditemui di pedesaan di Indonesia, ataupun yang tidak mengandung air seperti kaleng, tong, lubang tanah yang tidak berair
Universitas Sumatera Utara
(the earth pit privy) ataupun lubang bor yang tidak berair (the bored-hole latrine). 2. Jamban empang (overhung Latrine) adalah jamban yang dibangun diatas empang, sungai ataupun rawa. Jamban model ini ada yang kotorannya tersebar begitu saja, yang biasanya dipakai untuk makanan ikan, atau ada yang dikumpulkan memakai saluran khusus yang kemudian diberi pembatas, berupa bambu, kayu dan lain sebagainya yang ditanamkan melingkar di tengah empang, sungai ataupun rawa. 3. Jamban kimia (chemical toilet) adalah jamban model yang dibangun pada tempat-tempat rekreasi, pada alat transportasi dan lain sebagainya. Pada model ini, tinja disenfeksi dengan zat-zat kimia seperti caustic soda dan sebagai pembersihnya dipakai kertas (toilet paper). Ada dua macam jamban kimia, yakni : a) Tipe lemari (commode type) Pada tipe ini terbagi lagi menjadi ruang-ruang kecil, seperti pada lemari. b) Tipe tangki (tank type) Pada tipe ini tidak terdapat pembagian ruangan atau dengan kata lain hanya terdiri dari satu ruang. 4. Jamban dengan “angsa trine” adalah jamban dimana leher lubang closet berbentuk lengkungan; dengan demikian akan selalu terisi air yang penting untuk mencegah bau serta masuknya binatang-binatang kecil. Jamban model ini biasanya dilengkapi dengan lubang atau sumur penampung dan lubang atau sumur rembesan yang disebut septic tank.
Universitas Sumatera Utara
Jamban model ini adalah yang terbaik, yang dianjurkan dalam kesehatan lingkungan. b. Syarat-Syarat Jamban Menurut Depkes RI (2004) dalam Kesehatan Lingkungan (2012), jamban keluarga sehat adalah jamban yang memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : 1. Tidak mencemari sumber air minum, letak lubang penampung berjarak 10-15 meter dari sumber air bersih, 2. Tidak berbau dan tinja tidak dapat dijamah oleh serangga maupun tikus, 3. Cukup luas dan landai/miring ke arah lubang jongkok sehingga tidak mencemari tanah sekitarnya, 4. Mudah dibersihkan dan aman penggunaannya, 5. Dilengkapi dinding dan atap pelindung dinding kedap air dan berwarna, 6. Cukup penerangan, 7. Lantai kedap air, 8. Ventilasi cukup baik, 9. Tersedia air dan alat pembersih. Menurut Chandra (2007), jarak aman antara lubang kakus dengan sumber air minum dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain : 1. Faktor hidrobiologi Faktor yang dipengaruhi oleh kedalaman air tanah, arah dan kecepatan aliran tanah, serta lapisan tanah yang berbatu dan berpasir memerlukan jarak yang lebih jauh dibandingkan dengan jarak yang diperlukan untuk daerah yang lapisan tanahnya terbentuk dari tanah liat.
Universitas Sumatera Utara
2. Topografi tanah Topografi tanah dipengaruhi oleh kondisi permukaan tanah dan sudut kemiringan tanah. 3. Metereologi Di daerah yang curah hujannya tinggi, jarak sumur harus lebih jauh dari kakus. 4. Jenis mikroorganisme Bakteri patogen lebih tahan pada tanah basah dan lembab. Cacing dapat bertahan pada tanah yang lembab dan basah selama 5 bulan, sedangkan pada tanah yang kering hanya dapat bertahan selama 1 bulan. 5. Kebudayaan Terdapat kebiasaan masyarakat yang membuat sumur tanpa dilengkapi dengan dinding sumur. 6. Frekuensi pemompaan Akibat makin banyaknya air sumur yang diambil untuk keperluan orang banyak, laju aliran air tanah menjadi lebih cepat untuk mengisi kekosongan. c. Manfaat dan Fungsi Jamban Jamban berfungsi sebagai pengisolasi tinja dari lingkungan. Jamban yang baik dan memenuhi syarat kesehatan akan menjamin beberapa hal, yaitu : 1. Melindungi kesehatan masyarakat dari penyakit, 2. Melindungi dari gangguan estetika, bau dan penggunaan sarana yang aman,
Universitas Sumatera Utara
3. Bukan tempat berkembangbiakan serangga sebagai vektor penyakit, 4. Melindungi pencemaran pada penyediaan air bersih dan lingkungan. 2.3.2.2. Pengolahan Limbah (Tangki Septik) Air limbah (wastewater) adalah kotoran dari masyarakat dan rumah tangga dan juga yang berasal dari industri, air tanah, air permukaan serta buangan lainnya. Sumber asal air limbah berasal dari air limbah rumah tangga, air limbah industri, dan air limbah rembesan serta tambahan (Sugiharto, 2008). Air limbah domestik merupakan air limbah yang berasal dari usaha dan atau kegiatan permukiman, rumah makan (restauran), perkantoran, perniagaan, apartemen dan asrama (Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 112 Tahun 2003). Air limbah ini berasal dari pembuangan air kotor dari kamar mandi, kakus, dan dapur (Mukono, 2000). Air limbah domestik mengandung bahan organik tinggi dan bakteri yang berbahaya bagi kehidupan. Apabila meresap ke dalam tanah atau masuk ke dalam sungai, maka unsur tersebut akan mencemari air tanah dan lingkungan. Oleh karena itu, sebelum air limbah dialirkan ke sungai atau meresap ke dalam tanah perlu diolah terlebih dahulu. Lebih kurang 80% dari air yang digunakan oleh manusia untuk aktivitas sehari-hari akan dibuang lagi dalam bentuk yang sudah kotor dan tercemar. Ditinjau dari sudut kesehatan lingkungan dan keindahan masalah pembuangan air limbah ini perlu mendapat perhatian, baik itu pembuangan air limbah di desa maupun di kota (Yuliarsih, 2002).Termasuk di dalamnya limbah cair berupa ekskreta manusia (human excreta yang terdiri atas feses dan urine) yang merupakan hasil akhir dari proses yang berlangsung dalam tubuh manusia yang menyebabkan pemisahan
Universitas Sumatera Utara
dan pembuangan zat-zat yang tidak dibutuhkan oleh tubuh. Zat-zat yang tidak dibutuhkan tersebut berbentuk tinja dan air seni (urine) (Chandra, 2007). Menurut Chandra (2007), ditinjau dari sudut kesehatan lingkungan, kedua jenis kotoran manusia tersebut dapat menjadi masalah yang sangat penting. Pembuangan tinja secara tidak baik dan sembarangan dapat mengakibatkan kontaminasi pada air, tanah, atau menjadi sumber infeksi, dan akan mendatangkan bahaya bagi kesehatan, karena penyakit yang tergolong waterborne disease akan mudah berjangkit. Bahaya terhadap kesehatan yang dapat ditimbulkan akibat pembuangan kotoran secara tidak baik adalah pencemaran tanah, pencemaran air, kontaminasi makanan, dan perkembangbiakan lalat. Sementara itu, penyakit-penyakit yang dapat terjadi akibat keadaan di atas, antara lain, tifoid, paratifoid, disentri, diare, kolera, penyakit cacing, hepatitis viral, dan beberapa penyakit infeksi gastrointestinal lain, serta infestasi parasit lain. Selain itu, kotoran dari manusia yang sakit atau sebagai carrier dari suatu penyakit dapat menjadi sumber infeksi. Kotoran tersebut mengandung agens penyakit yang dapat ditularkan pada pejamu baru dengan perantara lalat (Chandra, 2007). Adapun tujuan pengaturan pembuangan air limbah ini adalah sebagai berikut (Yuliarsih, 2002). 1. Untuk mencegah pengotoran air permukaan, misalnya pencemaran sungai dan danau. 2. Perlindungan terhadap ikan-ikan dan tumbuh-tumbuhan yang hidup dan berada di dalam air.
Universitas Sumatera Utara
3. Perlindungan air dalam tanah, yaitu mencegah perembesan limbah ke dalam tanah. 4. Menghilangkan bibit penyakit dan vektor penyebar penyakit (nyamuk, lalat, kecoa, dan lain-lain. 5. Menghilangkan dan menghindari terjadinya bau-bauan dan pemandangan yang tidak enak. Untuk menghindari hal-hal tersebut dan demi terciptanya kehidupan masyarakat yang sehat serta lingkungan yang nyaman, diperlukan metode untuk menangani pembuangan air limbah tersebut. Sistem pengelolaan ekskreta manusia dapat dilakukan dalam (Khadijah, 2011): 1. Sistem penanganan terpusat (off-site), yaitu ekskreta manusia (umumnya bersama limbah cair rumah tangga lainnya) dialirkan ke dalam bak kontrol, masuk ke jaringan drainase, kemudian ke dalam instalasi pengolahan limbah cair (IPLC) dan dilepas ke sumber air baku. 2. Sistem penanganan setempat (on-site), yaitu hasil buangan dari daerah pemukiman/ tempat rekreasi/ perkantoran dialirkan ke tangki septik dan bidang resapan individual atau tangki septik bidang resapan komensal, kemudian diangkut dengan truk tinja, dibawa ke instalasi pengolahan lumpur tinja (IPLT).
Universitas Sumatera Utara
Cara-cara pembuangan air limbah adalah sebagai berikut (Yuliarsih, 2002). 1. Dilution (dengan pengenceran) Yang dimaksud dengan dilution adalah mengencerkan air limbah lebih dulu sebelum dibuang ke badan-badan air, misalnya sungai, danau, dan rawa. 2. Irigasi luas Cara ini pada umumnya digunakan di pedesaan atau di luar kota karena memerlukan tanah yang luas. Air limbah dialirkan ke dalam parit-parit terbuka yang digali pada sebidang tanah dan air merembes masuk ke dalam tanah. 3. Septic tank Cara ini merupakan cara terbaik yang dianjurkan oleh WHO, tetapi biayanya mahal. Selain itu juga rumit dan memerlukan tanah yang luas. Septic tank memiliki 4 bagian, yaitu ruang pembusukan, ruang lumpur, dosing chamber, dan bidang resapan. 4. Sistem Riol Yang dimaksud dengan sistem riol adalah cara pembuangan air limbah yang digunakan di kota-kota besar karena sudah direncanakan sesuai dengan pembangunan kota. Semua air buangan dari rumah tangga dan industri dialirkan ke riol.
Universitas Sumatera Utara
2.3.2.3. Penyediaan Air Bersih Tujuan penyediaan air bersih adalah membantu penyediaan yang memenuhi syarat kesehatan dan pengawasan kualitas air bagi seluruh masyarakat baik yang tinggal diperkotaan maupun dipedesaan serta meningkatkan kemampuan masyarakat untuk penyediaan dan pemanfaatan air bersih. Air bersih yang digunakan selain harus mencukupi dalam arti kuantitas untuk kehidupan sehari-hari juga harus memenuhi persyaratan kualitas fisik, kimia, mikrobiologi dan radioaktif. Persyaratan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Kesehatan No.416 Tahun 1990 dan Keputusan Menteri Kesehatan No.907 Tahun 2002. Penyediaan air bersih harus memenuhi syarat kesehatan, diantaranya parameter fisik, parameter kimia, parameter biologi, dan parameter radiologi. Air bersih untuk MCK komunal bisa berasal dari sambungan air bersih PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum), air tanah yaitu sumber air bersih yang berasal dan air tanah, lokasinya minimal 11 m dari sumber pengotoran sumber air bersih. Pengambilan air tanah dapat berupa sumur bor yaitu sekeliling sumur harus terbuat dan bahan kedap air selebar minimal 1,20 m dan pipa selubung sumur harus terbuat dari lantai kedap air sampai kedalaman minimal 2,00 m dari permukaan lantai serta sumur gali yaitu sekeliling sumur harus terbuat dari lantai rapat air selebar minimal 1,20 m dan dindingnya harus terbuat dari konstruksi yang aman, kuat dan kedap air sampai ketinggian ke atas 0,75 m dan ke bawah minimal 3,00 m dari permukaan lantai. Selain itu air bersih juga bisa berasal dari air hujan dimana bagi daerah yang curah hujannya di atas 1300 mm/tahun dapat dibuat bak penampung air hujan serta berasal dari sumber mata air yang dilengkapi dengan bangunan penangkap air.
Universitas Sumatera Utara
Besarnya kebutuhan air untuk MCK berbeda-beda berdasarkan kegiatannya yakni, minimal 20 Liter/orang/hari untuk mandi, minimal 15 liter/orang/hari untuk cuci, dan minimal 10 liter/orang/hari untuk kakus (Proyek Rehabilitasi dan Rekonstruksi
Masyarakat
dan
Permukiman
Berbasis
Komunitas
–
Java
Reconstruction Fund, 2010). 2.3.2.4. Utilitas Lain-lain 1. Penyaluran Air Bekas Air bekas cuci dan mandi bisa dibuang langsung ke saluran drainase namun jika tidak terdapat saluran drainase yang relatif dekat maka air bekas dialirkan ke tangki septik atau dibuat peresapan tersendiri (Proyek Rehabilitasi dan Rekonstruksi Masyarakat dan Permukiman Berbasis Komunitas – Java Reconstruction Fund, 2010). 2. Penyediaan Tenaga Listrik Listrik untuk penggerak pompa air dan penerangan harus diadakan tersendiri bukan tergabung dengan sambungan milik pihak lain untuk menghindarkan kerancuan perhitungan biayanya (tergantung kondisi dan didiskusikan dengan warga). Listrik harus berasal dari sumber PLN dan dari golongan tarif sosial agar tidak membebani pengguna yang rata-rata kurang mampu dengan biaya yang dianggap terlalu tinggi (Proyek Rehabilitasi dan Rekonstruksi Masyarakat dan Permukiman Berbasis Komunitas – Java Reconstruction Fund, 2010).
Universitas Sumatera Utara
2.4. Fasilitas Sanitasi MCK Plus++ Pada dasarnya baik MCK umum dan MCK Plus++ memiliki pengertian yang sama dimana MCK komunal/umum adalah sarana umum yang digunakan bersama oleh beberapa keluarga untuk mandi, mencuci dan buang air di lokasi pemukiman yang berpenduduk dengan kepadatan sedang sampai tinggi (300-500 orang/Ha) (Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman (2001) dalam Proyek Rehabilitasi dan Rekonstruksi Masyarakat dan Permukiman Berbasis Komunitas – Java Reconstruction Fund (2010)). Ditambahi dengan kata Plus++ adalah karena limbah padat/ tinja dapat diolah menjadi biogas di lokasi tersebut (biodigester) dan limbah cairnya diendapkan di settler-settler terlebih dahulu sebelum dibuang ke badan air sehingga ramah lingkungan menurut Dinas Pekerjaan Umum Kota Tanjung Balai. Adapun komponen Pengolahan air limbah pada MCK Plus++ menurut Kementerian Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal Cipta Karya (2010) adalah sebagai berikut. 1. Tangki Septik Bersama Air limbah dialirkan melalui pipa ke tangki septik, yang dibangun di bawah tanah. Dalam tangki septik terdapat dua proses pengolahan: pengendapan dan pengapungan. Air limbah yang berada di tengah (bagian bersih) mengalir keluar.
Universitas Sumatera Utara
2. Bio-Digester Menghasilkan biogas, sebagai energi alternatif untuk memasak dan penerangan. Air hasil pengolahan belum efisien tetapi sudah berbau dan tidak terlalu berbahaya. Sesuai untuk limbah WC dan industri tahu/tempe, RPH dan ternak. 3. Baffled Reaktor/Tangki Septik Bersusun Terdiri beberapa bak; bak pertama menguraikan zat yang mudah terurai, bak berikutnya menguraikan yang lebih sulit terurai. 4. Anaerobik Filter atau Tangki Septik Bersusun dengan Filter Pengolahan biologis oleh organisme anaerobik di filter (batu apung atau bioball). 5. Komponen Pembuangan/Pemanfaatan Ulang (Dibuang ke Sungai). Air limbah dapat dibuang ke sungai jika air tersebut telah memenuhi beberapa syarat yang ditetapkan. Pengolahan air limbah harus efisien supaya air limbah yang dibuang tidak mencemari badan air (sungai). 6. Pengurasan dengan Truk Tinja Jika lumpur tidak diolah setempat, maka harus dikeluarkan dan dibuang dengan bantuan jasa penguras. Truk penguras sebaiknya terletak tidak lebih dari 50 meter (untuk menyesuaikan panjang selang penguras = 50 m). Truk penguras dihubungkan ke bak pengolah dengan pipa dan pompa sedot. Harus diperhatikan bahwa pengurasan hanya mengambil lumpur "hitam" saja. Pengurasan lumpur dengan truk tinja dilakukan setiap 2 tahun untuk kemudian lumpur diolah di Instalasi Pengolah Lumpur Tinja (IPLT).
Universitas Sumatera Utara
2.4.1. Biogas Menurut Komunitas Mahasiswa Sentra Energi (2009), biogas merupakan gas campuran metana (CH4), karbondioksida (CO2) dan gas lainnya yang didapat dari hasil penguraian material organik seperti kotoran hewan, kotoran manusia, tumbuhan oleh bakteri pengurai metanogen pada sebuah biodigester. Jadi, untuk menghasilkan biogas, dibutuhkan pembangkit biogas yang disebut biodigester. Menurut IndoEnergi (2012), bahan bakar biogas adalah bahan yang mudah terbakar yang dibakar dengan cara yang sama dengan bahan bakar gas cair (LPG), dan karenanya, biogas dapat dimanfaatkan sebagai alternatif bagi bahan bakar fosil. Biogas digunakan untuk memasak, listrik dan keperluan lain. Menurut Polprasert (1985) dalam El Haq dan Soedjono (2009), kandungan biogas tergantung dari beberapa faktor seperti komposisi limbah yang dipakai sebagai bahan baku, beban organik dari digester, dan waktu serta temperatur dari penguraian secara anaerobik. Walaupun terdapat variasi dalam kandungan biogas, dapat diperkirakan bahwa kandungan biogas berkisar pada nilai-nilai di bawah ini: Metana (CH4) = (55-65)% Karbondioksida (CO2) = (35-45)% Nitrogen (N2) = (0-3)% Hidrogen (H2) = (0-1)% Hidrogen Sulfida (H2S) = (0-1)%
Universitas Sumatera Utara
Ada tiga kelompok bakteri yang berperan dalam proses pembentukan biogas, yaitu: -
Kelompok bakteri fermentatif: Steptococci, Bacteriodes, dan beberapa jenis Enterobactericeae
-
Kelompok bakteri asetogenik: Desulfovibrio
-
Kelompok
bakteri
metana:
Mathanobacterium,
Mathanobacillus,
Methanosacaria, dan Methanococcus Bakteri methanogen secara alami dapat diperoleh dari berbagai sumber seperti: air bersih, endapan air laut, sapi, kambing, lumpur (sludge) kotoran anaerob ataupun TPA (Tempat Pembuangan Akhir) (Komunitas Mahasiswa Sentra Energi, 2009) 2.4.2. Biodigester Reaktor biogas merupakan alat yang kedap udara dengan bagian – bagian pokok terdiri atas pencerna (digester), inlet bahan penghasil biogas dan outlet lumpur sisa hasil pencernaan (slurry) dan pipa penyalur biogas yang telah terbentuk. Ada dua jenis digester yang biasa digunakan dilihat dari sisi konstruksinya, yaitu fixed dome dan floating drum (Indartono (2005) dalam El Haq dan Soedjono (2009)). MCK Plus++ menggunakan biodigester jenis fixed dome. Digester fixed dome mewakili konstruksi reaktor yang memiliki volume tetap sehingga produksi biogas akan meningkatkan tekanan di dalam reaktor (Indartono,2005). Biaya yang dikeluarkan sebagai operasional digester fixed dome ini dapat dikatakan rendah, karena digester dengan tipe seperti ini berupa bangunan permanen tidak berkarat dan dapat bertahan sampai 20 tahun. Bangunan ini biasanya terletak di bawah tanah,
Universitas Sumatera Utara
sehingga dapat terhindar dari kerusakan fisik. Selain itu proses pembentukan biogas yang terjadi di dalam tanah dapat terhindar dari suhu rendah pada malam hari, sedangkan pada siang hari sinar matahari dapat meningkatkan proses pembentukan biogas. Digester fixed dome terdiri dari bagian pencerna yang berbentuk kubah tertutup. Di dalam digester terdapat ruang penampung gas dan removal tank. Biogas yang telah terbentuk disimpan dalam penampung gas, sedangkan kotoran yang akan digunakan untuk memproduksi biogas dialirkan menuju removal tank. Tekanan gas di dalam digester akan meningkat seiring dengan meningkatnya volume gas di dalam penampung gas. Kelebihan dari reaktor ini adalah : Biaya perawatan murah. Umur reaktor lama. Lebih stabil dan tidak mudah berkarat. Menghemat tempat karena dibangun dalam tanah sehingga suhu dalam reaktor lebih stabil. Kekurangan dari reaktor ini adalah : Bila terjadi sedikit kebocoran pada reaktor akan mengakibatkan kehilangan gas yang cukup besar sehingga dibutuhkan pembuat reaktor yang telah terlatih. Tekanan gas berfluktuasi tergantung dari gas yang dihasilkan. Suhu dalam reaktor relatif dingin.
Universitas Sumatera Utara
2.4.3. Proses Pembentukan Biogas pada Biodigester Campuran kotoran dan air (yang bercampur dalam inlet atau tangki pencampur) mengalir melalui saluran pipa menuju kubah. Campuran tersebut lalu memproduksi gas setelah melalui proses pencernaan di dalam reaktor. Gas methana yang dihasilkan lalu ditampung di dalam ruang penampung gas (bagian atas kubah). Gas yang dihasilkan di dalam kubah lalu mengalir ke dapur melalui kran control dan pipa distribusi (Biogas Rumah, 2011). Paling tidak ada tiga faktor penting yang memengaruhi proses pembentukan biogas yakni bahan organik masukan (C/N ratio optimum sekitar 25-30 % dan bahan kering sekitar 7-9 %); lingkungan optimal (temperature dalam sumur digester stabil pada kisaran 33-38oC (mesofilik) dan pH sekitar 6,6-7,6 (netral); dan manajemen seperti frekuensi masukan per satuan waktu dan adanya bahan-bahan beracun (Stafford et al. (1978) dan Barnett et al. (1978) dalam Wendrawan (2009)). Menurut Nagamani dan Ramasamy (1999) dalam El Haq dan Soedjono (2009), tinja manusia dapat menghasilkan 28 L/kg biogas. Dengan 1 m3 biogas kita dapat menyalakan lampu 60-100 Watt selama 6 jam, 3 kali memasak untuk 5-6 orang, serta setara dengan listrik sebesar 1,25 kWh (Gladstone, 2006). 2.4.4. Manfaat Biodigester Menurut Komunitas Mahasiswa Sentra Energi (2009), beberapa keuntungan yang dimiliki oleh biodigester bagi rumah tangga dan komunitas antara lain: -
Mengurangi penggunaan bahan bakar lain (minyak tanah, kayu, dsb) oleh rumah tangga atau komunitas
-
Menghasilkan pupuk organik berkualitas tinggi sebagai hasil sampingan
Universitas Sumatera Utara
-
Menjadi metode pengolahan sampah (raw waste) yang baik dan mengurangi pembuangan sampah ke lingkungan (aliran air/sungai)
-
Meningkatkan kualitas udara karena mengurangi asap dan jumlah karbodioksida akibat pembakaran bahan bakar minyak/kayu bakar
-
Secara ekonomi, murah dalam instalasi serta menjadi investasi yang menguntungkan dalam jangka panjang
2.5. Pemukiman Padat Berdasarkan Undang-Undang No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman dalam Gaffar (2010), disebutkan bahwa permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup diluar kawasan hutan lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan maupun pedesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan. Berdasarkan PP No. 80 tahun 1999 tentang kawasan siap bangun dan lingkungan siap bangun berdiri sendiri, rumah layak huni adalah rumah yang memenuhi persyaratan kesehatan, keselamatan dan kenyamanan. Pemukiman padat adalah pemukiman yang berpenduduk dengan kepadatan tinggi yaitu 300-500 orang/Ha. Di dalam program kesehatan lingkungan, suatu pemukiman/perumahan sangat berhubungan dengan kondisi ekonomi, sosial, pendidikan, tradisi/kebiasaan, suku, geografi, dan kondisi lokal. Selain itu, lingkungan perumahan/pemukiman dipengaruhi oleh beberapa faktor yang dapat menentukan kualitas lingkungan perumahan tersebut, antara lain fasilitas pelayanan, perlengkapan, peralatan yang dapat menunjang terselenggaranya kesehatan fisik, kesehatan mental, kesejahteraan sosial bagi individu dan keluarganya (Mukono, 2000).
Universitas Sumatera Utara
American Public Health Association menetapkan pedoman sehat atau tidaknya suatu rumah yang disesuaikan dengan situasi serta kondisi masyarakat Indonesia yaitu : 1. Sistem pengadaan air di rumah tersebut baik atau tidak. 2.
Fasilitas untuk mandi.
3. Sistem pembuangan air bekas. 4. Fasilitas pembuangan tinja. 5. Jumlah anggota keluarga yang tinggal dalam satu ruangan (kamar). Ukuran yang dianggap sehat ialah jika sekurang-kurangnya tersedia 1,2 meter persegi ruangan untuk satu orang. 6. Jendela atau jalan masuk cahaya serta udara (ventilasi). 7. Kekuatan bangunan. Adapun masalah yang dihadapi oleh masyarakat berpenghasilan rendah di pemukiman padat adalah Depkimpraswil (2003) dalam Handayani (2011) : 1. Kelangkaan air bersih dimana air dibeli dengan harga yang mahal untuk mendapatkannya. 2. Air buangan yang langsung dibuang kelingkungan tanpa pengolahan yang memadai sehingga dapat mengakibatkan timbulnya vektor penyakit dan tempat bersarangnya nyamuk. 3. Tidak ada tempat pembuangan tinja manusia yang memadai walaupun ada jumlah sangat terbatas tanpa memperdulikan pengaruh buruk terhadap lingkungan.
Universitas Sumatera Utara
2.6. Masyarakat Pesisir (Nelayan) Masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontiniu dan terikat oleh suatu rasa identitas yang sama Koentjaraningrat (1994) dalam Defenisi Pusat Indonesia (2012). Daerah pesisir didefinisikan sebagai wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang saling berinteraksi, dimana ke arah laut 12 mil dari garis pantai dan sepertiga dari wilayah laut untuk Kabupaten/Kota dan ke arah darat hingga batas administrasi Kabupaten/Kota (Keputusan Menteri Kelautan Dan Perikanan Nomor Kep.10/Men/2002 Tentang Pedoman Umum Perencanaan Pengelolaan Pesisir Terpadu). Masyarakat pesisir adalah sekumpulan masyarakat yang hidup bersama-sama mendiami wilayah pesisir membentuk dan memiliki kebudayaan yang khas terkait dengan ketergantungannya pada pemanfaatan sumber daya pesisir (Satria (2004) dalam Ikhsani (2012)). Masyarakat pesisir pada umumnya telah menjadi bagian masyarakat yang pluraristik tapi masih tetap memiliki jiwa kebersamaan. Artinya bahwa struktur masyarakat pesisir rata-rata merupakan gabungan karakteristik masyarakat perkotaan dan pedesaan. Karena, struktur masyarakat pesisir sangat plurar, sehingga mampu membentuk system dan nilai budaya yang merupakan akulturasi budaya dari masing-masing komponen yang membentuk struktur masyarakatnya (Wahyudin, 2003). Menurut Wahyudin (2003), hal menarik adalah bahwa bagi masyarakat pesisir, hidup di dekat pantai merupakan hal yang paling diinginkan untuk dilakukan mengingat segenap aspek kemudahan dapat mereka peroleh dalam berbagai aktivitas
Universitas Sumatera Utara
kesehariannya. Dua contoh sederhana dari kemudahan-kemudahan tersebut diantaranya : Pertama, bahwa kemudahan aksesibilitas dari dan ke sumber mata pencaharian lebih terjamin, mengingat sebagian masyarakat pesisir menggantungkan kehidupannya pada pemanfaatan potensi perikanan dan laut yang terdapat di sekitarnya, seperti penangkapan ikan, pengumpulan atau budidaya rumput laut, dan sebagainya. Kedua, bahwa mereka lebih mudah mendapatkan kebutuhan akan MCK (mandi, cuci, dan kakus), dimana mereka dapat dengan serta merta menceburkan tubuhnya; mencuci segenap peralatan dan perlengkapan rumah tangga, seperti pakaian, gelas, dan piring; bahkan mereka lebih mudah membuang air (besar maupun kecil). Selain itu, mereka juga dapat dengan mudah membuang limbah domestiknya langsung ke pantai/laut. Masyarakat nelayan pada umumnya adalah gabungan dari masyarakat kota dan desa, sehingga mampu membentuk sistem dan nilai budaya yang merupakan akulturasi dari budaya masing-masing komponen yang membentuk struktur masyarakatnya. Menurut Horton (2003) dalam Gaffar (2010), masyarakat adalah sekumpulan manusia yang secara relatif mandiri, yang hidup bersama-sama cukup lama, yang mendiami suatu wilayah tertentu, memiliki kebudayaan yang sama, dan melakukan sebagian besar kegiatannya dalam kelompok tersebut. Permukiman di lingkungan perairan diartikan sebagai sekelompok rumah tempat tinggal bersama sarana dan prasarana, yang merupakan kesatuan dalam hal keruangan dan berada pada bentang alam dengan hamparan air yang menonjol. Lebih penting lagi adalah penghidupan penghuninya berorientasi kehamparan air itu (Purba (2001) dalam Gaffar (2010)).
Universitas Sumatera Utara
Menurut Purba (2001) dalam Gaffar (2010) mengatakan bahwa masyarakat pesisir dikelompokkan menjadi 3 yaitu : 1. Masyarakat Perairan, kesatuan sosial yang hidup dari sumber daya perairan, cenderung terasing dari kontak dengan masyarakat-masyarakat lain, hidupnya pun lebih banyak berada dilingkungan perairan daripada di darat, dan berpindah-pindah tempat di suatu wilayah (teritorial) perairan tertentu. Kehidupan sosial mereka cenderung bersifat egaliter, dan hidup dalam kelompok-kelompok kekerabatan setingkat klen kecil. 2. Masyarakat nelayan, golongan masyarakat pesisir yang paling banyak memanfaatkan hasil laut dan potensi lingkungan perairan dan pesisir untuk kelangsungan hidupnya. Masyarakat nelayan umumnya bermukim secara tetap di daerah-daerah yang mudah mengalami kontak dengan masyarakat lain. Sistem ekonomi sudah masuk ke sistem perdagangan, karena hasil laut yang mereka peroleh tidak untuk di konsumsi sendiri, tetapi didistribusikan dengan imbal ekonomis kepada pihak-pihak lain. Walaupun demikian, masyarakat nelayan sebenarnya lebih banyak menghabiskan kehidupan sosial budayanya di daratan. 3. Masyarakat pesisir tradisional, masyarakat yang berdiam dekat dengan perairan laut, akan tetapi sedikit sekali menggantungkan kelangsungan hidup dari sumber daya laut. Mereka kebanyakan hidup dari pemanfaatan sumber daya daratan.
Universitas Sumatera Utara
Dari pengelompokkan di atas dapat di tarik suatu kesimpulan bahwa masyarakat nelayan adalah bagian dari masyarakat pesisir yang bermukim secara menetap di lokasi yang dekat dengan laut dan banyak memanfaatkan hasil laut dan potensi lingkungan perairan dan pesisir untuk kelangsungan hidupnya. Ada beberapa ciri masyarakat nelayan menurut Hadi (2000) dalam Gaffar (2010) yaitu kondisi sosial ekonomi yang rendah, pendidikan yang rendah, fasilitas sarana dan prasarana yang masih kurang, hunian liar (squatters) dan kumuh (slum). Teori yang lain diungkapkan oleh Darsef dalam Gaffar (2010) yang mengatakan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi lingkungan wilayah pesisir yaitu: Pertambahan penduduk, kegiatan-kegiatan manusia, pencemaran, sedimentasi, ketersediaan air bersih, dan eksploitasi yang berlebihan terhadap sumber daya alam. Pendapat lain diungkapkan lebih lanjut oleh Dahuri dalam Gaffar (2010) mendefinisikan bahwa gejala kerusakan lingkungan yang mengancam kelestarian sumber daya pesisir meliputi: pencemaran, degradasi fisik habitat, eksploitasi yang berlebihan terhadap sumber daya alam, abrasi pantai, konversi kawasan lindung menjadi peruntukan pembangunan lainnya, dan bencana alam. Pendapat lain disampaikan oleh Departemen Pekerjaan Umum Bidang Cipta karya tentang karakteristik permukiman nelayan dalam Gaffar (2010) adalah : 1. Merupakan Permukiman yang terdiri atas satuan-satuan perumahan yang memiliki berbagai sarana dan prasarana yang mendukung kehidupan dan penghidupan penghuninya. 2. Berdekatan atau berbatasan langsung dengan perairan, dan memiliki akses yang tinggi terhadap kawasan perairan.
Universitas Sumatera Utara
3. 60% dari jumlah penduduk merupakan nelayan, dan pekerjaan lainnya yang terkait dengan pengolahan dan penjualan ikan. 4. Memiliki berbagai sarana yang mendukung kehidupan dan penghidupan penduduknya sebagai nelayan, khususnya dikaitkan dengan kegiatan-kegiatan eksplorasi ikan dan pengolahan ikan. 5. Memiliki berbagai prasarana yang mendukung penghidupan penduduknya sebagai nelayan, khususnya dikaitkan dengan kegiatan-kegiatan eksplorasi ikan dan pengolahan ikan. Dari berbagai parameter tentang permukiman dan karakteristik nelayan dapat dirumuskan bahwa permukiman nelayan merupakan suatu lingkungan masyarakat dengan sarana dan prasarana yang mendukung, dimana masyarakat tersebut mempunyai keterikatan dengan sumber mata pencaharian mereka sebagai nelayan. Selain itu, menurut Amran (2004) dalam Handayani (2011), sanitasi sangat sulit untuk dibangun di daerah pesisir dikarenakan air tanah sangat dangkal terlebih dimusim hujan, sangat menyulitkan dalam membangun struktur bawah tanah dalam situasi seperti ini, daerah pesisir yang sangat rata/datar sehingga sangat sulit mendapatkan aliran gravitasi untuk saluran drainase dan penyaluran air limbah (khususnya sistem terpusat) dan ketersediaan tanah, hampir semua tanah disekitar daerah pemukiman adalah milik pribadi, ini merupakan masalah jika akan membangun fasilitas untuk umum seperti pengolahan limbah komunal.
Universitas Sumatera Utara
2.7. Perilaku Perilaku merupakan faktor terbesar kedua setelah faktor lingkungan yang mempengaruhi kesehatan individu, kelompok, atau masyarakat (Blum, 1974). Oleh sebab itu dalam rangka membina dan meningkatkan kesehatan masyarakat, maka intervensi atau upaya yang ditujukan kepada faktor perilaku ini sangat strategis. Intervensi terhadap faktor perilaku ini secara garis besar dapat dilakukan melalui dua upaya yang saling bertentangan yaitu tekanan atau pendekatan koersi atau paksaan dan edukasi atau ajakan atau himbauan dan sebagainya. Namun dalam rangka pembinaan dan peningkatan perilaku kesehatan masyarakat, tampaknya pendekatan edukasi (pendidikan kesehatan) lebih tepat dibandingkan dengan pendekatan koersi (Notoatmodjo, 2003) Pendidikan kesehatan adalah suatu bentuk intervensi atau upaya yang ditujukan kepada perilaku, agar perilaku tersebut kondusif untuk kesehatan. Agar intervensi atau upaya tersebut efektif, perlu dilakukan diagnosis atau analisis terhadap masalah perilaku tersebut. Teori Bloom dimodifikasi untuk pengukuran hasil pendidikan kesehatan, yakni: a. Pengetahuan (Knowledge) Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi
melalui
pancaindera
manusia,
yakni
indera
penglihatan,
pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan
Universitas Sumatera Utara
seseorang (overt behavior). Pengetahuan yang tercakup dalam kognitif mempunyai 6 tingkatan. 1. Tahu (know) Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Tahu ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. 2. Memahami (comprehension) Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara
benar
tentang
objek
yang
diketahui,
dan
dapat
menginterpretasikan materi tersebut secara benar. 3. Aplikasi (aplication) Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya). Aplikasi di sini dapat diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain. 4. Analisis (analysis) analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain.
Universitas Sumatera Utara
5. Sintesis (synthesis) Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada. 6. Evaluasi (evaluation) Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. b. Sikap (attitude) Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Seperti halnya dengan pengetahuan, sikap ini terdiri dari berbagai tingkatan. 1. Menerima (receiving) Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (objek). 2. Merespon (responding) Memberikan
jawaban
apabila
ditanya,
mengerjakan,
dan
menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. 3. Menghargai (valuing) Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga.
Universitas Sumatera Utara
4. Bertanggung jawab (responsible) Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko merupakan sikap yang paling tinggi. c. Praktek atau Tindakan (practice) Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah fasilitas. Praktek ini mempunyai beberapa tingkatan. 1. Persepsi (perception) Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil adalah merupakan praktek tingkat pertama. 2. Respons terpimpin (guided response) Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai contoh adalah merupakan indikator praktek tingkat dua. 3. Mekanisme (mecanism) Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan, maka ia sudah mencapai praktek tingkat tiga. 4. Adopsi (adoption) Adaptasi adalah suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik. Artinya tindakan itu sudah dimodifikasinya tanpa mengurangi kebenaran tindakan tersebut.
Universitas Sumatera Utara
2.8. Pemanfaatan dan Pemeliharaan Fasilitas MCK Tingkat keberhasilan dari suatu program dapat dilihat dengan cara apabila hasilnya bisa dirasakan dan dimanfaatkan oleh masyarakat serta keberlanjutan program tersebut. Untuk mencapai hal tersebut diperlukan strategi untuk membangun fasilitas yang berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan dalam hal ini adalah upaya sadar dan terencana yang memadukan lingkungan termasuk sumber daya kedalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan akan datang. Dalam hal ini pembangunan tidak hanya melihat individu yang berdiri sendiri saja, tetapi juga memperhatikan dampak pembangunan terhadap kedudukan manusia sebagai mahluk sosial (Sugandhy (2007) dalam Gaffar (2010)). Pembangunan fasilitas sanitasi dapat dikatakan berhasil apabila dalam pemanfaatan dan pemeliharaan fasilitas MCK tersebut tepat sasaran, baik dalam pemanfaatannya maupun keberlanjutan dari pembangunan MCK tersebut (Waspola (2003) dalam Gaffar (2010)). Adapun kriteria keberhasilan dari pembangunan MCK diantaranya yaitu: 1. Masyarakat merasa puas dengan kualitas dan kuantitas dari MCK yang dibangun. 2. MCK yang dibangun tidak terabaikan, desain dan kualitas konstruksi memenuhi kebutuhan masyarakat. 3. Fasilitas MCK dioperasikan dan dipelihara dengan baik secara berkelanjutan oleh masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
4. Adanya rasa memiliki dan tanggung jawab yang besar terhadap MCK terkait dengan keberlanjutan dari bangunan tersebut. 5. Berkurangnya penyakit yang disebabkan sanitasi yang buruk. 6. Masyarakat yang selama ini menggunakan pantai dan ruang terbuka untuk keperluan MCK, beralih menggunakan jamban umum yang disediakan. 7. Masyarakat memberikan kontribusi untuk biaya konstruksi dengan adanya iuran sebagai tindak lanjut untuk keberlanjutan fasilitas tersebut. 8. Lebih berdayanya lembaga masyarakat dalam pengelolaan MCK. Jamban MCK hendaknya selalu dijaga dan dipelihara dengan baik. Adapun cara pemeliharaan yang baik menurut Depkes RI (2004) dalam Kesehatan Lingkungan (2012) adalah sebagai berikut : 1. Lantai jamban hendaknya selalu bersih dan kering, 2. Di sekeliling jamban tidak ada genangan air, 3. Tidak ada sampah berserakan, 4. Rumah jamban dalam keadaan baik, 5. Lantai selalu bersih dan tidak ada kotoran yang terlihat, 6. Lalat, tikus dan kecoa tidak ada, 7. Tersedia alat pembersih, 8. Bila ada yang rusak segera diperbaiki. Selain itu ditambahkan juga pemeliharaan jamban dapat dilakukan dengan 1. Air selalu tersedia dalam bak atau dalam ember, 2. Sehabis digunakan, lantai dan lubang jongkok harus disiram bersih agar tidak bau dan mengundang lalat,
Universitas Sumatera Utara
3. Lantai jamban diusahakan selalu bersih dan tidak licin, sehingga tidak membahayakan pemakai, 4. Tidak memasukkan bahan kima dan detergen pada lubang jamban, 5. Tidak ada aliran masuk kedalam jamban selain untuk membilas tinja. Menurut Waspola (2003) dalam Gaffar (2010), untuk menyediakan fasilitas dan penyehatan lingkungan yang berkelanjutan adalah sebagai berikut: 1. Keterlibatan masyarakat yang dapat mempengaruhi pelaksanaan program, efektivitas penggunaan, dan keberlanjutan akan tercapai jika pilihan pelayanan dan konsekuensi biaya ditentukan langsung oleh masyarakat di tingkat rumah tangga; kontribusi masyarakat untuk pembangunan sarana ditentukan berdasarkan jenis pelayanan yang ditawarkan; dan pembentukan unit pengelola sarana dilakukan secara demokratis. 2. Masyarakat pengguna sebaiknya diberi kewenangan untuk mengontrol penggunaan dana yang berasal dari kontribusi masyarakat dan kualitas serta jadwal pelaksanaan pekerjaan konstruksi dilakukan oleh lembaga yang ditunjuk. 3. Masyarakat pengguna sangat peduli pada kualitas prasarana dan sarana serta bersedia membayar lebih asalkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan mereka. Keputusan untuk membatasi opsi pelayanan berdasarkan biaya serta tingkat pelayanan minimal menghasilkan sarana dengan tingkat pelayanan yang tidak memuaskan, menyebabkan masyarakat pengguna tidak termotivasi untuk melestarikannya. Dengan upaya yang lebih tanggap terhadap kebutuhan masyarakat
pengguna,
proyek
pembangunan
fasilitas
sanitasi
dapat
Universitas Sumatera Utara
meningkatkan kontribusi dalam pembiayaan, sehingga mampu menjamin pendanaan yang lebih efektif dan keberlanjutan investasi. 2.9. Kerangka Konsep
Perilaku : -
Pengetahuan Sikap
Kondisi MCK Plus++ : -
Karakteristik fisik air Sumber air Kuantitas volume air Kuantitas bilik/ruangan Jarak dari rumah ke MCK
Tingkat
Baik
Pemanfaatan
Sedang
Tingkat
Buruk
Pemeliharaan
Karakterisitik Masyarakat : -
Jenis kelamin Umur Penghasilan Pendidikan Pekerjaan
Universitas Sumatera Utara