11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Belajar & Mengajar Menurut pengertian secara psikologis belajar ialah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baik secara keseluruhan sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungan. Banyak para ahli yang mengemukakan pendapat mengenai belajar, belajar dianggap sebagai proses perubahan perilaku sebagai akibat dari pengalaman dan latihan. Hilgard (Sanjaya, 2008: 112) mengungkapkan bahwa “Learning is the process by which an activity originates or changed through training procedurs (wether in the laboratory or in the natural environment) as distinguished from changes by factors not atributable to training”. Bagi Hilgard, belajar itu adalah proses perubahan melalui kegiatan atau prosedur latihan baik latihan di dalam laboratorium maupun dalam lingkungan alamiah. Menurut R. Gagne (dalam Syaiful Sagala, 2003: 13) belajar didefinisikan sebagai suatu proses
untuk memperoleh
motivasi dalam pengetahuan,
keterampilan, kebiasaan, dan tingkah laku; dan belajar merupakan penguasaan pengetahuan /keterampilan yang diperoleh dari instruksi. Belajar adalah proses yang terus-menerus, yang tidak pernah berhenti dan tidak terbatas pada dinding kelas. Hal ini berdasarkan pada asumsi bahwa sepanjang kehidupannya manusia akan selalu dihadapkan pada masalah atau tujuan yang ingin dicapainya. Prinsip belajar sepanjang hayat seperti yang telah
11
12
dikemukakan diatas sejalan dengan empat pilar pendidikan universal seperti yang dirumuskan oleh UNESCO (Sanjaya, 2008: 110) yaitu: (1) Learning to know, yang mengandung pengertian bahwa belajar itu pada dasrnya tidak hanya berorientasi kepada produk atau hasil belajar, akan tetapi juga harus berorientasi kepada proses belajar. (2) Learning to do, mengandung pengertian bahwa belajar itu bukan hanya sekedar mendengar dan melihat dengan tujuan akumulasi pengetahuan, tetapi belajar untuk berbuat dengan tujuan akhir penguasaan kompetensi yang sangat diperlukan dalam era persaingan global. (3) Learning to be, mengandung pengertian bahwa belajar adalah membentuk manusia yang menjadi dirinya sendiri. (4) Learning to live together, mengandung pengertian bahwa belajar adalah untuk bekerjasama. Dari beberapa pendapat diatas, maka dapat ditekankan bahwa belajar bukanlah sekedar mengumpulkan pengetahuan. Belajar adalah proses mental yang terjadi dalam diri seseorang, sehingga menyebabkan munculnya perubahan perilaku. Teori belajar disebut juga teori perkembangan mental yang pada prinsipnya berisi tentang apa yang terjadi dan apa yang akan diharapkan terjadi pada mental anak didik yang dapat dilakukan pada usia tertentu. Sedangkan teori mengajar adalah uraian tentang petunjuk bagaimana semestinya mengajar anak didik pada usia siap untuk menerima pelajaran. Begitu erat kaitannya, sehingga keduanya sulit dipisahkan. Kegiatan mengajar
dikatakan
berhasil
hanya
apabila
dapat
mengakibatkan
atau
menghasilkan kegiatan belajar pada diri murid. Jadi, sebenarnya hakekat guru
13
mengajar adalah usaha guru untuk membuat muridnya belajar. Dengan kata lain, mengajar merupakan upaya menciptakan kondisi agar terjadi kegiatan belajar. Istilah pembelajaran lebih menggambarkan usaha guru untuk membuat belajar para muridnya. Mengajar dalam konteks standar proses pendidikan tidak hanya sekadar menyampaikan materi pelajaran, akan tetapi juga dimaknai sebagai proses mengatur lingkungan supaya siswa belajar. Makna lain mengajar yang demikian sering diistilahkan dengan pembelajaran. Hal ini mengisyaratkan bahwa dalam proses belajar mengajar siswa harus dijadikan sebagai pusat dari kegiatan. Hal ini dimaksudkan untuk membentuk watak, peradaban, dan meningkatkan mutu kehidupan peserta didik. Pembelajaran perlu memberdayakan semua potensi peserta didik untuk menguasai kompetensi yang diharapkan. Pemberdayaan diarahkan untuk mendorong pencapaian kompetensi dan perilaku khusus supaya setiap individu mampu menjadi pembelajar sepanjang hayat dan mewujudkan masyarakat belajar. Namun demikian, dalam pembelajaran, guru tetap harus berperan secara optimal, demikian juga halnya dengan siswa. Perbedaan dominasi dan aktivitas antara guru dan siswa dalam proses pembelajaran hanya menunjukkan kepada perbedaan tugas-tugas atau perlakuan guru dan siswa terhadap materi dan proses pembelajaran. Sebagai contoh, ketika guru menentukan proses belajar mengajar dengan menggunakan metode kelompok kecil yang lebih menekankan kepada aktivitas siswa, maka tidak berarti peran guru semakin kecil. Guru akan tetap
14
dituntut berperan secara optimal agar proses pembelajaran tersebut berlangsung dengan baik dan optimal. La Costa dalam Sanjaya (2008:107) mengemukakan bahwa dalam proses pembelajaran, mengajar dapat diklasifikasikan menjadi tiga yaitu (1) teaching of thinking yakni proses pembelajaran yang diarahkan untuk pembentukan keterampilan mental tertentu, seperti misalnya keterampilan berpikir kritis, berpikir kreatif, dan lain sebagainya. (2) Teaching for thinking adalah proses pembelajaran yang diarahkan pada usaha menciptakan lingkungan belajar yang dapat mendorong terhadap pengembangan kognitif. Jenis pembelajaran ini lebih menitikberatkan kepada proses menciptakan situasi dan lingkungan tertentu, contohnya menciptakan situasi keterbukaan yang demokratis, menciptakan iklim yang menyenangkan sehingga memungkinkan siswa bisa berkembang secara optimal. (3) Teaching about thinking adalah pembelajaran yang diarahkan pada upaya untuk membantu agar siswa lebih sadar terhadap proses berpikirnya. Dengan demikian, pekerjaan mengajar tidak selalu harus diartikan sebagai kegiatan menyajikan materi pelajaran. Meskipun menyajikan materi pelajaran memang merupakan bagian dari kegiatan pembelajaran, tetapi bukanlah satusatunya. Masih banyak cara lain yang dapat dilakukan guru untuk membuat murid belajar. Pesan yang seharusnya dilakukan guru adalah mengusahakan agar setiap murid dapat berinteraksi secara aktif dengan berbagai sumber belajar yang ada. Guru hanya merupakan salah satu sumber belajar bagi murid.
15
2.1.2. Hasil Belajar Setiap individu yang melakukan belajar, maka pada individu tersebut akan terjadi
perubahan-perubahan
perilaku,
baik
pengetahuan,
sikap
maupun
keterampilan. Pada lembaga pendidikan formal, besar atau kecil, tinggi ataupun rendah hasil belajar tersebut dinyatakan dengan angka-angka atau nilai-nilai. Tinggi rendahnya nilai tersebut sering disebut dengan istilah prestasi belajar. Hal ini sesuai yang diungkapkan Muhibbin Syah (2008:141) bahwa ”prestasi belajar digunakan untuk menentukan taraf keberhasilan sebuah proses belajar mengajar atau untuk menentukan taraf keberhasilan sebuah program pengajaran”. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia (2003:787) prestasi belajar diartikan sebagai penguasaan pengetahuan atau keterampilan yang dikembangkan dalam mata pelajaran. Lazimnya ditunjukkan dengan nilai tes atau angka yang diberikan guru. Prestasi belajar adalah penilaian pendidikan tentang kemajuan siswa dalam segala hal yang dipelajari di sekolah yang menyangkut pengetahuan, kecakapan, keterampilan yang dinyatakan sesudah hasil penilaian (Djamarah, 2002:24). Muhibbin Syah (2008:141) menjelaskan bahwa “prestasi belajar merupakan taraf keberhasilan murid atau santri dalam mempelajari materi pelajaran di sekolah atau pondok pesantren dinyatakan dalam bentuk skor yang diperoleh dari hasil tes mengenai sejumlah materi pelajaran tertentu”. Perubahan sebagai hasil belajar bersifat menyeluruh. Menurut pandangan ahli jiwa Gastalt, bahwa perubahan sebagai hasil belajar bersifat menyeluruh baik perubahan pada perilaku maupun kepribadian secara keseluruhan. Belajar bukan
16
semata-mata kegiatan mekanis stimulus respon, tetapi melibatkan seluruh fungsi organisme yang mempunyai tujuan-tujuan tertentu. Berdasarkan beberapa pendapat di atas tentang prestasi belajar maka penulis dapat merumuskan bahwa prestasi belajar adalah suatu hasil belajar yang dicapai siswa terhadap materi pelajaran yang diajarkan oleh guru sehingga terjadi perubahan tingkah laku terutama dalam hal ilmu pengetahuan, keterampilan dan sikap setela melalui proses belajar dan latihan tertentu atau hasil interaksi dengan lingkungannya. Hasil belajar ini ditandai dengan tingkat penguasaan materi pelajaran yang telah diserap melalui evaluasi atau tes agar diketahui prestasi belajarnya. Evaluasi atau tes merupakan alat ukur untuk mengetahui prestasi belajar siswa, maka perubahan tingkah laku dari hasil belajar diantaranya merupakan prestasi belajar siswa tersebut. Arikunto (2001:26-51) mengukur hasil belajar dalam dua teknik yaitu teknik tes dan non tes. Pada penelitian ini menggunakan teknik tes sehingga pembatasan hanya dilakukan terhadap teknik tes. Bloom dalam Sagala (2007:33) mengklasifikasi hasil belajar dalam tiga ranah yaitu: ranah kognitif (cognitive domain), ranah afektif (affective domain), dan ranah psikomotor (psychomotor domain). Hasil belajar dalam ranah kognitif terdiri dari enam kategori yaitu pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis dan evaluasi. Sedangkan ranah afektif berkenaan dengan sikap yang terdiri dari lima aspek, yakni penerimaan, jawaban atau reaksi, penilaian, organisasi dan
17
internalisasi. Dan yang terakhir ranah psikomotorik berkenaan dengan hasil belajar keterampilan dan kemampuan bertindak. Hasil belajar yang diidentifikasi dalam tulisan ini mengacu pada ranah kognitif khususnya pada tingkat pemahaman. Dari uraian-uraian di atas jelas bahwa suatu proses belajar mengajar pada akhirnya akan menghasilkan kemampuan seseorang yang mencakup pengetahuan, sikap dan keterampilan. Dalam arti bahwa perubahan kemampuan merupakan indikator untuk mengetahui hasil prestasi belajar murid. Hasil prestasi belajar murid diukur dengan menggunakan tes hasil belajar. Tes ini disusun dan dikembangkan dari pokok-pokok bahasan yang dipelajari oleh murid dalam beberapa materi pelajaran di sekolah.
2.1.2.1. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Prestasi Belajar Secara global, faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar siswa dapat dibedakan menjadi tiga macam. Beberapa faktor tersebut menurut Syah (2008:132) yaitu: 1. Faktor internal (faktor dari dalam siswa) yakni keadaan atau kondisi jasmani dan rohani siswa. 2. Faktor eksternal (faktor dari luar siswa), yakni kondisi lingkungan 3. Faktor pendekatan belajar (approach to learning), yakni jenis upaya belajar siswa yang meliputi strategi dan metode yang digunakan siswa untuk melakukan kegiatan pembelajaran materi-materi pelajaran.
Faktor-faktor diatas dalam banyak hal saling berkaitan dan mempengaruhi satu sama lain. Seorang siswa yang bersikap conserving terhadap ilmu pengetahuan atau bermotif ekstrinsik (faktor eksternal), biasanya cenderung
18
mengambil pendekatan belajar yang sederhana dan tidak mendalam. Sebaliknya, seorang siswa yang berintelegensi tinggi (faktor internal) dan mendapat dorongan positif dari orangtuanya (faktor eksternal), sehingga akan memillih pendekatan belajar yang lebih mementingkan kualitas hasil pembelajaran. Jadi, karena pengaruh faktor-faktor tersebut, muncul siswa-siswa yang high achiever (berprestasi tinggi) dan under achiever (berprestasi rendah) atau gagal sama sekali.
2.1.3. Pemahaman Salah satu indikator dari keberhasilan proses belajar mengajar adalah siswa memahami konsep ilmu pengetahuan. Memahami berasal dari kata dasar “paham” yang dalam kamus besar bahasa Indonesia berarti mengerti benar. Sedangkan istilah pemahaman berasal dari kata understanding. Sedangkan menurut Bloom (dalam Sunardi, 1993: 23) yang dimaksud dengan pemahaman adalah kemampuan menangkap pengertian-pengertian seperti mampu mengungkapkan suatu materi yang dapat disajikan ke dalam bentuk yang dapat
dipahami,
mampu
memberikan
interpretasi
dan
mampu
mengklasifikasikannya. Bloom (dalam Daryanto, 2002: 221) berpendapat bahwa pemahaman terbagi atas tiga macam, yaitu a. Menerjemahkan (Translation) Pengertian menerjemahkan disini bukan saja pengalihan (translation) arti dari bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain. Dapat juga konsepsi abstrak menjadi suatu model, yaitu model simbolik untuk mempermudah orang mempelajarinya. Pengalihan konsep yang dirumuskan dengan katakata ke dalam gambar grafik dapat di masukkan dalam kategiori menerjemahkan. Misalnya menggambarkan kedudukan beberapa wilayah dalam suatu kurun mean = 65 dan standar deviasi = 15
19
b. Menginterpretasi (Interpretation) Kemampuan ini lebih luas daripada menerjemahkan. Ini adalah kemampuan untuk mengenal dan memahami. Ide utama suatu komunikasi. Misalnya: diberikan suatu diagram, tabel, grafik, atau gambar-gambar lainnya. Dalam IPS/Fisika dan minta ditafsirkan. Dapat saja siswa tidak mampu menafsirkannya lantaran mereka tidak cukup terlatih (welltrained) untuk itu. c. Mengekstrapolasi (Extrapolation) Agak lain dari menerjemahkan dan menafsirkan, tetapi lebih tinggii sifatnya. Ia mennjutut kemampuan intelektual yang lebih tinggi. Contoh sederhana: 2-4-6-8-10-…. Siswa diminta mengisi dua bilangan yang merupakan kelanjutan dari deret itu. Ada juga yang bentuknya mirip ekstrapolasi yaitu intrapolasi. Perbedaannya hanya titik-titik. Yaitu apabila letak titik-titik di tengah disebut intrapolasi.
Rosser (dalam Dahar, 1989: 80) menjelaskan bahwa konsep adalah suatu abstraksi yang mewakili satu kelas objek-objek, kejadian-kejadian, kegiatankegiatan, atau hubungan-hubungan yang mempunyai atribut-atribut yang sama. Orang membentuk konsep sesuai dengan pengelompokkan stimulusstimulus dengan cara tertentu. Oleh karena konsep-konsep itu adalah abstraksiabstraksi yang berdasarkan pengalaman yang persis sama, maka konsep-konsep yang dibentuk orang mungkin berbeda juga. Hulse, Egeth dan Deese (dalam Suharnan,2005) mendefinisikan sebagai sekumpulan atau seperangkat sifat yang dihubungkan oleh aturan tertentu. Konsep merupakan bayangan mental, ide dan Pembentukan konsep merupakan ketajaman berpikir mengklasifikasikan objek atau ide (Solso, (http://wangmuba.com/2009/04/19/pemahaman-konsep/)
konsep aturanproses. dalam 2001).
Meskipun banyak definisi tentang konsep yang diungkapkan para ahli, namun terdapat beberapa ciri umum konsep (Dahar: 1989: 97), yaitu: 1. Konsep merupakan buah pikiran yang dimiliki seseorang atau pun sekelompok orang.
20
2. Konsep timbul sebagai hasil dari pengalaman, lebih dari sekedar satu benda, peristiwa atau fakta. Konsep itu adalah suatu generalisasi. 3. Konsep adalah hasil berfikir abstrak manusia yang merangkum banyak pengalaman. 4. Konsep merupakan kaitan fakta-fakta atau pemberian pola pada faktafakta. 5. Suatu konsep dianggap kurang tepat disebabkan timbulnya fakta-fakta baru dan karena itu konsep bersangkutan harus mengalami perubahan. Dalam suatu pembelajaran, pemberian konsep harus mengacu pada tujuan yang ingin dicapai. Menurut Van Den Berg (dalam Rostika, 2003: 100) tujuan dari mengajar konsep ialah agar siswa dapat: 1. Mendefinisikan konsep yang bersangkutan. 2. Menjelaskan perbedaan antara konsep yang bersangkutan dengan konsep yang lain. 3. Menjelaskan hubungan dengan konsep-konsep lain. 4. Menjelaskan arti konsep dari kehidupan sehari-hari dan menerapkannya dalam memecahkan masalah. Berdasarkan pernyataan di atas, seorang siswa dikatakan memahami suatu konsep dalam proses belajar mengajar, jika ia mampu menjelaskan suatu konsep yang dipelajarinya dengan kata-kata sendiri dan tidak menghafal. Menurut Abraham (dalam Dhany, 2009: 18) pemahaman konsep siswa dapat dikelompokkan ke dalam empat tingkatan seperti dalam tabel 2.1
21
Tabel 2.1 Kelompok Pemahaman Konsep Menurut Abraham Tingkat Pemahaman No Understanding
Alternative Conception Partial Understanding
Sound Understanding
Kriteria Jawaban Siswa Jawaban kosong Mengulang pertanyaan Jawaban tidak relevan atau tidak jelas Tidak memberikan penjelasan untuk jawaban yang dipilih Jawaban menunjukkan mengerti akan konsep, tetapi tidak tepat secara ilmiah Jawaban menagndung minimal satu konsep secara ilmiah, tetapi tidak seluruh konsep Jawaban mengandung seluruh bagian konsep yang diterima
Pernyataan-pernyataan di atas memberikan gambaran bahwa suatu konsep pada umumnya digunakan secara berkrsinambungan untuk menjelaskan konsepkonsep yang lain. Dengan demikian, kesalahan konsep yang diterima siswa akan berakibat fatal untuk mempelajari konsep-konsep berikutnya yang berkaitan dengan konsep tersebut.
2.1.4. Pendekatan Kontekstual Contextual Teaching and Learning (CTL) merupakan salah satu pendekatan dalam pembelajaran. CTL dikembangkan oleh The Washington State Concortium for Contextual Teaching and Learning, yang melibatkan 11 perguruan tinggi, 20 sekolah dan lembaga-lembaga yang bergerak dalam dunai pendidikan di Amerika Serikat. Salah satu kegiatannya adalah melatih dan memberi kesempatan kepada guru-guru dari enam propinsi di Indonesia untuk belajar pendekatan kontekstual di Amerika Serikat.
22
Pendekatan dapat diartikan sebagai titik tolak atau sudut pandang kita terhadap proses pembelajaran. Istilah pendekatan merujuk kepada pandangan tentang terjadinya suatu proses yang sifatnya masih sangat umum. Oleh karenanya strategi dan metode pembelajaran yang digunakan dapat bersumber atau tergantung dari pendekatan tertentu. (Sanjaya, 2008:127)
Pendekatan Kontekstual (CTL) merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat (Johnson, 2009: 65). Dalam konteks ini siswa perlu mengerti apa makna belajar, manfaatnya, dalam status apa mereka dan bagaimana mencapainya. Dengan ini siswa akan menyadari bahwa apa yang mereka pelajari berguna sebagai hidupnya nanti. Sehingga, akan membuat mereka memposisikan sebagai diri sendiri yang memerlukan suatu bekal yang bermanfaat untuk hidupnya nanti dan siswa akan berusaha untuk menggapainya. Tugas guru dalam pembelajaran kontekstual adalah membantu siswa dalam mencapai tujuannya. Guru lebih berurusan dengan strategi daripada memberi informasi. Guru hanya megelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja sama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi siswa. Proses belajar mengajar lebih diwarnai student centered daripada teacher centered. Menurut Depdiknas dalam menerapkan pendekatan kontekstuual ini, guru harus melaksanakan beberapa hal sebagai berikut: 1) Mengkaji konsep atau teori yang akan dipelajari oleh siswa. 2) Memahami latar belakang dan pengalaman hidup siswa melalui proses pengkajian secara seksama. 3) Mempelajari lingkungan sekolah dan tempat tinggal siswa yang selanjutnya memilih dan mengkaitkan dengan konsep atau
23
teori yang akan dibahas dalam pembelajaran kontekstual. 4) Merancang pengajaran dengan mengkaitkan konsep atau teori yang dipelajari dengan mempertimbangkan pengalaman yang dimiliki siswa dan lingkungan hidup mereka. 5) Melaksanakan penilaian terhadap pemahaman siswa, dimana hasilnya nanti dijadikan bahan refeksi terhadap rencana pembelajaran dan pelaksanaannya. Dalam pengajaran kontekstual memungkinkan terjadinya lima bentuk belajar yang penting, yaitu mengaitkan (relating), mengalami (experiencing), menerapkan
(applying),
bekerjasama
(cooperating)
dan
mentransfer
(transferring).
Gambar.1 Bentuk Belajar dalam Contextual Teaching & Learning
Relating Mengaitkan adalah strategi yang paling hebat dan merupakan inti konstruktivisme. Guru menggunakan strategi ini ketia ia mengkaitkan konsep baru dengan sesuatu yang sudah dikenal siswa. Jadi dengan demikian, mengaitkan apa yang sudah diketahui siswa dengan informasi baru.
Experiencing Mengalami merupakan inti belajar kontekstual dimana mengaitkan berarti menghubungkan informasi baru dengan pengelaman maupun pengetahui sebelumnya. Belajar dapat terjadi lebih cepat ketika siswa dapat memanipulasi peralatan dan bahan serta melakukan bentuk-bentuk penelitian yang aktif.
24
Applying Menerapkan. Siswa menerapkan suatu konsep ketika ia malakukan kegiatan pemecahan masalah. Guru dapet memotivasi siswa dengan memberikam latihan yang realistic dan relevan.
Cooperating Kerjasama. Siswa yang bekerja secara individu sering tidak membantu kemajuan yang signifikan. Sebaliknya, siswa yang bekerja secara kelompok sering dapat mengatasi masalah yang komplek dengan sedikit bantuan. Pengalaman kerjasama tidak hanya membanti siswa mempelajari bahan ajar, tetapi konsisten dengan dunia nyata.
Transferring Mentransfer. Peran guru membuat bermacam-macam pengelaman belajar dengan fokus pada pemahaman bukan hapalan. (Sumber: Mansur Muslich, 2008:41)
2.1.4.1. Komponen Contextual Teaching and Learning Menurut Depdiknas untuk penerapannya, pendekatan kontektual (CTL) memiliki tujuah komponen utama, yaitu konstruktivisme (constructivism), menemukan (Inquiry), bertanya (Questioning), masyarakat-belajar (Learning Community), pemodelan (Modeling), refleksi (Reflection), dan penilaian yang sebenarnya (Authentic). Adapaun tujuh komponen tersebut sebagai berikut:
25
1. Konstruktivisme (constructivism) Kontruktivisme merupakan landasan berpikir CTL, yang menekankan bahwa belajar tidak hanya sekedar menghafal, mengingat pengetahuan tetapi merupakan suatu proses belajar mengajar dimana siswa sendiri aktif secara mental mebangun pengetahuannya, yang dilandasi oleh struktur pengetahuan yang dimilikinya. 2. Menemukan (Inquiry) Menemukan merupakan bagaian inti dari kegiatan pembelajaran berbasis kontekstual Karena pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta tetapi hasil dari menemukan sendiri. Kegiatan menemukan (inquiry) merupakan sebuah siklus yang terdiri dari observasi (observation), bertanya (questioning), mengajukan dugaan
(hiphotesis),
pengumpulan
data
(data
gathering),
penyimpulan
(conclusion). 3. Bertanya (Questioning) Pengetahuan yang dimiliki seseorang selalu dimulai dari bertanya. Bertanya merupakan strategi utama pembelajaan berbasis kontekstual. Kegiatan bertanya berguna untuk: 1) menggali informasi, 2) menggali pemahaman siswa, 3) membangkitkan respon kepada siswa, 4) mengetahui sejauh mana keingintahuan siswa, 5) mengetahui hal-hal yang sudah diketahui siswa, 6) memfokuskan perhatian pada sesuatu yang dikehendaki guru, 7) membangkitkan lebih banyak lagi pertanyaan dari siswa, untuk menyegarkan kembali pengetahuan siswa.
26
4. Masyarakat Belajar (Learning Community) Konsep masyarakat belajar menyarankan hasil pembelajaran diperoleh dari hasil kerjasama dari orang lain. Hasil belajar diperoleh dari ‘sharing’ antar teman, antar kelompok, dan antar yang tahu ke yang belum tahu. Masyarakat belajar tejadi apabila ada komunikasi dua arah, dua kelompok atau lebih yang terlibat dalam komunikasi pembelajaran saling belajar. 5. Pemodelan (Modeling) Pemodelan
pada
dasarnya
membahasakan
yang
dipikirkan,
mendemonstrasi bagaimana guru menginginkan siswanya untuk belajar dan malakukan apa yang guru inginkan agar siswanya melakukan. Dalam pembelajaran kontekstual, guru bukan satu-satunya model. Model dapat dirancang dengan melibatkan siswa ataupun mendatangkan dari luar. 6. Refleksi (Reflection) Refleksi merupakan cara berpikir atau respon tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir kebelakang tentang apa yang sudah dilakukan dimasa lalu. Realisasinya dalam pembelajaran, guru menyisakan waktu sejenak agar siswa melakukan refleksi yang berupa pernyataan langsung tentang apa yang diperoleh hari itu. 7. Penilaian yang sebenarnya (Authentic Assessment) Penilaian adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberi gambaran mengenai perkembangan belajar siswa. Dalam pembelajaran berbasis CTL, gambaran perkembangan belajar siswa perlu diketahui guru agar bisa memastikan bahwa siswa mengalami pembelajaran yang benar. Fokus penilaian
27
adalah pada penyelesaian tugas yang relevan dan kontekstual serta penilaian dilakukan terhadap proses maupun hasil. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran dengan pendekatan konstektual memberikan penekanan pada penggunaan berpikir tingkat tinggi, transfer pengetahuan, pemodelan, informasi dan data dari berbagai sumber. Dalam kaitan dengan evaluasi, pembelajaran dengan konstektual lebih menekankan pada autentik assesmen yang diperoleh dari berbagai kegiatan. Sedangkan pendekatan kontekstual oleh DEPDIKNAS (2002) di definisikan sebagai konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimiliki dengan penerapan dalam kehidupan mereka sehari-hari. Pendekatan kontekstual ini perlu diterapkan mengingat bahwa sejauh ini pendidikan masih didominasi oleh pandangan bahwa pengetahuan sebagai perangkat fakta-fakta yang harus dihapal. Dalam hal ini fungsi fungsi dan peranan guru masih dominan sehingga siswa menjadi pasif dan tidak kreatif. Melalui pendekatan kontekstual ini siswa diharapkan belajar dengan cara mengalami sendiri bukan menghapal. Beberapa model pembelajaran yang berkaitan dengan Contextual Teaching Learning (C-STARS: College Education, 2001) meliputi: 1. Authentic Instruction, yaitu model pembelajaran yang memungkinkan para siswa belajar dalam konteks yang bermakna. CTL mendorong keterampilan
28
berpikir dan memecahkan masalah yang penting dalam lingkungan hidup nyata. 2. Pembelajaran berbasis inkuiri (Inquiry Based Learning), pembelajaran semacam ini memberi kesempatan untuk pembelajaran bermakna. Siswa dilibatkan dalam penyelidikan langsung baik di dalam kelas maupun di luar kelas. 3. Pembelajaran berbasis masalah (Problem Based Learning/Problem Based Instruction). Pembelajaran ini menggunakan permasalahan nyata sebagai sesuatu konteks bagi siswa untuk belajar berpikir kritis maupun belajar memecahkan masalah, serta untuk memperoleh pengetahuan dan konsep esensial. 4. Service Learning (SL), merupakan model pengajaran yang menggabungkan pelajaran masyarakat dengan kesempatan baik berbasis suatu sekolah yang berstruktur
merefleksi
tentang
pelayanan
maupun
hubungan
antara
pengalaman pelayanan dan pembelajaran akademik. 5. Pembelajaran Berbasis kerja (Work Based Learning), merupakan model pembelajaran yang melibatkan siswa dalam praktek langsung dilapangan, sehingga ilmu yang diperoleh merupakan teori yang langsung dipraktikkan di tempat kerja. Dalam penelitian ini model yang digunakan adalah model Problem Based Instruction (PBI) Dari model-model di atas tampak bahwa model PBI dilandasi oleh CTL karena baik PBI maupun CTL sama-sama menghubungkan kenyataan
29
sehari-hari melalui masalah yang disodorkan dengan apa yang dipelajari siswa di sekolah.
2.1.5. Model Pembelajaran Problem Based Instruction (PBI) Model pembelajaran PBI merupakan suatu model pembelajaran yang menyajikan situasi masalah yang riil bagi siswa sebagai pembelajaran awal untuk kemudian diselesaikan melalui penyelidikan. Dalam membahas model Problem Based Instruction tidak terlepas dari pendekatan Problem Based Learning. Ada beberapa definisi tentang pendekatan Problem Based Learninng (PBL), salah satunya dikemukakan oleh Jones Rasmussen (dalam Nurlimasa, 2008) bahwa: Problem Based Learning is an instructional approach where students are confronted with simulated, real-world problems, and is frequently advanced as a powerful and engaging learning strategy that leads to sustained and transferable learning. Dari pendapat Jones Rasmussen tersebut dapat diartikan bahwa pendekatan PBL adalah sebuah pendekatan dimana siswa dihadapkan pada masalah nyata yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari yang dikonfrontasikan melalui simulasi-simulasi. Oleh karenanya, model pembelajaran PBI tidak dirancang membantu guru memberikan informasi sebanyak mungkin kepada siswa. Model pembelajaran PBI dikembangkan terutama untuk membantu siswa mengembangkan kemampuan berpikir, pemecahan masalah, keterampilan intelektual pada awal pembelajaran, siswa dihadapkan pada situasi permasalahan yang menarik dan relevan dengan kehidupan sehari-hari. Dalam pembelajaran PBI, siswa diberikan kebebasan untuk berpikir dan menunjukkan idenya tanpa dijejali konsep secara verbal terlebih dahulu dengan suasana lingkungan belajar
30
yang terbuka. Tahap-tahap model pembelajaran PBI terdiri dari lima tahap (Depdiknas, 2006), yaitu sebagai berikut: Tabel. 2.2 Tahapan Pembelajaran Model Problem Based Instruction Fase Fase 1 Orientasi pada masalah
Fase 2 Mengorganisasikan siswa untuk belajar Fase 3 Membimbing penyelidikan individual maupun kelompok Fase 4 Mengembangkan dan menyajikan hasil karya Fase 5 Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah
Kegiatan Guru Guru menjelaskan tujuan pembelajaran. Menjelaskan logistik yang dibutuhkan, memotivasi siswa terlibat pada aktivitas pemecahan masalah Guru membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut. Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah. Guru membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan hasil karya yang sesuai seperti laporan dan membantu mereka untuk berbagi tugas dengan temannya Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan mereka atau proses yang mereka gunakan (Depdiknas, 2006)
2.1.5.1. Teori Model Problem Based Instruction Depdiknas menyatakan, paling sedikit ada empat teori belajar yang mendasari model pembelajaran PBI, yaitu: 1. Konstruktivisme Piaget (1886-1980) Pembentukan pengetahuan menurut pandangan konstruktivisme memandang subjek aktif menciptakan struktur-struktur kognitif dalam interaksinya dengan lingkungan. Dengan bantuan struktur kognitifya ini, subjek menyusun pengertian realitasnya. Interaksi kognitif akan terjadi sejauh
31
realitas tersebut disusun melalui struktur kognitif yang diciptakan oleh subjek itu sendiri. Struktur kognitif senantiasa harus diubah dan disesuaikan berdasarkan tuntutan lingkungan dan organisme yang sedang berubah. Proses penyesuaian diri terjadi secara terus-menerus melalui proses rekonstruksi. 2. Teori belajar David Ausubel (1968) Menurut Ausubel belajar dapat diklasifikasikan ke dalam dua dimensi. Dimensi pertama berhubungan dengan cara informasi atau materi pelajaran disajikan pada siswa, melalui penerimaan atau penemuan. Dimensi kedua menyangkut cara bagaimana siswa dapat mengaitkan informasi itu pada struktur kognitif yang telah ada. Teori Ausubel tentang belajar ialah belajar bermakna (Ausubel,1968). Bagi Ausubel, belajar bermakna merupakan suatu proses dikaitkannya informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang. 3. Teori belajar Jeromes Bruner (1996) Menurut Bruner dalam Supriyono Koes H (2003:133), belajar penemuan sesuai dengan pembentukan pengetahuan secara aktif oleh manusia dan dengan sendirinya memberikan hasil yang paling baik. Berusaha sendiri untuk mencari pemecahan masalah serta pengetahuan yang benar-benar bermakna. Bruner (1973) dalam (Dahar, 1998:126) mengemukakan bahwa pengetahuan yang diperoleh dengan belajar penemuan menunjukkan beberapa kebaikan yaitu, Pertama, pengetahuan itu bertahan lama atau mudah diingat. Kedua, hasil belajar penemuan memiliki efek transfer yang lebih baik artinya konsep-konsep yang telah dimiliki lebih mudah diterapkan pada situasi-situasi
32
baru. Ketiga, belajar penemuan meningkatkan penalaran siswa dan kemampuan berpikir secara bebas. 4. Teori belajar Vygotsky (1896-1934) Karena pembelajaran PBI ini tidak lepas dari pengaruh lingkungan sekitarnya (faktor sosial) maka konstruktivis lainnya, yaitu Vygotsky mengatakan bahwa proses belajar akan terjadi dan berhasil jika bahan belajar yang mereka pelajari masih berada dalam jangkauan (lingkungan mereka). Konsep lain dari Vygotsky adalah scaffolding yang merupakan proses untuk membantu siswa menuntaskan masalah sesuatu melali bantuan guru, teman, atau orang lain yang memiliki kemampuan lebih.
2.1.6. Tipe Think Pair Share Prinsip Learning Community dalam pendekatan kontekstual menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh dari kerjasama dengan orang lain. Hasil pembelajaran diperoleh dari berbagi antar teman, antar kelompok dan antar yang tahu dengan yang tidak tahu. Masyarakat belajar bisa terjadi apabila ada proses komunikasi dua arah, seseorang yang terlibat dalam masyarakat belajar akan memberi informasi yang diperlukan oleh teman bicaranya dan sekaligus juga meminta informasi yang diperlukan dari teman belajarnya. Oleh karena itu, dalam kelas kontekstual guru disarankan selalu melaksanakan pembelajaran dalam kelompok-kelompok belajar. Salah satu teknik pembelajaran kelompok adalah teknik Think Pair and Share. Teknik belajar Think pair and Share dikembangkan oleh Frank Lyman
33
sebagai struktur kegiatan pembelajaran berkelompok. Teknik ini merupakan modifikasi dari teknik Think Pair Square yang dikembangkan oleh Spencer Kagan. Lyman dan Kagan (Rahmawati, 2007:13) berpendapat “Teknik Think Pair Share/Square membantu para siswa untuk mengembangkan pemahaman konsep dan materi pelajaran, mengembangkan pengetahuan untuk berbagi informasi dan menarik
kesimpulan
serta
mengembangkan
kemampuan
untuk
mempertimbangkan nilai-nilai dari suatu pelajaran”. Teknik ini memberi siswa kesempatan untuk bekerja sendiri serta bekerjasama dengan orang lain. Keunggulan lain dari teknik ini adalah optimalisasi partisipasi siswa. Dengan metode klasikal yang memungkinkan hanya satu siswa maju dan membagikan hasilnya auntuk seluruh kelas. Teknik ini memberi kesempatan sedikitnya delapan kali lebih banyak kepada setiap siswa untuk dikenali dan menunjukkan partisipasi mereka kepada orang lain. Teknik ini bisa digunakan dalam semua mata pelajaran dan untuk semua tingkatan usia anak didik. Langkah-langkah yang dilakukan dalam penerapan teknik ini adalah sebagai berikut: 1. Guru membagi siswa dalam kelompok berempat dan memberikan tugas kepada semua kelompok 2. Setiap siswa memikirkan dan mengerjakan tugas tersebut sendiri. 3. Siswa berpasangan dengan salah satu rekan dalam kelompok dan berdiskusi dengan pasangannya. 4. Kedua pasangan bertemu dalam satu kelompok semula. Siswa mempunyai kesempatan untuk membagikan hasil kerjanya kepada kelompok berempat. (Anita Lie, 2008:57-58)
34
2.1.7. Hasil Penelitian Terdahulu Tabel.2.3 Hasil Penelitian Terdahulu No.
Nama/Tahun
Judul
Hasil Penelitian
1.
Simin A. Rauf
Pengaruh Penerapan Model
menyatakan bahwa hasil
Tesis
Pembelajaran Kontekstual
penelitiannya
2004
Terhadap Kemampuan
menunjukkan
Pemahaman Konsep
pembelajaran
Matematika”. (Studi
kontekstual
Eksperimen pada VII SMP
mampu
Negeri 1 Sulawesi Tengah)
pemahaman
terbukti
meningkatkan konsep
siswa SLTP dibanding siswa yang tidak diberi pengajaran
dengan
pembelajaran kontekstual (pembelajaran konvensional) 2.
M Dhany Nur Skripsi 2009
Pembelajaran Kooperatif Tipe
adanya peningkatan skor
Think Pair Square Untuk
rata-rata dari tes awal
Meningkatkan Kemampuan
yang masuk ke dalam
Pemahaman Konsep
kategori rendah menjadi
Matematika Siswa SMP.
kategori sedang pada tes
(Penelitian Eksperimen
akhir menunjukkan
35
Terhadap Siswa Kelas VIII
peningkatan pemahaman
SMPN 29 Bandung Tahun
konsep pada siswa.
Ajaran 2008/2009) 3.
Reri Nurlimasa Skripsi 2008
Implementasi Model
penerapan model
Pembelajaran Problem Based
pembelajaran Problem
Instruction untuk
Based Learning berhasil
Meningkatkan Hasil Belajar
meningkatkan hasil
Matematika Siswa SMA (Studi
belajar matematika
Ekspeimen di SMA Lab
siswa.
Percontohan UPI Kelas X) 4.
Danny A
Pembelajaran Matematika
Model Pembelajaran
Ramdar
dengan Penyajian Masalah
dengan penyajian
Skripsi
Terbuka Melalui Pendekatan
masalah terbuka melalui
Kontekstual untuk
pendekatan kontekstual
Meningkatkan Prestasi Belajar
secara signifikan dapat
Matematika Siswa SMP.
lebih meningkatkan
(Penelitian Eksperimen Siswa
prestasi belajar siswa
Kelas VII SMPN 31 Bandung)
pada mata pelajaran
2008
matematika.
36
2.2. Kerangka Pemikiran Proses pembelajaran merupakan hal yang mendasar dalam mencapai kualitas pendidikan. Proses pembelajaran hanya akan berlangsung dengan adanya interaksi antara guru dengan siswa. Proses pembelajaran yang terjadi di sekolahsekolah selama ini ternyata masih berpusat pada guru. Selama ini guru hanya menyampaikan materi pelajaran dan menjadi satu-satunya sumber bagi siswa. Sebagaimana tujuan mata pelajaran ekonomi dalam KTSP salah satunya adalah membekali siswa sejumlah konsep ekonomi untuk mengetahui dan mengerti peristiwa dan masalah ekonomi dalam kehidupan sehari-hari, terutama yang terjadi di lingkungan setingkat individu/rumah tangga, masyarakat dan negara. Membekali siswa sejumlah konsep ekonomi sangat diperlukan untuk membentuk pemahaman siswa dalam mendalami ilmu ekonomi pada jenjang selanjutnya. Pembelajaran
ekonomi
harus
diarahkan
pada
pengembangan
kemampuan berpikir siswa. Siswa akan dapat mengembangkan pemikirannya apabila siswa mampu memahami konsep-konsep dasar ekonomi secara utuh. Begitu pula siswa akan mampu menyelesaikan pemecahan masalah dan memahami peristiwa ekomnomi sehari-hari apabila ia dapat memahami konsep dasar pengetahuan tersebut. Pendidikan ekonomi merupakan peran yang sangat strategis dalam pendidikan sebagai upaya membentuk sumberdaya manusia yang handal yang mampu bersaing di era globalisasi. Oleh karenanya, dalam proses pembelajaran ekonomi, guru dituntut untuk mengikuti perkembangan masyarakat sehingga
37
pembelajaran yang diselenggarakan benar-benar aktual, fungsional, menarik serta mampu mengembangkan keterampilan berpikir siswa sedemikian rupa agar materi mudah diterima oleh siswa dan mampu mengemas pembelajaran ekonomi agar lebih bermakna. Untuk mencapai itu semua maka peningkatan kualitas dalam proses pembelajaran perlu dilakukan, salah satunya adalah dengan mengembangkan dan menerapkan pendekatan kontekstual dalam proses pembelajaran. Sejalan dengan konsep UNESCO mengenai belajar yakni learning by doing, belajar dalam konteks CTL bukan hanya sekedar mendengarkan dan mencatat, tetapi belajar adalah proses pengalaman langsung. Sebagaimana pandangan filsafat konstruktivisme tentang hakikat pengetahuan mempengaruhi konsep tentang belajar, bahwa belajar bukanlah sekedar menghafal, tetapi proses mengkonstruksi pengetahuan dari pengalaman. Pengetahuan bukanlah hasil pemberian orang lain seperti guru, tetapi hasil dari proses mengkonstruksi yang dilakukan oleh setiap individu. Menurut pembelajaran kontekstual, pengetahuan akan bermakna manakala ditemukan dan dibangun sendiri oleh siswa. Salah satu model yang dapat diterapkan dalam pendekatan CTL adalah model PBI. Penelitian Reri Nurlimasa (2008) membuktikan bahwa model PBI secara signifikan dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada mata pelajaran matematika. PBI merupakan rangkaian aktivitas pembelajaran yang menekankan kepada proses penyelesaian masalah yang dihadapi secara ilmiah. Dalam model pembelajaran PBI, siswa tidak hanya sekedar mencatat dan menghafal tetapi aktif berpikir, berkomunikasi, mencari dan mengolah data dan
38
akhirnya menyimpulkan. PBI dilandasi oleh teori belajar kognitif, sebagaimana teori Gestalt yang menyatakan bahwa belajar merupakan proses mengembangkan insight yakni pemahaman terhadap hubungan antarbagian di dalam suatu situasi permasalahan. Dengan demikian belajar akan terjadi manakala siswa dihadapkan kepada suatu persoalan yang harus dipecahkan. Melalui persoalan yang dihadapi itu anak akan mendapat insight yang sangat berguna untuk memahami apa yang didapatkannya sehingga siswa mampu menghadapi setiap masalah. Penerapan pendekatan kontekstual model PBI yang mengarahkan kepada siswa untuk belajar aktif melalui pengkonstruksian pengetahuan akan membuat siswa mudah memahami konsep materi yang ia pelajari dan memanfaatkannya untuk mengatasi persoalan-persoalan hidupnya yang berkaitan dengan apa yang pernah ia dapatkan di sekolah. Dengan pemahaman yang dibangun melalui proses berpikir yang mandiri, perubahan tingkah laku sebagai tujuan dari belajar itu sendiri akan terjadi. Perubahan perilaku siswa dapat dilihat dari adanya perubahan prestasi belajar yang diukur melalui hasil belajar. Prinsip Learning Community dalam CTL selaras dengan salah satu ciri yang dimiliki PBI yakni kerjasama yang dilakukan dalam sebuah kelompok belajar.
Kerjasama
memperbesar
peluang
dialog
dan
berbagi
inkuiri,
mengembangkan keterampilan berpikir, mengembangkan keterampilan sosial, dan mempermudah tugas-tugas kompleks. Teknik yang sesuai dengan model PBI adalah Think Pair Share. Dimana siswa dikondisikan dalam kelompok belajar yang terdiri dari 4-5 orang. Sebagaimana yang dikemukakan Lyman dan Kagan bahwa teknik Think Pair
39
Share/Square membantu para siswa untuk mengembangkan pemahaman konsep dan materi pelajaran, mengembangkan pengetahuan untuk berbagi informasi dan menarik
kesimpulan
serta
mengembangkan
kemampuan
untuk
mempertimbangkan nilai-nilai dari suatu pelajaran. Sebagaimana penelitian yang pernah dilakukan oleh M Dhany Nur (2009) bahwa pembelajaran dengan teknik Think Pair Square terbukti secara efektif dapat meningkatkan kemampuan pemahaman konsep matematika siswa SMP. Dari uraian di atas, maka permasalahan tersebut dapat di tarik benang merahnya sebagai berikut:
X= Model Problem Based Instruction (PBI) tipe Think Pair Share (TPS)
Y = Pemahaman Siswa Pada Mata Pelajaran Ekonomi
Keterangan: X:
Model Problem Based Instruction (PBI) Tipe Think Pair Share (TPS)
Y:
Pemahaman Siswa
2.3. Hipotesis Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap masalah penelitian, yang kebenarannya harus diuji secara empiris. Menurut Nazir (2003:159) hipotesis adalah pernyataan yang diterima secara sementara sebagai suatu kebenaran sebagaimana adanya, pada saat fenomena dikenal dan merupakan dasar kerja serta panduan dalam verifikasi. Hipotesis adalah keterangan sementara dari hubungan fenomena-fenomena yang komplek.
40
Berdasarkan masalah diatas, maka dalam penelitian ini dapat dibuat hipotesis yaitu sebagai berikut : -
Terdapat perbedaan pemahaman siswa dalam mata pelajaran ekonomi antara siswa yang proses pembelajarannya menggunakan model problem based instruction tipe think pair share dengan siswa yang proses pembelajarannya menggunakan model pembelajaran konvensional.
-
Terdapat perbedaan pemahaman siswa pada mata pelajaran ekonomi sebelum dan sesudah penerapan model problem based instruction tipe think pair share pada kelompok eksperimen.