BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Asma 2.1.1
Definisi Asma
Asma merupakan sebuah penyakit kronik saluran napas yang terdapat di seluruh dunia dengan kekerapan bervariasi yang berhubungan dengan dengan peningkatan kepekaan saluran napas sehingga memicu episode mengi berulang (wheezing), sesak napas (breathlessness), dada rasa tertekan (chest tightness), dispnea, dan batuk (cough) terutama pada malam atau dini hari (PDPI, 2006; GINA, 2009).
Asma adalah gangguan pada bronkhial dengan ciri bronkospasme periodik (kontraksi spasme pada saluran nafas). Asma merupakan penyakit kompleks yang dapat diakibatkan oleh faktor biokimia, endokrin, infeksi, otonomik, dan psikologi (Somantri, 2007). Asma adalah penyakit pernafasan obstruktif yang ditandai oleh inflamasi saluran nafas dan spasme akut otot polos bronkiolus (Corwin, 2009).
Asma adalah penyakit paru yang di dalamnya terdapat obstruksi jalan nafas, inflamasi jalan nafas, dan jalan nafas yang hiperresponsif atau spasme otot polos bronkial (Betz & Swoden, 2009). 2.1.2
Patofisiologi Asma
Asma ditandai dengan konstriksi spastik dari otot polos bronkiolus yang menyebabkan sulit bernafas. Penyebab yang umum adalah hipersensitivitas bronkiolus terhadap benda-benda asing di udara. Reaksi yang timbul pada asma
7
8
tipe alergi diduga terjadi dengan cara: seseorang alergi membentuk sejumlah antibodi IgE abnormal. Antibodi ini terutama melekat pada sel mast yang terdapat pada interstisial paru yang berhubungan erat dengan bronkiolus dan bronkus pada penderita asma. Bila seseorang terpapar alergen maka antibodi IgE orang tersebut meningkat, alergen bereaksi dengan antibodi yang telah terlekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini akan mengeluarkan berbagai macam zat, diantaranya histamin, zat anafilaksis yang bereaksi lambat (yang merupakan leukotrien), faktor kemotaktik eosinofilik, dan bradikinin. Efek gabungan dari semua faktor ini akan menghasilkan edema lokal pada dinding bronkiolus maupun sekresi mukus yang kental dalam lumen bronkhiolus dan spasme otot polos bronkhiolus sehingga menyebabkan tahanan saluran napas menjadi sangat meningkat (Smeltzer & Bare, 2010).
Peningkatan permeabilitas dan sensitivitas terhadap alergen yang terhirup, iritan dan mediator inflamasi merupakan konsekuensi dari adanya cedera pada epitel. Inflamasi kronis pada saluran pernafasan dapat menyebabkan penebalan membran dasar dan deposisi kolagen pada dinding bronkial. Perubahan ini dapat menyebabkan sumbatan saluran nafas secara kronis seperti yang dijumpai pada penderita
asma.
Pelepasan
berbagai
mediator
inflamasi
menyebabkan
bronkokonstriksi, sumbatan vaskuler, permeabilitas vaskuler, edema, produksi dahak yang kental dan gangguan mukosiliar (Zullies, 2011). Adanya obstruksi pada klien asma dapat berupa sumbatan yang menyeluruh dan penyempitan jalan nafas berat. Kondisi ini menyebabkan ketidaksesuaian rasio perfusi dan ventilasi (National Institute of Health, 2004).
9
2.1.3
Klasifikasi Asma
Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi, berat penyakit dan pola keterbatasan aliran udara. Klasifikasi asma berdasarkan berat penyakit penting bagi pengobatan dan perencanaan penatalaksanaan jangka panjang. Semakin berat asma semakin tinggi tingkat pengobatan (Depkes RI, 2007). Pengklasifikasian asma dapat dilakukan dengan pengkajian terhadap gejala dan kemampuan fungsi paru. Semakin sering gejala yang dialami, maka semakin parah asma tersebut, Begitu juga dengan kemampuan fungsi paru yang diukur dengan spirometer untuk mengukur dengan kapasitas vital paru (KPV). Semakin rendah kemampuan fungsi paru, maka semakin parah asma tersebut (GINA, 2009). Menurut Somantri (2007), berdasarkan etiologinya, asma bronkial dapat diklasifikasikan menjadi 3 tipe, yaitu: 1.
Ekstrinsik (alergik)
Tipe asma ini merupakan jenis asma yang ditandai dengan reaksi alergi oleh karena faktor-faktor pencetus yang spesifik, seperti debu, serbuk bunga, bulu binatang, obat-obatan (antibiotik dan aspirin) dan spora jamur. Asma ekstrinsik sering dihubungkan dengan adanya suatu predisposisi genetik terhadap alergi. Paparan terhadap alergi akan mencetuskan serangan asma. Gejala asma umumnya dimulai saat kanak-kanak. 2.
Intrinsik (idiopatik atau non alergik)
Tipe asma ini merupakan jenis asma yang ditandai dengan adanya reaksi non alergi yang bereaksi terhadap pencetus yang tidak spesifik atau tidak diketahui, seperti udara dingin atau bisa juga disebabkan oleh adanya infeksi saluran
10
pernapasan, emosi dan aktivitas. Serangan asma ini menjadi lebih berat dan sering sejalan dengan berlalunya waktu dan dapat berkembang menjadi bronkitis kronik dan emfisema. Pada beberapa pasien, asma jenis ini dapat berkembang menjadi asma gabungan. Bentuk asma ini biasanya dimulai pada saat dewasa (usia> 35 tahun). 3.
Asma gabungan
Jenis asma ini merupakan bentuk asma yang paling umum dan sering ditemukan. Asma ini mempunyai karakteristik dari bentuk alergi maupun bentuk idiopatik atau nonalergik.
Sedangkan klasifikasi asma berdasarkan tingkat keparahannya dapat dilihat pada tabel berikut:
11
Tabel 1. Klasifikasi asma berdasarkan tingkat keparahan
I.
Derajat Asma Intermitten
II.
Persisten ringan
III. Persisten Sedang
Gejala Bulanan 1. Gejala <1x / minggu 2. Tanpa gejala di luar serangan 3. Serangan singkat
Mingguan 1. Gejala >1x/ minggu, tetapi < 1x / hari 2. Serangan dapat mengganggu aktivitas dan tidur
≤ 2 kali sebulan
> 2 kali sebulan
Harian 1. 2.
3.
IV. Persisten Berat
Gejala malam
Gejala setiap hari Serangan mengganggu aktivitas dan tidur Membutuhkan bronkodilator setiap hari
Kontinyu 1. Gejala terus menerus 2. Sering kambuh 3. Aktivitas fisik terbatas
Faal paru APE ≥ 80 % 1. VEP1 ≥ 80 % nilai prediksi 2. APE ≥ 80 % nilai terbaik 3. Variabiliti APE < 20 % APE ≥ 80 % 1. VEP1 ≥80 % nilai prediksi 2. APE ≥80 % nilai terbaik 3. Variabiliti APE 20-30 % APE 60-80 %
> 1x / seminggu
Sering
1.
VEP1 60-80 % nilai prediksi 2. APE 60-80 % nilai terbaik 3. Variabiliti APE >30 %
APE ≤ 60 % 1. VEP1 ≤60 % nilai prediksi 2. APE ≤60 % nilai terbaik 3. Variabiliti APE >30 %
(Sumber: PDPI,2006)
2.1.4
Faktor Risiko Terjadi Asma
Menurut PDPI (2006), risiko berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor penjamu (host factor) dan faktor lingkungan. Faktor penjamu disini termasuk predisposisi genetik yang mempengaruhi untuk berkembangnya asma, yaitu genetik asma, alergi (atopi), hipereaktivitas bronkus, jenis kelamin dan ras. Faktor lingkungan mempengaruhi individu dengan kecenderungan/predisposisi
12
asma untuk berkembang menjadi asma, menyebabkan terjadinya eksaserbasi dan atau menyebabkan gejala-gejala asma menetap. Termasuk dalam faktor lingkungan, yaitu alergen, sensitisasi lingkungan kerja, asap rokok, polusi udara, infeksi pernafasan, diet, status sosioekonomi dan besarnya keluarga. Interaksi faktor genetik/penjamu dengan lingkungan dipikirkan melalui kemungkinan: 1. Pajanan lingkungan hanya meningkatkan risiko asma pada individu dengan genetik asma 2. Baik lingkungan maupun genetik masing-masing meningkatkan risiko penyakit asma
Faktor lingkungan lebih berperan dalam memicu kekambuhan asma. Beberapa diantaranya adalah alergen, infeksi, obat/bahan sensitizer, asap rokok dan polusi udara, baik di dalam maupun di luar ruangan. Selain itu, ada faktor lain yang dapat meningkatkan keparahan asma. Beberapa diantaranya adalah rinitis yang tidak diobati atau sinusitis, gangguan refluks gastroesofagal, sensitivitas terhadap aspirin, pemaparan teradap senyawa sulfit atau obat golongan beta bloker dan influenza, faktor mekanik dan faktor psikis (Zulies, 2011). 2.1.5
Manifetasi Klinis Penyakit Asma
Gejala asma sering timbul pada waktu malam dan pagi hari. Gejala yang di timbulkan berupa batuk-batuk pada pagi, siang, dan malam hari, sesak napas, mengi, rasa tertekan di dada, dan gangguan tidur karena batuk atau sesak napas. Gejala ini terjadi secara reversibel dan episodik berulang (Yayasan Asma Indonesia, 2008; PDPI, 2006). Pada keadaan asma yang parah gejala yang ditimbulkan dapat berupa peningkatan distress pernapasan (tachycardia, dyspnea,
13
tachypnea, retraksi iga, pucat), pasien susah berbicara dan terlihat lelah. Gejala yang berat adalah keadaan gawat darurat yang mengancam jiwa, yang termasuk gejala yang berat adalah serangan batuk yang hebat, sesak napas yang berat dan tersengal-sengal, sianosis (kulit kebiruan, yang dimulai dari sekitar mulut), sulit tidur dengan posisi tidur yang dianggap nyaman adalah dalam keadaan duduk, dan kesadaran menurun ( Depkes RI, 2007). 2.1.6
Penatalaksanaan Asma
Menurut GINA (2009), pengobatan berdasarkan derajat asma dibagi menjadi: a. Asma Intermiten 1) Umumnya tidak diperlukan pengontrol 2) Bila diperlukan pelega, agonis β-2 kerja singkat inhalasi dapat diberikan. Alternatif dengan agonis β-2 kerja singkat oral, kombinasi teofilin kerja singkat dan agonis β-2 kerja singkat oral atau antikolinergik inhalasi 3) Bila dibutuhkan bronkodilator lebih dari sekali seminggu selama tiga bulan, maka sebaiknya penderita diperlakukan sebagai asma persisten ringan b. Asma Persisten Ringan 1) Pengontrol diberikan setiap hari agar dapat mengontrol dan mencegah progresivitas asma, dengan pilihan: a) Glukokortikosteroid dan agonis β-2 b) Teofilin lepas lambat c) Kromolin d) Leukotriene modifiers 2) Pelega bronkodilator (Agonis β-2) dapat diberikan bila perlu
14
c. Asma Persisten Sedang 1) Pengontrol diberikan setiap hari agar dapat mengontrol dan mencegah progresivitas asma, dengan pilihan: a) Glukokortikosteroid dan agonis β-2 b) Budenoside: 400–800 μg/hari c) Fluticasone propionate : 250–500 μg/hari d) Glukokortikosteroid inhalasi (400–800 μg/hari) ditambah teofilin lepas e) Glukokortikosteroid inhalasi dosis tinggi (>800 μg/hari) f) Glukokortikosteroid inhalasi (400–800 μg/hari) ditambah leukotriene modifiers 2) Pelega bronkodilator dapat diberikan bila perlu Agonis β-2 kerja singkat inhalasi: tidak lebih dari 3–4 kali sehari, atau a) Agonis β-2 kerja singkat oral, atau b) Kombinasi teofilin oral kerja singkat dan agonis β-2 kerja singkat c) Teofilin kerja singkat sebaiknya tidak digunakan bila penderita telah menggunakan teofilin lepas lambat sebagai pengontrol 3) Bila penderita hanya mendapatkan glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah dan belum terkontrol; maka harus ditambahkan agonis β-2 kerja lama inhalasi 4) Dianjurkan menggunakan alat bantu/spacer pada inhalasi bentuk IDT atau kombinasi dalam satu kemasan agar lebih mudah d. Asma Persisten Berat 1) Tujuan terapi ini adalah untuk mencapai kondisi sebaik mungkin, gejala seringan mungkin, kebutuhan obat pelega seminimal mungkin, faal paru
15
(APE) mencapai nilai terbaik, variabiliti APE seminimal mungkin dan efek samping obat seminimal mungkin 2) Pengontrol kombinasi wajib diberikan setiap hari agar dapat mengontrol asma, dengan pilihan: a) Glukokortikosteroid inhalasi dosis tinggi (terbagi dalam dua dosis) dan agonis β-2 kerja lama inhalasi b) Beclomethasone dipropionate: >800 μg/hari c) Selain itu teofilin lepas lambat, agonis β-2 kerja lama oral, dan leukotriene modifiers dapat digunakan sebagai alternative agonis β-2 kerja lama inhalai ataupun sebagai tambahan terapi d) Pemberian budenoside sebaiknya menggunakan spacer, karena dapat mencegar efek samping lokal seperti kandidiasis orofaring, disfonia, dan batuk karena iritasi saluran napas atas 2.1.7
Kapasitas Vital Paru pada Pasien Asma
Kapasitas vital paru (KVP) adalah penambahan volume tidal, volume cadangan inspirasi dan cadangan ekspirasi (KV = VI +VCI + VCE) yang merupakan jumlah udara maksimum yang dapat dikeluarkan seseorang dari paru, setelah terlebih dahulu mengisi paru secara maksimum dan kemudian mengeluarkan sebanyakbanyaknya. Kapasitas vital paru dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti postur tubuh, ukuran rongga toraks, jaringan elastis paru dan compliance paru. Nilai ratarata dari kapasitas vital ini adalah 4.600 mL (4,6 L) (Sloane, 2004; Guyton & Hall, 2006).
16
Penurunan kapasitas vital paru pada pasien asma terjadi karena adanya hiperinflasi pulmoner yaitu terjebaknya udara akibat saluran nafas yang menyempit, keadaan ini mengakibatkan peningkatan diameter anteropoterior dada sehingga dada akan menyerupai barel (Barrel Chest). Peningkatan ukuran anteposterior dada dapat menurunkan compliance dinding dada, sehingga mengakibatkan pernafasan menjadi kurang efektif dan dapat memperburuk keadaan pasien asma saat mengalami sesak nafas (Price & Wilson, 2006). 2.1.8
Faktor yang Mempengaruhi Kapasitas Vital Paru
Faktor-faktor yang mempengaruhi kapasitas vital paru, antara lain: 1. Usia Maryam (2008) menyatakan bahwa pertambahan usia seseorang mempengaruhi jaringan pada tubuh. Fungsi elastisitas jaringan paru berkurang, sehingga kekuatan otot pernafasan menjadi lemah, akibatnya volume udara pada saat pernafasan akan menurun. Sifat elastisitas paru cenderung menurun saat memasuki usia dewasa akhir. Penurunan tersebut terjadi karena paru, jantung, dan pembuluh darah juga mengalami penurunan fungsi. 2. Kebiasaan merokok Merokok dapat menyebabkan perubahan struktur dan fungsi saluran pernafasan dan jaringan paru. Kebiasaan merokok akan mempercepat penurunan faal paru. Penurunan volume ekspirasi paksa pertahun adalah 28,7 mL untuk non perokok, 38,4 mL untuk perokok yang sudah berhenti dan 41,7 mL untuk perokok aktif. Pengaruh asap rokok dapat lebih besar daripada debu hanya sekitar sepertiga dari pengaruh buruk rokok (Depkes RI, 2007). Inhalasi asap tembakau baik primer
17
maupun sekunder dapat menyebabkan penyakit saluran nafas pada orang dewasa. Asap rokok mengiritasi paru-paru dan masuk ke dalam aliran darah. Merokok menunjukkan penurunan kapasitas paru yang lebih tinggi dibandingkan beberapa bahaya kesehatan akibat pekerjaan (Suyono, 2001). 3. Indeks massa tubuh (IMT) Seseorang dengan kelebihan berat badan (IMT ≥ 25,0) mempunyai persentasi kapasitas vital yang lebih rendah daripada individu dengan berat badan normal (IMT 18,5 - 24,9). Penurunan persentase kapasitas vital pada individu dengan berat badan berlebih disebabkan karena menurunnya elastisitas dan kemampuan mengembang dinding dada serta karena berkurangnya kemampuan diafragma untuk turun pada levelnya pada individu dengan berat badan berlebih dan individu dengan kegemukan sentral (Ristianingrum et al, 2010). Indeks massa tubuh dihitung dengan rumus dan kategori sebagai berikut: IMT = Berat badan (kg) Tinggi badan (m)2 Tabel 2. Klasifikasi IMT IMT < 18,5 18,5-24,9 25,0-29,9 ≥ 30,0
KATEGORI Berat badan kurang Berat badan normal Kelebihan berat badan Obesitas
Sumber: WHO, 2004
4. Kelainan patologi pada paru Paralisis otot pernafasan yang sering terjadi setelah cedera medula spinal atau poliomielitis, dapat menyebabkan penurunan besar dalam kapasitas vital, menjadi serendah 500 sampai 1000 mL hampir tidak cukup untuk mempertahankan
18
kehidupan ataupun sampai nol pada kasus mana terjadi kematian. Keadaan seperti tuberkulosis, emfisema, asma, kanker paru, bronkitis, pleuritis fibrosa bahkan proses penuaan sekalipun dapat menurunkan compliance paru-paru dan dengan demikian menurunkan kapasitas vital (Guyton & Hall, 2006). 2.1.9
Pengukuran Kapasitas Vital Paru
Menurut Smeltzer & Bare (2010), kapasitas vital dapat diukur dengan meminta pasien bernafas maksimal dan menghembuskan dengan penuh melalui spirometer. Sebagian besar pasien dapat menimbulkan kapasitas vital dua kali volume yang biasa mereka hembuskan (volume tidal). Jika kapasitas kurang dari 10 ml per kilogram berat badan, pasien tidak akan mampu mempertahankan ventilasi spontan dan akan dibutukan pernafasan bantuan.
Menurut Potter & Perry (2006), volume dan kapasitas paru dapat diukur melalui pemeriksaan fisik pulmonari. Spirometer digunakan untuk mengukur kapasitas paru dan volume udara yang memasuki atau yang meninggalkan paru-paru. Variasi volume dan kapasitas paru dapat dihubungkan dengan status kesehatan, seperti kehamilan, latihan fisik, obesitas, atau kondisi paru yang obstruktif dan restriktif. Jumlah surfaktan, tingkat komplians dan kekuatan otot pernafasan mempengaruhi tekanan dan volume di dalam paru-paru.
Tahap- tahap pengukuran kapasitas vital paru, antara lain: 1.
Mengatur posisi pasien senyaman mungkin
2.
Siapkan alat spirometer dan lakukan kalibrasi sebelum pemeriksaan
19
3.
Pasien harus menghindari memakai pakaian yang ketat dan makan makanan berat dalam waktu 2 jam.
4.
Masukkan data yang diperlukan , yaitu umur, tinggi badan dan jenis kelamin.
5.
Beri pentunjuk dan demonstrasikan maneuver pada pasien, yaitu pernafasan melalui mulut, tanpa ada udara lewat hidung dan celah bibir yang mengatup mouth piece.
6.
Pasien dalam posisi duduk atau berdiri, lakukan pernapasan biasa tiga kali berturut-turut, dan langsung menghisap sekuat dan sebanyak mungkin udara ke dalam paru-paru, dan kemudian dengan cepat dan sekuat-kuatnya dihembuskan udara melalui mouth piece.
7.
Catat hasil kapasitas vital paru pasien.
2.2
Diaphragmatic Breathing Exercise
2.2.1
Pengertian
Pernafasan adalah upaya yang dibutuhkan untuk mengembangkan dan membuat paru berkontraksi. Kerja pernafasan ditentukan oleh tingkat compliance paru, tahanan jalan nafas, dan penggunaan otot-otot bantu pernafasan (Potter & Perry, 2006)
Latihan pernafasan terdiri atas latihan dan praktik pernafasan yang dirancang dan dijalankan untuk mencapai ventilasi yang lebih terkontrol dan efisien serta untuk mengurangi kerja pernafasan. Latihan ini dapat meningkatkan inflasi alveolar maksimal; meningkatkan relaksasi otot; menghilangkan ansietas; melambatkan frekuensi pernafasan dan mengurangi kerja bernafas (Smeltzer & Bare, 2010).
20
Dalam hal ini, latihan nafas yang akan diberikan yaitu latihan nafas diafragma. Menurut Nurachman (2000), latihan nafas diafragma adalah suatu pola pernafasan yang dilakukan dengan cara menggunakan otot perut dan diafragma. Tujuan pernafasan diafragma adalah untuk menggunakan, menguatkan dan meningkatkan elastisitas diafragma selama pernafasan, merelaksasikan otot, memulihkan kecemasan, mengurangi kegiatan otot yang tidak terkoordinasi, dan menurunkan beban kerja pernafasan.
Pernafasan normal dan tenang dapat dicapai dengan hampir sempurna melalui gerakan diafragma. Selama inspirasi, kontraksi diafragma menarik permukaan bawah paru ke arah bawah. Kemudian selama ekspirasi diafragma mengadakan relaksasi, dan sifat daya lenting paru (recoil elastic) dinding dada, dan struktur abdominal akan menekan paru-paru.
Menurut Smith (2004), pernafasan diafragma yang dilakukan berulang kali dengan rutin dapat membantu seseorang menggunakan diafragmanya secara benar ketika dia bernafas. Teknik ini berguna untuk menguatkan diafragma, menurunkan kerja pernafasan, melalui penurunan laju pernafasan, menggunakan sedikit usaha dan energi untuk bernafas, dengan pernafasan diafragma maka akan terjadi peningkatan volume tidal, penurunan kapasitas residu fungsional, dan peningkatan pengambilan oksigen yang optimal.
21
2.2.2
Tahap Pelaksanaan
Pernafasan diafragma dapat dilakukan dengan otomatis dengan latihan dan konsentrasi yang cukup. Untuk melakukan pernafasan diafragma, pasien diinstruksikan seperti yang di uraikan sebagai berikut:
Menurut Potter & Perry (2006); Smeltzer & Bare (2010): 1. Bantu klien ke posisi duduk senyaman mungkin 2. Instruksikan klien untuk meletakkan telapak tangannya berseberangan satu sama lain, dibawah dan sepanjang batas bawah tulang rusuk anterior. Letakkan ujung jari ketiga kedua tangan dengan saling bersentuhan. 3. Minta klien mengambil nafas dalam secara lambat, menghirup nafas melalui hidung. Minta klien untuk merasakan bahwa kedua jari tengah tangan terpisah selama inhalasi. 4. Jelaskan pada klien agar jangan menggunakan dada dan bahu saat menghirup nafas 5. Minta klien menahan nafas sampai hitungan ketiga dan perlahan-lahan hembuskan nafas melalui mulut. Jelaskan pada klien bahwa kedua ujung jari tengahnya akan bersentuhan kembali.
2.3 Pengaruh Diaphragmatic Breathing Exercise terhadap Kapasitas Vital Paru pada Pasien Asma Terdapat beberapa perubahan fungsi anatomi dan fisiologi yang terjadi pada sistem pernafasan pada pasien asma termasuk peningkatan kekakuan dinding dada dan peningkatan diameter anteriorposterior dada karena pendataran diafragma dan
22
elevasi iga, hal tersebut dapat menurunkan compliance dinding dada, sehingga kemampuan pengembangan dinding dada menurun.
Dalam sistem respirasi, diafragma merupakan otot pernafasan yang paling penting. Otot ini berbentuk menyerupai kubah yang berlokasi di dasar paru. Otot abdomen membantu menggerakkan diafragma dan membuat seseorang lebih kuat untuk mengosongkan udara dari paru. Kerja otot diafragma akan menjadi tidak efektif pada pasien yang mengalami gangguan fungsi pulmonal (Sloane, 2004).
Menurut Smith (2004), pernafasan diafragma yang dilakukan berulang kali dengan rutin dapat membantu seseorang menggunakan diafragmanya secara benar ketika dia bernafas. Teknik ini berguna untuk menguatkan diafragma, menurunkan kerja pernafasan melalui penurunan laju pernafasan, menggunakan sedikit usaha dan energi untuk bernafas. Pernafasan diafragma akan meningkatkan volume tidal, penurunan kapasitas residu fungsional, dan peningkatan pengambilan oksigen yang optimal.
Pasien dengan Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) yang diberikan diaphragmatic breathing selama 2 minggu menunjukkan peningkatan yang signifikan pada volume tidal dan menurunkan frekuensi pernafasan pada semua kelompok penelitian. Hasil dari penelitian ini menunjukkan hasil peningkatan minute ventilation (VE), dan pertukaran gas yang ditunjukkan dengan peningkatan saturasi oksigen (SpO2) (Fernandes et al., 2011).
23
Penelitian yang dilakukan oleh Nurdiansyah (2013) mengenai pengaruh teknik pernafasan butekyo terhadap penurunan gejala pasien asma di Kota Tanggerang Selatan, menunjukkan adannya beda rata-rata skor gejala asma sebelum dan setelah diberikan intervensi selama 2 minggu intervensi dan 2 kali kunjungan pada minggu I dan minggu II mengalami penurunan skor gejala asma. Latihan nafas buteyko ini dilakukan dua kali sehari selama dua minggu yaitu pada pagi hari dan sebelum makan siang/malam (Brindley, 2010).